Anda di halaman 1dari 18

Makalah Petrokimia

Penentuan Kadar Etanol dalam Bensin dengan Metode


Kromatografi Gas-Spektroskopi Massa
Developing a method to quantify the amount of ethanol in gasoline through gas
chromatography mass spectroscopy
Oleh :

Andr Gnreux dan John Head

Analisis Kimia A-P2


Anggota Kelompok :
Isra Jayanti

J3L111053

Reny Purwanti

J3L211119

PROGRAM KEAHLIAN ANALISIS KIMIA


PROGRAM DIPLOMA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2013

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberi kemudahan
kepada kami sehingga dapat menyusun makalah berjudul Pengembangan metode
untuk mengukur kandungan etanol dalam bensin melalui kromatografi gasspektroskopi massa tepat pada waktunya. Laporan ini disusun berdasarkan atas
pemahaman dari jurnal yang dipelajari mengenai petroleum.
Terima kasih tak terhingga kami sampaikan untuk Dewi anggraini S.Si selaku
dosen penanggung jawab praktikum dan Mawang Dharma Aji serta Nanda Rizky, ST
selaku asisten praktikum yang membantu membimbing dan mengarahkan dalam
pembuatan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kata sempurna,oleh
sebab itu kritik dan saran dari pembaca sangatlah diharapkan sehingga dapat
membantu kami dalam menyusun laporan selanjutnya. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi setiap pembaca.
Bogor, 14 Oktober 2013

Isra J dan Reny P

BAB I
PENDAHULUAN
I.I Latar Belakang

Biofuel adalah bahan bakar yang berasal dari bahan organik, yang juga
disebut non-fossil energy. Berbeda dengan bahan bakar yang banyak kita kenal saat
ini yaitu bahan bakar minyak (BBM), seperti premium, pertamax, solar, maupun
minyak diesel industri yang termasuk kelompok fossil energy.
Produksi etanol (EtOH) di seluruh dunia untuk digunakan sebagai biofuel
telah tiga kali lipat dari 17 miliar liter pada tahun 2000 menjadi 52 miliar liter pada
2007. Etanol sekarang menyumbang sekitar 5,46% dari total konsumsi bahan bakar
bensin. Sementara di beberapa negara, seperti Minnesota, memerlukan campuran
etanol dalam bensin hingga sepuluh persen, negara-negara lain menjual campuran
etanol dengan harga lebih murah daripada bensin murni dan penggunaan etanol
sebagai pengoksidasi diterima untuk meningkatkan angka oktan dari gasoline.
Kesadaran akan makin berkurangnya cadangan bahan bakar berbasis fossil
energy ini membuat biofuel semakin populer. Disamping itu biofuel dikenal sebagai
energi yang ramah lingkungan karena dari berbagai studi telah menunjukkan bahwa
pada proses pembakaran terjadi penurunan kadar CO, NOx maupun hidrokarbon yang
tidak terbakar (Bode H 2002).
Banyak etanol dalam prosedur kuantifikasi bensin yang tersedia di literatur,
sebagian besar menerapkan penggunaan FT-IR atau metode lain yang tidak
memanfaatkan gas chromotography-massa Spektroskopi (GC-MS). Tidak ada
prosedur yang tersedia yang ditemukan untuk menggunakan GC-MS untuk mengukur
EtOH dalam bensin untuk ahli kimia analitis sarjana. Khususnya, ada prosedur
dikembangkan untuk mengukur benzena dan metil-t-butil eter (MBTE), karsinogen
dan pengoksidasi aditif yang kontroversial. Karena masalah ini diangkat, proyek ini
kemudian memiliki dua tujuan yang jelas yaitu untuk mengukur tingkat etanol saat ini
dalam dua sampel bahan bakar di Dakota Utara dan untuk mengembangkan prosedur
sederhana dan bebas untuk mengukur etanol dalam bensin untuk kimiawan sarjana
dengan memodifikasi prosedur GC-MS digunakan untuk menentukan konsentrasi
MBTE dan benzene dalam bensin
.
1.2 Tujuan

Makalah ini bertujuan untuk mengetahui pengembangan metode pemisahan


etanol dalam bensin menggunakan metode kromatografi gas-spektroskopi massa.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 BIOFUEL
Biofuel saat ini menjadi salah satu perhatian dunia sebagai pengganti bahan
bakar transportasi yang berasal dari minyak bumi untuk membantu menghemat biaya
energi, dan keprihatinan terkait masalah pemanasan global dengan bahan bakar fosil.
Istilah biofuel yang digunakan disini berarti setiap bahan bakar cair yang terbuat dari
bahan tanaman yang dapat digunakan sebagai pengganti bahan bakar yang berasal
dari minyak bumi. Biofuel mencakup hal-hal yang relative familiar, seperti etanol
yang dibuat dari tebu atau solar yang terbuat dari minyak kedelai sedangkan bahan
bakar yang kurang familiar seperti dimetil eter (DME) atau cairan Fischer-Tropsch
(FTL) dibuat dari biomassa lignoselulosa.
Sebuah klasifikasi baru yang dipopulerkan untuk biofuel cair adalah adalah
generasi pertama dan generasi kedua. Tidak ada definisi khusus untuk istilahistilah ini. perbedaan utama antara mereka adalah bahan baku yang digunakan.
Sebuah bahan bakar generasi pertama umumnya yang terbuat dari gula, biji-bijian,
atau benih tanaman (sering dimakan) yaitu sebagian dari biomassa di atas tanah yang
dihasilkan oleh tanaman dan pengolahan yang relative sederhana diperlukan untuk
menghasilkan bahan bakar sampai selesai (Larson 2008).
Bahan bakar generasi pertama yang sudah diproduksi dan dikomersilkan di
sejumlah Negara. Bahan bakar generasi kedua umumnya yang terbuat dari biomassa
lignoselulosa yang tidak dapat dimakan,baik residu dari produksi dari tanaman
pangan yang tidak dapat dimakan (misalnya batang jagung atau sekam padi) atau
biomassa dari seluruh tanaman yang tidak bisa dimakan (misalnya rumput). Bahan
bakar generasi kedua belum diproduksi secara komersial di negara manapun.

Gambar 1 Substitusi biofuel dengan bahan bakar umum yang berasal dari minyak bumi

Gambar 1 menunjukkan substitusi berbagai biofuel untuk bahan bakar umum


yang berasal dari petroleum. Alkohol bahan bakar dapat menggantikan bensin di
mesin busi, sedangkan biodiesel, green diesel dan DME cocok untuk digunakan
dalam kompresi mesin pembakaran. Proses Fischer-Tropsch dapat menghasilkan
berbagai bahan bakar hidrokarbon yang berbeda, yang utama yang merupakan bahan
bakar diesel seperti untuk kompresi mesin pembakaran.
Perluasan produksi biofuel yang digunakan juga menimbulkan beberapa
kekhawatiran, yang paling penting di antara yang mungkin adalah pengalihan lahan
menjauh dari penggunaan untuk makanan, serat, pelestarian keanekaragaman hayati
atau tujuan penting lainnya. Menambah tekanan pada sumber daya air untuk
menumbuhkan bahan baku biofuel juga menjadi perhatian di banyak daerah di dunia.
2.2. POTENSI BIOFUEL SEBAGAI BAHAN BAKAR ALTERNATIF
Indonesia sedang giat-giatnya mengembangkan industri biofuel dengan
memproduksi biodiesel dan bioethanol. Peranan industri ini semakin penting
mengingat kondisi saat ini harga minyak mentah berfluktuasi dan cenderung naik dan
ketersediaannya semakin terbatas. Kondisi dan kelangkaan BBM yang kini terjadi
hendaknya dijadikan momentum bagi pemerintah untuk menyiapkan kebijakan yang
mendukung penggunaan biodiesel dan bioetanol. Biodiesel dibuat dari minyak nabati
seperti minyak kelapa sawit, kelapa, jarak pagar, kapok, nyamplung, dan sebagainya.

Sedangkan bioetanol dibuat dari bahan-bahan bergula atau berpati seperti tetes tebu,
nira sorgum, nira nipah, singkong, ganyong, ubi jalar, dan tumbuhan lainnya. Peranan
kedua jenis bahan bakar alternatif itu ke depan akan sangat penting dalam mengatasi
masalah krisis energi di Indonesia. Selain mendukung mekanisme pembangunan
bersih, sebagaimana dicanangkan dalam Protokol Kyoto, pemanfaatan kedua bahan
bakar hayati itu juga akan meningkatkan perekonomian Indonesia (Departemen
pertanian 2008).
Seperti diketahui, biofuel didapatkan dari minyak nabati seperti minyak
kelapa sawit atau CPO (Crude Palam Oil) dan minyak pohon jarak pagar atau CJCO
(Crude Jatropha Curcas Oil), minyak nyamplung, biogas yang dapat dihasilkan dari
hasil fermentasi dari kotoran hewan, manusia dan tanaman gulma lainnya seperti
eceng gondok, kayambang, dan lain-lain. Mengingat pada saat ini bahan baku biofuel
banyak yang berasal dari tanaman jagung, tebu, dan kelapa sawit, maka sementara
pengamat beranggapan bahwa pengembangan biofuel telah menimbulkan dampak
negatif yaitu berkurangnya lahan pertanian pangan dan kenaikan harga pangan.
Padahal kebutuhan pangan meningkat seiring peningkatan jumlah penduduk dan
kemajuan pola makan negara-negara besar seperti China dan India. Sangat
disayangkan jika untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar yang murah dan ramah
lingkungan bagi negara maju di belahan bumi Utara, negara-negara berkembang di
belahan bumi selatan menjadi korban akibat krisis pangan. Sumberdaya pertanian
berpotensi besar untuk mendukung kebutuhan akan energi (biogas, biofuel,
biodiesel), untuk maksud konservasi dan kelestarian lingkungan (kompos, biofertilizer, bio-urine) dan untuk tujuan utama keamanan pangan (food security) itu
sendiri (Prawono et all 2011).
Sumberdaya pertanian yang terdiri dari bahan pangan (crop) limbah pertanian
dan kotoran hewan dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan. Limbah pertanian
dan kotoran hewan dapat diproses menjadi pupuk organic atau kompos yang sangat
berguna untuk meningkatkan kesuburan tanah dan menjaga keberadaan air untuk
tanaman karena bahan organic meningkatkan kemampuan dalam penahanan air tanah

(soil water holding capacity). Kotoran hewan juga berpotensi untuk dikembangkan
menghasilkan biogas yaitu merupakan energi alternatif.
2.3 KARAKTERISTIK BIOFUEL
Biofuel merupakan bahan bakar yang berasal dari minyak nabati, baik berupa
biodiesel, bioetanol, maupun bio-oil. Biodesel dalam unsur kimianya merupakan alkil
ester (metil, etil, isopropyl, dan sejenisnya) berasal dari asam-asam lemak, biasanya,
biodiesel dihasilkan dari minyak kelapa sawit, minyak biji jarak, dan sebagainya.
Biodiesel umumnya dibuat melalui reaksi metabolisis atau etanolisis minyak lemak
nabati atau hewani dengan alkohol (metanol/etanol). Karena memiliki sifat fisika dan
kimia yang mirip dengan BBM alternatif yang memiliki potensi besar untuk
memenuhi sebagian kebutuhan BBM Diesel.
Adapun karakteristik dari biodiesel adalah sebagai berikut :
1. Menurunkan tingkat opasitas asap
2. Menurunkan emisi gas buang
3. Memiliki sifat pelumas yang lebih baik dari BBM fosil
4. Bila dicampurkan dengan BBM diesel dapat meningkatkan
biodegradasibility hingga 500%
5. Mirip dengan BBM diesel, sehingga penggunaanya tidak memerlukan
modofikasi mesin
6. Tidak mengandung senyawa aromatik atau nitrogen
7. Hanya mengandung sulfur dengan kadar kurang dari 15 ppm.
8. Lebih efisien dalam pembakaran, karena mengandung 11% berat oksigen.
Sebagai bahan bakar cair, biodiesel sangat mudah digunakan dan dapat
langsung dimasukkan ke dalam mesin diesel tanpa perlu memodifikasi mesin. Selain
itu, dapat dicampur dengan solar untuk menghasilkan campuran biodiesel yang bercetane lebih tinggi. Menggunakan biodiesel dapat menjadi solusi bagi Indonesia
untuk mengurangi ketergantungan pada impor bahan bakar solar sebesar 39,7%.
Biodiesel pun sudah terbukti ramah lingkungan karena tidak mengandung sulfur.

Apabila Biodiesel memiliki banyak kemiripan dengan BBM diesel, lain halnya
dengan bioetanol. Bioetanol memiliki banyak kemiripan dengan bensin. Bioetanol
dihasilkan dari sumber nabati dari tumbuhan bergula, berselusa, atau berpati seperti
tetes tebu, nira, sorgum, nira nipah, singkong, ubi jalar dan lain-lain.
Karateristik bioetanol adalah sebagai berikut :
1. Memiliki angka oktan yang tinggi
2. Mampu menurunkan tingkat opasiti asap, emisi partikulat yang
membahayakan kesehatan dan emisi CO dan CO2
3. Mirip dengan bensin, sehingga penggunaanya tidak memerlukan modifikasi
mesin.
4. Tidak mengandung senyawa timbal
(Legowo EH 2007).
Sebagai salah satu bahan bakar alternatif, gasohol dengan porsi bioetanol
hingga 20 persen bisa langsung digunakan pada mesin otomotif berbahan bakar
bensin tanpa menimbulkan masalah teknis dan sangat ramah lingkungan. Kadar
karbonmonoksida (CO) dari hasil uji pada rpm 2.500, untuk gasohol 20 % tercatat
0,76 % gas CO, sedangkan premium mencapai angka 3,66 % dan Pertamax 2,85 %.
Proses dasar pembuatan etanol dari tumbuh-tumbuhan dalam skala besar
adalah dengan menggunakan mikroba (ragi/yeast) yang mampu memfermentasikan
gula yang terkandung didalamnya, setelah proses fermentasi terjadi, gula kemudian
mengalami proses distilasi, dehidrasi dan denaturisasi sebagai tahap akhir, namun
demikian ada beberapa jenis tanaman yang memerlukan proses tambahan pada saat
fermentasi, yaitu proses hidrolisasi agar gula dapat berubah menjadi karbohidrat.

BAB III
METODE KERJA

Parameter percobaan melibatkan kuantifikasi MTBE dan benzene dalam


bensin dengan beberapa modifikasi. Kombinasi untuk penambahan larutan standar
internal juga digunakan. Etanol murni untuk standar industri digunakan untuk
penambahan standar etanol dalam sampel. Toluene digunakan sebagai standar internal
karena terdapat dalam presentase yang wajar antara bensin E10 dan E85 dan
konsentrasinya akan tetap konstan. Toluena kemudian dapat digunakan secara
proporsional dengan konsentrasi etanol untuk memperhitungkan variasi volume
injeksi dari GC-MS autosampler. Pelarut yang digunakan adalah 95% 1chlorohexadecane. Pelarut organik ini dirpilih dalam prosedur karena pelarut ini dapat
mengelusi dari kolom dengan baik.
2.1 Persiapan larutan
Larutan disiapkan dengan menambahkan sejumlah berbagai pelarut dan etanol
murni pada sampel bensin dan menghasilkan volume akhir 1 ml. Konsentrasi tertentu
tercantum dalam Tabel 1-3 di bawah ini. terdapat enam sampel, satu dengan tanpa
penambahan standar dan lima dibuat dengan penambahan standar EtOH.
Tabel 1 Persiapan larutan sampel bensin E10 dengan 100 L sampel bensin dengan
volume akhir 1 ml.

Sampel 1
Sampel 2
Sampel 3
Sampel 4
Sampel 5
Sampel 6

E10 L

Etanol L

100
100
100
100
100
100

0
10
20
30
40
50

1-chlorohexadecane
L
900
890
880
870
860
850

Tabel 2 Persiapan larutan sampel bensin E85 dengan 50 L sampel bensin

Sampel 1
Sampel 2
Sampel 3
Sampel 4

E85 L

Etanol L

50
50
50
50

0
10
20
30

1-chlorohexadecane
L
950
940
930
920

Sampel 5
Sampel 6

50
50

40
50

910
900

Tabel 3 Persiapan larutan sampel bensin E85 dengan 25 L sampel bensin

Sampel 1
Sampel 2
Sampel 3
Sampel 4
Sampel 5
Sampel 6

E85 L

Etanol L

25
25
25
25
25
25

0
10
20
30
40
50

1-chlorohexadecane
L
975
965
955
945
935
925

Tiga ulangan dari setiap sampel disiapkan. Lima puluh empat sampel uji
dipersiapkan, dan jumlah ion yang tepat dari perangkat lunak GC-MS digunakan
hanya untuk mengintegrasikan massa untuk muatan (m / z) rasio 31 (EtOH) dan 91
(toluena) setelah arus ion total dapat dinilai oleh GC-MS. Tiga sampel dijalankan lagi
menggunakan pemantauan ion selektif menggunakan rasio yang sama m / z untuk
hasil uji yang berbeda dari metode hitung ion yang tepat .
2.2 Set up GC-MS
Penelitian ini menggunakan injector oven chromatografi gas dengan fase
gerak He. GC dilengkapi dengan autosampler. kolom GC yang digunakan adalah 5%
fenil polydimethylsiloxane kolom (0,25 pM ketebalan fase diam) yaitu panjang 30m
dengan diameter 0,25 mm. Suhu kolom yang ditetapkan sebesar 38 C selama satu
menit, kemudian menggenjot 38-60 C pada 2 C / menit, kemudian menggenjot 60200 C pada 70 C / menit, setelah itu tetap di 200 C selama enam menit. Suhu
Injektor 250 C. Sebuah split rasio 10:1 digunakan dengan Cl2CH2 sebagai pelarut.
Dua penundaan pelarut dipergunakan, satu di 0-0,5 menit untuk menghindari
konsentrasi tinggi volatil dari bensin dan udara dalam kolom, dan satu lagi di 17,521,9 menit untuk mencegah pelarut 1-chlorohexadecane. Setelah pendinginan, total
waktu berjalan per sampel adalah sekitar satu jam.

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berikut, Gambar 1 dan 2 menunjukkan dua kromatogram dari bensin E10 dan
E85 yang tidak ditambahkan standar internal EtOH. Hal ini dapat dilihat oleh
penjajaran bahwa bensin E10 berisi keragaman yang lebih luas dari berbagai jenis

senyawa kimia, diwakili oleh sejumlah besar puncak pada kromatogram. Rata-rata,
waktu retensi adalah 0,998 menit untuk EtOH, dan 2,921 menit toluena.

Gambar 1: Kromatografi dari 10% E10 dan 90% campuran 1-chlorohexadecane.

Gambar 2: Kromatografi dari 5% E85 dan 95% campuran 1-chlorohexadecane.


Penegasan puncak tertentu menjadi perhatian awal karena banyaknya senyawa hadir
dalam bensin. Resolusi puncak rendah karena tumpang tindih antara EtOH dan 2metil, butana yang ditunjukkan pada Gambar 3.

Gambar 3 Diperbesar puncak EtOH dan toluene bensin dan sampel pelarut.
Karena EtOH memiliki puncak yang membedakan pada 31 m / z dan 2-metilbutana
memiliki 31 m / z puncak, jumlah ion yang tepat digunakan untuk membedakan
komposisi daerah karena EtOH. Perbedaan spesies ini dapat dilihat pada Gambar 4,
spektrum massa atas yang dari EtOH dan 4-methylbutane pada waktu retensi
conjoining. Kedua spektrum massa bawah pada Gambar 4 adalah spektrum
perpustakaan dari software GC-MS dari molekul masing-masing. Hal ini dapat dilihat
bahwa 4-metil, butana tidak terdapat dari puncak 31 m / z.

Gambar 4 Atas: spektrum massal EtOH/2-Methyl, spektrum Butana ketika mereka


terelusi pada waktu retensi yang sama. Bawah Kiri: spektrum massa
EtOH dari perpustakaan software. M / z puncak 31 disorot. Bawah
Kanan: 2-Methyl, spektrum massa Butana dari perpustakaan software.
Hasil dari tes pertama sampel yang terbuat dari bensin E10 ditunjukkan
pada Tabel 4. Analisis ini dilakukan untuk semua sampel dan kombinasi
pengujian.
Tabel 4 Contoh Perhitungan dari data bensin diperoleh dari Sampel 1 Tes 1.

etOH

RT
(menit)
0.992

Toluen

41

2.921

etOH

0.991

puncak
Sampel 1
tes 1
ulangan 1
Sampel 1
tes 1

9698098
15882605
7
13904737

0
10

0.06106112
7
0.11416910
5

ulangan 2

Toluen

37

2.905

Sampel 1
tes 1
ulangan 3
Sampel 1
tes 1
ulangan 4
Sampel 1
tes 1
ulangan 5
Sampel 1
tes 1
ulangan 6

etOH

0.991

Toluen

38

2.893

etOH

0.997

Toluen

39

2.915

etOH

0.998

Toluen

39

2.921

etOH

1.001

Toluen

40

2.921

12179071
6
12206701
14125099
4
14458263
14768196
4
15710333
14174805
9
16472145
13801523
8

20

0.08641854
5

30

0.09790134
6

40

0.11083279
1

50

0.11935019
1

Yang tepat ion dikoreksi daerah EtOH dibagi oleh daerah dikoreksi umum toluena
untuk memberikan rasio EtOH / Toluena yang merupakan penerapan standar internal.
Rasio ini digambarkan untuk semua tes dan sampel kombinasi untuk menghasilkan
plot selain standar, dimana Gambar 5 adalah contoh yang representatif.

Gambar 5 Standar Penambahan Plot Sampel 1 Test 1, dengan pencilan dari 10 L


EtOH
Hasil dari plot ini selain standar diringkas dalam Tabel 5 (E10) dan 6 (E85). Nilainilai berasal dari membagi-x intercept dari garis paling cocok dari plot Selain standar
untuk ukuran sampel bensin.

tabel 5 Hasil kadar etOH dalam bensin E10


Persen etOH dalam E10
Sampel 1 tes 1
Sampel 1 tes 2
Sampel 1 tes 3

57.57 %
64.49%
60.54%

Nilai R2 plot penambahan


standar
0.9966
0.9917
0.9934

Tabel 6 Hasil penentuan kadar etanol dalam bensin E85


Persen etOH dalam E85
Sampel 2 tes 1
Sampel 2 tes 2
Sampel 2 tes 3
Sampel 2 tes 4
Sampel 2 tes 5
Sampel 2 tes 6

239.80 %
187.02 %
389.58 %
506.16 %
647.24 %
389.96 %

Nilai R2 plot penambahan


standar
0.6983
0.9647
0.6859
0.7410
0.8770
0.9745

Hal ini jelas bahwa hasil ini terlalu tinggi. Tes E85 menghasilkan hasil yang
menunjukkan volume yang lebih tinggi dari etanol dalam sampel asli dari volume
bensin awalnya diuji. bensin E10 menghasilkan hasil yang enam kali batas legal
etanol diperbolehkan sebesar 10% .
Review dari sampel E10 menunjukkan bahwa semua nilai R2 lebih besar dari 0.99,
yang menunjukkan bahwa masalah di sini tidak berasal dari kesalahan manusia atau
pemipetan dalam membuat sampel. Pada saat ini, penjelasan yang paling mungkin
adalah kesalahan sistemik GC-MS dari beberapa jenis. Nilai-nilai yang begitu jauh
dari nilai-nilai yang diharapkan, dan bervariasi sedemikian rupa, bahwa perhitungan
kesalahan statistik tidak bahkan mencoba sebagai data yang jelas fundamental cacat.
Langkah berikutnya dalam penelitian ini harus diarahkan pada identifikasi sumber
dari kesalahan sistematik terlihat di sini. Untuk melakukan hal ini, sampel EtOH
dengan toluena harus dibuat untuk melihat apakah plot kalibrasi memiliki intercept
nol.

BAB V
KESIMPULAN
Hasil studi ini dapat dibuang sebagai tidak akurat. Satu harus mencatat bahwa,
bagaimanapun, plot penambahan standar adalah linear. Tampaknya ada kesalahan
sistematis yang terjadi di sini yang mungkin dimulai dengan peralatan, perangkat
lunak, atau bahan yang digunakan. Satu penjelasan yang mungkin adalah bahwa
sementara plot yang linear, lereng tidak cukup curam. Ini bisa menjadi baik karena
kegagalan peralatan atau perangkat lunak yang mengintegrasikan puncak untuk
perangkat lunak. Integrasi Manual puncak, serta sampel EtOH murni tanpa bensin
dan dengan standar internal yang ditambahkan toluena harus dijalankan dengan
metode yang sama.
Kemudahan dalam persiapan prosedur ini dan hasilnya sangat linier
menjadikan prosedur ini tampak seperti pilihan yang layak untuk menentukan jumlah
etanol dalam bensin melalui GC - MS . Penelitian di masa depan harus berusaha
untuk pertama kalibrasi semua peralatan dan perangkat lunak seperti yang dibahas di
atas atau menggunakan peralatan yang sama sekali berbeda . Setelah langkah-langkah
telah diambil, parameter lain yang dapat disesuaikan untuk kuantifikasi lebih
mungkin volume awal bensin dan jumlah etanol murni ditambahkan dalam
penambahan standar. Kedua kemungkinan ini bisa diturunkan untuk menghindari
mendekati batas atas kuantifikasi dan ini mungkin menghasilkan hasil yang lebih
akurat. Juga dimulai dengan suhu awal yang lebih rendah (yang waktu penghalang
dalam penelitian ini karena pendinginan ) dapat membantu memisahkan etanol dari
senyawa volatil yang memiliki titik didih lebih rendah dan meningkatkan akurasi
dalam pembacaan spektrometer massa karena jumlah yang lebih rendah dari ion
memukul detektor pada suatu waktu tertentu. Dalam penjumlahan, pengembangan
prosedur ini, meskipun saat ini tidak akurat, mungkin karena kesalahan sistematik,
terlihat menjadi dasar menjanjikan yang menjadi dasar kuantifikasi etanol dalam
bensin dengan GC - MS untuk mahasiswa sarjana analitis.

Daftar pustaka
Bode H, 2002, Bahan Bakar Alternatif Biodiesel, Medan: Universitas Sumatera Utara.
Departemen Pertanian,2008, Technological Needs Assessments (TNA) Sektor PertanianDraft, Workshop Working Group on Technology Transfer, Jakarta
Legowo EH. 2007. (Sekretaris I, Tim Nasional Pengembangan Bahan Bakar Nabati/ SAM
ESDM Bidang SDM dan Teknologi), Blue Print Pengembangan Bahan Bakar
Nabati disampaikan dalam seminar dalam rangka Biofuel Expedition 2007.
Larson, Eric D. 2008. Biofuel production technologies: status, prospects and implications for
trade and development, United Nations Conference on Trade and Development, New
York and Geneva.
Purwono BSA, Salim U, Djumahir, Solimun, 2011, Strategi Pengembangan Energi
Terbarukan (Bio-fuel) di Indonesia, Malang: Universitas Brawijaya.

Anda mungkin juga menyukai