Anda di halaman 1dari 30

Makalah Sindrom Steven-Johnson (SSJ)

Mar19

BAB I
PENDAHULUAN

I.

Latar belakang

Sindrom Steven-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala klinis erupsi mukokutaneus
yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit vesikulobulosa, mukosa orifisium serta mata disertai
gejala umum berat. Sinonimnya antara lain : sindrom de Friessinger-Rendu, eritema eksudativum
multiform mayor, eritema poliform bulosa, sindrom muko-kutaneo-okular, dermatostomatitis,
dll.
Etiologi SSJ suit ditentukan dengan pasti, karena penyebabnya berbagai faktor, walaupun pada
umumnya sering berkaitan dengan respon imun terhadap obat. Beberapa faktor penyebab
timbulnya SSJ diantaranya : infeksi (virus, jamur, bakteri, parasit), obat (salisilat, sulfa, penisilin,
etambutol, tegretol, tetrasiklin, digitalis, kontraseptif), makanan (coklat), fisik (udara dingin,
sinar matahari, sinar X), lain-lain (penyakit polagen, keganasan, kehamilan). Patogenesis SSJ
sampai saat ini belum jelas walaupun sering dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe III
(reaksi kompleks imun) yang disebabkan oleh kompleks soluble dari antigen atau metabolitnya
dengan antibodi IgM dan IgG dan reaksi hipersensitivitas lambat (delayed-type hypersensitivity
reactions, tipe IV) adalah reaksi yang dimediasi oleh limfosit T yang spesifik.
Stevens-Johnson Syndrome (SJS) dan Toxic Epidermal Necrolysis (TEN) sejak dahulu dianggap
sebagai bentuk eritem multiformis yang berat. Baru-baru ini diajukan bahwa eritema multiformis
mayor berbeda dari SJS dan TEN pada dasar penentuan kriteria klinis.Konsep yang diajukan

tersebut adalah untuk memisahkan spectrum eritem multiformis dari spectrum SJS/TEN. Eritem
multiformis, ditandai oleh lesi target yang umum, terjadi pasca infeksi, sering rekuren namun
morbiditasnya rendah. Sedangkan SJS/TEN ditandai oleh blister yang luas dan makulopapular,
biasanya terjadi karena reaksi yang diinduksi oleh obat dengan angka morbiditas yang tinggi dan
prognosisnya buruk. Dalam konsep ini, SJS dan TEN kemungkinan sama-sama merupakan
proses yang diinduksi obat yang berbeda dalam derajat keparahannya. Terdapat 3 derajat
klasifikasi yang diajukan :
1. Derajat 1 : erosi mukosa SJS dan pelepasan epidermis kurang dari 10%
2. Derajat 2 : lepasnya lapisan epidermis antara 10-30%
3. Derajat 3 : lepasnya lapisan epidermis lebih dari 30%
Gambar 1.Perbedaan Eritema multiformis, Stevens-Johnson Syndrome, Toxic Epidermal
Necrolysis
Dari jumlah kejadian diatas dan kondisi penyakit yang memerlukan pendeteksian dan
penanganan spesifik, penulis tertarik untuk menulis makalah Asuhan Keperawatan sindrom
steven johnson.

2. Tujuan
- Tujuan Umum
Untuk mendapatkan gambaran dan mengetahui tentang bagaimana Asuhan Keperawatan pada
klien sindrom steven johnson.
-

Tujuan Khusus

Diharapkan mahasiswa mampu memberikan gambaran asuhan keperawatan meliputi :

Mampu memberikan gambaran tentang pengkajian padaklien dengan sindrom steven


johnson.

Mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada klien dengan sindrom steven johnson.

Mampu membuat rencana keparawatan pada klien dengan sindrom steven johnson.

Mampu menyebutkan faktor pendukung dan penghambat dalam asuhan keperawatan


pada anak dengan sindrom steven johnson.
BAB II

PEMBAHASAN
A. Pengertian
Sindrom Stevens-Johnson pertama diketahui pada 1922 oleh dua dokter, yaitu dr. Stevens dan dr.
Johnson. indrom Stevens-Johnson, disingkatkan sebagai SSJ, adalah reaksi buruk yang sangat
gawat terhadap obat. Efek samping obat ini mempengaruhi kulit, terutama selaput mukosa. Juga
ada efek samping yang lebih buruk, yang disebut sebagai Nekrolisis Epidermis Toksik ( Toxic
Epidermal Necrolysis/TEN).
Ada juga bentuk yang lebih ringan, disebut sebagai Eritema Multiforme (EM).Sekarang sindrom
ini dikenal sebagai Eritema Multiforme Mayor.
Sindrom Steven Johnson adalah sindrom yang mengenai kulit, selaput lendir di orifisium dan
mata dengan keadaan umum bervariasi dan ringan sampai berat, kelainan pada kulit berupa
eritema, vesikel atau bula dapat disertai purpura (Djuanda, 1993: 127).
Sindrom Steven Johnson adalah penyakit kulit akut dan berat yang terdiri dari erupsi kulit,
kelainan dimukosa dan konjungtifitis (Junadi, 1982: 480).
Sindrom Steven Johnson adalah sindrom kelainan kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat
disertai purpura yang mengenai kulit, selaput lendir yang orifisium dan mata dengan keadaan
umum bervariasi dari baik sampai buruk (Mansjoer, A. 2000: 136).
SSJ adalah hipersensitifitas yang disebabkan oleh pembentukan sirkulasi kompleks imun yang
disebabkan oleh obat-obatan, infeksi virus, dan keganasan.Pada lebih dari setengah kasus, tidak
didapatkan adanya penyebab yang spesifik.
B. Etiologi
Penyebab belum diketahui dengan pasti, namun beberapa faktor yang dapat dianggap sebagai
penyebab adalah:
a) Alergi obat secara sistemik (misalnya penisilin, analgetik, arti piuretik)

Penisilline dan semisentetiknya

Sthreptomicine

Sulfonamida

Tetrasiklin

Anti piretik atau analgesik (derifat, salisil/pirazolon, metamizol, metampiron dan


paracetamol)

Kloepromazin

Karbamazepin

Kirin Antipirin

Tegretol

b)

Infeksi mikroorganisme (bakteri, virus, jamur dan parasit)

c)

Neoplasma dan faktor endokrin

d)

Faktor fisik (sinar matahari, radiasi, sinar-X)

e)

Makanan

C. Manifestasi Klinis
SSJ dan TEN biasanya mulai dengan demam, sakit kepala, batuk, dan pegal, yang dapat berlanjut
dari 1-14 hari.Kemudian pasien mengalami ruam datar berwarna merah pada muka dan batang
tubuh, sering kali kemudian meluas ke seluruh tubuh dengan pola yang tidak rata.Daerah ruam
membesar dan meluas, sering membentuk lepuh pada tengahnya.Kulit lepuh sangat longgar, dan
mudah dilepas bila digosok.
Pada TEN, bagian kulit yang luas mengelupas, sering hanya dengan sentuhan halus. Pada banyak
orang, 30 persen atau lebih permukaan tubuh hilang.Daerah kulit yang terpengaruh sangat nyeri
dan pasien merasa sangat sakit dengan panas-dingin dan demam.Pada beberapa orang, kuku dan
rambut rontok.
Pada SSJ dan TEN, pasien mendapat lepuh pada selaput mukosa yang melapisi mulut,
tenggorokan, dubur, kelamin, dan mata.
Kehilangan kulit dalam TEN serupa dengan luka bakar yang gawat dan sama-sama
berbahaya.Cairan dan elektrolit dalam jumlah yang sangat besar dapat merembes dari daerah
kulit yang rusak.Daerah tersebut sangat rentan terhadap infeksi, yang menjadi penyebab
kematian utama akibat TEN.
Mengenal gejala awal SSJ dan segera periksa ke dokter adalah cara terbaik untuk mengurangi
efek jangka panjang yang dapat sangat mempengaruhi orang yang mengalaminya.
Gejala awal termasuk :
o ruam
o lepuh dalam mulut, mata, kuping, hidung atau alat kelamin

o bengkak pada kelopak mata, atau mata merah


o konjungitivitis (radang selaput yang melapisi permukaan dalam kelopak mata dan bola mata)
o demam terus-menerus atau gejala seperti flu
Sindrom ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun kebawah. Keadaan umumnya bervariasi dari
ringan sampai berat.Pada yang berat kesadarannya menurun, penderita dapat soporous sampai
koma.Mulainya penyakit akut dapat disertai gejala prodromal berupa demam tinggi, malaise,
nyeri kepala, batuk, pilek dan nyeri tenggorokan.
Pada sindrom ini terlihat adanya trias kelainan berupa :
a)

Kelainan kulit

Kelainan kulit terdiri dari eritema, vesikel dan bula.Vesikel dan bula kemudian memecah
sehingga terjadi erosi yang luas.Disamping itu dapat juga terjadi purpura.Pada bentuk yang berat
kelainannya generalisata.
b)

Kelainan selaput lendir di orifisium

Kelainan selaput lendir yang tersering ialah pada mukosa mulut (100%) kemudian disusul oleh
kelainan dilubang alat genetal (50%) sedangkan dilubang hidung dan anus jarang (masingmasing 8% dan 4%).Kelainan berupa vesikel dan bula yang cepat memecah sehingga menjadi
erosi dan ekskoriasi dan krusta kehitaman.Juga dalam terbentuk pseudomembran.Dibibir
kelainan yang sering tampak ialah krusta berwarna hitam yang tebal.Kelainan dimukosas dapat
juga terdapat difaring, traktus respiratorius bagian atas dan esopfagus.Stomatitis ini dapat
menyebabkan penderita sukar tidak dapat menelan.Adanya pseudomembran di faring dapat
menyebabkan keluhan sukar bernafas.
c)

Kelainan mata

Kelainan mata merupakan 80% diantara semua kasus yang tersering ialah konjungtifitis
kataralis.Selain itu juga dapat berupa kongjungtifitis purulen, perdarahan, ulkus korena, iritis dan
iridosiklitis. Disamping trias kelainan tersebut dapat pula terdapat kelainan lain, misalnya:
nefritis dan onikolisis.
Komplikasi :
Komplikasi yang tersering ialah bronkopneunomia yang didapati sejumlah 16 % diantara seluruh
kasus yang ada. Komplikasi yang lain ialah kehilangan cairan atau darah, gangguan
keseimbangan elektrolit dan syok. Pada mata dapat terjadi kebutaan karena gangguan lakrimasi.
D. Patofisiologi
Stevens-Johnson Syndrome merupakan penyakit hipersensitivitas yang diperantarai oleh
kompleks imun yang mungkin disebabkan oleh beberapa jenis obat, infeksi virus, dan keganasan.

Kokain saat ini ditambahkan dalam daftar obat yang mampu menyebabkan sindroma ini.Hingga
sebagian kasus yang terdeteksi, tidak terdapat etiologi spesifik yang dapat diidentifikasi.
Di Asia Timur, sindroma yang disebabkan carbamazepine dan fenitoin dihubungkan erat dengan
(alel B*1502 dari HLA-B). Sebuah studi di Eropa menemukan bahwa petanda gen hanya relevan
untuk Asia Timur. Berdasarkan dari temuan di Asia, dilakukan penelitian serupa di Eropa, 61%
SJS/TEN yang diinduksi allopurinol membawa HLA-B58 (alel B*5801 frekuensi fenotif di
Eropa umumnya 3%), mengindikasikan bahwa resiko alel berbeda antar suku/etnik, lokus HLAB berhubungan erat dengan gen yang berhubungan.
Patogenesisnya belum jelas, disangka disebabkan oleh reaksi hipersensitif tipe III dan IV.Reaksi
tipe III terjadi akibat terbentuknya komplek antigen antibodi yang membentuk mikro-presitipasi
sehingga terjadi aktifitas sistem komplemen.Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil yang
kemudian melepaskan lisozim dan menyebabkan kerusakan jaringan pada organ sasaran (target
organ). Reaksi hipersentifitas tipe IV terjadi akibat limfosit T yang tersintesisasi berkontak
kembali dengan antigen yang sama kemudian limfokin dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang
(Djuanda, 2000: 147) .Reaksi Hipersensitif tipe III
Hal ini terjadi sewaktu komplek antigen antibodi yang bersirkulasi dalam darah mengendap
didalam pembuluh darah atau jaringan sebelah hilir.Antibodi tidak ditujukan kepada jaringan
tersebut, tetapi terperangkap dalam jaringan kapilernya.Pada beberapa kasus antigen asing dapat
melekat ke jaringan menyebabkan terbentuknya kompleks antigen antibodi ditempat
tersebut.Reaksi tipe III mengaktifkan komplemen dan degranulasi sel mast sehingga terjadi
kerusakan jaringan atau kapiler ditempat terjadinya rekasi tersebut.Neutrofil tertarik ke daerah
tersebut dan mulai memfagositosis sel-sel yang rusak sehingga terjadi pelepasan enzim-enzim sel
serta penimbunan sisa sel. Hal ini menyebabkan siklus peradangan berlanjut (Corwin, 2000: 72).

Reaksi Hipersensitif Tipe IV


Pada reaksi ini diperantarai oleh sel T, terjadi pengaktifan sel T penghasil Limfokin atau
sitotoksik oleh suatu antigen sehingga terjadi penghancuran sel-sel yang bersangkutan. Reaksi
yang diperantarai oleh sel ini bersifat lambat (delayed) memerlukan waktu 14 jam sampai 27 jam
untuk terbentuknya.
E. Pemeriksaan laboratorium
a.
Tidak didapatkan pemeriksaan laboratorium yang dapat membantu dalam penegakan
diagnosis.
b.
CBC (complete blood count) bisa didapatkan sel darah putih yang normal atau leukositosis
nonspesifik. Peningkatan jumlah leukosit kemungkinan disebakan karena infeksi bakteri.

c.

Kultur darah, urin, dan luka merupakan indikasi bila dicurigai penyebab infeksi.20

Tes lainnya:

Biopsi kulit merupakan pemeriksaan diagnostik tapi bukan merupakan prosedur unit
gawatdarurat Biopsi kulit memperlihatkan bulla subepidermal

Adanya nekrosis sel epidermis

Infiltrasi limfosit pada daerah perivaskular

F. DIAGNOSA
Diagnosis ditujukan terhadap manifestasi yang sesuai dengan trias kelainan kulit, mukosa, mata,
serta hubungannya dengan faktor penyebab yang secara klinis terdapat lesi berbentuk target, iris
atau mata sapi, kelainan pada mukosa, demam. Selain itu didukung pemeriksaan laboratorium
antara lain pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan imunologik, biakan kuman serta uji resistensi
dari darah dan tempat lesi, serta pemeriksaan histopatologik biopsi kulit.
Anemia dapat dijumpai pada kasus berat dengan perdarahan, leukosit biasanya normal atau
sedikit meninggi, terdapat peningkatan eosinofil.Kadar IgG dan IgM dapat meninggi, C3 dan C4
normal atau sedikit menurun dan dapat dideteksi adanya kompleks imun beredar.Biopsi kulit
direncanakan bila lesi klasik tak ada.Imunoflurosesensi direk bisa membantu diagnosa kasuskasus atipik.

DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding utama adalah nekrosis epidermal toksik (NET) dimana manifestasi klinis
hampir serupa tetapi keadaan umum NET terlihat lebih buruk dari pada SSJ.
G. Penatalaksanaan

Perawatan prehospital: paramedis harus mengetahui adanya tanda-tand kehilangan cairan


berat dan mesti diterapi sebagai pasien SSJ sama dengan pasien luka bakar.

Perawatan gawatdarurat harus diberikan penggantian cairan dan koreksi elektrolit.

Luka kulit diobati sebagai luka bakar.

Pasien SSJ semestinya diberikan perhatian khusus mengenai jalan nafas dan stabilitas
hemodinamik, status cairan, perawatn luka dan kontrol nyeri.

Penatalaksanaan SSJ bersifat simtomatik dan suportif.Mengobati lesi pada mulut dangan
mouthwashes, anestesi topikal berguna untuk mengurangi rasa nyeri.daerah yang
mengalami pengelupasan harus dilindungi dengan kompres salin atau burrow solution

Penyakit yang mendasari dan infeksi sekunder perlu diidentifikasi dan diterapi.Obat
penyebab harus dihentikan.

Penggunaan obat-obat steroid sistemik masih kontroversial.

Seluruh pengobatan harus dihentikan, khususnya yang diketahui menyebabkan reaksi SJS.
Penatalaksanaan awalnya sama dengan penanganan pasien dengan luka bakar, dan perawatan
lanjutan dapat berupa suportif (misalkan cairan intravena) dan simptomatik (misalkan analgesik,
dll), tidak ada pengobatan yang spesifik untuk penyakit ini.
Kompres saline atau Burow solution untuk menutupi luka kulit yang
terkelupas/terbuka.Alternatif lainnya untuk kulit adalah penggunaan calamine lotion.Pengobatan
dengan kortikosteroid masih kontroversial semenjak hal itu dapat menyebabkan perburukan
kondisi dan peningkatan resiko untuk terkena infeksi sekunder. Zat lainnya yang digunakan,
antara lain siklofosfamid dan siklosporin, namun tidak ada yang berhasil.
Pemberian immunoglobulin intravena menunjukkan suatu hal yang menjanjikan dalam
mengurangi durasi reaksi alergi dan memperbaiki gejala. Pengobatan suportif lain diantaranya
penggunaan anestesi nyeri topikal dan antiseptic, yang dapat menjaga lingkungan tetap hangat,
dan penggunaan analgesic intravena. Seorang oftalmologis atau optometris harus dikonsultasikan
secepatnya,
Oleh karena SJS sering menyebabkan pembentukan jaringan parut di dalam bola mata yang
kemudian menyebabkan vaskularisasi kornea dan terganggunya penglihatan, dan gangguan mata
lainnya. Diperlukan pula adanya program fisioterapi setelah pasien diperbolehkan pulang dari
rumah sakit.

Kortikosteroid

Bila keadaan umum baik dan lesi tidak menyeluruh cukup diobati dengan prednisone 30-40 mg
sehari.Namun bila keadaan umumnya buruk dan lesi menyeluruh harus diobati secara tepat dan
cepat.Kortikosteroid merupakan tindakan file-saving dan digunakan deksametason intravena
dengan dosis permulaan 4-6 x 5 mg sehari.
Umumnya masa kritis diatasi dalam beberapa hari.Pasien steven-Johnson berat harus segera
dirawat dan diberikan deksametason 65 mg intravena. Setelah masa krisis teratasi, keadaan
umum membaik, tidak timbul lesi baru, lesi lama mengalami involusi, dosis diturunkan secara
cepat, setiap hari diturunkan 5 mg. Setelah dosis mencapai 5 mg sehari, deksametason intravena
diganti dengan tablet kortikosteroid, misalnya prednisone yang diberikan keesokan harinya
dengan dosis 20 mg sehari, sehari kemudian diturunkan lagi menjadi 10 mg kemudian obat
tersebut dihentikan. Lama pengobatan kira-kira 10 hari.

Seminggu setelah pemberian kortikosteroid dilakukan pemeriksaan elektrolit (K, Na dan Cl).Bila
ada gangguan harus diatasi, misalnya bila terjadi hipokalemia diberikan KCL 3 x 500 mg/hari
dan diet rendah garam bila terjadi hipermatremia.Untuk mengatasi efek katabolik dari
kortikosteroid diberikan diet tinggi protein/anabolik seperti nandrolok dekanoat dan
nanadrolon.Fenilpropionat dosis 25-50 mg untuk dewasa (dosis untuk anak tergantung berat
badan).

Antibiotik

Untuk mencegah terjadinya infeksi misalnya bronkopneumonia yang dapat menyebabkan


kematian, dapat diberi antibiotic yang jarang menyebabkan alergi, berspektrum luas dan bersifat
bakteriosidal misalnya gentamisin dengan dosis 2 x 80 mg.

Infus dan tranfusi darah

Pengaturan keseimbangan cairan/elektrolit dan nutrisi penting karena pasien sukar atau tidak
dapat menelan akibat lesi dimulut dan tenggorokan serta kesadaran dapat menurun.Untuk itu
dapat diberikan infus misalnya glukosa 5 % dan larutan Darrow. Bila terapi tidak memberi
perbaikan dalam 2-3 hari, maka dapat diberikan transfusi darah sebanyak 300 cc selama 2 hari
berturut-turut, terutama pada kasus yang disertai purpura yang luas. Pada kasus dengan purpura
yang luas dapat pula ditambahkan vitamin C 500 mg atau 1000 mg intravena sehari dan
hemostatik.

Topikal

Terapi topical untuk lesi di mulut dapat berupa kenalog in orabase.Untuk lesi di kulit yang erosif
dapat diberikan sufratulle atau krim sulfadiazine perak.
H. Pengobatan SSJ/TEN
Pertama, dan paling penting, kita harus segera berhenti memakai obat yang dicurigai penyebab
reaksi. Dengan tindakan ini,kita dapat mencegah keburukan.
Orang dengan SSJ/TEN biasanya dirawat inap.Bila mungkin, pasien TEN dirawat dalam unit
rawat luka bakar, dan kewaspadaan dilakukan secara ketat untuk menghindari infeksi.Pasien SSJ
biasanya dirawat di ICU. Perawatan membutuhkan pendekatan tim, yang melibatkan spesialis
luka bakar, penyakit dalam, mata, dan kulit. Cairan elektrolit dan makanan cairan dengan kalori
tinggi harus diberi melalui infus untuk mendorong kepulihan.Antibiotik diberikan bila
dibutuhkan untuk mencegah infeksi sekunder seperti sepsis.Obat nyeri, misalnya morfin, juga
diberikan agar pasien merasa lebih nyaman.
Ada keraguan mengenai penggunaan kortikosteroid untuk mengobati SSJ/TEN. Beberapa dokter
berpendapat bahwa kortikosteroid dosis tinggi dalam beberapa hari pertama memberi manfaat;
yang lain beranggap bahwa obat ini sebaiknya tidak dipakai. Obat ini menekankan sistem
kekebalan tubuh, yang meningkatkan risiko infeksi gawat, apa lagi pada Odha dengan sistem
kekebalan yang sudah lemah.

a.

Prognosis

Steven-Johnsons Syndrome (dengan < 10% permukaan tubuh terlibat) memiliki angka kematian
sekitar 5%.Resiko kematian bisa diperkirakan dengan menggunakan skala SCORTEN, dengan
menggunakan sejumlah faktor prognostic yang dijumlahkan.Outcome lainnya termasuk
kerusakan organ dan kematian
Pathway
Alergi obat2an, infeksi mikroorganisme, neoplasma dan faktor endokrin, faktor fisik dan
makanan
Reaksi alergi tipe III

Terbentuknya kompleks antigen dan antibody


Terpangkap dalam jaringan kapiler

Mengaktifkan komplemen dan degranulasi sel mast

Kerusakan jaringan kapiler/organ

Akumulasi neutrofil

Reaksi alergi tipe IV

Sel tak aktif, kontak

kembali dengan antigen

Melepas limfosit dan sitotoksin

Reaksi radang

Kelainan kulit dan eritema

Inflamasi dermal dan epidermal

Gangguan integritas kulit

Nyeri

Kelainan selaput

lendir dari ofisiun

Kesulitan menelan

Intake in adekuat

Kelemahan fisik

< Nutrisi dari kebutuhan

Gangguan intoleransi
aktivitas
Mata

G3 Persepsi sensori: penglihatan


Konjungtifitis
ASUHAN KEPERAWATAN

1.

Gangguan integritas kulit b.d. inflamasi dermal dan epidermal

KH:
Menunjukkan kulit dan jaringan kulit yang utuh

Intervensi:
a. Observasi kulit setiap hari catat turgor sirkulasi dan sensori serta perubahan lainnya yang
terjadi.
Rasional: menentukan garis dasar dimana perubahan pada status dapat dibandingkan dan
melakukan intervensi yang tepat
b.

Gunakan pakaian tipis dan alat tenun yang lembut

Rasional: menurunkan iritasi garis jahitan dan tekanan dari baju, membiarkan insisi
terbuka terhadap udara meningkat proses penyembuhan dan menurunkan resiko infeksi
c.

Jaga kebersihan alat tenun

Rasional: untuk mencegah infeksi


d.

Kolaborasi dengan tim medis

Rasional: untuk mencegah infeksi lebih lanjut

2.

Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d. kesulitan menelan

KH:
Menunjukkan berat badan stabil/peningkatan berat badan

Intervensi:
a.

Kaji kebiasaan makanan yang disukai/tidak disukai

Rasional: memberikan pasien/orang terdekat rasa kontrol, meningkatkan partisipasi


dalam perawatan dan dapat memperbaiki pemasukan
b.

Berikan makanan dalam porsi sedikit tapi sering


Rasional: membantu mencegah distensi gaster/ketidaknyamanan

c.

Hidangkan makanan dalam keadaan hangat


Rasional: meningkatkan nafsu makan

d.

Kerjasama dengan ahli gizi

Rasional: kalori protein dan vitamin untuk memenuhi peningkatan kebutuhan metabolik,
mempertahankan berat badan dan mendorong regenerasi jaringan.

3.

Gangguan rasa nyaman, nyeri b.d. inflamasi pada kulit

KH:

a.

Melaporkan nyeri berkurang

b.

Menunjukkan ekspresi wajah/postur tubuh rileks

Intervensi:
a.

Kaji keluhan nyeri, perhatikan lokasi dan intensitasnya


Rasional: nyeri hampir selalu ada pada beberapa derajat beratnya keterlibatan jaringan

b.

Berikan tindakan kenyamanan dasar ex: pijatan pada area yang sakit
Rasional: meningkatkan relaksasi, menurunkan tegangan otot dan kelelahan umum

c.

Pantau TTV
Rasional: metode IV sering digunakan pada awal untuk memaksimalkan efek obat

d.

Berikan analgetik sesuai indikasi

Rasional: menghilangkan rasa nyeri

4.

Gangguan intoleransi aktivitas b.d. kelemahan fisik

KH:
klien melaporkan peningkatan toleransi aktivitas
Intervensi:
a.

Kaji respon individu terhadap aktivitas


Rasional: mengetahui tingkat kemampuan individu dalam pemenuhan aktivitas sehari-hari.

b. Bantu klien dalam memenuhi aktivitas sehari-hari dengan tingkat keterbatasan yang dimiliki
klien
Rasional: energi yang dikeluarkan lebih optimal
c.

Jelaskan pentingnya pembatasan energy


Rasional: energi penting untuk membantu proses metabolisme tubuh

d.

Libatkan keluarga dalam pemenuhan aktivitas klien


Rasional: klien mendapat dukungan psikologi dari keluarga

5.

G3 Persepsi sensori: kurang penglihatan b.d konjungtifitis

KH :

Kooperatif dalam tindakan

Menyadari hilangnya pengelihatan secara permanen

Intervensi:
a.

Kaji dan catat ketajaman pengelihatan

Rasional: Menetukan kemampuan visual


b.

Kaji deskripsi fungsional apa yang dapat dilihat/tidak.

Rasional: Memberikan keakuratan thd pengelihatan dan perawatan.


c.

Sesuaikan lingkungan dengan kemampuan pengelihatan:

Rasional: Meningkatkan self care dan mengurangi ketergantungan.


d.

Orientasikan thd lingkungan.

Letakan alat-alat yang sering dipakai dalam jangkuan pengelihatan klien.

Berikan pencahayaan yang cukup.

Letakan alat-alat ditempat yang tetap.

Berikan bahan-bahan bacaan dengan tulisan yang besar.

Hindari pencahayaan yang menyilaukan.

Gunakan jam yang ada bunyinya.

e.

Kaji jumlah dan tipe rangsangan yang dapat diterima klien.

Rasional: Meningkatkan rangsangan pada waktu kemampuan pengelihatan menurun.


BAB III
PENUTUP
a.

Kesimpulan

Sindrom Steven Johnson adalah sindrom yang mengenai kulit, selaput lendir di orifisium dan
mata dengan keadaan umum bervariasi dan ringan sampai berat, kelainan pada kulit berupa
eritema, vesikel atau bula dapat disertai purpura (Djuanda, 1993: 127).
Sindrom Steven Johnson merupakan hipersensitifitas yang disebabkan oleh pembentukan
sirkulasi kompleks imun yang disebabkan oleh obat-obatan, infeksi virus, dan keganasan.Pada
lebih dari setengah kasus, tidak didapatkan adanya penyebab yang spesifik.
b.

Saran

Makalah sangat jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kami sebagai kelompok mengharapkan
kritikan dan saran dari dosen pembimbing dan teman teman sesama mahasiswa. Selain itu
penyakit osteosarkoma ini sangat berbahaya dan kita sebagai host harus bisa menerapkan pola
hidup sehat agar kesehatan kita tetap terjaga.
DAFTAR PUSTAKA
Corwin, Elizabeth. J. 2001. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.
Doenges. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3. Jakarta: EGC.
Hamzah, Mochtar.2005. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 4. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Price dan Wilson.1991. Patofisiologi Konsep Klinik Proses-Proses Penyakit Edisi 2. Jakarta:
EGC.
Tim Penyusun. 1982. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Jakarta: Media Aesculapius.
Tim Penyusun. 2000. Kapita Selekta Kedokteran 2. Jakarta: Media Aesculapius

BAB I
PENDAHULUAN

I.

Latar belakang

Sindrom Steven-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala klinis erupsi mukokutaneus
yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit vesikulobulosa, mukosa orifisium serta mata disertai
gejala umum berat. Sinonimnya antara lain : sindrom de Friessinger-Rendu, eritema eksudativum
multiform mayor, eritema poliform bulosa, sindrom muko-kutaneo-okular, dermatostomatitis,
dll.
Etiologi SSJ suit ditentukan dengan pasti, karena penyebabnya berbagai faktor, walaupun pada
umumnya sering berkaitan dengan respon imun terhadap obat. Beberapa faktor penyebab
timbulnya SSJ diantaranya : infeksi (virus, jamur, bakteri, parasit), obat (salisilat, sulfa, penisilin,
etambutol, tegretol, tetrasiklin, digitalis, kontraseptif), makanan (coklat), fisik (udara dingin,
sinar matahari, sinar X), lain-lain (penyakit polagen, keganasan, kehamilan). Patogenesis SSJ
sampai saat ini belum jelas walaupun sering dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe III
(reaksi kompleks imun) yang disebabkan oleh kompleks soluble dari antigen atau metabolitnya
dengan antibodi IgM dan IgG dan reaksi hipersensitivitas lambat (delayed-type hypersensitivity
reactions, tipe IV) adalah reaksi yang dimediasi oleh limfosit T yang spesifik.
Stevens-Johnson Syndrome (SJS) dan Toxic Epidermal Necrolysis (TEN) sejak dahulu dianggap
sebagai bentuk eritem multiformis yang berat. Baru-baru ini diajukan bahwa eritema multiformis
mayor berbeda dari SJS dan TEN pada dasar penentuan kriteria klinis.Konsep yang diajukan
tersebut adalah untuk memisahkan spectrum eritem multiformis dari spectrum SJS/TEN. Eritem
multiformis, ditandai oleh lesi target yang umum, terjadi pasca infeksi, sering rekuren namun
morbiditasnya rendah. Sedangkan SJS/TEN ditandai oleh blister yang luas dan makulopapular,
biasanya terjadi karena reaksi yang diinduksi oleh obat dengan angka morbiditas yang tinggi dan
prognosisnya buruk. Dalam konsep ini, SJS dan TEN kemungkinan sama-sama merupakan
proses yang diinduksi obat yang berbeda dalam derajat keparahannya. Terdapat 3 derajat
klasifikasi yang diajukan :
1. Derajat 1 : erosi mukosa SJS dan pelepasan epidermis kurang dari 10%
2. Derajat 2 : lepasnya lapisan epidermis antara 10-30%
3. Derajat 3 : lepasnya lapisan epidermis lebih dari 30%
Gambar 1.Perbedaan Eritema multiformis, Stevens-Johnson Syndrome, Toxic Epidermal
Necrolysis
Dari jumlah kejadian diatas dan kondisi penyakit yang memerlukan pendeteksian dan
penanganan spesifik, penulis tertarik untuk menulis makalah Asuhan Keperawatan sindrom
steven johnson.

2. Tujuan

- Tujuan Umum
Untuk mendapatkan gambaran dan mengetahui tentang bagaimana Asuhan Keperawatan pada
klien sindrom steven johnson.
-

Tujuan Khusus

Diharapkan mahasiswa mampu memberikan gambaran asuhan keperawatan meliputi :

Mampu memberikan gambaran tentang pengkajian padaklien dengan sindrom steven


johnson.

Mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada klien dengan sindrom steven johnson.

Mampu membuat rencana keparawatan pada klien dengan sindrom steven johnson.

Mampu menyebutkan faktor pendukung dan penghambat dalam asuhan keperawatan


pada anak dengan sindrom steven johnson.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian
Sindrom Stevens-Johnson pertama diketahui pada 1922 oleh dua dokter, yaitu dr. Stevens dan dr.
Johnson. indrom Stevens-Johnson, disingkatkan sebagai SSJ, adalah reaksi buruk yang sangat
gawat terhadap obat. Efek samping obat ini mempengaruhi kulit, terutama selaput mukosa. Juga
ada efek samping yang lebih buruk, yang disebut sebagai Nekrolisis Epidermis Toksik ( Toxic
Epidermal Necrolysis/TEN).
Ada juga bentuk yang lebih ringan, disebut sebagai Eritema Multiforme (EM).Sekarang sindrom
ini dikenal sebagai Eritema Multiforme Mayor.
Sindrom Steven Johnson adalah sindrom yang mengenai kulit, selaput lendir di orifisium dan
mata dengan keadaan umum bervariasi dan ringan sampai berat, kelainan pada kulit berupa
eritema, vesikel atau bula dapat disertai purpura (Djuanda, 1993: 127).
Sindrom Steven Johnson adalah penyakit kulit akut dan berat yang terdiri dari erupsi kulit,
kelainan dimukosa dan konjungtifitis (Junadi, 1982: 480).
Sindrom Steven Johnson adalah sindrom kelainan kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat
disertai purpura yang mengenai kulit, selaput lendir yang orifisium dan mata dengan keadaan
umum bervariasi dari baik sampai buruk (Mansjoer, A. 2000: 136).

SSJ adalah hipersensitifitas yang disebabkan oleh pembentukan sirkulasi kompleks imun yang
disebabkan oleh obat-obatan, infeksi virus, dan keganasan.Pada lebih dari setengah kasus, tidak
didapatkan adanya penyebab yang spesifik.
B. Etiologi
Penyebab belum diketahui dengan pasti, namun beberapa faktor yang dapat dianggap sebagai
penyebab adalah:
a) Alergi obat secara sistemik (misalnya penisilin, analgetik, arti piuretik)

Penisilline dan semisentetiknya

Sthreptomicine

Sulfonamida

Tetrasiklin

Anti piretik atau analgesik (derifat, salisil/pirazolon, metamizol, metampiron dan


paracetamol)

Kloepromazin

Karbamazepin

Kirin Antipirin

Tegretol

b)

Infeksi mikroorganisme (bakteri, virus, jamur dan parasit)

c)

Neoplasma dan faktor endokrin

d)

Faktor fisik (sinar matahari, radiasi, sinar-X)

e)

Makanan

C. Manifestasi Klinis
SSJ dan TEN biasanya mulai dengan demam, sakit kepala, batuk, dan pegal, yang dapat berlanjut
dari 1-14 hari.Kemudian pasien mengalami ruam datar berwarna merah pada muka dan batang
tubuh, sering kali kemudian meluas ke seluruh tubuh dengan pola yang tidak rata.Daerah ruam
membesar dan meluas, sering membentuk lepuh pada tengahnya.Kulit lepuh sangat longgar, dan
mudah dilepas bila digosok.

Pada TEN, bagian kulit yang luas mengelupas, sering hanya dengan sentuhan halus. Pada banyak
orang, 30 persen atau lebih permukaan tubuh hilang.Daerah kulit yang terpengaruh sangat nyeri
dan pasien merasa sangat sakit dengan panas-dingin dan demam.Pada beberapa orang, kuku dan
rambut rontok.
Pada SSJ dan TEN, pasien mendapat lepuh pada selaput mukosa yang melapisi mulut,
tenggorokan, dubur, kelamin, dan mata.
Kehilangan kulit dalam TEN serupa dengan luka bakar yang gawat dan sama-sama
berbahaya.Cairan dan elektrolit dalam jumlah yang sangat besar dapat merembes dari daerah
kulit yang rusak.Daerah tersebut sangat rentan terhadap infeksi, yang menjadi penyebab
kematian utama akibat TEN.
Mengenal gejala awal SSJ dan segera periksa ke dokter adalah cara terbaik untuk mengurangi
efek jangka panjang yang dapat sangat mempengaruhi orang yang mengalaminya.
Gejala awal termasuk :
o ruam
o lepuh dalam mulut, mata, kuping, hidung atau alat kelamin
o bengkak pada kelopak mata, atau mata merah
o konjungitivitis (radang selaput yang melapisi permukaan dalam kelopak mata dan bola mata)
o demam terus-menerus atau gejala seperti flu
Sindrom ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun kebawah. Keadaan umumnya bervariasi dari
ringan sampai berat.Pada yang berat kesadarannya menurun, penderita dapat soporous sampai
koma.Mulainya penyakit akut dapat disertai gejala prodromal berupa demam tinggi, malaise,
nyeri kepala, batuk, pilek dan nyeri tenggorokan.
Pada sindrom ini terlihat adanya trias kelainan berupa :
a)

Kelainan kulit

Kelainan kulit terdiri dari eritema, vesikel dan bula.Vesikel dan bula kemudian memecah
sehingga terjadi erosi yang luas.Disamping itu dapat juga terjadi purpura.Pada bentuk yang berat
kelainannya generalisata.
b)

Kelainan selaput lendir di orifisium

Kelainan selaput lendir yang tersering ialah pada mukosa mulut (100%) kemudian disusul oleh
kelainan dilubang alat genetal (50%) sedangkan dilubang hidung dan anus jarang (masingmasing 8% dan 4%).Kelainan berupa vesikel dan bula yang cepat memecah sehingga menjadi
erosi dan ekskoriasi dan krusta kehitaman.Juga dalam terbentuk pseudomembran.Dibibir

kelainan yang sering tampak ialah krusta berwarna hitam yang tebal.Kelainan dimukosas dapat
juga terdapat difaring, traktus respiratorius bagian atas dan esopfagus.Stomatitis ini dapat
menyebabkan penderita sukar tidak dapat menelan.Adanya pseudomembran di faring dapat
menyebabkan keluhan sukar bernafas.
c)

Kelainan mata

Kelainan mata merupakan 80% diantara semua kasus yang tersering ialah konjungtifitis
kataralis.Selain itu juga dapat berupa kongjungtifitis purulen, perdarahan, ulkus korena, iritis dan
iridosiklitis. Disamping trias kelainan tersebut dapat pula terdapat kelainan lain, misalnya:
nefritis dan onikolisis.
Komplikasi :
Komplikasi yang tersering ialah bronkopneunomia yang didapati sejumlah 16 % diantara seluruh
kasus yang ada. Komplikasi yang lain ialah kehilangan cairan atau darah, gangguan
keseimbangan elektrolit dan syok. Pada mata dapat terjadi kebutaan karena gangguan lakrimasi.
D. Patofisiologi
Stevens-Johnson Syndrome merupakan penyakit hipersensitivitas yang diperantarai oleh
kompleks imun yang mungkin disebabkan oleh beberapa jenis obat, infeksi virus, dan keganasan.
Kokain saat ini ditambahkan dalam daftar obat yang mampu menyebabkan sindroma ini.Hingga
sebagian kasus yang terdeteksi, tidak terdapat etiologi spesifik yang dapat diidentifikasi.
Di Asia Timur, sindroma yang disebabkan carbamazepine dan fenitoin dihubungkan erat dengan
(alel B*1502 dari HLA-B). Sebuah studi di Eropa menemukan bahwa petanda gen hanya relevan
untuk Asia Timur. Berdasarkan dari temuan di Asia, dilakukan penelitian serupa di Eropa, 61%
SJS/TEN yang diinduksi allopurinol membawa HLA-B58 (alel B*5801 frekuensi fenotif di
Eropa umumnya 3%), mengindikasikan bahwa resiko alel berbeda antar suku/etnik, lokus HLAB berhubungan erat dengan gen yang berhubungan.
Patogenesisnya belum jelas, disangka disebabkan oleh reaksi hipersensitif tipe III dan IV.Reaksi
tipe III terjadi akibat terbentuknya komplek antigen antibodi yang membentuk mikro-presitipasi
sehingga terjadi aktifitas sistem komplemen.Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil yang
kemudian melepaskan lisozim dan menyebabkan kerusakan jaringan pada organ sasaran (target
organ). Reaksi hipersentifitas tipe IV terjadi akibat limfosit T yang tersintesisasi berkontak
kembali dengan antigen yang sama kemudian limfokin dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang
(Djuanda, 2000: 147) .Reaksi Hipersensitif tipe III
Hal ini terjadi sewaktu komplek antigen antibodi yang bersirkulasi dalam darah mengendap
didalam pembuluh darah atau jaringan sebelah hilir.Antibodi tidak ditujukan kepada jaringan
tersebut, tetapi terperangkap dalam jaringan kapilernya.Pada beberapa kasus antigen asing dapat
melekat ke jaringan menyebabkan terbentuknya kompleks antigen antibodi ditempat
tersebut.Reaksi tipe III mengaktifkan komplemen dan degranulasi sel mast sehingga terjadi
kerusakan jaringan atau kapiler ditempat terjadinya rekasi tersebut.Neutrofil tertarik ke daerah

tersebut dan mulai memfagositosis sel-sel yang rusak sehingga terjadi pelepasan enzim-enzim sel
serta penimbunan sisa sel. Hal ini menyebabkan siklus peradangan berlanjut (Corwin, 2000: 72).

Reaksi Hipersensitif Tipe IV


Pada reaksi ini diperantarai oleh sel T, terjadi pengaktifan sel T penghasil Limfokin atau
sitotoksik oleh suatu antigen sehingga terjadi penghancuran sel-sel yang bersangkutan. Reaksi
yang diperantarai oleh sel ini bersifat lambat (delayed) memerlukan waktu 14 jam sampai 27 jam
untuk terbentuknya.
E. Pemeriksaan laboratorium
a.
Tidak didapatkan pemeriksaan laboratorium yang dapat membantu dalam penegakan
diagnosis.
b.
CBC (complete blood count) bisa didapatkan sel darah putih yang normal atau leukositosis
nonspesifik. Peningkatan jumlah leukosit kemungkinan disebakan karena infeksi bakteri.
c.

Kultur darah, urin, dan luka merupakan indikasi bila dicurigai penyebab infeksi.20

Tes lainnya:

Biopsi kulit merupakan pemeriksaan diagnostik tapi bukan merupakan prosedur unit
gawatdarurat Biopsi kulit memperlihatkan bulla subepidermal

Adanya nekrosis sel epidermis

Infiltrasi limfosit pada daerah perivaskular

F. DIAGNOSA
Diagnosis ditujukan terhadap manifestasi yang sesuai dengan trias kelainan kulit, mukosa, mata,
serta hubungannya dengan faktor penyebab yang secara klinis terdapat lesi berbentuk target, iris
atau mata sapi, kelainan pada mukosa, demam. Selain itu didukung pemeriksaan laboratorium
antara lain pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan imunologik, biakan kuman serta uji resistensi
dari darah dan tempat lesi, serta pemeriksaan histopatologik biopsi kulit.
Anemia dapat dijumpai pada kasus berat dengan perdarahan, leukosit biasanya normal atau
sedikit meninggi, terdapat peningkatan eosinofil.Kadar IgG dan IgM dapat meninggi, C3 dan C4
normal atau sedikit menurun dan dapat dideteksi adanya kompleks imun beredar.Biopsi kulit
direncanakan bila lesi klasik tak ada.Imunoflurosesensi direk bisa membantu diagnosa kasuskasus atipik.

DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding utama adalah nekrosis epidermal toksik (NET) dimana manifestasi klinis
hampir serupa tetapi keadaan umum NET terlihat lebih buruk dari pada SSJ.
G. Penatalaksanaan

Perawatan prehospital: paramedis harus mengetahui adanya tanda-tand kehilangan cairan


berat dan mesti diterapi sebagai pasien SSJ sama dengan pasien luka bakar.

Perawatan gawatdarurat harus diberikan penggantian cairan dan koreksi elektrolit.

Luka kulit diobati sebagai luka bakar.

Pasien SSJ semestinya diberikan perhatian khusus mengenai jalan nafas dan stabilitas
hemodinamik, status cairan, perawatn luka dan kontrol nyeri.

Penatalaksanaan SSJ bersifat simtomatik dan suportif.Mengobati lesi pada mulut dangan
mouthwashes, anestesi topikal berguna untuk mengurangi rasa nyeri.daerah yang
mengalami pengelupasan harus dilindungi dengan kompres salin atau burrow solution

Penyakit yang mendasari dan infeksi sekunder perlu diidentifikasi dan diterapi.Obat
penyebab harus dihentikan.

Penggunaan obat-obat steroid sistemik masih kontroversial.

Seluruh pengobatan harus dihentikan, khususnya yang diketahui menyebabkan reaksi SJS.
Penatalaksanaan awalnya sama dengan penanganan pasien dengan luka bakar, dan perawatan
lanjutan dapat berupa suportif (misalkan cairan intravena) dan simptomatik (misalkan analgesik,
dll), tidak ada pengobatan yang spesifik untuk penyakit ini.
Kompres saline atau Burow solution untuk menutupi luka kulit yang
terkelupas/terbuka.Alternatif lainnya untuk kulit adalah penggunaan calamine lotion.Pengobatan
dengan kortikosteroid masih kontroversial semenjak hal itu dapat menyebabkan perburukan
kondisi dan peningkatan resiko untuk terkena infeksi sekunder. Zat lainnya yang digunakan,
antara lain siklofosfamid dan siklosporin, namun tidak ada yang berhasil.
Pemberian immunoglobulin intravena menunjukkan suatu hal yang menjanjikan dalam
mengurangi durasi reaksi alergi dan memperbaiki gejala. Pengobatan suportif lain diantaranya
penggunaan anestesi nyeri topikal dan antiseptic, yang dapat menjaga lingkungan tetap hangat,
dan penggunaan analgesic intravena. Seorang oftalmologis atau optometris harus dikonsultasikan
secepatnya,

Oleh karena SJS sering menyebabkan pembentukan jaringan parut di dalam bola mata yang
kemudian menyebabkan vaskularisasi kornea dan terganggunya penglihatan, dan gangguan mata
lainnya. Diperlukan pula adanya program fisioterapi setelah pasien diperbolehkan pulang dari
rumah sakit.

Kortikosteroid

Bila keadaan umum baik dan lesi tidak menyeluruh cukup diobati dengan prednisone 30-40 mg
sehari.Namun bila keadaan umumnya buruk dan lesi menyeluruh harus diobati secara tepat dan
cepat.Kortikosteroid merupakan tindakan file-saving dan digunakan deksametason intravena
dengan dosis permulaan 4-6 x 5 mg sehari.
Umumnya masa kritis diatasi dalam beberapa hari.Pasien steven-Johnson berat harus segera
dirawat dan diberikan deksametason 65 mg intravena. Setelah masa krisis teratasi, keadaan
umum membaik, tidak timbul lesi baru, lesi lama mengalami involusi, dosis diturunkan secara
cepat, setiap hari diturunkan 5 mg. Setelah dosis mencapai 5 mg sehari, deksametason intravena
diganti dengan tablet kortikosteroid, misalnya prednisone yang diberikan keesokan harinya
dengan dosis 20 mg sehari, sehari kemudian diturunkan lagi menjadi 10 mg kemudian obat
tersebut dihentikan. Lama pengobatan kira-kira 10 hari.
Seminggu setelah pemberian kortikosteroid dilakukan pemeriksaan elektrolit (K, Na dan Cl).Bila
ada gangguan harus diatasi, misalnya bila terjadi hipokalemia diberikan KCL 3 x 500 mg/hari
dan diet rendah garam bila terjadi hipermatremia.Untuk mengatasi efek katabolik dari
kortikosteroid diberikan diet tinggi protein/anabolik seperti nandrolok dekanoat dan
nanadrolon.Fenilpropionat dosis 25-50 mg untuk dewasa (dosis untuk anak tergantung berat
badan).

Antibiotik

Untuk mencegah terjadinya infeksi misalnya bronkopneumonia yang dapat menyebabkan


kematian, dapat diberi antibiotic yang jarang menyebabkan alergi, berspektrum luas dan bersifat
bakteriosidal misalnya gentamisin dengan dosis 2 x 80 mg.

Infus dan tranfusi darah

Pengaturan keseimbangan cairan/elektrolit dan nutrisi penting karena pasien sukar atau tidak
dapat menelan akibat lesi dimulut dan tenggorokan serta kesadaran dapat menurun.Untuk itu
dapat diberikan infus misalnya glukosa 5 % dan larutan Darrow. Bila terapi tidak memberi
perbaikan dalam 2-3 hari, maka dapat diberikan transfusi darah sebanyak 300 cc selama 2 hari
berturut-turut, terutama pada kasus yang disertai purpura yang luas. Pada kasus dengan purpura
yang luas dapat pula ditambahkan vitamin C 500 mg atau 1000 mg intravena sehari dan
hemostatik.

Topikal

Terapi topical untuk lesi di mulut dapat berupa kenalog in orabase.Untuk lesi di kulit yang erosif
dapat diberikan sufratulle atau krim sulfadiazine perak.

H. Pengobatan SSJ/TEN
Pertama, dan paling penting, kita harus segera berhenti memakai obat yang dicurigai penyebab
reaksi. Dengan tindakan ini,kita dapat mencegah keburukan.
Orang dengan SSJ/TEN biasanya dirawat inap.Bila mungkin, pasien TEN dirawat dalam unit
rawat luka bakar, dan kewaspadaan dilakukan secara ketat untuk menghindari infeksi.Pasien SSJ
biasanya dirawat di ICU. Perawatan membutuhkan pendekatan tim, yang melibatkan spesialis
luka bakar, penyakit dalam, mata, dan kulit. Cairan elektrolit dan makanan cairan dengan kalori
tinggi harus diberi melalui infus untuk mendorong kepulihan.Antibiotik diberikan bila
dibutuhkan untuk mencegah infeksi sekunder seperti sepsis.Obat nyeri, misalnya morfin, juga
diberikan agar pasien merasa lebih nyaman.
Ada keraguan mengenai penggunaan kortikosteroid untuk mengobati SSJ/TEN. Beberapa dokter
berpendapat bahwa kortikosteroid dosis tinggi dalam beberapa hari pertama memberi manfaat;
yang lain beranggap bahwa obat ini sebaiknya tidak dipakai. Obat ini menekankan sistem
kekebalan tubuh, yang meningkatkan risiko infeksi gawat, apa lagi pada Odha dengan sistem
kekebalan yang sudah lemah.
a.

Prognosis

Steven-Johnsons Syndrome (dengan < 10% permukaan tubuh terlibat) memiliki angka kematian
sekitar 5%.Resiko kematian bisa diperkirakan dengan menggunakan skala SCORTEN, dengan
menggunakan sejumlah faktor prognostic yang dijumlahkan.Outcome lainnya termasuk
kerusakan organ dan kematian
Pathway
Alergi obat2an, infeksi mikroorganisme, neoplasma dan faktor endokrin, faktor fisik dan
makanan
Reaksi alergi tipe III

Terbentuknya kompleks antigen dan antibody


Terpangkap dalam jaringan kapiler

Mengaktifkan komplemen dan degranulasi sel mast

Kerusakan jaringan kapiler/organ

Akumulasi neutrofil

Reaksi alergi tipe IV

Sel tak aktif, kontak

kembali dengan antigen

Melepas limfosit dan sitotoksin

Reaksi radang

Kelainan kulit dan eritema

Inflamasi dermal dan epidermal

Gangguan integritas kulit

Nyeri

Kelainan selaput

lendir dari ofisiun

Kesulitan menelan

Intake in adekuat

Kelemahan fisik

< Nutrisi dari kebutuhan

Gangguan intoleransi
aktivitas
Mata

G3 Persepsi sensori: penglihatan


Konjungtifitis
ASUHAN KEPERAWATAN

1.

Gangguan integritas kulit b.d. inflamasi dermal dan epidermal

KH:

Menunjukkan kulit dan jaringan kulit yang utuh

Intervensi:
a. Observasi kulit setiap hari catat turgor sirkulasi dan sensori serta perubahan lainnya yang
terjadi.
Rasional: menentukan garis dasar dimana perubahan pada status dapat dibandingkan dan
melakukan intervensi yang tepat
b.

Gunakan pakaian tipis dan alat tenun yang lembut

Rasional: menurunkan iritasi garis jahitan dan tekanan dari baju, membiarkan insisi
terbuka terhadap udara meningkat proses penyembuhan dan menurunkan resiko infeksi
c.

Jaga kebersihan alat tenun

Rasional: untuk mencegah infeksi


d.

Kolaborasi dengan tim medis

Rasional: untuk mencegah infeksi lebih lanjut

2.

Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d. kesulitan menelan

KH:
Menunjukkan berat badan stabil/peningkatan berat badan

Intervensi:
a.

Kaji kebiasaan makanan yang disukai/tidak disukai

Rasional: memberikan pasien/orang terdekat rasa kontrol, meningkatkan partisipasi


dalam perawatan dan dapat memperbaiki pemasukan
b.

Berikan makanan dalam porsi sedikit tapi sering

Rasional: membantu mencegah distensi gaster/ketidaknyamanan


c.

Hidangkan makanan dalam keadaan hangat


Rasional: meningkatkan nafsu makan

d.

Kerjasama dengan ahli gizi

Rasional: kalori protein dan vitamin untuk memenuhi peningkatan kebutuhan metabolik,
mempertahankan berat badan dan mendorong regenerasi jaringan.

3.

Gangguan rasa nyaman, nyeri b.d. inflamasi pada kulit

KH:
a.

Melaporkan nyeri berkurang

b.

Menunjukkan ekspresi wajah/postur tubuh rileks

Intervensi:
a.

Kaji keluhan nyeri, perhatikan lokasi dan intensitasnya


Rasional: nyeri hampir selalu ada pada beberapa derajat beratnya keterlibatan jaringan

b.

Berikan tindakan kenyamanan dasar ex: pijatan pada area yang sakit
Rasional: meningkatkan relaksasi, menurunkan tegangan otot dan kelelahan umum

c.

Pantau TTV
Rasional: metode IV sering digunakan pada awal untuk memaksimalkan efek obat

d.

Berikan analgetik sesuai indikasi

Rasional: menghilangkan rasa nyeri

4.

Gangguan intoleransi aktivitas b.d. kelemahan fisik

KH:
klien melaporkan peningkatan toleransi aktivitas
Intervensi:
a.

Kaji respon individu terhadap aktivitas


Rasional: mengetahui tingkat kemampuan individu dalam pemenuhan aktivitas sehari-hari.

b. Bantu klien dalam memenuhi aktivitas sehari-hari dengan tingkat keterbatasan yang dimiliki
klien
Rasional: energi yang dikeluarkan lebih optimal
c.

Jelaskan pentingnya pembatasan energy


Rasional: energi penting untuk membantu proses metabolisme tubuh

d.

Libatkan keluarga dalam pemenuhan aktivitas klien


Rasional: klien mendapat dukungan psikologi dari keluarga

5.

G3 Persepsi sensori: kurang penglihatan b.d konjungtifitis

KH :

Kooperatif dalam tindakan

Menyadari hilangnya pengelihatan secara permanen

Intervensi:
a.

Kaji dan catat ketajaman pengelihatan

Rasional: Menetukan kemampuan visual


b.

Kaji deskripsi fungsional apa yang dapat dilihat/tidak.

Rasional: Memberikan keakuratan thd pengelihatan dan perawatan.

c.

Sesuaikan lingkungan dengan kemampuan pengelihatan:

Rasional: Meningkatkan self care dan mengurangi ketergantungan.


d.

Orientasikan thd lingkungan.

Letakan alat-alat yang sering dipakai dalam jangkuan pengelihatan klien.

Berikan pencahayaan yang cukup.

Letakan alat-alat ditempat yang tetap.

Berikan bahan-bahan bacaan dengan tulisan yang besar.

Hindari pencahayaan yang menyilaukan.

Gunakan jam yang ada bunyinya.

e.

Kaji jumlah dan tipe rangsangan yang dapat diterima klien.

Rasional: Meningkatkan rangsangan pada waktu kemampuan pengelihatan menurun.


BAB III
PENUTUP
a.

Kesimpulan

Sindrom Steven Johnson adalah sindrom yang mengenai kulit, selaput lendir di orifisium dan
mata dengan keadaan umum bervariasi dan ringan sampai berat, kelainan pada kulit berupa
eritema, vesikel atau bula dapat disertai purpura (Djuanda, 1993: 127).
Sindrom Steven Johnson merupakan hipersensitifitas yang disebabkan oleh pembentukan
sirkulasi kompleks imun yang disebabkan oleh obat-obatan, infeksi virus, dan keganasan.Pada
lebih dari setengah kasus, tidak didapatkan adanya penyebab yang spesifik.
b.

Saran

Makalah sangat jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kami sebagai kelompok mengharapkan
kritikan dan saran dari dosen pembimbing dan teman teman sesama mahasiswa. Selain itu
penyakit osteosarkoma ini sangat berbahaya dan kita sebagai host harus bisa menerapkan pola
hidup sehat agar kesehatan kita tetap terjaga.
DAFTAR PUSTAKA

Corwin, Elizabeth. J. 2001. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.


Doenges. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3. Jakarta: EGC.
Hamzah, Mochtar.2005. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 4. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Price dan Wilson.1991. Patofisiologi Konsep Klinik Proses-Proses Penyakit Edisi 2. Jakarta:
EGC.
Tim Penyusun. 1982. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Jakarta: Media Aesculapius.
Tim Penyusun. 2000. Kapita Selekta Kedokteran 2. Jakarta: Media Aesculapius

Anda mungkin juga menyukai