BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Segala makhluk ditetapkan Allah berpasangan. Hakikat ini ditegaskan oleh Al-Quran
antara lain dengan firman-Nya dalam Surat al-Dzariyat ayat (49)1,Segala sesuatu Kami
ciptakan berpasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah, juga dalam Surat Yasin
ayat (36), Mahasuci Allah yang telah menciptakan semua pasangan baik dari apa yang
tumbuh di bumi, dan dari jenis mereka (manusia) maupun dari (makhluk-makhluk) yang
tidak mereka ketahui. Ketentuan berpasangan mengenai manusia dapat dilihat dalam jenis
laki-laki dan perempuan, sebagaimana firman Allah dalam Surat an-Najm ayat (45),
Bahwasannya Dialah yang menciptakan berpasangan laki-laki dan perempuan.
Al-Quran menjelaskan bahwa manusia (laki-laki) secara naluriah, disamping mempunyai
keinginan terhadap anak keturunan, harta kekayaan dan lain-lain, juga menyukai lawan
jenisnya.2 Demikian juga sebaliknya perempuan mempunyai keinginan yang sama. Untuk
memberikan jalan keluar yang terbaik mengenai hubungan manusia yang berlainan jenis
itu, Islam menetapkan suatu ketentuan yang harus dilalui yaitu perkawinan.3
Mengenai hukum perkawinan, Abbas Mahmud Al-Aqqad berpendapat
bahwa hukum perkawinan yang baik adalah yang menjamin dan memelihara hakikat
perkawinan untuk menghadapi segala keadaan yang terjadi atau yang mungkin terjadi, 4
termasuk kemungkinan terjadinya poligami.
Hukum perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Undang-undang ini menganut asas monogami,
sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 3:
1; Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai
seorang isteri. Seorang isteri hanya boleh mempunyai seorang suami.
2; Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari
seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Asas monogami dalam Undang-undang Perkawinan
memberikan kemungkinan seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila
dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Seorang suami yang akan melakukan poligami wajib mengajukan permohonan izin
poligami ke pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Nomor
1 Tahun 1974 jo. Pasal 40 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
Penjelasan Pasal 3 ayat (2) Undang-undang
bahwa pengadilan dalam memberi putusan selain memeriksa apakah syarat yang tersebut
dalam Pasal 4 dan Pasal 5 telah dipenuhi harus mengingat pula apakah ketentuanketentuan hukum perkawinan dari calon suami mengizinkan adanya poligami.5
Pengadilan tersebut hanya memberi izin apabila permohonan izin poligami memenuhi
alasan-alasan yang telah ditentukan oleh Undang-undang Perkawinan dalam Pasal 4 ayat
(2):
Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang
suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila:
a. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri
b.isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan
Seorang suami yang mengajukan permohonan izin poligami juga harus memenuhi syaratsyarat sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 5 Undang-undang Perkawinan, yaitu:
a. Adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri. Persetujuan ini tidak diperlukan apabila isteri
yang telah ada tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak
dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya
dua tahun atau sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari hakim
pengadilan bersangkutan.6
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anakanak mereka.
c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak
mereka.
Pengadilan kemudian memeriksa mengenai ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan
seorang suami berpoligami dan syarat-syarat yang telah ditentukan Undang-undang
Perkawinan. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 41 Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975.
Alasan-alasan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 tersebut bersifat limitatif, artinya pengadilan hanya memberi izin
poligami apabila permohonan izin poligami memenuhi minimal salah satu dari alasanalasan
apabila permohonannya memenuhi minimal salah satu alasan-alasan yang telah ditentukan
dalam undang-undang.
yang
beragama
Islam
mengenai
perkara
perdata
tertentu
berwenang
tidak
memenuhi
alasan-alasan
tersebut,
maka
hakim
tidak
dapat
undang
3. Bagaimanakah seharusnya ketentuan hukum yang mengatur pelaksanaan izin poligami
di Pengadilan Agama ?
1.3. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu hukum
pada umumnya, dan khususnya hukum perkawinan yang berkaitan dengan poligami.
Penelitian ini diharapkan juga memberikan kegunaan bagi dunia praktik peradilan di
Pengadilan Agama, baik bagi hakim, pengacara, yustisiabel maupun pengambil kebijakan
hukum.
1.4. Keaslian Penelitian
Menurut
pengetahuan
penulis,
penelitian
Pengadilan Agama dalam mengabulkan permohonan izin poligami dengan alasan di luar
ketentuan undang-undang ini belum pernah ada yang meneliti, sehingga dapat dipandang
sebagai penelitian yang pertama kalinya.
1.5. Tujuan Penelitian
7 Pasal 10 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 jis. Pasal 49 Undang-undang Nomor 7
Tahun 1989, Pasal 4 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.
banding. Lingkungan Peradilan Umum terdiri dari Pengadilan Negeri sebagai pengadilan
tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi sebagai pengadilan tingkat banding. Lingkungan
Peradilan Agama terdiri dari Pengadilan Agama sebagai pengadilan tingkat pertama dan
Pengadilan Tinggi Agama sebagai pengadilan tingkat banding. Lingkungan Peradilan Militer
terdiri dari Mahkamah Militer sebagai pengadilan tingkat pertama dan Mahkamah Militer
Tinggi sebagai pengadilan tingkat banding. Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara terdiri
dari Pengadilan Tata Usaha Negara sebagai pengadilan tingkat pertama dan Pengadilan
Tinggi Tata Usaha Negara sebagai pengadilan tingkat banding.
Empat lingkungan peradilan tersebut berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai
pengadilan negara tertinggi sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 10 ayat (2) Undangundang Nomor 14 Tahun 1970 jo. Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999.
Dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 pengertian Peradilan Agama
disebutkan dalam Pasal 1 angka 1 bahwa Peradilan Agama adalah peradilan bagi orangorang yang beragama Islam, sedangkan pengertian pengadilan disebutkan dalam Pasal 1
angka 2 bahwa pengadilan adalah Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama di
lingkungan Peradilan Agama.
Pengertian
universal. Menurut konsep Islam secara universal, peradilan Islam meliputi segala jenis
perkara menurut ajaran Islam secara universal. Peradilan Agama adalah peradilan Islam
karena jenis-jenis perkara yang menjadi kompetensinya adalah jenis perkara menurut
agama Islam, namun Peradilan Agama adalah
bahwa
karena
mengadili perkara-perkara tertentu atau mengenai golongan rakyat tertentu. Hal demikian
sejalan dengan ketentuan Pasal 1 angka 1 jis. Pasal 2, Pasal 49, dan Pasal 50 Undangundang Nomor 7 Tahun 1989.
Dari ketentuan-ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa golongan rakyat yang
diadili oleh Peradilan Agama adalah golongan rakyat yang beragama Islam sebagaimana
Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, sedangkan materi perkara yang
menjadi kompetensi Peradilan Agama adalah perkara-perkara bidang perkawinan,
111 Raihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, Rajawali, Jakarta, 1990, h..6.
1 Sudikno Mertokusumo, Bunga Rampai Ilmu Hukum, dalam M. Fatich, op.cit., h..19.
28 Mahfud MD, Peluang Konstitusional bagi Peradilan Agama, dalam M. Fatich, ibid., h.19.
Khusus
Agama
bertugas
dan
berwenang
memeriksa,
memutus,
dan
29 Ismail Sunny dalam Amrullah Ahmad et.al., Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem
Ketatanegaraan Indonesia, PP IKAHA, Jakarta, 1994, h.200-201.
3; dispensasi kawin,
4; pencegahan perkawinan,
5; penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah,
6; pembatalan perkawinan,
7; gugatan kelalaian atas kewajiban suami atau isteri,
8; perceraian karena talak,
9; gugatan perceraian,
10; penyelesaian harta bersama,
11; mengenai penguasaan anak-anak,
12; ibu dapat memikul biaya penghidupan anak bilamana bapak yang seharusnya
bertanggung jawab tidak memenuhinya,
13; penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas isteri
atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas isteri,
18; menunjuk seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18 tahun
yang ditinggal kedua orang tuanya padahal tidak ada penunjukan wali oleh orang
tuanya,
19; pembebanan kewajiban kerugian terhadap wali yang telah menyebabkan kerugian
atas harta benda anak yang ada di bawah kekuasaannya,
pengangkatan
anak
tidak
ditentukan
oleh
undang-undang
sebagai
tersebut tidak mempunyai dasar hukum dan pihak yang berkepentingan dapat mengajukan
pembatalan kepada Mahkamah Agung.
Berkaitan dengan kompetensi absolut, Pasal 50 memberikan batasan:
Dalam hal terjadi sengketa mengenai hak milik atau keperdataan lain dalam perkaraperkara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 49, maka khusus mengenai objek
yang menjadi sengketa tersebut harus diputus lebih dahulu oleh pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Umum.
10
tempat kedudukan
meliputi wilayah kotamadia atau kabupaten, atau tidak tertutup kemungkinan adanya
kekecualian. Adanya kekecualian tersebut telah terjadi pengalokasian daerah hukum
pengadilan yang wilayahnya lebih kecil daripada wilayah kota atau kabupaten.
Adanya kekecualian tersebut banyak ditemukan, disebabkan proses pemecahan
wilayah kota atau kabupaten terjadi terus menerus seiring dengan pertumbuhan dan
penyebaran penduduk, juga terjadinya proses perubahan dari kawasan pedesaan menuju
ke kawasan perkotaan. Selain itu, pembentukan pengadilan dalam lingkungan Peradilan
Agama dilakukan terus menerus untuk memenuhi tuntutan kebutuhan karena beban
perkara semakin besar dan untuk melakukan penyesuaian dengan pengembangan
pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.
2.1.4. Sejarah Peradilan Agama
Sebelum Islam datang ke Indonesia telah dikenal peradilan di kalangan masyarakat,
yaitu Peradilan Perdamaian Keluarga atau Perdamaian Kampung, Peradilan Pepaduan
atau Peradilan Padu, dan Peradilan Pradata.33 Peradilan Perdamaian Kampung sebagai
peradilan sehari-hari atau sewaktu-waktu diperlukan oleh masyarakat, sedangkan peradilan
kedua adalah Peradilan Padu yang mengurus perkara-perkara mengenai kepentingan
11
rakyat yang tidak dapat didamaikan secara kekeluargaan oleh hakim Peradilan Perdamaian
Kampung. Hukum material peradilan ini bersumber pada hukum kebiasaan dalam praktik
sehari-sehari atau hukum tidak tertulis.34
Peradilan Pradata mengurus perkara-perkara yang diajukan kepada raja, terutama perkaraperkara yang berkaitan dengan keamanan dan ketertiban negara. Peradilan Pradata
berkedudukan di ibukota negara dengan hakim ketua adalah raja dan hakim-hakim anggota
terdiri dari pejabat tinggi kerajaan, sehingga peradilan ini merupakan peradilan negara
tertinggi. Hukum materialnya bersumber pada hukum Hindu dan aturan hukumnya
dilukiskan dalam papakem atau kitab hukum sehingga berupa hukum tertulis.35
Agama Islam masuk ke Indonesia pada abad pertama Hijriyah atau abad ketujuh Masehi
yang dibawa oleh para saudagar dari Arab yang sekaligus mereka berdakwah,36 sehingga
masyarakat mulai melaksanakan ajaran dan aturan-aturan agama Islam yang bersumber
pada kitab-kitab fiqh. Kitab-kitab tersebut memuat aturan dan tata cara ibadah serta sistem
peradilan yang disebut qadha.37
Peradilan qadha sebagaimana dalam kitab fiqh belum dapat dilaksanakan sepenuhnya
sehingga untuk menyelesaikan perkara-perkara bagi mereka yang beragama Islam
dilakukan tahkim, yaitu para pihak yang berperkara secara sukarela menyerahkan perkara
mereka kepada seorang ahli agama untuk diselesaikan dengan ketentuan bahwa para
pihak akan mematuhi putusan tersebut. Tahkim ini selanjutnya melembaga sebagai
peradilan syara di beberapa tempat, bahkan pada beberapa kerajaan, peradilan syara
tersebut berdampingan secara baik dengan peraturan raja yang umumnya bersumber dari
adat. Periode tahkim ini diduga sebagai awal perkembangan Peradilan Agama di
Indonesia.38
Periode selanjutnya disebut periode Tauliyah Ahl al Halli wa al Aqd, yang dapat dilihat
ketika pemerintah Hindia Belanda mulai menyerahkan sebagian wewenang peradilan
kepada sultan-sultan atau raja-raja seperti kerajaan Samudra Pasai, Aceh, Demak dan
Banten.
Periode setelah itu adalah periode Tauliyah dari Imam, yang dimulai ketika Islam
datang dan diterima raja-raja seperti pada kerajaan Mataram, sehingga para hakim
pelaksana peradilan diangkat oleh sultan atau imam atau disebut wali al amr. Jabatan
keagamaan hampir di semua swapraja Islam merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dengan jabatan pemerintahan umum pada periode ini, misalnya pada tingkat desa ada
jabatan Kaum, Kayim, Modin, Amil, pada tingkat kecamatan ada yang disebut Penghulu
34 Hilman Hadikusuma, Hukum ketatanegaraan Adat, Alumni, Bandung, 1981, h.168, juga lihat
Husni Rahim et. al., Peradilan Agama di Indonesia, Dirbinbapera Islam, 2000, h.1.
35 Ibid.
36 Kesimpulan Hasil Seminar Masuknya Islam ke Indonesia, dalam Husni Rahim et.al., Peradilan
Agama di Indonesia, Dirbinbapera Islam, 2000, h.2.
37 Zaini Ahmad Nuh, dalam Husni Rahim et.al.,ibid.
38 Ibid.
12
Naib, tingkat kabupaten ada Penghulu Seda, dan pada tingkat kerajaan disebut Penghulu
Agung yang berfungsi sebagai hakim atau qadhi dengan dibantu beberapa penasihat yang
kemudian dikenal dengan Pengadilan Surambi39 karena bertempat di bagian depan masjid
(surambi masjid). Pengadilan Surambi merupakan Collegiale Rechtsprak, yang kelihatan
sekali unsur musyawarah dan mufakatnya.40
Kepustakaan yang ada menunjukkan bahwa sebelum Peradilan Agama diresmikan tahun
1882, pemerintah kolonial telah mengatur keberadaan Peradilan Agama di masyarakat
Islam Indonesia. Pengaturan tersebut dapat dilihat antara lain:41
Staatsblad Nomor
Resolusi tanggal 1 Desember 1835 yang dimuat dalam Staatsblad Nomor 58 Tahun
1835 tentang penjelasan Pasal 13 Staatsblad Nomor 22 Tahun 1820 sebagai berikut:
Apabila terjadi sengketa antara orang-orang Jawa satu sama lain mengenai soal-soal
perkawinan, pembagian harta dan sengketa-sengketa yang sejenis yang harus diputus
menurut hukum Islam, maka para pemuka agama itu memberi keputusan, tetapi
gugatan untuk mendapat pembiayaan yang timbul dari keputusan para pemuka agama
itu harus diajukan kepada pengadilan-pengadilan biasa.
d. Regeerings Reglement Staatsblad 1855 Nomor 2 yang dalam Pasal 78 ditentukan batas
kewenangan Pengadilan Agama yaitu tidak berwenang dalam perkara pidana.
Secara yuridis formal, Peradilan Agama sebagai badan peradilan yang terakhir dalam
sistem kenegaraan untuk pertama kali lahir di Indonesia (Jawa dan Madura) pada tanggal 1
Agustus 1882. Kelahiran ini berdasarkan Keputusan Raja Belanda (Konninklijk Besluit)
yakni Raja Willem III tanggal 19 Januari 1882 Nomor 24 yang dimuat dalam Staatsblad
1882 Nomor 152. Badan peradilan ini bernama Priesterraden yang kemudian lazim disebut
Raad Agama dan kemudian lebih dikenal dengan nama Pengadilan Agama.
Latar belakang dan dasar pemikiran lahirnya Staatsblad 1882 Nomor 152 adalah
teori receptio in complexu yang dipelopori oleh L.W.C. Van Den Berg . Teori ini berpendapat
39 ibid.
40 Tresna, op.cit, h.18.
41 Husni Rahim et. al, op. cit., h. 8-19.
13
bahwa hukum yang berlaku bagi orang Indonesia asli adalah undang-undang agama
mereka yakni hukum Islam. Sejak tahun 1885, teori tersebut telah didukung oleh peraturan
perundang-undangan Hindia Belanda melalui Pasal 75, Pasal 78 dan Pasal 109
Regeerings Reglement Staatsblad 1885 Nomor 2.
Dengan berpegang pada teori ini L.W.C. Van den Berg yang bertindak sebagai
konseptor Staatsblad 1882 Nomor 152 berpendapat bahwa Pengadilan Agama sudah
seharusnya ada termasuk juga di Batavia yang menjadi pusat dari pemerintah kolonial yaitu
didasarkan pada aturan kebiasaan sejak zaman dahulu dan sebagai tatanan nasional
(pribumi) di mana perundang-undangan dari penguasa bangsa Eropa sendiri memberikan
kemungkinan untuk itu dan karenanya Pengadilan Agama yang ada sebelum ada
Staatsblad 1882 Nomor 152 adalah sah.42
Cornelis Van Volenhoven dan Christian Snouck Hurgronye menentang Teori
Receptio in Complexu dan pendapatnya itu dikenal dengan Teori Receptie
yang mengemukakan bahwa sebenarnya yang berlaku di Indonesia adalah hukum adat
asli, pengaruh hukum Islam itu baru mempunyai kekuatan kalau sudah diterima oleh hukum
adat dan lahir sebagai hukum adat, bukan hukum Islam.
Teori ini mengubah atau menggantikan Teori Receptie in Complexu yang
terkandung dalam Pasal 78 Regeling Reglements Staatsblad 1855 Nomor 2 menjadi Pasal
134 (2) Indische Staatsregeling karena ada penggantian nama Undang-Undang Dasar
Hindia Belanda dari Regerings Reglement menjadi Indische Staatsregeling (IS) pada tahun
1919. Dengan Teori Receptie, Pasal 134 ayat (2) IS menyebutkan bahwa dalam hal terjadi
perkara perdata antara sesama orang Islam akan diselesaikan oleh Hakim Agama Islam
apabila keadaan tersebut telah diterima oleh hukum adat mereka dan sejauh tidak
ditentukan oleh ordonantie. Pasal tersebut mengandung makna bahwa hukum Islam yang
berlaku hanyalah kalau telah diresepsi oleh hukum adat. Perubahan tersebut terjadi pada
tahun 1929 melalui Staatsblad 1929 Nomor 221.
Teori Receptie yang dijadikan landasan kebijakan pemerintah Belanda terhadap
hukum Islam termasuk lembaga Peradilan Agama yang tercermin dalam Pasal 134 ayat (2)
Indische Staatsregeling dan Staatsblad 1882 Nomor 152 kemudian didukung oleh Ter Haar
dan beberapa sarjana hukum yang memperoleh pendidikan Belanda baik di Batavia
maupun di negeri Belanda.
Staatsblad 1882 Nomor 152 tidak merumuskan wewenang Pengadilan Agama dan tidak
pula membuat garis pemisah yang tegas antara wewenang Pengadilan Agama dan
Pengadilan Negeri. Hal ini disebabkan staatsblad tersebut beranggapan bahwa wewenang
Pengadilan Agama sudah diatur dalam Staatsblad 1835 Nomor 58.
Pada tahun 1937 ditetapkan Mahkamah Islam Tinggi (Hof voor Islamietische Zaken)
sebagai peradilan banding, serta mengurangi kompetensi Peradilan Agama hanya sebatas
42 L.W.C. Van den Berg, Het Geestijke goederen op Java en Madoera, dalam Z.A. Noeh, Seabad
Peradilan Agama di Indonesia, op.cit., h.65.
14
43 Taufiq, Kedudukan Peradilan Agama dalam Sistem Peradilan di Indonesia, dalam Bulletin
Hikmah No. 2 Tahun I Juli 1986, h.63.
15
Peraturan tentang Kerapatan Qadi dan Kerapatan Qadi Besar untuk sebagian Residensi
Kalimantan Selatan dan Timur yang dimuat dalam Staatsblad 1937 Nomor 638 dan
Nomor 639.
Peraturan Pemerintah Nomor
Agama/Mahkamah Syariyah di luar Jawa dan Madura yang dimuat dalam Lembaran
Negara 1957 Nomor 99.
Pada tahun 1964, pemerintah mengeluarkan Undang-undang Nomor 19 Tahun 1964
tentang
Ketentuan-ketentuan
Pokok
Kekuasaan
Kehakiman
yang
secara
tegas
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3019), dinyatakan tidak berlaku. Hal ini berarti bahwa
Pengadilan Negeri tidak mempunyai kewenangan campur tangan terhadap putusan
Pengadilan Agama dan kedudukan Pengadilan Agama menjadi setara dengan Pengadilan
Negeri.
Pasal 38 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 menyebutkan bahwa pada setiap
Pengadilan Agama ditetapkan adanya Juru Sita dan Juru Sita Pengganti. Dengan
distrukturkan secara fungsional jabatan Juru Sita pada setiap Pengadilan Agama, maka
organisasi lembaga Peradilan Agama dalam melaksanakan fungsi peradilan menjadi
sempurna. Kendala kewenangan melaksanakan segala macam panggilan, pemberitahuan,
penyitaan serta eksekusi putusan sudah tidak ditemui sebab sudah mempunyai
kewenangan untuk melaksanakan eksekusi sendiri. Secara utuh Peradilan Agama sudah
mandiri dan otonom dalam melaksanakan fungsi kewenangan yuridiksinya mulai awal
proses sampai tahap pelaksanaan atau eksekusi putusan
2.2. Poligami
Sebelum
dahulu tentang pengertian dan asas perkawinan yang mendasari sebelum poligami terjadi.
16
hukum
Islam, perkawinan
adalah
perjanjian
suci
untuk
3
Unsur
perkawinan adalah upacara yang suci, kedua pihak dihubungkan menjadi suami isteri
dengan menyebut nama Allah.3
Pengertian perkawinan dalam Islam dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan seksual
seseorang secara halal serta melangsungkan keturunannya dalam suasana saling
229 A. Ridwan Halim, Hukum Perdata dalam Tanya Jawab, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982, h.35
dan lihat Ali Afandi, Hukum Waris Hukum Keluarga dan Hukum Pembuktian Menurut kitab
Undang-undang Hukum Perdata (BW), Bina Aksara, Jakarta, 1986, h..98.
330 Sayuti Talib, op.cit. h.47. Dalam hal ini beliau juga membandingkan dengan Anwar Harjono yang
memberikan pengertian perkawinan adalah suatu perjanjian suci antara seorang laki-laki dengan
seorang perempuan untuk membentuk keluarga bahagia, juga Asaf A.A. Fyzee yang memberikan
pengertian perkawinan, Marriage in Muhammadan law is a contract for the legalization of intercourse
and the procreation of children.
17
mencintai (mawaddah) dan kasih sayang (rahmah) antara suami isteri, sebagaimana
dalam Al-Quran Surat al-Rum ayat (21).
Berdasarkan maksud perkawinan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
3; Perkawinan memiliki dimensi psikologis yang sangat dalam, karena dengan perkawinan
ini kedua insan, suami dan isteri, yang semula merupakan orang lain kemudian menjadi
bersatu, saling memiliki, menjaga, membutuhkan, mencintai dan menyayangi sehingga
terwujud keluarga yang hamonis (sakinah).
4; Perkawinan juga memiliki dimensi sosiologis, yakni dengan perkawinan ini seseorang
memiliki status baru yang dianggap sebagai anggota masyarakat secara utuh.
Barat menganggap bahwa perkawinan antara seorang wanita dengan seorang pria
hanyalah hubungan perdata dan terlepas dari agama, sedangkan perkawinan
hukum
Islam merupakan
akad
dalam
Undang-undang Perkawinan
tersebut berasaskan agama, sehingga agama atau hukum agama yang dipeluk oleh
seseorang yang menentukan sah atau tidaknya suatu perkawinan, sebagaimana dalam
Pasal 2 disebutkan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
Keharusan mencatatkan perkawinan yang dianut hukum perdata Barat juga dianut
Undang-undang Perkawinan yang disebutkan dalam Pasal 2 ayat (2) bahwa tiap-tiap
perkawinan
18
tersebut juga selaras dengan hukum Islam, karena bersifat pengembangan terhadap
pemahaman tentang hukum Islam mengenai perkawinan yang terdapat dalam Al-Quran
dan Sunnah Rasulullah untuk kemaslahatan umat Islam Indonesia.
2.2.2. Asas Perkawinan
Perkawinan dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata
(Burgerlijk Wetboek)
menganut asas monogami, yaitu suatu asas yang pada dasarnya menghendaki bahwa
pada suatu saat yang sama seorang pria hanya dibolehkan mempunyai seorang wanita
sebagai isterinya, dan sebaliknya, seorang wanita hanya dibolehkan mempunyai seorang
pria sebagai suaminya. Asas ini ditegaskan dalam Pasal 27 bahwa dalam waktu yang
sama seorang laki-laki hanya dibolehkan mempunyai
isterinya, dan seorang perempuan
seorang
perempuan
sebagai
suaminya. Asas monogami ini bersifat mutlak tanpa mengenal pengecualian apa pun.
Asas perkawinan dalam hukum Islam adalah membolehkan poligami asalkan dapat
berlaku adil, namun apabila hal itu tidak tercapai maka dianjurkan monogami. Adapun
dalam hal berpoligami, jumlah isteri yang boleh dikawin maksimal 4 orang.
Asas perkawinan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah monogami,
sebagaimana ketentuan Pasal 3 ayat (1) bahwa pada asasnya dalam suatu perkawinan
seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri, dan seorang wanita hanya boleh
mempunyai seorang suami.
tersebut
masih memberi kemungkinan bagi seorang suami untuk beristeri lebih dari
pengadilan dapat
memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki
oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
untuk berpoligami dengan alasan-alasan dan syarat-syarat yang telah ditentukan dalam
undang-undang.
2.2.3. Pengertian Poligami
Pasal-pasal yang berkaitan dengan izin poligami dalam Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan maupun dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun
1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, tidak ditemukan istilah
poligami. Pasal-pasal tersebut tidak menggunakan istilah poligami tetapi dengan rangkaian
kata-kata seorang suami yang beristeri lebih dari seorang. Penjelasan Umum Undangundang tersebut pada angka 4.c dan Penjelasan Pasal 3 terdapat lawan kata dari poligami
yaitu monogami dalam kalimat, Undang-undang ini menganut asas monogami. Hanya
apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang
bersangkutan mengizinkan, seorang suami dapat beristeri lebih dari seorang. Kata
poligami juga tidak ditemukan dalam penjelasan undang-undang tersebut.
Dalam Putusan Mahkamah Agung belum ditemukan istilah poligami, kata-kata yang
digunakan adalah beristeri lebih dari seorang. Putusan Mahkamah Agung yang berkaitan
19
dengan izin poligami antara lain Putusan No.74K/AG/1986 tanggal 14 April 1987 tentang
izin poligami yang diajukan oleh Achmad Rafiq3 dan Putusan No. 338K/PID/1991 tanggal 7
September 1994 tentang kasus suami beristeri ganda.3
Agama baik dalam surat permohonan izin poligami maupun dalam putusan sudah lazim
digunakan, demikian juga dalam putusan banding.
Dalam Hukum Adat, kata poligami juga tidak ditemukan. Kata yang bermakna perkawinan
seorang suami dengan lebih dari seorang isteri diistilahkan dengan permaduan, bermadu,3
atau di Jawa dikenal dengan kata wayuh.3
Pendapat para ahli dalam Ensiklopedi Hukum Islam, kamus hukum, dan kamus Bahasa
Indonesia dapat ditemukan pengertian dari kata poligami.
Kata poligami berasal dari bahasa Yunani, poly atau polus yang berarti banyak dan
gamein atau gamos yang berarti kawin atau perkawinan. Secara bahasa, poligami berarti
suatu perkawinan yang lebih dari seorang, baik pria maupun wanita.
Poligami dapat
dibedakan menjadi poliandri dan poligini. Poliandri adalah perkawinan seorang perempuan
dengan lebih dari seorang laki-laki, sedangkan poligini adalah perkawinan seorang laki-laki
dengan lebih dari seorang perempuan.3
Poligami adalah sistem perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini
beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan.3 Namun kata poligami lebih umum
diartikan perkawinan seorang laki-laki dengan lebih dari seorang perempuan.3
Berdasarkan uraian tersebut, istilah yang bermakna perkawinan seorang laki-laki
dengan lebih dari seorang perempuan adalah poligini, namun istilah yang lebih dikenal oleh
masyarakat adalah poligami.
adalah perkawinan seorang laki-laki dengan lebih dari seorang perempuan. Penulis
menggunakan istilah poligami karena istilah poligami sudah umum dipahami bermakna
perkawinan seorang laki-laki dengan lebih dari seorang perempuan 3 dan sudah lazim
digunakan dalam putusan
maupun banding.
332 Hensyah Syahlani, Penemuan dan Pemecahan Masalah Hukum dalam Peradilan Agama,
Mahkamah Agung RI, Jakarta, 1993.
333 Varia Peradilan Majalah Hukum Tahun XII Nomor 144 September 1997, h.35-49.
334 Iman Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Adat, Liberty, Yogyakarta, 1981, h.128.
335 Bibit Suprapto, Liku-liku Poligami, Al-Kautsar, Yogyakarta, 1990, h.73.
336 A. Hafizh Anshari Az., et. al., Ensiklopedi Hukum Islam, PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta,
1996, h.107.
337 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,
h.885.
338 J.C.T. Simorangkair et.al., Kamus Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 1995, h.131, juga I.P.M.
Ranuhandoko, Terminologi Hukum Inggris Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2000, h. 444.
339 J.S. Badudu dan Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Pustaka Sinar harapan, Jakarta,
2001, h.1077 dan W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka,
Jakarta, 1999, h.763.
20
beban
tanggung
karena
berpoligami. Kebolehan poligami sangat sulit dipraktikkan karena tidak semua laki-laki
dapat memenuhi persyaratan keadilan sebagaimana ditegaskan dalam Al-Quran Surat al-
440 Soenarjo et.al., Al-Quran dan Terjemahannya, Departemen Agama RI, 1984, h.115.
441 Ibnu Hajar Al- Asqalani, Bulughul Maram, Jilid II, terj. A. Hassan, CV Diponegoro, Bandung, h.
501.
442 Mujamil, Kontribusi Islam terhadap Peradaban Manusia Sebuah Apresiasi Monomental,
Ramadhani, Solo, 1993, h. 101.
443 Saifullah, Poligami dalam Struktur Keluarga Muslim, dalam Mimbar Hukum No. 51 Th. XII
2001, Al-Hikmah, Jakarta, h.68.
21
Nisa ayat (129), Kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isterimu,
walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian.
Berkaitan dengan poligami, ulama Islam mempunyai pandangan yang bermacammacam. Secara garis besar, pandangan tersebut dapat digolongkan menjadi tiga
pandangan dalam sejarah pemikiran Islam. Pertama, berpandangan bahwa poligami tidak
dibolehkan kecuali dalam kondisi tertentu. Kedua, berpandangan bahwa poligami
dibolehkan, sedangkan ketiga, berpandangan bahwa boleh berpoligami bahkan jumlah
wanita yang dikawin boleh lebih dari empat.4
Ulama yang berpendapat bahwa seorang suami tidak boleh menikah dengan lebih dari
seorang wanita kecuali dalam kondisi tertentu adalah para pemikir Islam belakangan seperti
Syah Waliyullah al-Dahlawi, Sayyid Ahmad Khan, Muhammad Abduh, Sayyid Amir Ali,
Qasim Amin, Fazlur Rahman
poligami umumnya ulama salaf. Empat mazhab Sunni, yaitu Syafii, Hanafi, Maliki, dan
Hambali berpandangan bahwa seorang laki-laki boleh beristeri empat orang perempuan
dalam waktu bersamaan.4 Pendapat yang membolehkan seorang suami menikah dengan
lebih dari empat orang wanita adalah Mazhab Dhahiri.44
Ulama telah banyak yang menafsirkan tentang Surat al-Nisa ayat (3) tersebut. Menurut AlQasimi, untuk berpoligami tergantung pada keluasan cara berfikir suami, kemampuan
mengendalikan rumah tangga
masyarakat (muamalah).
45
Menurut Al-Maraghi, kebolehan dalam Surat al-Nisa ayat (3) tersebut adalah kebolehan
yang dipersulit, sehingga poligami dibolehkan hanya dalam keadaan darurat. Al-Maraghi
mencatat pentingnya kaidah fiqhiyah Dar ul-mafasid muqaddamu ala jalbi mashalih dalam
melakukan poligami.46
Menurut Sayyid Qutub, poligami merupakan suatu perbuatan rukhshah sehingga hanya
bisa dilakukan hanya dalam keadaan darurat atau benar-benar mendesak. Kebolehan itu
pun disyaratkan bisa berbuat adil terhadap isteri-isteri.47
Menurut Al-Shabuni, sesuai dengan ijma ulama maka wanita yang boleh dinikahi itu
maksimal empat orang. Kebolehan itu pun dilakukan hanya dalam keadan darurat dengar
syarat bisa berbuat adil.48
444 Bello Daura, The Limit of Polygami in Islam, dalam Masruhan, Jurnal Hukum Islam al-Qanun
Vol.1 No. 1 , IAIN Sunan Ampel, Surabaya, h.70.
4 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, terj. Masykur A.B. et.al., Penerbit Lentera,
Jakarta, 1999, h. 332.
44 Khairudin Nasution, Riba dan Poligami Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad Abduh,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996, h.83-84.
45 Muhammad Jamaaluddin Al-Qasimi, Umahasin al-Tawil Jil.V, Dar Ihyaal Kutub, tt., h. 11041105.
46 Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi Jil. IV,Mustafa al-Babi al-Halabi, 1963, h.181.
47 Sayyid Qutub, Fi Dhilal Al-Quran Jil IV, Dar al-Qutub al-Ilmiyah, t.t., h. 236.
48 Muhammad Ali Al-Shabuni, Rawat al-Bayan Tafsir Ayat alAhkam min Al-Quran, Jil. I, Dar alQuranul Karim, 1972, h.427-428.
22
Peraturan
Pemerintah
Nomor
Tahun
1975.
Ketentuan
tentang
sanksi
pada
mengajukan usul yang disampaikan secara lengkap pasal demi pasal terhadap ketentuan
yang dianggap bertentangan dengan Islam serta didasari alasan-alasan yang berdasarkan
dalil-dalil Al-Quran dan Hadits Nabi Muhammad saw. Usulan Ulama Jawa Timur ini akhirnya
menjadi pegangan Majelis Syuro Partai Persatuan Pembangunan dan Fraksi Persatuan
Pembangunan di Dewan Perwakilan Rakyat dalam pembahasan Rancangan Undangundang Perkawinan.51
Ketentuan tentang alasan-alasan poligami dalam Rancangan Undang-undang Perkawinan
terdapat dalam Pasal 4 ayat (2) :
Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada
seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila :
a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri
b.Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan
Berkaitan dengan alasan-alasan poligami dalam Pasal 4 ayat (2) RUU Perkawinan
tersebut telah diusulkan untuk dihapus karena alasan-alasan yang memungkinkan untuk
49 Hammudah Abd. al-Ati, The Family Structure in Islam, terj. Anshari Tayib, Bina Ilmu, Surabaya,
1984, h.144.
50 Taufiq, Transformasi Hukum Islam ke dalam Legislasi Nasinal, Mimbar Hukum No. 49 Th XI
2000, Al-Hikmah, Jakarta, h. 11
51 Amak, Proses Undang-Undang Perkawinan, Al-Maarif, Bandung, 1976, h.38.
23
berpoligami tidak dapat dibatasi oleh ketentuan ayat tersebut. Cara lain untuk mengatasi
persoalan ini adalah dengan menambah sub d pada ayat tersebut, yaitu sebab-sebab lain
yang dipandang perlu dan diterima Pengadilan. Apabila ayat ini dipertahankan dengan tidak
ada penambahan maka poligami praktis tidak akan ada, lebih-lebih jika dihubungkan
dengan syarat-syarat yang dicantumkan dalam pasal berikutnya.52
Rancangan Undang-undang tersebut selanjutnya disahkan menjadi Undang-undang No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagai legal product dengan tetap mengambil alih secara
utuh alasan-alasan poligami sebagaimana rumusan dalam Rancangan Undang-undang
Perkawinan.
Pasal 5 Rancangan Undang-undang Perkawinan menyebutkan:
(1).Untuk dapat
mengajukan permohonan
kepada
Pengadilan,
sebagaimana
dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat
sebagai berikut :
a. adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri
b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup isteri-isteri
dan anak-anak mereka
c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anakanak mereka.
(2).Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi
seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya
dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari
isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab
lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.
Berkaitan dengan syarat-syarat poligami dalam sub ayat a perihal harus adanya izin
isteri/para isteri diusulkan untuk dihapuskan karena dengan adanya alasan-alasan berarti
sudah meniadakan syarat persetujuan
Perkawinan rumusan tersebut diambil alih secara utuh sebagaimana dalam Rancangan
Undang-undang Perkawinan.
Dalam perkembangan selanjutnya, ketentuan pembatasan, alasan-alasan, syaratsyarat, dan keharusan adanya izin pengadilan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 diambil alih oleh Kompilasi Hukum Islam
nasional melalui instrumen hukum Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni
1991 yang kemudian disusul oleh Keputusan Menteri Agama Nomor
tanggal 22 Juli 1991. Pengambilalihan ketentuan ini didasarkan pada ketertiban umum dan
52 Amak, ibid.
24
jika diperhatikan ketentuan Al-Quran Surat al-Nisa ayat (3) derajat hukum poligami adalah
kebolehan yang digantungkan pada situasi dan kondisi masa permulaan Islam.53
Berdasarkan uraian tersebut, penulis dapat menyimpulkan bahwa kebolehan poligami
sampai batas empat orang dalam hukum Islam telah dinyatakan dalam Al-Quran Surat alNisa ayat (3) dan hadits Rasulullah yang diriwayatkan oleh Imam Malik, An-Nasai dan AdDaraquthni, sedangkan perundang-undangan
suami untuk berpoligami dengan alasan-alasan dan syarat-syarat yang ditentukan oleh
undang-undang.
2.2.5. Alasan-alasan dan Syarat-syarat Poligami
Redaksi Al-Quran Surat al-Nisa ayat (3) membolehkan poligami dengan syarat
dapat berlaku adil.
pergaulan, dan pembagian malam. Calon suami yang tidak dapat berbuat adil, maka
dianjurkan cukup dengan seorang isteri saja.54 Menurut M. Quraish Shihab, keadilan yang
disyaratkan oleh ayat tersebut adalah keadilan dalam bidang material.
55
Menurut penulis,
keadilan yang disyaratkan tidak cukup dalam bidang material saja, tetapi juga keadilan
dalam bidang
Alasan-alasan dan syarat-syarat poligami telah diatur dalam Pasal 4 dan Pasal 5 Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 41 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
Pasal 4 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 telah menentukan alasan-alasan poligami
bahwa pengadilan hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih
dari seorang apabila isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri, mendapat
cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, atau tidak dapat melahirkan
keturunan.
Adapun syarat-syaratnya ditentukan dalam Pasal 5 ayat (1) bahwa untuk dapat
mengajukan permohonan izin poligami harus memenuhi syarat-syarat yaitu adanya
persetujuan dari isteri/isteri-isteri,
keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka, dan adanya jaminan bahwa suami akan
berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka. Khusus syarat adanya persetujuan
isteri ditentukan dalam Pasal 5 ayat (2):
Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi
seorang suami apabila isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak
dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya
selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang
perlu mendapat penilaian dari hakim pengadilan.
53 Yahya Harahap, Informasi Materi Kompilasi Hukum Islam : Mempositifkan Abstraksi Hukum
Islam, dalam Zainal Abidin Abu Bakar (Peny.), Berbagai Pandangan terhadap Kompilasi Hukum
Islam, Al-Hikmah, Jakarta, h.180. Lihat juga Ibrahaim Hosen, ibid.,h.48.
54 Sayyid Qutub, Fi Dhilal al-Quran, Jilid IV, Dar al-Qutub al-Ilmiyah, 1961, h.236.
55 M. Quraish Shihab,, op. cit, h. 201.
25
seorang isteri, mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, atau
tidak dapat melahirkan keturunan.
Syarat-syarat poligami disebutkan dalam Pasal 55 ayat (2) dan ayat (3), serta Pasal
58. Pasal 55 ayat (2) dan (3) menyebutkan syarat utama seorang suami yang berpoligami
harus mampu berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya. Apabila syarat utama
tersebut tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang berpoligami. Pasal 58 menyebutkan bahwa
selain syarat utama harus dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal 5 Undangundang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu adanya persetujuan isteri dan adanya kepastian bahwa
suami mampu menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka.
Ketentuan persetujuan isteri diatur dalam Pasal 58 ayat (2) dan ayat (3) Kompilasi
Hukum Islam yang menyebutkan:
(2) Dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 41 huruf b Peraturan Pemerintah No. 9
Tahun 1975, persetujuan isteri atau isteri-isteri dapat diberikan secara tertulis atau
dengan lisan, tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini
dipertegas dengan persetujuan lisan isteri pada sidang Pengadilan Agama.
(3) Persetujuan dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak diperlukan bagi seorang suami
apabila isteri atau isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat
menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari isteri atau isteriisterinya
mendapat
hakim.
Adapun
Pasal
59
Kompilasi
Hukum
Islam
menyebutkan:
Dalam hal isteri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin untuk
beristeri lebih dari satu orang berdasarkan atas salah satu alasan yang diatur dalam pasal
55 ayat (2) dan 57, Pengadilan Agama dapat menetapkan tentang pemberian izin setelah
memeriksa dan mendengar isteri yang bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama,
dan terhadap penetapan ini isteri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi.
Berdasarkan uraian tersebut, dalam hukum Islam hanya mengenal syarat
bagi seorang suami yang akan berpoligami yaitu mampu berlaku adil, sedangkan
perundang-undangan menentukan harus adanya alasan dan syarat-syarat bagi seorang
suami yang akan berpoligami. Alasan-alasan tersebut adalah isteri tidak dapat menjalankan
kewajiban sebagai seorang isteri, mendapat penyakit yang tidak dapat disembuhkan, atau
26
tidak dapat melahirkan keturunan, sedangkan syarat-syarat yang harus dipenuhi adalah
adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri,
menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka, dan adanya jaminan bahwa
suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.
2.3. Penemuan Hukum
2.3.1. Pengertian
Penemuan hukum adalah
hukum lainnya yang ditugaskan untuk penerapan peraturan hukum umum pada peristiwa
hukum konkrit. Penemuan merupakan proses konkretisasi atau individualisasi peraturan
hukum (das sollen) yang bersifat umum dengan mengingat peristiwa konkrit (das sein)
tertentu. Dalam penemuan hukum yang ditekankan adalah bagaimana cara mencari atau
menemukan hukumnya untuk peristiwa konkrit.56
Undang-undang itu tidak selalu jelas dan lengkap, sedangkan fakta yang diajukan
memerlukan penyelesaian menurut hukum. Apabila interpretasi penerapan undang-undang
tidak mampu memberi sesuatu penyelesaian, maka untuk menemukan hukumnya hakim
harus menilai fakta. Hukum itu ada, tetapi ia harus ditemukan, dalam tataran ini hakim
tidak hanya menerapkan hukum tetapi menemukan hukum. 57
Kewenangan peradilan dan perangkat hukum yang telah tersedia untuk melaksanakan
kewenangannya, dalam realita tidak berarti
dihasilkan
pasti
mengandung
kekekurangan
dan
kelemahan
atau
56 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1996, h.37.
57 John. Z. Loudoe, Menemukan Hukum Melalui Tafsir dan Fakta, Bina Aksara, Jakarta, 1995.
58 Zufran Sabrie et al., dalam Mimbar Hukum No. 52 Th. XII, Al-Hikmah, Jakarta, 2001, h.3.
27
sebagai faktor petunjuk diundangkannya suatu produk hukum, sehingga ia sudah dianggap
sempurna, namun di saat undang-undang bersangkutan diberlakukan, bermunculan seribu
satu kasus in konkreto yang sama sekali tidak terpikirkan sebelumnya. Dengan demikian
tidak aneh bila ada kasus-kasus tertentu belum diatur
undangan, yang kemudian mengharuskan penciptaan hukum baru. Tidak jarang juga ada
kasus-kasus tertentu yang memang
undangan, namun sudah tidak sesuai lagi dengan nilai kesadaran sosial, peraturannya itu
terlalu bersifat umum, terlalu abstrak, atau tidak sesuai dengan kepentingan umum.
Pada hakikatnya hakim harus bertindak sebagai pembentuk hukum dalam hal
peraturan hukum tidak menyebutkan ketentuan untuk menyelesaikan perkara in konkreto.
Hakim harus dapat menyesuaikan ketentuan undang-undang dengan hal-hal yang konkrit
dalam masyarakat, karena ketentuan undang-undang tidak dapat mencakup segala
peristiwa hukum yang timbul dalam masyarakat. Biasanya pembuat undang-undang hanya
menetapkan peraturan umum saja (in abstracto) sedangkan petimbangan tentang hal-hal
yang konkrit diserahkan kepada hakim, sehingga keputusan hakim dapat memuat suatu
hukum dalam suasana
dalam rangka penyesuaian undang-undang dengan kenyataan hukum yang berlaku dalam
masyarakat (werkelijkheid). Hakim juga dapat menambah (aanvullen) undang-undang
karena pada dasarnya pembuat undang-undang senantiasa tertinggal dari peristiwaperistiwa hukum yang baru terjadi dalam masyarakat.59
Berdasarkan uraian tersebut, penulis dapat menyimpulkan bahwa pengertian penemuan
hukum adalah proses pembentukan hukum yang dilakukan oleh hakim
menyelesaikan perkara in konkreto atau menerapkan peraturan hukum
untuk
yang bersifat
perbuatan melihat. Objeknya dapat berupa objek yang konkrit dan objek yang abstrak.
Apabila objeknya konkrit berarti melihat dengan mata kepala atau memperhatikan,
sedangkan terhadap objek yang abstrak berarti melihat dengan mata hati atau memikirkan.
Kata rayu dalam pembahasan ini berarti hasil pemikiran atau rasio.60
Ijtihad berasal dari kata al-jahd yang berarti al-thaqah yaitu (daya kemampuan, kekuatan)
atau dari kata al-jahd yang berarti al-masyaqqah (kesulitan, kesukaran). Ijtihad menurut
pengertian bahasa juga bermakna bazl al-wisi aw al-majhud yang berarti pengerahan daya
dan segenap kemampuan dalam suatu aktifitas-aktifitas yang berat dan sukar.61 Ijtihad
dalam pembahasan ini dapat diartikan upaya memahami makna suatu teks (Al-Quran) atau
28
preseden (Sunnah) di masa lampau yang mengandung suatu aturan dan mengubah suatu
aturan tersebut dengan cara memperluas maupun memodifikasi dengan cara-cara
sedemikain rupa sehingga situasi baru dapat dicakup ke dalamnya dengan solusi baru,
sebagaimana dikemukakan Fazlur Rahman :
Ijtihad means the effort to understand the meaning of a relevan text or precedent in the
past, containing a rule, and to alter that rule by extending or restricting or other wise
modifying it in such a manner that a new situations can be subsumed under it by a new
solution. 62
Implikasi metodologis batasan tersebut adalah teks Al-Quran dan Sunnah dapat
digeneralisasi sebagai prinsip-prinsip sehingga dapat dirumuskan sebagai aturan baru.
Implikasi metodis yang terkandung di dalamnya adalah kerja ijtihad meliputi pemahaman
teks dan preseden dalam keutuhan konteksnya di masa lampau, pemahaman situasi baru
yang sedang terjadi sekarang, dan pengubahan aturan-aturan hukum yang terkandung
dalam teks dan preseden.
konsep metodologis dan rumusan metodis tersebut difungsikan untuk pembaruan hukum
Islam sebagai upaya menjawab tantangan situasi baru.
2.3.2. Dasar Hukum
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970
Tahun 1999 menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Kata
merdeka yang berari bebas dalam hal ini adalah kebebasan hakim untuk mengadili dan
bebas dari campur tangan dari pihak ekstra yudisial. Kebebasan hakim memberi wewenang
kepada hakim untuk melakukan penemuan hukum secara leluasa.
Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 jo. Undang-undang Nomor
35 Tahun 1999 yang pada dasarnya menentukan tugas pokok kekuasaan kehakiman, yaitu
menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan
kepadanya, juga memberi peluang untuk melakukan penemuan hukum bagi hakim.
Pasal 14 ayat (1) Undang-undang Nomor
Nomor 35 Tahun 1999 yang menentukan bahwa pengadilan tidak boleh menolak perkara
yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib untuk
memeriksa dan mengadilinya. Hakim wajib memeriksa dan menjatuhkan putusan, yang
berarti bahwa hakim wajib menemukan hukumnya. Apabila hakim tidak menemukan
hukumnya dalam hukum tertulis, maka hakim wajib menggali hukum tidak tertulis untuk
29
mengizinkan sahabat untuk memutus perkara yang mereka hadapi di tempat Rasulullah.
Hadits Muadz bin Jabal menunjukkan bahwa Rasulullah memberi izin kepada
Muadz untuk berijtihad dalam hal-hal yang tidak terdapat secara jelas dalam nash Al-Quran
dan Sunnah. Hal ini menunjukkan bahwa masalah-masalah yang tidak disebutkan dalam
nash secara rinci menjadi bidang ijtihad yang sangat luas. Pada dasarnya berijtihad dengan
rayu (ratio) merupakan usaha memahami nash Al-Quran dan Sunnah Rasul.
Petunjuk Rasullah ketika mengutus Muadz bin Jabal menjadi qadhi di Yaman
sebagai berikut:
Hai Muadz, bagaimana cara engkau menerapkan hukum terhadap perkara yang
diajukan kepadamu? Ia menjawab: Aku akan mencari hukumnya dalam Kitabullah
(Al-Quran). Bagaimana apabila kamu tidak menemukannya dalam Al-Quran? Ia
menjawab: Aku akan mencari hukumnya dalam Sunnah Rasul. Bagaimana
andaikata kamu tidak menemukan dalam Al-Quran dan Sunnah ? Ia menjawab: Aku
akan berijtihad dengan rayu dengan segala kesungguhan.64
2.3.3. Metode
Untuk mencapai kehendak pembuat undang-undang serta dapat menjalankan undangundang sesuai dengan kenyataan sosial maka hakim dapat menggunakan metode
penemuan hukum.
Metode penemuan hukum dapat dibagi menjadi tiga, yaitu
metode interpretasi,
metode konstruksi dan metode penemuan hukum bebas. Metode interpretasi adalah
metode penemuan hukum dalam hal peraturannya ada, tetapi tidak jelas untuk diterapkan
dalam kasus konkrit. Konstruksi hukum adalah metode penemuan hukum dalam hal tidak
ada peraturannya yang khusus untuk memeriksa dan mengadili kasus-kasus konkrit.
63 Chainur Arrasjid, op. cit., h. 84.
64 Imam Muhammad Ibn Ismail As-Sanany, Subulus Salam Syarah Bulughul Maram, dalam
Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, terj. Noer Iskandar Al-Barsany, Raja Grafindo
Persada, 1985, h. 20.
30
Metode penemuan hukum bebas adalah metode penemuan hukum yang dilakukan hakim
dengan tidak terikat erat pada undang-undang.
Metode interpretasi digunakan dalam hal peraturannya ada tetapi tidak jelas untuk
dapat diterapkan pada peristiwanya. Metode ini merupakan salah satu metode penemuan
hukum yang memberi penjelasan secara gamblang mengenai teks undang-undang agar
ruang lingkup kaidah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu. Penafsiran
oleh hakim adalah penjelasan yang harus menuju kepada penerapan atau tidak
menerapkan suatu peraturan hukum umum terhadap peristiwa konkrit yang dapat diterima
oleh masyarakat.
Ada beberapa interpretasi yang dikenal dalam penemuan hukum, yaitu:
1; Interpretasi formal atau autentik, yaitu penafisran resmi yang diberikan oleh pembuat
undang-undang yang termuat dalam penjalan resmi undang-undang tersebut.65
3; Interpretasi
sistematis
atau
logis,
yaitu
penafsiran
undang-undang
yang
dan penafsiran
menurut
6; Interpretasi komparatif,
hukum, yakni perbandingan antara sistem hukum yang satu dengan sistem hukum
lainnya.
65 Menurut Sudikno, interpretasi autentik tidak termasuk dalam ajaran interpretasi, karena
penjelasan tersebut telah diberikan oleh undang-undang dan terdapat dalam teks undang-undang.
Lihat Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1999, h. 144-145.
31
7; Interpretasi futuristik, yaitu metode penemuan hukum yang bersifat antisipasi yaitu
penjelasan ketentuan undang-undang dengan berpedoman pada rancangan undangundang yang belum mempunyai kekuatan hukum.
9; Interpretasi ekstensif, yaitu suatu penafsiran yang dilakukan dengan cara memperluas
arti kata-kata yang terdapat dalam undang-undang sehingga suatu peristiwa dapat
dimasukkan ke dalamnya.66
Konstruksi hukum digunakan hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara yang tidak
ada peraturan
kekosongan hukum tersebut sebab hakim tidak boleh menolak memeriksa dan mengadili
perkara dengan dalih tidak ada hukumnya atau tidak lengkap hukumnya.
Konstruksi hukum yang dilakukan hakim dilakukan melalui beberapa instrumen sebagai
berikut:
species ke genus atau dari peristiwa khusus dianalogikan dengan peraturan umumnya.
diterapkan. Dalam
penghalusan hukum ini dibentuk pengecualian atau penyimpangan baru dari peraturan
yang bersifat umum untuk diterapkan pada peristiwa atau hubungan hukum
yang
khusus sesuai dengan kenyataan sosial sehingga peristiwa itu dapat diselesaikan
secara adil dan sesuai dengan kenyataan yang ada dalam masyarakat.
4; Fiksi hukum, yaitu menciptakan sesuatu yang belum ada atau belum kenyataan, tetapi
untuk kepentingan hukum diadakan. Misalnya Pasal 2 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata tentang anak yang ada dalam kandungan dianggap telah dilahirkan jika
kepentingan anak itu menhendakinya, tetapi jika anak itu meninggal setelah dilahirkan
dianggap tidak pernah ada.67
Penemuan hukum bebas adalah metode penemuan hukum yang digunakan hakim dengan
tidak mengikuti atau berpijak pada undang-undang tetapi undang-undang digunakan
sebagai alat untuk menemukan pemecahan suatu peristiwa konkrit. Hakim tidak berfungsi
32
sebagai petugas yang menjelaskan atau menafsirkan undang-undang dan tidak terikat erat
pada undang-undang.
Dalam penemuan hukum bebas ini hakim
2; Harus berani menciptakan hukum baru, dalam hal ketentuan peraturan undang-undang
tidak mengatur suatu permasalahan tentang suatu kasus konkrit. Penciptaan hukum
baru harus disesuaikan dengan kesadaran, perkembangan dan kebutuhan masyarakat,
karena itu hakim harus dapat menyelami kesadaran kehidupan masyarakat sehingga
dapat menemukan dasar-dasar atau asas-asas hukum baru.
3; Harus berani melakukan contra legem. Hakim harus berani menyingkirkan ketentuan
pasal undang-undang tertentu setelah menguji dan mengkaji bahwa ketentuan pasal
tersebut bertentangan dengan ketertiban, kepentingan dan kemaslahatan umum.
Namun demikian, semua itu harus tetap beranjak dari cammon basic idea (landasan
cita-cita umum).
4; Harus mampu berperan mengadili perkara secara kasuistik sesuai dengan keadaan
konkrit perkara yang diperiksa.69
Dalam mempelajari hukum selama ini kita dihadapkan pada pemecahan masalah hukum
sehingga
dikatakan
bahwa
ilmu
hukum
merupakan
ilmu
peradilan
33
peraturan hukum dapat mengatur peristiwa atau perilaku manusia yang mungkin terjadi di
waktu yang akan datang dan dapat berlaku dalam kurun waktu selama mungkin.70
Untuk mengetahui metode penemuan hukum dalam hukum Islam, maka kita harus
mengetahui lebih dahulu karakter hukum Islam baik yang berupa wahyu Allah yang
dituangkan dalam Al-Quran, Sunnah (naqly), dan hasil pemikiran ahli ijtihad terhadap AlQuran dan Sunnah (aqly). Ayat-ayat Al-Quran yang berhubungan dengan hukum tidak
banyak dibandingkan dengan jumlah ayat Al-Quran itu sendiri, demikian pula bila
dibandingkan dengan masalah yang harus diberi ketetapan hukumnya yang selalu muncul
dalam kehidupan di dunia ini. Karena itu Rasulullah telah menjadi uswatun hasanah dalam
menjalankan ajaran Al-Quran dengan hadits-haditsnya dalam menjelaskan ayat-ayat AlQuran tersebut.71
Untuk menafsirkan nash-nash Al-Quran dan Sunnah, memahami nash-nash, dan mencari
hukum yang tidak jelas dalam Al-Quran telah digunakan ijtihad bil-rayi dengan bermacammacam metode. Metode ijtihad yang banyak dipakai antara lain:72
1;
Metode ijtihad dengan dasar illat hukum yang diambil dari Al-Quran dan Sunnah ini dikenal
dengan istilah qiyas. Mujtahid yang menggunakan metode ini harus meneliti semua sifat
yang ada pada masalah yang dicari hukumnya dan pada masalah yang sudah ada
hukumnya, dan sifat itu yang secara logis menyebabkan ditetapkannya hukum tersebut
(takhriijul manath).
Di antara sifat-sifat yang memenuhi syarat sebagai illat dicari sifat-sifat yang sama
antara masalah yang dicari hukumnya dengan masalah yang sudah ada hukumnya.
Apabila ditemukan sifat yang sama yang ada pada masalah yang dicari hukumnya
dengan sifat-sifat penyebab hukum pada masalah yang sudah ada hukumnya, maka
berarti ditemukan illat yang sama antara kedua masalah tersebut (tahqiiqul manaath).
Apabila telah diteliti bahwa kedua illat itu sama maka ditetapkan adanya illat pada
masalah yang dicari hukumnya yang hukumnya disamakan dengan hukum pada
masalah yang telah ada hukumnya (manaathul hukmi).
2;
Metode ini diambil dari Al-Quran dan Sunnah, seperti tentang dibolehkan makan
makanan yang diharamkan apabila tidak ada makanan kecuali yang diharamkan itu
untuk mempertahankan hidup, sehingga melahirkan kaidah Adl-dlaruuraat tubiihulmahdhuuraat yang artinya keadaan terpaksa menghalalkan yang diharamkan.
3;
34
Istihsan ialah berpalingnya seorang mujtahid dari suatu hukum kepada hukum lain yang
lebih dekat dengan tujuan hukum.
Malik membagi istihsan menjadi empat bagian, yaitu:
a. Meninggalkan dalil karena ada nash lain yang lebih maslahat.
b. Meninggalkan dalil karena dalil ijma lebih maslahat.
c. Meninggalkan dalil karena maslahat itu sendiri dan tidak terdapat illat pada
peristiwa yang akan ditetapkan hukumnya.
d. Meninggalkan dalil karena menghindari kesusahan.
Abu Hanifah membaginya menjadi dua bagian:
a. Istihsan qiyas, yaitu meninggalkan qiyas yang dhahir dan memakai qiyas
b.
35
Secara sederhana maslahat (al-maslahah) diartikan sebagai sesuatu yang baik atau
sesuatu yang bermanfaat.7 Al-Ghazali memformulasikan teori kemaslahatan
dalam
kerangka mengambil manfaat dan menolak kemudaratan untuk memelihara tujuantujuan syara 7 yang meliputi lima hal yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan
dan harta.
Menurut Al-Ghazali, suatu kemaslahatan
meskipun bertentangan dengan tujuan-tujuan manusia. Atas dasar ini, yang menjadi
tolok ukur dari maslahat itu adalah tujuan dan kehendak syara, bukan didasarkan
pada kehendak hawa nafsu manusia.
Tujuan syara dalam menetapkan hukum itu pada prinsipnya mengacu pada aspek
perwujudan kemaslahatan dalam kehidupan manusia. Muatan maslahat itu mencakup
kemaslahatan hidup di dunia maupun kemaslahatan hidup di akhirat. Kemaslahatan
bukan hanya didasarkan pada pertimbangan akal dalam memberikan penilaian
terhadap sesuatu itu baik atau buruk, tetapi lebih jauh dar itu ialah sesuatu yang baik
secara rasional harus sesuai dengan tujuan syara.
6. Metode penemuan hukum menggunakan sadduda-dzariiah
Dzariah
artinya
jalan,
atau
sesuatu
yang
menyampaikan
kepada
celaka/kehancuran
maka
harus
ditutup.
Menutup
jalan
yang
1; Mafhum muwafaqah, yaitu suatu yang tidak diucapkan (maskut anhu) sesuai dengan
apa yang diucapkan.
774 Husain Hamid Hasan, Nazdariyah al-Mashlahah fi al-Fiqh al-Islamy, dalam Efrinaldi, Teori
Kemaslahatan Dalam Wacana Pembaruan Hukum Islam : Suatu Kajian terhadap Pemikiran
Najm Din Thufi, Mimbar Hukum No. 55 Th XII 2001, Alhikmah & Ditbinbapera Islam, Jakarta, h. 29.
775 Abu Hamid al-Ghazali, al-Mustashfa fiIlm al-Ushul, dalam Efrinaldi, ibid
5 Amir Syarifuddin, op. cit., h. 49-50.
36
Mafhum muwafaqah dapat dibagi menjadi dua, yaitu fahwal khitab dan lahnul khitab.
Mafhum Muwafaqah disebut fahwal khitab, apabila apa yang tidak diucapkan itu
hukumnya lebih utama daripada yang diucapkan, seperti larangan memukul orang tua
tidak disebutkan dalam nash Al-Quran tetapi dalam Al-Quran Surat al-Isra ayat (23)
ditemukan larangan mengucapkan kata uf kepada orang tua. Kalau mengucapkan
kata-kata yang tidak pantas saja sudah dilarang, maka akan lebih dilarang kalau sampai
memukulnya. Mafhum muwafaqah disebut lahnul khitab, apabila yang tidak diucapkan
sama hukumnya dengan yang diucapkan, seperti larangan membakar harta benda
anak yatim yang dapat dipahami dari larangan Allah dalam Al-Quran Surat al-Nisa ayat
(10) yang melarang memakan harta anak yatim secara zalim dengan suatu ancaman.
2; Mafhum mukhalafah, yaitu suatu lafazh yang tidak diucapkan berlawanan hukumnya
dengan apa yang diucapkan, baik dalam itsbat atau nafi-nya, seperti tidak wajib zakat
binatang yang tidak digembalakan dapat dipahami dari hadits Rasulullah yang
mewajibkan membayar zakat binatang yang digembalakan. Mafhum mukhalafah ini
disebut juga dalilul khitab dan dapat dibagi menjadi:
1; Mafhum shifah, yaitu menggantungkan makan atas sesuatu dengan salah satu dari
sifat-sifatnya, seperti kifarat pembunuhan yang dinyatakan dengan memerdekakan
hamba sahaya yang mukmin.
2; Mafhum illah, yaitu menggantungkan hukum atas sesuatu dengan adanya illat,
seperti diharamkannya khamer karena memabukkan.
3; Mafhum adad, yaitu menggantungkan hukum atas sesuatu dengan bilangan yang
tertentu, seperti firman Allah dalam hal dilakukannya hukum had menuduh zina,
apabila tidak mendatangkan empat orang saksi yang menguatkan tuduhannya itu.
4; Mafhum ghoyah, yaitu perkataan yang menunjukkan adanya hukum sampai kepada
batas yang tertentu, seperti perintah membasuh tangan ketika berwudlu hingga dua
buah sikutnya, juga larangan Allah mengumpuli isteri pada waktu haidl hingga suci.
5; Mafhum bashar, yaitu mengkhususkan hukum dengan apa yang disebutkan dalam
perkataan yang dinyatakan, tidak mengenai selain yang disebutkan dalam
perkataan tersebut dengan menggunakan adatul bashar, antara
lain kata-kata
innama dan nafi sebelum istitsma. Misalnya sabda Rasulullah yang diriwiyatkan AnNasai yang mengatakan, Aku diperintahkan berwudlu hanya di waktu akan
mengerjakan shalat.73
Berdasarkan uraian tersebut, penulis dapat menyimpulkan bahwa ada kesamaan
antara
peraturan hukum atau nash yang bersifat umum, tidak jelas, dan tidak ditemukan peraturan
hukumnya atau
konstruksi, dan menetapkan hukum yang tidak tersurat maupun tersirat dalam nash Al-
37
Quran. Metode penemuan hukum yang telah diuraikan tersebut dapat digunakan hakim
dalam menyelesaikan peristiwa hukum konkrit. Metode yang digunakan tergantung kepada
objek yang harus diselesaikan atau ditemukan hukumnya dan kemampuan hakim yang
akan menggunakannya, karena itu terdapat korelasi positif antara kualitas intelektual hakim
dengan kemampuan melakukan penemuan hukum dalam menyelesaikan peristiwa hukum
konkrit.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Pendekatan dan Sifat Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan (approach) yuridis empirik (socio legal
research), yaitu meneliti tentang alasan-alasan yang menjadi pertimbangan hakim
Pengadilan Agama dalam mengabulkan permohonan izin poligami dengan alasan di luar
ketentuan undang-undang dengan menekankan pada efektifitas Pasal 4 ayat (2) Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 mengenai alasan-alasan untuk melakukan poligami.
Sifat penelitian ini deskriptif analisis untuk memberikan gambaran secara jelas
tentang objek yang diteliti dan memberikan analisis sehingga hasilnya lebih valid.
3.2. Lokasi
Lokasi penelitian ini adalah Pengadilan Agama Malang yang mempunyai
kompetensi relatif seluas wilayah Kota Malang. Alasan utama pemilihan lokasi penelitian ini
karena di Pengadilan Agama Malang terdapat kasus izin poligami dengan alasan di luar
ketentuan undang-undang yang menjadi objek penelitian dan di Pengadilan Agama Malang
tersebut dimungkinkan diadakan penelitian.
3.3. Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah pihak-pihak yang terlibat dalam permohonan izin
poligami di Pengadilan Agama Malang, yaitu para hakim, Panitera Pengganti sebagai
pendamping hakim dalam persidangan, dan pihak-pihak berperkara (yustisiabel).
Penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling, yakni penentuan sampel
dilakukan berdasarkan pertimbangan tertentu. Penentuan sampel Pengadilan Agama
Malang dalam penelitian ini didasarkan pada pertimbangan, yaitu Pengadilan Agama
Malang sebagai Pengadilan Agama Kelas I A sehingga dituntut adanya hakim yang
berkualitas baik dari segi senioritas maupun kemampuan dalam menangani perkara, tingkat
pendidikan masyarakat Kota Malang relatif tinggi sehingga berpengaruh terhadap kualitas
perkara yang diterima oleh Pengadilan Agama Malang termasuk perkara permohonan izin
poligami, dan beragamnya alasan permohonan izin poligami di luar ketentuan undangundang yang diajukan kepada Pengadilan Agama Malang.
38
Penentuan sampel subjek penelitian dalam penelitian ini yaitu pihak-pihak yang
pernah terlibat dalam pelaksanaan izin poligami dengan alasan di luar ketentuan undangundang dari tahun 1999-2001. Subjek penelitian ini meliputi:
1; Hakim Pengadilan Agama Malang yang pernah memutus perkara izin poligami dengan
alasan diluar ketentuan undang-undang. Hakim Pengadilan Agama Malang berjumlah 7
orang. Hakim yang dijadikan sampel adalah mereka yang pernah memutus perkara izin
poligami di luar ketentuan undang-undang dari tahun 1999-2001 sebanyak 5 orang.
2; Hakim Pengadilan Tinggi Agama Jawa Timur yang berkedudukan di Surabaya sebanyak
1 orang, yakni hakim yang pernah memutus perkara pada tingkat banding terhadap
putusan permohonan izin poligami Pengadilan Agama Malang yang dimohonkan
banding oleh pihak isteri karena merasa tidak menerima terhadap dikabulkannya
permohonan suami untuk berpoligami dengan alasan di luar ketentuan undang-undang.
Hakim Pengadilan Tinggi Agama ini diharapkan dapat menilai secara objektif terhadap
putusan Pengadilan Agama Malang yang telah mengabulkan permohonan izin poligami
dengan alasan di luar ketentuan undang-undang.
3; Panitera Pengganti yang pernah mendampingi hakim
5; Ulama yang menguasai hukum Islam untuk diketahui pendapat dan pandangannya
mengenai permohonan izin poligami dengan alasan di luar ketentuan undang-undang
yang dikabulkan oleh hakim Pengadilan Agama. Ulama tersebut berasal dari Majelis
Ulama Indonesia (MUI) Kota Malang 1 orang, unsur Rais Syuriah Nahdlatul Ulama (NU)
Cabang Kota Malang 1 orang, dan Majelis Tarjih Muhammadiyah Malang 1 orang.
Jumlah seluruh responden dalam penelitian ini adalah:
5 orang
1 orang
3; Panitera Pengganti
5 orang
4; Pihak-pihak berperkara
10 orang
5; Ulama
3 orang
Jumlah
24 orang
39
antara lain
2; Bahan hukum sekunder, antara lain buku-buku atau literatur, laporan hasil penelitian
berupa tesis serta artikel dan laporan hasil seminar, diskusi maupun simposium.
3; Bahan hukum tersier yang berupa kamus hukum, kamus Bahasa Indonesia
dan
(field note). Penelitian juga menggunakan kuesioner berupa pertanyaan yang bersifat
kombinasi antara terbuka dan tertutup, sehingga masih memberi kemungkinan kepada
responden untuk memberikan jawaban yang sesuai dengan pendapat dan pandangannya.
Kuesioner tersebut memuat daftar pertanyaan untuk mengungkap pemahaman responden
terhadap alasan-alasan permohonan izin polgami menurut ketentuan undang-undang, sikap
dan pandangan responden terhadap permohonan izin poligami dengan alasan di luar
ketentuan undang-undang, faktor-faktor yang menjadi pertimbangan hakim dalam
mengabulkan permohonan izin poligami dengan alasan di luar ketentuan undang-undang,
dan pandangan responden terhadap ketentuan undang-undang yang mengatur mengenai
alasan-alasan permohonan izin poligami.
40
1; Tahap persiapan
Tahap ini dimulai dengan pengumpulan bahan kepustakaan, melakukan pra survai,
penyusunan usulan penelitian yang kemudian dikonsultasikan, seminar usulan penelitian
dan penyempurnaannya, penyusunan kuesioner dan pedoman wawancara.
2; Tahap pelaksanaan
Pada tahap ini, untuk penelitian kepustakaan dilakukan pengumpulan dan pengkajian
terhadap data sekunder, yang meliputi bahan hukum primer, sekunder dan tersier
sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya. Penelitian lapangan dilakukan dengan
penentuan responden dan pengumpulan data melalui wawancara dan kuesioner yang telah
disusun, juga dilakukan pengumpulan data sekunder melalui studi dokumentasi terhadap
putusan pengadilan.
3; Tahap penyelesaian
Pada tahap ini dilakukan berbagai kegiatan, yaitu penulisan laporan awal hasil penelitian
dan analisis data, dilanjutkan dengan konsultasi dan perbaikan, dan penyusunan laporan
akhir.
Sesuai instrumen penelitian yang digunakan, maka data yang diperoleh dalam
penelitian dibedakan atas:
2; Data yang diperoleh dari putusan Pengadilan Agama Malang dan Pengadilan Tinggi
Agama Jawa Timur di Surabaya dari tahun 1999 sampai dengan 2001.
kuesioner yang
2;
3;
mengabulkan
41
4;
Pendapat dan pandangan Ulama dalam menilai permohonan izin poligami dengan
alasan di luar ketentuan undang-undang yang dikabulkan oleh hakim Pengadilan
Agama.
c. Data yang diperoleh melalui wawancara bersifat melengkapi terhadap data yang
diperoleh melalui kuesioner mengenai hal-hal yang telah disebutkan sebelumnya.
3.7. Analisis Data
Analisis data adalah
interview, catatan lapangan dan bahan-bahan lain yang ditemukan di lapangan untuk
meningkatkan pemahaman dan membantu untuk mempresentasikan temuan penelitian
kepada orang lain. Secara substansial, dalam analisis data terkandung muatan
pengumpulan dan interpretasi data yang menjadi ciri utama dari penelitian deskriptif
kualitatif.74
Tahapan-tahapan yang diperlukan dalam analisis data sebagai berikut:
1;
2;
3;
4;
5;
Editing
Coding
Tabulasi
Interpretasi data
Analisis data
Analisis data
meskipun penulis juga memberikan data yang bersifat kuantitatif. Peneliti menganalisis
putusan-putusan izin poligami dengan alasan di luar ketentuan undang-undang
dihubungkan dengan hasil wawancara dengan responden dihubungkan pula dengan
sumber-sumber lain yang berkaitan dengan penelitian ini, dan mengambil data-data yang
berkualitas.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1. Penerapan Izin Poligami di Pengadilan Agama
Hukum acara pada umumnya dapat dibagi menjadi tiga tahap, yaitu tahap
pendahuluan, tahap penentuan, dan tahap pelaksanaan. Tahap pendahuluan adalah tahap
persiapan sebelum acara pemeriksaan di persidangan, seperti mengajukan permohonan.
Tahap penentuan adalah tahap pemeriksaan di persidangan yang dimulai dari jawab
menjawab, pembuktian peristiwa sampai pada putusan. Tahap pelaksanaan meliputi
pelaksanaan putusan sampai selesai.75
74 Bogdan dan Biklen, dalam Erna Widodo dan Mukhtar, Konstruksi ke Arah Penelitian
Deskriptif, Avyruz, Yogyakarta, 2000, h.123.
75 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1988, h.4.
42
Untuk mengetahui penerapan izin poligami di Pengadilan Agama Malang maka penelitian
ini membagi dalam dua tahap, yaitu tahap pendahuluan atau tahap pengajuan permohonan
dan tahap penentuan atau pemeriksaan. Tahap pendahuluan atau pengajuan permohonan
menekankan pada hal-hal yang berkaitan dengan pengajuan surat permohonan izin
poligami, sedangkan tahap penentuan atau pemeriksaan tentang pemeriksaan di
persidangan yang dimulai dari jawab menjawab, pembuktian sampai pada hakim memutus
permohonan izin poligami.
4.1.1. Tahap Pengajuan Permohonan
Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Nomor
bahwa
seorang suami yang akan berpoligami wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan
di daerah tempat tinggalnya. Permohonan tersebut
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
1
2
No. Perkara
Tahun 1999
257/Pdt.G/2001/PA Mlg
418/Pdt.G/2001/PA Mlg
433/Pdt.G/2001/PA Mlg
457/Pdt.G/2001/PA Mlg
498/Pdt.G/2001/PA Mlg
539/Pdt.G/2001/PA Mlg
701/Pdt.G/2001/PA Mlg
709/Pdt.G/2001/PA Mlg
731/Pdt.G/2001/PA Mlg
Tahun 2000
163/Pdt.G/2000/PA Mlg
207/Pdt.G/2000/PA Mlg
Jumlah
9 perkara
43
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
341/Pdt.G/2000/PA Mlg
467/Pdt.G/2000/PA Mlg
515/Pdt.G/2000/PA Mlg
547/Pdt.G/2000/PA Mlg
663/Pdt.G/2000/PA Mlg
15 perkara
672/Pdt.G/2000/PA Mlg
674/Pdt.G/2000/PA Mlg
700/Pdt.G/2000/PA Mlg
734/Pdt.G/2000/PA Mlg
820/Pdt.G/2000/PA Mlg
850/Pdt.G/2000/PA Mlg
887/Pdt.G/2000/PA Mlg
916/Pdt.G/2000/PA Mlg
Tahun 2001
1
162/Pdt.G/2001/PA Mlg
2
243/Pdt.G/2001/PA Mlg
3
262/Pdt.G/2001/PA Mlg
4
311/Pdt.G/2001/PA Mlg
5
316/Pdt.G/2001/PA Mlg
10 perkara
6
482/Pdt.G/2001/PA Mlg
7
539/Pdt.G/2001/PA Mlg
8
622/Pdt.G/2001/PA Mlg
9
636/Pdt.G/2001/PA Mlg
10
688/Pdt.G/2001/PA Mlg
Sumber: Data sekunder dari Pengadilan Agama Malang setelah diolah
oleh penulis tahun 2002
voluntair asalkan antara pihak suami isteri telah sepakat sehingga suami isteri dapat secara
bersama-sama mengajukan permohonan izin poligami.77 Dalam permohonan tersebut
76 Dalam hal ini juga dikaitkan dengan rumusan Pasal 59 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan
bahwa bilamana Pengadilan Agama memberi izin kepada suami untuk beristeri lebih dari seorang,
sedang isteri tidak mau memberikan persetujuannya maka terhadap penetapan ini isteri atau suami
dapat mengajukan banding atau kasasi. Lihat dalam Mahkamah Agung RI, Pedoman Pelaksanaan
Tugas dan Administrasi Pengadilan Buku II, Proyek Pembinaan Tehnis Yustisial Mahkamah
Agung RI, 1997, h.217.
77 Wildan Suyuthi (peny.), Beberapa Permasalahn Acara Perdata Peradilan Agama dalam Tanya
Jawab, Mahkamah Agung RI, 2001, h.
44
keduanya bertindak sebagai pihak pemohon, yaitu suami sebagai pihak pemohon I dan
isteri sebagai pihak pemohon II. Permohonan yang dibuat dalam bentuk voluntair dapat
dilakukan
diajukan
apabila
isteri
sudah
menyetujui
sebelum
permohonan
tersebut
ke Pengadilan Agama.
Apabila isteri tidak menyetujui maka dibuat dalam bentuk kontensius. Pendapat tersebut
dalam praktiknya akan muncul masalah apabila isteri yang menyetujui suaminya
berpoligami sebelum permohonan diajukan kepada pengadilan, namun
ternyata dalam
proses pemeriksaan isteri berubah sikap menjadi tidak menyetujui permohonan tersebut. 78
Permohonan izin poligami dalam bentuk gugatan kontensius lebih tepat tanpa harus
dibedakan ada atau tidak adanya persetujuan isteri sebelum permohonan diajukan ke
pengadilan.
Permohonan izin poligami dalam bentuk gugatan kontensius diajukan oleh seorang suami
yang akan berpoligami kepada ketua pengadilan yang berkompeten yaitu yang mewilayahi
tempat kediaman suami.79 Permohonan tersebut memuat tuntutan hak dan merupakan
landasan pemeriksaan perkara dan pembuktian kebenaran suatu hak. Penyusunan surat
permohonan izin poligami harus memenuhi
syarat-syarat
yaitu
adanya
tuntutan
78 Termohon dalam Perkara No. 539/Pdt.G/2001/PA Mlg. telah menyetujui secara lisan Pemohon
untuk menikah lagi, karena pasangan tersebut tidak mempunyai keturunan. Namun setelah
Termohon mengetahui bahwa calon isteri Pemohon yang bersikap tidak simpatik dan keluarga calon
isteri Pemohon yang bersikap melecehkan Termohon karena tidak mempunyai anak, maka
Termohon tidak menyetujui Pemohon menikah lagi, sehingga niat suami yang semula menggebu
untuk melakukan poligami menjadi kacau dan tidak menghadiri persidangan sehingga perkara
tersebut gugur. Demikian juga dalam perkara No. 688/Pdt.G/2001/PA Mlg., Termohon yang semula
menyetujui secara lisan dan tertulis namun kemudian mencabut persetujuan tersebut, karena baru
mendengar bahwa ternyata calon isteri Pemohon tersebut adalah janda beranak dua, sehingga
Termohon khawatir Pemohon akan melalaikan tanggung jawabnya terhadap anak-anak Pemohon
dan Termohon yang berjumlah tiga orang dan mereka sedang kuliah.
79 Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
80 Tuntutan hak dan kepentingan hukum yang cukup dan layak serta mempunyai dasar hukum saja
yang dapat diterima sebagai dasar tuntutan hak. Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata
Indonesia, op.cit., h. 33-34.
45
Posita adalah dalil-dalil konkrit tentang adanya hubungan hukum yang merupakan
dasar serta adanya alasan-alasan dari tuntutan (fundamentum petendi). Posita terdiri dari
dua bagian, yaitu:81
1. Bagian yang menguraikan tentang kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa yang terjadi
sehingga permohonan tersebut diajukan ke pengadilan. Bagian ini juga merupakan
penjelasan duduk perkaranya sehingga bermaksud menuntut haknya kepada pengadilan
(feitelijke gronden).
2. Bagian yang menguraikan tentang hukumnya dan tentang adanya hak atau hubungan
hukum yang menjadi dasar yuridis dari tuntutan (rechtelijke gronden).
Permohonan izin poligami yang diajukan ke Pengadilan Agama Malang ada yang
mendalilkan alasan-alasan sesuai dengan ketentuan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974,
namun ada pula yang mengajukan alasan-alasan di luar ketentuan undang-undang,
sebagaimana dapat diketahui dari putusan Pengadilan Agama Malang mengenai
permohonan izin poligami selama tahun 1999-2001 yang dapat digambarkan dalam Tabel
2 berikut:
TABEL 2
ALASAN-ALASAN PERMOHONAN IZIN POLIGAMI
DI PENGADILAN AGAMA MALANG
TAHUN 1999-2001
No.
Tahun
Jumlah
Alasan-alasan
Sesuai ketentuan Di luar ketentuan
Perkara
undang-undang
undang-undang
1999
2000
15
2001
10
Jumlah
Prosentase
34
100%
16
47%
18
53%
Sumber: Data sekunder dari Pengadilan Agama Malang setelah diolah oleh
penulis tahun 2002
Alasan-alasan yang sesuai dengan ketentuan undang-undang dalam permohonan
tersebut, sebagaimana dalam Tabel 3 sebagai berikut :
TABEL 3
81 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Al-Hikmah,
Jakarta, 2000, h. 19.
46
Alasan-alasan
Jumlah
Perkara
isteri
2
dapat disembuhkan
3
8
16
Jumlah
Sumber: Data sekunder Pengadilan Agama Malang Tahun 1999 - 2001 setelah
diolah oleh penulis tahun 2002
Alasan-alasan di luar ketentuan undang-undang yang diajukan dalam permohonan
tersebut adalah suami telah menjalin hubungan dengan wanita lain, suami telah kawin sirri 82
dengan calon isteri, suami ingin mempunyai anak lagi, kemampuan seksual suami sangat
tinggi, suami memenuhi permintaan calon isteri dan keluarganya, dan isteri sibuk bekerja,
sebagaimana dalam Tabel 4 sebagai berikut :
TABEL 4
ALASAN-ALASAN PERMOHONAN IZIN POLIGAMI
DI LUAR KETENTUAN UNDANG-UNDANG
No.
Alasan-alasan
Jumlah Prosentase
9
50 %
lain
2
11%
11%
11%
11%
keluarganya
82 Kawin sirri adalah perkawinan yang dilakukan hanya berdasarkan ketentuan agama Islam tanpa
dicatatkan di Kantor Urusan Agama.
47
6%
18
100%
Sumber: Data sekunder dari Pengadilan Agama Malang Tahun 1999 - 2001 setelah
diolah oleh penulis tahun 2002
Alasan suami telah menjalin hubungan dengan wanita lain merupakan alasan di
luar ketentuan undang-undang yang dominan, jumlahnya mencapai 9 perkara (50 %).
Alasan menjalin hubungan dengan wanita lain tersebut dapat dirinci lagi, yaitu:
48
orang anak, bahkan anak-anaknya sudah memasuki usia remaja dan dewasa. Salah satu
permohonan tersebut diajukan seorang suami dengan alasan yang dirumuskan sebagai
berikut:
Bahwa Pemohon dan Termohon setelah perkawinan tersebut telah hidup rukuan
hingga sekarang ini, dan telah dikaruniai 2 (dua) orang anak yang masing-masing
bernama G, umur 16 tahun, dan D, umur 13 tahun.
Bahwa Pemohon sangat mendambakan keturunan lagi dari Termohon, tetapi
Termohon tidak sanggup lagi karena kondisi fisik sudah tidak memungkinkan untuk
melahirkan anak lagi dan Termohon menyetujui Pemohon untuk menikah lagi.85
Alasan kemampuan seksual suami sangat tinggi berjumlah 2 perkara (11%). Alasan ini
diajukan bukan karena isteri tidak mampu melaksanakan kewajiban atau isteri mengalami
sakit, tetapi karena tuntutan suami untuk melakukan hubungan seksual yang melebihi dari
kemampuan seorang suami pada umumnya, sehingga solusi poligami lebih baik daripada
suami terjerumus pada perbuatan-perbuatan yang dilarang agama. Salah satu permohonan
tersebut diajukan oleh seorang suami yang telah mempunyai 9 orang anak dengan alasan
yang dirumuskan sebagai berikut :
Bahwa rumah tangga Pemohon dan Termohon cukup harmonis, namun Pemohon
yang masih sangat kuat untuk melakukan hubungan sami isteri secara rutin, ternyata
akhir-akhir ini Termohon merasa kewalahan dalam melayani Pemohon untuk
melakukan hubungan seksual, oleh karena itu Pemohon menyampaikan kepada
Termohon bahwa Pemohon akan menikah lagi demi kebahagiaan bersama, Termohon
menyatakan tidak keberatan.86
Alasan suami memenuhi permintaan calon isteri dan keluarganya berjumlah 2 perkara
(11%).
Alasan ini diawali adanya jalinan hubungan antara suami dengan calon isteri
sehingga calon isteri dan keluarga meminta atau menuntut pertanggungjawaban atas
hubungan yang telah mereka lakukan selama ini. Alasan tersebut dirumuskan:
Bahwa meskipun Termohon masih sanggup melayani Pemohon dengan baik, tetapi
Pemohon telah berhubungan dengan wanita lain dan bermaksud memenuhi permintaan
atau tuntutan calon isteri Pemohon dan keluarganya
Alasan isteri sibuk bekerja berjumlah 1 perkara (6%). Suami yang mengajukan alasan ini
tidak menyatakan isterinya tidak mampu melayani bahkan dinyatakan dengan tegas bahwa
49
isteri sanggup melayani dengan baik, tetapi karena kesibukan isteri dalam bekerja
dikhawatirkan suami akan melakukan perbuatan-perbuatan yang melanggar agama. Alasan
tersebut dirumuskan sebagai berikut:
Bahwa rumah tangga Pemohon dan Termohon selama ini rukun dan harmonis, dan
Termohon sebagai isteri tetap melayani Termohon dengan baik, tetapi akhir-akhir ini
Termohon terlalu sibuk dalam pekerjaannya sehingga khawatir Pemohon jatuh pada
hal-hal yang tidak diinginkan, oleh karena itu Pemohon akan menikah lagi dan
Termohon telah menyatakan tidak keberatan.88
c. Petitum.
Petitum adalah apa yang diminta atau diharapkan oleh Pemohon agar diputuskan oleh
hakim dalam persidangan dan tuntutan tersebut akan terjawab dalam amar putusan.
Petitum harus dirumuskan secara jelas, singkat dan padat (een duidelijke en bepalde
conclusie) sebab tuntutan yang tidak jelas maksudnya atau tidak sempurna dapat
mengakibatkan tidak diterima atau ditolaknya tuntutan tersebut oleh hakim. 89 Isi tuntutan
yang diminta oleh pemohon harus dibuat
89 Lihat Pasal 8 nomor 3 Rv dan Putusan Mahkamah Agung tanggal 16 Desember 1970 Nomor 492
K/Sip/1970, dalam Sudikno Mertokusumo, op.cit, h. 36.
90 Menyebutkan nama calon isteri dan nama ayah kandung dari calon isteri tersebut
50
Kegiatan hakim yang utama dan paling banyak adalah pada tahap penentuan atau
pemeriksaan di persidangan. Pada dasarnya apa yang dilakukan hakim di persidangan
adalah mengkonstatasi peristiwa konkrit (legal problem identification), mengkualifikasi
peristiwa konkrit yang berarti menetapkan peristiwa hukumnya dari peristiwa konkrit (legal
problem solving), dan mengkonstitusi atau memberi hukumnya (decision making).91
Menurut ketentuan Pasal 42 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975,
dalam melakukan pemeriksaan mengenai permohonan izin poligami maka pengadilan
harus memanggil dan mendengar isteri yang bersangkutan, dan pemeriksaan pengadilan
untuk itu dilakukan oleh hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya
surat permohonan serta lampiran-lampirannya.
Dalam praktik di Pengadilan Agama Malang, sebelum
pemeriksaan
dilakukan oleh majelis hakim, suami sebagai pemohon dan isteri sebagai termohon
dipanggil oleh Jurusita Pengganti untuk menghadiri sidang yang telah ditetapkan oleh
Ketua Majelis Hakim dalam Penetapan Hari Sidang (PHS).
Pemeriksaan tersebut
dilakukan oleh majelis hakim sekitar 10 hari sampai 21 hari setelah surat permohonan
diterima oleh Pengadilan Agama. Hal demikian telah sesuai dengan ketentuan Pasal 42
ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, bahkan dilihat dari cepatnya
rentang waktu tersebut sesuai pula dengan ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-undang
Nomor 14 Tahun 1970 yang menyebutkan bahwa peradilan dilakukan dengan sederhana,
cepat, dan biaya ringan.
Pasal 41 Peraturan Pemerintah Nomor
51
Dalam penerapannya di Pengadilan Agama Malang, kendati dalam tahap ini hakim
sudah mengetahui bahwa permohonan izin poligami yang diperiksa tidak memenuhi
alasan-alasan sebagaimana Pasal 41 huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
tersebut, tetapi tetap melanjutkan untuk melakukan pemeriksaan syarat-syarat mengajukan
permohonan izin poligami sebagaimana Pasal 41 huruf b, c, dan d. Pemeriksaan tersebut
dilakukan dengan mendengar keterangan pihak-pihak, calon isteri pemohon, dan saksisaksi.
Pasal 43 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 menentukan bahwa apabila
pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon untuk beristeri lebih dari
seorang maka pengadilan memberikan putusannya yang berupa mengizinkan pemohon
untuk menikah lagi atau berpoligami.
Dalam penerapannya di Pengadilan Agama, kendati permohonan izin poligami
tersebut tidak memenuhi alasan-alasan yang telah ditentukan juga dikabulkan oleh hakim,
sebagaimana Tabel 5 sebagai berikut:
TABEL 5
PERKARA PERMOHONAN IZIN POLIGAMI
92
No
Tahun
Jumlah
Perkara
Alasan-alasan
Sesuai
Di luar
ketentuan
ketentuan
undang-
undang-
undang
undang
Keterangan
Dikabulka Ditolak
n
Lain-lain
1999
2000
15
15
2001
10
16
18
30
1 dicabut
2 gugur
3
Jumlah
Sumber: Data sekunder dari Pengadilan Agama Malang tahun 1999-2001 setelah diolah
oleh penulis tahun 2002
Permohonan izin poligami dengan alasan di luar ketentuan undang-undang yang berjumlah
18 perkara tersebut telah dikabulkan oleh hakim sejumlah 15 perkara (83,33%), sedangkan
92 Dicabut berarti pemohon menyatakan mencabut atau tidak melanjutkan perkaranya, sedangkan gugur
berarti pemohon tidak hadir pada persidangan yang telah ditentukan meskipun telah dipanggil secara sah dan
patut. Lihat Pasal 124 HIR. Satu perkara dicabut dengan alasan di luar ketentuan undang-undang, sedangkan 2
perkara gugur terdiri dari 1 perkara dengan alasan sesuai ketentuan undang-undang dan 1 perkara dengan
alasan di luar ketentuan undang-undang.
52
sisanya sebanyak 3 perkara (16.67%) yang terdiri dari 1 perkara gugur, 1 perkara ditolak
dan 1 perkara dicabut. Alasan-alasan permohonan izin poligami yang dikabulkan tersebut
sebagaimana dalam Tabel 6 berikut:
TABEL 6
ALASAN-ALASAN PERMOHONAN IZIN POLIGAMI
DI LUAR KETENTUAN UNDANG-UNDANG YANG DIKABULKAN
No.
Alasan-alasan
Jumlah
Perkara
Suami
memenuhi
permintaan
calon
isteri
dan
keluarganya
6
1
15
Sumber: Data sekunder dari Pengadilan Agama Malang Tahun 1999 - 2001 setelah
diolah oleh penulis tahun 2002
Secara yuridis formal, permohonan izin poligami dengan alasan di luar ketentuan
undang-undang tersebut seharusnya dinyatakan tidak diterima atau ditolak apabila
pemohon tidak bisa membuktikan alasan-alasannya dalam persidangan. Permohonan izin
poligami yang tidak menyampaikan alasan-alasan atau dasar keinginannya secara yuridis
untuk berpoligami maka permohonan tersebut dapat dikualifikasi
sebagai permohonan
yang kabur (obscuur libel) sehingga permohonan harus dinyatakan tidak diterima.
Dalam penerapannya di Pengadilan Agama Malang, data yang ada menunjukkan
bahwa tidak adanya alasan menurut ketentuan undang-undang dalam permohon izin
poligami tidak menjadi penghalang bagi hakim untuk mengabulkan permohonan izin
poligami. Hakim tidak merasa terikat bahkan mengesampingkan ketentuan Pasal 4 ayat (2)
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 mengenai alasan-alasan bagi seorang suami untuk
melakukan poligami. Dalam tahap ini, hakim telah banyak melakukan penemuan hukum
(rechtsvinding), baik dalam tataran konstruksi hukum maupun penemuan hukum bebas,
namun apabila dilihat dari putusan-putusan hakim mengenai permohonan izin poligami
53
tersebut, dalam tataran interpretasi terhadap alasan-alasan yang ditentukan dalam Pasal 4
ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 belum tampak dilakukan. Beberapa alasan
dari alasan-alasan di luar ketentuan undang-undang
diinterpretasi, seperti alasan kemampuan seksual suami sangat tinggi dan alasan isteri
sibuk bekerja dapat diinterpretasikan secara ekstensif sehingga karena keadaan tersebut
akhirnya isteri tidak sanggup atau tidak dapat menjalankan kewajiban secara penuh
sebagai isteri. Pertimbangan hakim Pengadilan Agama Malang dalam putusannya masih
belum tampak melakukan hal-hal yang bersifat interpretatif terhadap ketentuan Pasal 4 ayat
(2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, tetapi hanya deskripsi dan argumentasi tentang
pemohon yang telah memenuhi syarat-syarat untuk berpoligami sebagaimana ditentukan
Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor
1 Tahun 1974,
dasar untuk
mengadili.
Pasal tersebut sama makna dan tujuannya dengan Pasal 23 ayat (1) Undangundang Nomor 14 Tahun 1970 jo. Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999:
Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar
putusan itu, juga harus memuat pula pasal-pasal tertentu dari peraturan-peraturan
yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan
dasar untuk
mengadili.
Ketentuan ini bersifat imperatif, karena itu hakim tidak boleh mengabaikan dan
harus mampu memperlihatkan wawasan kematangan penguasaan hukum dan berpikir
secara sistematik dan profesional. Putusan yang dijatuhkan tanpa motivasi pertimbangan
hukum yang cukup, bertentangan dengan Pasal 62 ayat (1) Undang-undang Nomor 7
Tahun 1989 dan Pasal 23 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 jo. Undangundang Nomor 35 Tahun 1999. Putusan yang tidak memenuhi syarat dan tata cara
mengadili yang ditentukan undang-undang dapat dibatalkan oleh hakim dalam tingkat
banding atau kasasi.
Putusan yang dianggap cukup motivasi pertimbangannya adalah putusan yang
menghimpun secara seksama pemeriksaan sidang, dari deskripsi semua fakta yang
ditemukan, diolah secara argumentatif berdasar ketentuan asas-asas pembuktian dikaitkan
dengan hukum material yang berhubungan dengan perkara yang bersangkutan.
54
Pendekatan yang digunakan induktif yang sistematik tahap demi tahap untuk menghimpun
suatu kesimpulan hukum tentang terbukti atau tidaknya dalil gugatan.93
Putusan izin poligami di Pengadilan Agama Malang dari tahun 1999-2001 terdapat 1
perkara yang dimohonkan banding oleh pihak termohon.
mengabulkan permohonan seorang suami untuk berpoligami dengan alasan karena telah
menjalin hubungan dengan wanita lain dan telah kawin sirri bahkan telah melahirkan
seorang anak, sedangkan pihak isteri atau termohon merasa keberatan suaminya
berpoligami karena tidak ada alasan menurut ketentuan undang-undang. Setelah melalui
proses pemeriksaan, hakim mengabulkan permohonan pemohon untuk berpoligami. Atas
putusan tersebut termohon merasa tidak bisa menerima dan mengajukan permohonan
banding ke Pengadilan Tinggi Agama Jawa Timur di Surabaya. Dalam tingkat banding,
permohonan pemohon tersebut dikualifikasi sebagai permohonan yang kabur sehingga
putusan hakim Pengadilan Agama Malang dibatalkan.
Penulis sependapat dengan sikap hakim Pengadilan Agama Malang yang
mengabulkan permohonan izin poligami dengan alasan di luar ketentuan undang-undang
karena pertimbangan tertentu, namun secara kasuistis ketika permohonan izin poligami
tersebut tidak dikehendaki oleh pihak isteri maka hakim perlu bersikap hati-hati dalam
mempertimbangkannya. Hakim juga perlu melakukan upaya menasihati atau melakukan
sosialisasi secara optimal terhadap pihak isteri mengenai hikmah poligami sehingga pihak
isteri bisa menyadari bahwa solusi itulah yang terbaik. Terhadap putusan hakim Pengadilan
Tinggi Agama Jawa Timur tersebut penulis berpandangan, seandainya
pertimbangan
93 Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Pustaka Kartini, Jakarta, 1989,
h.349-351.
94 Sudikno Mertokusumo, op.cit., 88-89.
55
Hakim dalam menjatuhkan putusan harus mempertimbangkan tiga nilai kaidah hukum, yaitu
kepastian
hukum
(rechtssicherheit),
kemanfaatan
(zweckmasigkeit),
dan
keadilan
(gerechtigkeit). Menurut Radbruch, hukum dituntut untuk memenuhi nilai-nilai dasar hukum
tersebut, namun di antara ketiganya terdapat suatu spannungs-verhaltnis, yaitu suatu
ketegangan satu sama lain karena masing-masing nilai dasar tersebut mempunyai tuntutan
yang berbeda sehingga ketiganya mempunyai potensi untuk saling bertentangan.95
Hakim harus mengadili menurut hukum, berarti putusannya harus mengandung atau
menjamin kepastian hukum sehingga ada jaminan bahwa hukum dijalankan dan yang
berhak menurut hukum dapat memperoleh haknya. Putusan hakim harus bermanfaat bagi
yang bersangkutan maupun masyarakat karena masyarakat menginginkan adanya
keseimbangan tatanan dalam masyarakat. Putusan harus adil bagi pihak-pihak berperkara
termasuk di dalamnya adil dalam perlindungan kepentingan pihak-pihak berperkara. Ketiga
faktor tersebut harus diusahakan hadir secara proporsional dalam putusan atau paling tidak
ketiganya ada dalam putusan. Apabila terjadi konflik antara keadilan, kepastian hukum dan
kemanfaatan, maka keadilan yang harus didahulukan.96 Menurut Esmi Warassih,
ketidakdilan merupakan awal kerusakan kehidupan manusia karena masyarakat cenderung
mencari caranya sendiri untuk memperoleh keadilan.97
Pertentangan antara kepastian hukum dengan keadilan sering terjadi. Hakim yang
menerapkan undang-undang sebagaimana bunyinya, maka dalam keadaan tertentu akan
dirasakan tidak adil (lex dura sed tamen scripta). Apabila Hakim dihadapkan pada peristiwa
konkrit maka hakim harus memecahkannya, karena itu hakim harus bisa mencari dan
menemukan hukumnya
hukum bukan sebagai bouche de la loi dan tidak pula sebagai bouche de la societe.
Hakim harus memahami bahwa undang-undang adalah hukum, tetapi hukum tidak
hanya undang-undang, sehingga hakim dalam menerapkan ketentuan yang mengatur
poligami tidak harus menerapkan ketentuan undang-undang secara kaku, sebagaimana
dikemukakan Soerjono Soekanto:
Perundang-undangan memang merupakan unsur dari sistem hukum, tapi sistem
hukum
tidak
hanya
terdiri
dari
perundang-undangan.
Pandangan
yang
56
alasan sesuai dengan ketentuan undang-undang berjumlah 16 perkara (47 %), sedangkan
permohonan izin poligami dengan alasan di luar ketentuan undang-undang berjumlah 18
perkara (53 %).
undang tersebut telah dikabulkan oleh hakim sejumlah 15 perkara (83,33 %).
Berkaitan dengan putusan yang mengabulkan permohoan izin poligami dengan
alasan di luar ketentuan undang-undang tersebut, sikap responden hakim menjawab setuju
sejumlah 5 orang (100 %). Adapun faktor-faktor yang menjadi pertimbangan hakim dalam
mengabulkan permohonan izin poligami di luar ketentuan undang-undang tersebut,
diperoleh data dari responden hakim sebagaimana Tabel 7 sebagai berikut :
TABEL 7
FAKTOR-FAKTOR YANG MENJADI PERTIMBANGAN HAKIM
DALAM MENGABULKAN PERMOHONAN IZIN POLIGAMI
DENGAN ALASAN DI LUAR KETENTUAN UNDANG-UNDANG
Faktor-faktor
Jumlah
Prosentase
5 orang
100 %
Kemaslahatan
5 orang
100 %
Menghindari perzinahan
5 orang
100 %
5 orang
100 %
4 orang
80 %
4 orang
80 %
3 orang
60 %
2 orang
40 %
57
Islam tidak melarang seorang suami untuk berpoligami apabila suami tersebut sanggup
berlaku adil. Responden hakim sejumlah 5 orang (100 %) menjawab faktor pandangan
hukum agama yang membolehkan poligami, sehingga hakim mengabulkan permohonan
izin poligami dari seorang suami meskipun dengan alasan di luar ketentuan undangundang.
Pertimbangan hakim dalam putusan izin poligami selalu mendasarkan pada firman
Allah dalam Al-Quran Surat al-Nisa ayat (3). Menurut hakim, 99 secara tekstual ayat ini tidak
menentukan alasan-alasan seorang suami untuk dapat
syarat mampu berlaku adil. Apabila terjadi perbedaan pendapat tentang alasan-alasan
seorang suami untuk dapat berpoligami maka harus kembali kepada sumber utama dalam
hukum Islam yaitu Al-Quran, sebagaimana ditegaskan dalam Surat al-Nisa ayat (59) yang
artinya, Hai orang-orang
yang
beriman
taatlah
kepada
cukup memahami
Hakim
Islam,101 sehingga sulit kiranya untuk melepaskan begitu saja keyakinannya dengan tidak
mengabulkan permohonan izin poligami yang jelas-jelas dibolehkan oleh agama Islam. Hal
demikian juga sesuai dengan kaidah fiqhiyah Ma tsabata bisysyari muqaddamun ala ma
wajaba bisysyarthi yang artinya, Apa yang ditetapkan menurut syara lebih didahulukan
daripada wajib menurut syarat.
101 Seluruh hakim Pengadilan Agama Malang berlatar belakang pendidikan IAIN, yang relatif cukup
menguasai seluk beluk hukum Islam
58
sehingga hakim
mengabulkan permohonan izin poligami dari seorang suami meskipun dengan alasan di
luar ketentuan undang-undang.
Pertimbangan hakim dalam setiap putusan poligami selalu mencantumkan kaidah
fiqhiyah Darul mafasid muqaddamu ala jalbil mashalih yang artinya, Menolak kerusakan
lebih diutamakan daripada menarik maslahat. Menurut hakim,102 menolak atau tidak
mengabulkan permohonan izin poligami yang diajukan tanpa alasan yuridis bahayanya
lebih besar daripada mengabulkannya. Ketika hakim dihadapkan pada dua pilihan yang
sulit maka hakim harus mengambil resiko yang paling kecil, sebagaimana kaidah fiqhiyah
Idza taaradla mafsadatani ruiya adhamuha dlararan birtikabi akhaffihima yang artinya,
Apabila dua mafsadah bertentangan, maka perhatikan mana yang lebih besar madlaratnya
dengan memilih yang lebih ringan madlaratnya.
Pertimbangan tersebut dirumuskan dalam putusan antara lain sebagai berikut:
Menimbang, bahwa oleh karenanya majelis hakim berpendapat bahwa perkawinan
pemohon dengan calon isterinya yang dilakukan di bawah tangan dan berlangsung
hampir lima tahun, tidak boleh dibiarkan berlangsung secara terus menerus tanpa
perlindungan dan kepastian hukum, untuk itu dengan mempertahankan ikatan
perkawinan yang sudah ada antara pemohon dengan termohon, kemudian diajukan
izin poligami oleh pemohon atas calon isterinya adalah merupakan solusi terbaik dari
suatu bentuk rasa tanggung jawab untuk menghindari kesulitan atau mafsadah.103
Responden hakim Pengadilan Tinggi Agama Jawa Timur di Surabaya sejumlah 1
orang dan responden Ulama sejumlah 3 orang, semuanya (100 %) sependapat dengan
faktor kemaslahatan sebagai pertimbangan hakim Pengadilan Agama dalam mengabulkan
permohonan izin poligami dengan alasan di luar ketentuan undang-undang. Menurut
responden Ulama, hakim tidak boleh terlalu ketat dalam menerapkan alasan-alasan bagi
seorang suami untuk melakukan poligami menurut ketentuan undang-undang, tetapi hakim
harus juga melihat faktor kemaslahatan sebagaimana kaidah fiqhiyah Tasharruful imami
alarriyyati manuthun bilmaslahati yang artinya, tindakan imam terhadap rakyatnya harus
dikaitkan dengan kemaslahatan.
Menurut penulis, melihat kenyataan di Pengadilan Agama Malang, permohonan izin
poligami yang diajukan oleh seorang suami kepada Pengadilan Agama pada umumnya
sebagai solusi terbaik dalam mengatasi masalah rumah tangga yang sedang mereka
102 Wawancara dengan Amas Sambas dan Sukandar, Hakim Pengadilan Agama Malang, 14 Maret 2002
103 Putusan No. 916/Pdt.G/2000/PA Mlg., tanggal 27 Agustus 2001.
59
hadapi saat itu. Dalam kondisi krisis rumah tangga yang sedemikian rupa, seorang suami
sering dihadapkan pada dua pilihan yaitu bercerai dengan isterinya atau berpoligami.
Salah satu contoh yang terjadi di Pengadilan Agama Malang, 104 ada seorang suami
yang mengajukan cerai talak karena isterinya tidak menyetujui untuk berpoligami. Isteri
tersebut berpendapat bahwa perceraian adalah solusi terbaik daripada suami menikah lagi
dengan wanita lain, sedangkan suaminya sebenarnya tidak menghendaki terjadinya
perceraian karena selama ini rumah tangga mereka sangat harmonis, tetapi karena kondisi
fisiknya yang merasa tersiksa apabila kebutuhan seksualnya yang sangat kuat tidak bisa
dipenuhi oleh isterinya secara optimal maka dia bermaksud untuk melakukan poligami.
Akhirnya suami isteri tersebut memilih perceraian, dan suami mengajukan permohonan
cerai talak ke Pengadilan Agama Malang. Setelah perkara tersebut dalam proses
pemeriksaan persidangan, ternyata isteri berubah pikiran dari tidak setuju suaminya
berpoligami menjadi setuju suaminya berpoligami, bahkan isteri tersebut yang mencarikan
calon isteri untuk suaminya sehingga perkara cerai talak yang telah diajukan oleh suami
dicabut. Selanjutnya suami mengajukan permohonan izin poligami ke Pengadilan Agama
Malang dengan alasan kemampuan seksual suami yang sangat tinggi dan hakim telah
mengabulkan permohonannya.
4.2.3. Faktor Menghindari Perzinahan
Responden hakim sejumlah 5 orang (100 %) menjawab faktor menghindari perzinahan
sebagai pertimbangan hakim dalam mengabulkan permohonan izin poligami dengan alasan
di luar ketentuan undang-undang.
Menurut hakim, salah satu pertimbangan hakim dalam mengabulkan permohonan
izin poligami dengan alasan di luar ketentuan undang-undang karena untuk menghindari
suami dan calon isteri jatuh dalam hubungan zinah. Kalau permohonan itu diajukan sudah
didahului zinah maka hakim juga berusaha agar perzinahan itu tidak terus berlanjut dan
mereka segera bertaubat.105
Responden hakim Pengadilan Tinggi Agama Jawa Timur berjumlah 1 orang dan
responden Ulama sebagai nara sumber dalam penelitian ini
semuanya (100 %) juga berpandangan bahwa kalau hakim menerapkan secara ketat
ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 mengenai alasan-alasan
untuk melakukan poligami, maka sikap hakim tersebut sama dengan menutup dengan
rapat pintu jalan yang dihalalkan oleh Allah dan secara tidak langsung memberi peluang
perzinahan.
Menurut penulis, pertimbangan yang demikian adalah tepat karena Al-Quran jelas melarang
perzinahan sebagaimana ketentuan Al-Quran Surat Al-Isra ayat (32) yang melarang kita
104 Wawancara dengan Pemohon dan Termohon dalam perkara No. 622/Pdt.G/2001/PA Mlg., tanggal 18
Maret 2002, juga dengan Usman Ismail Kilihu, sebagai Panitera Pengganti perkara tersebut.
105 Wawancara dengan Sunkanah Hasyim, ibid.
60
untuk mendekati zinah. Dalam hal ini cukup relevan pula apabila dikemukakan deskripsi
dari Roihan A. Rasyid :
Menurut informasi dari sebagian hakim di Pengadilan Agama Yogyakarta di Daerah
Istimewa Yogyakarta, tidak kurang ditemui adanya permohonan izin poligami yang
diajukan ke Pengadilan Agama karena suami sudah terlanjur
kumpul kebo dengan wanita lain bahkan telah mendapatkan beberapa orang anak
serta wanita lain tersebut tinggal serumah dengan isterinya (dalam satu rumah tinggal
bersama ketiga-tiganya). Alasan untuk beristeri lebih dari seorang sebagaimana diatur
dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 41 Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, sama sekali tidak memenuhi tetapi kumpul kebo
sejak lama dan telah membuahkan anak-anak tersebut terbukti. Bagaimana sikap
Pengadilan Agama dalam menemui kasus-kasus seperti itu, akan menggunakan
hukum
dalam
kapasitasnya
yang
kasuistis
(artinya
memberikan
izin)
atau
menggunakan hukum dalam fungsi mengatur (artinya tidak memberi izin karena tidak
terbukti beralasan) ? Perlu dipertimbangkan bahwa suami datang tersebut karena
sudah sadar akan kesalahannya, tidak mau zinah lagi, tidak mau lagi mendapatkan
anak haram, ingin setidak-tidaknya sedikit menyelamatkan anak-anak yang telah
dibuahkan dari kumpul kebo sebelumnya.106
4.2.4. Faktor Suami Bisa Menjamin Keadilan
Salah satu faktor yang menjadi pertimbangan hakim adalah suami bisa menjamin keadilan.
Responden hakim sejumlah 5 orang (100 %) menjawab faktor suami bisa menjamin
keadilan,
106 Raihan A Rasyid, Kasus dan Hukum dalam Fungsi Mengatur, dalam Mimbar Hukum No. 19 Th. VI
1995, Al-Hikmah dan DITBINBAPERA Islam, Jakarta, 1995.
107 Dalam perkara No. 916/Pdt.G/2000/PA Mlg., Hakim telah mengabulkan permohonan izin poligami
dengan alasan di luar ketentuan undang-undang dan tanpa persetujuan isteri.
107
61
ketentuan
undang-undang.
Kehendak
pihak
suami
dapat
diketahui
dalam
permohonannya, kehendak pihak isteri dapat dilihat dari adanya persetujuan dari isteri
secara tertulis dan lisan dalam persidangan, sedangkan kehendak pihak calon isteri
juga
dilihat dari adanya surat pernyataan tertulis dan lisan dalam persidangan. Responden
hakim yang tidak mengemukakan faktor adanya kehendak pihak-pihak sejumlah 1 orang
(20 %) dengan alasan bahwa adanya kehendak pihak-pihak tersebut juga harus dikaitkan
dengan Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.
Menurut hakim, apabila isteri telah menyetujui suaminya untuk berpoligami, maka
alasan-alasan yang telah ditentukan undang-undang dapat dikonstruksi sedemikian rupa
sehingga pertimbangan hukum dalam putusan tersebut menjadi logis. Masalahnya menjadi
lain, apabila permohonan tersebut tidak berdasarkan alasan dalam ketentuan undangundang dan isteri tidak menyetujui permohonan izin poligami dari suaminya, maka hakim
dapat menolak atau permohonan tersebut tidak diterima. 108 Bahkan ada hakim yang
berpendapat,109 apabila pihak-pihak sudah menghendaki maka alasan-alasan dalam
Undang-undang Perkawinan dapat dikesampingkan, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal
3 ayat (2) bahwa pengadilan dapat mengabulkan izin poligami apabila dikehendaki pihakpihak yang bersangkutan.110
Responden hakim Pengadilan Tinggi Agama Jawa Timur di Surabaya juga
berpandangan bahwa apabila permohonan izin poligami diajukan dengan alasan di luar
ketentuan undang-undang, maka adanya kehendak pihak-pihak
dapat dijadikan
namun
secara kasuistis misalnya pihak isteri sangat keberatan terhadap permohonan izin
poligami yang diajukan oleh suaminya, maka hakim harus benar-benar mempertimbangkan
keberatan dari pihak isteri tersebut.
Permohonan izin poligami dengan alasan di luar ketentuan undang-undang yang tidak
dikehendaki oleh pihak isteri dapat menyebabkan tidak tercapainya keinginan suami untuk
108 Wawancara dengan Sunkanah Hasyim, Wakil Ketua Pengadilan Agama Malang, 15 Maret 2002.
109 Wawancara dengan Sukandar dan Muzakki, op.cit., 15 Maret 2002.
110 Walaupun dalam penjelasan tersebut juga mengaitkan dengan Pasal 4 dan 5.
62
berpoligami. Ada 1 perkara yang digugurkan oleh hakim, karena isteri yang semula
menyetujui suaminya akan berpoligami ternyata kemudian tidak menyetujuinya sehingga
suami tidak mau hadir di persidangan meskipun telah dipanggil secara sah dan patut. 111
Ada 1 perkara yang dicabut oleh pihak suami, karena isteri yang semula telah menyetujui
suaminya berpoligami namun dalam persidangan menyatakan tidak menyetujui suaminya
berpoligami karena ternyata calon isterinya janda beranak dua sehingga dikhawatirkan
beban tanggung jawab suami lebih berat, akhirnya suami mencabut perkaranya dan
mengajukan cerai talak ke Pengadilan Agama. Ada 1 perkara permohonan izin poligami
yang ditolak oleh hakim, karena suami yang mengajukan permohonan izin poligami hanya
memenuhi kehendak dari calon isteri sehingga dalam persidangan ditemukan fakta oleh
hakim bahwa ternyata suami tidak menghendaki permohonan tersebut.112
Dalam praktik di Pengadilan Agama Malang, apabila pihak isteri tidak menyetujui
suaminya berpoligami maka peran hakim dalam menasihati pihak-pihak tampak lebih aktif.
Salah satu contoh dapat diketahui peran hakim yang aktif dalam hal ini adalah adanya
seorang isteri yang tidak menyetujui suaminya berpoligami dan hakim melakukan upaya
optimal menasihati pihak-pihak sehingga terkuak bahwa keberatan pihak isteri tersebut
dilatarbelakangi oleh rasa khawatir dari pihak isteri bahwa harta bersama yang selama ini
diperolehnya
beralih kepada calon isteri suaminya. 113 Setelah hakim menasihati dan
111 Wawancara dengan Masruchin, Panitera Pengganti Pengadilan Agama Malang, 20 Maret 2001.
112 Wawancara dengan Siti Rochmanijah, Panitera Pengganti Pengadilan Agama Malang, 20 Maret 2002.
113 Wawancara dengan Moh. Zabidi, Ketua Pengadilan Agama Malang 1997-2001, 12 Maret 2002.
114 Wawancara dengan Pemohon dan Termohon dalam perkara No.163/Pdt.G/2000/PA Mlg., 10 Maret 2002.
63
mempertimbangkan tentang alasan-alasan yang ditentukan oleh Pasal 4 ayat (2) Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 dalam putusan yang mengabulkan permohonan izin poligami
dengan alasan di luar ketentuan undang-undang, tetapi mempertimbangkan syarat-syarat
yang ditentukan dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Responden
hakim Pengadilan Tinggi Agama Jawa Timur tersebut merasa kesulitan untuk menemukan
jawabannya mengapa sampai terjadi hal yang demikian.
Menurut penulis, pandangan hukum agama (Relegious Law) atau keyakinan hakim
dalam memandang poligami menurut agama Islam dapat mempengaruhi pemahaman
hakim terhadap alasan-alasan dan syarat-syarat poligami yang ditentukan undang-undang.
Al-Quran tidak menentukan alasan-alasan tetapi menentukan syarat seorang suami yang
akan berpoligami mampu
isterinya telah ditalak tetapi masih dalam iddah raji. 115 Adapun syarat-syarat calon isteri
yang akan dinikahi yaitu tidak terikat oleh suatu perkawinan, tidak dalam masa iddah
(masa menunggu selama ditalak) dari laki-laki lain, diketahui orangnya, dan tidak ada
hubungan mahram dengan calon suaminya baik hubungan nasab maupun susuan
berdasarkan ayat Al-Quran.116 Syarat-syarat tersebut juga dipertimbangkan oleh hakim,
apabila memenuhinya maka hakim akan mengabulkan permohonan seorang suami untuk
berpoligami.
4.2.7. Faktor Melindungi Perempuan
115 Iddah raji artinya isteri masih dapat dirujuk, sebab bekas isteri yang masih dalam iddah raji dihukumi
sebagai isteri. Bila laki-laki beristeri empat orang, kemudian salah satu dari isterinya itu atau semuanya ditalak
maka selama masa iddah suami tidak boleh menikah dengan isteri yang baru, sebab suami dianggap beristeri
lima orang. Moch. Anwar, Dasar-dasar Hukum Islami dalam Menetapkan Keputusan di Pengadilan Agama,
Diponegoro, Bandung, 1991, h. 15-16.
64
poligami dalam undang-undang bertujuan untuk melindungi kaum perempuan, namun jika
ketentuan tersebut diterapkan justru menambah kesengsaraan kaum perempuan maka
hakim dapat mengabaikan ketentuan tersebut untuk melindungi kaum perempuan. Dengan
menyimpangi ketentuan tersebut, maka perempuan sebagai isteri dan calon isteri dapat
mendapatkan perlindungan dari suaminya. Berkaitan dengan hal tersebut, perlu dilakukan
sosialisasi mengenai poligami terhadap masyarakat sehingga kesan masyarakat khususnya
kaum perempuan tidak sinis terhadap lembaga poligami.
Sekilas nampak bahwa mengabulkan izin poligami tersebut di satu sisi melindungi
calon isteri, namun di sisi lain juga menjatuhkan kehormatan isteri yang mau dimadu. Ada
kata-kata yang sudah lazim kita dengar mana ada wanita yang mau di madu sehingga
rasanya tercoreng muka seorang isteri yang suaminya menikah lagi dengan perempuan
lain. Dengan sosialisasi poligami sebagaimana diharapkan responden Ulama tersebut,
maka masyarakat baik laki-laki maupun perempuan akan memahami bagaimana konsep
Islam mengenai poligami.
pasangan suami isteri dihadapkan pada masalah akibat adanya interaksi sosial manusia
laki-laki dan perempuan yang akhirnya tumbuh rasa saling mencintai. Hubungan antara
kedua manusia tersebut ada yang sampai hamil, bahkan sampai mempunyai anak. Melihat
kenyataan yang demikian, maka solusi poligami adalah jauh lebih baik dalam melindungi
wanita daripada hubungan bebas yang pada akhirnya akan merugikan perempuan itu
sendiri.
4.2.8. Faktor Isteri Tidak Pernah Hadir (Verstek)
Responden hakim sejumlah 2 orang (40 %) menjawab faktor isteri tidak pernah
hadir dalam persidangan meskipun telah dipanggil secara resmi dan patut, karena 2 orang
responden hakim tersebut pernah memutus permohonan izin poligami dengan alasan di
luar ketentuan undang-undang karena pihak isteri tidak pernah hadir dalam persidangan.
Menurut pertimbangan hakim, termohon telah dipanggil secara resmi dan patut
tetapi ternyata tidak hadir tanpa alasan yang sah sehingga hakim setelah memeriksa pokok
perkaranya memberikan putusan mengabulkan pemohon untuk berpoligami.118
65
Dalam praktik Hukum Acara Perdata di Peradilan Agama, putusan verstek masih ada
pendapat yang berbeda di kalangan praktisi hukum.
bahwa semua perkara kontensius jika telah dipanggil secara resmi dan patut, ternyata
pada sidang pertama tergugat/termohon tidak hadir dan tidak mengirimkan jawaban ,
maka perkara tersebut dapat diputus secara verstek tanpa dibuktikan terlebih dahulu.
Pendapat kedua mengatakan bahwa apabila tergugat/termohon
resmi dan patut dan ternyata tergugat/termohon tidak hadir tanpa alasan yang sah, maka
perkara tersebut boleh diputus kalau sudah diperiksa dengan teliti dan telah terbukti dalil
gugat yang diajukan oleh penggugat/pemohon, pembuktian dalam perkara ini mutlak
diperlukan. Jika sidang pertama tergugat/termohon tidak hadir maka majelis hakim dapat
memundurkan sidang satu kali lagi. Menjatuhkan putusan verstek tersebut bukan imperatif,
tetapi bersifat fakultatif sebagaimana yang diatur dalam Pasal 126 HIR dan bersifat
alternatif jika didasarkan pada Pasal 125 HIR yang dikaitkan dengan Pasal 126 HIR.
Menurut Abdul Manan,119 para hakim di lingkungan Peradilan Agama harus hati-hati
dalam menjatuhkan putusan verstek. Sebaiknya para hakim di lingkungan Peradilan Agama
mengambil jalan tengah menghadapi masalah pembuktian dalam pemeriksaan perkara
verstek. Dalam pemeriksaan hukum benda (zaaken recht) para hakim tidak ada salahnya
menjatukan putusan verstek tanpa pembuktian sebagaimana yang tersebut dalam Pasal
125 ayat (1) HIR, tetapi dalam perkara yang menyangkut hukum orang (personal recht)
terutama hal-hal yang menyangkut perkawinan dan perceraian sebaiknya tidak secara
langsung
memutus
penggugat/pemohon
secara
verstek
tanpa
pembuktian,
meskipun
gugatan
perceraian sebaiknya hakim menggunakan ketentuan Pasal 126 HIR, jika Tergugat tidak
hadir dalam sidang pertama, maka majelis hakim sebelum menjatuhkan putusan menunda
sidang untuk memanggil lagi tergugat/termohon sekali lagi. Putusan verstek tersebut
dijatuhkan setelah lebih dahulu memeriksa pokok perkaranya, meneliti kebenaran dalil
permohonan pemohon, beralasan dan bersandarkan hukum atau tidak
permohonan
pemohon. Jika semua ketentuan ini terpenuhi maka putusan verstek dijatuhkan.
Berkaitan dengan putusan verstek, Yahya Harahap mengingatkan:
Verstek sering disalahartikan yaitu adanya pendapat atau anggapan bahwa setiap
putusan verstek itu berarti mesti mengabulkan gugatan itu dengan sendirinya, tanpa
penelitian apakah gugatan itu benar-benar beralasan atau tidak. Sebenarnya putusan
verstek itu bukanlah apriori mesti dikabulkan.
Dengan demikian putusan verstek itu bisa berupa:
1;
119 Abdul Manan, Beberapa Masalah Hukum tentang Pembuktian dan Hubungannya dengan Praktek
Hukum Acara di Lingkungan Peradilan Agama, Mimbar Hukum No. 55 Th XII 2001, Al-Hikmah &
Ditbinbapera Islam, Jakarta, h. 40-41
66
4.3. Ketentuan hukum yang seharusnya diterapkan untuk mengatur izin poligami
Pasal 4 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 telah menentukan bahwa pengadilan
hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang
apabila isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri, mendapat cacat badan
atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, atau tidak dapat melahirkan keturunan.
Alasan-alasan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 tersebut bersifat limitatif, artinya pengadilan hanya memberi izin
poligami apabila permohonan izin poligami memenuhi minimal salah satu dari alasanalasan tersebut. Permohonan izin poligami dengan alasan di luar ketentuan tersebut tidak
dapat dikabulkan oleh pengadilan, meskipun permohonan izin poligami itu dikehendaki oleh
pihak-pihak atau apa pun yang didalilkan oleh seorang suami untuk melakukan
permohonan izin poligami selain alasan-alasan yang telah ditentukan undang-undang.
Apabila hakim menerapkan ketentuan hukum tersebut secara ketat, maka
implikasinya banyak permohonan izin poligami yang diajukan oleh seorang suami tidak
dikabulkan oleh hakim, sehingga ketentuan hukum tersebut sering dikesampingkan oleh
hakim dalam memutus perkara permohonan izin poligami dengan alasan di luar ketentuan
undang-undang.
Untuk membahas ketentuan hukum yang seharusnya diterapkan dalam mengatur
izin poligami, perlu dijelaskan terlebih dahulu mengenai fungsi hukum dalam membangun
masyarakat.
Pembangunan hukum hendaknya dilihat secara utuh melalui pendekatan holistik,
karena
itu
sudah
saatnya
pembangunan
121
hukum
menggunakan
pendekatan
berurusan dengan soal-soal normatif semata melainkan unsur budaya hukum pun perlu
120 Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Peradilan Indonesia, Zahir, Medan, 1977, h.93.
121 Gijssels dan Hoecke, dalam Esmi Warassih, op.cit., h.25
67
mendapat perhatian yang lebih di samping struktur dan substansinya sehingga hukum
memiliki keberlakuan:122
68
dalam masyarakat atau hukum sebagai panjaga status quo. Hukum sebagai social
engineering bertujuan untuk mengadakan perubahan-perubahan dalam masyarakat.
Hukum dapat berfungsi sebagai social control dan atau
social
engineering
tergantung pada perubahan masyarakat dimana perubahan-prubahan itu terjadi. Bidangbidang yang bersifat netral relatif lebih mudah untuk digarap dan diarahkan oleh hukum.
Sebaliknya bidang-bidang kehidupan sosial yang erat hubungannya dengan keyakinan,
kepercayaan dan lembaga-lembaga yang bersifat dasar, serta yang berhubungan dengan
tindakan-tindakan yang merupakan ekspresi dari keyakinan-keyakinan akan mengalami
perubahan yang kecil sekali meskipun peraturan mencoba untuk memberi bentuk dan
pengarahan kepada bidang-bidang tersebut, termasuk dalam bidang ini antara lain hukum
perkawinan.126
Dalam konteks hukum perkawinan khususnya ketentuan hukum yang mengatur tentang
poligami pada Pasal 4 ayat (2) dalam law making process usulan-usulan dari ulama,
akademisi dan organisasi sosial kemasyarakatan Islam terabaikan sehingga rumusan pasal
tersebut dalam legal product-nya mengambil alih tanpa perubahan sebagaimana dalam
rancangan undang-undang,127 sehingga akan berpengaruh terhadap efektifitas dalam law
enforcement.
Melihat kenyatan law making process yang demikian, nampak telah terjadi di dalamnya
politik hukum pengabaian atas kemajemukan hukum yang secara nyata hidup dalam
masyarakat (the political of legal pluralism ignorance). Padahal fakta menunjukkan:
Legal pluralism is the fact. Legal centralism is a myth, an, ideal, a claim, an illusion.
Legal pluralism is the name of a social state of affairs and it is a characteristic which
can be predicted of a social group.128
Terabaikannya usulan-usulan tersebut berarti telah mengabaikan keyakinan
mayoritas warga negara Indonesia sehingga ketentuan undang-undang itu sendiri telah
menunjukkan ketidakadilannya. Wirjono berpendapat:
Terbentuknya undang-undang adalah buah kerja sama antara pemerintah dan Dewan
Perwakilan Rakyat, maka pada hakikatnya juga harus berakar pada kemauan dan
126 Sebagaimana pendapat Yehezkel Dror dan Stewart Macaulay dalam Satjipto Rahardjo, Hukum
dan Masyarakat, Angkasa, Bandung,1986, h. 121-122
127 Usulan Ulama yang juga sebagai pegangan Fraksi Partai Perastuan Pembangunan di DPR telah
mengasulkan agar pasal tersebut dihapuskan karena alasan-alasan yang memungkinkan poligami
tidak dapat hanya dibatasi oleh ketentuan sub-sub ayat a,b, dan c. Cara lain untuk mengatasi
persoalan ini menambahkan sub ayat d yaitu menambah dengan sebab-sebab lain yang dipandang
perlu dan diterima oleh pengadilan. Lihat dalam Amak F.Z., op.cit, h. 38. Kalangan akademisi dari
IAIN Sunan Kalijogo Yogyakarta telah menyampaikan hasl penelitiannya bahwa kemungkinan dan
pembatasan poligami tidak sesuai dengan hukum Islam,op.cit.,h.23. Badan Kontak Generasi Pelajar
Islam pernah menyampaikan bahwa RUU Perkawinan yang tidak menjamin kesadaran hukum dan
psikologi umat Islam sebagai mayoritas bangsa akan berimplikasi tidak efektifnya undang-undang
tersebut. op.cit.,h.19.
128 Olivia Harris, Inside and Outside The Law, dalam I Nyoman Nurjaya, op.cit.,h.7.
69
perasaan rakyat. Tetapi kita tahu bahwa undang-undang tidak selalu merupakan
perwujudan dari kemauan dan perasaan rakyat, melainkan sering mempunyai tujuan
yang oleh pembentuk undang-undang dianggap sebagai jurusan ke arah tujuan itu
tercapai. Dan kalau tujuan itu tidak tercapai, maka undang-undang itu sukarlah untuk
boleh dikatakan berakar kepada kemauan dan perasaaan rakyat. Maka dari itu dengan
sendirinya nilai dari hukum yang bersumber kepada undang-undang adalah lebih
rendah darpada hukum yang bersumber kepada adat kebiasaan. Maka kalau betulbetul ada pertentangan antara dua macam hukum itu, hukum adat kebiasaanlah yang
harus diturut.129
Ketentuan hukum yang ideal adalah manakala interpretasi tidak diperlukan atau sangat
kecil peranannya. Hal itu bisa dicapai apabila ketentuan perundang-undangan dituangkan
dalam bentuk yang jelas, yang menurut Montesquieu memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:130
1; Gaya penuturannya padat dan sederhana. Istilah-istilah yang dipilih tidak bersifat nisbi
sehingga membuka sedikit kemungkinan perbedaan pendapat individual.
2; Membatasi pada hal-hal yang nyata dan aktual dengan menghindari hal-hal yang
bersifat metaforis dan hipotesis.
1; Ketentuan hukum tersebut dirumuskan secara limitatif dan sama sekali tidak membuka
peluang alasan-alasan lainnya, padahal bila dikomparasikan dengan ketentuan hukum
misalnya tentang syarat-syarat poligami masih membuka peluang tanpa adanya
persetujuan isteri, sehingga ketentuan alasan-alasan ini bersifat kaku dan tidak
mempunyai kegunaan praktis.
129 Wirjono Pradjodikoro, Azaz-azaz Hukum Perdata, Sumur Bandung, 1981, h.22
130 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum , Citra Aditya Bakti, Bandung, 200, h 94-95
70
3; Ketentuan alasan-alasan tersebut sama dengan menutup rapat pintu poligami yang
jelas dihalalkan dalam hukum Islam dan secara tidak langsung telah membuka peluang
perzinaan agar tumbuh berkembang di negara kita yang mayoritas penduduknya
muslim.
Atas dasar kelemahan-kelemahan tersebut, maka menurut penulis, ketentuan
hukum mengenai alasan-alasan izin berpoligami bagi seorang suami tersebut perlu
disempurnakan. Perlunya ketentuan hukum mengenai alasan-alasan izin bagi seorang
suami untuk melakukan poligami tersebut disempurnakan juga didukung oleh responden
maupun Ulama yang menjadi narasumber dalam penelitian ini, sebagaimana data yang
diperoleh sebagai berikut:
2; Kelompok hakim Pengadilan Tinggi Agama Jawa Timur di Surabaya sejumlah 1 orang
(100 %) menyatakan ketentuan hukum mengenai alasan-alasan bagi seorang suami
untuk melakukan poligami perlu disempurnakan.
71
terhadap alasan-alasan yang ada dengan menambahkan alasan lain yang dapat
dipertimbangkan oleh pengadilan, sebagaimana dari data yang diperoleh sebagai berikut:
1; Kelompok hakim Pengadilan Agama Malang sejumlah 5 responden (100%) menyatakan
ketentuan hukum mengenai alasan-alasan bagi seorang suami untuk melakukan
poligami perlu disempurnakan dengan menambah alasan lain yang bisa diterima oleh
pengadilan.
2; Kelompok hakim Pengadilan Tinggi Agama Jawa Timur di Surabaya sejumlah 1 orang
(100 %) menyatakan ketentuan hukum mengenai alasan-alasan bagi seorang suami
untuk melakukan poligami perlu disempurnakan dengan menambah alasan lain yang
bisa diterima oleh pengadilan.
sedangkan
sejumlah
orang
(20
%)
menyatakan
tidak
perlu
disempurnakan.
misalnya
alasan
dengan
menambah
rumusan
dikehendaki
pihak-pihak
demi
kemaslahatan rumah tangganya. Dengan adanya alasan selain yang ditentukan secara
limitatif dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut, maka
ketentuan hukum tersebut akan lebih selaras dengan pandangan hukum Islam mengenai
poligami dan hakim Pengadilan Agama mempunyai landasan yuridis dalam mengabulkan
permohonan izin poligami dengan alasan selain yang telah ditentukan undang-undang pada
saat ini serta yustisiabel yang menghendaki poligami demi kemaslahatan rumah tangganya
dapat tercapai.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
72
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya, dapat disimpulkan hal-hal sebagai
berikut:
1; Penerapan izin poligami di Pengadilan Agama tidak menerapkan secara ketat ketentuan
Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 mengenai alasan-alasan untuk
melakukan poligami bagi seorang suami.
umumnya diajukan oleh seorang suami dengan alasan di luar ketentuan undang-undang
juga dikabulkan oleh hakim Pengadilan Agama. Hakim tidak merasa terikat pada
ketentuan undang-undang tersebut, bahkan ketentuan undang-undang tersebut sering
dikesampingkan oleh hakim dalam mengadili permohonan izin poligami dengan alasan di
luar ketentuan undang-undang.
1; Faktor pandangan hukum agama (relegious law) yaitu hukum Islam yang
membolehkan poligami.
4;
5; Faktor adanya kehendak pihak-pihak, yaitu pihak suami, isteri dan calon isteri.
6;Faktor memenuhi syarat secara kumulatif, baik syarat yang ditentukan oleh Pasal 5
ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 maupun syarat perkawinan menurut
hukum Islam.
7;
8;
yang
diajukan
kepada
Pengadilan
Agama
sehingga
dalam
73
5.2; SARAN
1; Ketentuan hukum mengenai alasan-alasan untuk melakukan poligami bagi seorang
suami yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
sebaiknya disempurnakan agar selaras dengan hukum Islam dan hakim Pengadilan
Agama mempunyai landasan yuridis dalam mengabulkan permohonan izin poligami
yang diajukan oleh suami dengan alasan di luar ketentuan hukum tersebut.
Penyempurnaan tersebut berupa menambahkan alasan yang ada dengan alasan
lain yang dapat dipertimbangkan oleh pengadilan misalnya dengan menambah
rumusan alasan dikehendaki pihak-pihak demi kemaslahatan rumah tangganya.
2; Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan sifat yang berbeda terhadap faktor-faktor
yang menyebabkan hakim Pengadilan Agama menyimpangi ketentuan Pasal 4 ayat (2)
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 sehingga permohonan izin poligami dengan
alasan di luar ketentuan undang-undang tersebut juga dikabulkan,
dan sedapat
74
Amir Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran dalam Hukum Islam, Angkasa Raya, Padang,
1990.
Amrullah Ahmad et.al., Prospek Hukum Islam dalam Kerangka Pembangunan Hukum
Nasional di Indonesia, PP IKAHA, Jakarta, 1994.
A. Ridwan Halim, Hukum Perdata dalam Tanya Jawab, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1962.
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 1996.
Bernard Arief Sidharta, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung,
2000.
Bibit Suprapto, Liku-liku Poligami, Al-Kautsar, Yogyakarta, 1990.
Chainur Rasyid, Dasar-dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2000.
Dedi Soemardi, Sumber-sumber Hukum Positip, Alumni, Bandung, 1986.
Erna Widodo dan Mukhtar, Konstruksi ke Arah Penelitian Deskriptif, Avyruz, Yogyakarta,
2000.
Efrinaldi, Teori Kemaslahatan dalam Wacana Pembaharuan Hukum Islam: Suatu Kajian
terhadap Pemikiran Najm Din Thufi, Mimbar Hukum No.55 Th XII 2001, Al-Hikmah
dan Ditbinbapera Islam, Jakarta.
Esmi Warassih, Pemberdayaan Masyarakat dalam Mewujudkan Tujuan Hukum (Proses
Penegakan Hukum dan Persoalan Keadilan), Pidato Pengukuhan Guru Besar
Madya dalam Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang,
2001.
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition, Chicago
University Press, Chicago.
Gamal A. Badawi, Poligamy in Islamic Law, The Muslim Students Association of The United
States & Canada.
John Z. Loudoe, Menemukan Hukum Melalui Tafsir dan Fakta, Bina Aksara, Jakarta, 1985.
Hafizh Anshari Az. et.al., Ensiklopedi Hukum Islam, PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta,
1996.
Hammudah Abd. Al-Ati, The Family Structure in Islam, terjemah Anshari Thayib, Bina Ilmu,
Surabaya, 1984.
Hensyah Syahlani, Penemuan dan Pemecahan Masalah Hukum dalam Peradilan Agama,
Mahkamah Agung RI, Jakarta, 1993.
Hilman Hadikusuma, Hukum Ketatanegaraan Adat, Alumni, Bandung, 1981.
Husni Rahim et.al., Peradilan Agama di Indonesia, Departemen Agama RI, 2000.
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram, Jilid II, terjemahan A. Hassan, CV Diponegoro,
Bandung.
Iman Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, Liberty, Yogyakarta, 1981.
75
76
--------------, Kasus dan Hukum dalam Fungsi Mengatur, Mimbar Hukum No. 19 Th. VI
1995, Al-Hikmah dan Ditbinbapera Islam, Jakarta, 1995.
Rusly Effendy et. al., Teori Hukum, Hasanuddin University Press, 1991.
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 1988.
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000.
---------------, Hukum dan Masyarakat, Angkasa, Bandung, 1986.
Saifullah, Poligami dalam Struktur Keluarga Muslim, Mimbar Hukum No. 51 Th XII 2001, AlHikmah dan Ditbinbapera Islam, Jakarta, 2001.
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Universitas Indonesia Press, Jakarta, 1974.
Sayyid Qutub, Fi Dhilal Al-Quran Jil IV, dar al-Qutub al-Ilmiyah, tt.
Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Rajawali Press, Jakarta, 1988.
Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah, Sosiologi Hukum dalam Masyarakat, Rajawali,
Jakarta, 1980.
Soenarjo et.al., Al-Quran dan Terjemahannya, Departemen Agama RI, 1984.
Subekti, Kamus Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1978.
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuh Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1996.
--------------, Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1985.
--------------, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1988.
W.J.S. Porwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1999.
Wildan Suyuthi (peny.) Beberapa Permasalahan Acara Perdata Peradilan Agama dalam
Tanya Jawab, Mahkamah Agung RI, 2001.
Wirjono Prodjodikoro, Azaz-azas Hukum Perdata, Sumur, Bandung, 1981.
Tresna, Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad, Pradnya Paramita, Jakarta, 1977.
Taufiq, Kedudukan Peradilan Agama dalam Sistem Peradilan di Indonesia, Bulletin Hikmah
No. 2 Tahun I Juli 1986.
--------------, Transformasi Hukum Islam ke dalam Legislasi Nasional, Mimbar Hukum No. 49
Th. XI 2000, Al-Hikmah dan Ditbinbapera Islam, Jakarta, 2000.
Zainal Abidin Abu Bakar (peny.), Berbagai Pandangan terhadap Kompilasi Hukum Islam, AlHikmah, Jakarta, tt.
Varia Peradilan Majalah Hukum Tahun XII Nomor 144 September 1997.
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman (Lembaran Negara 1970 Nomor 74).
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara 1974 No 1).
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 (Lembaran Negara 1975 Nomor 12).
77
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (Lembaran Negara 1989
Nomor 20).
Pembangunan hukum nasional dalam bidang-bidang yang tidak mungkin dicapai unifikasi,
sedapat mungkin diupayakn terciptanya keharmonisan hukum. Harmonis hukum, kalau
meminjam istilah Martin Boodman dalam bukunya The Myth of Harmonization ol Law,
adalah keadan hukum di mana unsur-unsur lama yang berbeda tetap ada, utuh dan tidak
berubah, namun terjadi paduan baru hasil aransemen yang merupakan satu keseluruhan
yang indah dan elok serta nikmat bagi kehidupan.
Keharmonsan hukum adalah salah satu aspek politik hukum Islam yang mencakup
nilai dan tujuan sesuai dengan kriteria dan pedoman keadilan, keanggunan dan
keharmonisan hukum, meskipun hanya menggunakan istilah hukum perkawinan, hukum
kewarisan, hukum perwakafan, tanpa
2. Hakim Pengadilan Agama Malang telah mengabulkan permohonan izin poligami dengan
alasan di luar ketentuan undang-undang sebanyak 15 perkara dari 18 perkara yang
masuk atau sebesar 83,33%. Bagaimana sikap dan pandangan saudara terhadap
putusan yang demikian itu ?
78
1;
Setuju, alasannnya
bebas):
2;
1;
2;
Karena kemaslahatan
3;
4;
5;
6;
Karena verstek
7;
8;
Menghindari perzinaan
9;
3. Bagaimana sikap dan pandangan Saudara terhadap ketentuan Pasal 4 ayat (2)
mengenai alasan-alasan bagi seorang suami untuk melakukan poligami dalam kaitannya
dengan permohonan izin poligami dengan alasan-alasan di luar ketentuan tersebut telah
dikabulkan oleh hakim ?
1;
Ketentuan tersebut sudah tepat, hakim harus mengikutinya sesuai ketentuan tersebut.
2;
3;
Ketentuan tersebut perlu disempurnakan, ditambah alternaftif atau alasan lain yang
bisa diterima oleh pengadilan.
RINGKASAN
MUSTHOFA, Program Pascasarjana Universitas Islam Malang, 3 Agustus 2002,
Pertimbangan Hakim Pengadilan Agama dalam Mengabulkan Permohonan Izin
Poligami dengan Alasan di Luar Ketentuan Undang-undang (Studi di Pengadilan
Agama Malang); Komisi Pembimbing, Pembimbing Utama: Dr. Kasuwi.M.A., Pembimbing
Pendamping: Moch. Fatich,S.H.,M.H.
Pasal 4
menentukan bahwa pengadilan hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan
79
beristeri lebih dari seorang apabila isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai
isteri, isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, isteri tidak
dapat melahirkan keturunan.
Ketentuan undang-undang yang mengatur poligami sudah jelas bahwa
seorang
suami hanya dapat diizinkan oleh Pengadilan Agama untuk berpoligami apabila telah
memenuhi alasan-alasan yang ditentukan undang-undang. Dengan pernyataan lain bahwa
permohonan izin poligami yang tidak memenuhi alasan-alasan tersebut, maka hakim tidak
dapat mengabulkan/mengizinkan permohonan izin poligami.
Berdasarkan hasil penelitian, permohonan izin poligami yang diajukan seorang
suami kepada Pengadilan Agama Malang dari tahun 1999-2001 sejumlah 34 perkara, terdiri
dari 16 perkara mendalilkan dengan alasan sesuai ketentuan undang-undang dan 18
perkara (53%) mendalilkan dengan alasan di luar ketentuan undang-undang, yakni dengan
alasan suami telah menjalin hubungan dengan wanita lain, suami telah kawin sirri dengan
calon isteri, suami ingin mempunyai anak lagi, kemampuan seksual suami sangat tinggi,
suami memenuhi permintaan calon isteri dan keluarganya, dan isteri sibuk bekerja. Dari 18
perkara tersebut, telah dikabulkan sejumlah 15 perkara (83,33%).
Berdasarkan data tersebut, penerapan izin poligami di Pengadilan Agama tidak
menerapkan secara ketat ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
mengenai alasan-alasan untuk melakukan poligami bagi seorang suami. Permohonan izin
poligami yang diajukan oleh seorang suami dengan alasan di luar ketentuan undangundang juga dikabulkan oleh hakim Pengadilan Agama. Hakim tidak merasa terikat pada
ketentuan undang-undang tersebut, bahkan ketentuan undang-undang tersebut sering
dikesampingkan oleh hakim dalam mengadili permohonan izin poligami dengan alasan di
luar ketentuan undang-undang.
Adapaun faktor-faktor yang menjadi pertimbangan hakim Pengadilan Agama dalam
mengabulkan permohonan izin poligami dengan alasan di luar ketentuan undang-undang
tersebut adalah faktor pandangan hukum agama (relegious law), kemaslahatan,
menghindari perzinahan, suami bisa menjamin keadilan, adanya kehendak pihak-pihak,
memenuhi syarat secara kumulatif, untuk melindungi wanita, dan isteri tidak pernah hadir di
persidangan (verstek).
Mengingat banyaknya permohonan izin poligami dengan alasan di luar ketentuan
undang-undang yang diajukan kepada Pengadilan Agama sehingga dalam penerapannya
ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut sering
dikesampingkan oleh hakim, maka ketentuan hukum tersebut perlu disempurnakan dengan
menambah alasan yang ada dengan alasan lain yang dapat dipertimbangkan oleh
pengadilan misalnya dengan menambah rumusan alasan dikehendaki pihak-pihak demi
kemaslahatan rumah tangganya. Dengan demikian ketentuan hukum yang mengatur izin
poligami di Pengadilan Agama tersebut selaras dengan pandangan hukum Islam mengenai
poligami dan hakim Pengadilan Agama mempunyai landasan yuridis dalam mengabulkan
80
permohonan izin poligami serta pihak yustisiabel yang menghendaki poligami demi
kemaslahatan rumah tangganya dapat tercapai meskipun dengan alasan di luar ketentuan
Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut.
SUMMARY
MUSTHOFA, is a lecturer of Universitas Islam Malangs Postgraduate Programs, 3th
of August 2002. Title: Pertimbangan Hakim Pengadilan Agama dalam Mengabulkan
Permohonan Izin Poligami dengan Alasan di Luar Ketentuan Undang-undang (Studi
di Pengadilan Agama Malang); Supervisors: Dr. Kasuwi.M.A. (Main Supervisor), and
Moch. Fatich,S.H.,M.H.(Assistant Supervisor).
Pasal 4
menentukan bahwa pengadilan hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan
beristeri lebih dari seorang apabila isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai
isteri, isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, isteri tidak
dapat melahirkan keturunan.
Ketentuan undang-undang yang mengatur poligami sudah jelas bahwa
seorang
suami hanya dapat diizinkan oleh Pengadilan Agama untuk berpoligami apabila telah
memenuhi alasan-alasan yang ditentukan undang-undang. Dengan pernyataan lain bahwa
permohonan izin poligami yang tidak memenuhi alasan-alasan tersebut, maka hakim tidak
dapat mengabulkan/mengizinkan permohonan izin poligami.
Berdasarkan hasil penelitian, permohonan izin poligami yang diajukan seorang
suami kepada Pengadilan Agama Malang dari tahun 1999-2001 sejumlah 34 perkara, terdiri
dari 16 perkara mendalilkan dengan alasan sesuai ketentuan undang-undang dan 18
perkara (53%) mendalilkan dengan alasan di luar ketentuan undang-undang, yakni dengan
alasan suami telah menjalin hubungan dengan wanita lain, suami telah kawin sirri dengan
calon isteri, suami ingin mempunyai anak lagi, kemampuan seksual suami sangat tinggi,
suami memenuhi permintaan calon isteri dan keluarganya, dan isteri sibuk bekerja. Dari 18
perkara tersebut, telah dikabulkan sejumlah 15 perkara (83,33%).
Berdasarkan data tersebut, penerapan izin poligami di Pengadilan Agama tidak
menerapkan secara ketat ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
mengenai alasan-alasan untuk melakukan poligami bagi seorang suami. Permohonan izin
poligami yang diajukan oleh seorang suami dengan alasan di luar ketentuan undangundang juga dikabulkan oleh hakim Pengadilan Agama. Hakim tidak merasa terikat pada
ketentuan undang-undang tersebut, bahkan ketentuan undang-undang tersebut sering
dikesampingkan oleh hakim dalam mengadili permohonan izin poligami dengan alasan di
luar ketentuan undang-undang.
Adapaun faktor-faktor yang menjadi pertimbangan hakim Pengadilan Agama dalam
mengabulkan permohonan izin poligami dengan alasan di luar ketentuan undang-undang
tersebut adalah faktor pandangan hukum agama (relegious law), kemaslahatan,
81
82
DAFTAR ISI
RINGKASAN
SUMMARY
LEMBAR PERSEMBAHAN
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
I;
PENDAHULUAN
TINJAUAN PUSTAKA
II.1;
Peradilan Agama
II.1.1;
II.1.2;
II.1.3;
II.1.4;
II.2;
Dasar Hukum
Kompetensi
Sejarah PA
Poligami
II.2.1;
II.2.2;
II.2.3;
II.2.4;
II.2.5;
II.3;
Pengertian
Pengertian Perkawinan
Azas Perkawinan
Pengertian Poligami
Dasar Hukum Poligami
Alasan dan syarat Poligami
Penemuan hukum
II.3.1; Pengertian
II.3.2; Dasar hukum
II.3.3; Metode
III;
METODE PENELITIAN
III.1;
III.2;
III.3;
III.4;
III.5;
III.6;
III.7;
IV;
IV.1;
83
IV.2;
Faktor-faktor
yang
menjadi
pertimbangan
Hakim
PA
dalam
IV.3;
V;
V.1;
V.2;
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
Kesimpulan
Saran-saran