Anda di halaman 1dari 6

Qurban untuk orang lain, baik yang masih hidup ataupun sudah meninggal

Berikut pendapat ulama mengenai qurban untuk orang lain, yang masih hidup atau
yang sudah meninggal, antara lain :
1.

An-Nawawi, dalam Minhaj al-Thalibin mengatakan :

Tidak melakukan qurban untuk orang lain yang masih hidup dengan tanpa izinnya
dan tidak untuk orang yang sudah meninggal jika tidak mewasiatkannya.

Qalyubi dalam mengomentari perkataan an-Nawawi di atas, yaitu ketidakbolehan


qurban untuk orang lain yang masih hidup, mengecuali qurban wali dari hartanya
sendiri untuk orang-orang yang berada dibawah pengampuannya, maka ini
hukumnya sah.[1]

2.

Ibnu Hajar al-Haitamy mengatakan :

Namun demikian bagi siwali yaitu ayah atau kakek, tidak lainnya, boleh
melaksanakan qurban untuk mauliyahnya (yang diwalikannya) dari hartanya
sendiri.[2]

3.

Berkata Qalyubi :

disunatkan dari harta seseorang, qurban untuk anaknya, tidak sunat untuk janin.
[3]

4.

Berkata Ibrahim al-Bajury :

Tidak boleh melaksanakan qurban untuk orang lain tanpa seizinnya kecuali qurban
untuk ahli baitnya atau wali dari hartanya untuk mauliyahnya ataupun imam
(pemimpin negara) dari baitulmal untuk kaum muslim. Adapun dengan seizinnya
walau untuk orang yang sudah meninggal adalah boleh.[4]

5.

Berikut keterangan Khatib Syarbaini dalam Mughni Muhtaj [5] :

- Jika seseorang menyembelih kambing untuk dirinya dan kerabatnya atau untuk
dirinya dan memperkongsikan orang lain dalam hal pahalanya, maka itu boleh. Atas
dua masalah ini dipertempatkan hadits Muslim yang berbunyi ;

Tidak ada qurban untuk orang lain yang masih hidup dengan tanpa izinnya,
karena qurban adalah ibadah. Asalnya, ibadah tidak boleh dilakukan untuk orang
lain kecuali yang ada dalilnya, lebih-lebih lagi dengan tanpa izin. Namun demikian
ini ada beberapa pengecualian, yaitu :
a.
qurban seseorang untuk kerabatnya. Ini menghasilkan sunat kifayah,
meskipun kerabatnya itu tidak memberi izin
b.

qurban imam (pemimpin) dari harta baitulmaal untuk kaum muslimin

c.
qurban wali dari hartanya untuk orang dibawah pengampuannya, seperti
anak-anak, orang gila dan yang lainnya yang berada dibawah pengampuannya
Tidak ada qurban untuk orang yang sudah meninggal apabila tidak pernah
mewasiatnya karena firman Allah : .Apabila ada
mewasiatnya, maka dibolehkan.
Ada pendapat yang mengatakan sah qurban untuk orang yang sudah
meninggal, meskipun tidak pernah diwasiatkan. Karena itu termasuk dalam katagori
sadaqah. Bersadaqah adalah sah untuk mayat dan bermanfaat.

6. Berkata ar-Rafii :
Satu kambing tidak dijadikan qurban kecuali untuk satu orang. Tetapi apabila
melakukan qurban oleh satu orang dari ahli bait, maka datang syiar dan sunnah
bagi sekalian mereka.

Selanjut beliau mengatakan :


Atas ini dipertempatkan hadits yang diriwayatkan sesungguhnya Nabi SAW
melakukan qurban dengan dua ekor kambing, pada ketika itu Rasulullah bersabda :

Sekelompok ulama lain, diantaranya pengarang Kitab iddah dan Syaikh Ibrahim alMaruruzy menempatkan hadits ini dengan makna tasyrik (berkongsi) dalam hal
pahala.[6]

7. Berkata an-Nawawi dalam majmu Syarah al-Muhazzab:


Ashabina (Sahabat kita) mengatakan : Apabila tidak melakukan qurban sehingga
keluar waktunya, apabila qurban itu sunat, maka tidak lagi dilakukan qurban itu,
bahkan pelaksanaan qurban untuk tahun itu hilang. Jika dilaksanakan pada tahun
kedua dalam waktunya, maka qurban itu jatuh untuk tahun kedua tersebut, bukan
untuk tahun pertama. Dan jika qurban tersebut nazar, maka wajib dilakukan qurban
itu.[7]

8. Berkata Al-Taqiyuddin al-Damsyiqy al-Syafii:


Tidak boleh qurban untuk orang sudah meninggal berdasarkan pendapat yang
lebih sahih kecuali orang yang meninggal itu ada mewasiatkannya. Namun
demikian boleh menggantikannya menyembelih qurban yang telah ditentukannya
dengan cara nazar sebelum dia meninggal dunia.[8]

Di bawah ini beberapa hadits berkenaan dengan qurban untuk orang lain, yaitu :
1. Hadits



Artinya : : Dari Hanasy dari Ali, sesungguhnya Ali melaksanakan qurban dengan dua
kambing salah satunya untuk Nabi SAW dan satu lagi untuk dirinya. Maka beliau
ditanyai, beliau berkata : Sesunggguhnya Nabi SAW pernah memerintahkannya
kepadaku. Maka aku tidak akan meninggalkannya selamanya. Hadits ini
gharib. (H.R. at-Turmidzi) [9]

Dalam Majmu Syarh al-Muhazzab disebutkan hadits ini diriwayat oleh Abu Daud, alTurmidzi dan al-Baihaqi. Berkata al-Baihaqi :
Jika hadits ini shahih, maka ia menjadi petunjuk atas sah qurban untuk
mayat.[10]

2.

Hadist Aisyah :




Artinya : Sesungguhnya Rasulullah SAW meminta seekor domba bertanduk, yang
berjalan, berlutut dan melihat dalam kehitaman (warna kulitnya hitam) lalu
dibawakan untuk disembelih sebagai kurban. Lalu beliau berkata kepadanya
(Aisyah) : Wahai Aisyah, bawakan pisau, kemudian beliau berkata : Tajamkanlah
(asahlah) dengan batu. Lalu ia melakukannya. Kemudian Nabi SAW mengabil pisau
tersebut dan mengambil domba, lalu menidurkannya dan menyembelihnya dengan
mengatakan : Bismillah, wahai Allah! Terimalah dari Muhammad dan keluarga
Muhammad dan dari umat Muhammad, kemudian menyembelihnya (Riwayat
Muslim)[11]

Ar-Ramli mengatakan : Adapun hadits dipertempatkan


maksudnya berkongsi dalam pahalanya bukan pada qurban. Berdasarkan
penafsiran Ar-Ramli, dapat dipahami maksud hadits tersebut bahwa Rasulullah
berdoa mudah-mudahan qurban itu juga mendapat pahalanya kepada kerabat
beliau. [12]

Kesimpulannya
1.
Qurban adalah ibadah. Oleh karena itu, pada dasarnya tidak boleh diganti oleh
orang lain.
2.
Tidak boleh berqurban untuk orang lain yang masih hidup tanpa ada izin dari
orang tersebut kecuali :
a. qurban seseorang untuk kerabatnya. Ini menghasilkan sunat kifayah, meskipun
kerabatnya itu tidak memberi izin
b.

qurban imam (pemimpin) dari harta baitulmaal untuk kaum muslimin

c.
qurban wali dari hartanya untuk orang dibawah pengampuannya, seperti
anak-anak, orang gila dan yang lainnya yang berada dibawah pengampuannya
3.
Dibolehkan seseorang menyembelih kambing untuk dirinya dan kerabatnya
atau untuk dirinya dan memperkongsikan orang lain dalam hal pahalanya.

4.
Tidak ada qurban untuk orang yang sudah meninggal apabila tidak pernah
mewasiatnya. Dalam Mazhab Syafii ada satu pendapat (wajh) yang mengatakan
boleh qurban untuk orang yang sudah meninggal meskipun tidak ada wasiat
5.
Pelaksanaan qadha hanya atas qurban wajib karena nazar, tidak ada qadha
atas qurban sunat

[1] An-Nawawi, Minhaj al-Thalibin, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz.
IV, Hal. 255
[2] Ibnu Hajar al-Haitamy, Tuhfah al-Muhtaj, Darul Fikri, Beirut, Juz. VII, Hal. 344,
Perkataan Ibnu Hajar ini dapat juga dilihat pada al-Bakri ad-Damyathi, Ianah atThalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. II, Hal. 331
[3] Qalyubi, Hasyiah Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub alArabiyah, Indonesia, Juz. IV, Hal. 249
[4] Ibrahim al-Bajury, Hasyiah al-Bajury, al-Haramain, Singapura, Juz. II, Hal. 297
[5] Khatib Syarbaini, Mughni Muhtaj, Darul Fikri, Beirut, Juz. IV, Hal. 285, 292 dan
293
[6] An-Nawawi, Majmuk Syarah Muhazzab, Darul Fikri, Beirut, Juz. VIII, hal. 276
[7] An-Nawawi, Majmuk Syarah Muhazzab, Darul Fikri, Beirut, Juz. VIII, hal. 281
[8] Al-Taqiyuddin al-Damsyiqy al-Syafii, Kifayatul Akhyar,Darul Khair, Damsyiq,
Hal. 528
[9] At-Turmidzi, Sunan at-Turmidzi, Thaha Putra, Semarang, Juz. III, Hal. 27, No.
Hadits : 1528
[10] Al-Nawawi, Majmu Syarh al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Jeddah, Juz. VIII,
Hal. 382

[11] Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. III, Hal. 1557,
No. hadits : 1967
[12] Ar-Ramli, Nihayah al-Muhtaj, , Darul Fikri, Beirut, Juz. VIII, Hal. 133

Anda mungkin juga menyukai