Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
BAB I
STATUS PASIEN
I.
II.
IDENTITAS PASIEN
Nama
: Ny. A
Umur
Alamat
: Kintom
Pekerjaan
Status Perkawinan
: Menikah
Agama
: Islam
ANAMNESIS
Keluhan utama
punggung. OS belum merasa keluar darah, lendir, dan air-air. Gerakan janin masih aktif.
Keluhan demam, muntah, nyeri kepala, dan riwayat trauma sebelumnya disangkal.
Kontrasepsi
:-
Riwayat Alergi:
Alergi debu, makanan dan obat disangkal
Riwayat Operasi:
OS belum pernah melakukan operasi apapun
Riwayat Psikososial :
Riwayat kebiasaan merokok dan mengkonsumsi alkohol disangkal
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum
: Baik
Kesadaran
: Composmentis
Tanda vital:
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi
: 84x/menit
Respirasi
: 18 x/menit
Suhu
: 36,2oC
Status generalis:
Kepala : Normocephal,
Mata
Thorax :
Cor
:
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi : Bunyi jantung I & II murni, regular, murmur (-), gallop (-)
Pulmo :
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
: Sonor
Ekstremitas :
Ekstr. Atas
Ekstr. Bawah : Akral hangat, RCT< 2 detik, edema (-), sianosis (-)
Pemeriksaan Obstetri
Pemeriksaan Abdomen:
-Inspeksi: Bentuk abdomen cembung, linea gravidarum (+), luka bekas operasi (-)
-Palpasi:
Leopold I
: TFU = 27 cm. Teraba bagian-bagian kecil
Leopold II
: Teraba bagian bulat, keras, dan memanjang di sebelah kanan, teraba
Leopold III
Leopold IV
DJJ : 140 kali/menit, teratur, kuat, punctum maksimum abdomen ibu kuadran kanan bawah
Taksiran berat janin : (27-12) x 155 = 2325 gram
His : Tidak ada
PD : Tidak dilakukan
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium (19 Agustus 2015)
Jenis Pemeriksaan
Hematologi
Hemoglobin
Leukosit
Trombosit
Hematokrit
Hasil
Nilai Rujukan
11,3
12,77
362
32
Satuan
11,7-15,5
g/dl
3,60-11,00
103 /uL
150-440
103 /uL
35-47
Urinalisis
Urin lengkap
Warna
Kuning
Kuning
Kejernihan
Jernih
Jernih
Sedimen
Leukosit
Eritrosit
4-6
Silinder
Sel epitel
1-2
Kristal
Bakteria
Gepeng (1+)
-
0-5
/LPB
/LPB
1+
Berat jenis
pH
1,025
6,0
Protein
Glukosa
Keton
Darah samar/ Hb
1,005-1,030
5,0-7,0
- (<30)
- (<100)
Kimia Klinik
Glukosa Puasa
mg/dl
GDP
67
70
GD2PP
145
70-140
SGOT (AST)
19
10-31
SGPT (ALT)
14
9-36
Protein total
6,4
6,0-8,0
Albumin
3,7
4,0-5,2
Ureum
24
10-50
Kreatinin
0,6
<1,4
Asam Urat
5,4
2,5-6,0
Glukosa 2 jam PP
mg/dl
l
l
HbsAg (kualitatif)
Hemostasis
Masa
(PT)
Protrombin
g/dl
g/dl
mg/dl
mg/dl
mg/dl
-
detik
Pasien
Kontrol
10,2
9,8-12,6
11,0
APTT
Pasien
34,0
Kontrol
33
31,0-47,0
Detik
: 37 minggu 1 hari
BPD
: 33 cm
AC
: 32,6 cm
TBJ
: 2100
ICA
: Normal
Diagnosis:
Ibu
Bayi
Planning:
IVFD RL 20 tpm
Histolan 2 dd tab
Dexamethason 1 ampul/ 8 jam/ IM (4 kali pemberian)
Observasi His, DJJ, TTV.
Follow Up
Pemeriksaan
Penunjang
20/8 /2015
Kejang
(-),
mulas
dengan epilepsi
kadang
kadang- RR : 16 x/m
Dexamethason
TD: 120/80
ampul/ 8 jam/ IM (4
His: -
kali pemberian)
DJJ: 146x/m
Fenitoin 100 mg 2 dd 1
21/8 /2015
Kejang
(-),
mulas
kadang- RR : 18 x/m
dengan epilepsi
kadang.
minum
fenitoin His: -
terasa
Depakote 250mg 2 dd 1
(-),
nyeri Suhu : 36 C
mulas berkurang
dengan epilepsi
RR : 20 x/m
Depakote 250mg 2 dd 1
TD: 110/70
His: DJJ: 150x/m
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA EPILEPSI
2.1 Definisi
Epilepsi didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ditandai oleh bangkitan (seizure)
berulang berselang lebih dari 24 jam yang timbul tanpa provokasi. Hal ini muncul sebagai akibat
dari adanya gangguan fungsi otak secara intermiten, yang disebabkan oleh lepas muatan listrik
abnormal dan berlebihan di neuron-neuron secara paroksismal, dan disebabkan oleh berbagai
etiologi.
Bangkitan epilepsi (epileptic seizure) adalah manifestasi klinis yang disebabkan oleh
aktivitas listrik abnormal dan berlebihan dari sekelompok neuron. Manifestasi klinik ini terjadi
secara tiba-tiba dan sementara berupa prilaku yang stereotipik, dapat menimbulkan gangguan
kesadaran, motorik, sensorik, otonom ataupun psikis.
Sindrom epilepsi adalah sekumpulan gejala dan tanda klinik yang unik untuk epilepsi; hal
ini mencakup lebih dari sekedar tipe bangkitan tetapi juga mencakup etiologi, umur, awitan
(onset), jenis bangkitan, faktor pencetus, kronisitas, siklus diurnal dan sirkadian bahkan kadang
prognosis.
2.2 Klasifikasi
Dalam mendiagnosis penyakit epilepsi perlu adanya suatu klasifikasi mengingat
tatalaksana tiap bangkitan berbeda. Klasifikasi yang digunakan adalah klasifikasi yang telah
ditetapkan oleh International League Againts Epilepsy (ILAE) tahun 1981 yang terdiri dari dua
jenis, yaitu klasifikasi untuk jenis bangkitan epilepsi dan klasifikasi untuk sindrom epilepsi.2
Ada dua klasifikasi epilepsi yang direkomendasikan oleh ILAE yaitu pada tahun 1981 dan
tahun 1989. International League Against Epilepsy (ILAE) pada tahun 1981 menetapkan
klasifikasi epilepsi berdasarkan jenis bangkitan (tipe serangan epilepsi):
1. Serangan parsial
a. Serangan parsial sederhana (kesadaran baik)
-
2. Serangan umum
a. Absans (Lena)
b. Mioklonik
c.
Klonik
d. Tonik
e.
Atonik (Astatik)
f.
Tonik-klonik
kurang
lengkap).
Klasifikasi ILAE tahun 1981 di atas ini lebih mudah digunakan untuk para klinisi karena
hanya ada dua kategori utama, yaitu
-
Serangan fokal yaitu bangkitan epileptik yang dimulai dari fokus yang terlokalisir di
otak.
-
Serangan umum yaitu bangkitan epileptik terjadi pada daerah yang lebih luas pada
b. Simptomatik
-
Lobus temporalis
Lobus frontalis
Lobus parietalis
Lobus oksipitalis
2. Umum
a. Idiopatik
- Kejang neonatus familial benigna
- Kejang neonatus benigna
- Kejang epilepsi mioklonik pada bayi
- Epilepsi Absans pada anak
- Epilepsi Absans pada remaja
spike)
Idiopatik
Diperkirakan
dengan usia
Kriptogenik
Pada epilepsi yang terjadi sejak masa anak-anak maka saat dewasa mencari etiologi tak
begitu penting, dengan pengertian proses penyebab tak aktif lagi. Bila epilepsi baru terjadi saat
dewasa, terutama diatas usia 30 tahun maka mencari etiologi menjadi penting, karena mungkin
petanda suatu proses patologis yang masih progresif dan mungkin memerlukan tindakan bedah
saraf. Anamnesis yang baik, pemeriksaan fisik dan penunjang akan mengarahkan kepada etiologi
dari epilepsi.4
2.4 Patofisiologi
Otak terdiri dari sekian biliun sel neuron yang satu dengan lainnya saling
berhubungan.
Hubungan antar neuron tersebut terjalin melalui impuls listrik dengan bahan perantara kimiawi
yang dikenal sebagai neurotransmiter.
Dalam keadaan normal, lalu-lintas impuls antar neuron berlangsung dengan baik dan
lancar. Apabila mekanisme yang mengatur lalu-lintas antar neuron menjadi kacau dikarenakan
breaking system pada otak terganggu maka neuron-neuron akan bereaksi secara abnormal.
Neurotransmiter yang berperan dalam mekanisme pengaturan ini adalah:
- Glutamat, yang merupakan brains excitatory neurotransmitter
- GABA (Gamma Aminobutyric Acid), yang bersifat sebagai brains inhibitory
neurotransmitter.
Golongan neurotransmiter lain yang bersifat eksitatorik adalah aspartat dan asetil kolin,
sedangkan yang bersifat inhibitorik lainnya adalah noradrenalin, dopamine, serotonin (5HT) dan
peptida. Neurotransmiter ini hubungannya dengan epilepsy belum jelas dan masih
perlu penelitian lebih lanjut.
18,19
Epileptic seizure apapun jenisnya selalu disebabkan oleh transmisi impuls di area tak
yang tidak mengikuti pola yang normal, sehingga terjadilah apa yang disebut sinkronisasi dari
impuls. Sinkronisasi ini dapat mengenai pada sekelompok kecil neuron atau kelompok neuron
yang lebih besar atau bahkan meliputi seluruh neuron di otak secara serentak. Lokasi yang
berbeda dari kelompok neuron yang ikut terkena dalam proses sinkronisasi inilah yang secara
klinik menimbulkan manifestasi yang berbeda dari jenis-jenis serangan epilepsi. Secara teoritis
faktor yang menyebabkan hal ini yaitu:
GABA yang rendah di otaknya (lobus oksipitalis). Hambatan oleh GABA ini dalam
bentuk inhibisi potensial post sinaptik.
Keadaan dimana fungsi neuron eksitatorik berlebihan sehingga terjadi pelepasan impuls
epileptik yang berlebihan. Disini fungsi neuron penghambat normal tapi sistem pencetus
impuls (eksitatorik) yang terlalu kuat.
Perlu adanya pacemaker cells yaitu kemampuan intrinsic dari sel untuk
menimbulkan bangkitan.
Hilangnya postsynaptic inhibitory controle sel neuron.
Perlunya sinkronisasi dari epileptic discharge yang timbul.18,19
Area di otak dimana ditemukan sekelompok sel neuron yang abnormal, bermuatan listrik
berlebihan dan hipersinkron dikenal sebagai fokus epileptogenesis (fokus pembangkit
serangan kejang). Fokus epileptogenesis dari sekelompok neuron akan mempengaruhi neuron
sekitarnya untuk bersama dan serentak dalam waktu sesaat menimbulkan serangan
kejang.
Berbagai macam kelainan atau penyakit di otak (lesi serebral, trauma otak, stroke,
kelainan herediter dan lain-lain) sebagai fokus epileptogenesis dapat terganggu fungsi neuronnya
(eksitasi berlebihan dan inhibisi yang kurang) dan akan menimbulkan kejang bila ada rangsangan
pencetus seperti hipertermia, hipoksia, hipoglikemia, hiponatremia, stimulus sensorik dan lainlain.
Serangan epilepsi dimulai dengan meluasnya depolarisasi impuls dari
fokus
proses inhibisi di korteks serebri, thalamus dan ganglia basalis yang secara intermiten
menghambat discharge epileptiknya. Pada gambaran EEG dapat terlihat sebagai perubahan dari
polyspike menjadi spike and wave yang makin lama makin lambat dan akhirnya berhenti. Dulu
dianggap berhentinya serangan sebagai akibat terjadinya exhaustion neuron. (karena kehabisan
glukosa dan tertimbunnya asam laktat). Namun ternyata serangan epilepsi bisa terhenti tanpa
terjadinya neuronal exhaustion.
Pada keadaan tertentu (hipoglikemia otak, hipoksia otak, asidosis metabolik) depolarisasi
impuls dapat berlanjut terus sehingga menimbulkan aktivitas serangan yang
berkepanjangan disebut status epileptikus.
2.5 Diagnosis dan Diagnosis banding
Pedoman umum
Ada 3 langkah untuk menuju diagnosis epilepsi, yaitu :
1. Memastikan apakah kejadian yang bersifat paroksismal merupakan bangkitan epilepsi
2. Apabila benar terdapat bangkitan epilepsi, maka tentukanlah bangkitan tersebut termasuk
tipe bangkitan yang mana
3. Tentukan etiologi, tentukan sindrom epilepsi apa yang ditunjukkan oleh bangkitan tadi,
atau penyakit epilepsi apa yang diderita oleh pasien
Diagnosis epilepsi ditegakkan atas dasar adanya bangkitan bangkitan epilepsi berulang
(minimum 2 kali) tanpa provokasi, dengan atau tanpa adanya gambaran epileptic form pada
EEG. Secara sistematis, urutan pemeriksaan untuk menuju ke diagnosis epilepsi adalah sebagai
berikut :
1. Langkah pertama : ditempuh melalui anamnesis. Pada sebagain besarkasus diagnosis
epilepsi dapat ditegakkan berdasarkan informasi akurat yang diperoleh dari anamnesis
yang mencakup auto dan alloanamnesis dari orang tua atau saksi mata.
a. Gejala sebelum, selama dan pascabangkitan :
i. Keadaan penyandang saat bangkitan : duduk/ berdiri/ berbaring/ tidur/
berkemih
ii. Gejala awitan (aura, gerakan/sensasi awal/ speech arrest)
iii. Apa yang tampak selama bangkitan (pola, bentuk bangkitan); gerakan
tonik/klonik, vokalisasi, otomatisme, inkontinensia, lidah tergigit, pucat,
berkeringat, deviasi mata
iv. Faktor pencetus : alkohol, kurang tidur, hormonal
v. Apakah terdapat lebih dari satu pola bangkitan atau terdapat perubahan
pola bangkitan
Jika dilakukan pada beberapa menit atau jam setelah bangkitan maka akan tampak
tanda pasca iktal terutama tanda fokal seperti Todds paresis, transient aphasic
Pemeriksaan laboratorium
-
Pemeriksaan hematologik
Pemeriksaan ini mencakup hemoglobin, leukosit, hematokrit, trombosist, apusan
darah tepi, elektrolit, kadar gula, fungsi hati dan fungsi ginjal. Pemeriksaan ini
dilakukan pada awal pengobatan, beberapa bulan kemudian, diulang bila timbul
Diagnosis banding
Banyak kemungkinan yang harus dipertimbangkan di dalam menegakkan diagnosis epilepsi,
termasuk diagnosis banding. Adapun diagnosis banding epilepsi adalah sebagai berikut.
-
2.6 Penatalaksanaan
Tujuan utama terapi epilepsi adalah tercapainya kualitas hidup optimal untuk pasien,
sesuai dengan perjalanan penyakit epilepsi dan disabilitas fisik maupun mental yang dimilikinya.
Prinsip terapi farmakologi:
1. OAE mulai diberikan bila:
a. Diagnosis epilepsi telah ditentukan
b. Setelah pasien atau keluarganya menerima penjelasan tujuan pengobatan
c. Pasien dan keluarganya telah diberitahu tentang kemungkinan efek samping yang
timbul
2. Terapi dimulai dengan monoterapi, menggunakan OAE pilihan sesuai dengan jenis
bangkitan dan sindrom epilepsi.
3. Pemberian obat dimulai dengan dosis rendah dan dinaikkan bertahap sampai dosis efektif
tercapai atau timbul efek samping, kadar obat plasma ditentukan bila bangkitan tidak
terkontrol dengan dosis efektif.
4. Bila dengan penggunaan dosis maksimum obat pertama tidak dapat mengontrol
bangkitan, maka perlu ditambahkan OAE kedua. Bila OAE telah mencapai kadar terapi,
maka OAE pertama diturunkan bertahap perlahan-lahan
5. Penambahan obat ketiga baru dilakukan setelah terbukti bangkitan tidak dapat diatasi
dengan penggunaan dosis maksimal kedua OAE pertama.
Pemilihan OAE didasarkan atas jenis bangkitan epilepsi, efek samping OAE, interaksi antar
obat epilepsi.
OAE
Lini OAE
Pertama
Bangkitan
umum
Sodium
tonik Valproate
klonik
Lamotrigine
Kedua
dapat
sebaiknya
dipertimbangka
dihindari
Clobazam
n
Clonazepam
Levetiracetam
Phenobarbital
Oxcarbazepine
Phenytoin
Topiramate
yang
Acetazolamide
Carbamazepin
e
Sodium
Clobazam
Carbamazepine
Valproate
Topiramate
Gabapentin
Bangkitan
Lamotrigine
Sodium
Clobazam
Oxcarbazepine
Carbamazepine
mioklonik
Valproate
Topiramate
Gabapentin
Topiramate
Levetiracetam
Oxcarbazepine
Bangkitan lena
Lamotrigine
Sodium
Piracetam
Clobazam
Phenobarbital
Carbamazepine
Valproate
Levetiracetam
Phenytoin
Oxcarbazepine
Bangkitan
Lamotrigine
Sodium
Topiramate
Clobazam
Phenobarbital
Carbamazepine
atonik
Valproate
Levetiracetam
Acetazolamide
Oxcarbazepine
Bangkitan tonik
Lamotrigine
Bangkitan fokal Carbamazepin
Topiramate
Clobazam
Phenytoin
Clonazepam
dengan/tanpa
Gabapentin
Phenobarbital
umum sekunder
Oxcarbazepine
Levetiracetam
Acetazolamide
Sodium
Phenytoin
Valproate
Tiagabine
Topiramate
Lamotrigine
Jumlah
Waktu
(mg/hari)
Rumatan
Dosis
(mg/hari)
Hari
Plasma
Steady
Per Paruh
Waktu
Tercapainy
Carbamazepin
400-600
400-1600
2-3x
(Jam)
15-35
State (Hari)
2-7
e
Phenytoin
Asam valproat
Phenobarbital
Clonazepam
Clobazam
Oxcarbazepine
Levatiracetam
Topiramate
Gabapentin
Lamotrigine
200-300
500-1000
50-100
1
10
600-900
1000-2000
100
900-1800
50-100
200-400
500-2500
50-200
4
10-30
600-3000
1000-3000
100-400
900-3600
20-200
1-2x
2-3x
1
1 atau 2
2-3x
2-3x
2x
2x
2-3x
1-2x
10-80
12-18
50-170
20-60
10-30
8-15
6-8
20-30
5-7
15-35
3-15
2-4
2-10
2-6
2
2-5
2
2-6
Efek Samping
Carbamazepine
Terkait Dosis
Idiosinkrasi
Diplopia, dizziness, nyeri kepala, Ruam
morbiliform,
mual,
Phenytoin
mengantuk,
hiponatremia
Nistagmus,
ataksia,
contracture,
dyspepsia,
Phenobarbital
mual,
muntah, trombositopenia,
kebotakan, teratogenik
udem perifer
Kelelahan, restlegless, depresi, Ruam makulopapular, eksfoliasi,
insomnia (anak), distracatibility NET,
(anak),
Clonazepam
ensefalopati,
hiperkinesia
hepatotoksik,
(anak), changes,
arthritic
Dupuytrens
irritability (anak)
contracture, teratogenik
Kelelahan, sedasi, mengantuk, Ruam, trombositopenia
dizziness,
agresi
(anak),
hiperkinesia (anak)
Untuk menghentikan pemberian OAE pada penderita yang sudah lama mengkonsumsi OAE
ada beberapa syarat yang harus dipenuhi.2
1. Syarat umum untuk menghentikan pemberian OAE adalah sebagai berikut:
a.
b.
c.
Harus dilakukan secara bertahap, umumnya 25% dosis semula, setiap bulan dalam
jangka waktu 3-6 bulan.
d.
2. Kekambuhan setelah penghentian OAE lebih besar kemungkinannya pada keadaan sebagai
berikut:
a.
b.
Epilepsi simtomatik
c.
d.
e.
f.
g.
h.
3. Kemungkinan untuk kambuh lebih kecil pada pasien yang telah bebas dari bangkitan selama 35 tahun, atau lebih dari 5 tahun. Bila bangkitan timbul kembali maka gunakan dosis efektif
terakhir (sebelum pengurangan dosis OAE), kemudian dievaluasi kembali.
BAB III
EPILEPSI PADA KEHAMILAN
3.1 Pengaruh kehamilan terhadap epilepsi
Kehamilan pada wanita penyandang epilepsi tergolong mempunyai faktor risiko tinggi.
Banyak penelitian mengatakan terdapat peningkatan risiko komplikasi obstetrik pada wanita
penyandang epilepsi dibandingkan dengan kehamilan normal.
pengaruh kehamilan terhadap epilepsi dan sebaliknya, pengaruh epilepsi terhadap janin dan
pengaruh obat anti epilepsi terhadap perkembangan janin.
Pengaruh kehamilan terhadap epilepsi didapatkan sepertiga wanita akan mengalami
peningkatan serangan epilepsi, sepertiga wanita akan mengalami perubahan serangan dan
sepertiga wanita lagi akan mengalami penurunan frekwensi serangan.
Beberapa peneliti mengatakan bahwa bangkitan epilepsi lebih sering terjadi pada kehamilan,
terutama pada trimester I dan hanya sedikit meningkat trimester III. Meningkatnya frekwensi
serangan kejang pada wanita penyandang epilepsi selam kehamilan ini disebabkan oleh :
A. Perubahan hormonal
Kadar estrogen dan progesteron dalam plasma darah akan meningkat secara bertahap
selama kehamilan dan mencapai puncaknya pada trimester ketiga. Sedangkan kadar hormon
khorionik gonadotropin mencapai puncak pada kehamilan trimester pertama yang kemudian
menurun terus sampai akhir kehamilan. Seperti diketahui bahwa serangan kejang pada epilepsi
berkaitan erat dengan rasio estrogen-progesteron, sehingga wanita penyandang epilepsi dengan
rasio estrogen-progesteron yang meningkat akan lebih sering mengalami kejang dibandingkan
dengan yang rasionya menurun. Kerja hormon estrogen adalah menghambat transmisi GABA
(dengan merusak enzim glutamat dekarboksilase). Sedangkan kita ketahui bahwa GABA
merupakan neurotransmiter inhibitorik, sehingga nilai ambang kejang makin rendah dengan
akibat peningkatan kepekaan untuk terjadinya serangan epilepsi.
progesteron adalah menekan pengaruh glutamat
terjadinya serangan epilepsi.
B. Perubahan metabolik
Adanya kenaikan berat badan pada wanita hamil yang disebabkan retensi air dan garam
serta perubahan metabolik seperti terjadinya perubahan metabolisme di hepar yang dapat
mengganggu metabolisme obat anti epilepsi (terutama proses eliminasi),terjadinya alkalosis
respiratorik dan hipomagnesemia. Keadaan ini dapat menimbulkan kejang, meskipun masih
selalu diperdebatkan.
C. Deprivasi tidur
Wanita hamil sering mengalami kurang tidur yang disebabkan beberapa keadaan seperti
rasa mual muntah, nyeri pinggang, gerakan janin dalam kandungan, nokturia akibat
tekanan pada kandung kencing dan stress psikis. Semuanya ini dapat meningkatkan serangan
kejang.
Mual muntah yang sering pada kehamilan trimester pertama dapat mengganggu
pencernaan dan absorbsi obat anti epilepsi. Dimethicone merupakan salah satu obat yang sering
digunakan untuk hiperasiditas, gastritis, dyspepsia, ulkus duodenal dan abdominal distention
dapat menurunkan absorbsi phenytoin sebanyak 71%. Kaolin menurunkan absorbsi sebanyak
60% dan magnesium trisilikat efeknya tidak nyata. Tonus lambung dan pergerakannya menurun
pada kehamilan sehingga menghambat pengosongan lambung.
D. Perubahan farmakokinetik pada obat anti epilepsi
Penurunan kadar obat anti epilepsi ini disebabkan oleh beberapa keadaan antara lain
berkurangnya absorbsi (jarang), meningkatnya volume distribusi, penurunan protein binding
plasma, berkurangnya kadar albumin dan meningkatnya kecepatan drug clearance pada trimester
terakhir. Penurunan serum albumin sesuai dengan bertambahnya usia gestasi mempengaruhi
kadar plasma obat anti epilepsi, sehingga obat anti epilepsi yang terikat dengan protein
berkurang dan menyebabkan peningkatan obat anti epilepsi bebas. Namun obat anti epilepsi ini
akan cepat dikeluarkan sesuai dengan meningkatnya drug clearance yang disebabkan oleh
induksi enzim mikrosom hati akibat peningkatan hormon steroid (estrogen dan progesteron).
Pada umumnya dalam beberapa hari-minggu setelah partus kadar obat anti epilepsi akan kembali
normal.
3.2 Pengaruh epilepsi dan obat anti epilepsi terhadap kehamilan dan janin
A. Pengaruh terhadap kehamilan
Komplikasi serangan epilepsi pada kehamilan terjadi 1,5 sampai 4 kali, yaitu perdarahan
pervaginam sekitar 7%-10% pada trimester I dan III, hiperemesis gravidarum sebagian besar
akibat dosis tinggi obat anti epilepsi, herpes maternal ditemukan 6 kali lebih sering dan resiko
timbulnya preeklampsia 50%-250%.
Risiko pada ibu dapat terjadi trauma fisik, menurunnya kemampuan neuropsikologik
dan kemungkinan untuk dilakukannnya seksio sesaria. Sedangkan kematian ibu hamil sewaktu
serangan kejang sangat jarang sekali (di Inggris hanya sekitar 1 per tahun) dan penyebab
kematian karena asfiksia pada saat serangan.
Pada wanita hamil penyandang epilepsi, insiden komplikasi eklampsia tidak
meningkat,yang lebih sering ditemukan adalah preeklampsia. Eklampsia atau Pregnancy
Induced Hypertension (PIH) adalah hipertensi ensefalopati yang mendadak timbul menyebabkan
fibrinoid arterio nekrosis disertai perdarahan dengan akibat disrupsi atau kerusakan tunika media
arteriola, merembesnya protein serum terjadilah edema vasogenik. Pada pemeriksaan CT Scan
dan MRI kepala ditemukan edema difus dan perdarahan otak. Hal ini harus segera diatasi
dengan menurunkan tekanan darah misalnya dengan Ca channel
blocker, mengatasi edema dengan hiperventilasi dan pemberian kortikosteroid.
B. Pengaruh terhadap janin
Kejang tonik klonik hanya terjadi kurang dari 2% dari wanita hamil penyandang epilepsi.
Serangan epilepsi pada wanita hamil dapat menyebabkan kelainan atau kematian pada janin.
Kematian pada janin lebih sering disebabkan saat serangan ibu hamil mengalami
kecelakaan seperti terjatuh, luka bakar dan tenggelam. Sedangkan trauma dapat menyebabkan
pecahnya selaput ketuban, persalinan prematur, infeksi.
Kejang umum tonik klonik sekali saja atau tunggal akan mempengaruhi denyut jantung
janin menjadi lambat (transient fetal bradycardia selama 20 menit), sedangkan bila kejang
berulang dan berlangsung lama komplikasi terhadap jantung menjadi lebih berat serta
dapat mengganggu sirkulasi sistemik janin sehingga bisa timbul hipoksia.
Pengaruh lainnya yang dapat dijumpai akibat kejang pada wanita hamil yaitu keguguran
3-4 kali dari kehamilan normal, kemampuan untuk hidup janin menurun seperti Apgar skor yang
rendah, lahir mati dan kematian perinatal , gangguan perkembangan janin (berat badan lahir
rendah dan kelahiran prematur) menjadi 2 kali lipat serta terjadi perdarahan intra kranial, dimana
setelah dilakukan induksi persalinan ternyata bayi yang meninggal
sudah mengalami maserasi.
Bila status epileptikus timbul saat kehamilan biasanya sepertiga dari ibu-ibu dan setengah
dari janin tidak dapat diselamatkan dan harus segera diatasi tanpa memandang kehamilannya.
C. Pengaruh terhadap neonatus
Bayi lahir mati, kematian neonatal serta kematian perinatal didapatkan dua kali lipat lebih
banyak daripada populasi umum. Perdarahan pada neonatus terjadi dalam 24 jam pertama dari
awal kehidupan. Keadaan ini disebabkan kekurangan atau defisiensi faktor pembekuan II, VII,
IX dan X yang tergantung pada vitamin K. Defisiensi vitamin K disebabkan oleh obat anti
epilepsi secara kompetitif menghambat transpostasi vitamin K melalui plasenta dan ditambah
dengan kadar vitamin K yang rendah pada kehamilan. Keadaan ini dapat dicegah dengan
memberikan vitamin K dosis tinggi pada minggu terakhir kehamilan.
Namun karena lebih sering terjadi persalinan prematur maka vitamin K (10-20 mg/hari)
ini diberikan pada 2-4 minggu terakhir. Perdarahan neonatus harus diberi fresh frozen plasma
untuk mengatasi koagulopati.
Bayi dari ibu yang mendapat phenobarbital akan mengalami risiko timbulnya drug
withdrawal 7 hari setelah partus, dengan gejala sebagai berikut kegelisahan, gemetar (tremor),
mudah terangsang (hipereksetibilitas), high pitch cry, nafsu makan yang besar disusul dengan
muntah-muntah.
Gejala ini mulai timbul pada saat bayi telah meninggalkan rumah sakit sehingga
membuat kepanikan pada ibunya. Biasanya semua gejala ini akan berakhir dalam 1 atau 2
minggu, kecuali hipereksitibilitas dapat berakhir 24 bulan.
Pada ibu yang mendapat asam valproat dan phenytoin selama hamil, bayinya dapat
mengalami serangan kejang intrauterin dan perinatal, juga retardasi mental dan gangguan
perkembangan bahasa. Malformasi kongenital ditemukan 1,25%-11,5% (normal 2%-3%)
pada yang mendapat obat anti epilepsi politerapi, penggunaan dosis tinggi obat anti
disalahkan untuk malformasi kongenital ini, namun kelainan kongenital yang lebih sering
dijumpai (4 kali) seperti bibir sumbing atau celah palatum serta kelainan jantung biasanya dapat
diperbaiki dengan tindakan operatif. Hal yang mencemaskan adalah neuroblastoma yang terjadi
pada anak yang terpapar phenytoin in utero.
Wanita hamil penyandang epilepsi yang mendapat obat anti epilepsi karbamazepin
pada 35 bayi didapatkan 11% defek craniofacial, 26% finger nail hipoplasia dan 20%
perkembangan yang lambat.
Berikut ini adalah beberapa sindroma obat anti epilepsi, yaitu:
a) Sindroma Trimethadione fetal berupa short stature (kerdil), mikrosefali, retardasi mental,
lipatan epikantal, hernia inguinalis dll. Trimethadione ini karena sangat teratogenik saat
ini tidak digunakan lagi.
b) Sindroma Hidantoin Fetal berupa dismorfi fascial, retardasi mental dan retardasi
perkembangan intrauterin.
timbul akibat
Dalam membandingkan efek samping (kematian dan anomali) ketiga obat anti epilepsi
maka yang paling kurang efek sampingnya berturut-turut adalah phenobarbital, phenytoin dan
karbamazepin.
Beberapa tindakan obstetrik yang perlu dipertimbangkan akibat pengaruh obat anti
epilepsi pada kehamilan yaitu amniosintesis (trimester II dan III) dilakukan 2,5 4,5 kali dan
induksi partus dilakukan 2-4 kali. Keadaan ini disebabkan oleh partus lama, perdarahan dan
kelelahan uterus dan fisik akibat obat anti epilepsi, sehingga akhirnya dilakukan seksio sesaria
(dua kali lebih sering dari biasa). Sebenarnya epilepsi sendiri bukanlah suatu indikasi untuk
operasi, karena kejang tonik klonik hanya terjadi kurang dari 2% dari wanita hamil penyandang
epilepsi.
E. OAE generasi baru rendah teratogenik
a. Gabapentin
Untuk terapi add-on pada epilepsi fokal, tersedia dalam bentuk tablet, dosis epilepsi
2400-4800mg/hr. Keunggulan gabapentin adalah tidak ada interaksi dengan obat lain.
b. Lamotrigin
Antifolat lemah dan bekerja sebagai modulasi kanal natrium, spektrum luas merupakan
lini pertama untuk epilepsi umum dan parsial. Bentuk sediaan berupa tablet dan
dispersible tablet dengan dosis pemeliharaan monoterapi 100-400mg/hari. Lamotrigin
dapat melewati plasenta dan konsentrasi pada plasma fetus dan ibu sama.
c. Oxcarbazepine
Tersedia dalam kemasan tablet dan suspensi oral, dosis antara 600-2400mg/hr.
Oxcarzepine diberikan mulai dosis rendah dan di titrasi bertahap tiap minggu sampai
tercapai dosis yang diinginkan.
d. Topiramat
Obat dengan spektrum luas pada epilepsi fokal dan umum sekunder. Tersedia dalam
bentuk tablet dan sprinkle capsules dengan dosis harian 75-400mg/hari.
e. Zonisamide
Suatu sulfonamide memiliki spektrum lua. Efektif pada epilepsi fokal dan epilepsi umum
refrakter. Sediaan dalam bentuk kapsul dengan dosis pemeliharaan 150-500mg/hari.
F. Tatalaksana perempuan dengan epilepsi dan kehamilan
Sebelum hamil : strong evidence (Class I)
- Terapi diberikan optimal sebelum konsepsi
- Bila memungkinkan ganti OAE yang kurang teratogenik dan dosis efektif harus
tercapai sekurang-kurangnya 6 bulan sebelum konsepsi
Saat hamil
Strong evidence (Class I)
-
Jenis OAE jangan diganti bila tujuannya untuk mengurangi risiko teratogenik
Penggunaan polfarmasi atau asam valproat perlu dilakukan :
1. Pemeriksaan kadar alfa-fetoprotein serum (minggu 14-16 kehamilan)
2. Pemeriksaan ultrasonografi level II (struktural) (minggu 16-20 minggu
kehamilan)
3. Amniosentesis
untuk
pemeriksaan
kadar
alfa-fetoprotein
dan
Setelah persalinan:
Strong Evidence (Class I)
-
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Pada wanita hamil terjadi perubahan-perubahan secara fisiologis, endokrinologis dan
psikologis.
perubahan metabolisme obat anti epilepsi dapat meningkatkan serangan epilepsi pada waktu
kehamilan. Begitu juga janin yang dikandung wanita penyandang epilepsi yang
mengkonsumsi obat anti epilepsi mempunyai risiko untuk terjadinya malformasi kongenital
lebih banyak dari wanita bukan penderita epilepsi karena adanya efek teratogenik obat.
Bayi lahir mati, kematian neonatal dan kematian perinatal dua kali lebih tinggi dari
populasi umum.
DAFTAR PUSTAKA
1. Pedoman Tata Laksana Epilepsi. Kelompok Studi Epilepsi Perhimpunan Dokter Spesialis
Saraf Indonesia (Perdossi). 2011.
2. Ropper AH, Brown RH. Adams and victors. Principles of neurology. New york, McGrawHill. 2005.
3. Fuller, geraint. Neurology- an illustrated colour text. Churchill livingstone. New york. 2000
4. Lumbantobing SM. Epilepsi (ayan). Edisi ke-5. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, 2006; p.1-3.
5. Harsono, Kustiowati E, Gunadharma S, editors. Pedoman tatalaksana epilepsi. Edisi ke-3.
Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia, 2008; p.1-48.
6. Ginsberg L. Lecture notes neurologi. Edisi ke-8. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2005; p.79-88.
7. Bazil CW, Morrell MJ, Pedley TA. Epilepsy. In : Rowland LP, editor. Merritts neurology.
11th ed. New York : Lippincott Williams&Wilkins, 2005.
8. Misbach J. Patofisiologi epilepsi. Dalam: Simposium updates in epilepsy. 14 Desember 2002.
Jakarta.
9. https://tspace.library.utoronto.ca/bitstream/1807/6933/1/jp06020.pdf