Malaria
Malaria
MALARIA
Di susun oleh ;
Cipto nirmolo
2006730011
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum wr. wb.
Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT atas berkat dan rahmat-Nya saya
dapat referat mengenai Malaria.
Tujuan saya dalam membuat referat ini
Penulis
PENDAHULUAN
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia.
Nomor:
DEFINISI
Malaria adalah penyakit infeksi parasit yang disebabkan oleh plasmodium yang
menyerang eritrosit dan ditandai dengan ditemukannya bentuk aseksual didalam darah.
Dapat berlangsung akut ataupun kronik. Infeksi malaria dapat berlangsung tanpa komplikasi
maupun mengalami komplikasi sistemik yang dikenal sebagai malaria berat.
Malaria merupakan suatu penyakit berpotensial fatal yang disebabkan oleh infeksi
parasit Plasmodium. Plasmodium ini ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk
Anopheles sp. betina yang telah terinfeksi dengan parasit tersebut (Parmet S. et al, 2007).
Sedangkan, Finch, R.G. et al (2005) mengatakan bahwa malaria merupakan suatu infeksi
yang menyerang pada sistem darah manusia.
ETIOLOGI
Terdapat 4 jenis malaria yaitu :
1.
2.
3.
4.
Berdasarkan Chew S.K. (1992), terdapat empat spesies plasmodium yang bisa
menginfeksi manusia yaitu, Plasmodium vivax, Plasmodium ovale, Plasmodium malariae,
dan Plasmodium falciparum. Walaupun begitu, studi terbaru telah menemukan suatu
spesies Plasmodium baru yang bisa menginfeksi manusia. Spesies Plasmodium yang
kelima ini dikenali sebagai Plasmodium knowlesi (Marano & Freedman, 2009).
CARA PENULARAN
Secara oral : Cara penularan ini pernah dibuktikan pada burung, ayam,
dan monyet.
EPIDEMIOLOGI
Infeksi malari tersebar pada lebih dari 100 negara di benua Afrika, Asia, Amerika
(bagian selatan) dan daerah Oceania dan kepulauan Karibia. Lebih dari 1,6 triliun manusia
terpapar oleh malaria dengan dugaan morbiditas 200-300 juta dan mortalitas lebih dari 1
juta pertahun. Beberapa daerah yang bebas malaria yaitu AS, Canada, negara di Eropa
(kecuali Rusia), Israel, Singapura, Hongkong, Japan, Taiwan, Korea, Brunei dan Australia.
Negara tersebut terhindar dari malaria karena vektor kontrolnya yang baik, walaupun
demikian di negara tersebut makin banyak dijumpai kasus malaria yang di Import karena
pendatang dari negara malaria atau penduduknya mengunjungi daerah-daerah malaria.
P. falsiparum dan P. Malariae umumnya dijumpai pada semua negara dengan
malaria, di Afrika, Haiti dan Papua Nugini umumnya P. Falciparum, P. Vivax banyak di
Amerika Latin. Di Amerika Selatan, Asia Tenggara, negara Oceania dan India umumnya
P.falciparum dan P.vivax. P.ovale biasanya hanya di Afrika. Di Indonesia kawasan Timur
mulai dari Kalimantan, Sulawesi Tengah sampai ke Utara, Maluku, Irian Jaya, dan dari
lombok sampai NTT merupakan daerah endemis malaria dengan P.falciparum dan P.vivax.
Beberapa daerah di Sumatra mulai dari Lampung, Riau, Jambi dan Batam kasus malaria
cenderung meningkat.
Di daerah mana saja yang terdapat suhu yang sesuai, yaitu melebihi isotherm 16C,
serta terdapat koeksistensi manusia dan nyamuk Anopheles sp, maka terdapat faktor risiko
untuk penularan malaria. Kelima-lima parasit Plasmodium yang bisa menginfeksi manusia
terdistribusi di tempat geografis yang berbeda. Plasmodium falciparum paling sering ditemui
di Afrika Sub-Sahara dan Melanesia; Plasmodium vivax pula ditemui di Amerika Sentral,
Amerika Selatan, Afrika Utara, Timur Tengah, dan subkontinen India; Plasmodium Ovale
ditemui hampir secara eksklusif di Afrika Barat; Plasmodium malariae bisa ditemui di seluruh
dunia walaupun terkonsentrasi di Afrika dan Plasmodium knowlesi yang sejak kebelakangan
ini didokumentasikan di beberapa kepulauan Bornea serta di beberapa daerah Asia
Tenggara (Roe & Pasvol, 2009).
SIKLUS HIDUP
Infeksi parasit malaria pada manusia mulai bila nyamuk anoopheles betina menggigit
manusia dan nyamuk akan melepaskan sporozoit ke dalam pembuluh darah dimana
sebagian besar dalam waktu 45 menit akan menuju ke hati dan sebagian kecil sisanya akan
mati di darah. Di dalam sel parenkim hati mulailah perkembangan aseksual (intrahepatic
schizogony atau pre-erythroocytes schizogony). Perkembangan ini memerlukan waktu 5,5
hari untuk P.falciparum dan 15 hari untuk P.malariae. setelah sel parenkim hati terinfeksi,
terbentuk zigott hati yang apabila pecah akan mengeluarkan banyak merozoit ke sirkulasi
darah. Pada P.vivax dan ovale, sebagian parasit di dalam sel hati membentuk hipnozoit
yang dapat bertahan sampai bertahun-tahun, dan bentuk ini yang akan menyebabkan
terjadinya relaps pada malaria.
Setelah berada dalam sirkulasi darah merozoit akan menyerang eritrosit dan masuk
melalui reseptor permukaan eritrosit. Pada P.vivax reseptor ini berhubungan dengan faktor
antigen duffy Fya atau Fyb. Hal ini menyebabkan individu dengan golongan darah Duffy
negatif tidak terinfeksi malaria vivax. Reseptor untuk P.falciparum diduga suatu
glycophorins, sedangkan P.malariae dan P.ovale belum diketahui. Dalam waktu kurang dari
12 jam parasit berubah menjadi bentuk ring, pada P.falciparum menjadi bentuk stereoheadphones, yang mengandung kromatin dalam intinya dikelilingi sitoplasma. Parasit
tumbuh setelah memakan hemoglobin dan dalam metabolismenya membentuk pigment
yang disebut hemozoin yang dapat dilihat secara mikroskopik. Eritrosit yang berparasit
menjadi lebih elastik dan dinding berubah lonjong, pada p.falciparum dinding eritrosit
membentuk
tonjolan
yang
disebut
knobb
yang
nantinya
penting
dalam
proses
cytoadherence dan rosetting. Setelah 36 jam invasi ke dalam eritrosit, parasit berubah
menjadi scizont, dan bila skizont pecah akan mengeluarkan 6-36 merozoit dan siap
menginfeksi eritrosit yang lain. Siklus aseksual ini pada P.falciparum, P.vivax dan P.ovale
ialah 48jam dan pada P.malariae adalah 72 jam.
Di dalam darah sebagian parasit akan membentuk gamet jantan dan betina, dan bila
nyamuk menghisap darah manusia yang sakit akan terjadi siklus seksual dalam tubuh
nyamuk. Setelah terjadi perkawinan akan terbentuk zygote dan menjadi lebih bergerak
menjadi ookinet yang menembus dinding perut nyamuk dan akhirnya menjadi oocyst yang
akan menjadi masak dan mengeluarkan sporozoit yang akan bermigrasi ke kelenjar ludah
nyamuk dan siap menginfeksi manusia.
Siklus hidup Plasmodium
Siklus hidup Plasmodium terjadi pada tubuh nyamuk dan manusia.
Siklus seksual parasit malaria berkembang di darah manusia yang telah terinfeksi.
Nyamuk Anopheles sp. betina akan terinfeksi setelah menggigit orang yang darahnya
mengandung gametosit. Siklus perkembangan Plasmodium dalam nyamuk berkisar 7-20
hari, dan akhirnya berkembang menjadi sporozoit yang bersifat infektif. Sporozoit ini yang
akan bermigrasi ke kelenjar ludah nyamuk dan kemudian akan ditransmisi kepada manusia
lainnya apabila digigit oleh nyamuk yang terinfeksi ini. Nyamuk Anopheles yang terinfeksi ini
akan bersifat infektif sepanjang hidupnya.
Sporozoit yang telah diinokulasi pada manusia akan bermigrasi kepada hati dan
bermultiplikasi dalam hepatosit sebagai merozoit. Setelah beberapa hari, hepatosit yang
terinfeksi akan ruptur dan melepaskan merozoit ke dalam darah di mana mereka akan
menginfeksi eritrosit. Parasit akan multiplikasi dalam eritrosit sekali lagi dan berubah dari
merozoit kepada trofozoit, skizont, dan akhirnya muncul sebagai 8-24 merozoit yang baru.
Eritrosit akan pecah, dan melepaskan merozoit untuk menginfeksi sel-sel yang lain. Setiap
siklus dari proses ini, yang dikenali sebagai skizogoni eritrositik, akan berlangsung selama
48 jam pada Plasmodium vivax, Plasmodium ovale, Plasmodium falciparum dan 72 jam
pada Plasmodium malariae. Dengan setiap siklus ini, parasit akan bertambah secara
logaritmik dan setiap kali sel-sel ruptur akan terjadi serangan klasik demam yang intermiten.
(Finch, R.G. et al, 2005; Bradley, 1998)
PATOGENESIS
ke dalam
sirkulasi. Merozoityang dilapaskan akan masuk dalam sel RES di limpa dan mengalami
fagositosis serta filtrasi. Merozoit yang lolos dari filtrasi dan fagositosis di limpa akan
menginvasi eritrosit. Selanjutnya parasit berkembang biak secara aseksual dala eritrosit.
Bentuk aseksual parasit dalam eritrosit (EP) inilah yang bertanggung jawab dalam
patogenesa terjadinya malaria pada manusia. Patogenesa malaria yang banyak diteliti
adalah patogenesa malaria yang disebabkan oleh P.falciparum.
Patogenesis malaria falsiparum dipengaruhi oleh faktor parasit dam faktor pejamu
(host). Yang termasuk dalam faktor parasit adalah intensitas transmisi, densitas parasit dan
virulensi parasit. Sedangkan yang masuk dalam faktor pejamu adalah tingkat endemisitas
daerah tempat tinggal, genetik, usia, status nutrisi dan status imunologi. Parasit dalam
eritrosit (EP) secara garis besar mengalami 2 stadium, yaitu stadium cincin pada 24 jam I
dan stadium matur pada 24 jam II. Permukaan EP stadium cincin akan menampilkan antigen
RESA (ring-erythrocyte surgace antigen) yang menghilang setelah parasit masuk stadium
matur. Permukaan membran EP stadium matur akan mengalami penonjolan dan
membentuk knob dengan Histidin Rich-protein-1 (HRP-1) sebagai komponen utamanya.
Selanjutnya bila EP tersebut mengalami merogoni, akan dilepaskan toksin malaria berupa
GPI yang merangsang pelepasan TNF- dan interleukin-1 (IL-1) dari makrofag.
Sitoadherensi ialah perlekatan antara EP stadium matur pada permukaan endotel
vaskuler. Perlekatan terjadi dengan cara molekul adhesif yang terletak dipermukaan endotel
vaskuler.
Sekuestrasi. Sitoadheren menyebabkan EP matur tiidak beredar kembali dalam
sirkulasi. Parasit dalam eritrosit matur yang tinggal dalam jaringan mikrovaskuler di sebutr
EP yang mengalami sekuestrasi. Hanya P.falciparum yang mengalami sekuestrasi, karena
pada plasmodium lainnya seluruh siklus terjadi pada pembuluh darah perifer.
Rosetting ialah berkelompoknya EP matur yang diselubungi 10 atau lebih eritrosit
yang non-parasit.
Sitokin terbentuk dari sel endotel, monosit dan makrofag setelah mendapat stimulasi
dari malaria toksin (LPS,GPI).
Nitrit Oksida memberikan efek protektif karena membatasi perkembangan parasit
dan menurunkan ekspresi molekuladhesi.
Gejala klinis yang muncul pada infeksi malaria disebabkan secara tunggal oleh
bentuk aseksual Plasmodium yang bersirkulasi di dalam darah. Parasit ini menginvasi serta
menghancurkan sel darah merah, menetap di organ penting dan jaringan tubuh,
menghambat sirkulasi mikro, serta melepaskan toksin yang akan menginduksi pelepasan
sitokin yang bersifat proinflammatory sehingga terjadi rigor malaria yang klasik (Roe &
Pasvol, 2009). Patologi malaria berhubungan dengan anemia, pelepasan sitokin, dan pada
kasus Plasmodium falciparum, kerusakan organ multipel yang disebabkan oleh gangguan
mikrosirkulasi. Parasitemia Plasmodium falciparum adalah lebih parah berbanding yang lain
karena ia akan memparasitisasi eritrosit berbagai usia.
Plasmodium vivax dan Plasmodium ovale hanya menginfeksi retikulosit dan eritrosit
muda sedangkan Plasmodium malariae hanya menyerang pada eritrosit yang lebih tua.
Oleh karena seleksi ini, infeksi Plasmodium falciparum menimbulkan gejala klinis yang hebat
sekali (Finch, R.G. et al, 2005). Kakkilaya (2006) mengatakan malaria Plasmodium
falciparum ditandai oleh pembentukan sticky knob pada permukaan sel darah merah, adhesi
sel darah merah pada sel endotelial di venul post kapiler, dan pembentukan rosette dengan
sel yang belum terinfeksi. Ini akan menyebabkan adhesi pada kapilar otak, ginjal, usus, hati
dan organ lain. Selain daripada menyebabkan obstruksi mekanik, skizont yang telah ruptur
ini akan merangsang pelepasan toksin dan menstimulasi pelepasan sitokin yang lebih.
Menurut Rosenthal (2008), suatu karakteristik khas Plasmodium falciparum adalah
cytoadherence, di mana eritrosit yang terinfeksi dengan parasit matang akan melekat pada
sel endotel mikrovaskular. Proses ini dikatakan sebagai suatu kelebihan untuk parasit
karena ini bisa menghambat jalur masuknya eritrosit abnormal ke dalam limpa untuk
dihancurkan. Konsentrasi tinggi eritrosit yang terinfeksi oleh Plasmodium falciparum dalam
sirkulasi darah serta interplay antara faktor penjamu dan parasit ini yang akan menyebabkan
manifestasi infeksi malaria berat seperti malaria serebral, non-cardiogenic pulmonary
edema, dan gagal ginjal.
Chotivanich, K. et al (2002) dalam suatu studinya tentang peran limpa dalam malaria
parasite clearance mengatakan bahwa sel darah merah yang telah terinfeksi oleh malaria
mengandung parasit yang semakin membesar dan bersifat kaku. Dimulai kira-kira dari 13
16 jam pertama sehingga pertengahan siklus aseksual, sel darah merah yang terinfeksi
akan melekat pada endotelial vaskular sehingga dapat mencegah parasit masuk ke dalam
limpa yang bersifat untuk membersihkan darah. Parasit pada tahap awal berukuran kecil
dan fleksibel, sehingga tidak mengganggu konfigurasi membran sel darah merah ataupun
mengekspresikan antigen parasitnya secara eksternal. Tetapi, parasit pada tahaplanjut, yaitu
trofozoit dan skizont matang, berukuran lebih besar sehingga mengubah bentuk diskoid sel
darah merah yang terinfeksi serta memasukkan neoantigen seperti ring-infected erythrocyte
surface antigen (RESA) dan Plasmodium falciparum erythrocyte membrane 1 (Pf EMP 1)
pada membran sel darah merah penjamu. Adhesin antigenik parasit Pf EMP 1 tersebut
diekspresikan di permukaan luar sel darah merah, dan perubahan ini yang menyebabkan
deformitas pada sel darah merah sehingga terjadi peningkatan antigenicity.
Setelah infeksi yang berulang, akan terjadi pembentukan imunitas parsial. Ini akan
membantu penjamu untuk bertoleransi dengan parasitemia dengan penyakit minimal.
Walaupun begitu, imunitas ini akan hilang jika penjamu tidak terinfeksi lagi dalam beberapa
tahun. Terdapat beberapa faktor genetik yang memberi imunitas terhadap malaria. Orang
yang tidak mempunyai antigen Duffy pada membran sel darah merah (sering pada Afrika
Barat) tidak rentan terhadap infeksi Plasmodium vivax. Beberapa hemoglobinopati termasuk
sickle cell trait juga memberi proteksi terhadap efek parah malaria. Defisiensi besi juga bisa
mengurangi keparahan infeksi malaria. Selain itu, limpa juga mempunyai peranan yang
penting dalam mengontrol infeksi dan orang yang telah menjalani operasi splenektomi
mempunyai risiko yang tinggi untuk infeksi malaria yang luar biasa (Finch, R.G. et al, 2005).
GEJALA KLINIS
Gejala prodromal seperti lesu, sakit kepala, nyeri otot/ tulang, mual, anoreksia, diare
ringan, perut tak enak, dan kadang- kadang rasa dingin dipunggung.
Gejala yang klasik yaitu terjadinya Trias Malaria/gejala paroksismal secara
berurutan : periode-dingin (15-60 menit) : mulai menggigil, penderita sering membungkus
diri dengan selimut atau sarung dan pada saat menggigil sering seluruh badan bergetar dan
gigi-gigi saling terantuk, diikuti dengan meningkatnya temperatur, diikuti dengan periodepanas : muka penderita merah, nadi cepat dan panas badan tetap tinggi beberapa jam,
diikuti dengan keadaan berkeringat, kemudian periode-berkeringat : penderita berkeringat
banyak dan temperatur turun, dan penderita merassa sehat. Trias malaria lebih sering
terjadi pada infeksi P.vivax, pada P.falciparum menggigil dapat berlangsung berat maupun
tidak ada. Periode tidak panas berlangsung 12 jam pada P.falciparum, 36 jam pada P.vivax
dan ovale, 60 jam pada P.malariae.
pertama panas ireguler, kadang-kadang remiten atau intermiten, pada saat tersebut
perasaan dingin atau menggigil jarang terjadi. Pada akhir minggu tipe panas menjadi
intermiten dan periodik setiap 48 jam dengan gejala klasik trias malaria. Serangan
paroksismal biasanya terjadi waktu sore hari. Kepadatan parasit mencapai maksimal dalam
waktu 7-14 hari. Pada minggu ke dua limpa mulai teraba. Parasitemia mulai menurun
setelah 14 hari, limpa masih membesar dan panas masih berlangsung, pada akhir minggu
ke lima panas mulai turun secara krisis. Pada malaria vivax manifestasi klinik dapat
berlangsung secara berat tapi kurang membahayakan, limpa dapat membesar sampai
derajat 4 atau 5 (ukuran Hacket). Malaria serebral jarang terjadi. Edema tungkai disebabkan
karena hipoalbuminemia.
Mortalitas malaria vivaks rendah tapi morbiditas tinggi karena seringnya terjadi
relapse. Pada penderita yang semi-immune perlangsungan malaria vivaks tidak spesifik dan
ringan saja, parasitemia hanya rendah, serangan demam hanya pendek dan penyembuhan
lebih cepat. Resistensi terhadap klorokuin pada malaria vivaks juga dilaporkan di Irian Jaya
dan di daerah lainya. Relaps sering terjadi karena keluarnya hipnozoit yang tertinggal di hati
pada saat status imun tubuh menurun.
Manifestasi klinis seperti pada malaria vivax hanya berlangsung lebih ringan, anemia jarang
terjadi, splenomegali sering dijumpai walaupun pembesaran ringan. Serangan paroksismal
terjadi tiap 3-4 hari, biasanya pada waktu sore dan parasitemia sangat rendah <1%.
hari, serangan paroksismal 3-4 hari terjadi malam hari dan jarang lebih dari 10 kali walaupun
tanpa terapi. Apabila terjadi infeksi campuran dengan plassmodium lain, maka P.ovale tidak
akan tampak di darah tepi, tetapi palsmodium yang lain yang akan di temukan. Gejala klinis
hampir sama dengan malaria vivaks, lebih ringan, puncak panas lebih rendah dan
perlangsungan lebih pendek, dan dapat sembuh spontan tanpa pengobatan. Serangan
menggigil jarang terjadi dan splenomegali jarang sampai dapat diraba.
ireguler, anemia, splenomegali, parasitemia sering dijumpai, dan sering terjadi komplikasi.
Masa inkubasi 9-14 hari. Malaria tropika mempunyai perlangsungan yang cepat, dan
parasitemia yang tinggi dan menyerang semua bentuk eritrosit. Gejala prodromal yang
sering dijumpai yaitu sakit kepala, nyeri belakang/tungkai, lesu, perasaan dingin, mual,
muntah dan diare. Parasit sulit ditemui padda penderita dengan pengobatan supresif. Panas
biasanya ireguler dan tidak periodik, sering terjadi hiperpireksia dengan temperatur di atass
40oC.
Gejala lain berupa konvulsi, pneumonia aspirasi dan banyak keringat walaupun
temperatur normal. Apabila infeksi memberat nadi cepat, nausea, muntah, diare menjadi
berat dan diikuti kelainan paru (batuk). Splenomegali dijumpai lebih sering daripada
hepatomegali dan nyeri pada perabaan, hati membesar dapat disertai timbulnya ikterus.
Kelainan urin dapat berupa albuminuria, hialin, dan kristal yang granuler. Anemia lebih
menonjol dengan leukopenia dan monositosis.
Plasmodium vivax, Plasmodium ovale dan Plasmodium malariae bisa menyebabkan
demam tinggi yang intermiten pada manusia, tetapi jarang mengakibatkan kematian,
sedangkan Plasmodium falciparum merupakan malignant tertian dan bersifat fatal jika tidak
diobati segera, terutama pada serangan pertama (Bradley, 1998).
Menurut Parmet S. et al (2007), gejala klinis malaria pada umumnya muncul 9-14
hari setelah gigitan nyamuk Anopheles yang terinfeksi. Gejala yang dapat muncul termasuk
menggigil yang tiba-tiba, demam yang bersifat intermiten, keringat, kelelahan, sakit kepala,
kejang, dan delirium. Roe & Pasvol (2009) pula mengatakan bahwa waktu inkubasi malaria
tergantung pada lingkungan. Kondisiyang optimal dapat menyebabkan manifestasi gejala
klinis dalam 7 hari saja. Walaupun begitu, terdapat beberapa kasus tertentu yang gejala
klinis hanya muncul setelah 20 tahun, dan ini berlaku terutama pada infeksi Plasmodium
malariae.
Gejala klinis yang paling sering ditemui pada malaria adalah demam. Pada infeksi
awal, malaria bisa bermanifestasi sebagai malaise, sakit kepala, muntah, atau diare.
Demam pada awalnya mungkin berkesinambungan atau erratic, dan classical tertian atau
quartan fever hanya muncul setelah beberapa hari. Suhu tubuh selalu mencapai 41C dan
diikuti oleh menggigil dan keringat dingin. (Finch, R.G. et al, 2005).
Infeksi Plasmodium vivax dan Plasmodium ovale menyebabkan penyakit yang relatif ringan.
Anemia terjadi dengan perlahan, dan mungkin terdapat hepatosplenomegali yang nyeri.
Penyembuhan adalah spontan dan terjadi dalam 2-6 minggu. Walaupun begitu, hipnozoit
dalam hati dapat menyebabkan relaps yang sering berulang sehingga terjadi penyakit kronis
karena anemia dan splenomegali hiperaktif. Infeksi Plasmodium malariae juga relatif ringan,
tetapi lebih cenderung kronis. Parasitemia mungkin menetap bertahun-tahun, dan ini bisa
menunjukkan gejala atau sama sekali tidak bergejala. Infeksi Plasmodium malariae pada
anak-anak berhubungan dengan glomerulonefritis dan sindroma nefrotik. Infeksi
Plasmodium falciparum juga menyebabkan self-limiting illness yang mirip plasmodium yang
lain. Walaupun begitu, ia juga bisa menyebabkan komplikasi serius dan sebagian besar
kematian malaria adalah disebabkan Plasmodium falciparum. (Finch, R.G. et al, 2005)
Anamnesa : asal penderita apakah dari daerah endemik malaria, riwayat bepergian ke
maka sediaan darah dicuci dengan hati- hati selama 1-2 detik lalu biarkan kering dan
siap untuk diperiksa. Pemeriksaan dengan hapusan darah tebal diperlukan untuk
menghitung kepadatan parasit.
Cara pemeriksaan sediaan darah tipis
Sediaan darah tipis berguna untuk mengindentifikasi jenis parasit malaria. Cara
pengecatan sama dengan pemeriksaan darah tebal namun sebelum di cat sedian darah
difiksasi dulu dengan metanol murni.
(selanjutnya disebut TDC). Tes ini disebut cepat karena memerlukan waktu paling lama
hanya 15 menit dibanding minimal 60 menit untuk pemeriksaan mikroskopik dihitung sejak
pengambilan sampel. Studi evaluasi (performance test) TDC tersebut baik di lapangan atau
di pusat-pusat pelayanan kesehatan telah dikerjakan di beberapa negara termasuk
Indonesia. Gold standard dalam evaluasi tes diagnostik ini adalah pemeriksaan mikroskopik
malaria atau dengan metoda polymerase chain reaction (PCR).
Cara kerja tes diagnostik cepat ini berdasarkan atas pendeteksian antigen-antigen
yang terdapat dalam Plasmodium. Antigen-antigen yang menjadi target dari tes diagnostik
cepat yang saat ini telah tersedia adalah sebagai berikut:
Histidine-rich protein II (HRP-II), suatu protein yang larut dalam air yang
disintesis oleh trofozoit dan gametosit muda dari P. falciparum. Tes ini diproduksi
pertamakali dengan merk Parasight-F. Tes semacam ini juga dikenal dengan nama ICT
Malaria Pf.
mendeteksi Plasmodium falciparum, penyebab utama malaria berat dan kematian akibat
malaria. Hal ini karena TDC dapat mendeteksi antigen HRP-II atau ensim LDH parasit
(pLDH) yang terdapat pada P. falciparum. Pada pasien dengan malaria falciparum berat,
dapat terjadi sekuestrasi parasit sehingga parasit tidak selalu ditemukan di darah perifer,
dan karena itu diagnosis infeksi P. falciparum dapat terlewatkan oleh pemeriksaan
mikroskopik akibat tidak adanya parasit dalam sediaan darah tepi.
Evaluasi tes OptiMAL yang pertama dilakukan di Indonesia yaitu di Kabupaten
Banjarnegara, Jawa Tengah pada saat terjadi outbreak malaria pada tahun 2002,
menunjukkan nilai diagnostik yang hampir sama yaitu dengan sensitifitas, spesifisitas, nilai
ramal positif dan negatif masing-masing 85,7%, 89,9%, 60% dan 89,3% untuk P. falciparum
dan 92,7%, 96,1%, 95%.
Tes Serologi
Tes serologi mulai diperkenalkan sejak tahun 1962 dengan memakai tehnik indirect
fluorescent antibody test. Test ini berguna mendeteksi adanya antibodi specifik terhadap
malaria atau pada keadaan dimana parasit sangat minimal. Tes ini kurang bermanfaat
sebagai alat diagnostik sebab antibodi baru terjadi setelah beberapa hari parasitemia.
Manfaat tes serologi terutama untuk penelitian epidemiologi atau alat uji saring
donor darah. Titer > 1:200 dianggap sebagai infeksi baru, dan test > 1:20 dinyatakan positif.
Metode-metode tes serologi antara lain indirect haemagglutination test, immunoprecipitation
techniques, ELISA test, radio-immunoassay.
dipakai cukup cepat dan sensitivitas maupun spesifisitasnya tinggi. Keunggulan tes ini
walaupun jumlah parasit sanngat sedikit dapat memberikan hasil positif. Tes ini baru dipakai
sebagai sarana penelitian dan belum untuk pemeriksaan rutin.
Menurut Hanscheid T. (1999), Pewarnaan Giemsa pada sediaan tebal dan tipis
merupakan standar untuk diagnosa malaria. National Institute of Malaria Research (2009)
juga mengatakan bahwa sediaan tebal dan tipis merupakan gold standard untuk
menegakkan suatu diagnosa malaria. Keuntungan dari perwarnaan adalah ia mempunyai
sensitivitas yang tinggi. Ini menunjukkan pewarnaan Giemsa mampu mendeteksi parasit
malaria walaupun pada densitas yang rendah. Selain itu, pewarnaan Giemsa juga dapat
menghitung beban parasit dan membedakan spesies malaria dan stadiumnya.
Pemeriksaan diagnostik yang lain termasuk analisa quantitative buffy coat (QBC)
dan rapid diagnostic tests (RDT). QBC merupakan suatu metode mikroskopik alternatif di
mana buffy coat yang telah disentrifuge diwarnai dengan flurokrom sehingga parasit malaria
kelihatan terang apabila diperiksa di bawah mikroskop (Finch, R.G. et al, 2005). WHO
(2005) menjelaskan bahwa RDT, yang juga disebut sebagai dip stick atau malaria rapid
diagnostic devices (MRRDs), membantu menegakkan diagnosa malaria dengan
membuktikan kehadiran parasit malaria dalam darah manusia. RDT merupakan alternatif
terhadap diagnosa yang ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis, terutama pada tempat
yang tidak mempunyai sarana mikroskopis yang berkualitas. Walaupun terdapat berbagai
jenis RDT, tetapi prinsip kerjanya sama, yaitu dengan mendeteksi antigen spesifik (protein)
yang dihasilkan oleh parasit malaria dan berada dalam sirkulasi darah orang yang terinfeksi.
Beberapa RDT hanya mampu mendeteksi satu spesies Plasmodium sedangkan yang lain
bisa mendeteksi beberapa spesies Plasmodium. Darah untuk pemeriksaan RDT biasanya
diambil melalui finger prick.
Menurut Roe & Pasvol (2009), keuntungan RDT adalah pemeriksaan ini tidak
memerlukan kepakaran yang tinggi untuk pelaksanaannya. Walaupun begitu, biaya RDT
mahal dan pemeriksaan tidak bersifat kuantitatif.
Polymerase chain reaction (PCR) sangat berguna untuk menegakkan diagnosa
malaria berdasarkan spesiesnya dan mendeteksi infeksi walaupun pada kadar parasitemia
yang rendah. Namun, biaya yang mahal, waktu lama yang diperlukan serta peralatan khas
yang diperlukan menyebabkan pemeriksaan malaria dengan menggunankan tidak praktis
(Roe & Pasvol, 2009). Marano & Freedman (2009) mengatakan bahwa PCR diperlukan
untuk mengidentifikasikan infeksi Plasmodium knowlesi. Ini karena pemeriksaan dengan
mikroskopi sediaan tebal dan tipis sering menimbulkan kekeliruan dengan spesies
Plasmodium malariae yang infeksinya bersifat lebih jinak berbanding Plasmodium knowlesi.
Tes serologi seperti indirect fluorescent antibody technique dan enzyme-linkedimmunosorbent assays (ELISA) tidak mempunyai nilai diagnostik untuk diagnosis malaria.
Walaupun begitu, metode serologis sangat berguna untuk skrinning pendonor darah
asimptomatis (Chew S.K., 1992).
PENATALAKSANAAN
Artesunat: 4 mg/kgBB dosis tunggal/hari/oral, diberikan pada hari I, hari II dan hari
III ditambah
Amodiakuin: 25 mg basa/kgBB selama 3 hari dengan pembagian dosis: 10 mg
basa/kgBB/hari/oral pada hari I dan hari II, serta 5 mg basa/kgBB/oral pada hari III.
Bila terjadi gagal pengobatan lini pertama, maka diberikan pengobatan lini kedua
Transfusi darah pack red cell 10 ml/kg bb atau whole blood 20 ml/kg bb
apabila anemia dengan Hb < 7,1g/dl.
Antipiretik
MONITORING TERAPI
Parasitemia dan suhu aksila > 37,5 C pada hari ke 4-28 tanpa ada
kriteria kegagalan pengobatan dini
b. Secara parasitologis
Suhu aksila < 37,5 C tanpa ada kriteria kegagalan pengobatan dini
DIAGNOSIS BANDING
PENCEGAHAN
DARI
GIGITAN
NYAMUK
DENGAN
LONG
LASTING
DLL
PENCEGAHAN DENGAN MINUM OBAT PROFILAKSIS YAITU DOXYCICLINE
UNTUK PENDATANG BERUSIA > 8 TAHUN (1 TABLET 100 MG) UNTUK
PENDATANG DEWASA TIAP HARI 1 TABLET SEJAK 1 MINGGU SEBELUM
bahwa mosquito repellent yang digunakan harus mengandung 30%-50% DEET (N,Ndiethyl-3-methylbenzamide) dan dioleskan pada kulit setiap 4-6 jam.
Sampai saat ini, tidak terdapat vaksin yang efektif untuk malaria (Finch, R.G. et al, 2005).
Menurut Chen L.H. et al (2006), kebanyakan chemoprophylaxis regimen memberi proteksi
sebanyak 75% - 95%. Tidak terdapat chemoprophylactic regimen yang 100% efektif,
walaupun obat tersebut dikonsumsi dengan teratur dan baik. Walaupun begitu,
chemoprophylaxis antimalarial dapat mengurangkan keparahan infeksi jika seseorang digigit
oleh nyamuk yang terinfeksi. Berdasarkan itu, profilaksis malaria dianjurkan untuk orang
yang berpergian ke tempat endemis malaria. Freedman (2008) mengatakan bahwa sesiapa
yang baru pulang dari tempat endemis malaria dan menderita demam harus segera
berjumpa dengan dokter untuk pemeriksaan.
PROGNOSIS
Prognosis malaria tergantung kepada jenis malaria yang menginfeksi. Malaria tanpa
komplikasi biasanya akan membaik dengan pengobatan yang tepat. Tanpa pengobatan,
infeksi Plasmodium vivax dan Plasmodium ovale dapat berlanjut dan menyebabkan relaps
sampai 5 tahun. Infeksi Plasmodium malariae bisa bertahan lebih lama daripada
Plasmodium vivax dan Plasmodium ovale.
DAFTAR PUSTAKA
Ferdinand JL, Suriadi G. Malaria di Indonesia. Dalam : Harijanto PN, ed. Malaria :
epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis dan Penanganan. Jakarta,
Penerbit Buku EGC ; 2000 : 17 22.
Gasem, Muhammad Hussein. Diagnosis dan Penatalaksanaan Terkini Malaria.
2004. Simposium AIDS, Tuberculosis, dan Malaria: Universitas Diponegoro
Harijanto PN. Gejala Klinik Malaria. Dalam Harijanto PN (ed) Malaria, Epidemiologi,
Patogenesis, Manifestasi Klinis dan Penanganan. Cetakan 1, EGC, Jakarta,
2000:151-64
Harijanto PN. Management of Cerebral Malaria. Med. Progr. 1999 : 23-72
Harijanto PN. Penanganan Malaria Berat. Penerbit Buku Kedokteran ECG 2000 :
224 36
Krogstad DJ. Plasmodium species (Malaria). In. Mandell GL, Bennett JE, Dolin R.
eds. Mandell, Douglas and Bennett's. Principles and Practice of Infectious
Diseases. 5th ed. Churchill Livingstone USA, 2000 : 2817 -2831.
Krudsood S, Wilairatana P, Vannaphan S, et al. Clinical experience with intravenous
quinine, intramuscular artemether and intravenous artesunate for the treatment
of severe malaria in Thailand. SouthEast Asia J. Trop Med Public Health 2003:
34(1): 54 -61
Njuguna PW, Newton CR. B. Management of severe falciparum malaria. J. Post
Grad. Med. 2004; 50 :45- 5
Warren KS dan Mahmoud AAF (1990). Tropical and Geographical ed ke 2, New
York, Mc Graw-Hill Information Services Co.
Manson-Bahr PEC dan Bell DR (1987), Mansons Tropical Disease ed ke 19,
London, English Language PEC dan Bell DR (1987). Manson tropical disease ed
ke 19, London, English language book society/Balliere Tyndall.
Strickland GTh (1991). Hunters tropical medicine ed ke 7, Philadelphia, WB
Saunders Co.