Anda di halaman 1dari 12

ASUHAN KEPERAWATAN

TUMOR JINAK

BENIGNA PROSTAT HIPERTROFI


Makalah ini disusun guna memenuhi tugas
mata kuliah KMB
Dosen : Zaenal Amirudin, Skep, Ns

DEPARTEMEN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN SEMARANG
PRODI KEPERAWATAN PEKALONGAN
2008

PENDAHULUAN
Secara klinik tumor dibedakan atas golongan neoplasma dan non neoplasma misal
kista, radang atau hipertrofi.
Neoplasma dapat bersifat ganas atau jinak. Neoplasma ganas atau kanker terjadi karena
timbul dan berkembang biaknya sel-sel secara tidak terkendali sehingga sel-sel ini
tumbuh terus merusak bentuk dan fungsi organ tempat tumbuhnya. Kanker/ karsinoma
atau sarkoma tumbuh menyusup ke jaringan sekitarnya (infiltratif) sambil merusaknya
(destruktif) dapat menyebar ke bagian lain tubuh dan umumnya fatal jika dibiarkan.
Neoplasma jinak tumbuh dengan batas tegas dan tidak menyusup, tidak merusak tetapi
membesar dan menekan jaringan sekitarnya (ekspansif), dan umumnya tidak bermetasis,
misalnya lipoma.
Jenis tumor:
Pembengkaan
Neoplasma
(tumor)

Non neoplasma
Kista

Maligna
(Kanker)

Karsinoma

Benigna

Sarkoma

Radang

Hipertrofi

KONSEP DASAR
A. Pengertian
Benigna prostat hipertrofi adalah pembesaran progresif pada kelenjar prostat
(secara umum pada pria lebih dari 50 tahun) yang menyebabkan berbagai derajat
obstruksi uretral dan pembatasan aliran urinarius. (Doengoes, 2000: 67)
Benigna prostat hipertrofi adalah pembesaran adenomateus dari kelenjar
prostat (Barbara C Long, 1996)
Benigna prostat hipertrofi adalah pembentukan jaringan prostat yang
berlebihan karena jumlah sel bertambah, tetapi tidak ganas (Depkes 1999, hal 108)
Benigna prostat hipertrofi adalah hiperflasi peri uretral yang merusak jaringan
prostat yang asli ke perifer dan menjadi simpai bedah (Syamsuhidayat, Jong. 1997:
1058)
B. Etiologi
Penyebab BPH belum jelas namun terdapat faktor resiko umur dan hormon
enstrogen (Mansjoer, 2000 hal 329)
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya
hiperflasia prostat tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperflasia prostat
erat kaitannya dengan peningkatan kadar Dehidrotesteron (DHT) dan proses aging
(menjadi tua).
Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperflasia
prostat adalah:
1. Adanya perubahan keseimbangan antara hormon testosteron dan estrogen pada
usia lanjut
2. Peranan dari growth factor sebagai pemicu pertumbuhan stoma kelenjar prostat
3. Meningkatnya lama hidup sel-sel prostat karena berkurangnya sel yang mati
4. Teori sel stem menerangkan bahwa terjadi proliferasi abnormal sel stem sehingga
menebabkan menyebabkan produksi sel stroma dan sel epitel kelenjar prostat
menjadi kelenjar prostat menjadi berlebihan (poenomo, 2000, hal 74-75)
Penyebab BPH tidak diketahui, tapi tampaknya terdapat kaitan dengan
perubahan derajat hormon yang dialami dalam proses lansia. (Barbara C Long, 1999:
32)

C. PATOFISIOLOGI
BPH sering terjadi pada pria yang berusia 50 tahun lebih, tetpai perubahan
mikroskopis pada prostat sudah dapat ditemukan pada usia 30-40 tahun. Penyakit ini
dirasakan tanpa ada gejala. Beberapa pendapat mengatakan bahwa penyebab BPH
ada keterkaitan dengan adanya hormon, ada juga yang mengatakan berkaitan dengan
tumor, penyumbatan arteri, radang, gangguan metabolik/ gangguan gizi. Hormonal
yang diduga dapat menyebabkan BPH adalah karena tidak adanya keseimbangan
antara produksi estrogen dan testosteron. Pada produksi testosteron menurun dan
estrogen meningkat. Penurunan hormon testosteron dipengaruhi oleh diet yang
dikonsumsi oleh seseorang. Mempengaruhi RNA dalam inti sel sehingga terjadi
proliferasi sel prostat yang mengakibatkan hipertrofi kelenjar prostat maka terjadi
obstruksi pada saluran kemih yang bermuara di kandung kemih. Untuk mengatasi hal
tersebut

maka

tubuh

mengadakan

oramegantisme

yaitu

kompensasi

dan

dekompensasi otot-otot destruktor. Kompensasi otot-otot mengakibatkan spasme otot


spincter kompensasi otot-otot destruktor juga dapat menyebabkan penebalan pada
dinding vesika urinaria dalam waktu yang lama dan mudah menimbulkan infeksi.
Dekompensasi otot destruktor menyebabkan retensi urine sehingga tekanan
vesika urinaria meningkat dan aliran urine yang seharusnya mengalir ke vesika
urinaria mengalami selek ke ginjal. Di ginjal yang refluks kembali menyebabkan
dilatasi ureter dan batu ginjal, hal ini dapat menyebabkan pyclonefritis. Apabila telah
terjadi retensi urine dan hidronefritis maka dibutuhkan tindakan pembedahan insisi.
Pada umumnya penderita BPH akan menderita defisit cairan akibat irigasi yang
digunakan alat invasif sehingga pemenuhan kebutuhan ADC bagi penderita juga
dirasakan adanya penegangan yang menimbulkan nyeri luka post operasi
pembedahan dapat terjadi infeksi dan peradangan yang menimbulkan disfungsi
seksual apabilla tidak dilakukan perawatan dengan menggunakan teknik septik dan
aseptik.

D. PATHWAYS KEPERAWATAN
Perubahan Usia
Perubahan kesimbangan estrogen dan Progesteron
Testosteron menurun
Estrogen meningkat
Perubahan patologik anatomik
BPH
Retensi pada leher buli-buli dan prostat meningkat
Obstruksi saluran kemih yang bermuara di VU
Kompensasi otot detruktor

Dekompensasi otot detruktor

Spasme otot sfinkter

Penebalan dinding VU

Nyeri suprapublik

Kontraksi otot

Gg. Rasa nyaman nyeri

Retensi Urine
Aliran urine ke ginjal
(refluks VU)

Kesulitan berkemih
Tekanan ureter ke ginjal
Resiko infeksi
Kerusakan fungsi ginjal
Insisi prostat

Perdarahan

Perubahan Eliminasi
Berkemih

Keseimbangan
Cairan terganggu

Resiko
Infeksi

Resiko
disfungsi seksual

Peregangan
Spasme otot VU

Resiko kekurangan
Volume cairan

Nyeri(akut)
(Mansjoer Arief, 2000, Long BC, 1996. Doengoes, 2000)

E. Manifestasi Klinikl
Gejala-gejala pembesaran prostat jinak dikenal sebagai lower urinary Tract
Symtoms (LUTS) dibedakan menjadi gejala iritatif dan gejala obstruktif.
1. Gejala iritatif
Yaitu sering miksi (frekuensi), terbangun untuk miksi pada malam hari
(nokturia), perasaan ingin miksi yang mendesak (urgensi), nyeri pada saat miksi
(disuria)
2. Gejala Obstruktif
Yaitu pancaran melemah, rasa tidak lampias sehabis miksi, kalau mau miksi
menunggu lama (hesistensi), harus mengejan (straining) kencing terputus-putus
(intermittency) dan waktu miksi memanjang yang akhirnya menjadi retensi urine
dan inkontinensia karena overlow.
Tanda dan gejala pada pasien yang telah lanjut penyakitnya yaitu gagal ginjal,
peningkatan tekanandarah denyut nadi, respirasi. Tanda dan gejala dapat dilihat
dari stadiumnya
a. Stadium I
Ada obstruksi tapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan urine sampai
habis
b. Stadium II

Ada retensi urine tapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan urine
walaupun tidak sampai habis, masih tersisi 50-150 cc

Ada rasa tidak enak pada waktu BAK (disuria)

Nokturia

c. Stadium III
Urine selalu tersisa 150 cc atau lebih
d. Stadium IV
Retensi Urine total buli-buli penuh, pasien kesakitan, urine menetes secar
periodik. (Depkes, 1996, hal 109)
Untuk mengukur besarnya BPH dapat dipakai berbagai pengukuran, yaitu:
a. Rectal Grading

Dengan rectal toucher diperkirakan seberapa prostat menonjol ke dalam


lumen dari rectum. Rectal toucher sebaiknya dilakukan dengan buli-buli
kosong karena bila penuh dapat membuat kesalahan. Gradasi ini sebagai
berikut:
0-1 cm . . . . . . . grade 0
1-2 cm . . . . . . . grade 1
2-3 cm . . . . . . . grade 2
3-4 cm . . . . . . . grade 3
>4 cm . . . . . . . grade 4
b. Clinical Granding
Pada pengukuran ini yang menjadi patokan adalah banyaknya usia Urine
Sisa urine

0 cc . . . . . . . . . . . . . . . normal

Sisa urine

0-50 cc . . . . . . . . . . . . . . . grade 1

Sisa urine 50-150 cc . . . . . . . . . . . . . . . grade 2


Sisa urine

>150 cc . . . . . . . . . . . . . . . grade 3

Sama sekali tidak bisa kencing . . . . . . . grade 4


F. Komplikasi
Apabila buli-buli menjadi dekompensasi akan terjadi retensi urine karena
produksi terus berlanjut maka pada suatu saat buli-buli tidak mampu lagi menampung
urine sehingga tekanan intravisiko meningkat dapat menimbulkan hidroureter,
hidronefrosis dan gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal tercepat terjadi jika infeksi
karena selalu terdapat sisa urine dapat terbentuk batu endapan dalam buli-buli. Batu
ini dapat menambah keluahan iritasi dan menimbulkan hematuria serta dapat juga
menimbulkan sistitis dan bila terjadi reflek dapat terjadi pyelonefritis. Pada waktu
miksi pasien harus mengejan sehingga lama kelamaan dapat menyebabkan hernia
atau hemoroid.
G. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium

Analisis Urine pemeriksaan mikroskopis urine untuk melihat adanya lekosit,


bakteri dan infeksi

Elektrolit, kadar ureum, kreatinin darah untuk fungsi ginjal dan status
metabolik

Pemeriksaan PSA (Prostat Spesifik Antigen) dilakukan sebagai dasar


penentuan paknya biopsi atau sebagai deteksi dari keganasan

Darah lengkap

Leukosit

Blooding time

Liver fungsi

2. Pemeriksaan Radiologi

Foto polos abdomen

Prelograf intravena

USG

Sistoskopi

H. Penatalaksanaan
a. Observasi
b. Terapi medika mentosa (penghambat Adrenergik , penghambat enzim 5-reduktase, fisioterapi)
c. Terapi bedah dan terapi infasiv
(Mansjoer Arif, 2000: 333)
I. Fokus Keperawatan
1. Pengkajian
a. Sirkulasi
Tanda: peningkatan tekanan darah (efek pembesaran ginjal)
b. Eliminasi
Gejala: penurunan kekuatan/ dorongan aliran urine, tetesan, keraguan-raguan
pada berkemih awal.

Penurunan kekuatan/ dorongan aliran urine, tetesan

Ketidakmampuan untuk mengosongkan kandung kemih dengan


lengkap

Dorongan dan frekuensi berkemih

Nokturia, disuria, hematuria

ISK berulang, riwayat batu (status urinaria)

Konstipasi

Tanda: massa: Padat di bawah abdomen (distensi kandung kemih) nyeri tekan
kandung kemih, hernia inguinalis, hemoroid (mengakibatkan
peningkatan

tekanan

abdominal

yang

memerlukan

pengosongan kandung kemih.


c. Makanan/ cairan
Gejala: Anoreksia, mual, muntah, penurunan BB.
d. Nyeri/ kenyamanan
Gejala: Nyeri suprapubis, panggul, atau punggung, tajam, kuat (pada
prostatisis akut)
e. Keamanan
Gejala: demam
f. Seksualitas,
Gejala: masalah tentang efek kondisi/ terapi pada kemampuan seksualitas.
Takut incontinensia/ menetap selama hubungan ejakulasi.
Tanda: Pembesaran, nyeri tekan prostat
g. Penyuluhan/ pembelajaran
Gejala: Riwayat keluarga kanker, hipertensi, penyakit ginjal.
Penggunaan antihipertensi atau antidepresan, antibiotik urinari atau
agen biotik, obat yang dijual bebas untuk flu/ alergi obat mengandung
simpatometrik.
Pertimbangan: DRG menunjukkan merata selama dirawat di RS 22 hari.
Rencana pemulangan: memerlukan bantuan dengan management terapi. Contoh:
kateter.
2. Fokus Intervensi
a. Retensi urine (akut/ kronik) berhubungan dengan obstruksi mekanik
pembesaran prostat, dekompensasi otot destruktor ketidakmampuan kandung
kemih untuk berkontraksi dengan adekuat.
Kriteria hasil:

Berkemih dengan jumlah yang cukup, tidak teraba distensi kandung kemih

Menunjukkan risedu pasca berkemih kurang dari 50 cc dengan tidak


adanya tetesan atau kelebihan aliran

Intervensi:

Dorong pasien untuk berkemih tiap 2-4 jam dan bila tiba-tiba dirasakan
Rasional: meminimalkan retensi urine, distensi berlebihan pada kandung
kemih

Observasi aliran urine, perhatikan ukuran dan kekuatan


Rasional: Berguna untuk mengevaluasi obstruksi dan pilihan intervensi

Awasi dan catat waktu serta jumlah tiap berkemih


Rasional: Retensi urine meningkatkan tekanan dalam saluran perkemihan
atas yang dapat mempengaruhi fungsi ginjal

Palpasi atau perkusi area suprapubic


Rasional: Distensi kandung kemih dapat dirasakan di area suprapubic

Awasi TTV dengan ketat, observasi hipertensi, edema perifer, timbang tiap
hari, pertahankan pemasukan dan pengeluaran yang akurat
Rasional: kehilangan fungsi ginjal mengakibatkan penurunan eliminasi
cairan dan akumulasi sisa toksik, dapat berlanjut ke penurunan
ginjal total

Beri/dorong kateter lain dan perawtan perineal


Rasional: Menurunkan resiko infeksi

Dorong masukan cairan sampai 300 ml sehari dalam toleransi jantung bila
diindikasikan
Rasional: Peningkatan aliran cairan mempertahankan perfusi ginjal dan
kandung kemih dan pertumbuhan bakteri

b. Nyeri (akut) berhubungan dengan iritasi mukosa, distensi kandung kemih.


Kriteria hasil:

Pasien mengatakan nyeri hilang atau terkontrol

Pasien tampak rileks

Pasien mampu untuk tidur atau istirahat dengan tenang

Intervensi

Kaji nyeri, pertahatikan lokasi, intensitas (skala 0-10), lamanya.


Rasional: memberikan informasi untuk membantu dalam menentukan
pilihan atau keefektifan intervensi

Plester selang drainase pada paha dan kateter abdomen


Rasional: Mencegah penarikan kandung kemih dan erosi pertemuan penis
skrotal

Pertahankan tirah baring bila diindikasikan


Rasional: Tirah baring mungkin diperlukan pada awal selama fase retensi
akut namun ambulasi dini dapat memperbaiki palo berkemih
normal dan menghilangkan nyeri kolik

Beri tindakan kenyamanan, misal: membantu pasien melakukan posisi


yang nyaman, latihan nafas dalam
Rasional: Meningkatkan relaksasi, memfokuskan kembali perhatian dapat
meningkatkan kemampuan koping

c. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan pasca obstruksi diuresia


dan drainase cepat kandung kemih yang terlalu distensi secara kronis.
Kriteria hasil:

Mempertahankan hidrasi adekuat dibuktikan oleh tanda vital stabil, nadi


perifer teraba, pengisian kapiler baik dan membran mukosa lembab

Intervensi:

Awasi keluaran dengan hati-hati, tiap jam bila diindikasikan. Perhatikan


keluaran 100-200 ml/jam
Rasional: Deuresis cepat dapat menyebabkan kekurangan volume total
cairan, karena ketidakcukupan jumlah natrium diabsorbsi
dalam tubulus ginjal

Dorong peningkatan pemasukan oral berdasrkan kebutuhan individu


Rasional: Pasien dibatasi pemasukan oral dalam upaya mengontrol gejala
urinaria, homeostatik pengurangan cadangan dan peningkatan
resiko dehidrasi atau hipovolemia

Awasi TD, nadi dengan sering. Evaluasi pengisian kapiler dan membran
mukosa oral
Rasional: Memampukan deteksi dini/ intervensi hipovolemik, sistemik

Tingkatkan tirah baring dengan kepala tinggi


Rasional: Menurunkan kerja jantung, memudahkan homeostatis sirkulasi.
DAFTAR PUSTAKA

Carpenito Linda Juan. 2000. Buku Saku Diagnosa Keperawatan Edisi 8. EGC:
Jakarta.
Doengoes E Marilyn. 1999. Rencana Asuhan Keperawtan Pedoman untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. EGC: Jakarta.
Mansjoer, A. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. EGC: Jakarta.
Syamsuhidayat, R. 1997. Keperawtan medikal Bedah. EGC: Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai