Anda di halaman 1dari 9

Ibu Untuk anak kita by Mohammad Fauzil Adhim

Kunci untuk melahirkan anak-anak yang tajam pikirannya, jernih hatinya dan kuat
jiwanya adalah mencintai ibunya sepenuh hati. Kita berikan hati kita dan waktu k
ita untuk menyemai cinta di hatinya, sehingga menguatkan semangatnya mendidik an
ak-anak yang dilahirkannya dengan pendidikan yang terbaik. Keinginan besar saja
kadang tak cukup untuk membuat seorang ibu senantiasa memberikan senyumnya kepad
a anak. Perlu penopang berupa cinta yang tulus dari suaminya agar keinginan besa
r yang mulia itu tetap kokoh.
Uang yang berlimpah saja tidak cukup. Saat kita serba kekurangan, uang memang bi
sa memberi kebahagiaan yang sangat besar. Lebih-lebih ketika perut dililit rasa
lapar, sementara tangis anak-anak yang menginginkan mainan tak bisa kita redakan
karena tak ada uang. Tetapi ketika Allah telah memberi kita kecukupan rezeki, p
ermata yang terbaik pun tidak cukup untuk menunjukkan cinta kita kepada istri. A
da yang lebih berharga daripada ruby atau berlian yang paling jernih. Ada yang l
ebih membahagiakan daripada sutera yang paling halus atau jam tangan paling eleg
an.
Apa itu? Waktu kita dan perhatian kita.
Kita punya waktu setiap hari. Tidak ada perbedaan sedikit pun antara waktu kita
dan waktu yang dimiliki orang-orang sibuk di seluruh dunia. Kita juga mempunyai
waktu luang yang tidak sedikit. Hanya saja, kerapkali kita tidak menyadari waktu
luang itu. Di pesawat misalnya, kita punya waktu luang yang sangat banyak untuk
membaca. Tetapi karena tidak kita sadari dan akhirnya tidak kita manfaatkan deng
an baik beberapa tugas yang seharusnya bisa kita selesaikan di perjalanan, akhirny
a mengambil hak istri dan anak-anak kita. Waktu yang seharusnya menjadi saat-saa
t yang membahagiakan mereka, kita ambil untuk urusan yang sebenarnya bisa kita s
elesaikan di luar rumah.
Bagaimana kita menghabiskan waktu bersama istri di rumah juga sangat berpengaruh
terhadap perasaannya. Satu jam bersama istri karena kita tidak punya kesibukan
di luar, berbeda sekali dengan satu jam yang memang secara khusus kita sisihkan.
Bukan kita sisakan. Menyisihkan waktu satu jam khusus untuknya akan membuat ia
merasa lebih kita cintai. Ia merasa istimewa. Tetapi dua jam waktu sisa, akan la
in artinya.
Sayangnya, istri kita seringkali hanya mendapatkan waktu-waktu sisa dan perhatia
n yang juga hanya sisa-sisa. Atau, kadang justru bukan perhatian baginya, melain
kan kitalah yang meminta perhatian darinya untuk menghapus penat dan lelah kita.
Kita mendekat kepadanya hanya karena kita berhasrat untuk menuntaskan gejolak s
yahwat yang sudah begitu kuat. Setelah itu ia harus menahan dongkol mendengar su
ara kita mendengkur.
Astaghfirullahal

adziim....

Lalu atas dasar apa kita merasa telah menjadi suami yang baik baginya? Atas dasa
r apa kita merasa menjadi bapak yang baik, sedangkan kunci pembuka yang pertama,
yakni cinta yang tulus bagi ibu anak-anak kita tidak ada dalam diri kita.
Sesungguhnya, kita punya waktu yang banyak setiap hari. Yang tidak kita punya ad
alah kesediaan untuk meluangkan waktu secara sengaja bagi istri kita.
Waktu untuk apa? Waktu untuk bersamanya. Bukankah kita menikah karena ingin hidu
p bersama mewujudkan cita-cita besar yang sama? Bukankah kita menikah karena men
ginginkan kebersamaan, sehingga dengan itu kita bekerja sama membangun rumah-tan
gga yang di dalamnya penuh cinta dan barakah? Bukan kita menikah karena ada keba
ikan yang hendak kita wujudkan melalui kerja-sama yang indah?
Tetapi...

Begitu menikah, kita sering lupa. Alih-alih kerja-sama, kita justru sama-sama ke
rja dan sama-sama menomor satukan urusan pekerjaan di atas segala-galanya. Kita
lupa menempatkan urusan pada tempatnya yang pas, sehingga untuk bertemu dan berbi
ncang santai dengan istri pun harus menunggu saat sakit datang. Itu pun terkadan
g tak tersedia banyak waktu, sebab bertumpuk urusan sudah menunggu di benak kita
.
Banyak suami-istri yang tidak punya waktu untuk ngobrol ringan berdua, tetapi sa
nggup menghabiskan waktu berjam-jam di depan TV. Seakan-akan mereka sedang menik
mati kebersamaan, padahal yang kerapkali terjadi sesungguhnya mereka sedang menc
iptakan ke-sendirian bersama-sama. Secara fisik mereka berdekatan, tetapi pikira
n mereka sibuk sendiri-sendiri.
Tentu saja bukan berarti tak ada tempat bagi suami istri untuk melihat tayangan
bergizi, dari TV atau komputer (meski saya dan istri memilih tidak ada TV di rum
ah). Tetapi ketika suami-istri telah terbiasa menenggelamkan diri dengan tayanga
n TV untuk menghapus penat, pada akhirnya bisa terjadi ada satu titik ketika hat
i tak lagi saling merindu saat tak bertemu berminggu-minggu. Ada pertemuan, tapi
tak ada kehangatan. Ada perjumpaan, tapi tak ada kemesraan. Bahkan percintaan p
un barangkali tanpa cinta, sebab untuk tetap bersemi, cinta memerlukan kesediaan
untuk berbagi waktu dan perhatian.
Ada beberapa hal yang bisa kita kita lakukan untuk menyemai cinta agar bersemi i
ndah. Kita tidak memperbincangkannya saat ini. Secara sederhana, jalan untuk men
yemai cinta itu terutama terletak pada bagaimana kita menggunakan telinga dan li
san kita dengan bijak terhadap istri atau suami kita. Inilah kekuatan besar yang
kerap kali diabaikan. Tampaknya sepele, tetapi akibatnya bisa mengejutkan.
Tentang bagaimana menyemai cinta di rumah kita, silakan baca kembali Agar Cinta
Bersemi Indah (Gema Insani Press, 2002). Selebihnya, di atas cara-cara menyemai
cinta, yang paling pokok adalah kesediaan kita untuk meluangkan waktu dan member
i perhatian. Tidak ada pendekatan yang efektif jika kita tak bersedia meluangkan
waktu untuk melakukannya.
Nah.
Jika istri merasa dicintai dan diperhatikan, insya-Allah ia akan memiliki kesedi
aan untuk mendengar dan mengasuh anak-anak dengan lebih baik. Ia bisa memberi per
hatian yang sempurna karena kebutuhannya untuk memperoleh perhatian dari suami t
elah tercukupi. Ia bisa memberikan waktunya secara total bagi anak-anak karena s
etiap saat ia mempunyai kesempatan untuk mereguk cinta bersama suami. Bukankah t
ulusnya cinta justru tampak dari kesediaan kita untuk berbagi waktu berbagi ceri
ta pada saat tidak sedang bercinta?
Kerapkali yang membuat seorang ibu kehilangan rasa sabarnya adalah tidak adanya
kesediaan suami untuk mendengar cerita-ceritanya tentang betapa hebohnya ia meng
hadapi anak-anak hari ini. Tak banyak yang diharapkan istri. Ia hanya berharap s
uaminya mau mendengar dengan sungguh-sungguh cerita tentang anaknya tidak terkecu
ali tentang bagaimana seriusnya ia mengasuh anak dan itu sudah cukup menjadi tanda c
inta. Kadang hanya dengan kesediaan kita meluangkan waktu untuk berbincang berdu
a, rasa capek menghadapi anak seharian serasa hilang begitu saja. Seakan-akan tu
mpukan pekerjaan dan hingar bingar tingkah anak sedari pagi hingga malam, tak be
rbekas sedikit pun di wajahnya.
Alhasil, kesediaan untuk secara sengaja menyisihkan waktu bagi istri tidak saja
membuat pernikahan lebih terasa maknanya, lebih dari itu merupakan hadiah terbaik
buat anak. Perhatian yang tulus membuat kemesraan bertambah-tambah. Pada saat y
ang sama, menjadikan ia memiliki energi yang lebih besar untuk sabar dalam menga
suh, mendidik dan menemani anak.

Ya... ya... ya..., cintailah istri Anda sepenuh hati agar ia bisa menjadi ibu ya
ng paling ikhlas mendidik anak-anaknya dengan cinta dan perhatian. Semoga!
Airmata Ibu Kita
Kalau tak pernah ada usapan sayang di waktu kecil, mungkin hari ini kita tak pun
ya kekuatan jiwa untuk melangkah. Kalau tak ada kecupan lembut dari para bunda u
ntuk anak-anaknya, mungkin tak akan lahir kesejukan hati untuk menata hidup deng
an lebih baik. Tulang-tulang kita akan rapuh, jiwa kita tak mampu berdiri kokoh
menghadapi tantangan hidup, dan dada kita sempit oleh sesaknya persoalan. Di saa
t kita masih tak berdaya sama sekali, setetes susu ibu adalah karunia yang mengu
atkan tubuh kita sekaligus memberi ketenteraman pada jiwa.
Satu malam kasih-sayang seorang ibu kepada anaknya, tak akan dapat disamai oleh
tulusnya perhatian seorang bapak yang sangat sayang kepada anaknya. Sekuat apa p
un cinta seorang bapak, tak akan dapat menggantikan tugas seorang ibu dalam mera
wat anaknya. Sebab, ia tak hanya memberi seteguk minuman untuk menguatkan badan.
Ia juga memberi kasih-sayang. Ia juga meneteskan keikhlasan dan memberi dekapan
yang membangkitkan pengalaman batin serta rasa aman bagi anak-anak yang disusui
nya. Semakin besar ketulusan hati dan pengharapan jiwa seorang ibu untuk kebaika
n anaknya, semakin punya makna setiap tetes ASI susu dipancarkannya untuk hati,
jiwa, otak, dan tubuh anak.
Begitu berharganya begitu tingginya nilai kasih-sayang seorang ibu, sampai-sampai
Rasulullah Saw menempatkan ibu sebagai orang pertama yang paling layak dihormat
i. Ingatlah, ketika Imam Bukhari meriwayatkan dalam sebuah hadis:
Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah Saw dan bertanya, Wahai Rasul Allah, s
iapakah manusia yang paling berhak aku hormati?
Rasulullah Saw menjawab,
Orang itu berkata,

Ibumu.

Siapa lagi?

Rasulullah Saw berkata,

Ibumu.

Orang itu pun bertanya lagi,


Rasulullah Saw menjawab,

Ibumu.

Lalu orang itu berkata lagi,


Rasulullah Saw berkata,

Lalu siapa lagi?

Siapa berikutnya?

Bapakmu. (H.r. Bukhari)

Tak ada yang sanggup kita lakukan untuk membalas sebagian saja dari kasih-sayang
mereka kepada kita. Apalagi, mencintai dan berbuat baik kepada seorang ibu tak
sekadar untuk balas jasa. Ada ibadah di dalamnya. Tidak sempurna ketaatan kepada
Allah tanpa bakti kepada ibu. Seandainya ada seorang Muslim yang ibunya musyrik
dan bahkan kafir sekalipun, ia masih tetap terkena kewajiban untuk berbuat baik
dan menyambung tali silaturahmi.
Dari Asma` binti Abu Bakar disebutkan, Ibuku datang kepadaku. Dia dalam keadaan m
usyrik dengan jaminan kaum Quraisy saat Rasulullah Saw membuat perjanjian dengan
mereka. Kemudian aku meminta nasihat kepada Rasulullah Saw
Aku berkata, Ibuku telah datang kepadaku sedangkan ia betul-betul menginginkan ak
u dapat berbakti kepadanya. Apakah aku harus menyambung silaturahmi dengan ibuku
?

Rasulullah Saw menjawab, Ya, sambunglah tali silaturahmi dengan ibumu.


ri, Muslim, dan Abu Dawud)

(H.r. Bukha

Terkadang, menyenangkan orangtua khususnya ibu lebih diutamakan daripada pergi berji
had untuk menegakkan agama Allah. Padahal, berperang di jalan Allah merupakan ke
wajiban yang paling tinggi. Tidak ada yang lebih tinggi nilainya kecuali mati sy
ahid karena berjihad fii sabilillah. Ia akan dinanti-nanti oleh surga dan masuk
ke sana tanpa hisab.
Sekalipun demikian, kadang berbakti kepada orangtua harus didahulukan karena ses
ungguhnya surga itu ada di telapak kaki ibu. Ingatlah ketika an-Nasa i meriwayatka
n sebuah hadis. Jahimah mendatangi Nabi Saw dan berkata, Wahai Rasul Allah, aku i
ngin ikut berperang dan aku datang meminta nasihat kepadamu.
Rasulullah Saw berkata, Apakah kamu masih memiliki ibu?
Ya,

jawabnya.

Rasulullah Saw berkata, Berbuat baiklah kepadanya karena surga berada di kedua te
lapak kaki ibu. (H.r. an-Nasa i)
Di dalam hadis lain dituturkan:
Dari Abdullah ibnu Umar, seorang laki-laki mendatangi Nabi Saw kemudian berkata
kepada beliau, Saat aku berbaiat kepadamu untuk hijrah, aku tinggalkan kedua oran
gtua dalam keadaan sedang menangis.
Rasulullah Saw berkata, Kembalilah kepada kedua orangtuamu dan perlakukanlah mere
ka berdua hingga tertawa gembira sebagaimana kamu telah membuat mereka menangis.
(H.r. an-Nasa i)
Ibu, Ibu dan Ibu

1 Vote
Sumber: cerpennyaakido.files.wordpress.com (dengan sedikit editing)
Sumber: cerpennyaakido.files.wordpress.com (dengan sedikit editing)
Ibuku selalu membangunganku sebelum Subuh, dan jarak waktu ke Subuh itu tidaklah
terlalu dekat, lalu ia menghangatkan air untukku di musim dingin, memakaikanku p
akaian, dan kemudian kami shalat sesuka kami (shalat tahajjud). Setelah itu kami
berangkat ke masjid dan ibuku mengenakan khimar untuk menutupi wajahnya.
{Imam Ahmad ibn Hanbal}
***
Ungkapan Imam Ahmad ibn Hanbal rahimahullaah mengenai sosok ibunya ini, saya kut
ip dari buku Aitam walakin Uzhama karya Dr. Abdullah al-Luhaidan dan Dr. Abdullah al
-Muthawwi . Ya, tentang sosok ibu. Tentu, kita semua pun mempunyai ungkapan khusus
untuk mengungkapkan sosok ibu kita masing-masing. Ya, tentang rasa cintanya yan
g tulus tanpa syarat kepada anak-anaknya. Dan tentang cintanya yang tak berjeda,
sepanjang hayat. Berbeda dengan cinta seorang anak kepada ibunya, kadang berjed
a.

Begitu mulianya sosok ibu, sehingga Rasulullah shallallaahu alahi wa sallam pun b
ersabda, bahwa surga berada di bawah kedua telapak kakinya.
Dari Mu awiyah ibn Jahimah as-Salami, bahwasanya Jahimah pernah datang menemui Nab
i shallallaahu alahi wa sallam lalu berkata, Wahai Rasulullah, aku ingin pergi jih
ad, dan sungguh aku datang kepadamu untuk meminta pendapatmu.
Beliau berkata,

Apakah engkau masih mempunyai ibu? Ia menjawab,

Ya, masih.

Beliau bersabda, Hendaklah engkau tetap berbakti kepadanya, karena sesungguhnya s


urga itu di bawah kedua kakinya. {H.r. An-Nasa i dan Ath-Thabrani, hasan menurut Al
-Albani}
Sudahkah kita berbakti dengan sebaik-baiknya kepada ibu kita? Ah, saya sendiri m
asih merasa belum maksimal. Hanya kepada Allah Azza wa Jalla kita memohon, semoga
kita dimampukan untuk berbakti dengan sebaik-baiknya. Setulus cinta.
Dan kita juga harus menyadari, bahwasanya, bagaimanapun kondisi kita hari ini, i
anya tak lepas dari betapa tulusnya cinta ibu kita. Yang dengannya kita dirawat
dan dibesarkan. Tentang ketulusan seorang ibu, ada sebuah ungkapan yang indah da
ri Ustadz Mohammad Fauzil Adhim yang ditulis dalam bukunya, Mencari Ketenangan d
i Tengah Kesibukan. Tidaklah kita bisa berdiri dengan tegak, ungkap beliau dalam b
uku tersebut, bernafas dengan baik dan memiliki jiwa yang kokoh, kecuali karena t
ulusnya cinta ibu kita. Kalaupun terkadang harus ada air mata yang jatuh saat me
ngasuh kita di waktu kecil, itu bukan karena ia tidak ikhlas mengasuh. Tidak. Te
tapi air mata itu kadang jatuh justru untuk mempertahankan keikhlasan. Agar pena
tnya berjaga di waktu malam tidak membuatnya merutuki kita dengan keluh kesah pa
njang.
***
Demi Allah, tulis Asy-Syahid Hasan al-Banna rahimahullaah dalam sebuah suratnya
ingin sekali melewati waktu panjang menemani dan ikut merawat ibu yang masih da
lam kondisi sakit. Aku selalu berfikir bagaimana aku bisa menjadikan dirinya ten
ang dan nyaman. Bagaimana aku bisa membahagiakan ibu? Bagaimana aku bisa menjadi
kannya senang dan bangga. Apakah Allah akan mengabulkan keinginanku itu?

aku

Ibuku, kata Jamal al-Banna (adik Hasan al-Banna rahimahullaah), semoga Allah Subhan
ahu wa Ta ala merahmatinya, konsisten berpegang pada kebenaran dan memiliki keprib
adian yang kuat serta cerdas. Jika sudah menetapkan suatu keputusan, sulit sekal
i ia akan mundur dari keputusan itu.
Seperti itulah ungkapan cinta seorang anak kepada ibunya, seraya berharap ibunya
selalu berada dibawah naungan rahmatNya. Adakah kita sudah melakukannya?
Sejenak mari kita hayati, sebuah nasihat dari Al-Ustadz Dr. Ali Abdul Halim Mahmu
d dalam kitab fiqihnya, Al-Mar ah al-Muslimah wa Fiqhud-Da wah Ilallaah.
Anak, kata beliau menasihatkan, harus menghormati sepenuhnya kedua ibu-bapak, tidak
menolak permintaannya, bahkan sesegera mungkin melaksanakan perintahnya sehingg
a membuat keduanya senang dan ridha.
Selanjutnya, Anak mendoakan kedua ibu-bapak dan memintakan kasih sayang Allah unt
uk keduanya, terutama ketika keduanya telah meninggal dunia.
Ibu, betapa besarnya cintamu kepadaku. Mungkin kata inilah yang ingin disampaika
n oleh Mbak Monika Retna Asih Dewi Astuti dalam puisi bertajuk Kenanganku Bersama
Ibu yang di muatnya dalam buku yang ditulis bersama suaminya (Solikhin Abu Izzudd
in), The Great Power of Mother.

Dalam duka nestapa


Dalam perihnya kesendirian
Adakah yang sanggup menanggungnya?
Adapun engkau wahai ibu
Ketegaranmu
Kesabaranmu
Ketabahanmu
Lebih dari segalanya
***
Selain hadits bahwa surga berada di bawah kedua telapak kaki ibu, Rasulullah sha
llallaahu alahi wa sallam pun bersabda, bahwa ibu adalah sosok yang lebih berhak
untuk kita berbakti kepadanya. Ya, dengan sebaik-baik bakti tentunya. Dan, meman
g seperti inilah cara Islam memuliakan sosok seorang ibu.
Dari Abu Hurairah radhiyallaahu anhu, seorang laki-laki berkata,
, siapakah yang lebih berhak aku berbakti kepadanya dengan baik?
Rasulullah berkata,
Dia berkata,
Ibumu.

Wahai Rasul Allah

Ibumu.

Lalu siapa lagi?

Kata Rasulullah.

Dia berkata,

Kemudian siapa?

Rasulullah menjawab,
Dia berkata,

Ibumu.

Lantas siapa lagi?

Rasulullah shallallaahu
im}

alahi wa sallam menjawab, Ayahmu.

{H.r. Al-Bukhari dan Musl

Ibu, ibu dan ibu. Lalu ayah. Begitulah sabda sang Nabi, yang mengisyaratkan beta
pa mulianya seorang ibu.
Dalam biografinya, Abdullah ibn Aun rahimahullaah sebagaimana diungkapkan oleh Ab
u Ishaq ar-Riqqi al-Hambali rahimahullaah, Pernah suatu ketika ia dipanggil oleh
ibunya. Tanpa disadari dia mengeraskan suara melebihi suara ibunya. Karena hal t
ersebut itulah, maka dia menghukum dirinya dengan membebaskan dua budak. Itulah s
ebentuk tanda penghormatan dan bakti seorang anak kepada ibunya. Bagaimana denga
n kita?
Selanjutnya, ada sebuah teladan dari Mush ab ibn Umair radhiyallaahu anhu
inti Abu Bakar radhiyallaahu anha yang ibunya masih dalam keadaan musyrik
ir. Ya, dari mereka kita belajar bagaimana seharusnya kita berbakti kepada
bu kita, sekalipun berbeda aqidah. Subhanallaah, betapa agungnya agama ini
iakan sosok seorang ibu.

dan Asma b
dan kaf
ibu-i
memul

Mari kita renungi kisah-kisah agung ini. Dan semoga, dari kisah-kisah mereka, ki
ta bisa meneladani akhlak-akhlaknya yang mencahaya.
Suatu ketika, sang ibu mengusir Mush ab ibn Umair radhiyallaahu
sambil berkata, Pergilah sesuka hatimu! Aku bukan ibumu lagi!

anhu dari rumahnya

Maka Mush ab pun menghampiri ibunya sambil berkata, Wahai bunda! Telah ananda sampa
ikan nasihat kepada Bunda, dan ananda menaruh kasihan kepada Bunda. Karena itu,
saksikanlah bahwa tiada Tuhan melainkan Allah, dan Muhammad adalah hamba dan utu

sanNya.
Asma binti Abu Bakar radhiyallaahu anha berkata, ibuku datang (ketika masih musyri
k, pada saat Perjanjian Hudaibiyah), maka aku datang kepada Rasul dan berkata, Wa
hai Rasulullah sesungguhnya ibuku datang karena senang. Apakah aku boleh berbuat
baik kepadanya?
Nabi bersabda, Ya, berbuat baiklah kepada ibumu.
runkan ayat kedelapan dari surat Al-Mumtahanah,

Maka, Allah

Azza wa Jalla pun menu

Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang
tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halam
anmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. {Q.s. Al-Mumtah
anah [60]: 8}
Sosoknya memang terlalu mulia. Sehingga, ketika kita berinteraksi dengan sosok y
ang bernama ibu , betapa besar pengaruhnya terhadap diri kita masing-masing. Dan, b
iarkanlah dua kisah berikut yang menggambarkannya. (Saya ambil dari buku The Gre
at Power of Mother karya Solikhin Abu Izzuddin dan Dewi Astuti).
Suatu ketika, seorang wanita Barat merebahkan dirinya di kemah Sultan Shalahuddi
n al-Ayyubi rahimahullaah sambil menangis. Wanita Barat tersebut meratap dan men
gadu kepadanya bahwa dua orang prajuritnya menculik anaknya. Sultan turut menang
is dan segera mengirimkan orang-orangnya untuk mencari anak itu hingga ditemukan
. Setelah anaknya diserahkan, wanita itu dipulangkan ke markasnya oleh Shalahudd
in dengan dikawal pasukannya dalam keadaan aman dan tenang.
Kisah selanjutnya datang dari seorang Abdul Qadir al-Jailani rahimahullaah. Suat
u ketika, saat masih remaja, beliau berkelana. Di tengah perjalanan ia dihadang
sekumpulan perampok. Para perampok itu menggertaknya. Mereka hendak merampas har
ta miliknya. Karena memang itulah tugas para perampok.
Nah, saat digertak oleh gerombolan perampok itu remaja ini bergeming, sama sekal
i tak merinding. Tegak berdiri gagah berani. Menjawab dengan mantap dan penuh pe
rcaya diri.
Aku telah berjanji pada ibuku untuk selalu berkata jujur. Aku tak mau menghianati
janjiku pada ibuku, katanya kepada ketua divisi perampokan itu. Aku membawa uang
sebanyak 40 dinar.
Bagaimana reaksi ketua divisi perampok itu? Mendengar jawaban jujur dan polos re
maja ini, sang kepala divisi perampok pun menangis. Ia mengatakan, Engkau takut m
enghianati janjimu pada ibumu? Tetapi mengapa aku tidak takut mengkhianati janji
ku pada Allah?
***
Aku memohon kepada Allah agar memilihkan baginya apa yang terbaik bagi dunia dan
akhiratnya. Sesungguhnya Ar-Rabi ah memilih untuk terus menuntut ilmu, dia berteka
d senantiasa belajar dan mengajar selama hidupnya. Inilah ungkapan seorang ibu, s
ekaligus do a kepada anaknya. Dan kini, kita pun tahu Ar-Rabi ah ar-Ra yi rahimahullaa
h menjadi ulama Madinah dari kalangan tabi in saat usianya masih muda. Yang majeli
snya dihadiri oleh Malik ibn Anas, Abu Hanifah an-Nu man, Yahya ibn Sa id al-Anshari
, Sufyan ats-Tsauri, Abdurrahman ibn Amru al-Auza i, Laits ibn Sa id dan lain-lain.
Ibu. Oh, ibu. Doanya mustajab. Mari meraih ridhaNya, dengan berbakti kepadanya s
epenuh cinta. Semoga Allah Azza wa Jalla memudahkan dan memampukan kita. Allaahum
ma aamiin.
***

Oleh: Setiawan as-Sasaki


Jum at, 16 Shafar 1435 H/ 19 Desember 2013
Tulisan ini terselesaikan ba da Zhuhur
Di rumah tercinta, Tanjung, KLU
***
Sumber Inspirasi:
Dr. Abdurrahman Ra fat Basya. 2012 (Cet. 13). Mereka Adalah Para Tabi in. Solo:
At-Tibyan (Judul asli: Shuwaru min Hayati at-Tabi in)
Dr. Abdullah al-Luhaidan dan Dr. Abdullah al-Muthawwi . 2013 (Cet. 1). Mereka Ya
tim Tapi Jadi Orang Besar. Solo: Kiswah Media (Judul asli: Aitam walakin Uzhama )
Mohammad Fauzil Adhim. 2012 (Cet. 2). Mencari Ketenangan di Tengah Kesibukan
. Yogyakarta: Pro-U Media
Muhammad Lili Nur Aulia. 2010 (Cet. 1). Persembahan Cinta Istri Hasan Al-Ban
na. Jakarta: Tarbawi Press
Solikhin Abu Izzuddin dan Dewi Astuti. 2012 (Cet. 6). The Great Power of Mot
her. Yogyakarta: Pro-U Media
Dr. Ali Abdul Halim Mahmud. 2004 (Cet. 2). Fiqih Dakwah Muslimah: Buku Pintar
Aktivis Muslimah. Jakarta: Robbani Press (Judul asli: Al-Mar ah al-Muslimah wa Fi
qhud-Da wah Ilallaah)
Majalah Adz-Dzakiirah Vol. 7 No. 9 Edisi 51 Th. 1430/2009
Ibu Bekerja, Anak Bermasalah?
Sudah lama berlalu, sewaktu anak itu baru bersekolah di sekolah yang sama dengan
anak saya. Ketika ada acara makan sehat, anak itu mendadak tantrum. Dia menangi
s terus menerus, tak mau berhenti, dan memukuli ibunya. Padahal, ibunya sudah me
luangkan waktu untuk hadir ke acara makan sehat, sebulan sekali, yang memang ora
ng tua/ wali juga hadir. Kebetulan memang hari kejepit, jadi ibunya memutuskan u
ntuk tidak ke kantor saja dan menemani anaknya. Biasanya, anaknya ditunggui oleh
pembantu/ nenek/ kakeknya.
"Ayo jangan nangis... itu Bunda udah bela-belain nungguin lho...." kata guru ana
k-anak. Anak itu tetap menangis, memukul, berteriak-teriak, dan bundanya sama se
kali tak bisa menenangkannya. Penyebabnya sepele. Anak itu hanya menginginkan su
su kotak milik temannya. Yang namanya anak kecil, kalau cuma ada satu, tentu tak
akan memberikan miliknya kepada orang lain, apalagi itu susu kotak: makanan fav
orit anak-anak. Saya hanya memperhatikan kejadian itu, bagaimana sang bunda kewa
lahan menghadapi anaknya yang tak mempan dengan ucapan dan sentuhan bundanya.
Sekarang, ada kejadian lagi. Walaupun masalahnya bukan tantrum. Satu semester ya
ng lalu, anak itu diantar ke sekolah oleh pembantunya, dan termasuk anak yang sa
ntun dan tertib. Setelah lebaran, pembantunya tidak datang lagi. Setiap hari, an
ak itu diantar oleh ayahnya, lalu ditinggal begitu saja karena ayahnya meneruska
n berangkat ke kantor. Ibunya hanya pernah sekali datang, sewaktu acara halal bi
halal, karena masih cuti. Nah, selama mulai bersekolah ini, anak itu menunjukka
n tanda-tanda bermasalah.
Masalah pertama adalah, GALAK. Dia suka mencakar, menjambak, dan menakut-nakuti
teman-temannya. Bahkan, bayi saya (yang selalu saya ajak ke sekolah mengantar ka
kaknya), terkena cakarannya. Saya baru sadar setelah sampai di rumah kok tangan
bayi saya merah-merah. Saya ingat anak itu mencengkeram tangan bayi saya. Semula
saya pikir anak itu ingin berteman dengan bayi saya, dan mungkin anak itu kesep
ian.
Kedua, tidak mau belajar. Dia sama sekali tak mau mendengarkan guru. Asyik mengg
anggu anak yang lain, lalu menyendiri di pojok. Ironisnya, dia bahkan belum bis
a memegang pensil! Walhasil, kalau ada pelajaran menulis, dia hanya berjalan-jal

an, tengok kanan kiri. Anak-anak yang lain, termasuk anak saya, di usia yang sam
a, sudah bisa menulis, setidaknya mencoret-coret kertas, sedangkan dia memegang
pensil pun tak bisa. Jangan berharap guru bisa total mengajarkannya menulis. Yan
g saya lihat, ibu guru sudah kewalahan mengajarkannya, dan di kelas kan ada bany
ak siswa lain yang membutuhkan perhatian. Guru cuma satu. Masa hanya satu anak
itu yang diperhatikan? Jadi, kalau mau perkembangan anak tidak terlambat, seharu
snya orang tua ikut aktif mengajarkan anaknya.
Lalu, apa hubungannya ibu yang bekerja dengan anak-anak yang bermasalah itu? Apa
kah anak-anak yang ibunya tidak bekerja, tidak bermasalah? Well, anak saya, Sidi
q, juga punya masalah. Dia susah bersosialisasi saking dekatnya dengan saya. Dia
selalu ingin ditemani oleh saya, sehingga saya terpaksa harus masuk ke dalam ke
las. Begitu juga dengan tiga anak lain yang ibunya di rumah. Pada awal masuk sek
olah, anaknya pasti minta ditemani terus oleh ibunya.
Lain halnya dengan anak yang sudah terbiasa ditinggal bekerja. Anak itu memang m
andiri, bisa ditinggal di sekolah, ya seperti anak-anak pada cerita di atas. Tet
api, mereka memiliki masalah lain, tergantung bagaimana ibunya memperlakukannya.
Anak yang tantrum, menurut penilaian saya, sedang berusaha mengambil perhatian
ibunya, agar hanya terfokus kepadanya. Sehari-hari, perhatian ibunya tidak penuh
karena harus bekerja. Dengan dia menangis, berteriak, dan marah-marah, ibunya b
enar-benar hanya memperhatikannya.
Pada kasus anak kedua, sepertinya dia lebih tidak mendapatkan perhatian dari ora
ng tuanya sampai-sampai memegang pensil pun tak bisa. Tahun lalu, ada juga anak
yang ibunya di rumah, tapi anaknya tak bisa juga memegang pensil. Kini, anak itu
sudah bisa menulis sejak ibunya aktif mengajarkannya. Jadi, ini bukan masalah i
bu di rumah atau bekerja, tapi bagaimana ibunya bisa membantu stimulasi anaknya.
Kalau saya, cukup memberikan pensil kepada anak-anak, sejak umur 2 tahun. Menga
jarkan menulis dan menggambar itu hanya sebentar saja kok, kalau anak-anak sudah
suka, mereka akan kecanduan dan melakukannya sendiri. Sekarang saya hanya terbe
ngong-bengong melihat anak-anak sudah bisa menggambar apa saja, bahkan yang tida
k terpikirkan. Mereka cukup melihatnya di games dan televisi, lalu menirunya beg
itu saja.
Anak yang galak juga kemungkinan sedang mencari perhatian dari orang-orang di se
kitarnya. Lihatlah, bagaimana dia menikmati perhatian orang-orang tertuju kepada
nya ketika dia melakukan kekerasan kepada anak yang lain. Namanya menjadi nama y
ang paling tenar di sekolah, karena banyak orang yang menyebut namanya (saking b
ermasalahnya). Semoga saja orang tuanya menyadari perubahan pada anaknya.
Ibu bekerja atau tidak bekerja adalah pilihan, tetapi mendidik anak adalah kewaj
iban. Di kantor atau di rumah, sama sibuknya. Di rumah pun, saya merasa sangat s
ibuk dengan pekerjaan rumah yang menggunung dan sering kali anak-anak terabaikan
. Apalagi ditambah dengan pekerjaan kantor? Jadi, kuncinya adalah bagaimana agar
orang tua tetap memberikan perhatian kepada anak di tengah kepungan pekerjaan.
Ibu yang bekerja, kalau sudah di rumah, segera lepas semua tetek bengek urusan k
antor dan fokus kepada anak-anak. Insya Allah, anak-anak tak perlu mencari perha
tian dengan cara yang ekstrim. Masih untung itu masih TK, gimana kalau sudah rem
aja?

Anda mungkin juga menyukai