Anda di halaman 1dari 24

REFERAT

MALARIA

Di susun oleh ;
Cipto nirmolo
2006730011

Fakultas Kedokteran dan Kesehatan


Universitas Muhammadiyah Jakarta
2011

KATA PENGANTAR
Assalamualaikum wr. wb.
Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT atas berkat dan rahmat-Nya saya
dapat referat mengenai Malaria.
Tujuan saya dalam membuat referat ini

untuk memenuhi salah satu tugas

kepaniteraan ilmu penyakit dalam, disamping untuk memperkaya keilmuan saya.


Dalam laporan ini telah dipaparkan tinjauan pustaka dari berbagai sumber mengenai
Malaria beserta penatalaksanaannya.
Saya mengucapkan terima kasih kepada dokter pembimbing saya yang telah
mencurahkan segenap ilmunya untuk saya. Besar harapan saya semoga laporan ini dapat
bermanfaat utamanya bagi penulis pribadi dan pembaca pada umumnya.
Saya

mohon maaf karena masih terdapat banyak kekurangan dalam penulisan

laporan ini. Saya terus berusaha memperbaiki kekurangan tersebut.


Wabillahittaufiq walhidayah, wassalamualaikum wr. wb.

Cianjur, 23 Maret 2011

Penulis

PENDAHULUAN

Dapat berlangsung akut atau kronik


Infeksi malaria dapat berlangsung tanpa komplikasi ataupun mengalami
komplikasi sistemik yang dikenal sebagai malaria berat
Menyebabkan kematian terutama pada kelompok resiko tinggi (bayi, anak
balita, ibu hamil)
Menurunkan produktifitas kerja
SEJARAH
Cina: 1700 SM
Mesir: 2570 SM
Charles Louis Alphonse Laveran (tahun 1880): Malaria disebabkan oleh
adanya parasit didalam sel darah merah
Krotokski dan Garnham (tahun 1980): menemukan bentuk di jaringan yg
disebut hipnozoit (dorman, relaps)
Kina (tahun 1820): obat pertama malaria, ditemukan oleh Pelletier dan
Caventou
Primaquin (tahun 1924): obat hasil sintesa kimiawi
Quinakrin (tahun 1930): sintesa kimiawi
Klorokuin (tahun 1934): sintesa kimiawi
Pirimetamin (tahun 1951): sintesa kimiawi
Resistensi P. falciparum terhadap klorokuin (tahun 1973), meluas, tahun 1990
seluruh Indonesia
Resistensi Plasmodium terhadap Sulfadoksin-Pirimetamin (SP)
WHO: mencanangkan perubahan pemakaian obat baru yaitu: Kombinasi
artemisin (Artemisin-base Combination Therapy = ACT), untuk mengatasi
masalah resistensi pengobatan dan menurunkan morbiditas dan mortalitas
Keputusan

Menteri

Kesehatan

Republik

Indonesia.

Nomor:

041/MENKES/SK/I/2007, Tentang PEDOMAN PENATALAKSANAAN KASUS


MALARIA

DEFINISI
Malaria adalah penyakit infeksi parasit yang disebabkan oleh plasmodium yang
menyerang eritrosit dan ditandai dengan ditemukannya bentuk aseksual didalam darah.
Dapat berlangsung akut ataupun kronik. Infeksi malaria dapat berlangsung tanpa komplikasi
maupun mengalami komplikasi sistemik yang dikenal sebagai malaria berat.
Malaria merupakan suatu penyakit berpotensial fatal yang disebabkan oleh infeksi
parasit Plasmodium. Plasmodium ini ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk
Anopheles sp. betina yang telah terinfeksi dengan parasit tersebut (Parmet S. et al, 2007).
Sedangkan, Finch, R.G. et al (2005) mengatakan bahwa malaria merupakan suatu infeksi
yang menyerang pada sistem darah manusia.
ETIOLOGI
Terdapat 4 jenis malaria yaitu :
1.

Malaria tertiana yang disebabkan oleh bakteri Plasmodium vivax

2.

Malaria Aestivo-Autumnal disebut juga malaria tropica yang disebabkan plasmodium


falciparum. Jenis malaria ini diketahui sebagai jenis malaria terberat yang sering
menyebabkan kematian.

3.

Malaria Kuartana yang disebabkan oleh bakteri plasmodium malariae

4.

Malaria Pernisiosa yang disebabkan oleh Plasmodium Ovale

Berdasarkan Chew S.K. (1992), terdapat empat spesies plasmodium yang bisa
menginfeksi manusia yaitu, Plasmodium vivax, Plasmodium ovale, Plasmodium malariae,
dan Plasmodium falciparum. Walaupun begitu, studi terbaru telah menemukan suatu
spesies Plasmodium baru yang bisa menginfeksi manusia. Spesies Plasmodium yang
kelima ini dikenali sebagai Plasmodium knowlesi (Marano & Freedman, 2009).
CARA PENULARAN

Penularan secara alamiah (natural infection).

Penularan secara alamiah dari nyamuk anopheles ke tubuh manusia hingga


sakit
Penularan yang tidak alamiah
Penularan yang tidak alamiah ada 3 macam (Knight R., 1985, Russel P.F.,
1963), yaitu :

Malaria bawaan (congenital) : Terjadi pada bayi yang baru dilahirkan


karena ibunya menderita malaria. Penularan biasanya melalui tali
pusat.

Secara mekanik : Penularan terjadi melalui tranfusi darah atau melalui


jarum suntuk. Penularan melalui jarum suntik banyak terjadi pada para
morfinis yang menggunakan jarum suntik yang tidak steril lagi, cara
penularan ini pernah dilaporkan terjadi di salah satu rumah sakit di
bandung pada tahun 1981, pada penderita yang dirawat dan
mendapatkan suntikan intravena dengan menggunakan alat suntik
yang dipergunakan untuk menyuntik beberapa pasien, dimana alat
suntik itu seharusnya dibuang sekali pakai/disposible (Departemen
Kesehatan RI., 1999).

Secara oral : Cara penularan ini pernah dibuktikan pada burung, ayam,
dan monyet.

EPIDEMIOLOGI
Infeksi malari tersebar pada lebih dari 100 negara di benua Afrika, Asia, Amerika
(bagian selatan) dan daerah Oceania dan kepulauan Karibia. Lebih dari 1,6 triliun manusia
terpapar oleh malaria dengan dugaan morbiditas 200-300 juta dan mortalitas lebih dari 1
juta pertahun. Beberapa daerah yang bebas malaria yaitu AS, Canada, negara di Eropa
(kecuali Rusia), Israel, Singapura, Hongkong, Japan, Taiwan, Korea, Brunei dan Australia.
Negara tersebut terhindar dari malaria karena vektor kontrolnya yang baik, walaupun
demikian di negara tersebut makin banyak dijumpai kasus malaria yang di Import karena
pendatang dari negara malaria atau penduduknya mengunjungi daerah-daerah malaria.
P. falsiparum dan P. Malariae umumnya dijumpai pada semua negara dengan
malaria, di Afrika, Haiti dan Papua Nugini umumnya P. Falciparum, P. Vivax banyak di
Amerika Latin. Di Amerika Selatan, Asia Tenggara, negara Oceania dan India umumnya
P.falciparum dan P.vivax. P.ovale biasanya hanya di Afrika. Di Indonesia kawasan Timur
mulai dari Kalimantan, Sulawesi Tengah sampai ke Utara, Maluku, Irian Jaya, dan dari

lombok sampai NTT merupakan daerah endemis malaria dengan P.falciparum dan P.vivax.
Beberapa daerah di Sumatra mulai dari Lampung, Riau, Jambi dan Batam kasus malaria
cenderung meningkat.
Di daerah mana saja yang terdapat suhu yang sesuai, yaitu melebihi isotherm 16C,
serta terdapat koeksistensi manusia dan nyamuk Anopheles sp, maka terdapat faktor risiko
untuk penularan malaria. Kelima-lima parasit Plasmodium yang bisa menginfeksi manusia
terdistribusi di tempat geografis yang berbeda. Plasmodium falciparum paling sering ditemui
di Afrika Sub-Sahara dan Melanesia; Plasmodium vivax pula ditemui di Amerika Sentral,
Amerika Selatan, Afrika Utara, Timur Tengah, dan subkontinen India; Plasmodium Ovale
ditemui hampir secara eksklusif di Afrika Barat; Plasmodium malariae bisa ditemui di seluruh
dunia walaupun terkonsentrasi di Afrika dan Plasmodium knowlesi yang sejak kebelakangan
ini didokumentasikan di beberapa kepulauan Bornea serta di beberapa daerah Asia
Tenggara (Roe & Pasvol, 2009).
SIKLUS HIDUP
Infeksi parasit malaria pada manusia mulai bila nyamuk anoopheles betina menggigit
manusia dan nyamuk akan melepaskan sporozoit ke dalam pembuluh darah dimana
sebagian besar dalam waktu 45 menit akan menuju ke hati dan sebagian kecil sisanya akan
mati di darah. Di dalam sel parenkim hati mulailah perkembangan aseksual (intrahepatic
schizogony atau pre-erythroocytes schizogony). Perkembangan ini memerlukan waktu 5,5
hari untuk P.falciparum dan 15 hari untuk P.malariae. setelah sel parenkim hati terinfeksi,
terbentuk zigott hati yang apabila pecah akan mengeluarkan banyak merozoit ke sirkulasi
darah. Pada P.vivax dan ovale, sebagian parasit di dalam sel hati membentuk hipnozoit
yang dapat bertahan sampai bertahun-tahun, dan bentuk ini yang akan menyebabkan
terjadinya relaps pada malaria.
Setelah berada dalam sirkulasi darah merozoit akan menyerang eritrosit dan masuk
melalui reseptor permukaan eritrosit. Pada P.vivax reseptor ini berhubungan dengan faktor
antigen duffy Fya atau Fyb. Hal ini menyebabkan individu dengan golongan darah Duffy
negatif tidak terinfeksi malaria vivax. Reseptor untuk P.falciparum diduga suatu
glycophorins, sedangkan P.malariae dan P.ovale belum diketahui. Dalam waktu kurang dari
12 jam parasit berubah menjadi bentuk ring, pada P.falciparum menjadi bentuk stereoheadphones, yang mengandung kromatin dalam intinya dikelilingi sitoplasma. Parasit
tumbuh setelah memakan hemoglobin dan dalam metabolismenya membentuk pigment
yang disebut hemozoin yang dapat dilihat secara mikroskopik. Eritrosit yang berparasit
menjadi lebih elastik dan dinding berubah lonjong, pada p.falciparum dinding eritrosit

membentuk

tonjolan

yang

disebut

knobb

yang

nantinya

penting

dalam

proses

cytoadherence dan rosetting. Setelah 36 jam invasi ke dalam eritrosit, parasit berubah
menjadi scizont, dan bila skizont pecah akan mengeluarkan 6-36 merozoit dan siap
menginfeksi eritrosit yang lain. Siklus aseksual ini pada P.falciparum, P.vivax dan P.ovale
ialah 48jam dan pada P.malariae adalah 72 jam.
Di dalam darah sebagian parasit akan membentuk gamet jantan dan betina, dan bila
nyamuk menghisap darah manusia yang sakit akan terjadi siklus seksual dalam tubuh
nyamuk. Setelah terjadi perkawinan akan terbentuk zygote dan menjadi lebih bergerak
menjadi ookinet yang menembus dinding perut nyamuk dan akhirnya menjadi oocyst yang
akan menjadi masak dan mengeluarkan sporozoit yang akan bermigrasi ke kelenjar ludah
nyamuk dan siap menginfeksi manusia.
Siklus hidup Plasmodium
Siklus hidup Plasmodium terjadi pada tubuh nyamuk dan manusia.
Siklus seksual parasit malaria berkembang di darah manusia yang telah terinfeksi.
Nyamuk Anopheles sp. betina akan terinfeksi setelah menggigit orang yang darahnya
mengandung gametosit. Siklus perkembangan Plasmodium dalam nyamuk berkisar 7-20
hari, dan akhirnya berkembang menjadi sporozoit yang bersifat infektif. Sporozoit ini yang
akan bermigrasi ke kelenjar ludah nyamuk dan kemudian akan ditransmisi kepada manusia
lainnya apabila digigit oleh nyamuk yang terinfeksi ini. Nyamuk Anopheles yang terinfeksi ini
akan bersifat infektif sepanjang hidupnya.
Sporozoit yang telah diinokulasi pada manusia akan bermigrasi kepada hati dan
bermultiplikasi dalam hepatosit sebagai merozoit. Setelah beberapa hari, hepatosit yang
terinfeksi akan ruptur dan melepaskan merozoit ke dalam darah di mana mereka akan
menginfeksi eritrosit. Parasit akan multiplikasi dalam eritrosit sekali lagi dan berubah dari
merozoit kepada trofozoit, skizont, dan akhirnya muncul sebagai 8-24 merozoit yang baru.
Eritrosit akan pecah, dan melepaskan merozoit untuk menginfeksi sel-sel yang lain. Setiap
siklus dari proses ini, yang dikenali sebagai skizogoni eritrositik, akan berlangsung selama
48 jam pada Plasmodium vivax, Plasmodium ovale, Plasmodium falciparum dan 72 jam
pada Plasmodium malariae. Dengan setiap siklus ini, parasit akan bertambah secara
logaritmik dan setiap kali sel-sel ruptur akan terjadi serangan klasik demam yang intermiten.
(Finch, R.G. et al, 2005; Bradley, 1998)
PATOGENESIS

Setelah melalui jaringan hati P.falciparum melepaskan 18-24 merozoit

ke dalam

sirkulasi. Merozoityang dilapaskan akan masuk dalam sel RES di limpa dan mengalami
fagositosis serta filtrasi. Merozoit yang lolos dari filtrasi dan fagositosis di limpa akan
menginvasi eritrosit. Selanjutnya parasit berkembang biak secara aseksual dala eritrosit.
Bentuk aseksual parasit dalam eritrosit (EP) inilah yang bertanggung jawab dalam
patogenesa terjadinya malaria pada manusia. Patogenesa malaria yang banyak diteliti
adalah patogenesa malaria yang disebabkan oleh P.falciparum.
Patogenesis malaria falsiparum dipengaruhi oleh faktor parasit dam faktor pejamu
(host). Yang termasuk dalam faktor parasit adalah intensitas transmisi, densitas parasit dan
virulensi parasit. Sedangkan yang masuk dalam faktor pejamu adalah tingkat endemisitas
daerah tempat tinggal, genetik, usia, status nutrisi dan status imunologi. Parasit dalam
eritrosit (EP) secara garis besar mengalami 2 stadium, yaitu stadium cincin pada 24 jam I
dan stadium matur pada 24 jam II. Permukaan EP stadium cincin akan menampilkan antigen
RESA (ring-erythrocyte surgace antigen) yang menghilang setelah parasit masuk stadium
matur. Permukaan membran EP stadium matur akan mengalami penonjolan dan
membentuk knob dengan Histidin Rich-protein-1 (HRP-1) sebagai komponen utamanya.
Selanjutnya bila EP tersebut mengalami merogoni, akan dilepaskan toksin malaria berupa
GPI yang merangsang pelepasan TNF- dan interleukin-1 (IL-1) dari makrofag.
Sitoadherensi ialah perlekatan antara EP stadium matur pada permukaan endotel
vaskuler. Perlekatan terjadi dengan cara molekul adhesif yang terletak dipermukaan endotel
vaskuler.
Sekuestrasi. Sitoadheren menyebabkan EP matur tiidak beredar kembali dalam
sirkulasi. Parasit dalam eritrosit matur yang tinggal dalam jaringan mikrovaskuler di sebutr
EP yang mengalami sekuestrasi. Hanya P.falciparum yang mengalami sekuestrasi, karena
pada plasmodium lainnya seluruh siklus terjadi pada pembuluh darah perifer.
Rosetting ialah berkelompoknya EP matur yang diselubungi 10 atau lebih eritrosit
yang non-parasit.
Sitokin terbentuk dari sel endotel, monosit dan makrofag setelah mendapat stimulasi
dari malaria toksin (LPS,GPI).
Nitrit Oksida memberikan efek protektif karena membatasi perkembangan parasit
dan menurunkan ekspresi molekuladhesi.
Gejala klinis yang muncul pada infeksi malaria disebabkan secara tunggal oleh
bentuk aseksual Plasmodium yang bersirkulasi di dalam darah. Parasit ini menginvasi serta
menghancurkan sel darah merah, menetap di organ penting dan jaringan tubuh,
menghambat sirkulasi mikro, serta melepaskan toksin yang akan menginduksi pelepasan
sitokin yang bersifat proinflammatory sehingga terjadi rigor malaria yang klasik (Roe &

Pasvol, 2009). Patologi malaria berhubungan dengan anemia, pelepasan sitokin, dan pada
kasus Plasmodium falciparum, kerusakan organ multipel yang disebabkan oleh gangguan
mikrosirkulasi. Parasitemia Plasmodium falciparum adalah lebih parah berbanding yang lain
karena ia akan memparasitisasi eritrosit berbagai usia.
Plasmodium vivax dan Plasmodium ovale hanya menginfeksi retikulosit dan eritrosit
muda sedangkan Plasmodium malariae hanya menyerang pada eritrosit yang lebih tua.
Oleh karena seleksi ini, infeksi Plasmodium falciparum menimbulkan gejala klinis yang hebat
sekali (Finch, R.G. et al, 2005). Kakkilaya (2006) mengatakan malaria Plasmodium
falciparum ditandai oleh pembentukan sticky knob pada permukaan sel darah merah, adhesi
sel darah merah pada sel endotelial di venul post kapiler, dan pembentukan rosette dengan
sel yang belum terinfeksi. Ini akan menyebabkan adhesi pada kapilar otak, ginjal, usus, hati
dan organ lain. Selain daripada menyebabkan obstruksi mekanik, skizont yang telah ruptur
ini akan merangsang pelepasan toksin dan menstimulasi pelepasan sitokin yang lebih.
Menurut Rosenthal (2008), suatu karakteristik khas Plasmodium falciparum adalah
cytoadherence, di mana eritrosit yang terinfeksi dengan parasit matang akan melekat pada
sel endotel mikrovaskular. Proses ini dikatakan sebagai suatu kelebihan untuk parasit
karena ini bisa menghambat jalur masuknya eritrosit abnormal ke dalam limpa untuk
dihancurkan. Konsentrasi tinggi eritrosit yang terinfeksi oleh Plasmodium falciparum dalam
sirkulasi darah serta interplay antara faktor penjamu dan parasit ini yang akan menyebabkan
manifestasi infeksi malaria berat seperti malaria serebral, non-cardiogenic pulmonary
edema, dan gagal ginjal.
Chotivanich, K. et al (2002) dalam suatu studinya tentang peran limpa dalam malaria
parasite clearance mengatakan bahwa sel darah merah yang telah terinfeksi oleh malaria
mengandung parasit yang semakin membesar dan bersifat kaku. Dimulai kira-kira dari 13
16 jam pertama sehingga pertengahan siklus aseksual, sel darah merah yang terinfeksi
akan melekat pada endotelial vaskular sehingga dapat mencegah parasit masuk ke dalam
limpa yang bersifat untuk membersihkan darah. Parasit pada tahap awal berukuran kecil
dan fleksibel, sehingga tidak mengganggu konfigurasi membran sel darah merah ataupun
mengekspresikan antigen parasitnya secara eksternal. Tetapi, parasit pada tahaplanjut, yaitu
trofozoit dan skizont matang, berukuran lebih besar sehingga mengubah bentuk diskoid sel
darah merah yang terinfeksi serta memasukkan neoantigen seperti ring-infected erythrocyte
surface antigen (RESA) dan Plasmodium falciparum erythrocyte membrane 1 (Pf EMP 1)
pada membran sel darah merah penjamu. Adhesin antigenik parasit Pf EMP 1 tersebut

diekspresikan di permukaan luar sel darah merah, dan perubahan ini yang menyebabkan
deformitas pada sel darah merah sehingga terjadi peningkatan antigenicity.

Setelah infeksi yang berulang, akan terjadi pembentukan imunitas parsial. Ini akan
membantu penjamu untuk bertoleransi dengan parasitemia dengan penyakit minimal.
Walaupun begitu, imunitas ini akan hilang jika penjamu tidak terinfeksi lagi dalam beberapa
tahun. Terdapat beberapa faktor genetik yang memberi imunitas terhadap malaria. Orang
yang tidak mempunyai antigen Duffy pada membran sel darah merah (sering pada Afrika
Barat) tidak rentan terhadap infeksi Plasmodium vivax. Beberapa hemoglobinopati termasuk
sickle cell trait juga memberi proteksi terhadap efek parah malaria. Defisiensi besi juga bisa
mengurangi keparahan infeksi malaria. Selain itu, limpa juga mempunyai peranan yang
penting dalam mengontrol infeksi dan orang yang telah menjalani operasi splenektomi
mempunyai risiko yang tinggi untuk infeksi malaria yang luar biasa (Finch, R.G. et al, 2005).
GEJALA KLINIS
Gejala prodromal seperti lesu, sakit kepala, nyeri otot/ tulang, mual, anoreksia, diare
ringan, perut tak enak, dan kadang- kadang rasa dingin dipunggung.
Gejala yang klasik yaitu terjadinya Trias Malaria/gejala paroksismal secara
berurutan : periode-dingin (15-60 menit) : mulai menggigil, penderita sering membungkus
diri dengan selimut atau sarung dan pada saat menggigil sering seluruh badan bergetar dan
gigi-gigi saling terantuk, diikuti dengan meningkatnya temperatur, diikuti dengan periodepanas : muka penderita merah, nadi cepat dan panas badan tetap tinggi beberapa jam,
diikuti dengan keadaan berkeringat, kemudian periode-berkeringat : penderita berkeringat
banyak dan temperatur turun, dan penderita merassa sehat. Trias malaria lebih sering
terjadi pada infeksi P.vivax, pada P.falciparum menggigil dapat berlangsung berat maupun
tidak ada. Periode tidak panas berlangsung 12 jam pada P.falciparum, 36 jam pada P.vivax
dan ovale, 60 jam pada P.malariae.

Manifestasi Klinik Malaria Tertiana/M. Vivax/ M. Benigna


Inbkubasi 12-17 hari, kadang-kadang lebih panjang 12-20 hari. Pada hari-hari

pertama panas ireguler, kadang-kadang remiten atau intermiten, pada saat tersebut
perasaan dingin atau menggigil jarang terjadi. Pada akhir minggu tipe panas menjadi
intermiten dan periodik setiap 48 jam dengan gejala klasik trias malaria. Serangan
paroksismal biasanya terjadi waktu sore hari. Kepadatan parasit mencapai maksimal dalam
waktu 7-14 hari. Pada minggu ke dua limpa mulai teraba. Parasitemia mulai menurun

setelah 14 hari, limpa masih membesar dan panas masih berlangsung, pada akhir minggu
ke lima panas mulai turun secara krisis. Pada malaria vivax manifestasi klinik dapat
berlangsung secara berat tapi kurang membahayakan, limpa dapat membesar sampai
derajat 4 atau 5 (ukuran Hacket). Malaria serebral jarang terjadi. Edema tungkai disebabkan
karena hipoalbuminemia.
Mortalitas malaria vivaks rendah tapi morbiditas tinggi karena seringnya terjadi
relapse. Pada penderita yang semi-immune perlangsungan malaria vivaks tidak spesifik dan
ringan saja, parasitemia hanya rendah, serangan demam hanya pendek dan penyembuhan
lebih cepat. Resistensi terhadap klorokuin pada malaria vivaks juga dilaporkan di Irian Jaya
dan di daerah lainya. Relaps sering terjadi karena keluarnya hipnozoit yang tertinggal di hati
pada saat status imun tubuh menurun.

Manifestasi Klinik Malaria Malariae/M. Quartana


M. malariae banyak dijumpai didaerah Afrika, Amerika Latin, sebagian Asia.

Penyebarannya tidak seluas P.vivax dan

P.falciparum. masa inkubasi 18-40 hari.

Manifestasi klinis seperti pada malaria vivax hanya berlangsung lebih ringan, anemia jarang
terjadi, splenomegali sering dijumpai walaupun pembesaran ringan. Serangan paroksismal
terjadi tiap 3-4 hari, biasanya pada waktu sore dan parasitemia sangat rendah <1%.

Manifestasi Klinis Malaria Ovale


Merupakan bentuk yang paling ringan dari semua jenis malaria. Masa inkubasi 11-16

hari, serangan paroksismal 3-4 hari terjadi malam hari dan jarang lebih dari 10 kali walaupun
tanpa terapi. Apabila terjadi infeksi campuran dengan plassmodium lain, maka P.ovale tidak
akan tampak di darah tepi, tetapi palsmodium yang lain yang akan di temukan. Gejala klinis
hampir sama dengan malaria vivaks, lebih ringan, puncak panas lebih rendah dan
perlangsungan lebih pendek, dan dapat sembuh spontan tanpa pengobatan. Serangan
menggigil jarang terjadi dan splenomegali jarang sampai dapat diraba.

Manifestasi Klinis Malaria Tropika/M.falsiparum


Malaria tropika merupakan bentuk yang paling berat, ditandai dengan panas yang

ireguler, anemia, splenomegali, parasitemia sering dijumpai, dan sering terjadi komplikasi.
Masa inkubasi 9-14 hari. Malaria tropika mempunyai perlangsungan yang cepat, dan
parasitemia yang tinggi dan menyerang semua bentuk eritrosit. Gejala prodromal yang
sering dijumpai yaitu sakit kepala, nyeri belakang/tungkai, lesu, perasaan dingin, mual,
muntah dan diare. Parasit sulit ditemui padda penderita dengan pengobatan supresif. Panas

biasanya ireguler dan tidak periodik, sering terjadi hiperpireksia dengan temperatur di atass
40oC.
Gejala lain berupa konvulsi, pneumonia aspirasi dan banyak keringat walaupun
temperatur normal. Apabila infeksi memberat nadi cepat, nausea, muntah, diare menjadi
berat dan diikuti kelainan paru (batuk). Splenomegali dijumpai lebih sering daripada
hepatomegali dan nyeri pada perabaan, hati membesar dapat disertai timbulnya ikterus.
Kelainan urin dapat berupa albuminuria, hialin, dan kristal yang granuler. Anemia lebih
menonjol dengan leukopenia dan monositosis.
Plasmodium vivax, Plasmodium ovale dan Plasmodium malariae bisa menyebabkan
demam tinggi yang intermiten pada manusia, tetapi jarang mengakibatkan kematian,
sedangkan Plasmodium falciparum merupakan malignant tertian dan bersifat fatal jika tidak
diobati segera, terutama pada serangan pertama (Bradley, 1998).
Menurut Parmet S. et al (2007), gejala klinis malaria pada umumnya muncul 9-14
hari setelah gigitan nyamuk Anopheles yang terinfeksi. Gejala yang dapat muncul termasuk
menggigil yang tiba-tiba, demam yang bersifat intermiten, keringat, kelelahan, sakit kepala,
kejang, dan delirium. Roe & Pasvol (2009) pula mengatakan bahwa waktu inkubasi malaria
tergantung pada lingkungan. Kondisiyang optimal dapat menyebabkan manifestasi gejala
klinis dalam 7 hari saja. Walaupun begitu, terdapat beberapa kasus tertentu yang gejala
klinis hanya muncul setelah 20 tahun, dan ini berlaku terutama pada infeksi Plasmodium
malariae.
Gejala klinis yang paling sering ditemui pada malaria adalah demam. Pada infeksi
awal, malaria bisa bermanifestasi sebagai malaise, sakit kepala, muntah, atau diare.
Demam pada awalnya mungkin berkesinambungan atau erratic, dan classical tertian atau
quartan fever hanya muncul setelah beberapa hari. Suhu tubuh selalu mencapai 41C dan
diikuti oleh menggigil dan keringat dingin. (Finch, R.G. et al, 2005).
Infeksi Plasmodium vivax dan Plasmodium ovale menyebabkan penyakit yang relatif ringan.
Anemia terjadi dengan perlahan, dan mungkin terdapat hepatosplenomegali yang nyeri.
Penyembuhan adalah spontan dan terjadi dalam 2-6 minggu. Walaupun begitu, hipnozoit
dalam hati dapat menyebabkan relaps yang sering berulang sehingga terjadi penyakit kronis
karena anemia dan splenomegali hiperaktif. Infeksi Plasmodium malariae juga relatif ringan,
tetapi lebih cenderung kronis. Parasitemia mungkin menetap bertahun-tahun, dan ini bisa
menunjukkan gejala atau sama sekali tidak bergejala. Infeksi Plasmodium malariae pada
anak-anak berhubungan dengan glomerulonefritis dan sindroma nefrotik. Infeksi
Plasmodium falciparum juga menyebabkan self-limiting illness yang mirip plasmodium yang

lain. Walaupun begitu, ia juga bisa menyebabkan komplikasi serius dan sebagian besar
kematian malaria adalah disebabkan Plasmodium falciparum. (Finch, R.G. et al, 2005)

Menurut Rosenthal (2008), World Health Organization (2000) telah


mengklasifikasikan beberapa kondisi tertentu sebagai tanda-tanda infeksi malaria berat.
Kondisi tersebut termasuk malaria serebral, masalah pernapasan, hipoglikemia, sirkulasi
kolaps atau shok, perdarahan spontan atau disseminated intravascular coagulation (DIC),
keterlibatan ginjal atau blackwater fever, anemia berat, kejang berulang, penurunan
kesadaran, prostration, jaundis, muntah tidak henti, dan parasitemia yang melebihi 2%.
Blackwater fever merupakan suatu keadaan yang disebabkan oleh hemolisis intravaskular
yang luas dan berlaku baik pada sel yang terinfeksi dan yang tidak terinfeksi, sehingga
menyebabkan urin berwarna hitam (Finch, R.G. et al, 2005). Sarkar et al (2010) mengatakan
sebanyak 10% dengan infeksi malaria berat akan meninggal oleh karena disfungsi
multiorgan.
DIAGNOSA

Anamnesa : asal penderita apakah dari daerah endemik malaria, riwayat bepergian ke

daerah malaria, riwayat pengobatan kuratip maupun preventif.


Pemeriksaan tetes darah untuk malaria :
Pemeriksaan mikroskopis dengan sediaan darah tebal dan tipis merupakan
pemeriksaan yang terpenting. Interpretasi pemeriksaan mikroskopis yang terbaik adalah
berdasarkan hitung kepadatan parasit dan indentifikasi parasit yang tepat. Pemeriksaan
mikroskopis satu kali yang memberi hasil negatif tidak menyingkirkan diagnosa demam
malaria dan untuk itu diperlukan pemeriksaan serial dengan interval pemeriksaan
diantara satu hari. Dalam hal ini waktu pengambilan sampel darah sebaiknya pada akhir
perode demam memasuki periode berkeringat. Periode ini tropozoit dalam sirkulasi
mencapai jumlah maksimal dan cukup matur sehingga memudahkan indentifikasi
spesies parasit. Pemeriksaan miroskopis dapat dilakukan dengan menggunakan
sediaan darah tebal dan tipis. Pemeriksaan miroskopis adalah merupakan standard
baku dan apabila dilakukan dengan cara yang benar mempunyai nilai sensitivitas dan
spesifitas hampir 100 %.
Cara pemeriksaan sediaan darah tebal
Untuk melihat adanya parasit aseksual dari plasmodium malaria dapat dilakukan
dengan mengambil darah dari jari tangan penderita kemudian diletakkan pada dek
gelas dan biarkan kering, kemudian selama 5 10 menit diwarnai dengan pewarnaan
giemsa yaitu cairan giemsa 10 % dalam larutan buffer PH 7,1. Setelah selesai diwarnai

maka sediaan darah dicuci dengan hati- hati selama 1-2 detik lalu biarkan kering dan
siap untuk diperiksa. Pemeriksaan dengan hapusan darah tebal diperlukan untuk
menghitung kepadatan parasit.
Cara pemeriksaan sediaan darah tipis
Sediaan darah tipis berguna untuk mengindentifikasi jenis parasit malaria. Cara
pengecatan sama dengan pemeriksaan darah tebal namun sebelum di cat sedian darah
difiksasi dulu dengan metanol murni.

Tes diagnostik cepat (Rapid Diagnostic Test)


Dalam dekade terakhir ini telah dikembangkan tes diagnostik cepat malaria

(selanjutnya disebut TDC). Tes ini disebut cepat karena memerlukan waktu paling lama
hanya 15 menit dibanding minimal 60 menit untuk pemeriksaan mikroskopik dihitung sejak
pengambilan sampel. Studi evaluasi (performance test) TDC tersebut baik di lapangan atau
di pusat-pusat pelayanan kesehatan telah dikerjakan di beberapa negara termasuk
Indonesia. Gold standard dalam evaluasi tes diagnostik ini adalah pemeriksaan mikroskopik
malaria atau dengan metoda polymerase chain reaction (PCR).
Cara kerja tes diagnostik cepat ini berdasarkan atas pendeteksian antigen-antigen
yang terdapat dalam Plasmodium. Antigen-antigen yang menjadi target dari tes diagnostik
cepat yang saat ini telah tersedia adalah sebagai berikut:

Histidine-rich protein II (HRP-II), suatu protein yang larut dalam air yang
disintesis oleh trofozoit dan gametosit muda dari P. falciparum. Tes ini diproduksi
pertamakali dengan merk Parasight-F. Tes semacam ini juga dikenal dengan nama ICT
Malaria Pf.

Parasite lactate dehydrogenase (pLDH) yang diproduksi parasit malaria stadium


aseksual maupun seksual. TDC yang tersedia saat ini dapat mendeteksi pLDH dari
semua spesies Plasmodium. TDC dapat membedakan antara P. falciparum dari nonfalciparum tetapi tidak dapat membedakan antara P. vivax, P. ovale dan P. malariae.
TDC yang dibuat untuk mendeteksi antigen ini antara lain tes OptiMAL.

Kombinasi antara antigen HRP-II dari P. falciparum dengan antigen pan-malarial


yang terdapat pada semua 4 spesies. Tes dengan kemampuan deteksi kombinasi
antigen ini dikenal dengan nama ICT Malaria Pf/Pv.
Semua tes diagnostik cepat malaria yang tersedia di pasaran saat ini dapat

mendeteksi Plasmodium falciparum, penyebab utama malaria berat dan kematian akibat
malaria. Hal ini karena TDC dapat mendeteksi antigen HRP-II atau ensim LDH parasit
(pLDH) yang terdapat pada P. falciparum. Pada pasien dengan malaria falciparum berat,
dapat terjadi sekuestrasi parasit sehingga parasit tidak selalu ditemukan di darah perifer,

dan karena itu diagnosis infeksi P. falciparum dapat terlewatkan oleh pemeriksaan
mikroskopik akibat tidak adanya parasit dalam sediaan darah tepi.
Evaluasi tes OptiMAL yang pertama dilakukan di Indonesia yaitu di Kabupaten
Banjarnegara, Jawa Tengah pada saat terjadi outbreak malaria pada tahun 2002,
menunjukkan nilai diagnostik yang hampir sama yaitu dengan sensitifitas, spesifisitas, nilai
ramal positif dan negatif masing-masing 85,7%, 89,9%, 60% dan 89,3% untuk P. falciparum
dan 92,7%, 96,1%, 95%.

Tes Serologi
Tes serologi mulai diperkenalkan sejak tahun 1962 dengan memakai tehnik indirect

fluorescent antibody test. Test ini berguna mendeteksi adanya antibodi specifik terhadap
malaria atau pada keadaan dimana parasit sangat minimal. Tes ini kurang bermanfaat
sebagai alat diagnostik sebab antibodi baru terjadi setelah beberapa hari parasitemia.
Manfaat tes serologi terutama untuk penelitian epidemiologi atau alat uji saring
donor darah. Titer > 1:200 dianggap sebagai infeksi baru, dan test > 1:20 dinyatakan positif.
Metode-metode tes serologi antara lain indirect haemagglutination test, immunoprecipitation
techniques, ELISA test, radio-immunoassay.

Pemeriksaan PCR (polymerase Chain Reaction)


Pemeriksaan ini dianggap sangat peka dengan teknologi amplifikasi DNA, waktu

dipakai cukup cepat dan sensitivitas maupun spesifisitasnya tinggi. Keunggulan tes ini
walaupun jumlah parasit sanngat sedikit dapat memberikan hasil positif. Tes ini baru dipakai
sebagai sarana penelitian dan belum untuk pemeriksaan rutin.
Menurut Hanscheid T. (1999), Pewarnaan Giemsa pada sediaan tebal dan tipis
merupakan standar untuk diagnosa malaria. National Institute of Malaria Research (2009)
juga mengatakan bahwa sediaan tebal dan tipis merupakan gold standard untuk
menegakkan suatu diagnosa malaria. Keuntungan dari perwarnaan adalah ia mempunyai
sensitivitas yang tinggi. Ini menunjukkan pewarnaan Giemsa mampu mendeteksi parasit
malaria walaupun pada densitas yang rendah. Selain itu, pewarnaan Giemsa juga dapat
menghitung beban parasit dan membedakan spesies malaria dan stadiumnya.
Pemeriksaan diagnostik yang lain termasuk analisa quantitative buffy coat (QBC)
dan rapid diagnostic tests (RDT). QBC merupakan suatu metode mikroskopik alternatif di
mana buffy coat yang telah disentrifuge diwarnai dengan flurokrom sehingga parasit malaria
kelihatan terang apabila diperiksa di bawah mikroskop (Finch, R.G. et al, 2005). WHO
(2005) menjelaskan bahwa RDT, yang juga disebut sebagai dip stick atau malaria rapid
diagnostic devices (MRRDs), membantu menegakkan diagnosa malaria dengan

membuktikan kehadiran parasit malaria dalam darah manusia. RDT merupakan alternatif
terhadap diagnosa yang ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis, terutama pada tempat
yang tidak mempunyai sarana mikroskopis yang berkualitas. Walaupun terdapat berbagai
jenis RDT, tetapi prinsip kerjanya sama, yaitu dengan mendeteksi antigen spesifik (protein)
yang dihasilkan oleh parasit malaria dan berada dalam sirkulasi darah orang yang terinfeksi.
Beberapa RDT hanya mampu mendeteksi satu spesies Plasmodium sedangkan yang lain
bisa mendeteksi beberapa spesies Plasmodium. Darah untuk pemeriksaan RDT biasanya
diambil melalui finger prick.
Menurut Roe & Pasvol (2009), keuntungan RDT adalah pemeriksaan ini tidak
memerlukan kepakaran yang tinggi untuk pelaksanaannya. Walaupun begitu, biaya RDT
mahal dan pemeriksaan tidak bersifat kuantitatif.
Polymerase chain reaction (PCR) sangat berguna untuk menegakkan diagnosa
malaria berdasarkan spesiesnya dan mendeteksi infeksi walaupun pada kadar parasitemia
yang rendah. Namun, biaya yang mahal, waktu lama yang diperlukan serta peralatan khas
yang diperlukan menyebabkan pemeriksaan malaria dengan menggunankan tidak praktis
(Roe & Pasvol, 2009). Marano & Freedman (2009) mengatakan bahwa PCR diperlukan
untuk mengidentifikasikan infeksi Plasmodium knowlesi. Ini karena pemeriksaan dengan
mikroskopi sediaan tebal dan tipis sering menimbulkan kekeliruan dengan spesies
Plasmodium malariae yang infeksinya bersifat lebih jinak berbanding Plasmodium knowlesi.

Tes serologi seperti indirect fluorescent antibody technique dan enzyme-linkedimmunosorbent assays (ELISA) tidak mempunyai nilai diagnostik untuk diagnosis malaria.
Walaupun begitu, metode serologis sangat berguna untuk skrinning pendonor darah
asimptomatis (Chew S.K., 1992).
PENATALAKSANAAN

Tabel 1. Pengobatan lini pertama untuk malaria falsiparum


Komposisi obat :
Artesunat : 50 mg/ tablet
Amodiakuin : 200 mg/ tablet 153 mg amodiakuin base / tablet
Semua pasien (kecuali ibu hamil dan anak usia < 1 tahun) diberikan tablet Primakuin
(1 tablet berisi: 15 mg primakuin basa ) dengan dosis 0,75 mg basa/kgBB/oral, dosis tunggal
pada hari I (hari pertama minum obat).
Dosis pada tabel diatas merupakan perhitungan kasar bila penderita tidak ditimbang
berat badannya. Dosis yang direkomendasi berdasarkan berat badan adalah:
-

Artesunat: 4 mg/kgBB dosis tunggal/hari/oral, diberikan pada hari I, hari II dan hari

III ditambah
Amodiakuin: 25 mg basa/kgBB selama 3 hari dengan pembagian dosis: 10 mg
basa/kgBB/hari/oral pada hari I dan hari II, serta 5 mg basa/kgBB/oral pada hari III.
Bila terjadi gagal pengobatan lini pertama, maka diberikan pengobatan lini kedua

seperti tabel 2 di bawah ini.

Tabel 2. Pengobatan lini kedua untuk malaria falsiparum


Keterangan:
*) Kina:
Pemberian kina pada anak usia < 1 tahun harus berdasarkan berat badan (ditimbang berat
badannya). Dosis kina: 30 mg/kgbb/hari (dibagi 3 dosis).
I. Doksisiklin tidak diberikan pada ibu hamil dan anak usia < 8 tahun
II. Dosis doksisiklin untuk anak usia 8 14 tahun: 2 mg/kg BB/hari
III. Bila tidak ada doksisiklin, dapat digunakan tetrasiklin
IV. Dosis Tetrasiklin: 25-50 mg/ kgBB/4 dosis/hari atau 4 x 1(250 mg) selama 7 hari;
tetrasiklin tidak boleh diberikan pada umur < 12 tahun dan ibu hamil.
V. Primakuin tidak boleh diberikan pada ibu hamil dan anak usia < 1 tahun.
VI. Dosis primakuin: 0,75 mg/kgbb, dosis tunggal.

PENGOBATAN MALARIA VIVAX/OVALE LINI PERTAMA DENGAN KLOROKUIN DAN LINI


KEDUA DENGAN KINA:
Bila pada pemeriksaan laboratorium ditemukan P. vivax/ovale, diberikan pengobatan
sesuai tabel 3 di bawah ini :

Tabel 3. Pengobatan malaria vivaks / malaria ovale


Perhitungan dosis berdasarkan berat badan untuk Pv / Po :
- Klorokuin : hari I & II = 10 mg/kg bb, hari III = 5 mg/kg bb
- Primakuin : 0,25 mg/kg bb /hari, selama 14 hari.
Bila terjadi gagal pengobatan lini pertama, maka diberikan pengobatan lini kedua
seperti tabel 4 di bawah ini.

Tabel 4. Pengobatan malaria vivaks / malaria ovale resisten klorokuin


Dosis berdasarkan berat badan : - Kina 30 mg/Kgbb/hari (dibagi 3 dosis)
- Primakuin 0,25 mg/kgbb.
PENGOBATAN MALARIA BERAT DENGAN ARTEMETER DAN KINA INJEKSI
Obat malaria berat
Lini pertama :Artemether injeksi diberikan secara intramuskuler, selama 5 hari.
Setiap ampul Artemether berisi 80 mg/ml.
Dosis dan cara pemberian artemheter :
Untuk dewasa: dosis inisial 160 mg (2 ampul) IM pada hari ke 1, diikuti 80 mg (1
ampul) IM pada hari ke 2 s/d ke 5. Dosis anak tergantung berat badan yaitu:

Hari Pertama : 3,2 mg/KgBB/hari


Hari II- V : 1,6 mg/KgBB/hari
Lini kedua : Kina perinfus/drip
Cara pemberian kina per-infus:
Dosis dewasa (termasuk ibu hamil) : Kina HCl 25 % dosis 10 mg/Kgbb (1 ampul isi
2 ml = 500 mg kina HCl 25 %) yang dilarutkan dalam 500 ml dekstrose 5 % atau NaCl 0,9 %
diberikan selama 8 jam, diulang dengan cairan yang sama setiap 8 jam terus-menerus
sampai penderita dapat minum obat.
Atau :
Kina HCl 25 % (perinfus), dosis 10mg/Kg BB/4jam diberikan setiap 8 jam, diulang
dengan cairan dan dosis yang sama setiap 8 jam sampai penderita dapat minum obat.
Dosis anak-anak : Kina HCl 25 % (per-infus) dosis 10 mg/kgbb (bila umur < 2 bulan
: 6-8 mg/kg bb) diencerkan dengan 5-10 cc dekstrosa 5 % atau NaCl 0,9 % per kgbb
diberikan selama 4 jam, diulang setiap 8 jam sampai penderita sadar dan dapat minum obat.
Apabila tidak memungkinkan pemberian kina per- infus maka kina dapat diberikan
intramuskular. Sediaan yang ada untuk pemberian intramuskular yaitu Kinin antipirin dengan
dosis: 10 mg/kgbb IM (dosis tunggal) yang merupakan pemberian anti malaria pra rujukan.
SUPORTIF

Pemberian cairan, nutrisi, transfusi darah

Penuhi kebutuhan volume cairan intravaskular dan jaringan dengan


pemberian oral atau parenteral.

Pelihara keadaan nutrisi.

Transfusi darah pack red cell 10 ml/kg bb atau whole blood 20 ml/kg bb
apabila anemia dengan Hb < 7,1g/dl.

Bila terjadi perdarahan, diberikan komponen darah yang sesuai.

Pengobatan gangguan asam basa dan elektrolit.

Pertahankan fungsi sirkulasi dengan baik, bila perlu pasang CVP.


Dialisis peritoneal dilakukan pada gagal ginjal.

Pertahankan oksigenasi jaringan, bila perlu berikan oksigen. Apabila


terjadi gagal nafas perlu pemasangan ventilator mekanik (bila
mungkin).

Pertahankan kadar gula darah normal.

Antipiretik

Diberikan apabila demam > 39 C, kecuali pada riwayat kejang demam


dapat diberikan lebih awal.

MONITORING TERAPI

Efektifitas pengobatan anti-malaria dinilai berdasarkan respon klinis dan


pemeriksaan parasitologis

1. Kegagalan pengobatan dini, bila penyakit berkembang menjadi :

Malaria berat hari ke-1, 2, 3 dan dijumpai parasitemia, atau

Parasitemia hari ke-3 dengan suhu aksila > 37,5 C

2. Kegagalan pengobatan lanjut, bila perkembangan penyakit pada hari ke 4-28 :

a. Secara klinis dan parasitologis

Adanya malaria berat setelah hari ke-3 dan parasitemia, atau

Parasitemia dan suhu aksila > 37,5 C pada hari ke 4-28 tanpa ada
kriteria kegagalan pengobatan dini

b. Secara parasitologis

Adanya parasitemia pada hari ke-7, 14, 21, dan 28

Suhu aksila < 37,5 C tanpa ada kriteria kegagalan pengobatan dini

3. Respon klinis dan parasitologis memadai, apabila pasien sebelumnya tidak


berkembang menjadi kegagalan butir No. 1 atau 2, dan tidak ada parasitemia.

DIAGNOSIS BANDING

1. Malaria ringan tanpa komplikasi :


i.demam tifoid
ii.demam dengue
iii.ISPA
iv.Leptospirosis ringan
v.infeksi virus akut lainnya
2. Malaria berat dengan komplikasi :

i.radang otak (meningoencepahalitis)


ii.tifoid encefalopati
iii.hepatitis
iv.leptospirosis berat
v.sepsis
vi.demam berdarah dengue
PENCEGAHAN

PENCEGAHAN

DARI

GIGITAN

NYAMUK

DENGAN

LONG

LASTING

INSECTICIDE TREATED NET (LLITN) ATAU INSECTICIDE TREATED NET (ITN).


PENCEGAHAN DENGAN MEMBUNUH JENTIK DISARANG SARANG NYAMUK

DENGAN LARVASIDA : BTI , ALTOSID DLL.


PENCEGAHAN DENGAN PENYEMPROTAN DINDING RUMAH ATAU TENDA
DENGAN INSEKTISIDA ETOFENPROX , LAMDA-SIHALOTRINE, BENDIOCARB,

DLL
PENCEGAHAN DENGAN MINUM OBAT PROFILAKSIS YAITU DOXYCICLINE
UNTUK PENDATANG BERUSIA > 8 TAHUN (1 TABLET 100 MG) UNTUK
PENDATANG DEWASA TIAP HARI 1 TABLET SEJAK 1 MINGGU SEBELUM

MASUK SAMPAI 1 BULAN SETELAH KEMBALI.


PEMETAAN GENANGAN AIR DENGAN JARAK SAMPAI 2 KM DEKAT
PEMUKIMAN PENDUDUK/PENGUNGSI.

Seperti kebanyakan penyakit vektor, pengontrolan malaria bergantung pada


kombinasi pengobatan penyakit, eradikasi vektor, dan perlindungan terhadap gigitan
nyamuk yang berupa vektor malaria. Eradikasi vektor biasanya dicapai dengan penggunaan
insektisida, menyemprot rumah-rumah dengan DDT (dichlorodiphenyltrichloroethane) yang
merupakan pestisida sintetik, ataupun dengan pengontrolan habitat seperti drainase rawa
(Finch, R.G. et al, 2005).
Menurut Chen L.H. et al (2006), pentingnya dan efektivitas upaya proteksi pribadi
harus ditegaskan terutama pada orang yang sering berpergian. Upaya ini termasuk perilaku
untuk mengurangi paparan terhadap nyamuk, misalnya tinggal di dalam pada senja sampai
fajar, menggunakan barrier clothing, penggunaan kelambu yang telah disemprot dengan
insektida, dan penggunaan mosquito repellent yang efektif. Freedman (2008) mengatakan

bahwa mosquito repellent yang digunakan harus mengandung 30%-50% DEET (N,Ndiethyl-3-methylbenzamide) dan dioleskan pada kulit setiap 4-6 jam.

Sampai saat ini, tidak terdapat vaksin yang efektif untuk malaria (Finch, R.G. et al, 2005).
Menurut Chen L.H. et al (2006), kebanyakan chemoprophylaxis regimen memberi proteksi
sebanyak 75% - 95%. Tidak terdapat chemoprophylactic regimen yang 100% efektif,
walaupun obat tersebut dikonsumsi dengan teratur dan baik. Walaupun begitu,
chemoprophylaxis antimalarial dapat mengurangkan keparahan infeksi jika seseorang digigit
oleh nyamuk yang terinfeksi. Berdasarkan itu, profilaksis malaria dianjurkan untuk orang
yang berpergian ke tempat endemis malaria. Freedman (2008) mengatakan bahwa sesiapa
yang baru pulang dari tempat endemis malaria dan menderita demam harus segera
berjumpa dengan dokter untuk pemeriksaan.
PROGNOSIS
Prognosis malaria tergantung kepada jenis malaria yang menginfeksi. Malaria tanpa
komplikasi biasanya akan membaik dengan pengobatan yang tepat. Tanpa pengobatan,
infeksi Plasmodium vivax dan Plasmodium ovale dapat berlanjut dan menyebabkan relaps
sampai 5 tahun. Infeksi Plasmodium malariae bisa bertahan lebih lama daripada
Plasmodium vivax dan Plasmodium ovale.

Infeksi Plasmodium falciparum dapat menyebabkan malaria serebral yang


selanjutnya dapat mengakibatkan kebingungan mental, kejang dan koma. Prognosis untuk
infeksi Plasmodium falciparum lebih buruk dan dapat berakhir dengan kematian dalam 24
jam sekiranya tidak ditangani dengan cepat dan tepat. (Medical Disability Guidelines, 2009)

DAFTAR PUSTAKA

Ferdinand JL, Suriadi G. Malaria di Indonesia. Dalam : Harijanto PN, ed. Malaria :
epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis dan Penanganan. Jakarta,
Penerbit Buku EGC ; 2000 : 17 22.
Gasem, Muhammad Hussein. Diagnosis dan Penatalaksanaan Terkini Malaria.
2004. Simposium AIDS, Tuberculosis, dan Malaria: Universitas Diponegoro

Harijanto PN. Gejala Klinik Malaria. Dalam Harijanto PN (ed) Malaria, Epidemiologi,
Patogenesis, Manifestasi Klinis dan Penanganan. Cetakan 1, EGC, Jakarta,
2000:151-64
Harijanto PN. Management of Cerebral Malaria. Med. Progr. 1999 : 23-72
Harijanto PN. Penanganan Malaria Berat. Penerbit Buku Kedokteran ECG 2000 :
224 36
Krogstad DJ. Plasmodium species (Malaria). In. Mandell GL, Bennett JE, Dolin R.
eds. Mandell, Douglas and Bennett's. Principles and Practice of Infectious
Diseases. 5th ed. Churchill Livingstone USA, 2000 : 2817 -2831.
Krudsood S, Wilairatana P, Vannaphan S, et al. Clinical experience with intravenous
quinine, intramuscular artemether and intravenous artesunate for the treatment
of severe malaria in Thailand. SouthEast Asia J. Trop Med Public Health 2003:
34(1): 54 -61
Njuguna PW, Newton CR. B. Management of severe falciparum malaria. J. Post
Grad. Med. 2004; 50 :45- 5
Warren KS dan Mahmoud AAF (1990). Tropical and Geographical ed ke 2, New
York, Mc Graw-Hill Information Services Co.
Manson-Bahr PEC dan Bell DR (1987), Mansons Tropical Disease ed ke 19,
London, English Language PEC dan Bell DR (1987). Manson tropical disease ed
ke 19, London, English language book society/Balliere Tyndall.
Strickland GTh (1991). Hunters tropical medicine ed ke 7, Philadelphia, WB
Saunders Co.

Anda mungkin juga menyukai