Anda di halaman 1dari 9

Cerita ini bermula dari Liam dan Manda yang sudah saling mengenal sejak

mereka masih memakai popok. Kedua orang tua mereka yang memang saling
mengenal sejak zaman SMA, ditambah dengan rumah yang berjejer satu sama
lain, cukup membuat mereka sering pergi dan bermain bersama-sama.
Terkadang bila kedua orang tua Liam sibuk, mereka akan menitipkan anak lelaki
mereka pada ibu Manda yang kebetulan memang hanya berprofesi sebagai ibu
rumah tangga. Dan hal itu pun terus berlanjut hingga Liam dan Manda duduk di
kelas 5 SD.
Mereka selalu bersama. Tidak pernah terlihat oleh orang lain ketika tidak ada
Liam di samping Manda atau tidak ada Manda di samping Liam. Mereka bahkan
dijuluki si kembar siam, melihat bahwa mereka tidak memiliki ikatan darah sekali
pun.
Mereka rukun, meski pun terkadang bertengkar karena masalah sepele dan
menyebabkan mereka tidak berbicara satu sama lain seharian, lalu Manda yang
meski pun ia tidak bersalah sekali pun akan mencoba mendekati Liam untuk
mengajaknya bermain lagi. karena bagaimana pun, Manda adalah orang yang
tidak betah marah, terutama pada Liam.
Selama bertahun-tahun menjalin persahabatan yang sangat erat, belum pernah
mereka terpisah sedikit pun, sampai akhirnya di pertengahan semester satu
kelas satu SMP, teman-teman Liam selalu menggodanya karena sering kali
terlihat bersama dengan Manda.
Kalian pasti pacaran, celetuk Bobi yang berpipi chubby.
Liam yang kala itu tengah memakan bakso gorengnya segera tersedak
mendengarnya. Mana mungkin! sangkalnya setelah meminum beberapa teguk
minuman mineral. Kami sudah berteman sejak kecil. Jadi hal itu tidak akan
pernah terjadi, bodoh, imbuhnya.
Tapi kalian dekat sekali. Nindri dan Murai saja tidak sedekat seperti kalian. Ega
menimpali, lalu dengan gerakan cepat mencomol bakso goreng Bobi yang
perhatiannya sedang teralihkan.
Liam mendengus. Mereka kan baru saja jadian. Lagi pula wajar kalau aku dan
Manda sangat dekat. Kami kan sahabat. Bertetangga lagi!
Bobi dan Ega masih memandang Liam dengan tatapan curiga. Lalu kenapa
waktu itu kami melihat kalian bergandengan tangan?
Memangnya salah kalau aku menggandeng Manda? Liam balik bertanya.
Kedua temannya segera menggelengkan kepala kompak. Tentu saja salah. Kau
itu laki-laki, sedangkan Manda itu perempuan. Tidak ada yang namanya sahabat
kalau laki-laki dan perempuan itu saling bergandengan tangan. Benar kan, Ega?
teman yang ia tanyai mengangguk berkali-kali

Kau juga sering sekali menghampiri Manda ke kelasnya. Persis sekali dengan
kelakuan Nindri dan Murai. Sudahlah, mengaku saja kalau kalian memang
pacaran, tambah Ega.
Sudah kubilang aku tidak berpacaran dengan Manda! Liam tetap menyangkal,
yang langsung mendapat gerutuan dari kedua temannya.
Tidak ingin berdebat lagi tentang hubungannya dengan Manda, ia pun bergegas
menghabiskan bakso gorengnya dan segera berpamitan untuk pergi terlebih
dahulu, dan diam-diam menemui Manda yang ada di kelasnya.

Perdebatan itu pun tidak pernah terpikirkan lagi oleh Liam. Ia dan Manda masih
pergi kemana-mana bersama. Pulang bersama, pergi ke mall bersama, dan
mengerjakan tugas bersama. Terkadang Liam memang menggandeng tangan
Manda saat mereka pergi berdua. Itu pun semata-mata karena ia tidak mau
Manda tersesat.
Sebulan berlalu, dan tiba-tiba saja gosip tentang Liam dan Manda berpacaran
oun menyebar luas ke sekolah hanya karena beberapa teman mereka sering
memergoki mereka jalan berdua sambil bergandengan tangan. Berapa kali pun
keduanya menyangkal hal tersebut, teman-teman mereka tidak pernah percaya
sekali pun.
Kenapa sih mereka? padahal sudah kubilang kalau kita tidak pacaran! gerutu
Liam saat mereka dalam perjalanan pulang ke rumah.
Sudahlah, biarkan saja. Nanti juga mereka akan lupa-lupa sendiri setelah
sebulan, sahut Manda yang sifatnya memang tidak peduli. Berbeda sekali
dengan Liam yang tidak pernah menghiraukan perkataan orang lain, terutama
jika hal itu tentang dirinya dan Manda.
Tapi tetap saja. Aku risih mendengar. Aku kan tidak mau pacaran denganmu.
Kau pikir aku juga mau pacaran denganmu? dengus Manda. Lagi pula, dari
pada membingungkan hal yang tidak penting, lebih baik kau pikirkan tugas
penelitian kita yang belum selesai, imbuhnya. Liam kemudian mengangguk dan
terdiam sepanjang perjalanan, meskipun pikirannya masih dipenuhi dengan
anggapan teman-teman mereka tentang hubungannya dengan Manda.
Esoknya, entah kenapa saat Liam dan Manda sampai di sekolah, teman-teman
mereka berkerumun di depan mading, tampaknya sedang membicarakan
sesuatu yang menarik. Begitu ia dan Manda berjalan mendekat, kerumunan itu
pun membelah seolah memberikan jalan untuk keduanya. Di sanalah
terpampang pengakuan cinta untuk Manda. Tertulis dengan huruf besar-besar
dan berwarna-warni dengan beberapa ornamen indah yang menghiasinya.

Untuk sesaat Liam terpaku menatap tulisan tersebut. Ia kemudian memandang


Manda yang tampaknya biasa-biasa saja, tidak terkejut dengan pengakuan yang
tiba-tiba dan dilakukan secara rahasia tersebut. Mencoba untuk menanyakannya
nanti, ia pun mengikuti Manda yang begitu saja pergi menuju kelasnya, melewati
kerumunan anak-anak yang terkikik geli.
Yang tidak pernah Liam duga, gosip lain pun tersebar luas, mengatakan bahwa
pengakuan cinta yang tertempel di mading tadi pagi adalah perbuatan Liam
yang membuatnya sangat kesal, karena sekali lagi ia dituduh menyukai Manda,
dan tidak akan pernah memiliki minat untuk berpacaran dengan temannya sejak
kecil itu.
Tidak ingin membuat gosip baru lagi, Liam pun memutuskan kalau dia tidak akan
pulang bersama Manda lagi, pergi keluar, atau pun menghampiri gadis itu di
kelas. Tekad Liam sudah bulat. Lagi pula, kalau dibiarkan terus, bisa-bisa
hubungannya dengan Manda akan menjadi canggung.
Tetapi yang tidak pernah ia sadari ketika dia mengabaikan pesan singkat atau
panggilan dari Manda, hubungan mereka yang dulunya sangat dekat,
memunculkan sebuah jarak yang sangat besar di antara keduanya. Terkadang
Liam memang menghubungi Manda sesekali, dan menyapa gadis itu di sekolah.
Tapi itu ia lakukan hanya sekedar ada perlu saja, atau menyapa bila berpapasan
tidak sengaja di koridor sekolah.
Manda sudah muak sebenarnya dengan sikap Liam yang berubah drastis itu. Ia
ingin marah, merengek, atau menendang Liam agar anak laki-laki itu sadar kalau
perbuatannya salah dan sangat konyol. Tapi manda hanya diam saja. Ia sudah
mencoba untuk membuat jarak di antara mereka menjadi dekat lagi, tapi apa
yang bisa ia lakukan jika Liam sendiri pergi menghindarinya. Ia sudah lelah
menjadi orang pertama yang selalu mencoba merangkulnya lagi.
Sejak saat itu pun mereka tidak pernah berbicara satu sama lain. tidak pernah
saling bertukar pesan singkat atau berkunjung ke rumah masing-masing walau
pun jarak rumah mereka dapat ditempuh hanya dengan satu langkah. Mereka
benar-benar kehilangan kotak, dan hal itu pun berlanjut sampai mereka
menginjak sekolah menengah atas.
Liam yang memiliki paras tampan dan atletis menjadi idola sekolah tanpa bisa
dipungkiri. Dipuja oleh banyak perempuan di kalangan senior maupun junior. Ia
bahkan digosipkan berkali-kali berganti pasangan yang tentunya selalu cantik
dan modis. Sedangkan Manda... ia ada, tapi mencoba untuk membuat dirinya
tak dikenal oleh orang-orang. Ia lebih memilih menyendiri di perpustakaan
sekolah, menyibukkan diri dengan tumpukan buku yang menurutnya menarik.
Meski ia tidak pernah tertarik dengan apa yang dilakukan atau dikatakan oleh
orang lain, Manda selalu saja tahu semua hal tentang Liam. Tentang betapa
banyaknya daftar mantan pacarnya yang banyak itu, atau betapa ia terlihat
sangat keren saat mencetak gol di pertandingan antar provinsi. Semuanya
manda tahu. Ia bahkan tahu ketika Liam terlambat pulang sekolah karena sibuk
latihan sepak bola rutinnya atau pulang tengah malam karena ada kencan.

Manda Tahu itu. Karena bagaimana pun, Liam tetaplah temannya, walau pun
mereka tidak sedekat dulu lagi.

Menjadi siswi tahun terakhir di sekolahnya merupakan saat-saat yang sangat


sibuk bagi Manda saat itu. Bukan saja ia harus mengikuti les pagi yang diadakan
sekolahnya, Manda juga tidak luput untuk mendaftarkan dirinya untuk mengikuti
bimbel. Selain itu, belajar di perpustakaan saat jam istirahat adalah hal yang
sangat wajib ia lakukan. Saat di rumah, yang ia lakukan adalah belajar.
Belajar, belajar, dan belajar. Hal tersebut menjadi must to do list-nya yang
beradsa di tiga teratas.
Kau akan sakit kalau tidak berhenti belajar, sayang, ujar ibunya ketika beliau
melihat Manda yang sedang makan sambil memegang buku biologi.
Menelan makanannya cepat-cepat, Manda membalas, Tidak akan. Aku kan
sering minum vitamin. Lalu kembali memasukkan sesendok nasi ke dalam
mulut. Matanya tak lepas dari buku yang ada di tangan kiri. Ibu Manda hanya
menggelengan kepala dengan sifat anaknya yang keras kepala itu.

Perkiraannya ternyata berada di luar ekspektasi. Pagi itu saat ia bangun tidur,
Manda merasakan kepalanya sedikit berdenyut nyeri. Setelah meminum satu
tablet vitamin yang biasa ia konsumsi, Manda bergegas untuk mempersiapkan
diri ke sekolah.
Sepanjang perjalanan, kepalanya masih saja berdenyut dan ia semakin
merasakan rasa pusing yang membuatnya seakan dipukul dengan palu. Meski
begitu, Manda tetap saja mengabaikannnya. Hingga jam istirahat siang berlalu
pun, rasa pusing itu tidak juga menghilang. Nila, teman sebangkunya, sampai
khawatir karena wajah Manda terlihat sangat pucat seputih kapas. Gadis itu
bahkan menawarkan diri untuk mengantar Manda ke ruang kesehatan, yang
langsung ditolak oleh Manda karena mereka tengah mengerjakan tugas yang
harus dikumpulkan saat itu juga.
Kau janji akan ke ruang kesehatan setelah selesai mengerjakan ini? tuntut Nila
yang sudah sangat cemas.
Manda hanya bisa mengangguk lemah. Dan seperti yang telah ia janjikan, ia
segera beranjak dari bangkunya menuju ruang kesehatan bersama Nila yang
memaksa untuk mengantarnya. Ia sudah tidak punya tenaga lagi untuk menolak
pertolongan Nila, dan membiarkan saja dirinya dituntun menuju ruang
kesehatan. Tapi, sebelum mereka sempat sampai ke ruang tujuan, pandangan

Manda mengabur. Tanpa ia sadari tubuhnya limbung, dan semuanya menjadi


gelap.

Hal pertama yang ia lihat saat membuka mata adalah eternit ruang kesehatan
yang dicat berwarna putih, serta bau yang menyengat hidungnya. Saat ia
menoleh, matanya bertemu dengan milik Nila menatapnya dengan senyum
lebar.
Syukurlah kau cepat sadar. Tadi aku cemas sekali saat kau terjatuh sangat
keras, ujar Nila sambil menghembuskan nafas lega.
Ia segera merasakan sengatan di dagunya saat menggerakkan kepala,
membuatnya mengaduh kesakitan. Kenapa daguku diperban? tanyanya sambil
meringis kesakitan karena gerakannya untuk mencoba bangun dari posisi
berbaring.
Kan sudah kubilang kau tadi jatuh sangat keras, sampai-sampai dagumu terluka
karena menghantam lantai. Nila menjawab. Manda mengangguk, namun
meringis lagi karena dagunya terasa nyeri.
Untung saja waktu itu ada Liam yang sedang lewat, dan bantuin menggendong
tubuhmu ke sini, imbuh Nila sambil menunjuk Liam yang sejak tadi berada di
ruangan yang sama dengan mereka. manda seketika membatu karena tidak
menyangka teman lamanya itu masih membantunya ke ruang kesehatan. Ia kira,
Liam sudah tidak peduli lagi dengannya.
Terima kasih, bisik Manda. Ia kemudian hanya terdiam melihat Liam yang
menggaruk belakang lehernya dengan gerakan kaku sambil mengangguk pelan.
Nila yang berdiri di antara mereka berdua mengangkat alisnya tinggi-tinggi
dengan situasi yang canggung tersebut. Ia yang memang berasal dari sekolah
daerah lain, tidak tahu menahu tentang sejarah pertemanan mereka dan
menganggap hal tersebut sebagai awal pertemuan keduanya.
Nila kemudian mengedikkan bahunya, dan memutuskan untuk memecah
keheningan sesaat itu. Kau tahu, sepertinya aku harus segera kembali ke kelas,
sebelum Bu Weni menolak tugas yang belum selesai kukerjakan. Manda
mengangguk kecil. Paham sekali dengan sifat guru fisika mereka yang terkenal
killer. Setelah Nila menyuruhnya untuk beristirahat sampai jam terakhir dan
pergi dari sana, ruangan kembali diisi dengan keheningan. Tidak ada satu patah
kata pun yang keluar dari mulut keduanya.
Beberapa menit berlalu. Liam mengisi keheningan itu dengan ketukan jari
telunjuknya di meja, dan Manda yang hanya duduk di ranjang dengan tangan
yang meremas-remas ujung selimut dengan tidak sadar.
Kau bisa kembali ke kelas. Aku sudah tidak apa-apa, gumam Manda pada
akhirnya. Liam menoleh dan memandang Manda sekilas, sebelum akhirnya
memandang ke sembarang arah selain gadis itu.

Uhh... aku hanya menunggu perawat untuk mengambil persediaan betadine


yang habis. Lututku habis terluka.
Kalau saja Manda dengan cermat mendengarkan suara Liam, ia pasti bisa
merasakan kegugupan dalam suaranya. Tapi ia terlanjur kesal dengan wajah
memerah menahan malu, karena mengira Liam tetap berada di ruangan itu
karena mengkhawatirkan Manda. Ternyata ia salah besar. Tetap saja Liam tidak
peduli padanya. Manda menganggap Liam membopongnya ke ruang kesehatan
karena Nila lah yang memintanya.
Dengan perasaan kesal dan kecewa, ia pun membanting tubuhnya ke belakang
dan menarik selimut hingga sebatas dagunya, tak mempedulikan rasa sakit yang
menyengat dagunya. Biar saja jika sikapnya kekanakan.Ia sudah tidak peduli
dengan laki-laki kurang ajar itu. Lebih baik ia menggunakan kesempatan itu
untuk tidur.

Liam sudah berjam-jam berada di ruang kesehatan. Duduk termangu menunggu


orang yang sebenarnya tidak ada. Perawat itu sebenarnya hanyalah alasannya
saja untuk menjaga gengsi. Sikap tidak pedulinya terhadap Manda sepertinya
sudah sangat melekat padanya, hingga ia tidak mau repot-repot untuk
mengubahnya, karena ia merasa semuanya terlambat. Bahkan untuk saling
bertukar kata saja terasa canggung, dan lidahnya terasa kelu karena tidak tahu
apa yang harus ia katakan pada gadis itu. Jarak mereka terlanjur jauh untuk bisa
membangun jembatan lagi di antara keduanya.
Sebenarnya, Liam dan Manda adalah teman satu kelas. Tapi Liam mencoba
berpura-pura untuk tidak peduli, karena dilihatnya Manda juga tak lagi
mempedulikannya. Mereka seakan orang asing yang tidak pernah bertemu. Bila
mereka berada dalam satu kelompok kerja, maka Manda akan meminta
temannya yang lain untuk berganti kelompok. Ia sangat tahu kalau Manda
membencinya, dan semuanya karena perbuatannya sendiri.
Meski ia berpura-pura tidak peduli, atau menganggap Manda tidak ada di
sekitarnya, Liam masih peduli pada gadis itu. Bertahun-tahun menjadlin
persahabatan tentu tidak akan terlupakan sekali pun. Ia juga tidak pernah
melupakan setiap momen berharga yang mereka bagi bersama. Seperti misalnya
ketika Manda menjadi juara satu lomba matematika tingkat nasional, atau ketika
Liam diam-diam melompat pagar yang membatasi kamar tidur mereka hanya
untuk menyelundupkan snack yang dilarang ibunya. Liam rindu masa-masa itu.
Tapi, entah bagaimana ia tak punya motivasi untuk membangun jembatan itu
kembali. Ia putus asa. Tatapan benci Manda yang selalu di lontarkan gadis itu
dari seberang ruangan, cukup membuat Liam tahu kalau ia sudah tidak memiliki
kesempatan lagi.
Liam menghela nafas panjang, lalu berdiri menuju ranjang yang ditempati Manda
yang sedang tertidur dengan suara sepelan mungkin. Disibaknya rambut yang

menutupi mata gadis itu perlahan, lalu sedikit terkejut saat Manda mengerang
sakit karena dagunya menggesek bahunya sendiri.
Dasar. Padahal dari dulu sudah kubilang jangan balajar berlebihan, gumamnya
lirih. Sejak mereka menginjak semester akhir, Liam sering mendengar obrolan
kedua ibu mereka tentang Manda yang tak berhenti belajar, membuatnya
merasa sangat khawatir karena ia ingat kalau Manda adalah orang yang mudah
melupakan kondisi kesehatannya jika fokus pada sesuatu.
Ia kemudian melanjutkan kalimatnya sambil menyentil ujung hidung
Manda.Lihat apa yang terjadi sekarang? Kau pingsan dan membuat dagumu
terluka. Pasti rasanya sakit sekali. Pembicaraan satu arah itu kemudian
berlanjut setelah Liam memastikan kalau Manda masih tertidur, lalu menarik
satu kursi untuk duduk di samping ranjang.
Padahal meski kau tidak belajar pun, kau tetap yang nomor satu di sekolah. Kau
kan perempuan jenius, lanjut Diam. Ia kemudian mencoba bergurau dengan
menambahkan, Mungkin Albert Einstein kalah denganmu. Kalah belajar
maksudnya. Yang tentu saja tidak mendapat tanggapan dari lawab bicaranya.
Liam kemudian terdiam cukup lama, sampai akhirnya ia berbisik di telinga
Manda dengan pelan. Amat sangat pelan. Katanya, Maafkan aku Manda.

Manda sampai di rumah di sambut oleh Ibunya yang terlihat sangat cemas
karena mendapati anaknya diantar pulang oleh Nila yang kebetulan membawa
mobil. Beliau bahkan tergopoh-gopoh menyediakan bubur, menyuruh Manda
untuk beristirahat terus-menerus, dan melarangnya untuk menyentuh buku
pelajarannya sampai ia benar-benar sembuh. Manda tidak mengatakan apa-apa
dan hanya bergumam lirih menandakan kalau ia paham dan akan menuruti
perintah ibunya. Lagi pula ia memang sudah tidak ada tenaga untuk bangun dari
ranjangnya yang empuk.
Saat ibunya pergi sebentar untuk membeli obat di apotek, Manda sempat
memikirkan Liam yang tidak ada di ruang kesehatan begitu ia bangun dari tidur.
Ternyata dia benar-benar sudah tidak peduli, ujarnya lirih. Tangannya mencoba
menekan dadanya yang terasa sesak yang sudah ia rasakan cukup lama.

Hal yang tidak terduga terjadi. Manda harus dirawat inap karena demam
berdarah. Untung saja orang tuanya cepat membawanya ke rumah sakit karena
panasnya tidak juga turun sejak dua hari ini. Manda sendiri tidak menduga kalau
ia akan divonis DB karena ia tidak menunjukkan gejala bintik-bintik merah di
kulitnya. Bahkan kulitnya putih bersih, hanya meninggalkan satu bekas suntikan
setelah darahnya diambil untuk sampel.

Setelah menginap semalam di ruangan putih Rumah Sakit, suhu tubuh Manda
mulai turun, tapi dokter tetap menyarankan untuk tetap menjalani rawat inap
karena Manda tidak boleh bergerak sedikit pun dari ranjangnya, dan harus
melakukan tes darah berkala. Hal itu membuat dirinya merasa bosan karena
suasana rumah sakit yang lengang, dan makanannya yang terasa aneh di
lidahnya. Ia sudah tidak betah. Ia ingin pulang. Tapi tentu saja dokter tidak
mengijinkan.
Setelah menginap dua hari, kedua orang tua Liam datang berkunjung dengan
membawa sekeranjang buah segar, tanpa Liam bersama mereka. Manda sangat
tahu dan mengerti alasan Liam tidak bisa datang tanpa harus diberitahu
alasannya. Ia hanya bisa menelan kekecewaanya bulat-bulat.

Hal yang tidak terduga terjadi lagi. Liam menginjakkan kaki di ambang pintu
ruangan rawat inapnya setelah ia bermalam lima hari di sana. Laki-laki itu
terlihat canggung ketika Manda memandangnya dengan sangat kentara dari
ranjangnya, serta kedua orang tuanya yang terlihat terkejut dan senang karena
akhirnya Liam datang sendiri. Iya, sendiri. Ia tidak sedang bersama kedua orang
tuanya. Saat Ibu Manda mempersilahkannya masuk dan duduk di kursi yang
dekat dengan Manda, Liam memberikan senyuman dan anggukan kecil pada
mereka. selama hal itu terjadi, Manda tidak pernah melepaskan pandangannya
dari Liam dan tetap terdiam. Sampai pada akhirnya, kedua orang orang tua
Manda menyadari kecanggungan tersebut dan berpamitan sebentar untuk
membeli kue.
Manda tahu kalau orang tuanya sadar akan hubungan mereka yang tidak seperti
dulu lagi. mungkin karena itu mereka memberi waktu sendiri untuk keduanya.
Kenapa kau kesini? tanya manda acuh tak acuh. Ia malas berbicara
sebenarnya. Tapi ia juga tidak tahan jika harus berdiam diri dengan laki-laki
paling menyebalkan di hidupnya.
Liam menggosok belakang lehernya perlahan. Kebiasaan barunya jika
berhadapan dengan Manda. Akuuhhaku khawatir denganmu, jawab Liam
terlihat sangat gugup.
Aku kira kau sudah tidak peduli lagi denganku. Manda membalas ketus. Respon
yang sebenarnya sudah Liam duga akan ia terima.
Uhh... aku tahu. Tapi, a-aku benar-benar mengkhawatirkanmu. Mata Liam
bergerak-gerak kecil memandang mata Manda.
Oh ya? alis Manda terangkat tinggi-tinggi. Kalau kau memang peduli dan
khawatir denganku, kau tidak mungkin datang di hari kelimaku menginap di sini.
Benar, kan? Liam menunduk menyesal. Ia tidak tahu alasan apa yang harus ia
berikan pada gadis itu. Sebenarnya, selama lima hari ini ia dihantui perasaan
khawatir karena Manda yang tak juga keluar dari Rumah Sakit. Saat orang

tuanya mengajaknya untuk pergi mengunjungi Manda, ia hampir saja setuju jika
saja teman satu klubnya tidak datang untung mengajak latihan sepak bola.
Kalau kau dipaksa tante dan oom untuk kesini, lebih baik kau pergi saja. Akan
lebih baik buatmu, kan, ujar Manda lalu segera berbaring tanpa mempedulikan
Liam lagi.

Anda mungkin juga menyukai