NIM
: 41090001
Tidak terbatas pada situasi yang telah diketahui atau yang dapat diduga
sebelumnya (unpredictable situations);
- Dengan keadaan yang relatif bebas dari gejala-gejala anxietas pada periode di
antara serangan-serangan panik (meskipun demikian umumnya dapat terjadi
juga anxietas antisipatorik, yaitu anxietas yang terjadi setelah
membayangkan sesuatu yang mengkhawatirkan akan terjadi).
Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders IV ( DSM-IVTR)
Kriteria diagnostik untuk gangguan panik tanpa agoraphobia
1) Baik (a) atau (b)
a) Serangan panik rekuren yang tidak diharapkan
b) Sekurangnya 1 serangan telah diikuti oleh sekurangnya 1 bulan atau lebih
berikut ini :
- Kekhawatiran yang menetap akan mengalami serangan tambahan
- Ketakutan tentang arti serangan atau akibatnya
- Perubahan perilaku bermakna berhubungan dengan perubahan perilaku
bermakna berhubungan dengan serangan
2) Tidak terdapat serangan
3) Serangan panik bukan karena efek fisiologis langsung dari zat atau kondisi medis
umum
4) Serangan panik tidak lebih baik diterangkan oleh gangguan mental lain, seperti
fobia sosial, fobia spesifik gangguan obsesif-kompulsif.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan ketika serangan panic terjadi
Serangan panik merupakan salah satu jenis kegawatdaruratan psikiatri. Adapun
beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk mengatasi pasien serangan panik
yang datang dengan keluhan nyeri dada, sesak napas, palpitasi, atau nyaris
pingsan antara lain:
1) Terapi oksigen
2) Membaringkan pasien dalam posisi flawler
3) Memonitor tanda-tanda vital, saturasi oksigen, dan EKG
4) Memeriksa ada tidaknya kelainan lain yang dialami pasien seperti kelainan
kardiopulmoner dan memastikan kalau pasien sedang mengalami serangan
panic
5) Memberikan penjelasan dan motivasi pada pasien kalau semua keluhan yang
dialaminya dapat berkurang jika dia menenangkan diri. Komponen utama dari
terapi pasien serangan panik adalah menjelaskan pada pasien kalau kondisi
yang dialami bukanlah disebabkan oleh kondisi medis yang serius dan bukan
pula dikarenakan oleh gangguan mental yang parah, tapi lebih diakibatkan
oleh ketidakseimbangan kimiawi dalam tubuh karena respon sistem simpatik
atau flight response.
6) Memberikan injeksi lorazepam 0,5mg IV untuk menenangkan dan mengurangi
impulstak terkontrol pasien.
Bila keadaan pasien membaik, lorazepam injeksi dapat diganti dengan
lorazepam oral atau golongan benzodaizepin lain. Tetapi ini tidak boleh lebih
dari 1 minggu untuk mencegah ketergantungan. Benzodiazepine digunakan
hanya untuk meningkatkan kepercayaan diri pasien. Setelah serangan panik
berlalu, pasien harus dijelaskan mengenai pentingnya terapi jangka panjang
seperti CBT dan penggunaan obat jenis SSRI.
Penatalaksanaan gangguan panic ketika tidak terjadi serangan
RANZCP (Royal Australian and New Zealand College of Psychiatrist) menyatakan
bahwa penatalaksanaan yang direkomendasikan untuk menangani gangguan
panik adalah mengedukasi pasien dan keluarga agar dapat mendukung pasien
dalam mengatasi kepanikannya. Terapi medikasi hanya dianjurkan untuk
penggunaan jangka pendek.
Saat ini CBT (Cognitive-behaviour therapy) merupakan terapi yang dianggap lebih
efektif dan murah dalam mengatasi gangguan panik jika dibandingkan dengan
terapi medikasi. Untuk terapi medikasi, obat-obatan golongan tricyclic dan SSRI
dianggap memiliki efikasi yang setara serta lebih dipilih sebagai medikasi pilihan
dibanding golongan benzodiazepin yang sering disalahgunakan serta dapat
menyebabkan berbagai komplikasi pada pasien yang mengalami ketergantungan
alcohol.
1) Cognitive-Behavioral theraphy (CBT)
Inti dari terapi CBT adalah membantu pasien dalam memahami cara kerja
pemikiran otomatis dan keyakinan yang salah dapat menimbulkan respon
emosional yang berlebihan, seperti pada gangguan panik. CBT dengan atau
tanpa farmakoterapi, merupakan terapi pilihan untuk gangguan panik, dan
terapi ini harus diberikan pada semua pasien. CBT memiliki efikasi yang lebih
tinggi dalam mengatasi gangguan panik dan biayanya lebih murah. Selain itu
tingkat drop out dan relaps juga lebih rendah jika dibandingkan dengan terapi
farmakologi. Meskipun begitu,hasil yang lebih superior dapat dihasilkan dari
kombinasi CBT dan famakoterapi.
Beberapa metode CBT:
a) Terapi restrukturisasi, melalui terapi ini pasien dapat merestrukturisasi isi
pikirannya dengan cara mengganti semua pikiran pikiran negatif yang
dapat mengakibatkan perasaan tidak menyenangkan yang dapat memicu
serangan panik dengan pemikiran-pemikiran positif.
b) Terapi relaksasi dan bernapas dapat digunakan untuk membantu pasien
mengontrol kadar kecemasan dan mencegah hypocania ketika serangan
panik terjadi. Semua jenis CBT seperti di atas dapat dilakukan pasien
dengan atau tanpa melibatkan dokter.
Karena terapi ini dilakukan dengan memberikan paparan yang dapat
menstimulus serangan panik pasien dengan cara meningkatkannya sedikit
demi sedikit hingga pasien mengalami desensitasi terhadap stimulus tersebut.
Adapun beberapa teknik yang dapat dilakukan untuk mendesensitasi
gangguan panik antara lain:
a) Hiperventilasi disengaja, ini dapat mengakibatkan kepala pusing,
derealisasi, dan pandangan menjadi kabur
b) Melakukan putaran pada kursi ergonomis, ini dapat mengakibatkan rasa
pusing dan disorientasi
c) Bernapas melalui pipet, ini dapat mengakibatkan sesak napas dan
konstriksi saluran napas.
d) Menahan napas, ini dapat menciptakan sensasi seperti pengalaman
menjelang ajal
e) Menegangkan badan, untuk menciptakan perasaan tegang dan waspada.
Terapi Medikasi
Terdapat 3 golongan besar obat yang dianjurkan untuk mengatasi gangguan
panik, yakni golongan SSRI, trisiklik, dan MAOI (Monoamine oxidase inhibitor).
Sedangkan golongan benzodiazepin hingga saat ini masih dianggap kontoversial
dalam terapi gangguan panic.
a) Golongan SSRI (Serotonin Selective Reuptake Inhibitor)
Obat diberikan dalam 3-6 bulan atau lebih, tergantung kondisi individu, agar
kadarnya stabil dalam darah sehingga dapat mencegah kekambuhan.
Mekanisme kerja :
SSRI dipercaya dapat meningkatkan kadar serotonin diekstraselular dengan
cara menghambat pengambilan kembali serotonin ke dalam sel presinaptik
sehingga ada lebih banyak serotonin di celah sinaptik yang dapat berikatan
dengan reseptor sel post-sinaptik. SSRI memiliki tingkat selektivitas yang
pasien tidak tergantung lagi pada obat. Namun apabila terdapt lagi serangan,
pasien harus memulai lagi pengobatan dari awal.
b. Gangguan Cemas Menyeluruh (Generalized Anxietas Disorder)
Gangguan cemas menyeluruh (Generalized Anxiety Disorder, GAD) merupakan
kekhawatiran yang berlebih dan disertai oleh berbagai gejala somatik yang
menyebabkan gangguan bermakna dalam fungsi sosial atau pekerjaan atau
penderitaan yang jelas bagi pasien. Beberapa gejala somatik yang dialamiadalah
ketegangan otot, iritabilitas, kesulitan tidur, keluhan epigastrik dan kegelisahan
sehingga menyebabkan penderitaan yang jelas dan gangguan yang bermakna dalam
fungsi sosial dan pekerjaan. Gangguan Kecemasan Menyeluruh merupakan
kecemasan dan kekhawatiran yang berlebihan akan sejumlah aktivitas atau
peristiwa, yang berlangsung hampir setiap hari, selama 6 bulan atau lebih.
Etiologi gangguan cemas menyeluruh
- Factor biologis
Area otak yang diduga terlibat pada timbulnya gangguan ini adalah lobus
oksipitalis yang mempunyai reseptor benzodiazepin tertinggi di otak. Basal
ganglia, sistem limbik dan korteks frontal juga dihipotesiskan terlibat pada
timbulnya gangguan ini. Pada pasien juga ditemukan sistem serotonergik
yang abnormal. Neurotransmitter yang berkaitan adalah GABA, serotonin,
norepinefrin, glutamat,dan kolesitokinin. Pemeriksaan PET (Positron Emission
Tomography) ditemukan penurunan metabolisme di ganglia basal dan massa
putih otak.
- Teori psikoanalitik
Teori psikoanalitik menghipotesiskan bahwa anxietas adalah gejala dari konflik
bawah sadar yang tidak terselesaikan. Pada tingkat yang paling primitif
anxietas dihubungkan dengan perpisahan dengan objek cinta. Pada tingkat
yang lebih matang lagi dihubungkan dengan kehilangan cinta dari objek yang
penting. Anxietas kastrasi berhubungan dengan fase oedipal sedangkan
anxietas superego merupakan ketakutan seseorang untuk mengecewakan
nilai dan pandangannya sendiri (merupakan anxietas yang paling matang).
- Teori kognitif perilaku
Penderita berespon secara salah dan tidak tepat terhadap ancaman,
disebabkan oleh perhatian yang selektif terhadap hal-hal negatif pada
lingkungannya, adanya distorsi pada pemrosesan informasi dan pandangan
yangsangat negatif terhadap kemampuan diri untuk menghadapi ancaman.
Tanda dan gejala klinis
Gejala utama adalah anxietas, ketegangan motorik, hiperaktivitas otonom, dan
kewaspadaan secara kognitif. Kecemasan bersifat berlebihan dan mempengaruhi
aspek kehidupan pasien. Ketegangan motorik bermanifestasi sebagai bergetar,
kelelahan dan sakit kepala. Hiperaktivitas otonom timbul dalam bentuk
pernafasan yang pendek, berkeringat, palpitasi, dan disertai gejala saluran
pencernaan. Terdapat juga kewaspadaan kognitif dalam bentuk iritabilitas.
Pedoman Diagnostik Gangguan Cemas Menyeluruh
Menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa III
(PPDGJ III)
1) Penderita harus menunjukkan anxietas sebagai gejala primer yang
berlangsung hampir setiap hari untuk beberapa minggu sampai beberapa
bulan, yang tidak terbatas atau hanya menonjol pada keadaan situasi khusus
tertentu saja (sifatnya free floating atau mengambang)
2) Gejala-gejala ini biasanya mencakup hal-hal berikut :
a) Kecemasan tentang masa depan (khawatir akan nasib buruk, perasaan
gelisah seperti di ujung tanduk, sulit berkonsentrasi, dan sebagainya)
b) Ketegangan motorik (gelisah, sakit kepala, gemetaran, tidak dapat santai)
c) Overaktivitas
otonomik
(kepala
terasa
ringan,
berkeringat,
takikardi,takipneu, keluhan epigastrik, pusing kepala, mulut kering, dan
sebagainya).
3) Pada anak-anak sering terlihat adanya kebutuhan berlebihan untuk
ditenangkan serta keluhan-keluhan somatik berulang yang menonjol.
4) Adanya gejala-gejala lain yang sifatnya sementara (untuk beberapa hari),
khususnya depresi, tidak membatalkan diagnosis utama gangguan anxietas
menyeluruh, selama hal tersebut tidak memenuhi kriteria lengkap dari
episode depresif, gangguan anxietas fobik, gangguan panik, atau gangguan
obsesif-kompulsif.
Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders IV (DSMIV-TR)
1) Kecemasan dan kekhawatiran berlebihan (harapan yang mengkhawatirkan),
terjadi lebih banyak dibandingkan tidak selama paling kurang 6 bulan,
tentang sejumlah peristiwa atau aktivitas (seperti pekerjaan atau prestasi
sekolah).
2) Orang kesulitan untuk mengendalikan kekhawatiran.
3) Kecemasan dan kekhawatiran adalah dihubungkan dengan tiga (atau lebih)
dari enam gejala berikut (dengan paling kurang beberapa gejala terjadi lebih
banyak dibandingkan tidak selama 6 bulan terakhir). Catatan : Hanya satu
gejala yang diperlukan pada anak-anak.
- Gelisah atau perasaan tegang atau cemas
- Merasa mudah lelah
- Sulit berkonsentrasi atau pikiran menjadi kosong
- Iritabilitas
- Ketegangan otot
- Gangguan tidur (kesulitan untuk memulai atau tetap tertidur, atau tidur
yang gelisah).
4) Fokus kecemasan dan kekhawatiran adalah tidak dibatasi pada gambaran
utama. Gangguan Aksis I, misalnya, kecemasan atau ketakutan adalah bukan
suatu Serangan Panik (seperti pada Gangguan Panik), merasa malu di depan
umum (seperti pada Fobia Sosial), terkontaminasi (seperti pada Gangguan
Obsesif Kompulsif), merasa jauh dari rumah atau kerabat dekat (seperti pada
Gangguan Cemas Perpisan), pertambahan berat badan (seperti pada
Anoreksia Nervosa), menderita berbagai keluhan fisik (seperti pada Gangguan
Somatisasi), atau menderita penyakit serius (seperti pada Hipokondriasis),
serta kecemasan dan kekhawatiran tidak terjadi secara eksklusif selama
Gangguan Stres Pasca trauma.
5) Kecemasan, kekhawatiran, atau gejala fisik menyebabkan penderitaan yang
bermakna secara klinis atau gangguan pada fungsi sosial, pekerjaan, atau
fungsi penting lainnya.
6) Gangguan tidak disebabkan oleh efek fisiologis langsung dari zat (misalnya,
penyalahgunaan zat, pengobatan) atau suatu kondisi medis umum (misalnya
hipertiroidisme) dan tidak terjadi secara eksklusif selama suatu Gangguan
Mood, Ganguan Psikotik, atau Gangguan Perkembangan Pervasif.
Penatalaksanaan
1) Farmakoterapi
- Benzodiazepin. Merupakan pilihan obat pertama. Pemberian benzodiazepine
dimulai dengan dosis terendah dan ditingkatkan sampai mencapai respons
terapi. Pengguanaan sediaan dengan waktu paruh menengah dan dosis
terbagi dapat mencegah terjadinya efek yang tidak diinginkan. Lama
pengobatan rata-rata 2-6 minggu, dilanjutkan dengan masa tapering off
selama 1-2 minggu. Spektrum klinis Benzodiazepin meliputi efek antianxietas, antikonvulsan, anti-insomnia, dan premedikasi tindakan operatif.
Adapun obat-obat yang termasuk dalam golongan Benzodiazepin antara lain :
5)
6)
d. Gangguan Somatoform
Gangguan somatoform didefinisikan sebagai kelompok kelainan dimana :
1) Gejala fisik yang mengarahkan kepada dugaan gangguan medis namun tidak
dapat dibuktikannya patologi atau bukti-bukti yang mendukung penyakit fisik
sebagai penyebab gejala.
2) Adanya dugaan kuat bahwa gejala- gejala tersebut berkaitan dengan faktor
psikologis.
Gangguan-gangguan yang termasuk di dalam kategori gangguan somatoform
memiliki beberapa ciri umum yang sama :
1) Manifestasi stres psikologik menjadi gejala somatic
2) Perilaku sakit yang abnormal (abnormal illness behavior) yaitu disebabkanadanya
ketidaksesuaian antara pengertian yang ditangkap pasien tentangkondisi
sakitnya (perceived illness) dengan penyakit yang dialaminya (documented
disease).
3) Adanya amplifikasi, yaitu dimana sensasi dari gejala fisik mengakibatkan rasa
cemas (anxiety), kemudian rasa cemas dan aktivasi autonomik yang
diasosiasikan dengan rasa cemas tersebut mengakibatkan eksaserbasi gejala
fisik.
4) Penderitaan (distress) yang bermakna dan seringnya angka kunjungan untuk
pelayanan medis.
Klasifikasi Gangguan Somatoform :
Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, fourth
edition (DSM-IV)
1) Gangguan somatisasi (somatization disorder)
2) Gangguan somatisasi tidak terinci (undifferentiated somatoform disorder)
3) Gangguan konversi (conversion disorder)
Gangguan konversi adalah gangguan pada fungsi tubuh yang tidak sesuai dengan
konsep anatomi dan fisiologi darisistem saraf pusat dan tepi. Khas terjadi adanya
stress dan memunculkan disfungsi berat. Kumpulan gejala saat ini disebut
dengan gangguan konversi dengan gangguan somatisasi histeria, reaksi konversi,
reaksi disosiatif.
Manifestasi Klinis
a) Gejala sensorik. Timbul anestesi dan parestesi terutamapada ekstremitas,
Semua modilitas sensoris dapat terkena, Distribusi tidak sesuai penyakit
saraf pusat maupun tepi.
b) Gejala motorik. Gerak abnormal, gangguan gaya berjalan, kelemahan dan
paralisis, Gerakan memburuk bila mendapat perhatian, Paling sering
adalah paralisis dan paresis.
Kriteria diagnosis menurut DSM-IV-TR :
a) Satu atau lebih gejala yang melibatkan fungsi motorik volunter atau
sensorik yang diperkirakan suatu kondisi neurologis atau kondisi umum
medik lainnya.
b) Faktor psikologis dinilai berkaitan dengan gejala permulaan atau
eksaserbasi gejala didahului oleh konflik atau stresor lainnya.
c) Gejala tidak dengan sengaja dibuat atau berpura-pura.
d) Gejala setelah setelah cukup penelusuran, tidak dapatsecara penuh
dijelaskan sebgai kondisi medik umum, atau sebagai akibat langsung dari
zat atau secara kultural sebagai perilaku atau pengalaman penebusan.
e) Gejala menyebabkan penderitaan atau hendaya yang bermakna secara
klinis di bidang sosial, pekerjaan atau fungsi lain atau menuntut evaluasi
medis.
f)
Gejala tak terbatas pada nyeri atau disfungsi seksual, tidak terjadi sematamata selama perjalanan gangguan somatisasi, dan bukan karena
gangguan mental lainnya.
Penatalaksanaan
a) Psikoterapi suportif
b) Hipnosis, anticemas, dan terapi relaksasi sangat efektif
4) Gangguan nyeri (pain disorder)
5) Hipokondriasis (hypochondriasis)
6) Gangguan somatoform yang tidak tergolongkan (somatoform disorder not
otherwise specified-NOS)
Menurut ICD-10/PPDGJ-III
1) Gangguan somatisasi
Gangguan somatisasi merepresentasikan bentuk ekstrim dari gangguan
somatoform dimana gejala multipel yang melibatkan berbagai sistem organ tidak
dapat dijelaskan secara medis.
Etiologi gangguan somatisasi
a) Faktor Psikososial. Penyebab gangguan somatisasi tidak diketahui. Secara
psikososial gejala gangguan ini merupakan bentuk komunikasi sosial yang
bertujuan untuk menghindari kewajiban, mengekspresikan emosi, atau
menyimpulkan perasaan. Pengajaran orang tua, contoh orang tua, dan
budaya dapat mengakibatkan pasien terbiasa menggunakan somatisasi.
b) Faktor biologis. Transmisi genetik yang berperan dalam gangguan
somatisasi terjadi pada 10-20% wanita turunan pertama sedangkan
saudara laki-lakinya cenderung menjadi penyalahgunaan zat dan
gangguan kepribadian antisosial. Pada kembar monozigot transmisi terjadi
29% sedangkan dizigot 10%.
Manifestasi Klinis
Gejala umum yang dikeluhkan adalah mual, muntah, sulit menelan, sakit pada
lengan dan tungkai, nafas pendek, amnesia, komplikasi kehamilan dan
menstruasi. Pasien beranggapan ia sakit sepanjang hidupnya. Sering terdapat
gejala neurologik seperti gangguan keseimbangan, merasa ada gumpalan di
tenggorokan, afonia, retensi urin, hilangmodalitas sensorik raba dan nyeri,
buta, bangkitan, hilang kesadaran bukan karena pingsan.
Pasien merasa menderita dan sering mengalami depresi serta kecemasan.
Ancaman bunuh diri sering dilaporkan namun angka bunuh diri aktual sangat
jarang. Pasien gangguan somatisasi biasanya tampak mandiri, terpusat pada
diri,haus penghargaan, serta manipulative.
Menurut DSM-IV-TR, gangguan somatisasi memiliki kriteria diagnosis
sebagai berikut :
a) Riwayat gejala fisik yang banyak (atau suatu keyakinan bahwa dirinya
sakit)yang mulai sebelum usia 30 tahun, berlangsung selama beberapa tahun,
dan mengakibatkan perilaku mencari pertolongan medis (medical seeking
behavior) atau hendaya yang bermakna.
b) Kombinasi dari gejala-gejala yang tidak terjelaskan, yang terjadi
kapanpunselama perjalanan dari gangguan, yang semuanya harus dipenuhi.
Gejala-gejala yang dimaksud antara lain :
- 4 gejala nyeri (melibatkan minimal 4 lokasi atau fungsi yang berbeda meliputi
kepala dan leher, abdomen, punggung, sendi, ekstremitas, dada,rektum,
selama menstruasi, selama hubungan seksual, dan saat berkemih).
- 2 gejala gastrointestinal selain nyeri (meliputi mual, kembung, muntah,diare,
dan intoleransi makanan).
- 1 gejala seksual : sekurangnya satu gejala seksual atau reproduksi selain
nyeri (misalnya indiferensi seksual,disfungsi erektil atau ejakulasi, menstruasi
tidak teratur, perdarahan menstruasi berlebihan, muntah sepanjang
kehamilan).
motivasi: perlu motivasi dari orang lain, karena penderita sering kali berpikir
bahwa mereka tidak memerlukan terapi.
konfrontasi: merespon dengan cara mendukung mereka melalui konfrontasi
terhadap akibat dari pemikiran dan pola perilaku mereka. Lebih efektif bila
dilakukan oleh teman sebaya & psikoterapis
terapi wicara:psikoterapi yang dimaksudkan untuk membantu penderita
mengerti apa penyebab kecemasan dan mengenal perilakunya yang tidak
pantas, sebagai landasan untuk pengobatan lainnya.
psikoanalisis: bila ditemukan gangguan kepribadian seperti, narsis atau
obsesif kompulsif/
2. Gangguan depresi adalah gangguan mental umum yang menyajikan dengan mood
depresi, kehilangan minat atau kesenangan, perasaan bersalah atau rendah diri, tidur
terganggu atau nafsu makan, energi rendah, dan hilang konsentrasi. Masalah ini dapat
menjadi kronis atau berulang dan menyebabkan gangguan besar dalam kemampuan
individu untuk mengurus tanggung jawab sehari-harinya (WHO, 2011). Episode depresi
biasanya berlangsung selama 6 hingga 9 bulan, tetapi pada 15-20% penderita bisa
berlangsung selama 2 tahun atau lebih.
Etiologi
Menurut Kaplan, faktor-faktor yang dihubungkan dengan penyebab depresi dapat
dibagi atas: faktor biologi, faktor genetik dan faktor psikososial. Dimana ketiga faktor
tersebut juga dapat saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya (Sadock &
Sadock, 2010).
1) Faktor biologi
Faktor neurotransmitter : Dari biogenik amin, norepinefrin dan serotonin
merupakan dua neurotransmiter yang paling berperan dalam patofisiologi
gangguan mood. Norepinefrin hubungan yang dinyatakan oleh penelitian ilmiah
dasar antara turunnya regulasi reseptor B-adrenergik dan respon antidepresan
secara klinis memungkinkan indikasi peran sistem noradrenergik dalam depresi.
Bukti-bukti lainnya yang juga melibatkan presinaptik reseptor adrenergik dalam
depresi, sejak reseptor reseptor tersebut diaktifkan mengakibatkan penurunan
jumlah norepinefrin yang dilepaskan. Presipnatik reseptor adrenergik juga
berlokasi di neuron serotonergik dan mengatur jumlah serotonin yang dilepaskan.
Dopamin juga sering berhubungan dengan patofisiologi depresi.
Faktor neurokimia lainnya seperti gamma aminobutyric acid (GABA) dan
neuroaktif peptida (vasopressin dan opiate endogen) telah dilibatkan dalam
patofisiologi gangguan mood (Rush et al., 1998).
2) Faktor Psikososial
Peristiwa kehidupan dan stres lingkungan dimana suatu pengamatan klinik
menyatakan bahwa peristiwa atau kejadian dalam kehidupan yang penuh
ketegangan sering mendahului episode gangguan mood. Suatu teori menjelaskan
bahwa stres yang menyertai episode pertama akan menyebabkan perubahan
fungsional neurotransmiter dan sistem pemberi tanda intra neuronal yang
akhirnya perubahan tersebut menyebabkan seseorang mempunyai resiko yang
tinggi untuk menderita gangguan mood selanjutnya (Sadock & Sadock, 2010).
Faktor Psikoanalitik dan Psikodinamik : Freud (1917) menyatakan suatu hubungan
antara kehilangan objek dan melankoli. Ia menyatakan bahwa kemarahan pasien
depresi diarahkan kepada diri sendiri karena mengidentifikasikan terhadap objek
yang hilang. Freud percaya bahwa introjeksi merupakan suatu cara ego untuk
melepaskan diri terhadap objek yang hilang (Sadock & Sadock, 2010).
Klasifikasi depresi Menurut PPDGJ III
1) Episode depresif ringan
- Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi
- Ditambah sekurang-kurangnya 2 dari gejala lainnya
- Tidak boleh ada gejala berat diantaranya
2)
3)
4)
5)
Sumber:
Memon MA. Panic Disorder. Medscape Reference; 2011 [updated 29/03/2011; cited on
January 2012]; Available from: http://emedicine.medscape.com.
Kusumadewi I, Elvira SD. Gangguan Panik. In: Elvira SD, Hadisukanto G, editors. Buku Ajar
Psikiatri. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2010. p. 235-41.
Maslim R, editor. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa. Jakarta: Bagian IlmuKedokteran Jiwa
FK-Unika Atma Jaya; 2001.
Maslim R, editor. Penggunaan Klinis Obat Psikotropik. 3rd ed. Jakarta: Bagian IlmuKedokteran
Jiwa FK-Unika Atma Jaya; 2007.
Saddock BJ, Saddock VA. Gangguan Panik dan Agorafobia. Dalam: Kaplan HI, SadockBJ.
Sinopsis Psikiatri Ilmu Pengetahuan Perilaku dan Psikiatri Klinis jilid II. hal.32-46
Shear, Katherine M. Anxiety Disorders Generalized Anxiety Disorder in : Dale DC,
Federman DD, editors. ACP Medicine. 3rd Edition. Washington: WebMD Inc. : 2007.
Yates, W. R. 2008. Anxiety Disorders. Update August 13, 2008.www.emedicine.com