Anda di halaman 1dari 6

Menjaring Matahari

Senja ini begitu memukau rupanya, sinar mentari yang menghiasi Desa
Segea, Maluku Utara. Capung yang terbang bebas di mega semesta, menari
tarian bidadari jelita, dan menyanyi senandung simfoni milik ratu senja. Telah
tampak, kabut alam yang melekat pada langit yang berhasil berubah menjadi
jingga. Kini aku, Puri, Dian, Beta, Garuda, Mukhlis, Jundi dan Suryo. sedang
duduk di atas Pohon Akasia, pohon impian kami. Untung-untung melepas
lelah karena seharian penuh kami telah bekerja keras mencari uang. Mukhlis
yang setiap harinya membawa gerobaknya, bekerja memungut sampah, Beta
dan Garuda yang masih membawa gambus dan harmonikanya, mengamen di
setiap tempat, dan sedangkan aku, Puri, Dian, Jundi, dan Suryo berjualan
koran di jalanan. Tetapi, dengan terbatasnya kehidupan ekonomi kami, aku
dan ketujuh sahabatku masih dapat bersekolah. Membangun mimpi. Kami
selalu bersama, jua membangun persahabatan yang akan terpahat
selamanya di benakku, menembus kalbu sedalam karya Tuhan yang tak
pernah semu. Kami memandang takjub betapa sang raja senja akan dilahap
masuk menuju gua bibir misteri. Terdiam, terpana merasuk raga.Indahnya!
kata Garuda. Kami hanya menjawab dengan senyuman. Jika kau punya
kesempatan, apa yang kau inginkan dari matahari? Tanya Mukhlis. Kami
memandang keheranan. Ah, kalau inyong! Hm, inyong bakal tangkap.
Jawab Suryo dengan cibiran dan logat Tegalnya yang masih kental. Tak usah
200 km, 400 km saja mungkin kau sudah terbakar menjadi abu, Yo! ledek
Dian tertawa, Hei, Erna! Kalau kau apa yang kau inginkan? lanjut Dian
memukul pundakku. Aku? Hahaha Aku saja tak tahu apa yang akan aku
lakukan. Coba sajalah kau tanya Mukhlis. Ia yang bertanya bukan? jawabku
seadanya. Aku, akan menjaring matahari, kata Muklis, Matahari itu besar,
hidupnya sakral pula, hanya Tuhan yang dapat memelihara tempat terbitnya
dan tempat terbenamnya. Hingga suatu saat Tuhan sendiri yang perintahkan
ia terbenam di angan cakrawala untuk selamanya. Ungkapnya. Itu mimpi
kau? Mata Puri membelalak lebar. Mukhlis hanya mengangguk. Apa kau
yakin dengan semua yang ingin kau lakukan ini? timpal Jundi. Tentu saja!
Aku dan kau semua akan menjaring sebuah impian besar! Ya, merangkak
membasmi kegelapan, kebodohan, dan kesengsaraan. Bersama! kata
Muklis. Bersama! jawab kami serempak. Tak lagi untuk masa depan kami,
aku dan ketujuh sahabatku akan mengejarnya, generasi kamilah yang akan
membuat Negeri kami berubah lebih berarti. Senja yang kami lewati dengan
bersenda gurau, tertawa bahagia, dan menghabiskan waktu bersama telah
berubah menjadi gulita. Malam menjemput kami. Bergantinya mentari
menjadi dewi purnama dan permadani bintang tak membuat kami putus
untuk menjaring impian kami. Kami memutuskan untuk pulang ke panti
asuhan.Pada dasarnya, kami terlahir dengan nasib yang sama. Yatim piatu.

Kami tinggal di panti asuhan milik Bu Kades, kami disediakan tempat tidur
yang buat kami itu sudah cukup layak, serta makanan yang cukup untuk
setiap harinya. Masalah untuk membayar biaya pembayaran sekolah, kami
menggunakan uang hasil bekerja keras kami selama ini, kami tidak ingin
merepotkan Ibu Kades dan Bapak Kades karena terbatasnya krisis keuangan
beliau. Seringlah kami membayarnya terlambat. Padahal, kalau di lihat
sekilas mata, sekolah kami terbangun dari gubuk yang tak layak, memang
tak akan kokoh. Namun, tekad dan perjuangan kami yang akan membuat
sekolah kami kokoh dengan jasa wibawanya.Saat tengah di jalan, aku dan
ketujuh sabahatku bercerita tak henti-hentinya. Tiba-tiba yang membuatku
terkejut adalah saat Mukhlis hendak menyebrang. Entah bagaimana
kejadiannya, truk yang melaju kencang dari arah yang sama menabrak
Mukhlis. Ia terpental jauh dari jalan. Tergeletak tak berdaya. Gerobak
sampahnya sedikit remuk. Truk yang baru saja menabrak Mukhlis kabur
begitu saja. Kami semua segera mendatangi Mukhlis yang tak sadarkan
diri. Tolong, tolong, tolong!!! teriak Beta. Tetap saja! Tak ada bantuan yang
datang. Mukhlis panggilku sambil mengoyak tubuh Mukhlis. Percuma!
Kau memanggil Mukhlis seribu kali ia takkan mendengarnya. Bentak Jundi.
Aku tertunduk lemah, Tolong!!! teriak Jundi lebih keras menoleh ke kanan
dan ke kiri melihat sekitar. Daripada membuang waktu lebih lama, kita
angkut saja Mukhlis ke dalam gerobaknya! ujar Puri. Aku sedikit tak percaya
akan mengangkut Mukhlis ke dalam gerobak. Sebenarnya, tidak tega
menidurkan Mukhlis di atas gerobak bekas angkutan sampah yang bau. Tapi
tak apalah, kami tak punya pilihan lain. Akhirnya kami menjunjung badan
Mukhlis agar dapat masuk gerobak dan kami akan mendorongnya. Kami
hanya mendorong dengan perasaan yang amat membuat kami khawatir.
Hingga beberapa menit kemudian kami tiba di depan pintu puskesmas. Dari
dalam puskesmas, keluarlah empat perawat laki-laki menuju kami. Empat
perawat tersebut menghampiri kami dan mengangkut Mukhlis di kasur
darurat. Mukhlis di bawa menuju ruang inap. Lelaki memakai baju putih dan
stetoskop yang dikalungkan di lehernya masuk untuk memeriksa kondisi
Mukhlis. Sesaat, dokter itu keluar dari ruangan di mana Mukhlis akan
dirawat. Teman kau masih dapat diselamatkan. Sayangnya, benturan di
kepalanya yang sangat parah membuat ia belum sadarkan diri. Jelas
dokter. Kami gelisah mendengar apa yang dikatakan dokter baru saja. Kami
memandang satu sama lain. Semua terasa hambar. Belum lagi kami harus
menyelesaikan administrasi permbayaran penginapan Mukhlis. Untuk hari ini,
kami tahu Tuhan telah mengirim cobaan yang berat yang harus kami pikul.
Malam ini kami temani Mukhlis bersama-sama, walau tertidur di atas lantai
tanpa alas melawan dingin.Pagi ini kami terbangun. Melihat Mukhlis yang
masih belum sadar, wajahnya pun pucat sekali, perban yang membalut

jidatnya membuat kami semakin tak kuat menahan tetes air mata yang
terbendung di bawah kelopak mata. Terngiang, kami belum juga melunasi
administrasi penginapan Mukhlis, lagi-lagi kami memandang Mukhlis dengan
pandangan kosong. Hari ini kita bekerja! seruku.Untuk apa? Kita temani
saja Mukhlis di sini. Kasihanlah dia! elak Beta. Untuk apa, untuk apa? Ya
untuk Mukhlis. Kalau kita tidak bekerja. Bayar apa kita nanti?! Ujar Suryo
menjauh dari gerombolan kami pasrah untuk duduk sendiri. Sudah kutanya
kemarin bersama Garuda, semua biaya 50.000 ribu. Sahut Puri. Kami
ternganga dengan uang sebanyak itu. Tak pernah kami mendapatkan uang
sebanyak itu. Akhirnya, aku dan teman-temanku ke luar area puskesmas.
Mulai bekerja mencari uang. Kami membagi pekerjaan kami. Aku, Dian, dan
Puri menjalankan pekerjaan Mukhlis, mengangkut sampah yang nantinya
akan kami setorkan kejuragan rongsokan nanti. Suryo dan Beta berjualan
koran di pinggir jalan. Garuda dan Jundi mengamen di setiap sudut tempat.
Keringat yang meluap dari kening, karena sinar terik matahari tak lagi kami
hiraukan. Kami hanya bekerja bekerja, dan bekerja. Hingga haripun mulai
gelap. Aku, Dian, dan Puri sepakat akan kembali ke puskesmas untuk
menunggu Jundi, Beta, Garuda, dan Suryo. Kami berjalan menuju puskesmas.
Kudapati Jundi, Beta dan Suryo telah menungguku. Dapat uang berapa
kau? tanya Jundi. Aku mendekat dan menyerahkan uang sebesar 25.000
ribu. Kita berhasil! Beta berteriak riang. Kami juga mendapat uang 30.000
ribu! Sisanya nanti kita buat makan bersama saja! ujar Suryo. Aku hanya
mengangguk mantap. Kami segera menuju staff administrasi untuk
membayar uang biaya penginapan Mukhlis. Lega rasanya, tak ada beban
lagi. Saling membantu teman kami, teman yang menjadi keluarga kami.
Malam ini kami temani lagi Mukhlis. Hingga kami tertidur lelap ditemani
rembulan emas.Jarum jam telah menunjukkan pukul 6 pagi. Saat aku
terbangun, ku lihat jemari Mukhlis bergerak. Ia terbangun perlahan,
menggelengkan kepalanya. Aku bangunkan sahabat-sahabatku yang masih
terlelap terbuai oleh malam. Ya, Mukhlis telah sadar. Kau semua tidur di
sini? tanya Mukhlis lemah. Ya, jawab Beta datar. Ah Mukhlis mendesah,
ia berusaha terbangun dari tempat tidurnya, Hei, kawan! Berapa hari aku
terbaring di sini? Sampai-sampai kakiku kaku tak dapat di gerakkan! Mukhlis
mengernyitkan dahinya, dan menatap kakinya. Kami hanya memandang
bingung. Dian segera keluar untuk memanggil dokter yang selama 2 hari ini
selalu memeriksa Mukhlis. Mereka berdua datang bersamaan. Hei, sudah
sadarkan diri kau, kata dokter, Kau boleh pulang, kalau kau sudah tidak
pusing dan sehat. Apa sudah tak pusing? tanya dokter sambil memeriksa
detak jantung Mukhlis. Hanya sedikit, dok! jawab Muhklis, Dok, mengapa
kaki saya tak dapat di gerakkan? tanya Mukhlis. Dokter tersebut terdiam,
beliau menghembuskan nafasnya. Kau lumpuh nak. Maafkan aku, aku tak

beri tahu teman kau. Fasilitas puskesmas kami tidak memadai, hingga kau
lumpuh seperti ini. Kata dokter. Kami menangis, menjerit tak bersuara.
Mencengkram, mencabik hati pula. Kami hanya pasrah tak kuasa menahan
derita.Sinar surya telah menjemput kami, kami segera menggendong Mukhlis, dan
mendudukkannya di atas kursi roda yang sudah disiapkan perawat puskesmas. Kami
keluar puskesmas dengan perasaan yang sama. Musibah yang dialami Mukhlis
membuat kami terpukul. Kali ini, kami tak akan lagi duduk di atas Pohon Akasia,
pohon impian kami untuk melambaikan tangan ke arah matahari senja yang setiap
sore akan hilang. Kini, kami hanya dapat duduk di antara ilalang-ilalang yang
menjulang tinggi pada wajarnya. Dengan kejadian yang kami terima, tak menjadikan
semangat kami pudar. Aku, Mukhlis, Suryo, Garuda, Jundi, Puri, Beta, dan Dian masih
tetap meneruskan impian dan keinginan kami, kami akan menerjang kegelapan,
kebodohan, dan kesengsaraan. Bersama. Dengan fokus terhadap pelajaran sekolah
kami, kami akan mewujudkan semua. Kami akan menjaring matahari. Dan padamu
matahari, salam sajak pagi sang pelangi sejati dari sahabat tercintaku yang masih
ada dalam dekap cinta menyayat luka, Mukhlis. Dan perlu kalian tahu, semua ini
akan mengalir begitu saja
1.

Judul : Menjaring Matahari

2.

Unsur Intrinsik :

a.

Tema : Persahabatan

b.

Setting / Latar :

Tempat :

1.

Di atas pohon akasia. Terbukti dalam kalimat Kini aku, Puri, Dian, Beta,

Garuda, Mukhlis, Jundi, dan Suryo sedang duduk di atas pohon akasia, pohon
impian kami.
2.

Panti asuhan. Terbukti dalam kalimat Kami memutuskan untuk pulang

ke panti asuhan. Kami tinggal di panti asuhan milik Bu Kades, kami disediakan
tempat tidur yang buat kami itu sudah cukup layak, serta makanan yang cukup
untuk setiap harinya.
3.

Jalan raya. Terbukti dalam kalimat Saat tengah di jalan, aku dan ketujuh

sabahatku bercerita tak henti-hentinya. Tiba-tiba yang membuatku terkejut


adalah saat Mukhlis hendak menyebrang.
4.

Puskesmas. Terbukti dalam kalimat Hingga beberapa menit kemudian

kami tiba di depan pintu puskesmas. Dari dalam puskesmas, keluarlah empat
perawat laki-laki menuju kami.
-

Waktu:
1. Pagi hari. Terbukti dalam kalimat Pagi ini kami terbangun. Melihat
Mukhlis yang masih belum sadar.

2. Siang hari. Terbukti dalam kalimat Keringat yang meluap dari kening,
karena sinar terik matahari tak lagi kami hiraukan. Kami hanya bekerja
bekerja, dan bekerja.
3. Sore hari. Terbukti dalam kalimat Senja ini begitu memukau rupanya, sinar
mentari yang menghiasi Desa Segea, Maluku Utara. Telah tampak, kabut alam
yang melekat pada langit yang berhasil berubah menjadi jingga.
4. Malam hari. Terbukti dalam kalimat Malam ini kami temani lagi Mukhlis.
Hingga kami tertidur lelap ditemani rembulan emas.Suasana :1. Bahagia, yaitu saat Erna, Puri, Dian, Beta, Garuda, Mukhlis,
Jundi, dan Suryo sedang bersendau gurau dan membicarakan tentang mimpi
mereka masing-masing di bawah pohon akasia sambil menikmati indahnya
suasana senja.
Suasana:
1. Sedih, yaitu saat Erna, Puri, Dian, Beta, Garuda, Jundi, dan Suryo melihat
Mukhlis pingsan serta dipenuhi luka karena tertabrak truk dan kakinya patah.
2. Menegangkan, yaitu saat mereka berlari membawa Mukhlis ke Puskesmas,
mereka takut jika nyawa Mukhlis tidak tertolong
3. Bersemangat, yaitu saat Erna, Puri, Dian, Beta, Garuda, Jundi, dan Suryo
bekerja di jalanan demi membayar uang pengobatan Mukhlis yang sedang
sakit. Mereka rela lelah menjajakan koran dan mengemis di jalanan demi
temannya selamat.
Alur : Maju. Di dalam cerpen ini diceritakan secara urut dari perkenalan,
konflik, hingga penyelesaian. Tidak ada flashback maupun menceritakan masa
lalu. Sehingga di dalam cerpen ini mengandung alur maju.
Nilai :1. Kami selalu bersama, jua membangun persahabatan yang akan
terpahat selamanya di benakku. Berdasarkan cuplikan tersebut, cerpen ini
mengandung nilai persahabatan dan kebersamaan. Sama hal nya di dunia,
setiap orang ingin membangun sebuah persahabatan yang kokoh. Tetapi, juga
masih ada yang belum mengerti akan pentingnya persahabatan, sehingga
menjadikan mereka hidup individu tanpa mengerti orang lain.

2. Aku dan ketujuh sahabatku akan mengejarnya, generasi kamilah yang akan
membuat Negeri kami berubah lebih berarti. Dari cuplikan tersebut, cerpen
tersebut mengandung nilai semangat juang dalam meraih cita-cita. Pada
kenyataan di dunia, setiap orang pasti memiliki cita-cita dan harapan yang
tinggi, namun tidak semua dari mereka dapat meraihnya karena kurangnya
perjuangan.
3. Pada dasarnya, kami terlahir dengan nasib yang sama, yaitu yatim piatu. Di
cerpen tersebut digambarkan tentang nilai kehidupan. Pada kenyataannya di
dunia, banyak manusia juga bernasib sama seperti dengan yang digambarkan
di cerpen, namun mereka hanya pasrah saja, tidak ada perjuangan untuk
bangkit. Tapi sebenarnya, kekurangan itu tidak akan menghambat kesuksesan.

4. Tiba-tiba yang membuatku terkejut adalah saat Mukhlis hendak menyebrang.


Entah bagaimana kejadiannya, truk yang melaju kencang dari arah yang sama
menabrak

Mukhlis.

Dari

cuplikan

tersebut,

digambarkan

tentang

sifat

manusia yang kurang hati-hati dan terburu-buru. Sama hal nya di dunia,
manusia sering melakukan hal yang terburu-buru, ceroboh, dan tidak hati-hati
sama sekali. Banyak dari mereka tidak berfikir sebelum bertindak serta tidak
memikirkan akibat dari kecerobohan itu. Sehingga, sikap ketidak hati-hatian
masih menjadi hal yang sering dijumpai.
5. Akhirnya, aku dan teman-temanku ke luar area puskesmas. Mulai bekerja
mencari uang untuk membayar pengobatan Mukhlis. Cerpen tersebut juga
mengandung nilai pengorbanan. Pada kenyataan di dunia, setiap orang pasti
akan rela berjuang demi keselamatan orang lain. Mereka tidak akan bisa hidup
sendiri.
e.
2.

Amanat :1.
Gapailah

Syukuri dengan apa yang kita miliki.

cita-cita

setinggi

mungkin,

tidak

hanya

setinggi

matahari

saja.3.

Jangan menyerah dan jangan mudah putus asa untuk menjadi maju,

terus

berusaha

membutuhkan.5.
berguna.6.

dan

berdoa.4.

Manfaatkan

segala

Jangan

hanya

menghambat kemajuan.7.
ada usaha.8.

melihat

Tolonglah
kesempatan

kekurangan

saja,

sahabat
untuk
itu

hal
hanya

yang
yang
akan

Menjalani kehidupan di dunia itu mudah, asalkan

Segala masalah pasti akan ada jalan keluarnya.

Unsur Ekstrinsik :
a. Latar Kepengarangan Penulis : - (Tidak dituliskan)
b. Keyakinan Penulis : Penulis mengangkat cerita ini didasarkan atas
peristiwa yang pernah ia lihat, sehingga cerita tidak jauh berbeda dari
kenyataan yang ada dalam kehidupan
c. Masyarakat Pembaca : Sebagian masyarakat masih ada yang memiliki
keadaan sama seperti yang diceritakan pada cerpen tersebut. Maka, cerpen ini
mengangkat cerita tentang gambaran kehidupan yang mereka alami.

Anda mungkin juga menyukai