Anda di halaman 1dari 12

ANALISIS DATA METEOROLOGI

DARI PEMANTAU CUACA OTOMATIS BERBAGAI ELEVASI


DAN DATA RADIOSONDE DI PAPUA
METEOROLOGICAL DATA ANALYSIS
BASED ON AUTOMATIC WEATHER STATIONS AT DIFFERENT ELEVATION AND
RADIOSONDES DATA IN PAPUA

Donaldi Sukma Permana


Puslitbang BMKG, Jl.Angkasa 1 No.2 Kemayoran Jakarta Pusat 10720
E-mail: donaldi.permana@bmkg.go.id

ABSTRAK
Iklim regional Papua dipengaruhi oleh Zona Konvergensi Inter-tropis (ITCZ). Tiga sirkulasi utama yang
mengendalikan ITCZ di wilayah tersebut meliputi sirkulasi meridional Hadley, palung meridional kutub
(South Pacific Convergence Zone) dan sirkulasi zonal Walker. Sirkulasi angin permukaan di Papua
dipengaruhi oleh angin pasat tenggara dan angin pasat timur laut serta angin monsun barat-an. Akan tetapi
di wilayah dataran tinggi, iklim Papua juga dipengaruhi oleh proses konvektif dan sirkulasi angin lokal.
Pada studi ini, kami memaparkan analisis data meteorologi Papua menggunakan data pemantau cuaca
otomatis (AWS) dari berbagai elevasi dan data radiosonde sebagai pembanding. Data AWS diperoleh dari
PT. Freeport Indonesia (PTFI) yang terpasang mulai dari pesisir selatan Papua sampai ke dataran tinggi
dekat pegunungan Puncak Jaya serta data stasiun BMKG Timika. Analisis menunjukkan bahwa laju susut
temperatur permukaan sekitar 5C/km. Rentang temperatur harian semakin besar pada ketinggian dibawah
~2.500 m d.p.l dan diatas ~3.500 m d.p.l. Total presipitasi tahunan tertinggi terjadi pada ketinggian sekitar
617 m d.p.l (~12.500 mm/tahun). Diatas ketinggian ~600 m d.p.l, total curah hujan siang hari lebih tinggi
dari curah hujan malam hari dan sebaliknya dibawah ~600 m d.p.l.
Kata kunci: meteorologi, AWS, Radiosonde, Papua, Indonesia

ABSTRACT
Regional climate setting of Papua is mainly controlled by the intertropical convergence zone (ITCZ). Three
major circulation systems control the ITCZ in the region including the meridional Hadley circulation, the
South Pacific Convergence Zone and the zonal Walker circulation. Surface wind system over Papua is
affected by easterlies trade winds and the equatorial or monsoon westerlies. However, in highland of Papua,
its climate is dominated by local convective processes and local wind circulation. Here, we present
meteorological data analysis based on automatic weather stations (AWS) data from different elevation and
radiosondes data in Papua. AWS data were acquired from PT. Freeport Indonesia (PTFI) who installed
automatic weather stations from southern coast of Papua to highland of Papua near Puncak Jaya Mountains
as well as from BMKG station in Timika. Analysis of the data shows that the surface temperature lapse rate is
about 5C/km. Greater diurnal temperature differences are identified at below ~2,500 m a.s.l and at above
~3,500 m a.s.l. The highest annual precipitation of ~12,500 mm/ year is recorded at an elevation of 617 m. At
above ~600 m a.s.l, the daytime precipitation is higher than during the night and vice versa at below ~600 m
a.s.l.
Keywords: meteorology, AWS, Radiosonde, Papua, Indonesia

Naskah masuk : 1 Agustus 2011


Naskah diterima : 13 September 2011
ANALISIS DATA METEOROLOGI DARI PEMANTAU CUACA OTOMATIS...................................................Donaldi Sukma P.

151

I. PENDAHULUAN
Papua merupakan provinsi terbesar dan paling
timur dari 33 provinsi di Republik Indonesia.
Sebelum tahun 2002, Provinsi Papua dan Papua
Barat masih menjadi satu dengan nama provinsi
Irian Jaya. Irian Jaya mencakup bagian barat dari
pulau New Guinea dengan luas area 410.600 km2
berada pada 019'-1045' LS dan 13045'-14148'
BT 1). Pulau New Guinea merupakan pulau terbesar
kedua di dunia setelah Greenland. Provinsi Papua
berbatasan dengan negara Papua New Guinea
(PNG) di sebelah timur, dan Provinsi Papua Barat
di sebelah barat, serta berbatasan Samudra Pasifik
di sebelah utara dan Laut Arafura di sebelah
selatan. Vegetasi alami di wilayah ini terdiri dari
hutan hujan tropis di dataran rendah dan
pegunungan, walaupun daerah padang rumput
(savana) juga terdapat di pesisir bagian selatan
yang memiliki iklim musim berbeda 2). Daerah
pegunungan di Papua berada di bagian tengah yang
memanjang dari arah barat - barat laut ke arah timur
- tenggara dengan ketinggian yang kebanyakan
melebihi 3.500 m di atas permukaan laut (d.p.l) dan
memiliki puncak di Puncak Jaya (404' LS; 13709'
BT; 4.884 m d.p.l) (Gambar 1) 3),4).
1.1.Sirkulasi Utama di Papua
Karena posisinya di ekuator, iklim regional di
Papua sangat dipengaruhi oleh Zona Konvergensi
Inter-tropis (Intertropical Convergence Zone,
ITCZ), yakni daerah pertemuan (konvergensi)
antara angin pasat timur laut di belahan bumi utara
(BBU) dan angin pasat tenggara di belahan bumi
selatan (BBS). Ada tiga sistem sirkulasi utama yang
mengendalikan ITCZ di wilayah New Guinea 4),5).
Pertama, sirkulasi meridional Hadley yang
disebabkan oleh perbedaan suhu antara wilayah
ekuator dan wilayah subtropis. Angin permukaan
menuju ekuator, lalu masa udara naik di dekat
ekuator dan angin di udara atas mengalir menuju
kutub dan turun kemudian di wilayah tekanan
tinggi subtropis. Kedua, palung meridional kutub
(meridional polar troughs). Palung lintang
menengah yang paling berpengaruh di wilayah
Papua adalah Zona Konvergensi Pasifik Selatan
(South Pacific Convergence Zone, SPCZ). Ketiga,
sirkulasi zonal Walker yang disebabkan oleh
perbedaan suhu permukaan laut (SPL) di sepanjang
samudra Pasifik tropis. ITCZ bergerak ~15 ke
utara dan selatan dari garis ekuator dalam setahun
sesuai dengan SPL terpanas.

Sirkulasi angin permukaan di pulau New


Guinea dipengaruhi oleh angin pasat tenggara dan
timur laut serta angin monsun barat-an yang
bergantung pada arah gradien tekanan permukaan
antara dua garis geser angin (shear line), yakni
North Monsoon Shear Line (NMSL) dan South
Monsoon Shear Line (SMSL) (Gambar 2), selain
itu juga bergantung pada jarak dengan garis
ekuator. Akan tetapi, pada dataran tinggi Papua,
iklim dipengaruhi oleh konvektif lokal karena
angin pasat dan monsun terhalang daerah
pegunungan 4).
1.2.Kondisi Iklim Papua
Pola temperatur di wilayah Papua bersifat
ekuatorial dengan sedikit variasi antar musim dan
memiliki temperatur yang cukup tinggi di
ketinggian permukaan laut. Perbedaan temperatur
yang cukup mencolok dalam variasi temporal
berkaitan dengan siklus diurnal antara siang dan
malam hari, sedangkan dalam variasi spasial
berkaitan dengan perubahan ketinggian dan posisi
lintang 5). Prentice & Hope 4) melaporkan bahwa
rentang temperatur diurnal pada ketinggian
dibawah 1.500 m d.p.l lebih besar dari pada
diatasnya, terutama pada bulan Januari, dan juga
rentang temperatur musiman lebih besar pada
ketinggian dibawah 2.000 m d.p.l daripada
diatasnya. Laju penurunan temperatur dengan
naiknya ketinggian (lapse rate) di wilayah Puncak
Jaya bagian selatan adalah 5,3 C/km diatas 2.500
m d.p.l yang menunjukkan udara yang sangat
lembab dan 7 C/km dibawah 2.500 m d.p.l untuk
temperatur maksimum bulanan berdasarkan data
AWS PTFI tahun 1994-2003. Batas ketinggian
2.500 m d.p.l diidentifikasi sebagai batas teratas
dari lapisan batas atmosfer (atmospheric boundary
layer, ABL) diwilayah Papua4). Sebelumnya, Pusat
Pengolahan Data dan Pemetaan, Departemen
Pekerjaan Umum1) menyatakan bahwa temperatur
menurun dengan laju 6 C/km dari tinggi
permukaan laut ke dataran tinggi di wilayah Papua.
Papua adalah salah satu wilayah di bumi
dengan tingkat presipitasi tertinggi, dengan banyak
daerah menerima 2.500 - 4.500 mm per tahun4).
Secara umum, curah hujan tertinggi terjadi pada
elevasi menengah di lereng kemiringan baik bagian
utara dan selatan wilayah pegunungan Papua; di
wilayah tersebut, curah hujan tahunan dapat
mencapai 4.000 mm dan pada wilayah yang sangat
basah dapat mencapai lebih dari 10.000 mm per
tahun5).

JURNAL METEOROLOGI DAN GEOFISIKA VOLUME 12 NOMOR 2 - SEPTEMBER 2011: 151 - 162

152

Gambar 1. Peta area studi provinsi Papua, Indonesia beserta lokasi data meteorologi di wilayah Papua 6).

Gambar 2. Rata-rata vektor angin 10 meter pada bulan (a) Februari, (b) April, (c) Juli dan (d) November menggunakan data
reanalisis GMAO/GEOS-5 MERRA dari Jan 1979 - Apr 2011. Kurva hitam mengilustrasikan NMSL dan
SMSL. Daerah diantara NMSL dan SMSL dipengaruhi oleh angin monsun barat-an. Satuan unit dalam
meter/detik 6).
ANALISIS DATA METEOROLOGI DARI PEMANTAU CUACA OTOMATIS...................................................Donaldi Sukma P.

153

Lokasi Papua yang berada dekat ekuator dan


dalam wilayah kolam air hangat Pasifik Barat
( We s t e r n P a c i f i c Wa r m P o o l , W P W P )
menyebabkan perbedaan curah hujan antar musim
tidak terlalu mencolok dan dapat digambarkan
sebagai "cukup basah" dan "sangat basah". Untuk
sebagian besar wilayah di Papua, curah hujan
maksimum terjadi antara bulan Januari dan April
(musim barat laut) dan minimum terjadi antara
bulan Mei dan Agustus (musim tenggara). Akan
tetapi, wilayah dengan curah hujan tertinggi justru
terjadi pada daerah dengan pola musim yang
berkebalikan, yakni dengan curah hujan
maksimum terjadi pada musim tenggara (Mei Agustus). Daerah ini dipengaruhi oleh angin
permukaan yang berbelok karena efek friksi
permukaan yang menghasilkan angin naik pada
lereng kemiringan di bagian selatan pegunungan
Papua. Hal ini ditunjukkan dengan curah hujan
musiman maksimum yang berubah pada
ketinggian ~2.000 m d.p.l (batas elevasi pengaruh
angin pasat tenggara) 4). Daerah tersebut juga
teridentifikasi pada tiga wilayah curah hujan
dominan di Indonesia dengan curah hujan
maksimum pada Juni - Juli (sekitar 300 mm/bulan)
dan minimum antara November - Februari 7). Selain
itu, uap air dalam jumlah besar juga dihasilkan
secara kontinu melalui proses evaporasi dari lautan
tropis di sekitar dan permukaan tanah serta dari
transpirasi tanaman didalamnya.
Stasiun Meteorologi BMKG di Papua lebih
banyak berlokasi di dataran rendah, sedangkan
stasiun pengamatan cuaca di wilayah dataran tinggi
Papua masih cukup jarang. PT. Freeport Indonesia
(PTFI) mengoperasikan pemantau cuaca otomatis
(AWS) mulai dari pesisir selatan sampai dengan
dataran tinggi dekat pegunungan Puncak Jaya
untuk memantau kondisi lingkungan di wilayah
tersebut.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
menganalisis data meteorologi yang terdapat di
wilayah Papua dan sekitarnya menggunakan data
pemantau cuaca otomatis (AWS) yang
dioperasikan oleh PT. Freeport Indonesia dan data
BMKG serta data radiosonde untuk lebih
memahami kondisi iklim di provinsi Papua,
terutama di bagian selatan.

penelitian paleoiklim berdasarkan inti es gletser


dekat Puncak Jaya antara BMKG, The Ohio State
University, dan Columbia University, PTFI
membantu dalam penyediaan logistik selama
ekspedisi lapangan tahun 2010 6). Selain itu, PTFI
juga menyediakan data meteorologi berupa data
sistem AWS yang menutupi wilayah mulai dari
pesisir pantai bagian selatan sampai daerah
k e t i n g g i a n d e k a t g l e t s e r. P T F I t e l a h
mengoperasikan jaringan AWS sejak tahun 1990an untuk kepentingan pengawasan lingkungan.
Beberapa AWS mulai dipasang tahun 2000-an.
Total AWS berjumlah 11 unit. Jaringan AWS PTFI
diilustrasikan pada Gambar 3 dengan penjelasan
pada tabel 1. Data tiap AWS disimpan tiap 15 menit
sekali, meliputi temperatur permukaan (C),
kelembapan relatif (%), presipitasi (mm), intensitas
matahari (W/m2), kecepatan (m/s), arah angin ()
dan tekanan udara (mbar). Periode koleksi data
pada tiap stasiun berbeda dan tiap stasiun memiliki
nilai-nilai kosong untuk parameter yang berbeda.
Proses pengolahan data dilakukan dengan
menghilangkan data pencilan (outlier) dan
menghitung rata-rata bulanan untuk tiap parameter.

II.METODE PENELITIAN
2.1. Stasiun Pemantau Cuaca Otomatis (AWS)
PTFI
Dalam kerjasama internasional mengenai

Gambar 3. a) Peta lokasi AWS PTFI (b) Peta lokasi


AWS PTFI di daerah ketinggian. Penjelasan
nomor stasiun diberikan pada tabel 1.
Stasiun nomor 7 telah dipindahkan ke stasiun
nomor 6 sejak Februari 2008.

JURNAL METEOROLOGI DAN GEOFISIKA VOLUME 12 NOMOR 2 - SEPTEMBER 2011: 151 - 162

154

Tabel 1. Periode Data jaringan AWS PTFI berdasarkan


ketinggian. Stasiun PORT tidak memiliki data
pada tahun 2007.

No

Stasiun

Kode

Elevasi
(m d.p.l)

Periode

Portsite (04,83
LS;
PORT
136,84 BT)

Jan 2004
Des 2010

Mile 21 (04,62
MP21
LS;
136,91 BT)

27

Jan 2004
Okt 2010

Timika (04,53
LS;
136,89 BT)

TMK

37

Jan 2000
Des 2010

Kuala Kencana
(04,41 LS;
136,86 BT)

KK

67

Jan 2004
Feb2010

Mile 50 (04,28
LS;
MP50
137,01 BT)

617

Jan 2005 Jul


2009

Mile 66 (04,15
LS;
MP66
137,10 BT)

2350

Mar 2008
Des 2009

Tembagapura
(04,14 LS;
137,09 BT)

TPRA

1900

Jan 1999
Feb 2008

Ridgecamp
(04,10 LS;
137,13 BT)

RCM
P

2410

Jan 2004
Des 2010

Mile 74 (04,09
LS;
MP74
137,12 BT)

2750

Jan 2004
Des 2010

Dispatch Tower
DISP
10
(04,07 LS;
137,11 BT)

11

12

GrasbergNursery
(04,04 LS;
137,12 BT)

GRB

Alpine (04,05
ALP
LS; 137,14 BT)

4109

3945

~4400

Jan 1999
Des 2010

Jan 2000
Des 2010

Jan 2000
Apr 2009

BMKG memiliki beberapa stasiun


meteorologi di wilayah Papua. Akan tetapi, pada
penelitian ini hanya digunakan data stasiun
meteorologi Timika, yang lokasinya berdekatan
dengan AWS PTFI di Timika. Periode data stasiun
Timika lebih panjang dari periode data AWS PTFI.
Parameter data meteorologi BMKG Timika terdiri
atas temperatur udara permukaan (Januari 1996 Agustus 2010), kelembapan relatif (Januari 1996 Agustus 2010), curah hujan (Januari 1983 Agustus 2010), total hari hujan (Januari 1997 Agustus 2010), kecepatan angin (Januari 1996 Agustus 2010) dan arah angin (Januari 1996 Agustus 2010).
2.3. Data Radiosonde National Oceanic dan
Atmospheric Administration/ Earth System
Research Laboratory (NOAA/ESRL)
Data radiosonde NOAA/ESRL diproduksi
oleh ESRL Global System Divison (GSD). Data
terbaru diperoleh dari National Climatic Data
Center/ Integrated Global Radiosonde Archive
(NCDC/IGRA). Parameter yang diamati meliputi
tekanan, temperatur, tinggi geopotensial, depresi
dewpoint, kecepatan angin dan arah angin. Data
diperbaharui tiap hari dan dapat diakses secara
online. Data ini dapat diunduh dari
http://www.esrl.noaa.gov/raobs.
Untuk wilayah Papua, ada empat stasiun yang
menyediakan data tersebut. Deskripsi tiap stasiun
dapat dilihat pada tabel 2 dan lokasi dapat dilihat
pada Gambar 1.
Tabel 2. Periode Data Radiosonde di wilayah Papua.
Titik lokasi dapat dilihat pada Gambar 1.

Lokasi Stasiun

Elevasi
(m d.p.l)

Periode

Biak
(01,18 LS;
136,12 BT

11

Apr 1994
Mei 2011

Merauke
(08,47 LS; 140,38 BT)

Apr 1994
Mei 2011

Momote
(02,07 LS; 147,03 BT)

Des 1997
Feb 2011

Port Moresby (09.43


LS; 147,20 BT)

49

Des 1999
Feb 2011

ANALISIS DATA METEOROLOGI DARI PEMANTAU CUACA OTOMATIS...................................................Donaldi Sukma P.

155

2.4. Data Global Network of Isotopes in


Precipitation - International Atomic Energy
Agency / World Meteorological Organization
(GNIP - IAEA/WMO)
IAEA dan WMO melalui GNIP melakukan
survey komposisi isotop oksigen dan hidrogen
presipitasi di lebih dari 800 stasiun meteorologi
diseluruh dunia sejak tahun 1961. Data GNIP
terdiri atas data meteorologi dan data isotop
presipitasi. Penelitian ini hanya berfokus pada data
meteorologi yang meliputi total bulanan presipitasi
(mm), tipe presipitasi, rata-rata bulanan temperatur
permukaan (C) dan rata-rata bulanan tekanan uap
air (mb). Ada dua stasiun GNIP di pulau New
Guinea, yakni di Jayapura, Indonesia (2.53 LS;
140.72 BT; 3 m d.p.l) dan di Madang, Papua New
Guinea (5.22 LS; 145.80 BT; 49 m d.p.l) (Gambar
1). Secara umum, periode data untuk stasiun
Jayapura dan Madang masing - masing adalah 1960
- 1984 dan 1968 - 1982.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Untuk meningkatkan pemahaman kondisi
iklim di wilayah Papua, analisis meteorologi telah
dilakukan berdasarkan data jaringan AWS PTFI,
stasiun meteorologi BMKG Timika, GNIP
IAEA/WMO, dan data radiosonde NOAA-ESRL.
Data AWS PTFI, stasiun meteorologi BMKG
Timika, dan data radiosonde di Merauke dan Port
Moresby memberikan informasi meteorologi di
bagian selatan Papua. Di bagian utara, informasi
meteorologi diperoleh dari data radiosonde di Biak
dan Momote serta data GNIP IAEA/WMO di
Jayapura dan Madang.
3.1.Temperatur
Temperatur rata-rata bulanan dari AWS PTFI
dapat dilihat pada Gambar 4. Temperatur rata-rata
bulanan maksimum terjadi pada bulan Januari dan
minimum pada bulan Juli-Agustus untuk elevasi di
bawah 2.500 m d.p.l (PORT, MP21, TMK, KK,
MP50, TPRA, MP66, RCMP), tetapi untuk elevasi
di atas 2.500 m d.p.l (MP74, GRB, DISP, ALP),
terdapat dua rata-rata maksimum pada bulan Mei
dan November dan minimum pada bulan Februari
dan Juli. Dua nilai temperatur maksimum pada
stasiun di dataran tinggi mungkin mencerminkan
lintasan dua kali matahari yang melewati wilayah
ekuator yang intensitasnya semakin kuat ketika
mendekati ekuator. Adanya dua puncak maksimum

juga teridentifikasi pada data observasi lainnya di


bagian utara pulau New Guinea (BIAK,
MOMOTE) (Gambar 5). Di sisi lain, variasi
temperatur rata-rata bulanan AWS PTFI di dataran
rendah memiliki kemiripan dengan data observasi
di bagian selatan pulau New Guinea (MERAUKE,
PORT MORESBY), yakni memiliki satu puncak
maksimum saat musim panas di BBS (November Februari).
Jaringan AWS PTFI menunjukkan bahwa
rentang temperatur harian (perbedaan rata-rata
temperatur maksimum dan minimum harian) lebih
besar pada elevasi dibawah 2.500 m d.p.l dan diatas
3.500 m d.p.l daripada diantaranya (Gambar 6). Di
bawah 2.500 m d.p.l, rentang temperatur harian
berkisar antara ~8 - 14C dan diatas 3.500 m d.p.l,
berkisar antara ~ 9 - 12C. Sedangkan pada elevasi
2.500 - 3.500 m d.p.l, rentang temperatur harian
berkisar antara ~6 - 8C.
Selain itu, rentang temperatur harian hampir
selalu lebih kecil pada bulan Juli dan lebih tinggi
pada bulan Januari pada tiap elevasi. Akan tetapi,
rentang temperatur harian terbesar pada AWS PTFI
tertinggi (ALP) terjadi pada bulan Mei yang
bertepatan dengan saat temperatur maksimum
terjadi. Besarnya rentang temperatur harian dapat
disebabkan oleh tingginya absorbsi radiasi
matahari oleh bumi saat siang hari dan reradiasi
bumi saat malam hari. Rentang temperatur harian
yang lebih kecil mungkin dapat disebabkan
rendahnya absorbsi radiasi matahari oleh bumi saat
siang hari karena adanya tutupan awan. Hasil ini
sedikit berbeda dengan hasil yang diperoleh
Prentice dan Hope 4), yang menyatakan bahwa
rentang temperatur harian di bagian selatan Papua
lebih besar pada ketinggian dibawah 1.500 m d.p.l
daripada diatasnya.
Data AWS PTFI juga mengindikasikan
rentang temperatur musiman (perbedaan rata-rata
temperatur bulanan dalam setahun) lebih besar
pada elevasi dibawah 2.500 m d.p.l daripada
diatasnya (Gambar 6). Hal ini dapat disebabkan
karena perbedaan yang cukup besar antara
temperatur maksimum bulanan dibawah 2.500 m
d.p.l, misalnya pada bulan Januari dan Juli.
Peningkatan rentang temperatur musiman dibawah
elevasi ~2.500 m d.p.l ini juga ditunjukkan oleh
temperatur atmosfer yang tercatat pada radiosonde
diatas Merauke dan Port Moresby di bagian selatan
pulau New Guinea (Gambar 7 bagian atas).

JURNAL METEOROLOGI DAN GEOFISIKA VOLUME 12 NOMOR 2 - SEPTEMBER 2011: 151 - 162

156

Gambar 4. Temperatur rata-rata bulanan AWS PTFI per


ketinggian.6)

Gambar 5. Temperatur rata-rata bulanan pada situs


lokasi di bagian utara dan selatan wilayah
New Guinea. Garis penuh menyatakan situs
lokasi di bagian utara dengan dua puncak
maksimum sedangkan garis putus-putus
(merah muda dan biru muda) menyatakan
situs lokasi di bagian selatan dengan satu
puncak maksimum 6).

Gambar 6. Temperatur bulanan maksimum (MAX),


rata-rata (AVE) dan minimum (MIN) AWS
PTFI.

Gambar 7. Temperatur rata-rata bulanan pada level


tekanan standar (ketinggian geopotensial)
tercatat oleh radiosonde yang dilepaskan
pada 00:00 GMT (07:00 WIB) dari Merauke
dan Port Moresby di bagian selatan New
Guinea (atas) serta Biak dan Momote di
bagian utara New Guinea (bawah) 6).

Di sisi lain, rentang temperatur musiman


sebesar ~1 C antara bulan Mei dan Juli pada AWS
PTFI diatas ketinggian 2.500 m d.p.l serupa dengan
rentang temperatur atmosfer musiman yang
tercatat pada radiosonde di atas Biak dan Momote
di bagian utara New Guinea (Gambar 7 bagian
bawah). Hasil ini mengindikasikan adanya
kesamaan variasi temperatur antara AWS PTFI di
bawah ketinggian 2.500 m d.p.l dengan wilayah
selatan New Guinea dan AWS PTFI di atas
ketinggian 2.500 m d.p.l dengan wilayah utara New
Guinea.
Berdasarkan hasil analisis AWS PTFI, laju
susut (lapse rate) temperatur rata-rata di wilayah
ini sekitar 5,0 C/km dari lokasi terendah sampai
tertinggi. Nilai ini lebih kecil dibandingkan dengan
rata-rata laju susut temperatur atmosfer yang
tercatat pada radiosonde di 4 lokasi disekitarnya

ANALISIS DATA METEOROLOGI DARI PEMANTAU CUACA OTOMATIS...................................................Donaldi Sukma P.

157

(5,5 C/km). Diatas ketinggian 2.500 m d.p.l, laju


susut sekitar 4,6 C/km untuk temperatur rata-rata
bulanan. Sedangkan untuk elevasi dibawahnya,
laju susut temperatur lebih tinggi (5,2 C/km untuk
temperatur rata-rata bulanan dan 5,8 C/km untuk
temperatur maksimum bulanan), yang
merefleksikan radiasi panas dari bumi yang cukup
kuat pada siang hari dan memanaskan lapisan udara
yang dekat dengan permukaan serta pelepasan
panas laten ke bumi akibat kondensasi yang sedikit
pada siang hari. Laju susut untuk temperatur
minimum bulanan sekitar 4,7 C/km yang mungkin
disebabkan radiasi pendinginan oleh bumi pada
saat malam hari.
3.2.Kelembapan Relatif
Variasi kelembapan relatif pada AWS PTFI
dibagi menjadi dua pola seperti digambarkan pada
Gambar 8. Pola pertama diidentifikasi pada
ketinggian dibawah 2.500 m d.p.l dengan
maksimum kelembapan relatif pada bulan Juli (8696%) dan minimum pada bulan Januari (78-91%).
Pola kedua diidentifikasi pada ketinggian diatas
2.500 m d.p.l, dengan maksimum kelembapan
relatif terjadi pada bulan Februari - April (85-93%)
dan minimum pada bulan Agustus (77-89%).
Variasi kelembapan relatif pada pola pertama
mungkin disebabkan oleh meningkatnya uap air di
udara dari Laut Arafura selama musim tenggara
serta uap air tambahan dari proses evaporasi hutan
pegunungan. Sedangkan variasi pada pola kedua
mungkin disebabkan oleh meningkatnya uap air di
udara yang berasal dari Samudra Pasifik selama
musim barat laut (monsun barat-an). Rentang
kelembapan relatif harian semakin besar dibawah
ketinggian 2.500 m d.p.l dari pada diatasnya
(Gambar 9). Sedangkan, rentang kelembapan
relatif musiman meningkat pada ketinggian
dibawah 2.500 m d.p.l dan diatas 3.500 m d.p.l 6).
3.3.Presipitasi
Pada sebagian besar wilayah Papua, curah
hujan maksimum terjadi antara bulan Januari dan
April (musim barat laut) dan minimum antara bulan
Mei dan Agustus (musim tenggara). Akan tetapi,
AWS PTFI dan stasiun BMKG di Timika berada
pada wilayah dengan curah hujan tertinggi dengan
pola curah hujan yang berkebalikan, curah hujan
maksimum terjadi pada bulan Juni-Agustus (> 400
mm/bulan). Wilayah ini dipengaruhi oleh angin

permukaan yang membelok karena efek friksi


permukaan, menyebabkan angin naik pada
kemiringan di bagian selatan pegunungan. Gambar
10 menyatakan curah hujan rata-rata bulanan AWS
PTFI. Pada stasiun dibawah ketinggian 2.500 m
d.p.l, curah hujan maksimum terjadi pada bulan
Juni-Agustus (400 - 1.100 mm/bulan) dan
minimum pada bulan November-Februari (150 600 mm/bulan). Hal ini sejalan dengan pola
kelembapan relatif tipe pertama yang dikendalikan
oleh angin pasat tenggara. Total presipitasi tahunan
tertinggi (~12.500 mm/thn) tercatat di stasiun
MP50 (617 m d.p.l) dengan pola musiman yang
lemah. Hal ini mungkin disebabkan oleh efek
orografis, yakni uap air naik pada kemiringan yang
sangat tajam dan kemudian berkondensasi
menghasilkan curah hujan yang sangat tinggi
(~1.000 mm/bulan). Diatas ketinggian 2.500 m
d.p.l, curah hujan maksimum terjadi pada bulan
Februari-April (350-500 mm/bulan) dan minimum
pada bulan Mei - Agustus (200-400 mm/bulan).
Pola ini juga konsisten dengan variasi kelembapan
relatif pada ketinggian tersebut.
Seperti digambarkan pada Gambar 11, data
AWS PTFI juga menunjukkan bahwa total curah
hujan tahunan saat malam hari (06:00 sore - 06:00
pagi) lebih tinggi daripada saat siang hari (06:00
pagi - 06:00 sore) pada elevasi dibawah ~600 m
d.p.l. Sebaliknya, diatas ~600 m d.p.l, total curah
hujan tahunan saat siang hari lebih tinggi daripada
saat malam hari. Hal ini kemungkinan besar
disebabkan oleh rentang kelembapan relatif harian
yang lebih besar pada elevasi dibawah ~600 m d.p.l
daripada diatasnya.
Dibawah elevasi ~600 m d.p.l, kelembapan
relatif rata-rata saat malam hari lebih tinggi dari
pada saat siang hari (Gambar 9), yang
menyebabkan kemungkinan curah hujan pada
malam hari lebih tinggi. Sedangkan diatas 600 m
d.p.l, rentang kelembapan relatif harian semakin
mengecil. Tambahan uap air dari transpirasi
tanaman saat siang hari juga memicu tingginya
curah hujan siang hari dibandingkan dengan saat
malam hari. Karena lokasinya di kolam hangat
Pasifik Barat, Papua dipengaruhi oleh kejadian El
Nio Southern Oscillation (ENSO). Amplitudo
curah hujan musiman mengalami perubahan
signifikan pada saat kejadian tersebut 4). Sebagai
contoh, curah hujan di stasiun BMKG Timika
mengalami penurunan saat kejadian El Nio
(Gambar 12).

JURNAL METEOROLOGI DAN GEOFISIKA VOLUME 12 NOMOR 2 - SEPTEMBER 2011: 151 - 162

158

Gambar 8. Kelembapan relatif rata-rata bulanan pada


AWS PTFI.

Gambar 10. Curah hujan rata-rata bulanan pada AWS


PTFI.

Gambar 9. Kelembapan relatif tahunan rata-rata


(average), saat siang hari (daytime) dan saat
malam hari (nighttime) AWS PTFI.

Gambar 11. Total presipitasi tahunan (total), saat siang


hari (daytime) dan saat malam hari
(nighttime) AWS PTFI.

ANALISIS DATA METEOROLOGI DARI PEMANTAU CUACA OTOMATIS...................................................Donaldi Sukma P.

159

Gambar 12. Total curah hujan bulanan dan tahunan


pada stasiun BMKG Timika periode
Januari 1983 - Agustus 2010.

3.4.Kecepatan dan Arah Angin


Kecepatan angin di wilayah ini cukup
rendah4)8). Angin pasat tenggara bergerak dengan
kecepatan sekitar 10 - 20 km/jam di pantai bagian
selatan sedangkan angin barat-an bertiup lebih
lambat saat musim barat-laut. Angin yang kuat
mungkin saja terjadi saat sistem angin lokal
bertemu dengan puncak pegunungan, termasuk
angin katabatik dan angin gunung pada saat malam
hari. Angin diurnal darat dan laut dapat terjadi di
sekitar daerah pantai. Kadangkala, wilayah pesisir
pantai bagian selatan juga dipengaruhi oleh angin
kencang dan hujan badai akibat siklon tropis di
BBS.
Sirkulasi angin utama tercatat pada empat
radiosonde di wilayah New Guinea. Secara umum,
arah angin saat monsun barat-an berasal dari barat barat laut pada bulan Januari dan Februari,
setidaknya sampai elevasi ~3.000 m d.p.l. Akan
tetapi pada bagian selatan New Guinea, sampai
mencapai ketinggian ~6.000 m d.p.l. Pada bulanbulan tersebut, kecepatan angin barat-an berkurang
pada elevasi antara ~3.000 - 6.000 m d.p.l dan
digantikan oleh angin timur-an. Pada bulan Juli dan
Agustus, angin berasal dari arah tenggara-timur
sampai elevasi 6.000 m d.p.l, menyatakan angin
tropis timur-an. Data radiosonde menyatakan
bahwa angin monsun barat-an lebih lemah dari
pada angin pasat timur-an, kecuali pada situs Port
Moresby. Hal ini disebabkan karena angin monsun
barat-an berasal dari angin pasat timur laut yang
berbelok menghasilkan kecepatan angin yang lebih
rendah, terutama di bagian utara Papua.
Pada AWS PTFI, sirkulasi angin utama juga
teridentifikasi dari pola arah angin tahunan di
beberapa lokasi AWS. Akan tetapi, pada beberapa
lokasi AWS lainnya, sirkulasi angin lokal lebih

dominan. Sebagai contoh, pada stasiun PORT (9 m


d.p.l) yang berjarak ~9.5 km dari Laut Arafura,
rata-rata bulanan arah angin mengindikasikan
sirkulasi angin utama. Akan tetapi, variasi harian
juga dapat dilihat dari efek sistem angin darat/laut
yang mempengaruhi stasiun tersebut. Pada stasiun
MP50 dan RCMP, sirkulasi angin lokal lebih
dominan daripada sirkulasi angin utama. Pada
stasiun dengan elevasi tertinggi (ALP), arah angin
berasal dari barat daya - barat - barat laut mulai
November sampai April dan timur laut - timur
mulai Mei sampai Oktober.
Kecepatan angin yang tercatat pada AWS PTFI
lebih rendah daripada kecepatan angin yang
tercatat pada stasiun observasi radiosonde. Hal ini
disebabkan karena besarnya resistansi friksi
permukaan seperti kekasaran permukaan (surface
roughness) ketika angin bertiup masuk ke daratan.
3.5.Intensitas Radiasi Matahari
Intensitas radiasi matahari rata-rata bulanan
untuk AWS PTFI dapat dilihat pada Gambar 13.
Pada stasiun dibawah elevasi ~2.500 m d.p.l,
terdapat pola musiman intensitas radiasi matahari
yang diterima oleh bumi. Intensitas tertinggi terjadi
pada bulan Oktober - April (~75 - 225 W/m2) dan
intensitas terendah terjadi pada bulan Juni September (50-125 W/m2). Pada rentang elevasi
ini, rata-rata intensitas matahari menurun seiring
dengan meningkatnya elevasi. Hal ini dapat
disebabkan meningkatnya tutupan awan dan curah
hujan pada elevasi yang lebih tinggi yang
menghalangi masuknya radiasi matahari. Variasi
tersebut berkaitan dengan posisi jarak dengan
matahari. Karena posisi pulau New Guinea berada
di BBS maka jarak terdekat dengan matahari terjadi
pada bulan November dan Februari dan terjauh
pada bulan Juni-Agustus.
Pada stasiun yang berlokasi pada ketinggian
diatas ~2.500 m d.p.l, intensitas radiasi matahari
mempunyai pola musiman yang lemah sepanjang
tahun. Hal ini mungkin berkaitan dengan tingginya
tutupan awan dan curah hujan karena tingginya uap
air lokal sepanjang tahun. Pada rentang elevasi ini,
intensitas radiasi matahari yang diterima lebih
meningkat seiring dengan peningkatan elevasi. Hal
ini mungkin berkaitan dengan berkurangnya
kelembapan dan curah hujan pada rentang elevasi
tersebut (Gambar 8, 10), sehingga menyebabkan
peningkatan rentang temperatur harian pada
ketinggian diatas ~2.500 m d.p.l (Gambar 6).

JURNAL METEOROLOGI DAN GEOFISIKA VOLUME 12 NOMOR 2 - SEPTEMBER 2011: 151 - 162

160

Gambar 13. Intensitas radiasi matahari rata-rata


bulanan pada AWS PTFI.

IV.KESIMPULAN
Data meteorologi diperoleh dari jaringan AWS
yang dioperasikan oleh PTFI dan dipasang mulai
dari pesisir pantai selatan Papua (9 m d.p.l) sampai
dengan ~4.400 m d.p.l dekat pegunungan Puncak
Jaya dan data radiosonde dari empat lokasi di
wilayah New Guinea sebagai pembanding.
A n a l i s i s d a t a m e t e o r o l o g i AW S P T F I
menghasilkan informasi berikut:

Temperatur maksimum rata-rata terjadi bulan


Januari dan minimum pada bulan Juli untuk
elevasi dibawah 2.500 m d.p.l (batas atas
lapisan batas atmosfer), sedangkan diatas
elevasi tersebut, dua puncak maksimum
teridentifikasi pada bulan Mei dan November.
Rentang temperatur harian lebih besar pada
elevasi dibawah 2.500 m d.p.l (8-14 C) dan
diatas 3.500 m d.p.l (9-12 C). Rentang
temperatur musiman juga teridentifikasi pada
elevasi dibawah 2.500 m d.p.l daripada

diatasnya. Terdapat indikasi kemiripan variasi


temperatur antara AWS PTFI dibawah elevasi
2.500 m d.p.l dengan pengamatan radiosonde di
bagian selatan New Guinea dan antara AWS
PTFI diatas elevasi 2.500 m d.p.l dengan
pengamatan radiosonde di bagian utara New
Guinea. Laju susut permukaan sekitar 5C/km
dengan 5.2C/km dibawah elevasi 2.500 m d.p.l
dan 4.6C/km diatas elevasi 2.500 m d.p.l.
Dibawah elevasi ~2.500 m d.p.l, kelembapan
relatif maksimum terjadi pada bulan Juli dan
minimum pada bulan Januari sedangkan diatas
~2.500 m d.p.l, kelembapan relatif maksimum
terjadi pada Februari-Mei dan minimum pada
bulan Agustus. Rentang kelembapan relatif
harian lebih besar pada elevasi di bawah 2.500
m d.p.l daripada diatasnya.
Total presipitasi tahunan tertinggi tercatat pada
stasiun MP50 (617 m d.p.l). Dibawah 600 m
d.p.l, maksimum presipitasi terjadi pada bulan
Juli dan minimum pada November-Februari.
Diatas ketinggian ~2.500 m d.p.l, maksimum
presipitasi terjadi pada Februari-April dan
minimum pada Mei-Agustus. Total presipitasi
saat siang hari lebih tinggi daripada saat malam
hari diatas elevasi ~600 m d.p.l dan sebaliknya
dibawah ~600 m d.p.l.
Sirkulasi angin utama di wilayah Papua terekam
pada beberapa AWS PTFI, sementara yang lain
merekam sirkulasi angin lokal.
Terdapat pola musiman intensitas radiasi
matahari pada elevasi dibawah ~2.500 m d.p.l
dengan intensitas maksimum pada bulan
Oktober-April dan intensitas minimum pada
bulan Juni-September. Diatas elevasi ~2.500 m
d.p.l, intensitas matahari mempunyai pola
musiman yang lemah karena tingginya tutupan
awan dan curah hujan sepanjang tahun.

V. SARAN
Untuk penelitian lebih lanjut, BMKG
mempunyai beberapa stasiun meteorologi yang
tersebar di wilayah Papua, walaupun lokasinya
lebih banyak berada pada elevasi rendah. Integrasi
data meteorologi dari stasiun-stasiun tersebut
dengan data meteorologi dari PTFI yang mewakili
wilayah dataran tinggi akan meningkatkan
pemahaman terhadap kondisi iklim di Papua.

ANALISIS DATA METEOROLOGI DARI PEMANTAU CUACA OTOMATIS...................................................Donaldi Sukma P.

161

VI. UCAPAN TERIMA KASIH


Ucapan terima kasih disampaikan penulis
kepada PT Freeport Indonesia (PTFI) atas
ketersediaan data meteorologi AWS untuk
pemahaman kondisi meteorologi di wilayah Papua.
Akses data tersebut merupakan hasil kerjasama
internasional dalam penelitian paleoiklim
berdasarkan inti es gletser dekat Puncak Jaya antara
BMKG, Byrd Polar Research Center-The Ohio
State University (Dr. Lonnie G. Thompson),
Lamont Doherty Earth Observatory (Dr. Dwi
Susanto) dan PTFI.
VII. DAFTAR PUSTAKA
DPU. (1997). Pengembangan Sistem Informasi
ke-PU-an di Daerah Propinsi Irian Jaya Proyek Peningkatan Pembinaan dan
Pengembangan Informasi Literal dan
Spasial. Pusat Pengolahan Data dan
Pemetaan.
2)
Bowler, J. M., Hope, G. S., Jennings, J. N., Singh,
G., & Walker, D. (1976). Late Quaternary
Climates of Australia and New Guinea.
Quaternary Research, 6(3), 359-394.
3)
Allison, I. (1974). Morphology and Dynamics of
the Tropical Glaciers of Irian Jaya.
Zeitschrift Fr Gletscherkunde Und
Glazialgeologie, 10, 129-152.
1)

4)

Prentice, M. L., & Hope, G. S. (2007). Climate of


Papua. In A. J. Marshall, & B. M. Beehler
(Eds.), The Ecoclogy of Papua: Part one (pp.
177-195). Singapore: Periplus Editions.
5)
McAlpine, J. R., Keig, G., & Falls, R. (1983).
Climate of Papua New Guinea. Canberra,
Australia; Miami, Fla., USA:
Commonwealth Scientific and Industrial
Research Organization in association with
Australian National University Press.
6)
Permana, D. S. (2011). Climate, Precipitation
Isotopic Composition and Tropical Ice Core
Analysis of Papua, Indonesia. Thesis, The
Ohio State University.
7)
Aldrian, E., & Dwi Susanto, R. (2003).
Identification of Three Dominant Rainfall
Regions within Indonesia and Their
Relationship to Sea Surface Temperature.
International Journal of Climatology,
23(12), 1435-1452.
8)
Allison, I., & Bennett, J. (1976). Climate and
Microclimate. In G. S. Hope, J. A. Peterson,
U. Radok & I. Allison (Eds.), The Equatorial
Glaciers of New Guinea: Results of the
1971-1973 Australian Universities
Expeditions to Irian Jaya: Survey,
Glaciology, Meteorology, Biology and
P a l a e o e n v i ro n m e n t s ( p p . 6 1 - 8 0 ) .
Rotterdam: A. A. Balkema

JURNAL METEOROLOGI DAN GEOFISIKA VOLUME 12 NOMOR 2 - SEPTEMBER 2011: 151 - 162

162

Anda mungkin juga menyukai