Anda di halaman 1dari 83

1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Segala makhluk ditetapkan Allah berpasangan. Hakikat ini ditegaskan oleh Al-Quran
antara lain dengan firman-Nya dalam Surat al-Dzariyat ayat (49)1,Segala sesuatu Kami
ciptakan berpasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah, juga dalam Surat Yasin
ayat (36), Mahasuci Allah yang telah menciptakan semua pasangan baik dari apa yang
tumbuh di bumi, dan dari jenis mereka (manusia) maupun dari (makhluk-makhluk) yang
tidak mereka ketahui. Ketentuan berpasangan mengenai manusia dapat dilihat dalam jenis
laki-laki dan perempuan, sebagaimana firman Allah dalam Surat an-Najm ayat (45),
Bahwasannya Dialah yang menciptakan berpasangan laki-laki dan perempuan.
Al-Quran menjelaskan bahwa manusia (laki-laki) secara naluriah, disamping mempunyai
keinginan terhadap anak keturunan, harta kekayaan dan lain-lain, juga menyukai lawan
jenisnya.2 Demikian juga sebaliknya perempuan mempunyai keinginan yang sama. Untuk
memberikan jalan keluar yang terbaik mengenai hubungan manusia yang berlainan jenis
itu, Islam menetapkan suatu ketentuan yang harus dilalui yaitu perkawinan.3
Mengenai hukum perkawinan, Abbas Mahmud Al-Aqqad berpendapat
bahwa hukum perkawinan yang baik adalah yang menjamin dan memelihara hakikat
perkawinan untuk menghadapi segala keadaan yang terjadi atau yang mungkin terjadi, 4
termasuk kemungkinan terjadinya poligami.
Hukum perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Undang-undang ini menganut asas monogami,
sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 3:

1; Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai
seorang isteri. Seorang isteri hanya boleh mempunyai seorang suami.

2; Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari
seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Asas monogami dalam Undang-undang Perkawinan

ini tidak mutlak, sebab masih

memberikan kemungkinan seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila
dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

1 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, Mizan, Bandung, 1998, h. 191-192


2 Q.S. Ali Imran : 14
3 Q.S. al-Nur : 32-33
4 Abbas Mahmud al-Aqqad, Falsafah al-Quran, Dar al-Hilal, Cairo, Mesir, 1985, h.84

Seorang suami yang akan melakukan poligami wajib mengajukan permohonan izin
poligami ke pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Nomor
1 Tahun 1974 jo. Pasal 40 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
Penjelasan Pasal 3 ayat (2) Undang-undang

Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan

bahwa pengadilan dalam memberi putusan selain memeriksa apakah syarat yang tersebut
dalam Pasal 4 dan Pasal 5 telah dipenuhi harus mengingat pula apakah ketentuanketentuan hukum perkawinan dari calon suami mengizinkan adanya poligami.5
Pengadilan tersebut hanya memberi izin apabila permohonan izin poligami memenuhi
alasan-alasan yang telah ditentukan oleh Undang-undang Perkawinan dalam Pasal 4 ayat
(2):
Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang
suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila:
a. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri
b.isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan
Seorang suami yang mengajukan permohonan izin poligami juga harus memenuhi syaratsyarat sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 5 Undang-undang Perkawinan, yaitu:
a. Adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri. Persetujuan ini tidak diperlukan apabila isteri
yang telah ada tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak
dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya
dua tahun atau sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari hakim
pengadilan bersangkutan.6
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anakanak mereka.
c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak
mereka.
Pengadilan kemudian memeriksa mengenai ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan
seorang suami berpoligami dan syarat-syarat yang telah ditentukan Undang-undang
Perkawinan. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 41 Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975.
Alasan-alasan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 tersebut bersifat limitatif, artinya pengadilan hanya memberi izin
poligami apabila permohonan izin poligami memenuhi minimal salah satu dari alasanalasan

tersebut. Seorang suami hanya dapat diizinkan

berpoligami oleh pengadilan,

apabila permohonannya memenuhi minimal salah satu alasan-alasan yang telah ditentukan
dalam undang-undang.

5 Pasal 3 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan penjelasannya.


6 Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Universitas Indonesia Press, Jakarta, 1986, h.61.

Pengadilan Agama sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari


keadilan

yang

beragama

Islam

mengenai

perkara

perdata

tertentu

berwenang

mengabulkan/mengizinkan atau tidak mengizinkan permohonan izin poligami yang diajukan


oleh seorang suami.7 Pengadilan Agama hanya akan memberikan izin bagi seorang suami
untuk berpoligami apabila permohonan izin poligami itu telah memenuhi alasan-alasan
tersebut.
Ketentuan hukum yang mengatur poligami sudah jelas bahwa seorang suami hanya dapat
diizinkan oleh Pengadilan Agama untuk berpoligami apabila telah memenuhi alasan-alasan
yang ditentukan undang-undang. Dengan pernyataan lain bahwa permohonan izin poligami
yang

tidak

memenuhi

alasan-alasan

tersebut,

maka

hakim

tidak

dapat

mengabulkan/mengizinkan permohonan izin poligami.


Dalam penerapannya di Pengadilan Agama Malang, ada beberapa permohonan izin
poligami yang tidak memenuhi alasan-alasan yang ditentukan undang-undang ternyata
hakim telah mengabulkan/mengizinkan permohonan tersebut.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, maka dapat dirumuskan masalah sebagai
berikut :
1. Bagaimanakah penerapan izin poligami di Pengadilan Agama ?
2. Faktor-faktor apakah yang menjadi pertimbangan hakim Pengadilan Agama dalam
mengabulkan permohonan izin

poligami dengan alasan di luar ketentuan undang-

undang
3. Bagaimanakah seharusnya ketentuan hukum yang mengatur pelaksanaan izin poligami
di Pengadilan Agama ?
1.3. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu hukum
pada umumnya, dan khususnya hukum perkawinan yang berkaitan dengan poligami.
Penelitian ini diharapkan juga memberikan kegunaan bagi dunia praktik peradilan di
Pengadilan Agama, baik bagi hakim, pengacara, yustisiabel maupun pengambil kebijakan
hukum.
1.4. Keaslian Penelitian
Menurut

pengetahuan

penulis,

penelitian

mengenai pertimbangan hakim

Pengadilan Agama dalam mengabulkan permohonan izin poligami dengan alasan di luar
ketentuan undang-undang ini belum pernah ada yang meneliti, sehingga dapat dipandang
sebagai penelitian yang pertama kalinya.
1.5. Tujuan Penelitian

7 Pasal 10 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 jis. Pasal 49 Undang-undang Nomor 7
Tahun 1989, Pasal 4 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.

Tujuan penelitian ini sebagai berikut :

1; Untuk mengetahui penerapan izin poligami di Pengadilan Agama.


2; Untuk mengetahui faktor-faktor yang menjadi pertimbangan hakim Pengadilan Agama
dalam mengabulkan permohonan izin poligami dengan alasan di luar ketentuan
undang-undang.

3; Untuk mengetahui ketentuan hukum yang seharusnya diberlakukan dalam mengatur


pelaksanaan izin poligami di Pengadilan Agama.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Peradilan Agama
2.1.1. Pengertian
Peradilan atau rechtsprak dalam bahasa Belanda dan judiciary dalam bahasa
Inggris adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan tugas negara dalam menegakkan
hukum dan keadilan. Pengadilan atau rechtbank dalam bahasa Belanda dan court dalam
bahasa Inggris adalah badan yang melakukan peradilan, yaitu memeriksa, mengadili dan
memutus perkara-perkara.8
Menurut Sudikno Mertokusumo, peradilan merupakan salah satu cara pelaksanaan hukum
dalam hal konkrit adanya tuntutan hak, fungsi tersebut dijalankan oleh suatu badan yang
berdiri sendiri dan diadakan oleh negara, serta bebas dari pengaruh apa atau siapa pun
dengan cara memberi putusan yang bersifat mengikat dan berwibawa, 26 sedangkan
pengadilan adalah hal memberikan keadilan, yakni yang bertalian dengan tugas badan
pengadilan atau hakim dalam memberi keadilan, yaitu memberikan kepada yang
bersangkutan atau yang mohon keadilan apa yang menjadi haknya atau apa hukumnya.27
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 jo. Undang-undang Nomor 35
Tahun 1999 dalam Pasal 10 ayat (1) dan penjelasannya membedakan empat lingkungan
peradilan di Indonesia, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan
Peradilan Tata Usaha Negara.
Peradilan Agama adalah salah satu di antara tiga peradilan khusus di Indonesia,
peradilan khusus lainnya adalah Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negera.
Peradilan Agama merupakan peradilan khusus karena mengadili perkara-perkara tertentu
atau mengenai golongan rakyat tertentu, sedangkan Peradilan Umum adalah peradilan bagi
rakyat pada umumnya mengenai baik perkara perdata maupun perkara pidana.

8Subekti, Kamus Hukum, Pradnya Pramita, Jakarta, 1978, h. 91-92.


26Sudikno Mertokusumo, Bunga Rampai Ilmu Hukum, dalam M. Fatich, Pembuktian dengan
Saksi pada Pengadilan Agama, Tesis, PPS Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 1995, h.23.
27Sudikno Mertokusumo, Sejarah Peradilan dan Perundang-undangannya di Indonesia sejak
1942 dan Apakah Kemanfaatannya bagi Kita Bangsa Indonesia, dalam M. Fatich, ibid., h.24.

Lingkungan peradilan tersebut masing-masing mempunyai lingkungan wewenang


mengadili tertentu dan meliputi badan-badan peradilan

tingkat pertama dan tingkat

banding. Lingkungan Peradilan Umum terdiri dari Pengadilan Negeri sebagai pengadilan
tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi sebagai pengadilan tingkat banding. Lingkungan
Peradilan Agama terdiri dari Pengadilan Agama sebagai pengadilan tingkat pertama dan
Pengadilan Tinggi Agama sebagai pengadilan tingkat banding. Lingkungan Peradilan Militer
terdiri dari Mahkamah Militer sebagai pengadilan tingkat pertama dan Mahkamah Militer
Tinggi sebagai pengadilan tingkat banding. Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara terdiri
dari Pengadilan Tata Usaha Negara sebagai pengadilan tingkat pertama dan Pengadilan
Tinggi Tata Usaha Negara sebagai pengadilan tingkat banding.
Empat lingkungan peradilan tersebut berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai
pengadilan negara tertinggi sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 10 ayat (2) Undangundang Nomor 14 Tahun 1970 jo. Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999.
Dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 pengertian Peradilan Agama
disebutkan dalam Pasal 1 angka 1 bahwa Peradilan Agama adalah peradilan bagi orangorang yang beragama Islam, sedangkan pengertian pengadilan disebutkan dalam Pasal 1
angka 2 bahwa pengadilan adalah Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama di
lingkungan Peradilan Agama.
Pengertian

yang diberikan oleh Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tersebut

menggambarkan seolah-olah Peradilan

Agama sebagai peradilan Islam yang bersifat

universal. Menurut konsep Islam secara universal, peradilan Islam meliputi segala jenis
perkara menurut ajaran Islam secara universal. Peradilan Agama adalah peradilan Islam
karena jenis-jenis perkara yang menjadi kompetensinya adalah jenis perkara menurut
agama Islam, namun Peradilan Agama adalah

peradilan Islam yang bersifat limitatif

sebagaimana ketentuan Pasal 2 jo. Pasal 49 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989,


sehingga kompetensi Peradilan Agama tidak mencakup kompetensi menurut Peradilan
Islam secara universal.1
Batasan Peradilan Agama yang lebih mendekati gambaran sebenarnya dari peradilan
Agama adalah yang diberikan oleh Penjelasan Pasal 10 ayat (1) Undang-undang Nomor 14
Tahun 1970 jo. Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 yang menyatakan
Peradilan Agama

merupakan peradilan khusus

bahwa

karena

mengadili perkara-perkara tertentu atau mengenai golongan rakyat tertentu. Hal demikian
sejalan dengan ketentuan Pasal 1 angka 1 jis. Pasal 2, Pasal 49, dan Pasal 50 Undangundang Nomor 7 Tahun 1989.
Dari ketentuan-ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa golongan rakyat yang
diadili oleh Peradilan Agama adalah golongan rakyat yang beragama Islam sebagaimana
Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, sedangkan materi perkara yang
menjadi kompetensi Peradilan Agama adalah perkara-perkara bidang perkawinan,

111 Raihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, Rajawali, Jakarta, 1990, h..6.

kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, dan shadaqaf sebagaimana

Pasal 49 jo. Pasal 50

Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989.


Dalam doktrin, Sudikno Mertokusumo memberikan pengertian Peradilan Agama
sebagai peradilan khusus, yaitu peradilan dengan yurisdiksi khusus atau terbatas karena
mengadili perkara-perkara tertentu dan golongan rakyat tertentu.1
Pengertian tersebut adalah tepat, sebab dapat menggambarkan letak kekhususan dari
Peradilan Agama, yaitu sebagai peradilan dengan yurisdiksi terbatas. Keterbatasan itu
terletak pada dua hal, yaitu subjek hukum dan materi hukumnya. Subjek hukumnya adalah
orang-orang yang beragama Islam, sedangkan materi hukumnya adalah perkara-perkara
perdata Islam tertentu, yaitu perkawinan kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, dan shadaqah.
Apabila dilihat dari aspek gramatikal, istilah Peradilan Agama dapat berarti Peradilan
Agama bagi agama apa saja yang ada secara sah di Indonesia, yaitu Islam, Katholik,
Protestan, Hindu, Budha, dan Konghucu. Hal ini dapat diartikan bahwa agama-agama
selain Islam juga memiliki lembaga peradilan agamanya masing-masing. Cara pandang
demikian tidak dapat dibenarkan, sebab untuk memahami maksud suatu undang-undang
atau hukum tidak dapat semata-mata dilihat dari bunyi istilah atau bahasanya dengan
penafsiran gramatikal, tetapi harus pula dilihat dari sudut sejarah dan kenyataan sosial
yang hidup pada waktu hukum itu diformulasikan, yakni dengan melalui penafsiran historis
dan sosiologis.
Secara historis dan sosiologis, Peradilan Agama yang dimaksud adalah Peradilan
Agama Islam sehingga hanya agama Islam yang berhak terhadap istilah Peradilan Agama,
sedangkan selain agama Islam tidak dapat menuntut peluang terhadap penggunaan istilah
Peradilan Agama tersebut.
Secara yuridis, Peradilan Agama yang diberlakukan berdasarkan Pasal II Aturan
Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 adalah Peradilan Agama Islam, sebab sejak
dilembagakan secara formal pada tahun 1882 berdasarkan Staatsblad 1882 Nomor 152,
yang disebut Peradilan Agama adalah Peradilan Agama Islam. Demikian pula peraturan
perundang-undangan yang lahir kemudian menyebut Peradilan Agama, yaitu Undangundang Darurat Nomor 1 Tahun 1951, Undang-undang Nomor 19 Tahun 1964, Undangundang Nomor 14 tahun 1970, dan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, maka yang
dimaksudkan adalah Peradilan Agama Islam.28
2.1.2. Dasar Hukum
Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa segala warga
negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Hal yang penting
dalam pasal ini adalah ketentuan persamaan di depan hukum dalam konstitusi bila
mempertimbangkan

jaminan konstitusional yang diberikan kepada berbagai golongan

1 Sudikno Mertokusumo, Bunga Rampai Ilmu Hukum, dalam M. Fatich, op.cit., h..19.
28 Mahfud MD, Peluang Konstitusional bagi Peradilan Agama, dalam M. Fatich, ibid., h.19.

masyarakat Indonesia. Mengenai terjaminnya hak-hak warga negara di bidang agama


adalah Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang menetapkan bahwa negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan
untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Penafsiran sistematis Pasal 27 ayat (1) jo Pasal 29 ayat (2) adalah hubungan lex generalis
dan lex specialis. Persamaan di depan hukum tanpa diskriminasi tersebut berlaku umum
sehingga bersifat lex generalis. Hak untuk memeluk agamanya masing-masing dan
beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu bersifat lex specialis. Semua
penduduk diberi hak memeluk dan menjalankan ibadat agamanya masing-masing. Ada
kekhususan hukum untuk pemeluk agama tertentu dan akibatnya adanya peradilan khusus
untuk pemeluk agama tertentu.29
Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kekuasaan
kehakiman menurut undang-undang. Undang-undang yang mengatur tentang kekuasaan
kehakiman adalah Undang-undang

No. 14 Tahun 1970 jo. Undang-undang Nomor 35

Tahun 1999, dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-undang tersebut menyebutkan :


Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan:
a. Peradilan Umum
b. Peradilan Agama
c. Peradilan Militer
d. Peradilan Tata Usaha Negara
Pasal 12 Undang-undang tersebut menyebutkan bahwa susunan, kekuasaan serta
acara dari badan-badan peradilan diatur dalam undang-undang tersendiri.
mengenai Peradilan Agama diatur dalam Undang-undang Nomor

Khusus

7 Tahun 1989 yang

dimuat dalam Lembaran Negara Nomor 49 Tahun 1989.


2.1.3. Kompetensi
Kompetensi pengadilan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu kompetensi absolut
(absolute competentie) dan kompetensi relatif (relative competentie). Kompetensi absolut
adalah kewenangan pengadilan untuk mengadili berdasarkan materi hukum (hukum
material).
Kompetensi atau kewenangan absolut Pengadilan Agama diatur dalam Pasal 49 jo.
Pasal 50 Undang-undang No. 7 Tahun 1989. Pasal 49 ayat (1) menyebutkan:
Pengadilan

Agama

bertugas

dan

berwenang

memeriksa,

memutus,

dan

menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang


beragama Islam di bidang:
a. perkawinan

29 Ismail Sunny dalam Amrullah Ahmad et.al., Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem
Ketatanegaraan Indonesia, PP IKAHA, Jakarta, 1994, h.200-201.

b. kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam


c. wakaf dan shadaqah.
Kewenangan di bidang perkawinan, menurut Pasal 49 ayat (2) ialah hal-hal yang
diatur dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku.
Penjelasan pasal tersebut menyebutkan :
Yang dimaksud dengan bidang perkawinan yang diatur dalam Undang-undang No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan antara lain adalah :

1; izin beristeri lebih dari seorang,


2; izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 tahun dalam hal
orang tua atau wali atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat,

3; dispensasi kawin,
4; pencegahan perkawinan,
5; penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah,
6; pembatalan perkawinan,
7; gugatan kelalaian atas kewajiban suami atau isteri,
8; perceraian karena talak,
9; gugatan perceraian,
10; penyelesaian harta bersama,
11; mengenai penguasaan anak-anak,
12; ibu dapat memikul biaya penghidupan anak bilamana bapak yang seharusnya
bertanggung jawab tidak memenuhinya,

13; penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas isteri
atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas isteri,

14; putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak,


15; putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua,
16; pencabutan kekuasan wali,
17; penunjukan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal kekuasaan seorang
wali dicabut,

18; menunjuk seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18 tahun
yang ditinggal kedua orang tuanya padahal tidak ada penunjukan wali oleh orang
tuanya,

19; pembebanan kewajiban kerugian terhadap wali yang telah menyebabkan kerugian
atas harta benda anak yang ada di bawah kekuasaannya,

20; penetapan asal-usul seorang anak,


21; putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan
campuran,

22; pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-undang


Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang
lain.
Kewenangan di bidang kewarisan, menurut Pasal 49 ayat (3) ialah penentuan siapa
yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian
masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut.
Kewenangan absolut lainnya adalah wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan
hukum Islam serta wakaf dan shadaqah.
Ketentuan Pasal 49 ayat (1) tersebut secara jelas menyatakan bahwa akidah Islam
yang melekat pada jiwa seseorang menjadi patokan untuk menyelesaikan persoalan
sengketa hukum perdata kekeluargaan dengan hukum Islam sebagai hukum yang hidup
(positif) bagi keluarga muslim. Atas dasar asas personalitas keislaman ini kompetensi
absolut Peradilan Agama kini berkembang, misalnya bidang pengangkatan anak. Hal ini
dibuktikan antara lain sebagaimana pendapat yang berkembang dalam Rakernis
Mahkamah Agung RI yang cenderung mengarah kepada pendapat bahwa sepanjang
memenuhi asas personalitas keislaman maka pengangkatan anak merupakan kewenangan
Pengadilan Agama. Pengadilan Agama Bantul dan Pengadilan Agama Bengkulu telah
mengabulkan perkara permohonan pengangkatan anak.30
Menurut Undang-undang Nomor

14 Tahun 1970 jo. Undang-undang Nomor 35 Tahun

1999, badan-badan peradilan hanya berwenang menerima, memeriksa, mengadili serta


menyelesaikan setiap perkara yang bersifat sengketa
(kontensius), sedangkan perkara permohonan (voluntair) bukan menjadi wewenang badanbadan peradilan kecuali ditentukan undang-undang menjadi wewenang badan peradilan.31
Permohonan

pengangkatan

anak

tidak

ditentukan

oleh

undang-undang

sebagai

kewenangan Pengadilan Agama. Apabila Pengadilan Agama memberikan penetapan


voluntair yang telah berkekuatan hukum tetap dan ternyata putusan tersebut bukan
merupakan wewenangnya

sebagaimana ditentukan undang-undang, maka putusan

tersebut tidak mempunyai dasar hukum dan pihak yang berkepentingan dapat mengajukan
pembatalan kepada Mahkamah Agung.
Berkaitan dengan kompetensi absolut, Pasal 50 memberikan batasan:
Dalam hal terjadi sengketa mengenai hak milik atau keperdataan lain dalam perkaraperkara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 49, maka khusus mengenai objek
yang menjadi sengketa tersebut harus diputus lebih dahulu oleh pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Umum.

30 M. Fauzan, Permohonan Pengangkatan Anak bagi Keluarga Muslim adalah Wewenang


Absolut Peradilan Agama, dalam Mimbar Hukum No.55 Th XII 2001, Al-Hikmah, Jakarta, h.73.
31 Pasal 2 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 dan Penjelasannya.

10

Penjelasan Pasal 50 tersebut menyebutkan bahwa penyelesaian terhadap objek


yang menjadi sengketa dimaksud tidak berarti menghentikan proses peradilan di
Pengadilan Agama atas objek yang tidak menjadi sengketa itu.
Berdasarkan ketentuan Pasal 50 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 dan
penjelasannya dapat disimpulkan bahwa sengketa milik merupakan kewenangan mutlak
Pengadilan Negeri, sedangkan kewenangan Pengadilan Agama tersebut terbatas atas
objek yang tidak tersangkut sengketa milik.
Kewenangan relatif adalah kekuasaan mengadili berdasarkan wilayah atau daerah.
Kekuasaan relatif Pengadilan Agama sesuai dengan tempat dan kedudukannnya.
Pengadilan Agama berkedudukan di kota atau di ibu kota kabupaten dan daerah hukumnya
meliputi wilayah kota atau kabupaten. Pengadilan Tinggi Agama berkedudukan di ibu kota
propinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah propinsi.32
Dalam kenyataannya, berdasarkan pertimbangan tertentu ada Pengadilan Agama yang
berkedudukan selain di kota atau ibukota kabupaten, misalnya Pengadilan Agama Bawean
dan Pengadilan Agama Kangean. Atas dasar pertimbangan geografis, Pengadilan Agama
tersebut berkedudukan di ibukota kecamatan. Keberadaan Pengadilan Agama tersebut
sebagai kekecualian yang dibenarkan oleh Penjelasan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 yang menyatakan bahwa pada dasarnya
Pengadilan Agama ada di kotamadia

tempat kedudukan

atau ibukota kabupaten yang daerah hukumnya

meliputi wilayah kotamadia atau kabupaten, atau tidak tertutup kemungkinan adanya
kekecualian. Adanya kekecualian tersebut telah terjadi pengalokasian daerah hukum
pengadilan yang wilayahnya lebih kecil daripada wilayah kota atau kabupaten.
Adanya kekecualian tersebut banyak ditemukan, disebabkan proses pemecahan
wilayah kota atau kabupaten terjadi terus menerus seiring dengan pertumbuhan dan
penyebaran penduduk, juga terjadinya proses perubahan dari kawasan pedesaan menuju
ke kawasan perkotaan. Selain itu, pembentukan pengadilan dalam lingkungan Peradilan
Agama dilakukan terus menerus untuk memenuhi tuntutan kebutuhan karena beban
perkara semakin besar dan untuk melakukan penyesuaian dengan pengembangan
pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.
2.1.4. Sejarah Peradilan Agama
Sebelum Islam datang ke Indonesia telah dikenal peradilan di kalangan masyarakat,
yaitu Peradilan Perdamaian Keluarga atau Perdamaian Kampung, Peradilan Pepaduan
atau Peradilan Padu, dan Peradilan Pradata.33 Peradilan Perdamaian Kampung sebagai
peradilan sehari-hari atau sewaktu-waktu diperlukan oleh masyarakat, sedangkan peradilan
kedua adalah Peradilan Padu yang mengurus perkara-perkara mengenai kepentingan

32 Pasal 4 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 dan Penjelasannya.


33 Tresna, Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad, Pradnya Paramita, Jakarta, 1977, h.14.

11

rakyat yang tidak dapat didamaikan secara kekeluargaan oleh hakim Peradilan Perdamaian
Kampung. Hukum material peradilan ini bersumber pada hukum kebiasaan dalam praktik
sehari-sehari atau hukum tidak tertulis.34
Peradilan Pradata mengurus perkara-perkara yang diajukan kepada raja, terutama perkaraperkara yang berkaitan dengan keamanan dan ketertiban negara. Peradilan Pradata
berkedudukan di ibukota negara dengan hakim ketua adalah raja dan hakim-hakim anggota
terdiri dari pejabat tinggi kerajaan, sehingga peradilan ini merupakan peradilan negara
tertinggi. Hukum materialnya bersumber pada hukum Hindu dan aturan hukumnya
dilukiskan dalam papakem atau kitab hukum sehingga berupa hukum tertulis.35
Agama Islam masuk ke Indonesia pada abad pertama Hijriyah atau abad ketujuh Masehi
yang dibawa oleh para saudagar dari Arab yang sekaligus mereka berdakwah,36 sehingga
masyarakat mulai melaksanakan ajaran dan aturan-aturan agama Islam yang bersumber
pada kitab-kitab fiqh. Kitab-kitab tersebut memuat aturan dan tata cara ibadah serta sistem
peradilan yang disebut qadha.37
Peradilan qadha sebagaimana dalam kitab fiqh belum dapat dilaksanakan sepenuhnya
sehingga untuk menyelesaikan perkara-perkara bagi mereka yang beragama Islam
dilakukan tahkim, yaitu para pihak yang berperkara secara sukarela menyerahkan perkara
mereka kepada seorang ahli agama untuk diselesaikan dengan ketentuan bahwa para
pihak akan mematuhi putusan tersebut. Tahkim ini selanjutnya melembaga sebagai
peradilan syara di beberapa tempat, bahkan pada beberapa kerajaan, peradilan syara
tersebut berdampingan secara baik dengan peraturan raja yang umumnya bersumber dari
adat. Periode tahkim ini diduga sebagai awal perkembangan Peradilan Agama di
Indonesia.38
Periode selanjutnya disebut periode Tauliyah Ahl al Halli wa al Aqd, yang dapat dilihat
ketika pemerintah Hindia Belanda mulai menyerahkan sebagian wewenang peradilan
kepada sultan-sultan atau raja-raja seperti kerajaan Samudra Pasai, Aceh, Demak dan
Banten.
Periode setelah itu adalah periode Tauliyah dari Imam, yang dimulai ketika Islam
datang dan diterima raja-raja seperti pada kerajaan Mataram, sehingga para hakim
pelaksana peradilan diangkat oleh sultan atau imam atau disebut wali al amr. Jabatan
keagamaan hampir di semua swapraja Islam merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dengan jabatan pemerintahan umum pada periode ini, misalnya pada tingkat desa ada
jabatan Kaum, Kayim, Modin, Amil, pada tingkat kecamatan ada yang disebut Penghulu

34 Hilman Hadikusuma, Hukum ketatanegaraan Adat, Alumni, Bandung, 1981, h.168, juga lihat
Husni Rahim et. al., Peradilan Agama di Indonesia, Dirbinbapera Islam, 2000, h.1.
35 Ibid.
36 Kesimpulan Hasil Seminar Masuknya Islam ke Indonesia, dalam Husni Rahim et.al., Peradilan
Agama di Indonesia, Dirbinbapera Islam, 2000, h.2.
37 Zaini Ahmad Nuh, dalam Husni Rahim et.al.,ibid.
38 Ibid.

12

Naib, tingkat kabupaten ada Penghulu Seda, dan pada tingkat kerajaan disebut Penghulu
Agung yang berfungsi sebagai hakim atau qadhi dengan dibantu beberapa penasihat yang
kemudian dikenal dengan Pengadilan Surambi39 karena bertempat di bagian depan masjid
(surambi masjid). Pengadilan Surambi merupakan Collegiale Rechtsprak, yang kelihatan
sekali unsur musyawarah dan mufakatnya.40
Kepustakaan yang ada menunjukkan bahwa sebelum Peradilan Agama diresmikan tahun
1882, pemerintah kolonial telah mengatur keberadaan Peradilan Agama di masyarakat
Islam Indonesia. Pengaturan tersebut dapat dilihat antara lain:41

1; Staatsblad Nomor 22 Tahun 1820, yang dalam Pasal 13 menyebutkan bahwa


Bupati wajib memperhatikan soal-soal agama Islam dan untuk menjaga para pendeta
dapat melakukan tugas mereka sesuai dengan adat kebiasaan orang Jawa seperti
dalam perkawinan, pembagian pusaka dan sejenis itu.
b.

Staatsblad Nomor

12 Tahun 1823 tentang pendirian Pengadilan Agama di Kota

Palembang yang diketuai oleh Pangeran Penghulu, sedangkan banding dapat


dimintakan kepada Sultan. Wewenang Pengadilan Agama Palembang meliputi
perkawinan, perceraian, pembagian harta, kepada siapa diserahkan hak apabila orang
tua bercerai, apa hak masing-masing orang tua terhadap anak tesebut, pusaka dan
wasiat, perwalian, dan perkara-perkara lainnya yang menyangkut agama.
c.

Resolusi tanggal 1 Desember 1835 yang dimuat dalam Staatsblad Nomor 58 Tahun
1835 tentang penjelasan Pasal 13 Staatsblad Nomor 22 Tahun 1820 sebagai berikut:
Apabila terjadi sengketa antara orang-orang Jawa satu sama lain mengenai soal-soal
perkawinan, pembagian harta dan sengketa-sengketa yang sejenis yang harus diputus
menurut hukum Islam, maka para pemuka agama itu memberi keputusan, tetapi
gugatan untuk mendapat pembiayaan yang timbul dari keputusan para pemuka agama
itu harus diajukan kepada pengadilan-pengadilan biasa.

d. Regeerings Reglement Staatsblad 1855 Nomor 2 yang dalam Pasal 78 ditentukan batas
kewenangan Pengadilan Agama yaitu tidak berwenang dalam perkara pidana.
Secara yuridis formal, Peradilan Agama sebagai badan peradilan yang terakhir dalam
sistem kenegaraan untuk pertama kali lahir di Indonesia (Jawa dan Madura) pada tanggal 1
Agustus 1882. Kelahiran ini berdasarkan Keputusan Raja Belanda (Konninklijk Besluit)
yakni Raja Willem III tanggal 19 Januari 1882 Nomor 24 yang dimuat dalam Staatsblad
1882 Nomor 152. Badan peradilan ini bernama Priesterraden yang kemudian lazim disebut
Raad Agama dan kemudian lebih dikenal dengan nama Pengadilan Agama.
Latar belakang dan dasar pemikiran lahirnya Staatsblad 1882 Nomor 152 adalah
teori receptio in complexu yang dipelopori oleh L.W.C. Van Den Berg . Teori ini berpendapat

39 ibid.
40 Tresna, op.cit, h.18.
41 Husni Rahim et. al, op. cit., h. 8-19.

13

bahwa hukum yang berlaku bagi orang Indonesia asli adalah undang-undang agama
mereka yakni hukum Islam. Sejak tahun 1885, teori tersebut telah didukung oleh peraturan
perundang-undangan Hindia Belanda melalui Pasal 75, Pasal 78 dan Pasal 109
Regeerings Reglement Staatsblad 1885 Nomor 2.
Dengan berpegang pada teori ini L.W.C. Van den Berg yang bertindak sebagai
konseptor Staatsblad 1882 Nomor 152 berpendapat bahwa Pengadilan Agama sudah
seharusnya ada termasuk juga di Batavia yang menjadi pusat dari pemerintah kolonial yaitu
didasarkan pada aturan kebiasaan sejak zaman dahulu dan sebagai tatanan nasional
(pribumi) di mana perundang-undangan dari penguasa bangsa Eropa sendiri memberikan
kemungkinan untuk itu dan karenanya Pengadilan Agama yang ada sebelum ada
Staatsblad 1882 Nomor 152 adalah sah.42
Cornelis Van Volenhoven dan Christian Snouck Hurgronye menentang Teori
Receptio in Complexu dan pendapatnya itu dikenal dengan Teori Receptie
yang mengemukakan bahwa sebenarnya yang berlaku di Indonesia adalah hukum adat
asli, pengaruh hukum Islam itu baru mempunyai kekuatan kalau sudah diterima oleh hukum
adat dan lahir sebagai hukum adat, bukan hukum Islam.
Teori ini mengubah atau menggantikan Teori Receptie in Complexu yang
terkandung dalam Pasal 78 Regeling Reglements Staatsblad 1855 Nomor 2 menjadi Pasal
134 (2) Indische Staatsregeling karena ada penggantian nama Undang-Undang Dasar
Hindia Belanda dari Regerings Reglement menjadi Indische Staatsregeling (IS) pada tahun
1919. Dengan Teori Receptie, Pasal 134 ayat (2) IS menyebutkan bahwa dalam hal terjadi
perkara perdata antara sesama orang Islam akan diselesaikan oleh Hakim Agama Islam
apabila keadaan tersebut telah diterima oleh hukum adat mereka dan sejauh tidak
ditentukan oleh ordonantie. Pasal tersebut mengandung makna bahwa hukum Islam yang
berlaku hanyalah kalau telah diresepsi oleh hukum adat. Perubahan tersebut terjadi pada
tahun 1929 melalui Staatsblad 1929 Nomor 221.
Teori Receptie yang dijadikan landasan kebijakan pemerintah Belanda terhadap
hukum Islam termasuk lembaga Peradilan Agama yang tercermin dalam Pasal 134 ayat (2)
Indische Staatsregeling dan Staatsblad 1882 Nomor 152 kemudian didukung oleh Ter Haar
dan beberapa sarjana hukum yang memperoleh pendidikan Belanda baik di Batavia
maupun di negeri Belanda.
Staatsblad 1882 Nomor 152 tidak merumuskan wewenang Pengadilan Agama dan tidak
pula membuat garis pemisah yang tegas antara wewenang Pengadilan Agama dan
Pengadilan Negeri. Hal ini disebabkan staatsblad tersebut beranggapan bahwa wewenang
Pengadilan Agama sudah diatur dalam Staatsblad 1835 Nomor 58.
Pada tahun 1937 ditetapkan Mahkamah Islam Tinggi (Hof voor Islamietische Zaken)
sebagai peradilan banding, serta mengurangi kompetensi Peradilan Agama hanya sebatas

42 L.W.C. Van den Berg, Het Geestijke goederen op Java en Madoera, dalam Z.A. Noeh, Seabad
Peradilan Agama di Indonesia, op.cit., h.65.

14

menangani perkara-perkara perkawinan bagi orang-orang yang beragama Islam dengan


Staatsblad 1937 Nomor 116 dan 610.
Untuk sebagian Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur, dibentuk pula Peradilan
Agama yang diberi nama Kerapatan Qadhi sebagai peradilan tingkat pertama dan
Kerapatan Qadhi Besar sebagai peradilan tingkat bandingnya dengan Staatsblad 1937
Nomor 638 dan 639.
Pemerintah Hindia Belanda melegalisasi Peradilan Agama secara formal namun
dengan terselubung bermaksud mematikan Peradilan Agama dengan cara mengurangi
sedikit demi sedikit kewenangan serta membiarkan tanpa pembinaan.43
Pada masa pendudukan Jepang, Peradilan Agama tetap dipertahankan dan tidak
mengalami perubahan kecuali namanya diganti dengan Soo-rioo Hooin untuk Pengadilan
Agama dan Koikioo Kooto Hooin untuk Mahkamah Islam Tinggi, berdasarkan Aturan
Peralihan Pasal 3 Balatentara Jepang (Osanu Seizu) tanggal 7 Maret 1942 Nomor 1.
Setelah proklamasi kemerdekaan, pada tanggal 18 Agustus 1945 semua peraturan tersebut
dinyatakan berlaku asas konkordansi sebagaimana dinyatakan Pasal II Aturan Peralihan
Undang-Undang Dasar 1945.
Langkah pertama yang ditempuh oleh pemerintah setelah proklamasi kemerdekaan
ialah menyerahkan pembinaan Peradilan Agama dari Kementrian Kehakiman kepada
Kementrian Agama melalui Peraturan Pemerintah Nomor 5/SD/1946.
Pada tahun 1948, dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 1948 Peradilan Agama
dijadikan salah satu bagian Peradilan Umum, tetapi sebelum ketentuan tersebut berlaku,
sudah ada undang-undang yang memberikan pengakuan bahwa Peradilan Agama adalah
peradilan yang mandiri. Undang-undang tersebut adalah Undang-undang Darurat Nomor 1
Tahun 1951, yang dalam Pasal 1 ayat (2) menyatakan menghapus semua Peradilan Adat
dan Swapraja, kecuali Peradilan Agama, jika merupakan bagian tersendiri dari Peradilan
Swapraja.
Pada Tahun 1957, pemerintah mengatur pembentukan Peradilan Agama di luar
Jawa-Madura dan Kalimantan Selatan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun
1957, yang disebut dengan Mahkamah Syariyah. Mahkamah Syariyah ini mempunyai
wewenang mengadli meliputi perkara-perkara nikah, talak, rujuk, fasakh, nafkah, maskawin
(mahar), tempat kediaman, mutah, hadlanah, waris, wakaf, hibah, shadaqah, dan baitul
mal.
Mulai saat itu terdapat tiga peraturan perundang-undangan yang mengatur
Peradilan Agama di Indonesia, yaitu :
Peraturan tentang Peradilan Agama di Jawa dan Madura yang dimuat dalam Staatsblad
1882 Nomor 152 dan Staatsblad 1937 Nomor 116 dan 610.

43 Taufiq, Kedudukan Peradilan Agama dalam Sistem Peradilan di Indonesia, dalam Bulletin
Hikmah No. 2 Tahun I Juli 1986, h.63.

15

Peraturan tentang Kerapatan Qadi dan Kerapatan Qadi Besar untuk sebagian Residensi
Kalimantan Selatan dan Timur yang dimuat dalam Staatsblad 1937 Nomor 638 dan
Nomor 639.
Peraturan Pemerintah Nomor

45 Tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan

Agama/Mahkamah Syariyah di luar Jawa dan Madura yang dimuat dalam Lembaran
Negara 1957 Nomor 99.
Pada tahun 1964, pemerintah mengeluarkan Undang-undang Nomor 19 Tahun 1964
tentang

Ketentuan-ketentuan

Pokok

Kekuasaan

Kehakiman

yang

secara

tegas

menyebutkan adanya empat lingkungan peradilan di Indonesia, yaitu Peradilan Umum,


Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara.
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 jo. Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999
dalam Pasal 10 ayat (1) tetap melembagakan empat lingkungan peradilan seperti yang
terdapat dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 1964.
Dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 pada tanggal 29
Desember 1989, berarti mengakhiri pluralisme peraturan Peradilan Agama tersebut, fungsi
dan struktur susunan kekuasaan Peradilan Agama disempurnakan dan ditegakkan tanpa
campur tangan lingkungan Peradilan Umum. Hal ini diamanatkan dalam Bab VII Peraturan
Peralihan Pasal 107 ayat (1) huruf d dan Bab II Bagian Kedua Paragraf 3 tentang Juru
Sita sebagaimana diatur dalam pasal 38.
Pasal 107 ayat (1) huruf d Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 menyebutkan
bahwa ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2) Undang-undang
Nomor

1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 1,

Tambahan Lembaran Negara Nomor 3019), dinyatakan tidak berlaku. Hal ini berarti bahwa
Pengadilan Negeri tidak mempunyai kewenangan campur tangan terhadap putusan
Pengadilan Agama dan kedudukan Pengadilan Agama menjadi setara dengan Pengadilan
Negeri.
Pasal 38 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 menyebutkan bahwa pada setiap
Pengadilan Agama ditetapkan adanya Juru Sita dan Juru Sita Pengganti. Dengan
distrukturkan secara fungsional jabatan Juru Sita pada setiap Pengadilan Agama, maka
organisasi lembaga Peradilan Agama dalam melaksanakan fungsi peradilan menjadi
sempurna. Kendala kewenangan melaksanakan segala macam panggilan, pemberitahuan,
penyitaan serta eksekusi putusan sudah tidak ditemui sebab sudah mempunyai
kewenangan untuk melaksanakan eksekusi sendiri. Secara utuh Peradilan Agama sudah
mandiri dan otonom dalam melaksanakan fungsi kewenangan yuridiksinya mulai awal
proses sampai tahap pelaksanaan atau eksekusi putusan
2.2. Poligami
Sebelum

penulis membahas pengertian poligami, maka perlu dijelaskan lebih

dahulu tentang pengertian dan asas perkawinan yang mendasari sebelum poligami terjadi.

16

2.2.1. Pengertian Perkawinan


Menurut konsep hukum perdata Barat (Burgerlijk Wetboek yang lebih dikenal
diterjemahkan dengan Kitab Undang-undang Hukum Perdata), perkawinan hanya bersifat
hubungan keperdataan, yaitu perkawinan adalah sah bila telah dilangsungkan berdasarkan
ketentuan undang-undang dan telah memenuhi syarat-syarat yang digariskan oleh undangundang, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 26 Kitab Undang-undang Hukum Perdata
bahwa undang-undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan
perdata.2 Perkawinan yang dilakukan menurut tata cara suatu agama saja tidak sah.
Bahkan, menurut ketentuan Pasal 530 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
petugas keagamaan dilarang untuk melakukan suatu perkawinan menurut tata cara agama
sebelum perkawinan perdata dilangsungkan. Menurut Pasal 81 Kitab Undang-undang
Hukum Perdata, perkawinan menurut upacara keagamaan baru dapat dilangsungkan
setelah perkawinan di muka Pegawai Catatan Sipil. Larangan-larangan mengenai
perkawinan menurut hukum agama tidak berlaku dalam hukum perdata. Perkawinan adalah
persetujuan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan dalam bidang hukum
keluarga.
Menurut

hukum

Islam, perkawinan

adalah

perjanjian

suci

membentuk keluarga antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan.

untuk
3

Unsur

perjanjian menunjukkan kesengajaan dari suatu perkawinan dan menampakkannya kepada


masyarakat, kata suci menunjukkan aspek keagamaan dari suatu perkawinan, sedangkan
unsur lainnya berkaitan dengan tujuan atau hikmah suatu perkawinan. Perkawinan
merupakan suatu perjanjian, sebagaimana dalam Al-Quran Surat al-Nisa ayat (21)
perkawinan disebut dengan mitsaqan ghalidhan yang berarti perjanjian yang sangat kuat,
karena cara melakukan ikatan perkawinan telah diatur yaitu dengan aqad nikah, rukun dan
syarat tertentu, dan untuk memutuskan ikatan perkawinan tersebut telah diatur dengan
prosedur tertentu. Perkawinan dianggap suatu lembaga yang

suci, karena upacara

perkawinan adalah upacara yang suci, kedua pihak dihubungkan menjadi suami isteri
dengan menyebut nama Allah.3
Pengertian perkawinan dalam Islam dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan seksual
seseorang secara halal serta melangsungkan keturunannya dalam suasana saling

229 A. Ridwan Halim, Hukum Perdata dalam Tanya Jawab, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982, h.35
dan lihat Ali Afandi, Hukum Waris Hukum Keluarga dan Hukum Pembuktian Menurut kitab
Undang-undang Hukum Perdata (BW), Bina Aksara, Jakarta, 1986, h..98.
330 Sayuti Talib, op.cit. h.47. Dalam hal ini beliau juga membandingkan dengan Anwar Harjono yang
memberikan pengertian perkawinan adalah suatu perjanjian suci antara seorang laki-laki dengan
seorang perempuan untuk membentuk keluarga bahagia, juga Asaf A.A. Fyzee yang memberikan
pengertian perkawinan, Marriage in Muhammadan law is a contract for the legalization of intercourse
and the procreation of children.

331 Q.S. al-Nisa ayat (1)

17

mencintai (mawaddah) dan kasih sayang (rahmah) antara suami isteri, sebagaimana
dalam Al-Quran Surat al-Rum ayat (21).
Berdasarkan maksud perkawinan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

1; Perkawinan merupakan cara penghalalan terhadap hubungan antara kedua lawan


jenis, yang semula diharamkan, seperti memegang, memeluk, mencium
dan hubungan seksual.

2; Perkawinan juga merupakan cara untuk melangsungkan kehidupan umat manusia di


muka bumi, karena tanpa adanya regenerasi maka populasi manusia di bumi ini akan
punah.

3; Perkawinan memiliki dimensi psikologis yang sangat dalam, karena dengan perkawinan
ini kedua insan, suami dan isteri, yang semula merupakan orang lain kemudian menjadi
bersatu, saling memiliki, menjaga, membutuhkan, mencintai dan menyayangi sehingga
terwujud keluarga yang hamonis (sakinah).

4; Perkawinan juga memiliki dimensi sosiologis, yakni dengan perkawinan ini seseorang
memiliki status baru yang dianggap sebagai anggota masyarakat secara utuh.

5; Perkawinan mengakibatkan lahirnya anak-anak, yang secara naluri memerlukan


pemeliharaan dan pelindung kedua orang tuanya. Orang tua bertanggung jawab atas
perkembangan fisik dan psikis anak-anak, terutama sebelum mereka menginjak
dewasa, agar di kemudian hari menjadi generasi penerus untuk membangun planet
bumi.
Pengertian perkawinan dalam hukum Islam tersebut berbeda dengan pengertian
perkawinan menurut konsep hukum perdata

Barat. Perkawinan dalam hukum perdata

Barat menganggap bahwa perkawinan antara seorang wanita dengan seorang pria
hanyalah hubungan perdata dan terlepas dari agama, sedangkan perkawinan
hukum

Islam merupakan

akad

dalam

yang sangat kuat untuk menaati perintah Allah dan

bagi mereka yang melaksanakannya merupakan ibadah.


Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, pengertian perkawinan disebutkan
dalam Pasal 1 bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pengertian yang diberikan oleh Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut
selaras dengan konsep perkawinan dalam hukum Islam.

Undang-undang Perkawinan

tersebut berasaskan agama, sehingga agama atau hukum agama yang dipeluk oleh
seseorang yang menentukan sah atau tidaknya suatu perkawinan, sebagaimana dalam
Pasal 2 disebutkan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
Keharusan mencatatkan perkawinan yang dianut hukum perdata Barat juga dianut
Undang-undang Perkawinan yang disebutkan dalam Pasal 2 ayat (2) bahwa tiap-tiap
perkawinan

dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan

18

tersebut juga selaras dengan hukum Islam, karena bersifat pengembangan terhadap
pemahaman tentang hukum Islam mengenai perkawinan yang terdapat dalam Al-Quran
dan Sunnah Rasulullah untuk kemaslahatan umat Islam Indonesia.
2.2.2. Asas Perkawinan
Perkawinan dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata

(Burgerlijk Wetboek)

menganut asas monogami, yaitu suatu asas yang pada dasarnya menghendaki bahwa
pada suatu saat yang sama seorang pria hanya dibolehkan mempunyai seorang wanita
sebagai isterinya, dan sebaliknya, seorang wanita hanya dibolehkan mempunyai seorang
pria sebagai suaminya. Asas ini ditegaskan dalam Pasal 27 bahwa dalam waktu yang
sama seorang laki-laki hanya dibolehkan mempunyai
isterinya, dan seorang perempuan

seorang

hanya boleh mempunyai

perempuan

sebagai

seorang laki-laki sebagai

suaminya. Asas monogami ini bersifat mutlak tanpa mengenal pengecualian apa pun.
Asas perkawinan dalam hukum Islam adalah membolehkan poligami asalkan dapat
berlaku adil, namun apabila hal itu tidak tercapai maka dianjurkan monogami. Adapun
dalam hal berpoligami, jumlah isteri yang boleh dikawin maksimal 4 orang.
Asas perkawinan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah monogami,
sebagaimana ketentuan Pasal 3 ayat (1) bahwa pada asasnya dalam suatu perkawinan
seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri, dan seorang wanita hanya boleh
mempunyai seorang suami.
tersebut

Asas monogami ini tidak mutlak, karena undang-undang

masih memberi kemungkinan bagi seorang suami untuk beristeri lebih dari

seorang, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 3 ayat (2) bahwa

pengadilan dapat

memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki
oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

Seorang suami dapat mengajukan ke pengadilan

untuk berpoligami dengan alasan-alasan dan syarat-syarat yang telah ditentukan dalam
undang-undang.
2.2.3. Pengertian Poligami
Pasal-pasal yang berkaitan dengan izin poligami dalam Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan maupun dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun
1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, tidak ditemukan istilah
poligami. Pasal-pasal tersebut tidak menggunakan istilah poligami tetapi dengan rangkaian
kata-kata seorang suami yang beristeri lebih dari seorang. Penjelasan Umum Undangundang tersebut pada angka 4.c dan Penjelasan Pasal 3 terdapat lawan kata dari poligami
yaitu monogami dalam kalimat, Undang-undang ini menganut asas monogami. Hanya
apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang
bersangkutan mengizinkan, seorang suami dapat beristeri lebih dari seorang. Kata
poligami juga tidak ditemukan dalam penjelasan undang-undang tersebut.
Dalam Putusan Mahkamah Agung belum ditemukan istilah poligami, kata-kata yang
digunakan adalah beristeri lebih dari seorang. Putusan Mahkamah Agung yang berkaitan

19

dengan izin poligami antara lain Putusan No.74K/AG/1986 tanggal 14 April 1987 tentang
izin poligami yang diajukan oleh Achmad Rafiq3 dan Putusan No. 338K/PID/1991 tanggal 7
September 1994 tentang kasus suami beristeri ganda.3

Istilah poligami di Pengadilan

Agama baik dalam surat permohonan izin poligami maupun dalam putusan sudah lazim
digunakan, demikian juga dalam putusan banding.
Dalam Hukum Adat, kata poligami juga tidak ditemukan. Kata yang bermakna perkawinan
seorang suami dengan lebih dari seorang isteri diistilahkan dengan permaduan, bermadu,3
atau di Jawa dikenal dengan kata wayuh.3
Pendapat para ahli dalam Ensiklopedi Hukum Islam, kamus hukum, dan kamus Bahasa
Indonesia dapat ditemukan pengertian dari kata poligami.
Kata poligami berasal dari bahasa Yunani, poly atau polus yang berarti banyak dan
gamein atau gamos yang berarti kawin atau perkawinan. Secara bahasa, poligami berarti
suatu perkawinan yang lebih dari seorang, baik pria maupun wanita.

Poligami dapat

dibedakan menjadi poliandri dan poligini. Poliandri adalah perkawinan seorang perempuan
dengan lebih dari seorang laki-laki, sedangkan poligini adalah perkawinan seorang laki-laki
dengan lebih dari seorang perempuan.3
Poligami adalah sistem perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini
beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan.3 Namun kata poligami lebih umum
diartikan perkawinan seorang laki-laki dengan lebih dari seorang perempuan.3
Berdasarkan uraian tersebut, istilah yang bermakna perkawinan seorang laki-laki
dengan lebih dari seorang perempuan adalah poligini, namun istilah yang lebih dikenal oleh
masyarakat adalah poligami.

Pengertian poligami yang dimaksud dalam penulisan ini

adalah perkawinan seorang laki-laki dengan lebih dari seorang perempuan. Penulis
menggunakan istilah poligami karena istilah poligami sudah umum dipahami bermakna
perkawinan seorang laki-laki dengan lebih dari seorang perempuan 3 dan sudah lazim
digunakan dalam putusan

Pengadilan Agama baik pada pengadilan tingkat pertama

maupun banding.

332 Hensyah Syahlani, Penemuan dan Pemecahan Masalah Hukum dalam Peradilan Agama,
Mahkamah Agung RI, Jakarta, 1993.
333 Varia Peradilan Majalah Hukum Tahun XII Nomor 144 September 1997, h.35-49.
334 Iman Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Adat, Liberty, Yogyakarta, 1981, h.128.
335 Bibit Suprapto, Liku-liku Poligami, Al-Kautsar, Yogyakarta, 1990, h.73.
336 A. Hafizh Anshari Az., et. al., Ensiklopedi Hukum Islam, PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta,
1996, h.107.
337 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,
h.885.
338 J.C.T. Simorangkair et.al., Kamus Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 1995, h.131, juga I.P.M.
Ranuhandoko, Terminologi Hukum Inggris Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2000, h. 444.
339 J.S. Badudu dan Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Pustaka Sinar harapan, Jakarta,
2001, h.1077 dan W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka,
Jakarta, 1999, h.763.

20

2.2.4. Dasar Hukum Poligami


Ayat Al-Quran yang dipandang berhubungan dengan kebolehan poligami adalah Surat alNisa ayat (3):
Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang
yatim (bilamana kamu mengawininya) maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu
senangi dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil,
maka (kawinilah) seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki, yang demikian itu
lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.4
Selanjutnya Rasulullah melarang seorang pria beristeri lebih dari empat orang dalam waktu
yang sama. Ketika ayat ini turun, Rasulullah memerintahkan setiap pria yang memiliki lebih
dari empat orang isteri agar segera menceraikan isteri-isterinya sehingga maksimal setiap
orang pria hanya beristeri empat orang wanita. Ketentuan ini ditegaskan melalui ucapannya
yang diriwayatkan oleh Imam Malik, An-Nasai dan Ad-Daraquthni, Pilihlah dari mereka
empat orang (isteri) dan ceraikan selebihnya. 4
Secara tekstual, Al-Quran Surat al-Nisa ayat (3) dan hadits Rasulullah yang diriwayatkan
oleh Imam Malik, An-Nasai dan Ad-Daraquthni tersebut merupakan dasar hukum tentang
kebolehan berpoligami sampai sebatas empat orang. Dengan demikian dalam hukum
Islam, asas monogami tidak berlaku secara absolut, melainkan masih memberikan peluang
kepada ummat Islam untuk melakukan poligami dengan pertimbangan-pertimbangan
tertentu.4
Secara historis, poligami sudah dipraktikkan dalam masyarakat sebelum Islam dengan
berpedoman pada syariat dan adat istiadat yang berlaku pada masa itu. Kitab suci agama
Yahudi dan Nasrani tidak melarang praktik poligami, karena telah menjadi jalan hidup yang
diakui keberadaannya. Semua Nabi yang disebutkan dalam kitab agama Yahudi dan
Nasrani yang terdapat dalam Perjanjian Lama mempunyai lebih dari satu isteri. Al-Quran
tidak menetapkan suatu peraturan tentang poligami. Hal ini terlihat dari makna (kandungan)
ayat tersebut yang tidak menyiratkan anasir perintah atau larangan tetapi unsur kebolehan
dengan membatasi sampai empat orang isteri.4
Kebolehan itu pun tidak mutlak, tetapi kebolehan bersyarat untuk memenuhinya
disertai

beban

tanggung

karena

jawab bagi laki-laki yang

berpoligami. Kebolehan poligami sangat sulit dipraktikkan karena tidak semua laki-laki
dapat memenuhi persyaratan keadilan sebagaimana ditegaskan dalam Al-Quran Surat al-

440 Soenarjo et.al., Al-Quran dan Terjemahannya, Departemen Agama RI, 1984, h.115.
441 Ibnu Hajar Al- Asqalani, Bulughul Maram, Jilid II, terj. A. Hassan, CV Diponegoro, Bandung, h.
501.
442 Mujamil, Kontribusi Islam terhadap Peradaban Manusia Sebuah Apresiasi Monomental,
Ramadhani, Solo, 1993, h. 101.
443 Saifullah, Poligami dalam Struktur Keluarga Muslim, dalam Mimbar Hukum No. 51 Th. XII
2001, Al-Hikmah, Jakarta, h.68.

21

Nisa ayat (129), Kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isterimu,
walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian.
Berkaitan dengan poligami, ulama Islam mempunyai pandangan yang bermacammacam. Secara garis besar, pandangan tersebut dapat digolongkan menjadi tiga
pandangan dalam sejarah pemikiran Islam. Pertama, berpandangan bahwa poligami tidak
dibolehkan kecuali dalam kondisi tertentu. Kedua, berpandangan bahwa poligami
dibolehkan, sedangkan ketiga, berpandangan bahwa boleh berpoligami bahkan jumlah
wanita yang dikawin boleh lebih dari empat.4
Ulama yang berpendapat bahwa seorang suami tidak boleh menikah dengan lebih dari
seorang wanita kecuali dalam kondisi tertentu adalah para pemikir Islam belakangan seperti
Syah Waliyullah al-Dahlawi, Sayyid Ahmad Khan, Muhammad Abduh, Sayyid Amir Ali,
Qasim Amin, Fazlur Rahman

dan lain-lain. Ulama yang berpandangan membolehkan

poligami umumnya ulama salaf. Empat mazhab Sunni, yaitu Syafii, Hanafi, Maliki, dan
Hambali berpandangan bahwa seorang laki-laki boleh beristeri empat orang perempuan
dalam waktu bersamaan.4 Pendapat yang membolehkan seorang suami menikah dengan
lebih dari empat orang wanita adalah Mazhab Dhahiri.44
Ulama telah banyak yang menafsirkan tentang Surat al-Nisa ayat (3) tersebut. Menurut AlQasimi, untuk berpoligami tergantung pada keluasan cara berfikir suami, kemampuan
mengendalikan rumah tangga
masyarakat (muamalah).

dan kematangan dalam mengurusi segala hal dalam

45

Menurut Al-Maraghi, kebolehan dalam Surat al-Nisa ayat (3) tersebut adalah kebolehan
yang dipersulit, sehingga poligami dibolehkan hanya dalam keadaan darurat. Al-Maraghi
mencatat pentingnya kaidah fiqhiyah Dar ul-mafasid muqaddamu ala jalbi mashalih dalam
melakukan poligami.46
Menurut Sayyid Qutub, poligami merupakan suatu perbuatan rukhshah sehingga hanya
bisa dilakukan hanya dalam keadaan darurat atau benar-benar mendesak. Kebolehan itu
pun disyaratkan bisa berbuat adil terhadap isteri-isteri.47
Menurut Al-Shabuni, sesuai dengan ijma ulama maka wanita yang boleh dinikahi itu
maksimal empat orang. Kebolehan itu pun dilakukan hanya dalam keadan darurat dengar
syarat bisa berbuat adil.48

444 Bello Daura, The Limit of Polygami in Islam, dalam Masruhan, Jurnal Hukum Islam al-Qanun
Vol.1 No. 1 , IAIN Sunan Ampel, Surabaya, h.70.
4 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, terj. Masykur A.B. et.al., Penerbit Lentera,
Jakarta, 1999, h. 332.
44 Khairudin Nasution, Riba dan Poligami Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad Abduh,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996, h.83-84.
45 Muhammad Jamaaluddin Al-Qasimi, Umahasin al-Tawil Jil.V, Dar Ihyaal Kutub, tt., h. 11041105.
46 Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi Jil. IV,Mustafa al-Babi al-Halabi, 1963, h.181.
47 Sayyid Qutub, Fi Dhilal Al-Quran Jil IV, Dar al-Qutub al-Ilmiyah, t.t., h. 236.
48 Muhammad Ali Al-Shabuni, Rawat al-Bayan Tafsir Ayat alAhkam min Al-Quran, Jil. I, Dar alQuranul Karim, 1972, h.427-428.

22

Pendapat-pendapat tersebut menunjukkan bahwa poligami adalah solusi ketika seorang


suami atau rumah tangga menghadapi kesulitan yang tidak bisa dipecahkan hanya dengan
monogami. Islam membolehkan poligami dengan beberapa syarat, bukan karena Islam
tidak mampu mencegahnya atau lalai, tetapi lebih bersifat sebagai jalan keluar yang
mendamaikan.49
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur poligami dalam
Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 5, selanjutnya dijabarkan dalam Pasal 40 sampai dengan Pasal
44

Peraturan

Pemerintah

Nomor

Tahun

1975.

Ketentuan

tentang

sanksi

pelanggarannnya diatur dalam Pasal 45 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.


Dalam sejarah proses pembuatan hukum (law making process) Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974, Rancangan Undang-undang (RUU) Perkawinan tersebut diajukan
dan disusun berdasarkan filsafat aliran nasionalis yang netral dari pengaruh agama dan
bersifat sekuler sebagaimana tercermin dari isinya yang sebagian besar mengambil alih
ketentuan-ketentuan HOCI (Huwelijks Ordonantie Voor de Christenen Indonesiers) dan BW
(Burgerlijk Wetboek) sehingga

mendapat reaksi keras dari umat Islam, karena materi

rancangan undang-undang tersebut banyak yang dianggap bertentangan dengan ajaran


Islam.50 Salah satu reaksi tersebut antara lain dari sebagian ulama Jawa Timur yang telah
mengadakan musyawarah
prakarsa

pada

tanggal 22 Agustus 1973 di Denanyar Jombang atas

K.H.M. Bisri Sjamsuri. Hasil musyawarah tersebut memutuskan untuk

mengajukan usul yang disampaikan secara lengkap pasal demi pasal terhadap ketentuan
yang dianggap bertentangan dengan Islam serta didasari alasan-alasan yang berdasarkan
dalil-dalil Al-Quran dan Hadits Nabi Muhammad saw. Usulan Ulama Jawa Timur ini akhirnya
menjadi pegangan Majelis Syuro Partai Persatuan Pembangunan dan Fraksi Persatuan
Pembangunan di Dewan Perwakilan Rakyat dalam pembahasan Rancangan Undangundang Perkawinan.51
Ketentuan tentang alasan-alasan poligami dalam Rancangan Undang-undang Perkawinan
terdapat dalam Pasal 4 ayat (2) :
Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada
seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila :
a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri
b.Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan
Berkaitan dengan alasan-alasan poligami dalam Pasal 4 ayat (2) RUU Perkawinan
tersebut telah diusulkan untuk dihapus karena alasan-alasan yang memungkinkan untuk

49 Hammudah Abd. al-Ati, The Family Structure in Islam, terj. Anshari Tayib, Bina Ilmu, Surabaya,
1984, h.144.
50 Taufiq, Transformasi Hukum Islam ke dalam Legislasi Nasinal, Mimbar Hukum No. 49 Th XI
2000, Al-Hikmah, Jakarta, h. 11
51 Amak, Proses Undang-Undang Perkawinan, Al-Maarif, Bandung, 1976, h.38.

23

berpoligami tidak dapat dibatasi oleh ketentuan ayat tersebut. Cara lain untuk mengatasi
persoalan ini adalah dengan menambah sub d pada ayat tersebut, yaitu sebab-sebab lain
yang dipandang perlu dan diterima Pengadilan. Apabila ayat ini dipertahankan dengan tidak
ada penambahan maka poligami praktis tidak akan ada, lebih-lebih jika dihubungkan
dengan syarat-syarat yang dicantumkan dalam pasal berikutnya.52
Rancangan Undang-undang tersebut selanjutnya disahkan menjadi Undang-undang No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagai legal product dengan tetap mengambil alih secara
utuh alasan-alasan poligami sebagaimana rumusan dalam Rancangan Undang-undang
Perkawinan.
Pasal 5 Rancangan Undang-undang Perkawinan menyebutkan:
(1).Untuk dapat

mengajukan permohonan

kepada

Pengadilan,

sebagaimana

dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat
sebagai berikut :
a. adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri
b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup isteri-isteri
dan anak-anak mereka
c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anakanak mereka.
(2).Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi
seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya
dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari
isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab
lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.
Berkaitan dengan syarat-syarat poligami dalam sub ayat a perihal harus adanya izin
isteri/para isteri diusulkan untuk dihapuskan karena dengan adanya alasan-alasan berarti
sudah meniadakan syarat persetujuan

isteri/isteri-isteri, namun dalam Undang-undang

Perkawinan rumusan tersebut diambil alih secara utuh sebagaimana dalam Rancangan
Undang-undang Perkawinan.
Dalam perkembangan selanjutnya, ketentuan pembatasan, alasan-alasan, syaratsyarat, dan keharusan adanya izin pengadilan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 diambil alih oleh Kompilasi Hukum Islam

yang hadir dalam tata hukum

nasional melalui instrumen hukum Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni
1991 yang kemudian disusul oleh Keputusan Menteri Agama Nomor

154 Tahun 1991

tanggal 22 Juli 1991. Pengambilalihan ketentuan ini didasarkan pada ketertiban umum dan

52 Amak, ibid.

24

jika diperhatikan ketentuan Al-Quran Surat al-Nisa ayat (3) derajat hukum poligami adalah
kebolehan yang digantungkan pada situasi dan kondisi masa permulaan Islam.53
Berdasarkan uraian tersebut, penulis dapat menyimpulkan bahwa kebolehan poligami
sampai batas empat orang dalam hukum Islam telah dinyatakan dalam Al-Quran Surat alNisa ayat (3) dan hadits Rasulullah yang diriwayatkan oleh Imam Malik, An-Nasai dan AdDaraquthni, sedangkan perundang-undangan

juga memberikan peluang bagi seorang

suami untuk berpoligami dengan alasan-alasan dan syarat-syarat yang ditentukan oleh
undang-undang.
2.2.5. Alasan-alasan dan Syarat-syarat Poligami
Redaksi Al-Quran Surat al-Nisa ayat (3) membolehkan poligami dengan syarat
dapat berlaku adil.

Keadilan yang dituntut termasuk dalam bidang nafkah, muamalah,

pergaulan, dan pembagian malam. Calon suami yang tidak dapat berbuat adil, maka
dianjurkan cukup dengan seorang isteri saja.54 Menurut M. Quraish Shihab, keadilan yang
disyaratkan oleh ayat tersebut adalah keadilan dalam bidang material.

55

Menurut penulis,

keadilan yang disyaratkan tidak cukup dalam bidang material saja, tetapi juga keadilan
dalam bidang

immaterial, sebagaimana yang telah dikemukakan Sayyid Qutub tersebut.

Alasan-alasan dan syarat-syarat poligami telah diatur dalam Pasal 4 dan Pasal 5 Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 41 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
Pasal 4 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 telah menentukan alasan-alasan poligami
bahwa pengadilan hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih
dari seorang apabila isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri, mendapat
cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, atau tidak dapat melahirkan
keturunan.
Adapun syarat-syaratnya ditentukan dalam Pasal 5 ayat (1) bahwa untuk dapat
mengajukan permohonan izin poligami harus memenuhi syarat-syarat yaitu adanya
persetujuan dari isteri/isteri-isteri,

adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin

keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka, dan adanya jaminan bahwa suami akan
berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka. Khusus syarat adanya persetujuan
isteri ditentukan dalam Pasal 5 ayat (2):
Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi
seorang suami apabila isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak
dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya
selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang
perlu mendapat penilaian dari hakim pengadilan.

53 Yahya Harahap, Informasi Materi Kompilasi Hukum Islam : Mempositifkan Abstraksi Hukum
Islam, dalam Zainal Abidin Abu Bakar (Peny.), Berbagai Pandangan terhadap Kompilasi Hukum
Islam, Al-Hikmah, Jakarta, h.180. Lihat juga Ibrahaim Hosen, ibid.,h.48.
54 Sayyid Qutub, Fi Dhilal al-Quran, Jilid IV, Dar al-Qutub al-Ilmiyah, 1961, h.236.
55 M. Quraish Shihab,, op. cit, h. 201.

25

Kompilasi Hukum Islam sebagai hukum terapan di Pengadilan Agama juga


mengatur tentang alasan-alasan dan syarat-syarat poligami dalam Pasal 55 ayat (2) dan
(3), Pasal 57, Pasal 58, dan Pasal 59. Alasan-alasan poligami yang disebutkan dalam
Pasal 57 Kompilasi Hukum Islam sama dengan ketentuan dalam Pasal 4 ayat (2) Undangundang Nomor

1 Tahun 1974 yaitu isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai

seorang isteri, mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, atau
tidak dapat melahirkan keturunan.
Syarat-syarat poligami disebutkan dalam Pasal 55 ayat (2) dan ayat (3), serta Pasal
58. Pasal 55 ayat (2) dan (3) menyebutkan syarat utama seorang suami yang berpoligami
harus mampu berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya. Apabila syarat utama
tersebut tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang berpoligami. Pasal 58 menyebutkan bahwa
selain syarat utama harus dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal 5 Undangundang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu adanya persetujuan isteri dan adanya kepastian bahwa
suami mampu menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka.
Ketentuan persetujuan isteri diatur dalam Pasal 58 ayat (2) dan ayat (3) Kompilasi
Hukum Islam yang menyebutkan:
(2) Dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 41 huruf b Peraturan Pemerintah No. 9
Tahun 1975, persetujuan isteri atau isteri-isteri dapat diberikan secara tertulis atau
dengan lisan, tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini
dipertegas dengan persetujuan lisan isteri pada sidang Pengadilan Agama.
(3) Persetujuan dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak diperlukan bagi seorang suami
apabila isteri atau isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat
menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari isteri atau isteriisterinya
mendapat

sekurang-kurangnya 2 tahun atau karena sebab lain yang perlu


penilaian

hakim.

Adapun

Pasal

59

Kompilasi

Hukum

Islam

menyebutkan:
Dalam hal isteri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin untuk
beristeri lebih dari satu orang berdasarkan atas salah satu alasan yang diatur dalam pasal
55 ayat (2) dan 57, Pengadilan Agama dapat menetapkan tentang pemberian izin setelah
memeriksa dan mendengar isteri yang bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama,
dan terhadap penetapan ini isteri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi.
Berdasarkan uraian tersebut, dalam hukum Islam hanya mengenal syarat
bagi seorang suami yang akan berpoligami yaitu mampu berlaku adil, sedangkan
perundang-undangan menentukan harus adanya alasan dan syarat-syarat bagi seorang
suami yang akan berpoligami. Alasan-alasan tersebut adalah isteri tidak dapat menjalankan
kewajiban sebagai seorang isteri, mendapat penyakit yang tidak dapat disembuhkan, atau

26

tidak dapat melahirkan keturunan, sedangkan syarat-syarat yang harus dipenuhi adalah
adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri,

adanya kepastian bahwa suami mampu

menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka, dan adanya jaminan bahwa
suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.
2.3. Penemuan Hukum
2.3.1. Pengertian
Penemuan hukum adalah

proses pembentukan hukum oleh hakim atau aparat

hukum lainnya yang ditugaskan untuk penerapan peraturan hukum umum pada peristiwa
hukum konkrit. Penemuan merupakan proses konkretisasi atau individualisasi peraturan
hukum (das sollen) yang bersifat umum dengan mengingat peristiwa konkrit (das sein)
tertentu. Dalam penemuan hukum yang ditekankan adalah bagaimana cara mencari atau
menemukan hukumnya untuk peristiwa konkrit.56
Undang-undang itu tidak selalu jelas dan lengkap, sedangkan fakta yang diajukan
memerlukan penyelesaian menurut hukum. Apabila interpretasi penerapan undang-undang
tidak mampu memberi sesuatu penyelesaian, maka untuk menemukan hukumnya hakim
harus menilai fakta. Hukum itu ada, tetapi ia harus ditemukan, dalam tataran ini hakim
tidak hanya menerapkan hukum tetapi menemukan hukum. 57
Kewenangan peradilan dan perangkat hukum yang telah tersedia untuk melaksanakan
kewenangannya, dalam realita tidak berarti

bahwa secara serta merta hakim dapat

menyelesaikan seluruh perkara yang dihadapkan kepadanya. Selain tugasnya menerapkan


undang-undang atau hukum, hakim juga memberikan putusan dalam perkara antara pihakpihak berperkara. Setiap hakim mungkin saja mengartikan ketentuan undang-undang yang
sama secara berbeda.
Sebenarnya tidak akan pernah dijumpai undang-undang yang sempurna. Pembuat
undang-undang adalah manusia biasa yang dalam diri mereka ada sifat epemiral, yaitu
sifat keterbatasan dalam kemampuan, potensi, prediksi dan rekayasa. Atas dasar hakikat
keterbatasan itu, semestinya sejak awal dapat diperkirakan bahwa setiap undang-undang
yang

dihasilkan

pasti

mengandung

kekekurangan

dan

kelemahan

atau

ketidaksempurnaan. Bahkan, tidak mustahil


ada hal yang mendasar terlupakan, dan pada waktu undang-undang tertentu berhadapan
dengan kasus-kasus in konkreto, hakim yang berpegang teguh pada undang-undang itu
tidak mampu memberikan penyelesaian yang konstruktif.58
Kendati pada waktu pembuatan undang-undang berbagai hal sudah dipikirkan dan dibahas
dari berbagai sudut pandang, baik dari sudut pandang filsafat hukum, sosiologi hukum,
sejarah hukum, ilmu hukum dan teori hukumnya maupun dari sudut pandang yang lain,

56 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1996, h.37.
57 John. Z. Loudoe, Menemukan Hukum Melalui Tafsir dan Fakta, Bina Aksara, Jakarta, 1995.
58 Zufran Sabrie et al., dalam Mimbar Hukum No. 52 Th. XII, Al-Hikmah, Jakarta, 2001, h.3.

27

sebagai faktor petunjuk diundangkannya suatu produk hukum, sehingga ia sudah dianggap
sempurna, namun di saat undang-undang bersangkutan diberlakukan, bermunculan seribu
satu kasus in konkreto yang sama sekali tidak terpikirkan sebelumnya. Dengan demikian
tidak aneh bila ada kasus-kasus tertentu belum diatur

dalam peraturan perundang-

undangan, yang kemudian mengharuskan penciptaan hukum baru. Tidak jarang juga ada
kasus-kasus tertentu yang memang

telah ada aturannya dalam peraturan perundang-

undangan, namun sudah tidak sesuai lagi dengan nilai kesadaran sosial, peraturannya itu
terlalu bersifat umum, terlalu abstrak, atau tidak sesuai dengan kepentingan umum.
Pada hakikatnya hakim harus bertindak sebagai pembentuk hukum dalam hal
peraturan hukum tidak menyebutkan ketentuan untuk menyelesaikan perkara in konkreto.
Hakim harus dapat menyesuaikan ketentuan undang-undang dengan hal-hal yang konkrit
dalam masyarakat, karena ketentuan undang-undang tidak dapat mencakup segala
peristiwa hukum yang timbul dalam masyarakat. Biasanya pembuat undang-undang hanya
menetapkan peraturan umum saja (in abstracto) sedangkan petimbangan tentang hal-hal
yang konkrit diserahkan kepada hakim, sehingga keputusan hakim dapat memuat suatu
hukum dalam suasana

werkelijkheid (kenyataan) yang menyimpang dari hukum positif

dalam rangka penyesuaian undang-undang dengan kenyataan hukum yang berlaku dalam
masyarakat (werkelijkheid). Hakim juga dapat menambah (aanvullen) undang-undang
karena pada dasarnya pembuat undang-undang senantiasa tertinggal dari peristiwaperistiwa hukum yang baru terjadi dalam masyarakat.59
Berdasarkan uraian tersebut, penulis dapat menyimpulkan bahwa pengertian penemuan
hukum adalah proses pembentukan hukum yang dilakukan oleh hakim
menyelesaikan perkara in konkreto atau menerapkan peraturan hukum

untuk

yang bersifat

umum pada peristiwa hukum konkrit


Penemuan hukum dalam Islam dikenal dengan istilah rayu atau ijtihad. Kata rayu
berarti melihat, sedangkan makna rayu dalam Al-Quran

tergantung kepada objek dari

perbuatan melihat. Objeknya dapat berupa objek yang konkrit dan objek yang abstrak.
Apabila objeknya konkrit berarti melihat dengan mata kepala atau memperhatikan,
sedangkan terhadap objek yang abstrak berarti melihat dengan mata hati atau memikirkan.
Kata rayu dalam pembahasan ini berarti hasil pemikiran atau rasio.60
Ijtihad berasal dari kata al-jahd yang berarti al-thaqah yaitu (daya kemampuan, kekuatan)
atau dari kata al-jahd yang berarti al-masyaqqah (kesulitan, kesukaran). Ijtihad menurut
pengertian bahasa juga bermakna bazl al-wisi aw al-majhud yang berarti pengerahan daya
dan segenap kemampuan dalam suatu aktifitas-aktifitas yang berat dan sukar.61 Ijtihad
dalam pembahasan ini dapat diartikan upaya memahami makna suatu teks (Al-Quran) atau

59 Chainur Arrasjid, Dasar-dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2000, h.


60 Amir Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran dalam Hukum Islam, Angkasa Raya, Padang, 1990,
h.46-47.
61 Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad al-Syaukani, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1999, h. 223.

28

preseden (Sunnah) di masa lampau yang mengandung suatu aturan dan mengubah suatu
aturan tersebut dengan cara memperluas maupun memodifikasi dengan cara-cara
sedemikain rupa sehingga situasi baru dapat dicakup ke dalamnya dengan solusi baru,
sebagaimana dikemukakan Fazlur Rahman :
Ijtihad means the effort to understand the meaning of a relevan text or precedent in the
past, containing a rule, and to alter that rule by extending or restricting or other wise
modifying it in such a manner that a new situations can be subsumed under it by a new
solution. 62
Implikasi metodologis batasan tersebut adalah teks Al-Quran dan Sunnah dapat
digeneralisasi sebagai prinsip-prinsip sehingga dapat dirumuskan sebagai aturan baru.
Implikasi metodis yang terkandung di dalamnya adalah kerja ijtihad meliputi pemahaman
teks dan preseden dalam keutuhan konteksnya di masa lampau, pemahaman situasi baru
yang sedang terjadi sekarang, dan pengubahan aturan-aturan hukum yang terkandung
dalam teks dan preseden.

Adapun implikasi fungsional dari batasan tersebut adalah

konsep metodologis dan rumusan metodis tersebut difungsikan untuk pembaruan hukum
Islam sebagai upaya menjawab tantangan situasi baru.
2.3.2. Dasar Hukum
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970

jo. Undang-undang Nomor 35

Tahun 1999 menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Kata
merdeka yang berari bebas dalam hal ini adalah kebebasan hakim untuk mengadili dan
bebas dari campur tangan dari pihak ekstra yudisial. Kebebasan hakim memberi wewenang
kepada hakim untuk melakukan penemuan hukum secara leluasa.
Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 jo. Undang-undang Nomor
35 Tahun 1999 yang pada dasarnya menentukan tugas pokok kekuasaan kehakiman, yaitu
menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan
kepadanya, juga memberi peluang untuk melakukan penemuan hukum bagi hakim.
Pasal 14 ayat (1) Undang-undang Nomor

14 Tahun 1970 jo. Undang-undang

Nomor 35 Tahun 1999 yang menentukan bahwa pengadilan tidak boleh menolak perkara
yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib untuk
memeriksa dan mengadilinya. Hakim wajib memeriksa dan menjatuhkan putusan, yang
berarti bahwa hakim wajib menemukan hukumnya. Apabila hakim tidak menemukan
hukumnya dalam hukum tertulis, maka hakim wajib menggali hukum tidak tertulis untuk

62 Fazlur Rahman, Islam and Modernitiy: Transformation of an Intellectual Tradition, Chicago


University Press, Chicago, h.121.

29

merumuskan kebijaksanaan sebagai seorang yang bijaksana dan bertanggung jawab


penuh kepada Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, masyarakat, bangsa, dan negara.63
Selanjutnya Pasal 27 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 jo. Undang-undang
Nomor 35 Tahun 1999 juga menegaskan bahwa hakim sebagai penegak hukum dan
keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam
masyarakat, sehingga hakim dapat merupakan perumus dan penggali nilai-nilai hukum
yang hidup dalam masyarakat.
Menurut sejarah hukum Islam, sebelum dakwah Islam tersebar maka kasus-kasus
yang timbul langsung diputuskan oleh Rasulullah, namun setelah kekuasaan Islam meluas
maka Rasulullah mengizinkan sebagian sahabat untuk memutus kasus atau perkara yang
mereka hadapi

karena jauhnya tempat dari kediaman Rasulullah. Bahkan, Rasulullah

mengizinkan sahabat untuk memutus perkara yang mereka hadapi di tempat Rasulullah.
Hadits Muadz bin Jabal menunjukkan bahwa Rasulullah memberi izin kepada
Muadz untuk berijtihad dalam hal-hal yang tidak terdapat secara jelas dalam nash Al-Quran
dan Sunnah. Hal ini menunjukkan bahwa masalah-masalah yang tidak disebutkan dalam
nash secara rinci menjadi bidang ijtihad yang sangat luas. Pada dasarnya berijtihad dengan
rayu (ratio) merupakan usaha memahami nash Al-Quran dan Sunnah Rasul.
Petunjuk Rasullah ketika mengutus Muadz bin Jabal menjadi qadhi di Yaman
sebagai berikut:
Hai Muadz, bagaimana cara engkau menerapkan hukum terhadap perkara yang
diajukan kepadamu? Ia menjawab: Aku akan mencari hukumnya dalam Kitabullah
(Al-Quran). Bagaimana apabila kamu tidak menemukannya dalam Al-Quran? Ia
menjawab: Aku akan mencari hukumnya dalam Sunnah Rasul. Bagaimana
andaikata kamu tidak menemukan dalam Al-Quran dan Sunnah ? Ia menjawab: Aku
akan berijtihad dengan rayu dengan segala kesungguhan.64
2.3.3. Metode
Untuk mencapai kehendak pembuat undang-undang serta dapat menjalankan undangundang sesuai dengan kenyataan sosial maka hakim dapat menggunakan metode
penemuan hukum.
Metode penemuan hukum dapat dibagi menjadi tiga, yaitu

metode interpretasi,

metode konstruksi dan metode penemuan hukum bebas. Metode interpretasi adalah
metode penemuan hukum dalam hal peraturannya ada, tetapi tidak jelas untuk diterapkan
dalam kasus konkrit. Konstruksi hukum adalah metode penemuan hukum dalam hal tidak
ada peraturannya yang khusus untuk memeriksa dan mengadili kasus-kasus konkrit.
63 Chainur Arrasjid, op. cit., h. 84.

64 Imam Muhammad Ibn Ismail As-Sanany, Subulus Salam Syarah Bulughul Maram, dalam
Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, terj. Noer Iskandar Al-Barsany, Raja Grafindo
Persada, 1985, h. 20.

30

Metode penemuan hukum bebas adalah metode penemuan hukum yang dilakukan hakim
dengan tidak terikat erat pada undang-undang.
Metode interpretasi digunakan dalam hal peraturannya ada tetapi tidak jelas untuk
dapat diterapkan pada peristiwanya. Metode ini merupakan salah satu metode penemuan
hukum yang memberi penjelasan secara gamblang mengenai teks undang-undang agar
ruang lingkup kaidah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu. Penafsiran
oleh hakim adalah penjelasan yang harus menuju kepada penerapan atau tidak
menerapkan suatu peraturan hukum umum terhadap peristiwa konkrit yang dapat diterima
oleh masyarakat.
Ada beberapa interpretasi yang dikenal dalam penemuan hukum, yaitu:

1; Interpretasi formal atau autentik, yaitu penafisran resmi yang diberikan oleh pembuat
undang-undang yang termuat dalam penjalan resmi undang-undang tersebut.65

2; Interpretasi gramatikal atau objektif, yaitu suatu cara penafsiran undang-undang


menurut arti perkataan (istilah) yang terdapat dalam undang-undang yang bertitik tolak
pada arti perkataan-perkataan dalam hubungannya satu sama lain dalam kalimat yang
terdapat dalam undang-undang, sehingga hakim wajib mencari arti kata yang lazim
dipakai dalam bahasa sehari-hari yang umum.

3; Interpretasi

sistematis

atau

logis,

yaitu

penafsiran

undang-undang

yang

menghubungkannya dengan peraturan hukum atau undang-undang lain atau dengan


keseluruhan sistem hukum. Menafsirkan undang-undang tidak boleh menyimpang atau
keluar dari sistem perundang-undangan.

4; Interpretasi historis, yaitu menafsirkan undang-undang dengan cara melihat sejarah


terjadinya suatu undang-undang itu dibuat. Ada dua macam penafsiran historis, yaitu
penafsiran menurut sejarah hukum (rechtshistorische interpretatie)

dan penafsiran

menurut sejarah undang-undang (wetshistorische interpretatie). Penafsiran


sejarah undang-undang

menurut

adalah bunyi undang-undang diartikan seperti yang dilihat

pembentuk undang-undang pada waktu pembentukan

undang-undang itu sendiri.

Penafsiran demikain disebut juga penafsiran subjektif karena penafsir menempatkan


diri mereka pada pandangan subjektif pembentuk undang-undang. Penafsiran menurut
sejarah hukumnya adalah penafsiran yang ingin mengetahui undang-undang dalam
konteks keseluruhan sejarah hukumnya.

5; Interpretasi teleologis atau sosiologis, yaitu suatu penafsiran yang menyesuaikan


peraturan hukum lama dengan keadaan atau kebutuhan masyarakat yang baru.

6; Interpretasi komparatif,

yaitu penafsiran yang menggunakan metode perbandingan

hukum, yakni perbandingan antara sistem hukum yang satu dengan sistem hukum
lainnya.

65 Menurut Sudikno, interpretasi autentik tidak termasuk dalam ajaran interpretasi, karena
penjelasan tersebut telah diberikan oleh undang-undang dan terdapat dalam teks undang-undang.
Lihat Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1999, h. 144-145.

31

7; Interpretasi futuristik, yaitu metode penemuan hukum yang bersifat antisipasi yaitu
penjelasan ketentuan undang-undang dengan berpedoman pada rancangan undangundang yang belum mempunyai kekuatan hukum.

8; Interpretasi restriktif, yaitu suatu penafsiran undang-undang yang dilakukan dengan


cara membatasi atau mempersempit arti kata-kata yang terdapat dalam undangundang.

9; Interpretasi ekstensif, yaitu suatu penafsiran yang dilakukan dengan cara memperluas
arti kata-kata yang terdapat dalam undang-undang sehingga suatu peristiwa dapat
dimasukkan ke dalamnya.66
Konstruksi hukum digunakan hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara yang tidak
ada peraturan

khusus yang mengaturnya, sehingga hakim menghadapi kekosongan

hukum atau ketidaklengkapan

undang-undang. Hakim harus mengisi dan melengkapi

kekosongan hukum tersebut sebab hakim tidak boleh menolak memeriksa dan mengadili
perkara dengan dalih tidak ada hukumnya atau tidak lengkap hukumnya.
Konstruksi hukum yang dilakukan hakim dilakukan melalui beberapa instrumen sebagai
berikut:

1; Argumentasi peranalogian atau metode analogi,

yaitu menggunakan cara berfikir

species ke genus atau dari peristiwa khusus dianalogikan dengan peraturan umumnya.

2; Argumentasi a contrario, yaitu cara menjelaskan undang-undang didasarkan pada


lawan dari pengertian antara peristiwa konkret yang dihadapi dengan pengertian dalam
undang-undang.

3; Penghalusan hukum atau Rechtsverfijning, yaitu metode penyempitan hukum yang


dilakukan apabila peraturan undang-undang ruang lingkupnya terlalu luas dan umum,
sehingga perlu dipersempit agar peristiwa tertentu dapat

diterapkan. Dalam

penghalusan hukum ini dibentuk pengecualian atau penyimpangan baru dari peraturan
yang bersifat umum untuk diterapkan pada peristiwa atau hubungan hukum

yang

khusus sesuai dengan kenyataan sosial sehingga peristiwa itu dapat diselesaikan
secara adil dan sesuai dengan kenyataan yang ada dalam masyarakat.

4; Fiksi hukum, yaitu menciptakan sesuatu yang belum ada atau belum kenyataan, tetapi
untuk kepentingan hukum diadakan. Misalnya Pasal 2 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata tentang anak yang ada dalam kandungan dianggap telah dilahirkan jika
kepentingan anak itu menhendakinya, tetapi jika anak itu meninggal setelah dilahirkan
dianggap tidak pernah ada.67
Penemuan hukum bebas adalah metode penemuan hukum yang digunakan hakim dengan
tidak mengikuti atau berpijak pada undang-undang tetapi undang-undang digunakan
sebagai alat untuk menemukan pemecahan suatu peristiwa konkrit. Hakim tidak berfungsi

66 Ibid., h.145-149, juga lihat Chainur Arrasjid, op.cit., h.88-93.


67 Rusly Effendy et. al., Teori Hukum, Hasanuddin University Press, 1991, h.62-68.

32

sebagai petugas yang menjelaskan atau menafsirkan undang-undang dan tidak terikat erat
pada undang-undang.
Dalam penemuan hukum bebas ini hakim

akan mengikuti zamannya dan

memperbarui peraturan-peraturan hukum yang sudah usang, sebagaimana kata Cardozo:


My duty as judge may be to objectify in law, not my own aspirations and convictions and
philosophies, but the aspirations and convictions and philosophies of the men and
women of my time. Hardly shall I do this well if may own sympathies and beliefs and
passionate devotions are with a time that is past. 68
Menurut Yahya Harahap, berkaitan dengan penemuan hukum ini maka hakim
dituntut:
1; Harus mampu menafsirkan

undang-undang secara aktual. Penerapan hukum

dilenturkan sesuai kebutuhan perkembangan kondisi, waktu dan tempat, sehingga


sesuai dengan tuntutan kepentingan kemaslahatan.

2; Harus berani menciptakan hukum baru, dalam hal ketentuan peraturan undang-undang
tidak mengatur suatu permasalahan tentang suatu kasus konkrit. Penciptaan hukum
baru harus disesuaikan dengan kesadaran, perkembangan dan kebutuhan masyarakat,
karena itu hakim harus dapat menyelami kesadaran kehidupan masyarakat sehingga
dapat menemukan dasar-dasar atau asas-asas hukum baru.

3; Harus berani melakukan contra legem. Hakim harus berani menyingkirkan ketentuan
pasal undang-undang tertentu setelah menguji dan mengkaji bahwa ketentuan pasal
tersebut bertentangan dengan ketertiban, kepentingan dan kemaslahatan umum.
Namun demikian, semua itu harus tetap beranjak dari cammon basic idea (landasan
cita-cita umum).

4; Harus mampu berperan mengadili perkara secara kasuistik sesuai dengan keadaan
konkrit perkara yang diperiksa.69
Dalam mempelajari hukum selama ini kita dihadapkan pada pemecahan masalah hukum
sehingga

dikatakan

bahwa

ilmu

hukum

merupakan

ilmu

peradilan

(rechtspraakwetenschap). Studi hukum dalam sudut pandang hakim mengandung minimal


tiga ciri, yaitu

berkaitan dengan peristiwa individual, diterapkannya suatu norma atau

kaidah (peraturan hukum), dan diselesaikannya suatu konflik.


Sekarang telah lahir ilmu hukum baru di samping ilmu peradilan, yaitu ilmu hukum
yang merupakan ilmu pembentukan undang-undang (wetgevingswetenschap). Studi hukum
ini dilihat dari sudut pandang pembentuk undang-undang, yaitu bagaimana merumuskan
atau membentuk peraturan hukum atau mengatur kehidupan manusia atau masyarakat
untuk waktu mendatang dalam kurun waktu tertentu. Studi hukum ini berupaya agar

68 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, op.cit.,h.158-159.


69Yahya Harahap, Beberapa Permasalahan Hukum Acara pada Peradilan Agama, Al-Hikmah,
Jakarta, 1994, h.63-64.

33

peraturan hukum dapat mengatur peristiwa atau perilaku manusia yang mungkin terjadi di
waktu yang akan datang dan dapat berlaku dalam kurun waktu selama mungkin.70
Untuk mengetahui metode penemuan hukum dalam hukum Islam, maka kita harus
mengetahui lebih dahulu karakter hukum Islam baik yang berupa wahyu Allah yang
dituangkan dalam Al-Quran, Sunnah (naqly), dan hasil pemikiran ahli ijtihad terhadap AlQuran dan Sunnah (aqly). Ayat-ayat Al-Quran yang berhubungan dengan hukum tidak
banyak dibandingkan dengan jumlah ayat Al-Quran itu sendiri, demikian pula bila
dibandingkan dengan masalah yang harus diberi ketetapan hukumnya yang selalu muncul
dalam kehidupan di dunia ini. Karena itu Rasulullah telah menjadi uswatun hasanah dalam
menjalankan ajaran Al-Quran dengan hadits-haditsnya dalam menjelaskan ayat-ayat AlQuran tersebut.71
Untuk menafsirkan nash-nash Al-Quran dan Sunnah, memahami nash-nash, dan mencari
hukum yang tidak jelas dalam Al-Quran telah digunakan ijtihad bil-rayi dengan bermacammacam metode. Metode ijtihad yang banyak dipakai antara lain:72

1;

Metode penemuan hukum berdasarkan illat hukum

Metode ijtihad dengan dasar illat hukum yang diambil dari Al-Quran dan Sunnah ini dikenal
dengan istilah qiyas. Mujtahid yang menggunakan metode ini harus meneliti semua sifat
yang ada pada masalah yang dicari hukumnya dan pada masalah yang sudah ada
hukumnya, dan sifat itu yang secara logis menyebabkan ditetapkannya hukum tersebut
(takhriijul manath).
Di antara sifat-sifat yang memenuhi syarat sebagai illat dicari sifat-sifat yang sama
antara masalah yang dicari hukumnya dengan masalah yang sudah ada hukumnya.
Apabila ditemukan sifat yang sama yang ada pada masalah yang dicari hukumnya
dengan sifat-sifat penyebab hukum pada masalah yang sudah ada hukumnya, maka
berarti ditemukan illat yang sama antara kedua masalah tersebut (tahqiiqul manaath).
Apabila telah diteliti bahwa kedua illat itu sama maka ditetapkan adanya illat pada
masalah yang dicari hukumnya yang hukumnya disamakan dengan hukum pada
masalah yang telah ada hukumnya (manaathul hukmi).

2;

Metode penemuan hukum atas dasar memperhatikan dlarurat

Metode ini diambil dari Al-Quran dan Sunnah, seperti tentang dibolehkan makan
makanan yang diharamkan apabila tidak ada makanan kecuali yang diharamkan itu
untuk mempertahankan hidup, sehingga melahirkan kaidah Adl-dlaruuraat tubiihulmahdhuuraat yang artinya keadaan terpaksa menghalalkan yang diharamkan.

3;

Metode penemuan hukum menggunakan Istihsan

70 Sudikno Mertokusumo, op.cit., h. 14-15.


71 Rahmat Djatmika, Jalan Mencari Hukum Islami Upaya ke Arah Pemahaman Metodologi
Ijtihad, dalam Amrullah Ahmad et.al., Prospek Hukum Islam dalam Kerangka Pembangunan
Hukum Nasional di Indonesia, Jakarta, IKAHA, 1994, h.143.
72 Ibid., h. 160-169.

34

Istihsan ialah berpalingnya seorang mujtahid dari suatu hukum kepada hukum lain yang
lebih dekat dengan tujuan hukum.
Malik membagi istihsan menjadi empat bagian, yaitu:
a. Meninggalkan dalil karena ada nash lain yang lebih maslahat.
b. Meninggalkan dalil karena dalil ijma lebih maslahat.
c. Meninggalkan dalil karena maslahat itu sendiri dan tidak terdapat illat pada
peristiwa yang akan ditetapkan hukumnya.
d. Meninggalkan dalil karena menghindari kesusahan.
Abu Hanifah membaginya menjadi dua bagian:
a. Istihsan qiyas, yaitu meninggalkan qiyas yang dhahir dan memakai qiyas
b.

yang lemah karena meninggalkan masyaqah.


Istihsan meninggalkan qiyas jali karena dalil lain yang bertentangan, yaitu
Karena ada Sunnah yang menentang qiyas dhahir, ada ijma, dan ada
dlarurat.

4. Metode penemuan hukum menggunakan urf


Urf atau adat kebiasaan ada dua macam, yaitu urf shahihah dan urf fasid. Urf shahihah
adalah urf yang tidak bertentangan dengan ajaran pokok Islam seperti tauhid dan
ibadah, sedangkan urf fasid adalah urf yang bertentangan dengan ajaran Islam baik
aqidah maupun syariah.
Para ulama Hanafiyah dan Malikiyah memandang bahwa hukum yang ditetapkan
dengan urf shahih sama dengan hukum yang ditetapkan dengan dalil syari sehingga
timbul kaidah Ats-tsaabitu bil urfi tsaabitun bidaliilin syariyin.
5. Metode penemuan hukum berdasarkan kemaslahatan
Berdasarkan penelitian induktif dari ayat-ayat Al-Quran dan hadits Nabi (istiqra) bahwa
syariat itu bertujuan untuk kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat. Kemaslahatan
tersebut meliputi masalah pokok yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan
harta.
Penafsiran terhadap nash apabila diterapkan akan bertentangan dengan kemaslahatan
umum maka penafsirannya dilakukan dengan penafsiran teologis, seperti umar tidak
menghukum pencuri makanan yang dilakukan karena kelaparan.
Ulama Hanabilah seperti Ath-Tufi, berpendapat

bahwa dalam masalah muamalat,

pertimbangan maslahah lebih diutamakan daripada ketentuan nash khusus, seperti


ijtihad Umar Ibn Khattab yang menjadikan talak tiga sekaligus menjadi jatuh talak tiga
(talak bain kubra).
Malik menyebut metode ini dengan al-maslahatul mursalah, Abu Hanifah menyebut almashalihul aammah, Ahmad Ibn Hanbal menyebut al-istishlah, sedangkan Asy-Syafii
memasukkannya dalam bab qiyas.

35

Secara sederhana maslahat (al-maslahah) diartikan sebagai sesuatu yang baik atau
sesuatu yang bermanfaat.7 Al-Ghazali memformulasikan teori kemaslahatan

dalam

kerangka mengambil manfaat dan menolak kemudaratan untuk memelihara tujuantujuan syara 7 yang meliputi lima hal yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan
dan harta.
Menurut Al-Ghazali, suatu kemaslahatan

harus seiring dengan tujuan syara,

meskipun bertentangan dengan tujuan-tujuan manusia. Atas dasar ini, yang menjadi
tolok ukur dari maslahat itu adalah tujuan dan kehendak syara, bukan didasarkan
pada kehendak hawa nafsu manusia.
Tujuan syara dalam menetapkan hukum itu pada prinsipnya mengacu pada aspek
perwujudan kemaslahatan dalam kehidupan manusia. Muatan maslahat itu mencakup
kemaslahatan hidup di dunia maupun kemaslahatan hidup di akhirat. Kemaslahatan
bukan hanya didasarkan pada pertimbangan akal dalam memberikan penilaian
terhadap sesuatu itu baik atau buruk, tetapi lebih jauh dar itu ialah sesuatu yang baik
secara rasional harus sesuai dengan tujuan syara.
6. Metode penemuan hukum menggunakan sadduda-dzariiah
Dzariah

artinya

jalan,

atau

sesuatu

yang

menyampaikan

kepada

kesejahteraan/kebaikan atau kerusakan/kejelekan. Apabila ada sesuatu jalan yang


menyebabkan

celaka/kehancuran

maka

harus

ditutup.

Menutup

jalan

yang

menyebabkan kerusakan adalah suatu jalan ijtihad dalam menentukan hukumnya.


7. Metode penemuan hukum menggunakan istishhab
Metode ini berpegangan pada prinsip bahwa sebelum ada kepastian yang baru maka
keadaan yang lama tetap berlaku.
8. Metode penemuan hukum menggunakan perubahan waktu dan tempat.
Perubahan waktu, tempat dan situasi termasuk masalah illat dan maslahat. Hasil ijtihad
pada suatu masa di suatu tempat belum tentu dapat diberlakukan di suatu masa dan di
tempat yang lain.
Dalam hukum Islam, metode untuk menemukan hukum yang tersirat dalam teks
atau nash Al-Quran diperlukan daya nalar untuk mengetahui hakikat dan tujuan suatu teks
yang memungkinkannya untuk merentangkan hukum yang berlaku dalam teks tersebut
kepada kejadian lain yang bermunculan di balik teks itu. Metode tersebut disebut mafhum
muwafaqah dan mafhum mukhalafah5 yang dapat dijelaskan sebagai berikut:

1; Mafhum muwafaqah, yaitu suatu yang tidak diucapkan (maskut anhu) sesuai dengan
apa yang diucapkan.

774 Husain Hamid Hasan, Nazdariyah al-Mashlahah fi al-Fiqh al-Islamy, dalam Efrinaldi, Teori
Kemaslahatan Dalam Wacana Pembaruan Hukum Islam : Suatu Kajian terhadap Pemikiran
Najm Din Thufi, Mimbar Hukum No. 55 Th XII 2001, Alhikmah & Ditbinbapera Islam, Jakarta, h. 29.
775 Abu Hamid al-Ghazali, al-Mustashfa fiIlm al-Ushul, dalam Efrinaldi, ibid
5 Amir Syarifuddin, op. cit., h. 49-50.

36

Mafhum muwafaqah dapat dibagi menjadi dua, yaitu fahwal khitab dan lahnul khitab.
Mafhum Muwafaqah disebut fahwal khitab, apabila apa yang tidak diucapkan itu
hukumnya lebih utama daripada yang diucapkan, seperti larangan memukul orang tua
tidak disebutkan dalam nash Al-Quran tetapi dalam Al-Quran Surat al-Isra ayat (23)
ditemukan larangan mengucapkan kata uf kepada orang tua. Kalau mengucapkan
kata-kata yang tidak pantas saja sudah dilarang, maka akan lebih dilarang kalau sampai
memukulnya. Mafhum muwafaqah disebut lahnul khitab, apabila yang tidak diucapkan
sama hukumnya dengan yang diucapkan, seperti larangan membakar harta benda
anak yatim yang dapat dipahami dari larangan Allah dalam Al-Quran Surat al-Nisa ayat
(10) yang melarang memakan harta anak yatim secara zalim dengan suatu ancaman.

2; Mafhum mukhalafah, yaitu suatu lafazh yang tidak diucapkan berlawanan hukumnya
dengan apa yang diucapkan, baik dalam itsbat atau nafi-nya, seperti tidak wajib zakat
binatang yang tidak digembalakan dapat dipahami dari hadits Rasulullah yang
mewajibkan membayar zakat binatang yang digembalakan. Mafhum mukhalafah ini
disebut juga dalilul khitab dan dapat dibagi menjadi:

1; Mafhum shifah, yaitu menggantungkan makan atas sesuatu dengan salah satu dari
sifat-sifatnya, seperti kifarat pembunuhan yang dinyatakan dengan memerdekakan
hamba sahaya yang mukmin.

2; Mafhum illah, yaitu menggantungkan hukum atas sesuatu dengan adanya illat,
seperti diharamkannya khamer karena memabukkan.

3; Mafhum adad, yaitu menggantungkan hukum atas sesuatu dengan bilangan yang
tertentu, seperti firman Allah dalam hal dilakukannya hukum had menuduh zina,
apabila tidak mendatangkan empat orang saksi yang menguatkan tuduhannya itu.

4; Mafhum ghoyah, yaitu perkataan yang menunjukkan adanya hukum sampai kepada
batas yang tertentu, seperti perintah membasuh tangan ketika berwudlu hingga dua
buah sikutnya, juga larangan Allah mengumpuli isteri pada waktu haidl hingga suci.

5; Mafhum bashar, yaitu mengkhususkan hukum dengan apa yang disebutkan dalam
perkataan yang dinyatakan, tidak mengenai selain yang disebutkan dalam
perkataan tersebut dengan menggunakan adatul bashar, antara

lain kata-kata

innama dan nafi sebelum istitsma. Misalnya sabda Rasulullah yang diriwiyatkan AnNasai yang mengatakan, Aku diperintahkan berwudlu hanya di waktu akan
mengerjakan shalat.73
Berdasarkan uraian tersebut, penulis dapat menyimpulkan bahwa ada kesamaan
antara

hukum umum dan hukum Islam

dalam metode penemuan hukum terhadap

peraturan hukum atau nash yang bersifat umum, tidak jelas, dan tidak ditemukan peraturan
hukumnya atau

nash-nya dalam Al-Quran. Metode tersebut dapat berupa interpretasi,

konstruksi, dan menetapkan hukum yang tidak tersurat maupun tersirat dalam nash Al-

73 Ahmad Azhar Basyir, Ushul Fiqih, t.p., Yogyakarta, 1957, h. 53-57.

37

Quran. Metode penemuan hukum yang telah diuraikan tersebut dapat digunakan hakim
dalam menyelesaikan peristiwa hukum konkrit. Metode yang digunakan tergantung kepada
objek yang harus diselesaikan atau ditemukan hukumnya dan kemampuan hakim yang
akan menggunakannya, karena itu terdapat korelasi positif antara kualitas intelektual hakim
dengan kemampuan melakukan penemuan hukum dalam menyelesaikan peristiwa hukum
konkrit.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Pendekatan dan Sifat Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan (approach) yuridis empirik (socio legal
research), yaitu meneliti tentang alasan-alasan yang menjadi pertimbangan hakim
Pengadilan Agama dalam mengabulkan permohonan izin poligami dengan alasan di luar
ketentuan undang-undang dengan menekankan pada efektifitas Pasal 4 ayat (2) Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 mengenai alasan-alasan untuk melakukan poligami.
Sifat penelitian ini deskriptif analisis untuk memberikan gambaran secara jelas
tentang objek yang diteliti dan memberikan analisis sehingga hasilnya lebih valid.
3.2. Lokasi
Lokasi penelitian ini adalah Pengadilan Agama Malang yang mempunyai
kompetensi relatif seluas wilayah Kota Malang. Alasan utama pemilihan lokasi penelitian ini
karena di Pengadilan Agama Malang terdapat kasus izin poligami dengan alasan di luar
ketentuan undang-undang yang menjadi objek penelitian dan di Pengadilan Agama Malang
tersebut dimungkinkan diadakan penelitian.
3.3. Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah pihak-pihak yang terlibat dalam permohonan izin
poligami di Pengadilan Agama Malang, yaitu para hakim, Panitera Pengganti sebagai
pendamping hakim dalam persidangan, dan pihak-pihak berperkara (yustisiabel).
Penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling, yakni penentuan sampel
dilakukan berdasarkan pertimbangan tertentu. Penentuan sampel Pengadilan Agama
Malang dalam penelitian ini didasarkan pada pertimbangan, yaitu Pengadilan Agama
Malang sebagai Pengadilan Agama Kelas I A sehingga dituntut adanya hakim yang
berkualitas baik dari segi senioritas maupun kemampuan dalam menangani perkara, tingkat
pendidikan masyarakat Kota Malang relatif tinggi sehingga berpengaruh terhadap kualitas
perkara yang diterima oleh Pengadilan Agama Malang termasuk perkara permohonan izin
poligami, dan beragamnya alasan permohonan izin poligami di luar ketentuan undangundang yang diajukan kepada Pengadilan Agama Malang.

38

Penentuan sampel subjek penelitian dalam penelitian ini yaitu pihak-pihak yang
pernah terlibat dalam pelaksanaan izin poligami dengan alasan di luar ketentuan undangundang dari tahun 1999-2001. Subjek penelitian ini meliputi:

1; Hakim Pengadilan Agama Malang yang pernah memutus perkara izin poligami dengan
alasan diluar ketentuan undang-undang. Hakim Pengadilan Agama Malang berjumlah 7
orang. Hakim yang dijadikan sampel adalah mereka yang pernah memutus perkara izin
poligami di luar ketentuan undang-undang dari tahun 1999-2001 sebanyak 5 orang.

2; Hakim Pengadilan Tinggi Agama Jawa Timur yang berkedudukan di Surabaya sebanyak
1 orang, yakni hakim yang pernah memutus perkara pada tingkat banding terhadap
putusan permohonan izin poligami Pengadilan Agama Malang yang dimohonkan
banding oleh pihak isteri karena merasa tidak menerima terhadap dikabulkannya
permohonan suami untuk berpoligami dengan alasan di luar ketentuan undang-undang.
Hakim Pengadilan Tinggi Agama ini diharapkan dapat menilai secara objektif terhadap
putusan Pengadilan Agama Malang yang telah mengabulkan permohonan izin poligami
dengan alasan di luar ketentuan undang-undang.
3; Panitera Pengganti yang pernah mendampingi hakim

dalam persidangan tersebut.

Panitera Pengganti Pengadilan Agama Malang berjumlah 9 orang, sedangkan Panitera


Pengganti yang dijadikan sampel adalah mereka yang pernah mendampingi hakim
dalam persidangan tersebut berjumlah 5 orang.

4; Pihak-pihak berperkara (yustisiabel) dalam permohonan izin poligami dengan alasan di


luar ketentuan undang-undang. Pihak-pihak berperkara tersebut seluruhnya berjumlah
36 orang. Adapun pihak-pihak yang dijadikan sampel adalah 10 orang.

5; Ulama yang menguasai hukum Islam untuk diketahui pendapat dan pandangannya
mengenai permohonan izin poligami dengan alasan di luar ketentuan undang-undang
yang dikabulkan oleh hakim Pengadilan Agama. Ulama tersebut berasal dari Majelis
Ulama Indonesia (MUI) Kota Malang 1 orang, unsur Rais Syuriah Nahdlatul Ulama (NU)
Cabang Kota Malang 1 orang, dan Majelis Tarjih Muhammadiyah Malang 1 orang.
Jumlah seluruh responden dalam penelitian ini adalah:

1; Hakim Pengadilan Agama Malang

5 orang

2; Hakim Pengadilan Tinggi Agama Jawa Timur di Surabaya :

1 orang

3; Panitera Pengganti

5 orang

4; Pihak-pihak berperkara

10 orang

5; Ulama

3 orang

Jumlah

24 orang

3.4. Bahan Penelitian

39

Untuk memperoleh data yang berhubungan dengan penelitian ini dilakukan


pengumpulan data

primer dan sekunder. Data primer diperoleh di lapangan dari hasil

wawancara mengenai alasan-alasan yang menjadi pertimbangan hakim Pengadilan Agama


dalam mengabulkan permohonan izin poligami dengan alasan di luar ketentuan undangundang dengan hakim Pengadilan Agama, Panitera Pengganti, dan pihak-pihak berperkara
(yustisiabel). Data sekunder berupa bahan hukum, yaitu:

1; Bahan hukum primer, meliputi

bahan-bahan hukum yang mengikat,

antara lain

Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 jo. Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999,


Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan putusan Pengadilan
Agama Malang serta Pengadilan Tinggi Agama Jawa Timur di Surabaya tentang
permohonan izin poligami.

2; Bahan hukum sekunder, antara lain buku-buku atau literatur, laporan hasil penelitian
berupa tesis serta artikel dan laporan hasil seminar, diskusi maupun simposium.

3; Bahan hukum tersier yang berupa kamus hukum, kamus Bahasa Indonesia

dan

ensiklopedi umum maupun ensiklopedi hukum Islam.


3.5. Instrumen Penelitian
3.5.1. Wawancara
Untuk memperoleh data primer dilakukan wawancara secara mendalam (depth
interview) dan wawancara semi terpimpin (semi structure) terhadap responden dengan
mengacu pada pedoman wawancara (interview guide). Wawancara dilakukan berdasarkan
pertanyaan-pertanyan yang telah disiapkan sebagai pedoman wawancara tetapi peneliti
dapat mengembangkan dengan variasi-variasi pertanyaan sesuai dengan situasi ketika
wawancara. Hasil wawancara yang dilakukan

dapat dibantu dengan catatan lapangan

(field note). Penelitian juga menggunakan kuesioner berupa pertanyaan yang bersifat
kombinasi antara terbuka dan tertutup, sehingga masih memberi kemungkinan kepada
responden untuk memberikan jawaban yang sesuai dengan pendapat dan pandangannya.
Kuesioner tersebut memuat daftar pertanyaan untuk mengungkap pemahaman responden
terhadap alasan-alasan permohonan izin polgami menurut ketentuan undang-undang, sikap
dan pandangan responden terhadap permohonan izin poligami dengan alasan di luar
ketentuan undang-undang, faktor-faktor yang menjadi pertimbangan hakim dalam
mengabulkan permohonan izin poligami dengan alasan di luar ketentuan undang-undang,
dan pandangan responden terhadap ketentuan undang-undang yang mengatur mengenai
alasan-alasan permohonan izin poligami.

40

3.5.2. Studi Dokumentasi


Data Sekunder diperoleh dengan studi dokumentasi terhadap bahan-bahan hukum
primer, sekunder, dan tersier sebagaimana telah diuraikan sebelumnya.
3.6. Jalannya Penelitian
Langkah yang ditempuh dalam penelitian ini meliputi tiga tahap, yaitu :

1; Tahap persiapan
Tahap ini dimulai dengan pengumpulan bahan kepustakaan, melakukan pra survai,
penyusunan usulan penelitian yang kemudian dikonsultasikan, seminar usulan penelitian
dan penyempurnaannya, penyusunan kuesioner dan pedoman wawancara.

2; Tahap pelaksanaan
Pada tahap ini, untuk penelitian kepustakaan dilakukan pengumpulan dan pengkajian
terhadap data sekunder, yang meliputi bahan hukum primer, sekunder dan tersier
sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya. Penelitian lapangan dilakukan dengan
penentuan responden dan pengumpulan data melalui wawancara dan kuesioner yang telah
disusun, juga dilakukan pengumpulan data sekunder melalui studi dokumentasi terhadap
putusan pengadilan.

3; Tahap penyelesaian
Pada tahap ini dilakukan berbagai kegiatan, yaitu penulisan laporan awal hasil penelitian
dan analisis data, dilanjutkan dengan konsultasi dan perbaikan, dan penyusunan laporan
akhir.
Sesuai instrumen penelitian yang digunakan, maka data yang diperoleh dalam
penelitian dibedakan atas:

1; Data yang diperoleh dari studi dokumentasi berupa:


1; Berbagai peraturan, yurisprudensi, literatur, dan laporan hasil penelitian, khususnya
yang berkaitan dengan permohonan izin poligami di Pengadilan Agama Malang.

2; Data yang diperoleh dari putusan Pengadilan Agama Malang dan Pengadilan Tinggi
Agama Jawa Timur di Surabaya dari tahun 1999 sampai dengan 2001.

2; Data yang diperoleh melalui wawancara dengan responden dan

kuesioner yang

dibagikan kepada para hakim Pengadilan Agama Malang, yaitu:

1; Pemahaman responden (khususnya hakim) terhadap alasan-alasan permohonan izin


poligami menurut ketentuan undang-undang.

2;

Sikap responden (khususnya hakim) terhadap permohonan izin poligami dengan


alasan di luar ketentuan undang-undang.

3;

Faktor-faktor yang menyebabkan hakim Pengadilan Agama

mengabulkan

permohonan izin poligami dengan alasan di luar ketentuan undang-undang.

41

4;

Pendapat dan pandangan Ulama dalam menilai permohonan izin poligami dengan
alasan di luar ketentuan undang-undang yang dikabulkan oleh hakim Pengadilan
Agama.

c. Data yang diperoleh melalui wawancara bersifat melengkapi terhadap data yang
diperoleh melalui kuesioner mengenai hal-hal yang telah disebutkan sebelumnya.
3.7. Analisis Data
Analisis data adalah

proses mencari dan mengatur secara sistematis transkrip

interview, catatan lapangan dan bahan-bahan lain yang ditemukan di lapangan untuk
meningkatkan pemahaman dan membantu untuk mempresentasikan temuan penelitian
kepada orang lain. Secara substansial, dalam analisis data terkandung muatan
pengumpulan dan interpretasi data yang menjadi ciri utama dari penelitian deskriptif
kualitatif.74
Tahapan-tahapan yang diperlukan dalam analisis data sebagai berikut:

1;
2;
3;
4;
5;

Editing
Coding
Tabulasi
Interpretasi data
Analisis data
Analisis data

yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif

meskipun penulis juga memberikan data yang bersifat kuantitatif. Peneliti menganalisis
putusan-putusan izin poligami dengan alasan di luar ketentuan undang-undang
dihubungkan dengan hasil wawancara dengan responden dihubungkan pula dengan
sumber-sumber lain yang berkaitan dengan penelitian ini, dan mengambil data-data yang
berkualitas.

BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1. Penerapan Izin Poligami di Pengadilan Agama
Hukum acara pada umumnya dapat dibagi menjadi tiga tahap, yaitu tahap
pendahuluan, tahap penentuan, dan tahap pelaksanaan. Tahap pendahuluan adalah tahap
persiapan sebelum acara pemeriksaan di persidangan, seperti mengajukan permohonan.
Tahap penentuan adalah tahap pemeriksaan di persidangan yang dimulai dari jawab
menjawab, pembuktian peristiwa sampai pada putusan. Tahap pelaksanaan meliputi
pelaksanaan putusan sampai selesai.75

74 Bogdan dan Biklen, dalam Erna Widodo dan Mukhtar, Konstruksi ke Arah Penelitian
Deskriptif, Avyruz, Yogyakarta, 2000, h.123.
75 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1988, h.4.

42

Untuk mengetahui penerapan izin poligami di Pengadilan Agama Malang maka penelitian
ini membagi dalam dua tahap, yaitu tahap pendahuluan atau tahap pengajuan permohonan
dan tahap penentuan atau pemeriksaan. Tahap pendahuluan atau pengajuan permohonan
menekankan pada hal-hal yang berkaitan dengan pengajuan surat permohonan izin
poligami, sedangkan tahap penentuan atau pemeriksaan tentang pemeriksaan di
persidangan yang dimulai dari jawab menjawab, pembuktian sampai pada hakim memutus
permohonan izin poligami.
4.1.1. Tahap Pengajuan Permohonan
Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Nomor

1 Tahun 1974 menentukan

bahwa

seorang suami yang akan berpoligami wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan
di daerah tempat tinggalnya. Permohonan tersebut

dibuat dalam bentuk tertulis

sebagaimana ditentukan Pasal 40 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.


Dalam praktik di Pengadilan Agama Malang, seorang suami yang akan berpoligami
mengajukan permohon izin poligami secara tertulis kepada Pengadilan Agama. Hal
demikian telah sesuai dengan ketentuan Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 jo. Pasal 40 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
Permohonan izin poligami di Pengadilan Agama Malang pada tahun 1999-2001
berjumlah 34 perkara, terdiri dari 9 perkara pada tahun 1999, 15 perkara pada tahun 2000
dan 10 perkara pada tahun 2001, sebagaimana dalam rincian Tabel 1 berikut :
TABEL 1
PERKARA PERMOHONAN IZIN POLIGAMI
DI PENGADILAN AGAMA MALANG
TAHUN 1999-2001

No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
1
2

No. Perkara
Tahun 1999
257/Pdt.G/2001/PA Mlg
418/Pdt.G/2001/PA Mlg
433/Pdt.G/2001/PA Mlg
457/Pdt.G/2001/PA Mlg
498/Pdt.G/2001/PA Mlg
539/Pdt.G/2001/PA Mlg
701/Pdt.G/2001/PA Mlg
709/Pdt.G/2001/PA Mlg
731/Pdt.G/2001/PA Mlg
Tahun 2000
163/Pdt.G/2000/PA Mlg
207/Pdt.G/2000/PA Mlg

Jumlah

9 perkara

43

3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15

341/Pdt.G/2000/PA Mlg
467/Pdt.G/2000/PA Mlg
515/Pdt.G/2000/PA Mlg
547/Pdt.G/2000/PA Mlg
663/Pdt.G/2000/PA Mlg
15 perkara
672/Pdt.G/2000/PA Mlg
674/Pdt.G/2000/PA Mlg
700/Pdt.G/2000/PA Mlg
734/Pdt.G/2000/PA Mlg
820/Pdt.G/2000/PA Mlg
850/Pdt.G/2000/PA Mlg
887/Pdt.G/2000/PA Mlg
916/Pdt.G/2000/PA Mlg
Tahun 2001
1
162/Pdt.G/2001/PA Mlg
2
243/Pdt.G/2001/PA Mlg
3
262/Pdt.G/2001/PA Mlg
4
311/Pdt.G/2001/PA Mlg
5
316/Pdt.G/2001/PA Mlg
10 perkara
6
482/Pdt.G/2001/PA Mlg
7
539/Pdt.G/2001/PA Mlg
8
622/Pdt.G/2001/PA Mlg
9
636/Pdt.G/2001/PA Mlg
10
688/Pdt.G/2001/PA Mlg
Sumber: Data sekunder dari Pengadilan Agama Malang setelah diolah
oleh penulis tahun 2002

Permohonan izin poligami dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 nampak


merupakan perkara voluntair namun undang-undang tersebut juga mengkaitkan masalah
izin poligami dengan persetujuan dari isteri sehingga Mahkamah Agung memberi petunjuk
dalam hal permohonan izin poligami tidak dapat dilakukan secara voluntair tetapi harus
dalam bentuk gugatan yang bersifat kontensius.76
Dalam praktik di Pengadilan Agama Malang, Permohonan izin poligami tersebut
tidak dibuat dalam bentuk voluntair tetapi dalam bentuk gugatan kontensius karena selalu
melibatkan kepentingan pihak lain, yaitu berkaitan dengan kepentingan isteri. Dalam hal ini
suami sebagai pihak pemohon dan isteri sebagai pihak termohon.
Ada yang berpendapat bahwa

permohonan izin poligami dapat dibuat dalam bentuk

voluntair asalkan antara pihak suami isteri telah sepakat sehingga suami isteri dapat secara
bersama-sama mengajukan permohonan izin poligami.77 Dalam permohonan tersebut

76 Dalam hal ini juga dikaitkan dengan rumusan Pasal 59 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan
bahwa bilamana Pengadilan Agama memberi izin kepada suami untuk beristeri lebih dari seorang,
sedang isteri tidak mau memberikan persetujuannya maka terhadap penetapan ini isteri atau suami
dapat mengajukan banding atau kasasi. Lihat dalam Mahkamah Agung RI, Pedoman Pelaksanaan
Tugas dan Administrasi Pengadilan Buku II, Proyek Pembinaan Tehnis Yustisial Mahkamah
Agung RI, 1997, h.217.
77 Wildan Suyuthi (peny.), Beberapa Permasalahn Acara Perdata Peradilan Agama dalam Tanya
Jawab, Mahkamah Agung RI, 2001, h.

44

keduanya bertindak sebagai pihak pemohon, yaitu suami sebagai pihak pemohon I dan
isteri sebagai pihak pemohon II. Permohonan yang dibuat dalam bentuk voluntair dapat
dilakukan
diajukan

apabila

isteri

sudah

menyetujui

sebelum

permohonan

tersebut

ke Pengadilan Agama.

Apabila isteri tidak menyetujui maka dibuat dalam bentuk kontensius. Pendapat tersebut
dalam praktiknya akan muncul masalah apabila isteri yang menyetujui suaminya
berpoligami sebelum permohonan diajukan kepada pengadilan, namun

ternyata dalam

proses pemeriksaan isteri berubah sikap menjadi tidak menyetujui permohonan tersebut. 78
Permohonan izin poligami dalam bentuk gugatan kontensius lebih tepat tanpa harus
dibedakan ada atau tidak adanya persetujuan isteri sebelum permohonan diajukan ke
pengadilan.
Permohonan izin poligami dalam bentuk gugatan kontensius diajukan oleh seorang suami
yang akan berpoligami kepada ketua pengadilan yang berkompeten yaitu yang mewilayahi
tempat kediaman suami.79 Permohonan tersebut memuat tuntutan hak dan merupakan
landasan pemeriksaan perkara dan pembuktian kebenaran suatu hak. Penyusunan surat
permohonan izin poligami harus memenuhi

syarat-syarat

yaitu

adanya

tuntutan

hak yang harus mempunyai kepentingan hukum yang cukup.80


HIR dan Rbg. hanya mengatur tentang cara mengajukan gugatan, sedangkan ketentuan
mengenai syarat-syarat isi gugatan dapat ditemukan dalam Pasal 8 nomor 3 Rv. yang
menentukan bahwa

gugatan harus memuat yaitu

identitas pihak-pihak, fundamentum

petendi, dan petitum.


Permohonan izin poligami yang diajukan harus memenuhi unsur-unsur yaitu:
a. Identitas pihak-pihak berperkara
Identitas pihak-pihak dalam permohonan izin poligami yang diajukan ke Pengadilan
Agama Malang terdiri dari nama, umur, agama, pekerjaan, tempat tinggal, dan
kedudukannya sebagai pihak dalam perkara yang diajukan. Kedudukan suami sebagai
pihak pemohon dan isteri sebagai pihak termohon.
b. Posita

78 Termohon dalam Perkara No. 539/Pdt.G/2001/PA Mlg. telah menyetujui secara lisan Pemohon
untuk menikah lagi, karena pasangan tersebut tidak mempunyai keturunan. Namun setelah
Termohon mengetahui bahwa calon isteri Pemohon yang bersikap tidak simpatik dan keluarga calon
isteri Pemohon yang bersikap melecehkan Termohon karena tidak mempunyai anak, maka
Termohon tidak menyetujui Pemohon menikah lagi, sehingga niat suami yang semula menggebu
untuk melakukan poligami menjadi kacau dan tidak menghadiri persidangan sehingga perkara
tersebut gugur. Demikian juga dalam perkara No. 688/Pdt.G/2001/PA Mlg., Termohon yang semula
menyetujui secara lisan dan tertulis namun kemudian mencabut persetujuan tersebut, karena baru
mendengar bahwa ternyata calon isteri Pemohon tersebut adalah janda beranak dua, sehingga
Termohon khawatir Pemohon akan melalaikan tanggung jawabnya terhadap anak-anak Pemohon
dan Termohon yang berjumlah tiga orang dan mereka sedang kuliah.
79 Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
80 Tuntutan hak dan kepentingan hukum yang cukup dan layak serta mempunyai dasar hukum saja
yang dapat diterima sebagai dasar tuntutan hak. Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata
Indonesia, op.cit., h. 33-34.

45

Posita adalah dalil-dalil konkrit tentang adanya hubungan hukum yang merupakan
dasar serta adanya alasan-alasan dari tuntutan (fundamentum petendi). Posita terdiri dari
dua bagian, yaitu:81
1. Bagian yang menguraikan tentang kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa yang terjadi
sehingga permohonan tersebut diajukan ke pengadilan. Bagian ini juga merupakan
penjelasan duduk perkaranya sehingga bermaksud menuntut haknya kepada pengadilan
(feitelijke gronden).
2. Bagian yang menguraikan tentang hukumnya dan tentang adanya hak atau hubungan
hukum yang menjadi dasar yuridis dari tuntutan (rechtelijke gronden).
Permohonan izin poligami yang diajukan ke Pengadilan Agama Malang ada yang
mendalilkan alasan-alasan sesuai dengan ketentuan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974,
namun ada pula yang mengajukan alasan-alasan di luar ketentuan undang-undang,
sebagaimana dapat diketahui dari putusan Pengadilan Agama Malang mengenai
permohonan izin poligami selama tahun 1999-2001 yang dapat digambarkan dalam Tabel
2 berikut:
TABEL 2
ALASAN-ALASAN PERMOHONAN IZIN POLIGAMI
DI PENGADILAN AGAMA MALANG
TAHUN 1999-2001

No.

Tahun

Jumlah

Alasan-alasan
Sesuai ketentuan Di luar ketentuan

Perkara

undang-undang

undang-undang

1999

2000

15

2001

10

Jumlah
Prosentase

34
100%

16
47%

18
53%

Sumber: Data sekunder dari Pengadilan Agama Malang setelah diolah oleh
penulis tahun 2002
Alasan-alasan yang sesuai dengan ketentuan undang-undang dalam permohonan
tersebut, sebagaimana dalam Tabel 3 sebagai berikut :
TABEL 3

81 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Al-Hikmah,
Jakarta, 2000, h. 19.

46

ALASAN-ALASAN PERMOHONAN IZIN POLIGAMI


SESUAI KETENTUAN UNDANG-UNDANG
No.

Alasan-alasan

Jumlah
Perkara

Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai

isteri
2

Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak

dapat disembuhkan
3

Isteri tidak dapat melahirkan keturunan

8
16

Jumlah

Sumber: Data sekunder Pengadilan Agama Malang Tahun 1999 - 2001 setelah
diolah oleh penulis tahun 2002
Alasan-alasan di luar ketentuan undang-undang yang diajukan dalam permohonan
tersebut adalah suami telah menjalin hubungan dengan wanita lain, suami telah kawin sirri 82
dengan calon isteri, suami ingin mempunyai anak lagi, kemampuan seksual suami sangat
tinggi, suami memenuhi permintaan calon isteri dan keluarganya, dan isteri sibuk bekerja,
sebagaimana dalam Tabel 4 sebagai berikut :
TABEL 4
ALASAN-ALASAN PERMOHONAN IZIN POLIGAMI
DI LUAR KETENTUAN UNDANG-UNDANG
No.

Alasan-alasan

Suami telah menjalin hubungan dengan wanita

Jumlah Prosentase
9

50 %

lain
2

Suami telah kawin sirri dengan calon isteri

11%

Suami ingin mempunyai anak lagi

11%

Kemampuan seksual suami sangat tinggi

11%

Suami memenuhi permintaan calon isteri dan

11%

keluarganya

82 Kawin sirri adalah perkawinan yang dilakukan hanya berdasarkan ketentuan agama Islam tanpa
dicatatkan di Kantor Urusan Agama.

47

Isteri sibuk bekerja


Jumlah

6%

18

100%

Sumber: Data sekunder dari Pengadilan Agama Malang Tahun 1999 - 2001 setelah
diolah oleh penulis tahun 2002
Alasan suami telah menjalin hubungan dengan wanita lain merupakan alasan di
luar ketentuan undang-undang yang dominan, jumlahnya mencapai 9 perkara (50 %).
Alasan menjalin hubungan dengan wanita lain tersebut dapat dirinci lagi, yaitu:

1; Hubungan tersebut belum pada taraf hubungan seksual


2; Hubungan sampai taraf hubungan layaknya suami isteri
3; Hubungan layaknya suami isteri sampai hamil
4; Hubungan layaknya suami isteri sampai melahirkan anak
Alasan telah menjalin hubungan dengan wanita lain dirumuskan antara lain sebagai
berikut :
Bahwa rumah tangga Pemohon dan Termohon cukup harmonis dan bahagia lahir
maupun batin namun Pemohon telah berhubungan dengan wanita lain sudah 2 tahun
lamanya, oleh karena itu Pemohon menyampaikan kepada Termohon bahwa Pemohon
bermaksud menikah lagi dan Termohon menyatakan tidak keberatan dan menyetujui
Pemohon menikah lagi.83
Alasan suami telah kawin sirri dengan calon isteri berjumlah 2 perkara (11%). Alasan ini
pada dasarnya tidak berbeda dengan alasan pertama namun jalinan hubungan tersebut
dilanjutkan dengan perkawinan sirri yang menurut keyakinannya merupakan upaya
menghidari perbuatan dosa. Alasan tersebut dirumuskan antara lain sebagai berikut:
Bahwa rumah tangga Pemohon dan Termohon cukup harmonis dan bahagia lahir
batin, namun Pemohon telah kawin sirri dengan wanita lain dan sudah berhubungan
layaknya suami isteri

sehingga wanita tersebut hamil 2 bulan, oleh karena itu

Pemohon menyampaikan kepada Termohon bahwa Pemohon bermaksud menikah


lagi dan Termohon menyatakan tidak keberatan Pemohon menikah lagi.84
Alasan suami ingin mempunyai anak lagi berjumlah 2 perkara (11%). Suami yang
mengajukan poligami dengan alasan ini masing-masing telah mempunyai dua dan tiga

83 Permohonan Izin Poligami No. 700/Pdt.G/2000/PA Mlg, tanggal 7 September 2000


84 Permohonan Izin Poligami No. 547/Pdt.G/200/PA Mlg., tanggal 23 Agustus 2000.

48

orang anak, bahkan anak-anaknya sudah memasuki usia remaja dan dewasa. Salah satu
permohonan tersebut diajukan seorang suami dengan alasan yang dirumuskan sebagai
berikut:
Bahwa Pemohon dan Termohon setelah perkawinan tersebut telah hidup rukuan
hingga sekarang ini, dan telah dikaruniai 2 (dua) orang anak yang masing-masing
bernama G, umur 16 tahun, dan D, umur 13 tahun.
Bahwa Pemohon sangat mendambakan keturunan lagi dari Termohon, tetapi
Termohon tidak sanggup lagi karena kondisi fisik sudah tidak memungkinkan untuk
melahirkan anak lagi dan Termohon menyetujui Pemohon untuk menikah lagi.85
Alasan kemampuan seksual suami sangat tinggi berjumlah 2 perkara (11%). Alasan ini
diajukan bukan karena isteri tidak mampu melaksanakan kewajiban atau isteri mengalami
sakit, tetapi karena tuntutan suami untuk melakukan hubungan seksual yang melebihi dari
kemampuan seorang suami pada umumnya, sehingga solusi poligami lebih baik daripada
suami terjerumus pada perbuatan-perbuatan yang dilarang agama. Salah satu permohonan
tersebut diajukan oleh seorang suami yang telah mempunyai 9 orang anak dengan alasan
yang dirumuskan sebagai berikut :
Bahwa rumah tangga Pemohon dan Termohon cukup harmonis, namun Pemohon
yang masih sangat kuat untuk melakukan hubungan sami isteri secara rutin, ternyata
akhir-akhir ini Termohon merasa kewalahan dalam melayani Pemohon untuk
melakukan hubungan seksual, oleh karena itu Pemohon menyampaikan kepada
Termohon bahwa Pemohon akan menikah lagi demi kebahagiaan bersama, Termohon
menyatakan tidak keberatan.86
Alasan suami memenuhi permintaan calon isteri dan keluarganya berjumlah 2 perkara
(11%).

Alasan ini diawali adanya jalinan hubungan antara suami dengan calon isteri

sehingga calon isteri dan keluarga meminta atau menuntut pertanggungjawaban atas
hubungan yang telah mereka lakukan selama ini. Alasan tersebut dirumuskan:
Bahwa meskipun Termohon masih sanggup melayani Pemohon dengan baik, tetapi
Pemohon telah berhubungan dengan wanita lain dan bermaksud memenuhi permintaan
atau tuntutan calon isteri Pemohon dan keluarganya

untuk menikahi calon isteri

Termohon secara resmi dan dicatatkan sesuai peraturan perundang-undangan yang


berlaku.87

Alasan isteri sibuk bekerja berjumlah 1 perkara (6%). Suami yang mengajukan alasan ini
tidak menyatakan isterinya tidak mampu melayani bahkan dinyatakan dengan tegas bahwa

85 Permohonan Izin Poligami No. 663/Pdt.G/2000/PA Mlg., tanggal 28 Agustus 2000.


86 Permohonan Izin Poligami No. 622/Pdt.G/2001/PA Mlg., tanggal 21 Agustus 2001.
87 Permohonan Izin Poligami No. 467/Pdt.G/2000/PA Mlg., tanggal 10 Juni 2000.

49

isteri sanggup melayani dengan baik, tetapi karena kesibukan isteri dalam bekerja
dikhawatirkan suami akan melakukan perbuatan-perbuatan yang melanggar agama. Alasan
tersebut dirumuskan sebagai berikut:
Bahwa rumah tangga Pemohon dan Termohon selama ini rukun dan harmonis, dan
Termohon sebagai isteri tetap melayani Termohon dengan baik, tetapi akhir-akhir ini
Termohon terlalu sibuk dalam pekerjaannya sehingga khawatir Pemohon jatuh pada
hal-hal yang tidak diinginkan, oleh karena itu Pemohon akan menikah lagi dan
Termohon telah menyatakan tidak keberatan.88
c. Petitum.
Petitum adalah apa yang diminta atau diharapkan oleh Pemohon agar diputuskan oleh
hakim dalam persidangan dan tuntutan tersebut akan terjawab dalam amar putusan.
Petitum harus dirumuskan secara jelas, singkat dan padat (een duidelijke en bepalde
conclusie) sebab tuntutan yang tidak jelas maksudnya atau tidak sempurna dapat
mengakibatkan tidak diterima atau ditolaknya tuntutan tersebut oleh hakim. 89 Isi tuntutan
yang diminta oleh pemohon harus dibuat

jelas dan terang, berdasarkan hukum, dan

didukung oleh posita.


Dalam praktik peradilan, petitum dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu petitum primer atau
tuntutan pokok, tuntutan tambahan, dan petitum subsider atau tuntutan pengganti.
Bentuk petitum yang terdapat dalam permohonan izin poligami di Pengadilan
Agama Malang terdiri dari petitum primer dan subsider. Petitum primer adalah tuntutan
pokok atau tuntutan yang sebenarnya, sedangkan petitum subsider adalah tuntutan
pengganti yang berfungsi untuk mengantisipasi jika tuntutan pokok tidak diterima oleh
hakim.
Petitum primer dalam permohonan izin poligami tersebut dirumuskan sebagai
berikut:

1; Mengabulkan permohonan pemohon


2; Memberi izin kepada pemohon untuk menikah lagi (poligami) dengan calon isteri
pemohon bernama (--- binti --- ) 90

3; Menetapkan biaya perkara menurut hukum


Petitum subsider dirumuskan dengan kalimat Apabila Pengadilan Agama berpendapat lain
mohon putusan yang seadil-adilnya.
4.1.2. Tahap Penentuan atau Pemeriksaan
88 Permohonan Izin Poligami No. 709/Pdt.G/1999/PA Mlg., tanggal 23 Oktober 1999

89 Lihat Pasal 8 nomor 3 Rv dan Putusan Mahkamah Agung tanggal 16 Desember 1970 Nomor 492
K/Sip/1970, dalam Sudikno Mertokusumo, op.cit, h. 36.
90 Menyebutkan nama calon isteri dan nama ayah kandung dari calon isteri tersebut

50

Kegiatan hakim yang utama dan paling banyak adalah pada tahap penentuan atau
pemeriksaan di persidangan. Pada dasarnya apa yang dilakukan hakim di persidangan
adalah mengkonstatasi peristiwa konkrit (legal problem identification), mengkualifikasi
peristiwa konkrit yang berarti menetapkan peristiwa hukumnya dari peristiwa konkrit (legal
problem solving), dan mengkonstitusi atau memberi hukumnya (decision making).91
Menurut ketentuan Pasal 42 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975,
dalam melakukan pemeriksaan mengenai permohonan izin poligami maka pengadilan
harus memanggil dan mendengar isteri yang bersangkutan, dan pemeriksaan pengadilan
untuk itu dilakukan oleh hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya
surat permohonan serta lampiran-lampirannya.
Dalam praktik di Pengadilan Agama Malang, sebelum

pemeriksaan

dilakukan oleh majelis hakim, suami sebagai pemohon dan isteri sebagai termohon
dipanggil oleh Jurusita Pengganti untuk menghadiri sidang yang telah ditetapkan oleh
Ketua Majelis Hakim dalam Penetapan Hari Sidang (PHS).

Pemeriksaan tersebut

dilakukan oleh majelis hakim sekitar 10 hari sampai 21 hari setelah surat permohonan
diterima oleh Pengadilan Agama. Hal demikian telah sesuai dengan ketentuan Pasal 42
ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, bahkan dilihat dari cepatnya
rentang waktu tersebut sesuai pula dengan ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-undang
Nomor 14 Tahun 1970 yang menyebutkan bahwa peradilan dilakukan dengan sederhana,
cepat, dan biaya ringan.
Pasal 41 Peraturan Pemerintah Nomor

9 Tahun 1975 menentukan bahwa

Pengadilan Agama selanjutnya memeriksa mengenai:


a. Ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seorang suami kawin lagi, ialah :
- bahwa isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri
- bahwa isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
- bahwa isteri tidak dapat melahirkan keturunan
b. Ada atau tidaknya persetujuan dari isteri, baik persetujuan lisan maupun tertulis, apabila
persetujuan itu merupakan persetujuan lisan, persetujuan itu harus diucapkan di depan
sidang pengadilan
c. Ada atau tidak adanya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup isteri-isteri
dan anak-anak, dengan memperlihatkan:
- surat keterangan mengenai penghasilan suami, yang ditandatangani oleh
bendahara tempat bekerja,
- surat keterangan pajak penghasilan, atau
- surat keterangan lain yang dapat diterima oleh pengadilan
d. Ada atau tidak adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan
anak-anak mereka dengan pernyataan atau janji dari suami yang dibuat dalam bentuk
yang ditetapkan untuk itu.

91 Sudikno Mertokusumo, op.cit.,h.77

51

Dalam penerapannya di Pengadilan Agama Malang, kendati dalam tahap ini hakim
sudah mengetahui bahwa permohonan izin poligami yang diperiksa tidak memenuhi
alasan-alasan sebagaimana Pasal 41 huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
tersebut, tetapi tetap melanjutkan untuk melakukan pemeriksaan syarat-syarat mengajukan
permohonan izin poligami sebagaimana Pasal 41 huruf b, c, dan d. Pemeriksaan tersebut
dilakukan dengan mendengar keterangan pihak-pihak, calon isteri pemohon, dan saksisaksi.
Pasal 43 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 menentukan bahwa apabila
pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon untuk beristeri lebih dari
seorang maka pengadilan memberikan putusannya yang berupa mengizinkan pemohon
untuk menikah lagi atau berpoligami.
Dalam penerapannya di Pengadilan Agama, kendati permohonan izin poligami
tersebut tidak memenuhi alasan-alasan yang telah ditentukan juga dikabulkan oleh hakim,
sebagaimana Tabel 5 sebagai berikut:

TABEL 5
PERKARA PERMOHONAN IZIN POLIGAMI

92

No

Tahun

Jumlah
Perkara

Alasan-alasan
Sesuai
Di luar
ketentuan

ketentuan

undang-

undang-

undang

undang

Keterangan
Dikabulka Ditolak
n

Lain-lain

1999

2000

15

15

2001

10

16

18

30

1 dicabut
2 gugur
3

Jumlah

Sumber: Data sekunder dari Pengadilan Agama Malang tahun 1999-2001 setelah diolah
oleh penulis tahun 2002
Permohonan izin poligami dengan alasan di luar ketentuan undang-undang yang berjumlah
18 perkara tersebut telah dikabulkan oleh hakim sejumlah 15 perkara (83,33%), sedangkan

92 Dicabut berarti pemohon menyatakan mencabut atau tidak melanjutkan perkaranya, sedangkan gugur
berarti pemohon tidak hadir pada persidangan yang telah ditentukan meskipun telah dipanggil secara sah dan
patut. Lihat Pasal 124 HIR. Satu perkara dicabut dengan alasan di luar ketentuan undang-undang, sedangkan 2
perkara gugur terdiri dari 1 perkara dengan alasan sesuai ketentuan undang-undang dan 1 perkara dengan
alasan di luar ketentuan undang-undang.

52

sisanya sebanyak 3 perkara (16.67%) yang terdiri dari 1 perkara gugur, 1 perkara ditolak
dan 1 perkara dicabut. Alasan-alasan permohonan izin poligami yang dikabulkan tersebut
sebagaimana dalam Tabel 6 berikut:
TABEL 6
ALASAN-ALASAN PERMOHONAN IZIN POLIGAMI
DI LUAR KETENTUAN UNDANG-UNDANG YANG DIKABULKAN

No.

Alasan-alasan

Jumlah
Perkara

Suami telah menjalin hubungan dengan wanita lain

Suami telah kawin sirri dengan calon isteri

Suami ingin mempunyai anak lagi

Kemampuan seksual suami sangat tinggi

Suami

memenuhi

permintaan

calon

isteri

dan

keluarganya
6

Isteri sibuk bekerja


Jumlah

1
15

Sumber: Data sekunder dari Pengadilan Agama Malang Tahun 1999 - 2001 setelah
diolah oleh penulis tahun 2002
Secara yuridis formal, permohonan izin poligami dengan alasan di luar ketentuan
undang-undang tersebut seharusnya dinyatakan tidak diterima atau ditolak apabila
pemohon tidak bisa membuktikan alasan-alasannya dalam persidangan. Permohonan izin
poligami yang tidak menyampaikan alasan-alasan atau dasar keinginannya secara yuridis
untuk berpoligami maka permohonan tersebut dapat dikualifikasi

sebagai permohonan

yang kabur (obscuur libel) sehingga permohonan harus dinyatakan tidak diterima.
Dalam penerapannya di Pengadilan Agama Malang, data yang ada menunjukkan
bahwa tidak adanya alasan menurut ketentuan undang-undang dalam permohon izin
poligami tidak menjadi penghalang bagi hakim untuk mengabulkan permohonan izin
poligami. Hakim tidak merasa terikat bahkan mengesampingkan ketentuan Pasal 4 ayat (2)
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 mengenai alasan-alasan bagi seorang suami untuk
melakukan poligami. Dalam tahap ini, hakim telah banyak melakukan penemuan hukum
(rechtsvinding), baik dalam tataran konstruksi hukum maupun penemuan hukum bebas,
namun apabila dilihat dari putusan-putusan hakim mengenai permohonan izin poligami

53

tersebut, dalam tataran interpretasi terhadap alasan-alasan yang ditentukan dalam Pasal 4
ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 belum tampak dilakukan. Beberapa alasan
dari alasan-alasan di luar ketentuan undang-undang

tersebut sebenarnya bisa

diinterpretasi, seperti alasan kemampuan seksual suami sangat tinggi dan alasan isteri
sibuk bekerja dapat diinterpretasikan secara ekstensif sehingga karena keadaan tersebut
akhirnya isteri tidak sanggup atau tidak dapat menjalankan kewajiban secara penuh
sebagai isteri. Pertimbangan hakim Pengadilan Agama Malang dalam putusannya masih
belum tampak melakukan hal-hal yang bersifat interpretatif terhadap ketentuan Pasal 4 ayat
(2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, tetapi hanya deskripsi dan argumentasi tentang
pemohon yang telah memenuhi syarat-syarat untuk berpoligami sebagaimana ditentukan
Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor

1 Tahun 1974,

sehingga atas dasar itu

permohonan pemohon dikabulkan oleh hakim.


Berkaitan dengan pertimbangan hukum, Pasal 62 ayat (1) Undang-undang Nomor
7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama menentukan:
Segala penetapan dan putusan pengadilan, selain harus memuat alasan-alasan dan
dasar-dasarnya juga harus memuat pasal-pasal tertentu dari peraturan-peraturan
yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan

dasar untuk

mengadili.
Pasal tersebut sama makna dan tujuannya dengan Pasal 23 ayat (1) Undangundang Nomor 14 Tahun 1970 jo. Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999:
Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar
putusan itu, juga harus memuat pula pasal-pasal tertentu dari peraturan-peraturan
yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan

dasar untuk

mengadili.
Ketentuan ini bersifat imperatif, karena itu hakim tidak boleh mengabaikan dan
harus mampu memperlihatkan wawasan kematangan penguasaan hukum dan berpikir
secara sistematik dan profesional. Putusan yang dijatuhkan tanpa motivasi pertimbangan
hukum yang cukup, bertentangan dengan Pasal 62 ayat (1) Undang-undang Nomor 7
Tahun 1989 dan Pasal 23 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 jo. Undangundang Nomor 35 Tahun 1999. Putusan yang tidak memenuhi syarat dan tata cara
mengadili yang ditentukan undang-undang dapat dibatalkan oleh hakim dalam tingkat
banding atau kasasi.
Putusan yang dianggap cukup motivasi pertimbangannya adalah putusan yang
menghimpun secara seksama pemeriksaan sidang, dari deskripsi semua fakta yang
ditemukan, diolah secara argumentatif berdasar ketentuan asas-asas pembuktian dikaitkan
dengan hukum material yang berhubungan dengan perkara yang bersangkutan.

54

Pendekatan yang digunakan induktif yang sistematik tahap demi tahap untuk menghimpun
suatu kesimpulan hukum tentang terbukti atau tidaknya dalil gugatan.93
Putusan izin poligami di Pengadilan Agama Malang dari tahun 1999-2001 terdapat 1
perkara yang dimohonkan banding oleh pihak termohon.

Putusan tersebut telah

mengabulkan permohonan seorang suami untuk berpoligami dengan alasan karena telah
menjalin hubungan dengan wanita lain dan telah kawin sirri bahkan telah melahirkan
seorang anak, sedangkan pihak isteri atau termohon merasa keberatan suaminya
berpoligami karena tidak ada alasan menurut ketentuan undang-undang. Setelah melalui
proses pemeriksaan, hakim mengabulkan permohonan pemohon untuk berpoligami. Atas
putusan tersebut termohon merasa tidak bisa menerima dan mengajukan permohonan
banding ke Pengadilan Tinggi Agama Jawa Timur di Surabaya. Dalam tingkat banding,
permohonan pemohon tersebut dikualifikasi sebagai permohonan yang kabur sehingga
putusan hakim Pengadilan Agama Malang dibatalkan.
Penulis sependapat dengan sikap hakim Pengadilan Agama Malang yang
mengabulkan permohonan izin poligami dengan alasan di luar ketentuan undang-undang
karena pertimbangan tertentu, namun secara kasuistis ketika permohonan izin poligami
tersebut tidak dikehendaki oleh pihak isteri maka hakim perlu bersikap hati-hati dalam
mempertimbangkannya. Hakim juga perlu melakukan upaya menasihati atau melakukan
sosialisasi secara optimal terhadap pihak isteri mengenai hikmah poligami sehingga pihak
isteri bisa menyadari bahwa solusi itulah yang terbaik. Terhadap putusan hakim Pengadilan
Tinggi Agama Jawa Timur tersebut penulis berpandangan, seandainya

pertimbangan

hakim Pengadilan Agama Malang menerapkan ketentuan alasan-alasan poligami secara


yuridis formal sebagaimana yang dikehendaki oleh hakim Pengadilan Tinggi Agama Jawa
Timur dalam pertimbangan hukum putusan tingkat banding, maka 18 perkara permohonan
izin poligami dengan alasan di luar ketentuan undang-undang yang diajukan kepada
Pengadilan Agama Malang tersebut dapat dikualifikasi sebagai permohonan yang kabur
sehingga harus dinyatakan tidak diterima. Sikap yang demikian tentu tidak akan memberi
jalan keluar yang baik bagi pihak yustisiabel dan semakin jauh dari keadilan.
Hakim harus merenungkan, mempertimbangkan, dan mengevaluasi secara
cermat kemungkinan atau alternatif putusan yang akan dijatuhkan. Hakim dalam
menjatuhkan putusan tidak hanya melihat dipenuhi atau tidak prosedur tertentu menurut
undang-undang, tetapi yang penting ialah putusan yang akan dijatuhkan itu dapat atau tidak
diterima menurut persyaratan keadilan maupun konsistensi sistem,94 terutama diterima oleh
pihak-pihak berperkara. Kendati dalam praktiknya kadang sulit putusan itu memuaskan
kedua belah pihak sekaligus yang mempunyai kepentingan yang berbeda atau bahkan
bertentangan.

93 Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Pustaka Kartini, Jakarta, 1989,
h.349-351.
94 Sudikno Mertokusumo, op.cit., 88-89.

55

Hakim dalam menjatuhkan putusan harus mempertimbangkan tiga nilai kaidah hukum, yaitu
kepastian

hukum

(rechtssicherheit),

kemanfaatan

(zweckmasigkeit),

dan

keadilan

(gerechtigkeit). Menurut Radbruch, hukum dituntut untuk memenuhi nilai-nilai dasar hukum
tersebut, namun di antara ketiganya terdapat suatu spannungs-verhaltnis, yaitu suatu
ketegangan satu sama lain karena masing-masing nilai dasar tersebut mempunyai tuntutan
yang berbeda sehingga ketiganya mempunyai potensi untuk saling bertentangan.95
Hakim harus mengadili menurut hukum, berarti putusannya harus mengandung atau
menjamin kepastian hukum sehingga ada jaminan bahwa hukum dijalankan dan yang
berhak menurut hukum dapat memperoleh haknya. Putusan hakim harus bermanfaat bagi
yang bersangkutan maupun masyarakat karena masyarakat menginginkan adanya
keseimbangan tatanan dalam masyarakat. Putusan harus adil bagi pihak-pihak berperkara
termasuk di dalamnya adil dalam perlindungan kepentingan pihak-pihak berperkara. Ketiga
faktor tersebut harus diusahakan hadir secara proporsional dalam putusan atau paling tidak
ketiganya ada dalam putusan. Apabila terjadi konflik antara keadilan, kepastian hukum dan
kemanfaatan, maka keadilan yang harus didahulukan.96 Menurut Esmi Warassih,
ketidakdilan merupakan awal kerusakan kehidupan manusia karena masyarakat cenderung
mencari caranya sendiri untuk memperoleh keadilan.97
Pertentangan antara kepastian hukum dengan keadilan sering terjadi. Hakim yang
menerapkan undang-undang sebagaimana bunyinya, maka dalam keadaan tertentu akan
dirasakan tidak adil (lex dura sed tamen scripta). Apabila Hakim dihadapkan pada peristiwa
konkrit maka hakim harus memecahkannya, karena itu hakim harus bisa mencari dan
menemukan hukumnya

untuk diterapkan pada kasusnya.

Hakim dalam menerapkan

hukum bukan sebagai bouche de la loi dan tidak pula sebagai bouche de la societe.
Hakim harus memahami bahwa undang-undang adalah hukum, tetapi hukum tidak
hanya undang-undang, sehingga hakim dalam menerapkan ketentuan yang mengatur
poligami tidak harus menerapkan ketentuan undang-undang secara kaku, sebagaimana
dikemukakan Soerjono Soekanto:
Perundang-undangan memang merupakan unsur dari sistem hukum, tapi sistem
hukum

tidak

hanya

terdiri

dari

perundang-undangan.

Pandangan

yang

mengidentikkan hukum dengan undang-undang berakibat pada pandangan bahwa


kepastian hukum identik dengan kepastian undang-undang. Law enforcement tidaka
hanya bagaimana menegakkan ketentuan undang-undang tetapi juga mencakup
penciptaan kedamaian. 98

95 Radbruch, dalam Chainur Rasid, op.cit. h.17.


96 Sudikno Mertokusumo, op.cit., h. 90.
97 Esmi Warassih, Pemberdayaan Masyarakat dalam Mewujudkan Tujuan Hukum (Proses Penegakan
Hukum dan Persoalan Keadilan), Pidato Pengukuhan Guru Besar Madya dalam Ilmu Hukum, Fakultas Hukum
Universitas Diponegoro, Semarang, 2001, h.25
98 Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah , Sosiologi Hukum dalam Masyarakat, Rajawali, Jakarta, 1980,
h. 29-30.

56

4.2. Faktor-faktor yang Menjadi Pertimbangan Hakim dalam Mengabulkan Izin


Poligami dengan Alasan di Luar Ketentuan Undang-undang
Permohonan izin poligami di Pengadilan Agama Malang dari tahun 1999 sampai dengan
tahun 2001 berjumlah 34

perkara, permohonan izin poligami yang memenuhi alasan-

alasan sesuai dengan ketentuan undang-undang berjumlah 16 perkara (47 %), sedangkan
permohonan izin poligami dengan alasan di luar ketentuan undang-undang berjumlah 18
perkara (53 %).

Permohonan izin poligami

dengan alasan di luar ketentuan undang-

undang tersebut telah dikabulkan oleh hakim sejumlah 15 perkara (83,33 %).
Berkaitan dengan putusan yang mengabulkan permohoan izin poligami dengan
alasan di luar ketentuan undang-undang tersebut, sikap responden hakim menjawab setuju
sejumlah 5 orang (100 %). Adapun faktor-faktor yang menjadi pertimbangan hakim dalam
mengabulkan permohonan izin poligami di luar ketentuan undang-undang tersebut,
diperoleh data dari responden hakim sebagaimana Tabel 7 sebagai berikut :
TABEL 7
FAKTOR-FAKTOR YANG MENJADI PERTIMBANGAN HAKIM
DALAM MENGABULKAN PERMOHONAN IZIN POLIGAMI
DENGAN ALASAN DI LUAR KETENTUAN UNDANG-UNDANG

Jawaban Responden Hakim


No.

Faktor-faktor

Jumlah

Prosentase

Pandangan hukum agama

5 orang

100 %

Kemaslahatan

5 orang

100 %

Menghindari perzinahan

5 orang

100 %

Suami bisa menjamin keadilan

5 orang

100 %

Adanya kehendak pihak-pihak

4 orang

80 %

Memenuhi syarat secara kumulatif

4 orang

80 %

Untuk melindungi wanita

3 orang

60 %

Isteri tidak pernah hadir (verstek)

2 orang

40 %

Faktor-faktor yang menjadi pertimbangan hakim dalam mengabulkan permohonan


izin poligami dengan alasan di luar ketentuan undang-undang tersebut dapat dijelaskan
sebagai berikut:
4.2.1. Faktor Pandangan Hukum Agama (Relegious Law)
Salah satu faktor yang menjadi pertimbangan hakim dalam mengabulkan
permohonan izin poligami dengan alasan di luar ketentuan undang-undang karena hukum

57

Islam tidak melarang seorang suami untuk berpoligami apabila suami tersebut sanggup
berlaku adil. Responden hakim sejumlah 5 orang (100 %) menjawab faktor pandangan
hukum agama yang membolehkan poligami, sehingga hakim mengabulkan permohonan
izin poligami dari seorang suami meskipun dengan alasan di luar ketentuan undangundang.
Pertimbangan hakim dalam putusan izin poligami selalu mendasarkan pada firman
Allah dalam Al-Quran Surat al-Nisa ayat (3). Menurut hakim, 99 secara tekstual ayat ini tidak
menentukan alasan-alasan seorang suami untuk dapat

berpoligami tetapi menentukan

syarat mampu berlaku adil. Apabila terjadi perbedaan pendapat tentang alasan-alasan
seorang suami untuk dapat berpoligami maka harus kembali kepada sumber utama dalam
hukum Islam yaitu Al-Quran, sebagaimana ditegaskan dalam Surat al-Nisa ayat (59) yang
artinya, Hai orang-orang

yang

beriman

taatlah

kepada

Allah dan taatlah kepada

rasul dan para


pemimpin kamu, kemudian jika berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikan ia
kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul-Nya (sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Responden hakim Pengadilan Tinggi Agama Jawa Timur berjumlah 1 orang dan responden
Ulama sebagai nara sumber dalam penelitian ini yang berjumlah 3 orang, semuanya (100
%) sependapat dengan pertimbangan hakim Pengadilan Agama Malang tersebut. Menurut
responden Ulama, dalam Al-Quran dan hadits Rasulullah tidak ditemukan alasan-alasan
untuk berpoligami sebagaimana ketentuan undang-undang, sehingga dilihat dari ketentuan
hukum Islam dibolehkan seorang suami berpoligami.
Menurut penulis, faktor pandangan hukum agama ini sangat berpengaruh terhadap
hakim Pengadilan Agama dalam pertimbangannya untuk mengabulkan atau tidak
mengabulkan permohonan izin poligami. Hal ini cukup relevan dengan apa yang pernah
dikemukakan

Abdulkadir Audah, Saya hakim, tetapi seorang muslim. 100

Pengadilan Agama yang juga seorang muslim

cukup memahami

Hakim

seluk beluk ajaran

Islam,101 sehingga sulit kiranya untuk melepaskan begitu saja keyakinannya dengan tidak
mengabulkan permohonan izin poligami yang jelas-jelas dibolehkan oleh agama Islam. Hal
demikian juga sesuai dengan kaidah fiqhiyah Ma tsabata bisysyari muqaddamun ala ma
wajaba bisysyarthi yang artinya, Apa yang ditetapkan menurut syara lebih didahulukan
daripada wajib menurut syarat.

99 Wawancara dengan Muzakki, Hakim Pengadilan Agama Malang, 14 Maret 2002.


100 Abdulkadir Audah, Al-Islam wa Audhainal Qanuniyah, Terj. Firdaus A.N., Bulan Bintang, Jakarta, 1974,
h. 18.

101 Seluruh hakim Pengadilan Agama Malang berlatar belakang pendidikan IAIN, yang relatif cukup
menguasai seluk beluk hukum Islam

58

4.2.2. Faktor Kemaslahatan


Faktor kemaslahatan menjadi pertimbangan hakim Pengadilan Agama dalam mengabulkan
permohonan izin poligami dengan alasan di luar ketentuan undang-undang. Responden
hakim sejumlah 5 orang (100 %) menjawab faktor kemaslahatan,

sehingga hakim

mengabulkan permohonan izin poligami dari seorang suami meskipun dengan alasan di
luar ketentuan undang-undang.
Pertimbangan hakim dalam setiap putusan poligami selalu mencantumkan kaidah
fiqhiyah Darul mafasid muqaddamu ala jalbil mashalih yang artinya, Menolak kerusakan
lebih diutamakan daripada menarik maslahat. Menurut hakim,102 menolak atau tidak
mengabulkan permohonan izin poligami yang diajukan tanpa alasan yuridis bahayanya
lebih besar daripada mengabulkannya. Ketika hakim dihadapkan pada dua pilihan yang
sulit maka hakim harus mengambil resiko yang paling kecil, sebagaimana kaidah fiqhiyah
Idza taaradla mafsadatani ruiya adhamuha dlararan birtikabi akhaffihima yang artinya,
Apabila dua mafsadah bertentangan, maka perhatikan mana yang lebih besar madlaratnya
dengan memilih yang lebih ringan madlaratnya.
Pertimbangan tersebut dirumuskan dalam putusan antara lain sebagai berikut:
Menimbang, bahwa oleh karenanya majelis hakim berpendapat bahwa perkawinan
pemohon dengan calon isterinya yang dilakukan di bawah tangan dan berlangsung
hampir lima tahun, tidak boleh dibiarkan berlangsung secara terus menerus tanpa
perlindungan dan kepastian hukum, untuk itu dengan mempertahankan ikatan
perkawinan yang sudah ada antara pemohon dengan termohon, kemudian diajukan
izin poligami oleh pemohon atas calon isterinya adalah merupakan solusi terbaik dari
suatu bentuk rasa tanggung jawab untuk menghindari kesulitan atau mafsadah.103
Responden hakim Pengadilan Tinggi Agama Jawa Timur di Surabaya sejumlah 1
orang dan responden Ulama sejumlah 3 orang, semuanya (100 %) sependapat dengan
faktor kemaslahatan sebagai pertimbangan hakim Pengadilan Agama dalam mengabulkan
permohonan izin poligami dengan alasan di luar ketentuan undang-undang. Menurut
responden Ulama, hakim tidak boleh terlalu ketat dalam menerapkan alasan-alasan bagi
seorang suami untuk melakukan poligami menurut ketentuan undang-undang, tetapi hakim
harus juga melihat faktor kemaslahatan sebagaimana kaidah fiqhiyah Tasharruful imami
alarriyyati manuthun bilmaslahati yang artinya, tindakan imam terhadap rakyatnya harus
dikaitkan dengan kemaslahatan.
Menurut penulis, melihat kenyataan di Pengadilan Agama Malang, permohonan izin
poligami yang diajukan oleh seorang suami kepada Pengadilan Agama pada umumnya
sebagai solusi terbaik dalam mengatasi masalah rumah tangga yang sedang mereka

102 Wawancara dengan Amas Sambas dan Sukandar, Hakim Pengadilan Agama Malang, 14 Maret 2002
103 Putusan No. 916/Pdt.G/2000/PA Mlg., tanggal 27 Agustus 2001.

59

hadapi saat itu. Dalam kondisi krisis rumah tangga yang sedemikian rupa, seorang suami
sering dihadapkan pada dua pilihan yaitu bercerai dengan isterinya atau berpoligami.
Salah satu contoh yang terjadi di Pengadilan Agama Malang, 104 ada seorang suami
yang mengajukan cerai talak karena isterinya tidak menyetujui untuk berpoligami. Isteri
tersebut berpendapat bahwa perceraian adalah solusi terbaik daripada suami menikah lagi
dengan wanita lain, sedangkan suaminya sebenarnya tidak menghendaki terjadinya
perceraian karena selama ini rumah tangga mereka sangat harmonis, tetapi karena kondisi
fisiknya yang merasa tersiksa apabila kebutuhan seksualnya yang sangat kuat tidak bisa
dipenuhi oleh isterinya secara optimal maka dia bermaksud untuk melakukan poligami.
Akhirnya suami isteri tersebut memilih perceraian, dan suami mengajukan permohonan
cerai talak ke Pengadilan Agama Malang. Setelah perkara tersebut dalam proses
pemeriksaan persidangan, ternyata isteri berubah pikiran dari tidak setuju suaminya
berpoligami menjadi setuju suaminya berpoligami, bahkan isteri tersebut yang mencarikan
calon isteri untuk suaminya sehingga perkara cerai talak yang telah diajukan oleh suami
dicabut. Selanjutnya suami mengajukan permohonan izin poligami ke Pengadilan Agama
Malang dengan alasan kemampuan seksual suami yang sangat tinggi dan hakim telah
mengabulkan permohonannya.
4.2.3. Faktor Menghindari Perzinahan
Responden hakim sejumlah 5 orang (100 %) menjawab faktor menghindari perzinahan
sebagai pertimbangan hakim dalam mengabulkan permohonan izin poligami dengan alasan
di luar ketentuan undang-undang.
Menurut hakim, salah satu pertimbangan hakim dalam mengabulkan permohonan
izin poligami dengan alasan di luar ketentuan undang-undang karena untuk menghindari
suami dan calon isteri jatuh dalam hubungan zinah. Kalau permohonan itu diajukan sudah
didahului zinah maka hakim juga berusaha agar perzinahan itu tidak terus berlanjut dan
mereka segera bertaubat.105
Responden hakim Pengadilan Tinggi Agama Jawa Timur berjumlah 1 orang dan
responden Ulama sebagai nara sumber dalam penelitian ini

yang berjumlah 3 orang,

semuanya (100 %) juga berpandangan bahwa kalau hakim menerapkan secara ketat
ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 mengenai alasan-alasan
untuk melakukan poligami, maka sikap hakim tersebut sama dengan menutup dengan
rapat pintu jalan yang dihalalkan oleh Allah dan secara tidak langsung memberi peluang
perzinahan.
Menurut penulis, pertimbangan yang demikian adalah tepat karena Al-Quran jelas melarang
perzinahan sebagaimana ketentuan Al-Quran Surat Al-Isra ayat (32) yang melarang kita

104 Wawancara dengan Pemohon dan Termohon dalam perkara No. 622/Pdt.G/2001/PA Mlg., tanggal 18
Maret 2002, juga dengan Usman Ismail Kilihu, sebagai Panitera Pengganti perkara tersebut.
105 Wawancara dengan Sunkanah Hasyim, ibid.

60

untuk mendekati zinah. Dalam hal ini cukup relevan pula apabila dikemukakan deskripsi
dari Roihan A. Rasyid :
Menurut informasi dari sebagian hakim di Pengadilan Agama Yogyakarta di Daerah
Istimewa Yogyakarta, tidak kurang ditemui adanya permohonan izin poligami yang
diajukan ke Pengadilan Agama karena suami sudah terlanjur

sejak sekian lama

kumpul kebo dengan wanita lain bahkan telah mendapatkan beberapa orang anak
serta wanita lain tersebut tinggal serumah dengan isterinya (dalam satu rumah tinggal
bersama ketiga-tiganya). Alasan untuk beristeri lebih dari seorang sebagaimana diatur
dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 41 Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, sama sekali tidak memenuhi tetapi kumpul kebo
sejak lama dan telah membuahkan anak-anak tersebut terbukti. Bagaimana sikap
Pengadilan Agama dalam menemui kasus-kasus seperti itu, akan menggunakan
hukum

dalam

kapasitasnya

yang

kasuistis

(artinya

memberikan

izin)

atau

menggunakan hukum dalam fungsi mengatur (artinya tidak memberi izin karena tidak
terbukti beralasan) ? Perlu dipertimbangkan bahwa suami datang tersebut karena
sudah sadar akan kesalahannya, tidak mau zinah lagi, tidak mau lagi mendapatkan
anak haram, ingin setidak-tidaknya sedikit menyelamatkan anak-anak yang telah
dibuahkan dari kumpul kebo sebelumnya.106
4.2.4. Faktor Suami Bisa Menjamin Keadilan
Salah satu faktor yang menjadi pertimbangan hakim adalah suami bisa menjamin keadilan.
Responden hakim sejumlah 5 orang (100 %) menjawab faktor suami bisa menjamin
keadilan,

sehingga hakim mengabulkan permohonan izin poligami meskipun dengan

alasan di luar ketentuan undang-undang.


Responden Ulama sebagai nara sumber dalam penelitian ini yang berjumlah 3
orang, semuanya (100 %) sependapat bahwa dalam Al-Quran kebolehan berpoligami bagi
seorang suami disyaratkan mampu berlaku adil, apabila tidak mampu maka dicukupkan
seorang isteri.
Ada 2 putusan hakim Pengadilan Agama Malang yang mengabulkan permohonan
izin poligami dengan alasan di luar ketentuan undang-undang tanpa
adanya persetujuan pihak isteri karena hakim yakin bahwa suaminya bisa menjamin
keadilan. Tidak adanya alasan sesuai ketentuan undang-undang dan tidak terpenuhinya
syarat persetujuan isteri tidak mempengaruhi pendapat hakim untuk tidak mengabulkan
permohonan izin poligami apabila menurut penilaiannya suami bisa menjamin keadilan.

106 Raihan A Rasyid, Kasus dan Hukum dalam Fungsi Mengatur, dalam Mimbar Hukum No. 19 Th. VI
1995, Al-Hikmah dan DITBINBAPERA Islam, Jakarta, 1995.
107 Dalam perkara No. 916/Pdt.G/2000/PA Mlg., Hakim telah mengabulkan permohonan izin poligami
dengan alasan di luar ketentuan undang-undang dan tanpa persetujuan isteri.

107

61

Al-Quran tidak mewajibkan adanya

alasan-alasan seorang suami berpoligami, tetapi

mengharuskan syarat untuk berlaku adil.


4.2.5. Faktor Adanya Kehendak Pihak-pihak
Faktor yang juga menjadi pertimbangan hakim dalam mengabulkan permohonan izin
poligami dengan alasan di luar ketentuan undang-undang adalah faktor adanya kehendak
pihak-pihak. Responden hakim sejumlah 4 orang (80 %) menjawab faktor adanya kehendak
pihak-pihak, yaitu pihak suami, pihak isteri, dan pihak calon isteri, sehingga hakim
mengabulkan permohonan izin poligami dari seorang suami meskipun dengan alasan di
luar

ketentuan

undang-undang.

Kehendak

pihak

suami

dapat

diketahui

dalam

permohonannya, kehendak pihak isteri dapat dilihat dari adanya persetujuan dari isteri
secara tertulis dan lisan dalam persidangan, sedangkan kehendak pihak calon isteri

juga

dilihat dari adanya surat pernyataan tertulis dan lisan dalam persidangan. Responden
hakim yang tidak mengemukakan faktor adanya kehendak pihak-pihak sejumlah 1 orang
(20 %) dengan alasan bahwa adanya kehendak pihak-pihak tersebut juga harus dikaitkan
dengan Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.
Menurut hakim, apabila isteri telah menyetujui suaminya untuk berpoligami, maka
alasan-alasan yang telah ditentukan undang-undang dapat dikonstruksi sedemikian rupa
sehingga pertimbangan hukum dalam putusan tersebut menjadi logis. Masalahnya menjadi
lain, apabila permohonan tersebut tidak berdasarkan alasan dalam ketentuan undangundang dan isteri tidak menyetujui permohonan izin poligami dari suaminya, maka hakim
dapat menolak atau permohonan tersebut tidak diterima. 108 Bahkan ada hakim yang
berpendapat,109 apabila pihak-pihak sudah menghendaki maka alasan-alasan dalam
Undang-undang Perkawinan dapat dikesampingkan, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal
3 ayat (2) bahwa pengadilan dapat mengabulkan izin poligami apabila dikehendaki pihakpihak yang bersangkutan.110
Responden hakim Pengadilan Tinggi Agama Jawa Timur di Surabaya juga
berpandangan bahwa apabila permohonan izin poligami diajukan dengan alasan di luar
ketentuan undang-undang, maka adanya kehendak pihak-pihak

dapat dijadikan

pertimbangan untuk mengabulkan permohonan izin poligami. Secara umum, responden


hakim Pengadilan Tinggi Agama tersebut setuju dengan putusan hakim mengabulkan
permohonan izin poligami dengan alasan di luar ketentuan undang-undang,

namun

secara kasuistis misalnya pihak isteri sangat keberatan terhadap permohonan izin
poligami yang diajukan oleh suaminya, maka hakim harus benar-benar mempertimbangkan
keberatan dari pihak isteri tersebut.
Permohonan izin poligami dengan alasan di luar ketentuan undang-undang yang tidak
dikehendaki oleh pihak isteri dapat menyebabkan tidak tercapainya keinginan suami untuk

108 Wawancara dengan Sunkanah Hasyim, Wakil Ketua Pengadilan Agama Malang, 15 Maret 2002.
109 Wawancara dengan Sukandar dan Muzakki, op.cit., 15 Maret 2002.
110 Walaupun dalam penjelasan tersebut juga mengaitkan dengan Pasal 4 dan 5.

62

berpoligami. Ada 1 perkara yang digugurkan oleh hakim, karena isteri yang semula
menyetujui suaminya akan berpoligami ternyata kemudian tidak menyetujuinya sehingga
suami tidak mau hadir di persidangan meskipun telah dipanggil secara sah dan patut. 111
Ada 1 perkara yang dicabut oleh pihak suami, karena isteri yang semula telah menyetujui
suaminya berpoligami namun dalam persidangan menyatakan tidak menyetujui suaminya
berpoligami karena ternyata calon isterinya janda beranak dua sehingga dikhawatirkan
beban tanggung jawab suami lebih berat, akhirnya suami mencabut perkaranya dan
mengajukan cerai talak ke Pengadilan Agama. Ada 1 perkara permohonan izin poligami
yang ditolak oleh hakim, karena suami yang mengajukan permohonan izin poligami hanya
memenuhi kehendak dari calon isteri sehingga dalam persidangan ditemukan fakta oleh
hakim bahwa ternyata suami tidak menghendaki permohonan tersebut.112
Dalam praktik di Pengadilan Agama Malang, apabila pihak isteri tidak menyetujui
suaminya berpoligami maka peran hakim dalam menasihati pihak-pihak tampak lebih aktif.
Salah satu contoh dapat diketahui peran hakim yang aktif dalam hal ini adalah adanya
seorang isteri yang tidak menyetujui suaminya berpoligami dan hakim melakukan upaya
optimal menasihati pihak-pihak sehingga terkuak bahwa keberatan pihak isteri tersebut
dilatarbelakangi oleh rasa khawatir dari pihak isteri bahwa harta bersama yang selama ini
diperolehnya

beralih kepada calon isteri suaminya. 113 Setelah hakim menasihati dan

memerintahkan pihak-pihak untuk bermusyawarah tentang harta bersama tersebut,


akhirnya suami tidak keberatan harta bersama tersebut diatasnamakan anak-anaknya,
pihak isteri tidak keberatan suaminya berpoligami dan permohonan izin poligami tersebut
dikabulkan.114
4.2.6. Faktor Memenuhi Syarat Secara Kumulatif
Faktor memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh Pasal 5 ayat (1) Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 secara kumulatif menjadi pertimbangan hakim dalam mengabulkan
permohonan izin poligami dengan alasan di luar ketentuan undang-undang. Responden
hakim sejumlah 4 orang (80 %) menjawab faktor memenuhi syarat secara kumulatif,
sehingga hakim mengabulkan permohonan izin poligami dari seorang suami meskipun
dengan alasan di luar ketentuan undang-undang, sedangkan responden hakim sejumlah 1
orang (20 %) tidak mengemukakan faktor tersebut dengan alasan pernah mengabulkan
permohonan izin poligami yang tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan undangundang.
Responden hakim Pengadilan Tinggi Agama Jawa Timur di Surabaya berpendapat
bahwa menurut pengamatannya selama ini, hakim Pengadilan Agama tidak pernah

111 Wawancara dengan Masruchin, Panitera Pengganti Pengadilan Agama Malang, 20 Maret 2001.
112 Wawancara dengan Siti Rochmanijah, Panitera Pengganti Pengadilan Agama Malang, 20 Maret 2002.
113 Wawancara dengan Moh. Zabidi, Ketua Pengadilan Agama Malang 1997-2001, 12 Maret 2002.
114 Wawancara dengan Pemohon dan Termohon dalam perkara No.163/Pdt.G/2000/PA Mlg., 10 Maret 2002.

63

mempertimbangkan tentang alasan-alasan yang ditentukan oleh Pasal 4 ayat (2) Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 dalam putusan yang mengabulkan permohonan izin poligami
dengan alasan di luar ketentuan undang-undang, tetapi mempertimbangkan syarat-syarat
yang ditentukan dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Responden
hakim Pengadilan Tinggi Agama Jawa Timur tersebut merasa kesulitan untuk menemukan
jawabannya mengapa sampai terjadi hal yang demikian.
Menurut penulis, pandangan hukum agama (Relegious Law) atau keyakinan hakim
dalam memandang poligami menurut agama Islam dapat mempengaruhi pemahaman
hakim terhadap alasan-alasan dan syarat-syarat poligami yang ditentukan undang-undang.
Al-Quran tidak menentukan alasan-alasan tetapi menentukan syarat seorang suami yang
akan berpoligami mampu

berlaku adil, sehingga yang dipahami oleh hakim sebagai

alasan-alasan poligami adalah syarat-syarat poligami dalam ketentuan undang-undang


tersebut. Kalau dicermati putusan-putusan hakim tersebut, ternyata dapat diketahui bahwa
beberapa hakim kurang bisa membedakan antara alasan-alasan dan syarat-syarat
sehingga

dalam pertimbangan hukumnya alasan-alasan poligami tidak dibahas tetapi

syarat-syarat yang dipertimbangkan, padahal maksud dari hakim tersebut menguraikan


alasan-alasan. Apabila permohonan poligami tersebut sudah memenuhi syarat-syarat
menurut ketentuan undang-undang meskipun tidak memenuhi alasan-alasan, maka
permohonannya akan dikabulkan.
Dalam putusannya, hakim juga mempertimbangkan syarat-syarat nikah menurut
hukum Islam. Syarat-syarat nikah bagi calon suami menurut hukum Islam yaitu diketahui
orangnya, tidak ada hubungan mahram antara isterinya dengan calon isterinya meskipun
isterinya telah ditalak tetapi masih dalam masa iddah, dan tidak sedang mempunyai
empat orang isteri selain calon isteri yang akan

dikawininya meskipun salah satu

isterinya telah ditalak tetapi masih dalam iddah raji. 115 Adapun syarat-syarat calon isteri
yang akan dinikahi yaitu tidak terikat oleh suatu perkawinan, tidak dalam masa iddah
(masa menunggu selama ditalak) dari laki-laki lain, diketahui orangnya, dan tidak ada
hubungan mahram dengan calon suaminya baik hubungan nasab maupun susuan
berdasarkan ayat Al-Quran.116 Syarat-syarat tersebut juga dipertimbangkan oleh hakim,
apabila memenuhinya maka hakim akan mengabulkan permohonan seorang suami untuk
berpoligami.
4.2.7. Faktor Melindungi Perempuan

115 Iddah raji artinya isteri masih dapat dirujuk, sebab bekas isteri yang masih dalam iddah raji dihukumi
sebagai isteri. Bila laki-laki beristeri empat orang, kemudian salah satu dari isterinya itu atau semuanya ditalak
maka selama masa iddah suami tidak boleh menikah dengan isteri yang baru, sebab suami dianggap beristeri
lima orang. Moch. Anwar, Dasar-dasar Hukum Islami dalam Menetapkan Keputusan di Pengadilan Agama,
Diponegoro, Bandung, 1991, h. 15-16.

116 Ibid, h.16.

64

Responden hakim sejumlah 3 orang (60 %) menjawab faktor melindungi


perempuan, sehingga permohonan izin poligami dengan alasan di luar ketentuan undangundang dikabulkan oleh hakim.
Menurut hakim, faktor lainnya yang menjadi pertimbangan dalam mengabulkan izin
poligami dengan alasan di luar ketentuan undang-undang adalah perlindungan perempuan,
yang dalam hal ini ada dua pihak, yaitu isteri dan calon isteri. 117
Responden Ulama sejumlah

2 orang (66,66 %) menjawab sependapat dengan hakim

Pengadilan Agama Malang.

Mereka berpandangan bahwa ketentuan alasan-alasan

poligami dalam undang-undang bertujuan untuk melindungi kaum perempuan, namun jika
ketentuan tersebut diterapkan justru menambah kesengsaraan kaum perempuan maka
hakim dapat mengabaikan ketentuan tersebut untuk melindungi kaum perempuan. Dengan
menyimpangi ketentuan tersebut, maka perempuan sebagai isteri dan calon isteri dapat
mendapatkan perlindungan dari suaminya. Berkaitan dengan hal tersebut, perlu dilakukan
sosialisasi mengenai poligami terhadap masyarakat sehingga kesan masyarakat khususnya
kaum perempuan tidak sinis terhadap lembaga poligami.
Sekilas nampak bahwa mengabulkan izin poligami tersebut di satu sisi melindungi
calon isteri, namun di sisi lain juga menjatuhkan kehormatan isteri yang mau dimadu. Ada
kata-kata yang sudah lazim kita dengar mana ada wanita yang mau di madu sehingga
rasanya tercoreng muka seorang isteri yang suaminya menikah lagi dengan perempuan
lain. Dengan sosialisasi poligami sebagaimana diharapkan responden Ulama tersebut,
maka masyarakat baik laki-laki maupun perempuan akan memahami bagaimana konsep
Islam mengenai poligami.

Dalam mengarungi kehidupan rumah tangga terkadang

pasangan suami isteri dihadapkan pada masalah akibat adanya interaksi sosial manusia
laki-laki dan perempuan yang akhirnya tumbuh rasa saling mencintai. Hubungan antara
kedua manusia tersebut ada yang sampai hamil, bahkan sampai mempunyai anak. Melihat
kenyataan yang demikian, maka solusi poligami adalah jauh lebih baik dalam melindungi
wanita daripada hubungan bebas yang pada akhirnya akan merugikan perempuan itu
sendiri.
4.2.8. Faktor Isteri Tidak Pernah Hadir (Verstek)
Responden hakim sejumlah 2 orang (40 %) menjawab faktor isteri tidak pernah
hadir dalam persidangan meskipun telah dipanggil secara resmi dan patut, karena 2 orang
responden hakim tersebut pernah memutus permohonan izin poligami dengan alasan di
luar ketentuan undang-undang karena pihak isteri tidak pernah hadir dalam persidangan.
Menurut pertimbangan hakim, termohon telah dipanggil secara resmi dan patut
tetapi ternyata tidak hadir tanpa alasan yang sah sehingga hakim setelah memeriksa pokok
perkaranya memberikan putusan mengabulkan pemohon untuk berpoligami.118

117 Wawancara dengan Sunkanah Hasyim, ibid


118 Putusan No.547/Pdt.G/2000/PA Mlg., 14 Agustus 2000.

65

Dalam praktik Hukum Acara Perdata di Peradilan Agama, putusan verstek masih ada
pendapat yang berbeda di kalangan praktisi hukum.

Pendapat pertama mengatakan

bahwa semua perkara kontensius jika telah dipanggil secara resmi dan patut, ternyata
pada sidang pertama tergugat/termohon tidak hadir dan tidak mengirimkan jawaban ,
maka perkara tersebut dapat diputus secara verstek tanpa dibuktikan terlebih dahulu.
Pendapat kedua mengatakan bahwa apabila tergugat/termohon

telah dipanggil secara

resmi dan patut dan ternyata tergugat/termohon tidak hadir tanpa alasan yang sah, maka
perkara tersebut boleh diputus kalau sudah diperiksa dengan teliti dan telah terbukti dalil
gugat yang diajukan oleh penggugat/pemohon, pembuktian dalam perkara ini mutlak
diperlukan. Jika sidang pertama tergugat/termohon tidak hadir maka majelis hakim dapat
memundurkan sidang satu kali lagi. Menjatuhkan putusan verstek tersebut bukan imperatif,
tetapi bersifat fakultatif sebagaimana yang diatur dalam Pasal 126 HIR dan bersifat
alternatif jika didasarkan pada Pasal 125 HIR yang dikaitkan dengan Pasal 126 HIR.
Menurut Abdul Manan,119 para hakim di lingkungan Peradilan Agama harus hati-hati
dalam menjatuhkan putusan verstek. Sebaiknya para hakim di lingkungan Peradilan Agama
mengambil jalan tengah menghadapi masalah pembuktian dalam pemeriksaan perkara
verstek. Dalam pemeriksaan hukum benda (zaaken recht) para hakim tidak ada salahnya
menjatukan putusan verstek tanpa pembuktian sebagaimana yang tersebut dalam Pasal
125 ayat (1) HIR, tetapi dalam perkara yang menyangkut hukum orang (personal recht)
terutama hal-hal yang menyangkut perkawinan dan perceraian sebaiknya tidak secara
langsung

memutus

penggugat/pemohon

secara

verstek

tanpa

pembuktian,

meskipun

gugatan

bersandar hukum dan beralasan. Dalam bidang perkawinan dan

perceraian sebaiknya hakim menggunakan ketentuan Pasal 126 HIR, jika Tergugat tidak
hadir dalam sidang pertama, maka majelis hakim sebelum menjatuhkan putusan menunda
sidang untuk memanggil lagi tergugat/termohon sekali lagi. Putusan verstek tersebut
dijatuhkan setelah lebih dahulu memeriksa pokok perkaranya, meneliti kebenaran dalil
permohonan pemohon, beralasan dan bersandarkan hukum atau tidak

permohonan

pemohon. Jika semua ketentuan ini terpenuhi maka putusan verstek dijatuhkan.
Berkaitan dengan putusan verstek, Yahya Harahap mengingatkan:
Verstek sering disalahartikan yaitu adanya pendapat atau anggapan bahwa setiap
putusan verstek itu berarti mesti mengabulkan gugatan itu dengan sendirinya, tanpa
penelitian apakah gugatan itu benar-benar beralasan atau tidak. Sebenarnya putusan
verstek itu bukanlah apriori mesti dikabulkan.
Dengan demikian putusan verstek itu bisa berupa:

1;

Menyatakan tidak diterima (niet ontvankelijk verklaard).

119 Abdul Manan, Beberapa Masalah Hukum tentang Pembuktian dan Hubungannya dengan Praktek
Hukum Acara di Lingkungan Peradilan Agama, Mimbar Hukum No. 55 Th XII 2001, Al-Hikmah &
Ditbinbapera Islam, Jakarta, h. 40-41

66

2; Menolak gugatan/permohonan tersebut, jika petitum tidak dilandasi rechtsfeiten yang


benar.

3; Mengabulkan bila menurut pertimbangan hakim terdapat cukup alasan-alasan yang


kuat.120
Menurut penulis, sebelum hakim mengabulkan permohonan izin poligami tersebut
harus berupaya bisa menghadirkan pihak isteri dalam persidangan, baik melalui panggilan
yang dilakukan oleh Jurusita Pengganti atau dengan memerintahkan pihak suami untuk
menghadirkan isteri. Hal demikian perlu dilakukan untuk menghindari rekayasa dari pihak
suami agar bisa berpoligami tanpa sepengetahuan pihak isteri.

4.3. Ketentuan hukum yang seharusnya diterapkan untuk mengatur izin poligami
Pasal 4 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 telah menentukan bahwa pengadilan
hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang
apabila isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri, mendapat cacat badan
atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, atau tidak dapat melahirkan keturunan.
Alasan-alasan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 tersebut bersifat limitatif, artinya pengadilan hanya memberi izin
poligami apabila permohonan izin poligami memenuhi minimal salah satu dari alasanalasan tersebut. Permohonan izin poligami dengan alasan di luar ketentuan tersebut tidak
dapat dikabulkan oleh pengadilan, meskipun permohonan izin poligami itu dikehendaki oleh
pihak-pihak atau apa pun yang didalilkan oleh seorang suami untuk melakukan
permohonan izin poligami selain alasan-alasan yang telah ditentukan undang-undang.
Apabila hakim menerapkan ketentuan hukum tersebut secara ketat, maka
implikasinya banyak permohonan izin poligami yang diajukan oleh seorang suami tidak
dikabulkan oleh hakim, sehingga ketentuan hukum tersebut sering dikesampingkan oleh
hakim dalam memutus perkara permohonan izin poligami dengan alasan di luar ketentuan
undang-undang.
Untuk membahas ketentuan hukum yang seharusnya diterapkan dalam mengatur
izin poligami, perlu dijelaskan terlebih dahulu mengenai fungsi hukum dalam membangun
masyarakat.
Pembangunan hukum hendaknya dilihat secara utuh melalui pendekatan holistik,
karena

itu

sudah

saatnya

pembangunan

kemasyarakatan yang menyeluruh

121

hukum

menggunakan

pendekatan

mengingat hukum bukan sekedar formalitas atau

berurusan dengan soal-soal normatif semata melainkan unsur budaya hukum pun perlu

120 Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Peradilan Indonesia, Zahir, Medan, 1977, h.93.
121 Gijssels dan Hoecke, dalam Esmi Warassih, op.cit., h.25

67

mendapat perhatian yang lebih di samping struktur dan substansinya sehingga hukum
memiliki keberlakuan:122

1; Faktual (empirik), artinya dipatuhi dan ditegakkan


2; Formal (normatif), yaitu kaidahnya cocok dalam sistem hukum hierarkhis
3; Evaluatif (filosofis), yaitu diterima dan benar (bermakna) serta memiliki sifat mewajibkan
karena isinya.
Kaidah hukum harus mengandung ketiga unsur tersebut, sebab apabila kaidah hukum
hanya berlaku secara yuridis, maka kemungkinan besar kaidah tersebut merupakan kaidah
mati (dode regel). Apabila hanya berlaku secara sosiologis maka kaidah tersebut menjadi
aturan pemaksa (dwangmaatregel), dan apabila hanya berlaku secara filosofis maka kaidah
tersebut hanya merupakan hukum yang dicita-citakan (ius constituendum).123
Menurut Esmi Warassih, keberlakuan hukum secara holistik sangat penting, mengingat
problema yang dihadapi oleh setiap upaya pembangunan hukum di Indonesia masa
mendatang bukan semata-mata kepatuhan pada hukum tetapi bagaimana hukum benarbenar dapat mewujudkan keadilan bagi masyarakat. Masalah nilai, moral, dan etis (yang
terkandung dalam asas-asas hukum) sebagai landasan bagi pembentukan suatu peraturan,
perlu mendapat perhatian yang utama sejak perumusan hukum sampai pada prosesnya
untuk mencapai tujuan hukum yang hakiki. Persoalan nilai moral dan etis tidak dicari di
tempat lain, melainkan diperoleh dalam masyarakat sebagai pedoman dalam menentukan
perilaku yang hendak diatur.124
Pembentukan hukum dalam unifikasi dan kodifikasi hukum dalam pembangunan hukum
nasional selama ini cenderung memberlakukan undang-undang sebagai satu-satunya
hukum yang berlaku bagi semua warga masyarakat di seluruh wilayah negara kendati
kenyataan memperlihatkan kemajemukan sosial dan budaya, termasuk kemajemukan
sistem normatif dalam masyarakat seperti yang digambarkan dalam sesanti Bhinneka
Tunggal Ika. Implikasinya adalah terjadi proses pengabaian atau marjinalisasi sistem
hukum selain perundang-undangan yang sebenarnya juga berfungsi sebagai sarana
pengendali sosial (social control) kehidupan masyarakat.125
Ada dua fungsi hukum dalam masyarakat, yaitu sebagai social control dan social
engineering. Sebagai social kontrol, hukum bertugas untuk menjaga agar masyarakat tetap
dapat berada dalam pola-pola tingkah laku yang diterima olehnya. Dalam hal ini hukum
berperan hanya mempertahankan apa yang telah menjadi sesuatu yang tetap dan diterima

122 Bruggink, ibid.,h.26


123 Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah, op. cit., h.13-14.
124 Esmi Warassih, op.cit.
125 I Nyoman Nurjaya, Hak Menguasai Negara dan Implikasinya terhadap Pengelolaan Sumber Daya
Alam dan Lingkunan Hidup, Materi Kuliah Hukum Sumber Daya Alam dan Hak Asasi Manusia, Universitas
Islam Malang, 2002, h.6.

68

dalam masyarakat atau hukum sebagai panjaga status quo. Hukum sebagai social
engineering bertujuan untuk mengadakan perubahan-perubahan dalam masyarakat.
Hukum dapat berfungsi sebagai social control dan atau

social

engineering

tergantung pada perubahan masyarakat dimana perubahan-prubahan itu terjadi. Bidangbidang yang bersifat netral relatif lebih mudah untuk digarap dan diarahkan oleh hukum.
Sebaliknya bidang-bidang kehidupan sosial yang erat hubungannya dengan keyakinan,
kepercayaan dan lembaga-lembaga yang bersifat dasar, serta yang berhubungan dengan
tindakan-tindakan yang merupakan ekspresi dari keyakinan-keyakinan akan mengalami
perubahan yang kecil sekali meskipun peraturan mencoba untuk memberi bentuk dan
pengarahan kepada bidang-bidang tersebut, termasuk dalam bidang ini antara lain hukum
perkawinan.126
Dalam konteks hukum perkawinan khususnya ketentuan hukum yang mengatur tentang
poligami pada Pasal 4 ayat (2) dalam law making process usulan-usulan dari ulama,
akademisi dan organisasi sosial kemasyarakatan Islam terabaikan sehingga rumusan pasal
tersebut dalam legal product-nya mengambil alih tanpa perubahan sebagaimana dalam
rancangan undang-undang,127 sehingga akan berpengaruh terhadap efektifitas dalam law
enforcement.
Melihat kenyatan law making process yang demikian, nampak telah terjadi di dalamnya
politik hukum pengabaian atas kemajemukan hukum yang secara nyata hidup dalam
masyarakat (the political of legal pluralism ignorance). Padahal fakta menunjukkan:
Legal pluralism is the fact. Legal centralism is a myth, an, ideal, a claim, an illusion.
Legal pluralism is the name of a social state of affairs and it is a characteristic which
can be predicted of a social group.128
Terabaikannya usulan-usulan tersebut berarti telah mengabaikan keyakinan
mayoritas warga negara Indonesia sehingga ketentuan undang-undang itu sendiri telah
menunjukkan ketidakadilannya. Wirjono berpendapat:
Terbentuknya undang-undang adalah buah kerja sama antara pemerintah dan Dewan
Perwakilan Rakyat, maka pada hakikatnya juga harus berakar pada kemauan dan

126 Sebagaimana pendapat Yehezkel Dror dan Stewart Macaulay dalam Satjipto Rahardjo, Hukum
dan Masyarakat, Angkasa, Bandung,1986, h. 121-122
127 Usulan Ulama yang juga sebagai pegangan Fraksi Partai Perastuan Pembangunan di DPR telah
mengasulkan agar pasal tersebut dihapuskan karena alasan-alasan yang memungkinkan poligami
tidak dapat hanya dibatasi oleh ketentuan sub-sub ayat a,b, dan c. Cara lain untuk mengatasi
persoalan ini menambahkan sub ayat d yaitu menambah dengan sebab-sebab lain yang dipandang
perlu dan diterima oleh pengadilan. Lihat dalam Amak F.Z., op.cit, h. 38. Kalangan akademisi dari
IAIN Sunan Kalijogo Yogyakarta telah menyampaikan hasl penelitiannya bahwa kemungkinan dan
pembatasan poligami tidak sesuai dengan hukum Islam,op.cit.,h.23. Badan Kontak Generasi Pelajar
Islam pernah menyampaikan bahwa RUU Perkawinan yang tidak menjamin kesadaran hukum dan
psikologi umat Islam sebagai mayoritas bangsa akan berimplikasi tidak efektifnya undang-undang
tersebut. op.cit.,h.19.

128 Olivia Harris, Inside and Outside The Law, dalam I Nyoman Nurjaya, op.cit.,h.7.

69

perasaan rakyat. Tetapi kita tahu bahwa undang-undang tidak selalu merupakan
perwujudan dari kemauan dan perasaan rakyat, melainkan sering mempunyai tujuan
yang oleh pembentuk undang-undang dianggap sebagai jurusan ke arah tujuan itu
tercapai. Dan kalau tujuan itu tidak tercapai, maka undang-undang itu sukarlah untuk
boleh dikatakan berakar kepada kemauan dan perasaaan rakyat. Maka dari itu dengan
sendirinya nilai dari hukum yang bersumber kepada undang-undang adalah lebih
rendah darpada hukum yang bersumber kepada adat kebiasaan. Maka kalau betulbetul ada pertentangan antara dua macam hukum itu, hukum adat kebiasaanlah yang
harus diturut.129
Ketentuan hukum yang ideal adalah manakala interpretasi tidak diperlukan atau sangat
kecil peranannya. Hal itu bisa dicapai apabila ketentuan perundang-undangan dituangkan
dalam bentuk yang jelas, yang menurut Montesquieu memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:130

1; Gaya penuturannya padat dan sederhana. Istilah-istilah yang dipilih tidak bersifat nisbi
sehingga membuka sedikit kemungkinan perbedaan pendapat individual.

2; Membatasi pada hal-hal yang nyata dan aktual dengan menghindari hal-hal yang
bersifat metaforis dan hipotesis.

3; Tidak menggunakan bahasa yang sulit sehingga mudah dipahami


4; Tidak mengacaukan masalah pokok dengan pengecualian, pembatasan atau
modifikasi, kecuali dalam hal-hal yang sangat diperlukan

5; Tidak mengandung argumentasi sehingga tidak membuka peluang pertentangan


pendapat.

6; Harus dipertimbangkan dengan penuh kematangan dan mempunyai kegunaan praktis.


Apabila kita mencermati ketentuan hukum tentang poligami dalam Pasal 4 ayat (2) Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 bahwa pengadilan hanya memberikan izin kepada seorang
suami yang akan berpoligami apabila isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai
isteri, mendapat cacad badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan atau tidak dapat
melahirkan keturunan. Kelemahan ketentuan hukum tersebut antara lain :

1; Ketentuan hukum tersebut dirumuskan secara limitatif dan sama sekali tidak membuka
peluang alasan-alasan lainnya, padahal bila dikomparasikan dengan ketentuan hukum
misalnya tentang syarat-syarat poligami masih membuka peluang tanpa adanya
persetujuan isteri, sehingga ketentuan alasan-alasan ini bersifat kaku dan tidak
mempunyai kegunaan praktis.

2; Ketentuan alasan-alasan tersebut telah mengabaikan adanya pluralisme hukum dalam


masyarakat yakni hukum Islam yang jelas membolehkan seorang suami untuk

129 Wirjono Pradjodikoro, Azaz-azaz Hukum Perdata, Sumur Bandung, 1981, h.22
130 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum , Citra Aditya Bakti, Bandung, 200, h 94-95

70

berpoligami tanpa harus memenuhi alasan-alasan sebagaimana yang ditentukan Pasal


4 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 sehingga ketentuan tersebut tidak
efektif dalam penerapannya.

3; Ketentuan alasan-alasan tersebut sama dengan menutup rapat pintu poligami yang
jelas dihalalkan dalam hukum Islam dan secara tidak langsung telah membuka peluang
perzinaan agar tumbuh berkembang di negara kita yang mayoritas penduduknya
muslim.
Atas dasar kelemahan-kelemahan tersebut, maka menurut penulis, ketentuan
hukum mengenai alasan-alasan izin berpoligami bagi seorang suami tersebut perlu
disempurnakan. Perlunya ketentuan hukum mengenai alasan-alasan izin bagi seorang
suami untuk melakukan poligami tersebut disempurnakan juga didukung oleh responden
maupun Ulama yang menjadi narasumber dalam penelitian ini, sebagaimana data yang
diperoleh sebagai berikut:

1; Kelompok hakim Pengadilan Agama Malang sejumlah 5 responden (100%) menyatakan


ketentuan hukum mengenai alasan-alasan bagi seorang suami untuk melakukan
poligami perlu disempurnakan.

2; Kelompok hakim Pengadilan Tinggi Agama Jawa Timur di Surabaya sejumlah 1 orang
(100 %) menyatakan ketentuan hukum mengenai alasan-alasan bagi seorang suami
untuk melakukan poligami perlu disempurnakan.

3; Kelompok Panitera Pengganti Pengadilan Agama Malang sejumlah 5 responden


(100%) menyatakan ketentuan hukum mengenai alasan-alasan bagi seorang suami
untuk melakukan poligami perlu disempurnakan.

4; Kelompok yustisiabel dari pihak suami sejumlah 5 responden (100%) menyatakan


ketentuan hukum mengenai alasan-alasan bagi seorang suami untuk melakukan
poligami perlu disempurnakan. Dari pihak isteri sejumlah 4 responden (80%)
menyatakan ketentuan hukum mengenai alasan-alasan bagi seorang suami untuk
melakukan poligami perlu disempurnakan, sedangkan sejumlah 1 orang (20 %)
menyatakan tidak perlu disempurnakan.

5; Kelompok Ulama sejumlah 3 responden (100%) menyatakan ketentuan hukum


mengenai alasan-alasan bagi seorang suami untuk melakukan poligami perlu
disempurnakan.
Mengenai alasan responden yang tidak menghendaki ketentuan hukum mengenai
alasan-alasan seorang suami melakukan poligami disempurnakan sejumlah 1 responden
yaitu karena ketentuan hukum tersebut sudah tepat dan hakim harus menerapkan sesuai
ketentuan hukum tersebut.
Mengenai bentuk penyempurnaan ketentuan hukum yang mengatur alasan-alasan
bagi seorang suami untuk melakukan poligami pada umumnya berbentuk penambahan

71

terhadap alasan-alasan yang ada dengan menambahkan alasan lain yang dapat
dipertimbangkan oleh pengadilan, sebagaimana dari data yang diperoleh sebagai berikut:
1; Kelompok hakim Pengadilan Agama Malang sejumlah 5 responden (100%) menyatakan
ketentuan hukum mengenai alasan-alasan bagi seorang suami untuk melakukan
poligami perlu disempurnakan dengan menambah alasan lain yang bisa diterima oleh
pengadilan.

2; Kelompok hakim Pengadilan Tinggi Agama Jawa Timur di Surabaya sejumlah 1 orang
(100 %) menyatakan ketentuan hukum mengenai alasan-alasan bagi seorang suami
untuk melakukan poligami perlu disempurnakan dengan menambah alasan lain yang
bisa diterima oleh pengadilan.

3; Kelompok Panitera Pengganti Pengadilan Agama Malang sejumlah 5 responden


(100%) menyatakan ketentuan hukum mengenai alasan-alasan bagi seorang suami
untuk melakukan poligami perlu disempurnakan dengan menambah alasan lain yang
bisa diterima oleh pengadilan.

4; Kelompok yustisiabel dari pihak suami sejumlah 5 responden (100%) menyatakan


ketentuan hukum mengenai alasan-alasan bagi seorang suami untuk melakukan
poligami perlu disempurnakan disempurnakan dengan menambah alasan lain yang bisa
diterima oleh pengadilan. Dari pihak isteri sejumlah 4 responden (80%) menyatakan
ketentuan hukum mengenai alasan-alasan bagi seorang suami untuk melakukan
poligami perlu disempurnakan dengan menambah alasan lain yang bisa diterima oleh
pengadilan,

sedangkan

sejumlah

orang

(20

%)

menyatakan

tidak

perlu

disempurnakan.

5; Kelompok Ulama sejumlah 3 responden (100%) menyatakan ketentuan hukum


mengenai alasan-alasan bagi seorang suami untuk melakukan poligami perlu
disempurnakan dengan menambah alasan lain yang bisa diterima oleh pengadilan.
Penulis sependapat dengan responden yang menghendaki penyempurnaan
dengan menambah alasan lain yang dapat dipertimbangkan oleh pengadilan, namun
menurut penulis rumusan tersebut masih

interpretable sehingga perlu dirumuskan

misalnya

alasan

dengan

menambah

rumusan

dikehendaki

pihak-pihak

demi

kemaslahatan rumah tangganya. Dengan adanya alasan selain yang ditentukan secara
limitatif dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut, maka
ketentuan hukum tersebut akan lebih selaras dengan pandangan hukum Islam mengenai
poligami dan hakim Pengadilan Agama mempunyai landasan yuridis dalam mengabulkan
permohonan izin poligami dengan alasan selain yang telah ditentukan undang-undang pada
saat ini serta yustisiabel yang menghendaki poligami demi kemaslahatan rumah tangganya
dapat tercapai.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

72

5.1. Kesimpulan
Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya, dapat disimpulkan hal-hal sebagai
berikut:

1; Penerapan izin poligami di Pengadilan Agama tidak menerapkan secara ketat ketentuan
Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 mengenai alasan-alasan untuk
melakukan poligami bagi seorang suami.

Permohonan izin poligami yang pada

umumnya diajukan oleh seorang suami dengan alasan di luar ketentuan undang-undang
juga dikabulkan oleh hakim Pengadilan Agama. Hakim tidak merasa terikat pada
ketentuan undang-undang tersebut, bahkan ketentuan undang-undang tersebut sering
dikesampingkan oleh hakim dalam mengadili permohonan izin poligami dengan alasan di
luar ketentuan undang-undang.

2; Faktor-faktor yang menjadi pertimbangan hakim Pengadilan Agama dalam mengabulkan


permohonan izin poligami dengan alasan di luar ketentuan undang-undang tersebut
adalah:

1; Faktor pandangan hukum agama (relegious law) yaitu hukum Islam yang
membolehkan poligami.

2; Faktor adanya kemaslahatan apabila permohonan poligami tersebut dikabulkan.


3;

Faktor menghindari perzinaan

4;

Faktor suami bisa menjamin keadilan

5; Faktor adanya kehendak pihak-pihak, yaitu pihak suami, isteri dan calon isteri.
6;Faktor memenuhi syarat secara kumulatif, baik syarat yang ditentukan oleh Pasal 5
ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 maupun syarat perkawinan menurut
hukum Islam.

7;

Faktor untuk melindungi wanita

8;

Faktor isteri tidak pernah hadir (verstek) di persidangan

3; Mengingat banyaknya permohonan izin poligami dengan alasan di luar ketentuan


undang-undang

yang

diajukan

kepada

Pengadilan

Agama

sehingga

dalam

penerapannya ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974


tersebut sering dikesampingkan oleh hakim, maka ketentuan hukum tersebut perlu
disempurnakan dengan menambah alasan yang ada dengan alasan lain yang dapat
dipertimbangkan oleh pengadilan misalnya dengan menambah rumusan alasan
dikehendaki pihak-pihak demi kemaslahatan rumah tangganya. Dengan demikian
ketentuan hukum yang mengatur izin poligami di Pengadilan Agama tersebut selaras
dengan pandangan hukum Islam mengenai poligami dan hakim Pengadilan Agama
mempunyai landasan yuridis dalam mengabulkan permohonan izin poligami dengan
alasan di luar ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 serta
pihak yustisiabel yang menghendaki poligami demi kemaslahatan rumah tangganya
dapat tercapai meskipun dengan alasan di luar ketentuan hukum tersebut.

73

5.2; SARAN
1; Ketentuan hukum mengenai alasan-alasan untuk melakukan poligami bagi seorang
suami yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
sebaiknya disempurnakan agar selaras dengan hukum Islam dan hakim Pengadilan
Agama mempunyai landasan yuridis dalam mengabulkan permohonan izin poligami
yang diajukan oleh suami dengan alasan di luar ketentuan hukum tersebut.
Penyempurnaan tersebut berupa menambahkan alasan yang ada dengan alasan
lain yang dapat dipertimbangkan oleh pengadilan misalnya dengan menambah
rumusan alasan dikehendaki pihak-pihak demi kemaslahatan rumah tangganya.
2; Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan sifat yang berbeda terhadap faktor-faktor
yang menyebabkan hakim Pengadilan Agama menyimpangi ketentuan Pasal 4 ayat (2)
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 sehingga permohonan izin poligami dengan
alasan di luar ketentuan undang-undang tersebut juga dikabulkan,

dan sedapat

mungkin memperluas wilayah penelitiannya, mengingat dalam penelitian ini dirasakan


belum tuntas pembahasannya.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas Mahmud al-Aqqad, Falsafah al-Quran, Dar al-Hilal, Cairo, Mesir, 1985.
Abdulkadir Audah, Al-Islam wa Audhainal Qununiyah, terjemahan Firdaus A.N., Bulan
Bintang, Jakarta, 1974.
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Rajawali
Pers, Jakarta 1991.
--------------, Beberapa Masalah Hukum tentang Pembuktian dan Hubungannya dengan
Praktek Hukum Acara di Lingkungan Peradilan Agama, Mimbar Hukum No. 55 Th.
XII 2001, Al-Hikmah dan Ditbinbapera Islam, Jakarta.
Abdul Manan dan M. Fauzan, Pokok-pokok Hukum Perdata Wewenang Peradilan Agama,
Rajawali Pers, Jakarta, 2000.
Abd. Nasir Taufik Al-Atthar, Taadduduz Zaujaati Minan Nawaahid Diiniyyati Wal
Ijtimaaiyyati Wal Qanuuniyyati, terjemah oleh Chadijah Nasution, Bulan Bintang,
Jakarta, 1976.
Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam, terj. Noer Iskandar Al-Barsany, Raja
Grafindo Persada, 1985.
Ahmad Azhar Basyir, Ushul Fiqih, t.p., Yogyakarta, 1957.
Ali Affandi, Hukum Waris Hukum Keluarga dan Hukum Pembuktian Menurut Kitab Undangundang Hukum Perdata (BW), Bina Aksara, Jakarta, 1986.
Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi Jil. IV, Mustafa al-Babi al-Halabi, 1963.
Amak F.Z., Proses Undang-undang Perkawinan, Al-Maarif, Bandung, 1976.

74

Amir Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran dalam Hukum Islam, Angkasa Raya, Padang,
1990.
Amrullah Ahmad et.al., Prospek Hukum Islam dalam Kerangka Pembangunan Hukum
Nasional di Indonesia, PP IKAHA, Jakarta, 1994.
A. Ridwan Halim, Hukum Perdata dalam Tanya Jawab, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1962.
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 1996.
Bernard Arief Sidharta, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung,
2000.
Bibit Suprapto, Liku-liku Poligami, Al-Kautsar, Yogyakarta, 1990.
Chainur Rasyid, Dasar-dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2000.
Dedi Soemardi, Sumber-sumber Hukum Positip, Alumni, Bandung, 1986.
Erna Widodo dan Mukhtar, Konstruksi ke Arah Penelitian Deskriptif, Avyruz, Yogyakarta,
2000.
Efrinaldi, Teori Kemaslahatan dalam Wacana Pembaharuan Hukum Islam: Suatu Kajian
terhadap Pemikiran Najm Din Thufi, Mimbar Hukum No.55 Th XII 2001, Al-Hikmah
dan Ditbinbapera Islam, Jakarta.
Esmi Warassih, Pemberdayaan Masyarakat dalam Mewujudkan Tujuan Hukum (Proses
Penegakan Hukum dan Persoalan Keadilan), Pidato Pengukuhan Guru Besar
Madya dalam Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang,
2001.
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition, Chicago
University Press, Chicago.
Gamal A. Badawi, Poligamy in Islamic Law, The Muslim Students Association of The United
States & Canada.
John Z. Loudoe, Menemukan Hukum Melalui Tafsir dan Fakta, Bina Aksara, Jakarta, 1985.
Hafizh Anshari Az. et.al., Ensiklopedi Hukum Islam, PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta,
1996.
Hammudah Abd. Al-Ati, The Family Structure in Islam, terjemah Anshari Thayib, Bina Ilmu,
Surabaya, 1984.
Hensyah Syahlani, Penemuan dan Pemecahan Masalah Hukum dalam Peradilan Agama,
Mahkamah Agung RI, Jakarta, 1993.
Hilman Hadikusuma, Hukum Ketatanegaraan Adat, Alumni, Bandung, 1981.
Husni Rahim et.al., Peradilan Agama di Indonesia, Departemen Agama RI, 2000.
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram, Jilid II, terjemahan A. Hassan, CV Diponegoro,
Bandung.
Iman Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, Liberty, Yogyakarta, 1981.

75

I Nyoman Nurjaya, Hak Menguasai Negara dan Implikasinya terhadap Pengelolaan


Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup, Materi Kuliah Hukum Sumber Daya
Alam dan Hak Asasi Manusia, Universitas Islam Malang, 2002.
I.P.M. Ranuhandoko, Terminologi Hukum Inggris Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta.
J.C.T. Simorangkir et. al., Kamus Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 1995.
John Z. Loudoe, Menemukan Hukum Melalui Tafsir dan Fakta, Bina Aksara, Jakarta, 1995.
J.S. Badudu dan Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1999.
Khoirudin Nasution, Riba dan Poligami Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad Abduh,
Pustaka pelajar, Yogyakarta, 1996.
Lex J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Roadakarya, Bandung, 1988.
Masfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, Haji Masagung, Jakarta, 1993.
Masruhan, Kontroversi Poligami dalam Hukum Islam, Jurnal Hukum Islam al-Qanun Vol.I
No.1 2001, IAIN Sunan Ampel, Surabaya.
M. Fauzan, Permohonan Pengangkatan Anak bagi Keluarga Muslim adalah wewenang
Absolut Peradilan Agama, Mimbar Hukum No. 55 Th XII 2001, Al-Hikmah dan
Ditbinbapera Islam, Jakarta, 2001.
M. Fatich, Pembuktian dengan Saksi pada Pengadilan Agama, Tesis, PPS Universitas
Gajah Mada, Yogyakarta, 1995.
M. Hasbi Ash Shiddieqy, Poligami menurut Hukum Islam, Islam Study Club, Yogyakarta,
1955.
Moch. Anwar, Dasar-dasar Hukum Islami dalam Menetapkan Keputusan di Pengadilan
Agama, Diponegoro, Bandung, 1991.
Muhammad Ali Al-Shabuni, Rawat al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam min Al-Quran, Jil. I, Dar
al-Quranul Karim, 1972.
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, terj. Masykur A.B. et.al., Penerbit
Lentera, Jakarta, 1999.
Muhammad Jamaluddin Al-Qasimi, Umahasin al-Tawil Jil.V, Dar Ihyal Kutub, tt.
Mujamil, Kontribusi Hukum Islam terhadap

Peradaban Manusia Sebuah Apresiasi

Monumental, Ramadhani, Solo, 1993.


M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, Mizan, Bandung, 1998.
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Pustaka Kartini,
Jakarta 1990.
--------------, Hukum Acara Perdata Peradilan Indonesia, Zahir, Medan, 1977.
--------------, Beberapa Permasalahan Hukum Acara Peradilan Agama, Al-Hikmah, Jakarta,
1994.
Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad al-Syaukani, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1999.
Raihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, Rajawali Pers, Jakarta, 1991.

76

--------------, Kasus dan Hukum dalam Fungsi Mengatur, Mimbar Hukum No. 19 Th. VI
1995, Al-Hikmah dan Ditbinbapera Islam, Jakarta, 1995.
Rusly Effendy et. al., Teori Hukum, Hasanuddin University Press, 1991.
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 1988.
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000.
---------------, Hukum dan Masyarakat, Angkasa, Bandung, 1986.
Saifullah, Poligami dalam Struktur Keluarga Muslim, Mimbar Hukum No. 51 Th XII 2001, AlHikmah dan Ditbinbapera Islam, Jakarta, 2001.
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Universitas Indonesia Press, Jakarta, 1974.
Sayyid Qutub, Fi Dhilal Al-Quran Jil IV, dar al-Qutub al-Ilmiyah, tt.
Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Rajawali Press, Jakarta, 1988.
Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah, Sosiologi Hukum dalam Masyarakat, Rajawali,
Jakarta, 1980.
Soenarjo et.al., Al-Quran dan Terjemahannya, Departemen Agama RI, 1984.
Subekti, Kamus Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1978.
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuh Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1996.
--------------, Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1985.
--------------, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1988.
W.J.S. Porwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1999.
Wildan Suyuthi (peny.) Beberapa Permasalahan Acara Perdata Peradilan Agama dalam
Tanya Jawab, Mahkamah Agung RI, 2001.
Wirjono Prodjodikoro, Azaz-azas Hukum Perdata, Sumur, Bandung, 1981.
Tresna, Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad, Pradnya Paramita, Jakarta, 1977.
Taufiq, Kedudukan Peradilan Agama dalam Sistem Peradilan di Indonesia, Bulletin Hikmah
No. 2 Tahun I Juli 1986.
--------------, Transformasi Hukum Islam ke dalam Legislasi Nasional, Mimbar Hukum No. 49
Th. XI 2000, Al-Hikmah dan Ditbinbapera Islam, Jakarta, 2000.
Zainal Abidin Abu Bakar (peny.), Berbagai Pandangan terhadap Kompilasi Hukum Islam, AlHikmah, Jakarta, tt.
Varia Peradilan Majalah Hukum Tahun XII Nomor 144 September 1997.
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman (Lembaran Negara 1970 Nomor 74).
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara 1974 No 1).
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 (Lembaran Negara 1975 Nomor 12).

77

Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (Lembaran Negara 1989
Nomor 20).
Pembangunan hukum nasional dalam bidang-bidang yang tidak mungkin dicapai unifikasi,
sedapat mungkin diupayakn terciptanya keharmonisan hukum. Harmonis hukum, kalau
meminjam istilah Martin Boodman dalam bukunya The Myth of Harmonization ol Law,
adalah keadan hukum di mana unsur-unsur lama yang berbeda tetap ada, utuh dan tidak
berubah, namun terjadi paduan baru hasil aransemen yang merupakan satu keseluruhan
yang indah dan elok serta nikmat bagi kehidupan.
Keharmonsan hukum adalah salah satu aspek politik hukum Islam yang mencakup
nilai dan tujuan sesuai dengan kriteria dan pedoman keadilan, keanggunan dan
keharmonisan hukum, meskipun hanya menggunakan istilah hukum perkawinan, hukum
kewarisan, hukum perwakafan, tanpa

KUESIONER UNTUK RESPONDEN


Assalamualaikum w.w.
Dengan ini mohon kesediaan Bapak/Ibu untuk mengisi kuesioner ini sebagai data untuk
penulisan tesis yang berjudul PERTIMBANGAN HAKIM PENGADILAN AGAMA MALANG
DALAM MENGABULKAN PERMOHONAN IZIN POLIGAMI DENGAN ALASAN DI LUAR
KETENTUAN UNDANG-UNDANG (Studi di Pengadilan Agama Malang).
Cara pengisian : Lingkarilah atau isilah jawaban-jawaban yang telah tersedia.
1; Apakah Saudara sudah memahami alasan-alasan

untuk melakukan poligami bagi

seorang suami menurut ketentuan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 ?


1; Sudah memahami
2; Belum memahami
3; (jawaban lain) :

2. Hakim Pengadilan Agama Malang telah mengabulkan permohonan izin poligami dengan
alasan di luar ketentuan undang-undang sebanyak 15 perkara dari 18 perkara yang
masuk atau sebesar 83,33%. Bagaimana sikap dan pandangan saudara terhadap
putusan yang demikian itu ?

78

1;

Setuju, alasannnya

( dipilih yang sesuai dengan pendapat Saudara, jumlahnya

bebas):

2;

1;

Hukum agama membolehkan

2;

Karena kemaslahatan

3;

Adanya kehendak pihak-pihak

4;

Suami bisa menjamin keadilan

5;

Karena memenuhi syarat-syarat

6;

Karena verstek

7;

Untuk melindungi kehormatan wanita

8;

Menghindari perzinaan

9;

(sebutkan bila masih ada)

Tidak setuju, alasannya

3. Bagaimana sikap dan pandangan Saudara terhadap ketentuan Pasal 4 ayat (2)
mengenai alasan-alasan bagi seorang suami untuk melakukan poligami dalam kaitannya
dengan permohonan izin poligami dengan alasan-alasan di luar ketentuan tersebut telah
dikabulkan oleh hakim ?
1;

Ketentuan tersebut sudah tepat, hakim harus mengikutinya sesuai ketentuan tersebut.

2;

Ketentuan tersebut tidak sesuai dengan hukum agama, harus dihapus

3;

Ketentuan tersebut perlu disempurnakan, ditambah alternaftif atau alasan lain yang
bisa diterima oleh pengadilan.

d. (pendapat lainnya disebutkan) :

RINGKASAN
MUSTHOFA, Program Pascasarjana Universitas Islam Malang, 3 Agustus 2002,
Pertimbangan Hakim Pengadilan Agama dalam Mengabulkan Permohonan Izin
Poligami dengan Alasan di Luar Ketentuan Undang-undang (Studi di Pengadilan
Agama Malang); Komisi Pembimbing, Pembimbing Utama: Dr. Kasuwi.M.A., Pembimbing
Pendamping: Moch. Fatich,S.H.,M.H.
Pasal 4

ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah

menentukan bahwa pengadilan hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan

79

beristeri lebih dari seorang apabila isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai
isteri, isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, isteri tidak
dapat melahirkan keturunan.
Ketentuan undang-undang yang mengatur poligami sudah jelas bahwa

seorang

suami hanya dapat diizinkan oleh Pengadilan Agama untuk berpoligami apabila telah
memenuhi alasan-alasan yang ditentukan undang-undang. Dengan pernyataan lain bahwa
permohonan izin poligami yang tidak memenuhi alasan-alasan tersebut, maka hakim tidak
dapat mengabulkan/mengizinkan permohonan izin poligami.
Berdasarkan hasil penelitian, permohonan izin poligami yang diajukan seorang
suami kepada Pengadilan Agama Malang dari tahun 1999-2001 sejumlah 34 perkara, terdiri
dari 16 perkara mendalilkan dengan alasan sesuai ketentuan undang-undang dan 18
perkara (53%) mendalilkan dengan alasan di luar ketentuan undang-undang, yakni dengan
alasan suami telah menjalin hubungan dengan wanita lain, suami telah kawin sirri dengan
calon isteri, suami ingin mempunyai anak lagi, kemampuan seksual suami sangat tinggi,
suami memenuhi permintaan calon isteri dan keluarganya, dan isteri sibuk bekerja. Dari 18
perkara tersebut, telah dikabulkan sejumlah 15 perkara (83,33%).
Berdasarkan data tersebut, penerapan izin poligami di Pengadilan Agama tidak
menerapkan secara ketat ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
mengenai alasan-alasan untuk melakukan poligami bagi seorang suami. Permohonan izin
poligami yang diajukan oleh seorang suami dengan alasan di luar ketentuan undangundang juga dikabulkan oleh hakim Pengadilan Agama. Hakim tidak merasa terikat pada
ketentuan undang-undang tersebut, bahkan ketentuan undang-undang tersebut sering
dikesampingkan oleh hakim dalam mengadili permohonan izin poligami dengan alasan di
luar ketentuan undang-undang.
Adapaun faktor-faktor yang menjadi pertimbangan hakim Pengadilan Agama dalam
mengabulkan permohonan izin poligami dengan alasan di luar ketentuan undang-undang
tersebut adalah faktor pandangan hukum agama (relegious law), kemaslahatan,
menghindari perzinahan, suami bisa menjamin keadilan, adanya kehendak pihak-pihak,
memenuhi syarat secara kumulatif, untuk melindungi wanita, dan isteri tidak pernah hadir di
persidangan (verstek).
Mengingat banyaknya permohonan izin poligami dengan alasan di luar ketentuan
undang-undang yang diajukan kepada Pengadilan Agama sehingga dalam penerapannya
ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut sering
dikesampingkan oleh hakim, maka ketentuan hukum tersebut perlu disempurnakan dengan
menambah alasan yang ada dengan alasan lain yang dapat dipertimbangkan oleh
pengadilan misalnya dengan menambah rumusan alasan dikehendaki pihak-pihak demi
kemaslahatan rumah tangganya. Dengan demikian ketentuan hukum yang mengatur izin
poligami di Pengadilan Agama tersebut selaras dengan pandangan hukum Islam mengenai
poligami dan hakim Pengadilan Agama mempunyai landasan yuridis dalam mengabulkan

80

permohonan izin poligami serta pihak yustisiabel yang menghendaki poligami demi
kemaslahatan rumah tangganya dapat tercapai meskipun dengan alasan di luar ketentuan
Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut.
SUMMARY
MUSTHOFA, is a lecturer of Universitas Islam Malangs Postgraduate Programs, 3th
of August 2002. Title: Pertimbangan Hakim Pengadilan Agama dalam Mengabulkan
Permohonan Izin Poligami dengan Alasan di Luar Ketentuan Undang-undang (Studi
di Pengadilan Agama Malang); Supervisors: Dr. Kasuwi.M.A. (Main Supervisor), and
Moch. Fatich,S.H.,M.H.(Assistant Supervisor).
Pasal 4

ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah

menentukan bahwa pengadilan hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan
beristeri lebih dari seorang apabila isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai
isteri, isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, isteri tidak
dapat melahirkan keturunan.
Ketentuan undang-undang yang mengatur poligami sudah jelas bahwa

seorang

suami hanya dapat diizinkan oleh Pengadilan Agama untuk berpoligami apabila telah
memenuhi alasan-alasan yang ditentukan undang-undang. Dengan pernyataan lain bahwa
permohonan izin poligami yang tidak memenuhi alasan-alasan tersebut, maka hakim tidak
dapat mengabulkan/mengizinkan permohonan izin poligami.
Berdasarkan hasil penelitian, permohonan izin poligami yang diajukan seorang
suami kepada Pengadilan Agama Malang dari tahun 1999-2001 sejumlah 34 perkara, terdiri
dari 16 perkara mendalilkan dengan alasan sesuai ketentuan undang-undang dan 18
perkara (53%) mendalilkan dengan alasan di luar ketentuan undang-undang, yakni dengan
alasan suami telah menjalin hubungan dengan wanita lain, suami telah kawin sirri dengan
calon isteri, suami ingin mempunyai anak lagi, kemampuan seksual suami sangat tinggi,
suami memenuhi permintaan calon isteri dan keluarganya, dan isteri sibuk bekerja. Dari 18
perkara tersebut, telah dikabulkan sejumlah 15 perkara (83,33%).
Berdasarkan data tersebut, penerapan izin poligami di Pengadilan Agama tidak
menerapkan secara ketat ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
mengenai alasan-alasan untuk melakukan poligami bagi seorang suami. Permohonan izin
poligami yang diajukan oleh seorang suami dengan alasan di luar ketentuan undangundang juga dikabulkan oleh hakim Pengadilan Agama. Hakim tidak merasa terikat pada
ketentuan undang-undang tersebut, bahkan ketentuan undang-undang tersebut sering
dikesampingkan oleh hakim dalam mengadili permohonan izin poligami dengan alasan di
luar ketentuan undang-undang.
Adapaun faktor-faktor yang menjadi pertimbangan hakim Pengadilan Agama dalam
mengabulkan permohonan izin poligami dengan alasan di luar ketentuan undang-undang
tersebut adalah faktor pandangan hukum agama (relegious law), kemaslahatan,

81

menghindari perzinahan, suami bisa menjamin keadilan, adanya kehendak pihak-pihak,


memenuhi syarat secara kumulatif, untuk melindungi wanita, dan isteri tidak pernah hadir di
persidangan (verstek).
Mengingat banyaknya permohonan izin poligami dengan alasan di luar ketentuan
undang-undang yang diajukan kepada Pengadilan Agama sehingga dalam penerapannya
ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut sering
dikesampingkan oleh hakim, maka ketentuan hukum tersebut perlu disempurnakan dengan
menambah alasan yang ada dengan alasan lain yang dapat dipertimbangkan oleh
pengadilan misalnya dengan menambah rumusan alasan dikehendaki pihak-pihak demi
kemaslahatan rumah tangganya. Dengan demikian ketentuan hukum yang mengatur izin
poligami di Pengadilan Agama tersebut selaras dengan pandangan hukum Islam mengenai
poligami dan hakim Pengadilan Agama mempunyai landasan yuridis dalam mengabulkan
permohonan izin poligami serta pihak yustisiabel yang menghendaki poligami demi
kemaslahatan rumah tangganya dapat tercapai meskipun dengan alasan di luar ketentuan
Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut.

82

DAFTAR ISI
RINGKASAN
SUMMARY
LEMBAR PERSEMBAHAN
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI

I;

PENDAHULUAN

I.1; Latar belakang masalah


I.2; Rumusan masalah
I.3; Kegunaan penelitian
I.4; Keaslian Penelitian
I.5; Tujuan Penelitian
II;

TINJAUAN PUSTAKA

II.1;

Peradilan Agama

II.1.1;
II.1.2;
II.1.3;
II.1.4;
II.2;

Dasar Hukum
Kompetensi
Sejarah PA

Poligami

II.2.1;
II.2.2;
II.2.3;
II.2.4;
II.2.5;
II.3;

Pengertian

Pengertian Perkawinan
Azas Perkawinan
Pengertian Poligami
Dasar Hukum Poligami
Alasan dan syarat Poligami

Penemuan hukum

II.3.1; Pengertian
II.3.2; Dasar hukum
II.3.3; Metode
III;

METODE PENELITIAN

III.1;
III.2;
III.3;
III.4;
III.5;
III.6;
III.7;
IV;

Pendekatan dan sifat Penelitian


Lokasi
Subyek Penelitian
Bahan Penelitian
Instrumen Penelitian
Jalannya Penelitian
Analisis Data

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

IV.1;

Penerapan izin Poligami di PA

83

IV.2;

Faktor-faktor

yang

menjadi

pertimbangan

Hakim

PA

dalam

mengabulkan izin poligami dengan alasan di luar ketentuan Undangundang

IV.3;
V;

KESIMPULAN DAN SARAN

V.1;
V.2;
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

Ketentuan hukum yang seharusnya mengatur izin Poligami di PA

Kesimpulan
Saran-saran

Anda mungkin juga menyukai