Anda di halaman 1dari 9

PENDAHULUAN

Miastenia gravis (MG) merupakan suatu kelainan autoimun


pada muskuloskeletal yang ditandai oleh kelemahan abnormal
dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara terusmenerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas. Hal ini
terjadi akibat adanya gangguan dari synaptic transmission atau
pada neuromuscular junction. Adanya antibodi terhadap reseptor
asetilkolin menyebabkan berkurangnya transmisi impuls saraf ke
otot, sehingga menimbulkan manifestasi klinis berupa gejala
kelemahan yang berfluktuasi dan bervariasi pada otot-otot
okuler, anggota gerak, pernapasan, dan bulbar.
Miastenia gravis merupakan penyakit autoimun yang paling
banyak ditemui pada sistem neuromuskular, namun termasuk
penyakit yang jarang ditemui. Miastenia gravis mempengaruhi
sekitar 20 per 100.000 orang di seluruh dunia, namun
prevalensinya telah meningkat dalam beberapa dekade terakhir,
yang kemungkinan merupakan akibat dari diagnosis dini dan
pengobatan yang lebih baik yang mengarah ke rentang hidup
yang lebih lama bagi individu yang terkena. Studi epidemiologi
yang dilakukan dari tahun 1950-2007 menunjukkan jumlah
penderita miastenia gravis sekitar 1,7 milyar di seluruh dunia,
dengan tingkat kejadian 9,4 kasus per 1 juta orang per tahunnya
(Carr, 2010). Prevalensi autoimun MG di Indonesia sendiri
diperkirakan 1 kasus dari 10.00020.000 orang. Berdasar data
Yayayasan
Myasthenia
Gravis
Indonesia
(YMGI)
pada
pertengahan 2012 lalu, jumlah penderita MG yang terdaftar saat
ini sebanyak 260 orang. Namun diperkirakan jumlah
penderitanya bisa lebih dari jumlah itu.
Miastenia gravis dapat terjadi pada siapa saja dan berbagai
usia. Usia dan jenis kelamin menunjukkan perbedaan yang
menonjol antara populasi. Studi menunjukkan wanita lebih sering
menderita penyakit ini dibandingkan pria, dengan perbandingan
3:2. Usia paling sering 20-40 tahun untuk wanita dan 60-70
tahun pada laki-laki, dengan puncaknya pada wanita muda
(Schneider-Gold, 2007). Selain itu MG juga ditemukan pada anak,
dengan rata-rata usia awitan 4 tahun (Harkitasari, 2015).

TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI

Miastenia gravis merupakan gangguan autoimun pada sinaps


neuromuskular dan ditandai secara klinis oleh kelemahan fatigue
yang umumnya mengenai otot-otot ekstraokular dan bulbar
(Ginsberg, 2005).
Tanda klinis dari MG adalah adanya kelemahan yang fluktutatif
pada otot-otot volunter. Karakteristik MG berupa penggunaan
otot yang akan meningkatkan kelemahan. MG merupakan
gangguan generalisata yang biasanya bermanifestasi sebagai
kelemahan fokal (Sieb, 2013).
Dewasa ini, istilah myasthenia gravis dideskripsikan sebagai
sekelompok penyakit autoimun heterogen akibat defek transmisi
neuromuskular pada postsinaptik (Sieb, 2013).
B. KLASIFIKASI
Berdasarkan lokasinya, miastenia gravis terdiri dari tipe
okuler dan tipe generalisata. Klasifi kasi lain miastenia
gravis, yaitu tipe asetilkolin dan tipe muskarinik
(Harkitasari, 2015).

Sindrom miastenik dapat dibedakan berdasarkan beberapa


kategori (Sieb, 2013) dengan perbedaan klinis dan kebutuhan
terapi spesifik, yaitu
1. Berdasarkan perjalanan penyakit
a) Okular
b) Orofaringeal atau generalisata

2. Berdasarkan usia terjadi penyakit


a) Sebelum pubertas
b) Early onset sebelum usia 50 tahun
c) Late onset setelah usia 50 tahun
3. Berdasarkan spesifisitas antibodi
a) Anti-AchR
b) Anti-muscle spesific receptor tyrosin kinase (MuSK)
c) Anti-low density lipoprotein receptor related
protein
d) Seronegatif miastenia gravis
4. Berdasarkan patologi timus
a) Normal atau atrofi timus
b) Timitis
c) Paraneoplastik berkaitan dengan timoma
C. PATOGENESIS
D. PATOFISIOLOGI
E. DIAGNOSIS
ANAMNESIS
Tanda kardinal dari MG adalah adanya kelemahan otot
yang fluktuatif dan memberat dengan aktivitas berulang serta
membaik dengan istirahat. Kelemahan jarang terjadi pada
pagi hari, namun memburuk seiring berjalannya hari, terutama
setelah pemakaian otot yang terlibat dalam waktu lama.
Kelemahan ini terkadang diperparah dengan paparan panas,
infeksi, dan stress. Biasanya kelemahan melibatkan kelompok
otot rangka tertentu, terutama otot okular, bulbar, ekstremitas
proksimal, dan leher, serta pada beberapa pasien melibatkan
otot pernapasan. Sekitar 26% kelemahan berupa ringan, 36%
sedang, dan 39% berat yang berkaitan dengan disfagia, batuk,
dan penurunan kapasitas vital (Trouth, 2012).
Kelemahan otot okular merupakan gejala umum, sekitar
85% pasien mengalami gejala ini, yang menyebabkan ptosis,
diplopia, dan terkadang penglihatan yang kabur. Pada
pemeriksaan klinis, kelemahan tidak mengikuti pola saraf
tertentu yang membedakannya dengan gangguan lain. Gejala
okular terutama memberat setelah membaca, menonton TV,
menyetir, dan sinar matahari yang cerah. Jika kelemahan
hanya terbatas pada otot okular, disebut sebagai myastenia
okular.
Keterlibatan otot bulbar selama gangguan dapat dilihat
pada 60% pasien, berupa kesulitan saat mengunyah, terutama
mengunyah makanan padat, menelan, dan artikulasi. Selain
itu dapat terjadi disartria atau hipofoni, regurgitasi nasal, dan
ketidakmampuan menutup mulut. Kurangnya keterlibatan

okular pada pasien ini dapat didiagnosis sebagai penyakit


motor neuron. Selain itu, penderita miastenia gravis akan
mengalami kesulitan dalam mengunyah serta menelan
makanan, sehingga dapat terjadi aspirasi cairan yang
menyebabkan penderita batuk dan tersedak saat minum. Hal
ini dapat diketahui dari riwayat sering tersedak atau batuk
setelah makan .
Pada myastenia umum, dapat juga terjadi kelemahan pada
ekstremitas, secara khusus lebih sering terjadi pada kelompok
otot proksimal dibanding distal. Pasien mungkin akan
mengeluh kesulitan dalam gerakan tangan seperti mengetik,
memegang benda, memindahkan benda, bermain piano,
mengetik, bahkan mandi. Sedangkan kelemahan yang
melibatkan otot pernapasan jarang terjadi dalam 2 tahun
pertama sejak onset penyakit. Kelemahan otot pernapasan
dapat menyebabkan krisis miastenia yang dapat mengancam
kehidupan, membutuhkan ventilasi mekanis, dan naso-gastric
feeding tube (Trouth, 2012). Kelemahan otot-otot pernapasan
dapat dapat menyebabkan gagal napas akut, dimana hal ini
merupakan suatu keadaan gawat darurat dan tindakan intubasi
cepat sangat diperlukan.

Kelemahan akan semakin memberat selama 2 tahun


pertama, yang melibatkan otot orofaring dan ekstrimitas.
Kelemahan otot penderita semakin lama akan semakin
memburuk. Kelemahan tersebut akan menyebar mulai dari
otot okular, otot wajah, otot leher, hingga ke otot ekstremitas
(Howard, 2008). Gejala muncul secara fluktuatif dalam waktu
yang singkat setelah onset penyakit kemudian memberat (fase
aktif). Jika dibiarkan tidak diobati, fase aktif akan diikuti fase
non aktif, dimana fluktuasi terjadi hanya dipengaruhi oleh
kelelahan, penyakit penyerta atau faktor lain yang dapat
diidentifikasi. Setelah 15-20 tahun, kelemahan yang tidak
diobati akan menetap dan otot yang terlibat paling berat akan
mengalami atrofi otot (fase burned-out) (MGFA, 2008).
PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik yang cermat harus dilakukan pada
penderita dengan suspek MG, dalam menemukan kelemahan
pada kelompok otot yang spesifik. Kekuatan motorik perlu
dilakukan berulang kali dalam usaha yang maksimal.
Kelemahan fluktuatif terutama akan terlihat pada fungsi okular
dan orofaringeal. Keasimetrisan wajah dan ptosis merupakan
temuan awal. Ptosis yang disebabkaa oleh kelemahan otot
voluntar mata dan tidak menunjukkan karakteristik lesi saraf
tertentu. Pemeriksaan kelemahan okular dapat dilakukan
dengan memerintahkan penderita untuk mengedipkan

matanya secara terus-menerus dan lama kelamaan akan


timbul ptosis (Arie, ). Selain itu pasien juga dapat
diperintahkan untuk melihat ke atas dalam waktu lama (3
menit) hingga kelopak mata kelelahan, biasanya dalam 30
detik ptosis sudah muncul. Kelopak dapat diangkat secara
singkat, namun tidak mampu mempertahankan posisi dan
cepat turun ke posisi rendah. Kedutan pada mata yang singkat
dapat terlihat ketika kelopak mata diangkat setelah istirahat
(Engel, 2012). Selain itu ice test dapat dilakukan dengan
menempelkan ice pack di mata yang menutup selama 2 menit,
maka ptosis akan membaik (Wijdicks, 2010)
Kelemahan
otot-otot
palatum
menyebabkan
suara
penderita seperti berada di hidung (nasal twang to the voice)
serta regurgitasi makanan terutama yang bersifat cair ke
hidung penderita. Penderita ditugaskan untuk menghitung
dengan suara yang keras. Lama kelamaan akan terdengar
bahwa suaranya bertambah lemah. Setelah itu, Setelah suara
penderita menjadi parau, maka penderita disuruh beristirahat.
Kemudian tampak bahwa suaranya akan kembali baik.
disartria dapat dimunculkan dengan menyuruh pasien
menghitung 1-100, secara seksama dapat didengarkan suara
sengau (Wijdicks, 2010). Kelemahan otot-otot rahang pada
miastenia gravis menyebakan penderita sulit untuk menutup
mulutnya. Otot-otot leher juga mengalami kelemahan,
sehingga terjadi gangguan pada saat fleksi serta ekstensi dari
leher (Arie, ).
Kelemahan ekstremitas terutama pada kelompok otot
proksimal, dengan derajat kelemahan yang berbeda-beda.
Biasanya otot fleksor leher lebih lemah dibandingkan
ekstensor leher, sedangkan otot ekstensor deltoid, trisep dan
jari lebih lemah dibandingkan yang lain. Kelemahan bersifat
asimetris. Kelemahan otot dapat timbul dengan gerakan
ekstensi dalam waktu yang lama dan berulang. Fungsi kognitif,
sensorik, koordinasi, dan reflek tendon normal pada pasien MG
(Engel, 2012).
Selain itu, dapat dilakukan pemeriksaan berupa:
a. Tes tensilon (edrofonium klorida). Dosis inisial diberi
kan dalam dosis kecil, yaitu 2 mg intravena. Bila
tidak timbul efek samping maka dosis selanjutnya
diberikan 3 mg dan dinilai adanya perbaikan
kekuatan otot, ekspresi wajah, postur, dan fungsi
respirasi dalam 1 menit. Jika belum menunjukkan
perbaikan, dosis tambahan 5 mg dapat diberikan
hingga dosis maksimal 10 mg total pemberian.
Perbaikan ini dapat bertahan selama 5 menit.

b. Tes Neostigmin (Prostigmin). Injeksi prostigmin 1,5


mg secara intramuskuler atau subkutan. Tes ini akan
memberikan perbaikan klinis dalam 10 15 menit
dan bertahan 1 hingga 3 jam. Atropin sulfat 0,5 mg
kadang diberikan secara subkutan untuk mencegah
efek muskarinik dari neostigmin
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang untuk diagnosis miastenia gravis
meliputi laboratorik, tes genetik, biopsi otot, neurofisiologi
hingga radiologi seperti CT-scan thoraks (Harkitasari, 2015).
a. Pemeriksaan laboratorium berupa antibodi

1) Antiacetylcholine receptor antibody


Antibodi yang berikatan dengan reseptor asetilkolin
sehingga menyebabkan destruksi sel otot di motor
end plate dipercaya merupakan penyebab terjadi
miastenia gravis. Sehingga pemeriksaan ini
merupakan pemeriksaan pertama yang diminta
dalam penegakkan diagnosis MG. Selain itu,
pemeriksaan ini juga dapat digunakan untuk
melihat respon terapi imunosuperesif. Nilai normal
didapatkan bila hasil antibodi AchR negatif, atau
<0.02 nmol/L. Antibodi AchR ditemukan pada 90%
pasien MG generalisata, 70% dengan MG okular,
dan 80% pada penderita MG remisi (Fischbach,
2009).
2) Antistriated muscle antibody
Beberapa pasien MG memiliki antibodi yang
berikatan dengan pola cross-striational ke elemen
kontraktil otot. Mereka dikenal sebagai "antibodi
striational." Autoantibodi ini mengenali epitop
protein otot rangka termasuk myosin, aktin, actinin,
dan filamin. Tiga jenis antibodi striational utama
yaitu Titin, reseptor Ryanodine (RyR), dan Kv1.4
telah diteliti oleh banyak peneliti. Deteksi tiga
antibodi ini striational dapat memberikan informasi
klinis yang lebih spesifik dan berhubungan dengan
subtipe pasien MG (suzuki, 2011).
Umumnya, antibodi anti-titin terdeteksi pada 2040% dari semua pasien MG, anti-RyR di 13-38%,
dan anti-Kv1.4 di 12-15%. Antibodi striational juga
berhubungan dengan subkelompok MG late-onset,
60-80% terdeteksi pada pasien MG dengan onset
penyakit >60 tahun (Suzuki, 2011).
3) Anti-MuSK (muscle-specific tyrosine kinase)
antibody
MuSK merupakan reseptor tirosin kinase yang
diperlukan dalam mempertahankan neuromuscular

4)

junction dan diaktifkan oleh agrin. Hampir 50%


penderita miastenia gravis yang menunjukkan hasil
anti-AChR
Ab
negatif
(miastenia
gravis
seronegarif),menunjukkan hasil yang positif untuk
anti-MuSK Ab.
Antistriational antibody

5) Thyroid function
b. Biopsi
c. Geentik
d. Ct scan
F. TERAPI

KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA
Carr, A., Chris R., Peter O., and John M. 2010. A Systematic
Review of Population Based Epidemiological Studies in
Myasthenia Gravis. BMC Neurology. 10:46
Schneider-Gold, C., and Klaus V. 2007. Myasthenia Gravis:
Pathogenesis and Immunotherapy. Deutsches rzteblatt
International104(7): 420-426
Harkitasari, S. 2015. Diagnosis dan Terapi Miastenia Gravis pada
Anak. Cermin Dunia Kedokteran. 42(3): 181-185
Ginsberg, L. 2005. Lecture Notes Neurologi. Jakarta: Erlangga
Engel, A. 2012. Myasthenia Gravis and Myasthenic Disorders.
New York: Oxford
Wijdicks, E. 2010. The Practice of Emergency and Critical Care
Neurology. New York: Oxford
Arie, A., Mada O., dan Putu E. Diagnosis dan Tata Laksana
Miastenia Gravis. Atikel. Denpasar: FK Udayana
Fischbach, F., and Marshall B. 2009. A Manual of Laboratory and
Diagnostic Test. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins

Suzuki, S., Kimiaki U., Yuriko N., and Norihiro S. 2011. Three
Types of Striational Antibodies in Myasthenia Gravis.
Autoimmune Disease. 1-7

Anda mungkin juga menyukai