Anda di halaman 1dari 16

1.

PENGANTAR
Tes Rumple Leede (RL) atau yang dikenal juga dengan Percobaan Pembendungan
/ Uji Turniket adalah salah satu pemeriksaan yang dilakukan dalam bidang hematologi.
Prosedur ini diajarkan kepada mahasiswa agar mereka memahami bahwa tes RL ini dapat
dipakai untuk menguji ketahanan kapiler dan fungsi trombosit sehingga merupakan upaya
diagnostik untuk mengetahui adanya kelainan dalam proses hemostasis primer. Sekaligus
agar siswa dapat melakukan persiapan, melaksanakan serta menginterpretasikan hasil
pemeriksaan ini.
2. TUJUAN PEMBELAJARAN
Tujuan Umum:
Untuk memberikan keterampilan kepada mahasiswa dalam mempersiapkan,
melaksanakan dan menginterpretasikan tes RL.
Tujuan Khusus:
1. Mampu menerangkan pada pasien tujuan tes RL dan prosedurnya.
2. Mampu melakukan persiapan alat untuk tes RL dengan benar.
3. Mampu melakukan tes RL secara benar.
4. Mampu menginterpretasikan hasil tes RL dengan tepat.
3. STRATEGI PEMBELAJARAN
- Demonstrasi oleh instruktur
- Bekerja kelompok dengan pengawasan instruktur
- Bekerja dan belajar mandiri
4. PRASYARAT:
Pengetahuan yang perlu dimiliki sebelum berlatih yaitu teori mengenai proses
hemostasis dan keterampilan yang sudah dimiliki yaitu pengukuran tekanan
darah
5. TEORI
Tes RL adalah prosedur hematologi yang merupakan uji diagnostik terhadap
ketahanan kapiler dan penurunan jumlah trombosit. Ketahanan kapiler dapat menurun
pada infeksi DHF, ITP, purpura, dan Scurvy.
Tes RL dilakukan dengan cara pembendungan vena memakai sfigmomanometer
pada tekanan antara sistolik dan diastolik (100 mmHg) selama 10 menit. Pembendungan
vena menyebabkan darah menekan dinding kapiler. Dinding kapiler yang oleh suatu
sebab kurang kuat atau adanya trombositopenia, akan rusak oleh pembendungan tersebut.
Darah dari dalam kapiler akan keluar dan merembes ke dalam jaringan sekitarnya
sehingga tampak sebagai bercak merah kecil pada permukaan kulit. Bercak tersebut
disebut ptekie. Hasil positif bila terdapat ptekie pada bagian volar lengan bawah yang
dibendung dengan jumlah 10 pada area berdiameter 5 cm.
Tes RL tidak perlu dilakukan:
1. Jika sudah terdapat purpura
2. Diketahui mempunyai riwayat perdarahan.
6.PROSEDUR KERJA
a. Alat
1. Sfigmomanometer
2. Stetoskop
3. Stop Watch / Timer
b. Cara kerja
1. Terangkan pada pasien tentang tujuan tes RL dan prosedurnya.
2. Persiapkan alat untuk tes RL
3. Pasang ikatan sfigmomanometer pada lengan atas lebih kurang 3 jari diatas
fossa cubiti.
4. Pompa sfigmomanometer sampai tekanan antara sistolik dan diastolik (100
mmHg) yaitu di atas tekanan vena tapi kurang dari tekanan arteri sehingga
darah dari jantung ke perifer tetap jalan.
5. Pertahankan tekanan itu selama 10 menit.
6. Lepaskan ikatan sfigmomanometer dan tunggu sampai tanda stasis darah
lenyap. Stasis darah telah berhenti jika warna kulit pada lengan yang
dibendung sama dengan warna kulit lengan yang disebelahnya.

7. Carilah dan hitung banyaknya ptekie yang timbul dalam lingkaran yang
berdiemeter 5 cm di bagian volar lengan bawah.
Interpretasi : Normal : (-) : 10 ptekie
Patologis : (+) : > 10 ptekie ketahanan kapiler menurun
Nilai Rujuk :
< 10 peteki dinyatakan negatif atau normal
20 dinyatakan abnormal
10-20 dinyatakan dubia
Atau :
Scale for reporting number of petechiae:
0 to 10 = 1+
10 to 20 = 2+
20 to 50 = 3+
50 or more = 4+
Derajat laporan :
(-) = tidak didapatkan petechiae
(+1) = timbul beberapa petechiae dipermukaan pangkal lengan
(+2) = timbul banyak petechiae dipermukaan pangkal lengan
(+3) = timbul banyak petechiae diseluruh permukaan pangkal lengan &
telapak tangan muka & belakang
(+4) = banyak sekali petechiae diseluruh permukaan lengan, telapak tangan
& jari,muka & belakang
Catatan:
-Jika ada > 10 petechiae dalam lingkaran bergaris tengah 5 cm kira-kira 4 cm
distal dari fossa cubiti test Rumple Leede dikatakan positif. Seandainya
dalam lingkaran tersebut tidak ada petechiae, tetapi terdapat petechiae
pada distal yang lebih jauh daripada itu, test Rumple Leed juga dikatakan
positif.
-Warna merah didekat bekas ikatan tensi mungkin bekas jepitan, tidak ikut
diikut sebagai petechiae
-Pasien yg tek darahnya tdk diketahui, tensimeter dapat dipakai pada tek
80 mmHg
-Pasien tidak boleh diulang pada lengan yang sama dalam waktu 1 minggu

Pembengkakan Kelenjar Nodes

Munculnya benjolan di belakang telinga umumnya disebabkan oleh pembengkakan kelenjar


getah bening. Kelenjar getah bening terletak di beberapa bagian tubuh, antara lain leher, pangkal
paha, ketiak, panggul dan perut. Kelenjar ini memiliki sistem kekeblan tubuh dan melawan
infeksi serta membuang sampah sel dari tubuh.

Pembesaran getah bening di belakang leher biasanya disebabkan infeksi luka dan abses gigi.
Biasanya kondisi ini bukan hal yang serius, namun dalam beberapa kasus pembengkakan
kelenjar getah bening membutuhkan perawatan medis bila tidak mereda dalam beberapa hari.

Kista sebasea

Benjolan di belakang telinga juga bisa disebabkan oleh kista sebasea. Kista ini mengandung
protein keratin yang berbau busuk. Penyebabnya, pembengkakan folikel rambut atau trauma
kulit. Kista jenis ini biasanya bisa menghilang sendiri dan tidak membutuhkan pengobatan. Tapi,
jika kista terinfeksi maka bisa menyebabkan abses yang mengakibatkan inflamasi dan penderita
harus segera diobati.

Mastoiditis

Bagian belakang telinga terdapat tulang mastoid. Infeksi pada tulang mastoid akibat mostoiditis
menyebabkan daerah di belakang telinga membengkak dan menonjol dari kulit. Biasanya
benjolan disertai nyeri telinga, demam, berkuarangnya pendengaran, dan kemerahan pada
telinga.

Penyebab Serius Benjolan belakang Telinga

Beberapa benjolan di telinga menunjukkan kondisi yang serius pada kesehatan Anda. Penyebab
yang paling mengerikan adalah kanker. Misalnya benjolan yang disebabkan oleh kanker kepala

dan leher disertai dengan sakit tenggorokan, sulit menelan, dan suaraserak. Terkadang kanker
kelenjar ludah juga bisa mengakibatkan munculnya benjolan di belakang telinga. Kondisi ini
disebut dengan kanker lehar metastatik skuamosa.

1. Infeksi
Kelenjar getah bening Anda cenderung untuk memperbesar ketika tubuh Anda sedang melawan
infeksi sistemik atau lokal. Hal ini karena produksi antibodi meningkat sehingga agen infeksi
dapat dibunuh. Dalam proses ini, beberapa kelenjar getah bening bisa membesar. Jika Anda
memiliki saluran pernapasan atas, kulit kepala atau infeksi mata, Anda mungkin mengalami
pembengkakan kelenjar getah bening di belakang telinga Anda. Demikian juga, pembengkakan
kelenjar getah bening di belakang telinga dapat dikaitkan dengan HIV / AIDS atau infeksi parasit
dan jamur.
Pengobatan. Jika Anda memiliki infeksi bakteri, pengobatan akan melibatkan pemberian
antibiotik. Dalam kasus yang lebih berat, obat antibiotik dapat diberikan secara intravena.
2. Flu dan Dingin
Flu dan dingin juga dapat menyebabkan pembengkakan kelenjar getah bening. Meskipun dapat
menyebabkan beberapa kelenjar getah bening membengkak, pembengkakan sebagian besar akan
berada di kelenjar getah bening yang terletak di bagian belakang leher Anda, dasar tengkorak
Anda dan di belakang telinga Anda.
Pengobatan. Setelah flu dan dingin telah diobati, kelenjar getah bening akan kembali ke ukuran
normal.
3. Campak Jerman
Disebabkan oleh virus yang dikenal sebagai virus rubella, campak Jerman adalah infeksi virus
yang menghasilkan warna pink khas atau ruam merah. Ruam pertama kali muncul di wajah Anda
kemudian menyebar ke lengan, batang dan kaki. Selain itu, Anda dapat mengembangkan lembut
dan pembengkakan kelenjar getah bening di belakang telinga, leher dan dasar tengkorak.
Pengobatan. Jika campak Jerman disertai dengan otot / nyeri sendi dan demam, Anda dapat
memperlakukan mereka menggunakan ibuprofen dan parasetamol (untuk anak-anak Nurofen).
Selain itu, campak akan hilang dalam satu atau dua minggu, dan setelah itu, tubuh Anda akan
kebal terhadap penyakit karena antibodi akan telah diciptakan memberikan kekebalan selama
sisa hidup Anda.

4. Kanker
Kanker juga telah dikaitkan dengan pembengkakan kelenjar getah bening. Hal ini dapat terjadi
sebagai akibat dari akumulasi sel-sel ganas atau kanker di kelenjar getah bening Anda. Kanker
umum yang menyebabkan kelenjar pembesaran termasuk limfoma Hodgkin (kanker jaringan
getah bening) dan limfoma (kanker kelenjar getah bening). Kanker tenggorokan dan leukemia
juga dapat menyebabkan pembengkakan kelenjar getah bening.
Perawatan. Kemoterapi, radiasi, dan transplantasi sel induk adalah beberapa perawatan yang
digunakan untuk membunuh sel-sel kanker. Beberapa pengobatan alternatif yang digunakan
untuk mengatasi ketidaknyamanan yang datang dengan kanker termasuk aromaterapi, pijat,
teknik relaksasi, akupunktur dan meditasi.
5. Alergi
Menggunakan beberapa obat dapat menyebabkan reaksi alergi. Akibatnya, kelenjar getah bening
di belakang telinga Anda mungkin membengkak, antara gejala lainnya.
Pengobatan. Jika Anda telah mengembangkan reaksi alergi, dokter Anda mungkin menyarankan
menggunakan antihistamin. Obat anti-inflamasi juga dapat ditentukan.
6. Trauma Fisik
Bila Anda menderita trauma fisik, Anda mungkin menderita beberapa gejala. Pembengkakan
kelenjar getah bening di belakang telinga Anda bisa menjadi salah satu gejala.
Pengobatan. Carilah saran medis jika Anda berpikir pembengkakan kelenjar getah bening Anda
mungkin telah disebabkan oleh trauma fisik yang serius yang Anda alami. Dokter mungkin
meresepkan obat penghilang rasa sakit terutama jika pembengkakan datang dengan rasa sakit.
7. Radang tenggorokan
Radang tenggorokan juga dapat menyebabkan pembengkakan kelenjar getah bening di belakang
telinga Anda, dan mereka mungkin merasa lembut pada sentuhan. Memiliki infeksi tenggorokan
juga dapat menyebabkan demam, tenggorokan bengkak, nyeri dan kesulitan saat menelan.
Pengobatan. Antibiotik sebagian besar digunakan untuk infeksi tenggorokan. OTC obat antiinflamasi non-steroid juga akan membantu dengan nyeri yang dialami di kelenjar bengkak.
8. Gigi Abses

Memiliki gigi yang memiliki abses berarti bahwa gigi telah membentuk saku di daerah yang
terinfeksi. Bakteri dapat mengakses gusi sehingga menyebabkan perkembangan nanah. Gigi ini
akan menyakitkan dan sensitif terutama untuk makanan panas. Selanjutnya, Anda akan
mengalami demam dan kelenjar getah bening leher akan membengkak.
Pengobatan. Pengobatan termasuk membilas mulut dengan menggunakan asin, air hangat. Anda
juga dapat mengambil obat penghilang rasa sakit OTC seperti ibuprofen dan acetaminophen.
Tergantung pada beratnya abses, dokter gigi Anda mungkin menyarankan antibiotik, saluran akar
atau menghapus gigi yang terinfeksi.
9. Penyebab lain
Penyebab lainnya herpes, beberapa STD, dan herpes zoster. Ada juga penyebab lain yang kurang
umum dan mereka termasuk TBC, lupus, dan mononukleosis dan rheumatoid arthritis. Dalam
kasus penyakit autoimun, dokter Anda dapat merekomendasikan menggunakan imunosupresan.
Home remedies untuk bengkak Kelenjar Getah Bening di belakang telinga

Rubella
A. Definisi
Rubella

/ Campak Jerman (Campak 3 hari) adalah suatu infeksi virus menular, yang

menimbulkan gejala yang ringan (misalnya nyeri sendi dan ruam kulit). Berbeda dengan campak,
rubella tidak terlalu menular dan jarang menyerang anak-anak.
Jika menyerang wanita hamil (terutama pada saat kehamilan berusia 8-10 minggu), bisa
menyebabkan keguguran, kematian bayi dalam kandungan atau kelainan bawaan pada bayi.
B. Etiologi
Rubella disebabkan oleh suatu RNA virus, genus Rubivirus, famili Togaviridae. Virus rubella
ditularkan melalui percikan ludah penderita atau karena kontak dengan penderita atau dapat
ditularkan dari ibu hamil kepada janin yang berada di dalam kandungannya.
C. Patofisiologis
Penularan terjadi melalui droplet, dari nasofaring atau rute pernafasan. Selanjutnya virus rubela
memasuki aliran darah. Viremia mencapai puncaknya tepat sebelum timbul erupsi di kulit. Di
nasofaring virus tetap ada sampai 6 hari setelah timbulnya erupsi dan kadang-kadang lebih lama.
Selain dari darah dan sekret nasofaring, virus rubela telah diisolasi dari kelenjar getah bening,
urin, cairan serebrospinal, ASI, cairan sinovial dan paru.
Penularan dapat terjadi biasanya dari 7 hari sebelum hingga 5 hari sesudah timbulnya erupsi.
Daya tular tertinggi terjadi pada akhir masa inkubasi, kemudian menurun dengan cepat, dan
berlangsung hingga menghilangnya erupsi.
D. Gejala Klinis
Pada anak atau dewasa, gejala klinis baru akan keluar 14-21 hari setelah virus masuk.
Terbagi menjadi 3 masa yaitu inkubasi (14-21 hari setelah virus masuk), prodormal, dan
eksantema.
+ Masa prodromal
Pada anak biasanya erupsi timbul tanpa keluhan sebelumnya; jarang disertai gejala dan tanda
masa prodromal. Namun pada remaja dan dewasa muda masa prodromal berlangsung 1-5 hari
dan terdiri dari demam ringan, sakit kepala, nyeri tenggorok, kemerahan pada konjungtiva,
rinitis, batuk dan limfadenopati. Gejala ini segera menghilang pada waktu erupsi timbul.
+ Masa eksantema
Mula-mula berupa makula yang berbatas tegas dan kadang-kadang dengan cepat meluas dan
menyatu, memberikan bentuk morbiliform. Pada hari kedua eksantem di muka menghilang,
diikuti hari ke-3 di tubuh dan hari ke-4 di anggota gerak. Pada 40% kasus infeksi rubela terjadi
tanpa eksantema.

Limfadenopati merupakan suatu gejala klinis yang penting pada rubela. Biasanya pembengkakan
kelenjar getah bening itu berlangsung selama 5-8 hari. Pada penyakit rubela yang tidak
mengalami penyulit sebagian besar penderita sudah dapat bekerja seperti biasa pada hari ke-3.
sebagian kecil penderita masih terganggu dengan nyeri kepala, sakit mata, rasa gatal selama 7-10
hari.
E. Diagnosis
Diagnosis klinis sering kali sukar dibuat untuk seorang penderita oleh karena tidak ada tanda
atau gejala yang khusus untuk rubela.
Gejala fisik hampir menyerupai campak biasa atau penyakit kulit lain.
Digunakan pemeriksaan penunjang untuk menyingkirkan diagnosis banding,
Infeksi rubella dapat dipastikan dengan adanya peningkatan signifikan titer antibodi fase akut
dan konvalesens dengan tes ELISA, HAI, pasif HA atau tes LA, atau dengan adanya IgM
spesifik rubella yang mengindikasikan infeksi rubella sedang terjadi.
F. Komplikasi
> Infeksi otak (ensefalitis)
> Infeksi telinga (otitis media)
> Keguguran / kecacatan bayi jika infeksi pada ibu hamil
> Bisa nyeri sendi pada wanita atau nyeri testis pada pria
G. Tata laksana
Jika tidak terjadi komplikasi bakteri, pengobatan adalah simtomatis.
Tidak memiliki pengobatan khusus, hanya menjaga - menguatan daya tahan tubuh dan mencegah
infeksi sekunder.
Pada ibu hamil, Adamantanamin hidrokhlorida (amantadin) telah dilaporkan efektif in vitro
dalam menghambat stadium awal infeksi rubella.
H. Prognosis
Prognosis rubella anak adalah baik; sedang prognosis rubela kongenital bervariasi menurut
keparahan infeksi. Hanya sekitar 30% bayi dengan ensefalitis tampak terbebas dari defisit
neuromotor, termasuk sindrom autistik.

HIV/AIDS TANPA KOMPLIKASI


Definisi HIV/AIDS
Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah kumpulan gejala yang timbul
akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh yang didapat, disebabkan oleh infeksi human
immunodeficiency virus (HIV). AIDS ini bukan merupakan suatu penyakit saja, tetapi
merupakan gejala-gejala penyakit yang disebabkan menurunnya daya tahan tubuh penderita.
Etiologi HIV/AIDS
HIV adalah suatu retrovirus anggota subfamili lentivirinae. Retrovirus berdiameter 70130 nm (Lango dan Fauci, 2005). Masa inkubasi virus ini selama sekitar 10 tahun.Perjalanan
infeksi HIV di dalam tubuh manusia diawali dari interaksi gp120 pada selubung HIV berikatan
dengan reseptor spesifik CD4 yang terdapat pada permukaan membran sel target (kebanyakan
limfosit T-CD4+).
Epidemiologi HIV/AIDS
Infeksi HIV/AIDS saat ini juga telah mengenai semua golongan masyarakat, baik
kelompok risiko tinggi maupun masyarakat umum. Jika pada awalnya, sebagian besar ODHA
berasal dari kelompok homoseksual maka kini telah terjadi pergeseran dimana persentase
penularan secara heteroseksual dan pengguna narkotika semakin meningkat (Djoerban dan
Djauzi , 2007).
Transmisi Infeksi HIV
1. Transmisi melalui kontak seksual
Kontak seksual merupakan salah satu cara utama transmisi HIV di berbagai belahan dunia. Virus
ini dapat ditemukan dalam cairan semen, cairan vagian, cairan serviks. Transmisi infeksi HIV
melalui hubungan seksual lewat anus lebih mudah karena hanya terdapat membran mukosa
rektum yang tipis dan mudah robek, anus sering terjadi lesi.
2. Transmisi melalui darah atau produk darah
Transmisi dapat melalui hubungan seksual (terutama homseksual) dan dari suntikan darah yang
terinfeksi atau produk darah (Asj, 2002). Diperkirakan bahwa 90 sampai 100% orang yang
mendapat transfusi darah yang tercemar HIVakan mengalami infeksi.
3. Transmisi secara vertikal (maternofetal dan pemberian asi)
Transmisi secara vertikal dapat terjadi dari ibu yang terinfeksi HIV kepada janinnya sewaktu
hamil , persalinan, dan setelah melahirkan melalui pemberian Air Susu Ibu (ASI). Angka
penularan selama kehamilan sekitar 5-10%, sewaktu persalinan 10-20%, dan saat pemberian ASI
10-20% (Nasronudin, 2007).

4. Transmisi pada petugas kesehatan dan petugas laboratorium


Berbagai penelitian multi institusi menyatakan bahwa risiko penularan HIV setelah kulit tertusuk
jarum atau benda tajam lainnya yang tercemar oleh darah seseorang yang terinfeksi HIV adalah
sekitar 0,3% sedangkan risiko penularan HIV ke membran mukosa atau kulit yang mengalami
erosi adalah sekitara 0,09%.
6. Penyalah guna obat-obat intravena
Penggunaan jarum suntik secara bersama-sama dan bergantian semakin meningkatkan prevalensi
HIV/AIDS pada pengguna narkotika. Di negara maju, wanita pengguna narkotika jarum suntik
menjadi penularan utama pada populasi umum melalui pelacuran dan transmisi vertikal kepada
anak mereka (Rook et al, 1998).
Patogenesis HIV/AIDS
HIV menginfeksi sel dengan mengikat permukaan sel sasaran yang memiliki molekul
reseptor membran CD4. Sejauh ini, sasaran yang disukai adalah limfosit T helper positif, atau sel
T4 (limfosit CD4+). Gp120 HIV berikatan kuat dengan limfosit CD4+ sehingga gp41 dapat
memperantarai fusi membran virus ke membran sel (Lan, 2005).
Sel-sel lain yang mungkin rentan terhadap infeksi HIV mencakup monosit dan makrofag.
Monosit dan makrofag yang terinfeksi dapat berfungsi sebagai reservoar untuk HIV tetapi tidak
dihancurkan oleh virus. HIV bersifat politrofik dan dapat menginfeksi beragam sel manusia,
seperti sel natural killer (NK), limfosit B, sel endotel, sel epitel, sel Langerhans, sel dendritik, sel
mikroglia dan berbagai jaringan tubuh (Lan, 2005).
Setelah berfusi dengan limfosit CD4+, maka berlangsung serangkaian proses kompleks
yang apabila berjalan lancar, menyebabkan terbentuknya partikel virus baru dari sel yang
terinfeksi. Limfosit CD4 yang terinfeksi mungkin tetap laten dalam keadaan provirus atau
mungkin mengalami proses-proses replikasi sehingga menghasilkan banyak virus (Lan, 2005).
Patofisiologi
Karena peran penting sel T dalam menyalakan semua kekuatan limfosit dan makrofag,
sel T penolong dapat dianggap sebagai tombol utama sistem imun. Virus AIDS secara selektif
menginvasi sel T penolong, menghancurkan atau melumpuhkan sel-sel yang biasanya megatur
sebagian besar respon imun. Virus ini juga menyerang makrofag, yang semakin melumpuhkan
sistem imun, dan kadang-kadang juga masuk ke sel-sel otak, sehingga timbul demensia
(gangguan kapasitas intelektual yang parah) yang dijumpai pada sebagian pasien AIDS
(Sherwood, 2001).
Dalam tubuh ODHA, partikel virus bergabung dengan DNA sel pasien, sehingga satu kali
seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap terinfeksi. Dari semua orang yang terinfeksi
HIV, sebagian berkembang masuk tahap AIDS pada 3 tahun pertama, 50% berkembang menjadi

AIDS sesudah 10 tahun, dan sesudah 13 tahun hampir semua orang yang terinfeksi HIV
menunjukkan gejala AIDS, dan kemudian meninggal.
Gejala yang terjadi adalah demam, nyeri menelan, pembengkakan kelenjar getah bening,
ruam, diare, atau batuk. Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimptomatik (tanpa gejala).
Masa tanpa gejala ini umumnya berlangsung selama 8-10 tahun (Djoerban 2008). Pada waktu
orang dengan infeksi HIV masih merasa sehat, klinis tidak menunjukkan gejala, pada waktu itu
terjadi replikasi HIV yang tinggi, 10 partikel setiap hari. Bersamaan dengan replikasi HIV, terjadi
kehancuran limfosit CD4 yang tinggi, untungnya tubuh masih bisa mengkompensasi dengan
memproduksi limfosit CD4 sekitar 109 setiap hari.
Gejala Klinis
Ada tiga tahapan yang dikenali yang mencerminkan dinamika interaksi antara HIV dan sistem
imun :
1. Fase akut.
Fase ini ditandai dengan gejala nonspesifik yaitu nyeri tenggorok, mialgia, demam, ruam dan
kadang-kadang meningitis aseptik (Mitchell dan Kumar, 2007). Pada fase ini terdapat produksi
virus dalam jumlah yang besar, viremia dan persemaian yang luas pada jaringan limfoid perifer,
yang secara khas disertai dengan berkurangnya sel T CD4+. Segera setelah hal itu terjadi,
muncul respon imun yang spesifik terhadap virus, yang dibuktikan melalui serokonversi
(biasanya dalam rentang waktu 3 hingga 17 minggu setelah pajanan) dan melalui munculnya sel
T sitotoksik CD8+ yang spesifik terhadap virus. Setelah viremia mereda, sel T CD4+ kembali
mendekati jumlah normal. Namun, berkurangnya jumlah virus dalam plasma bukan merupakan
penanda berakhirnya replikasi virus, yang akan terus berlanjut di dalam makrofag dan sel T
CD4+ jaringan (Mitchell dan Kumar, 2007).
2. Fase kronis
Fase kronis menunjukan tahap penahanan relatif virus. Pada fase ini, sebagian besar sistem imun
masih utuh, tetapi replikasi virus berlanjut hingga beberapa tahun. Para pasien tidak
menunjukkan gejala ataupun menderita limfadenopati persisten dan banyak penderita yang
mengalami infeksi opotunistik ringan, seperti sariawan (Candida) atau herpes zoster (Mitchell
dan Kumar, 2007).
Replikasi virus dalam jaringan limfoid terus berlanjut. Pergantian virus yang meluas akan
disertai dengan kehilangan CD4+ yang berlanjut. Namun, karena kemampuan regenerasi sistem
imun yang besar, sel CD4+ akan tergantikan dalam jumlah yang besar. Setelah melewati periode
yang panjang dan beragam, pertahanan pejamu mulai menurun dan jumlah CD4+ mulai
menurun, dan jumlah CD4+ hidup yang terinfeksi oleh HIV semakin meningkat (Mitchell dan
Kumar, 2007).

3. Fase kritis
Tahap terakhir ini ditandai dengan kehancuran pertahanan pejamu yang sangat merugikan,
peningkatan viremia yang nyata, serta penyakit klinis. Para pasien khasnya akan mengalami
demam lebih dari 1 bulan, mudah lelah, penurunan berat badan, dan diare; jumlah sel CD4+
menurun di bawah 500 sel/L. Setelah adanya interval yang berubah-ubah, para pasien
mengalami infeksi oportunistik yang serius, neoplasma sekunder dan atau manifestasi neurologis
(disebut dengan kondisi yang menentukan AIDS). Jika kondisi lazim yang menentukan AIDS
tidak muncul, pedoman CDC yang digunakan saat ini menentukan bahwa seseorang yang
terinfeksi HIV dengan jumlah sel CD4+ kurang atau sama dengan 200 sel/L sebagai pengidap
AIDS (Mitchell dan Kumar, 2007).

Diagnosis HIV/AIDS
Menurut Barakbah et al (2007) karena banyak negara berkembang, yang belum memiliki
fasilitas pemeriksaan serologi maupun antigen HIV yang memadai, maka WHO menetapkan
kriteria diagnosis AIDS sebagai berikut:
Dewasa

Definisi kasus AIDS dicurigai bila paling sedikit mempunyai 2 gejala mayor dan 1 gejala minor
dan tidak terdapat sebab-sebab penekanan sistem imun lain yang diketahui, seperti kanker,
malnutrisis berat atau sebab-sebab lainnya.
Gejala Mayor
- Penurunan berat badan > 10% berat badan per bulan.
- Diare kronis lebih dari 1 bulan
- Demam lebih dari 1 bulan.
Gejala Minor
Adanya Sarkoma Kaposi meluas atau meningitis cryptococcal sudah cukup untuk menegakkan
AIDS.
Anak
Definisi kasus AIDS terpenuhi bila ada sedikitnya 2 tanda mayor dan 2 tanda minor dan tidak
terdapat sebab-sebab penekanan imun yang lain yang diketahui, seperti kanker, malnutrisi berat
atau sebab-sebab lain.
Gejala Mayor
- Berat badan turun atau pertumbuhan lambat yang abnormal
- Diare kronis lebih dari 1 bulan
- Demam lebih dari 1 bulan.
Gejala Minor
- Batuk selama lebih dari 1 bulan.
- Pruritus dermatitis menyeluruh.
- Infeksi umum yang rekuren, misalnya herpes zoster.
- Kandidiasis orofaringeal.
- Infeksi herpes simpleks kronis progresif atau yang meluas.
- Limfadenopati generalisata.
- Ruam kulit yang menyeluruh
- Konfirmasi infeksi HIV pada ibunya dihitung sebagai kriteria minor.
Pada daerah di mana tersedia laboratorium pemeriksaan anti-HIV, penegakan diagnosis
dilakukan melalui pemeriksaan serum atau cairan tubuh lain (cerebrospinal fluid) penderita.
1. ELISA (enzyme linked immunosorbent assay)
ELISA digunakan untuk menemukan antibodi (Baratawidjaja). Kelebihan teknik ELISA yaitu
sensitifitas yang tinggi yaitu 98,1 %-100% (Kresno). Biasanya memberikan hasil positif 2-3
bulan setelah infeksi. Tes ELISA telah menggunakan antigen recombinan, yang sangat spesifik
terhadap envelope dan core (Hanum, 2009).
2. Western Blot
Western blot biasanya digunakan untuk menentukan kadar relatif dari suatu protein dalam suatu
campuran berbagai jenis protein atau molekul lain. Biasanya protein HIV yang digunakan dalam

campuran adalah jenis antigen yang mempunyai makna klinik, seperti gp120 dan gp41 (Kresno,
2001).
Western blot mempunyai spesifisitas tinggi yaitu 99,6% - 100%. Namun pemeriksaan cukup
sulit, mahal membutuhkan waktu sekitar 24 jam (Hanum, 2009).
3. PCR (Polymerase Chain Reaction)
Kegunaan PCR yakni sebagai tes HIV pada bayi, pada saat zat antibodi maternal masih ada pada
bayi dan menghambat pemeriksaan secara serologis maupun status infeksi individu yang
seronegatif pada kelompok risiko tinggi dan sebagai tes konfirmasi untuk HIV-2 sebab
sensitivitas ELISA rendah untuk HIV-2 (Kresno, 2001).
Penatalaksanaan Klinis Infeksi HIV/AIDS
Penatalaksanaan penderita AIDS di UPIPI (Nasronudin, 2007)
a) Penatalaksanaan Umum
Istirahat, dukungan nutrisi yang memadai berbasis makronutrien dan mikronutrien untuk
penderita HIV&AIDS, konseling termasuk pendekatan psikologis dan psikososial, membiasakan
gaya hidup sehat antara lain membiasakan senam seperti yang dilakukan di UPIPI.
b) Penatalaksanaan Khusus

Pemberian antiretroviral therapy (ART) kombinasi, terapi infeksi sekunder sesuai jenis infeksi
yang ditemukan, terapi malignansi. Terapi Antiretroviral Pemberian ARV tidak serta merta
segera diberikan begitu saja pada penderita yang dicurigai, tetapi perlu menempuh langkahlangkah yang arif dan bijaksana, serta mempertimbangkan berbagai faktor; dokter telah
memberikan penjelasan tentang manfaat, efek samping, resistensi dan tata cara penggunaan

ARV; kesanggupan dan kepatuhan penderita mengkonsumsi obat dalam waktu yang tidak
terbatas; serta saat yang tepat untuk memulai terapi ARV (Nasronudin, 2007).
Prognosis HIV/AIDS
Sebagian besar HIV/AIDS berakibat fatal. Sekitar 75% pasien yang didiagnosis AIDS meninggal
tiga tahun kemudian. Penelitian melaporkan ada 5% kasus pasien terinfeksi HIV yang tetap sehat
secara klinis dan imunologis

Anda mungkin juga menyukai