Anda di halaman 1dari 3

//Ketika Tanah Tengger menjadi Profan//

Bagi komunitas lokal, seperti di Tengger, pengetahuan tentang agama


serta ritual-ritual yang dilakukan biasanya memiliki keterkaitan erat dengan
soal-soal yang menyangkut kepentingan hidup sehari-hari. Berbeda halnya
dengan agama-agama samawi seperti Islam dan Kristen yang lebih berorientasi
vertikal sebagai pelayanan kepada Tuhan (teosentris).
Komunitas Tengger yang hidup secara agraris dan banyak bergantung
pada hasil pertanian, rupanya juga mengaitkan upacara-upacara ritual mereka
dengan kebutuhan sehari-hari yang berbasis pada tanah. Mereka menempatkan
tanah sebagai satu kesatuan kosmologis, yang sekaligus membentuk identitas.
Pola-pola perubahan dalam memandang fungsi tanah juga sangat
mempengaruhi ekspresi dan makna ritual mereka.
Tak terkecuali ritual Kasada yang digelar setiap tahun, di bulan kedua
belas dalam sistem penanggalan Tengger. Kasada, sebagaimana diulas Robert
Hefner (1985) dalam Hindu Javanes,; Tengger Tradition and Islam, dikatakan sebagai
ritual yang melambangkan harapan orang Tengger akan kesuburan,
kesejahteraan dan kemakmuran. Sehingga bagi wong Tengger sendiri Kasada
lebih dimaknai sebagai manifestasi hubungan kultural-teologis yang harmonis
antara komunitas dan tanah, yang menjanjikan kemakmuran dan kenyamanan.
Persoalannya, kenyamanan inilah yang selama ini terusik. Sejak arus
modernisasi digulirkan Orde Baru lewat derap pembangunan di kawasan
Tengger, telah terjadi proses perubahan besar di desa-desa lereng atas Tengger.
Kemudahan akses transportasi dan status kawasan Tengger sebagai sentra wisata
nasional telah mengundang ketertarikan para pendatang yang sebagian besar
wisatawan. Bersamaan dengan itu pula, pergeseran perilaku masyarakat mulai
terlihat dari cara berpakaian, cara berkonsumsi hingga cara berhubungan dengan
lingkungan sekitarnya.
Di beberapa desa-desa di Tengger, terutama di Pasuruan dan Probolinggo,
barang-barang konsumsi menjadi simbol kemewahan menggantikan prestise
yang sebelumnya dibangun lewat besar kecilnya (skala) slametan, atau jenis-jenis
sesaji dalam setiap ritual di Tengger. Begitu juga cara-cara tradisional yang
selama ini menghubungkan komunitas Tengger dengan alamnya melalui
serangkaian ritual adat, telah bergeser menjadi hubungan yang melulu rasional.
Rupanya disadari atau tidak, proses modernisasi berhasil mengubah
kehidupan tradisional komunitas Tengger. Rasionalisasi segala aspek kehidupan
yang merupakan prasyarat modernisasi ini telah memaksa penguasa Orde Baru
membuat rekayasa agar hubungan-hubungan sosial berlangsung rasional.
Dengan begitu dalam benak birokrat dan teknokrat kita, roda pembangunan
1

akan berjalan lancar tanpa gangguan, efisien, serta bisa diprediksi sesuai dengan
tujuan-tujuan pemerintah.
Salah satu rekayasa Orde Baru yang langsung menyentuh kultur
masyarakat adalah rekayasa pertanian. Seiring dengan upaya untuk
melipatgandakan kebutuhan pangan nasional, pemerintah meluncurkan
program revolusi hijau yang mengatur tata kelola sistem pertanian, menggeser
pola-pola pertanian tradisional yang selama ini dikembangkan oleh komunitas
lokal, termasuk komunitas Tengger sendiri. Maka diperkenalkanlah tanaman
bibit unggul serta subsidi pupuk kimia kepada petani melalui program Bimas.
Hasilnya memang sangat fantastis. Dari data yang dicatat Hefner (1990),
terdapat peningkatan penghasilan beras sebesar seratus persen lebih bila
dibandingkan dengan lima belas tahun sebelumnya. Kalau pada 1965 produksi
beras nasional masih 10 juta metrik ton, maka pada 1981 telah mencapai 22,3 juta
metrik ton. Namun begitu di saat petani penghasil beras menikmati berkah
sesaat dengan limpahan hasil panen, petani tegalan mengalami nasib sebaliknya.
Mereka yang berada di desa-desa lereng atas Tengger menderita gagal panen.
Beberapa tahun kemudian, di saat kebutuhan akan tanah meningkat
sementara kebijakan pertanian kurang memihak petani, persoalan ekonomi terus
menjadi himpitan utama. Nafsu pemerintah menggalakkan sektor pariwisata
dengan menetapkan kawasan Tengger sebagai Taman Nasional (berdasarkan
Surat Keputusan No. 278/Kpts-VI/1997), telah memisahkan komunitas Tengger
dari lingkungan alamnya, dengan melarang mereka mengolah atau mengambil
hasil bumi di kawasan ini. Apalagi ketika status ini ditegaskan kembali oleh Balai
Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (BTN BTS) pada tanggal 29 Juli 2006
lalu.
Celakanya, dengan kebijakan itu kawasan Taman Nasional malah tak
terurus. Kekeringan dan kebakaran menjalar di mana-mana. Kita bisa lihat
hutan di wilayah cemplongan, dekat Ngadas. Di sana terjadi kekeringan hebat.
Padahal itu adalah wilayah program penghijauan oleh pihak Taman Nasional
sejak dulu, ujar Sagol, warga Desa Ngadas membuka kesaksiannya.
Begitulah, nasib warga Tengger yang kini semakin terhimpit. Mereka
dihantui oleh politik tanah ala pemerintah yang terus meminggirkan dan
menjauhkan dari sumber hidup mereka. Dengan politik tanah semacam itu,
rantai yang mengaitkan praktik ritual dengan praktik ekonomi sehari-hari juga
pelan-pelan mulai terputus.
Pesan Kasada sebagai pengingat akan kemungkinan ancaman bagi
eksistensi wong Tengger, yang digambarkan dengan pengorbanan Dewa
Kusuma, kini ancaman itu seolah-olah menjadi kenyataan. Wong Tengger kini
kehilangan kemandirian dalam menata lingkungan alamnya sendiri. Aktor-aktor
2

baru seperti agama formal, birokrasi hutan, hingga pengelola paket-paket wisata
menyeruak masuk menyita sebagian ruang budaya wong Tengger. Dari tahun ke
tahun Kasada tampak lebih hingar bingar sebagai komoditas wisata ketimbang
mencerminkan makna pengorbanan wong Tengger selama ini. [ring/ed]

Anda mungkin juga menyukai