Anda di halaman 1dari 4

Mental geriatri

A. Pendahuluan
Psikogeatri adalah cabang ilmu kedokteran yang memperhatikan pencegahan, diagnosis, dan terapi
gangguan fisik dan psikologi atau psikiatrik pada lanjut usia.
Sehubungan dengan meningkatnya populasi usia lanjut, perlu dimulai dipertimbangkanya adanya
pelayanan psikogeratri di RS yag cukup besar. Tentang bagaimana kerjasama antar bidang psikogeratri
dan geriatric dapat dilihat pada bab mengenai pelayanan kesehatan pada usia lanjut.
B. Pemeriksaan psikiatri pada usia lanjut
Penggalian riwayat psikiatrik dan pemeriksaan status mental pada penderita usia lanjut. Harus
mengikuti format yang sama dengan berlaku pada dewasa muda. Karena tingginya privalensi gangguan
kognitif perawat harus menentukan penederita harus mengerti sifat dan tujuan pemeriksaan. Jika
penderita mengalami gangguan kognitif harus didapatkan dari keluarganya.
C. Riwayat psikiatrik
Bisa didapatkan alo atau oto anamnesis. Riwayat psikiatrik lengkap termasuk identifikasi awal, keluhat
utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat pribadi atau dan keluarga. Penderita
berusia di atas 65 tahun atau di atas 65 tahun sering mengeluh subyektif penurunan daya ingat.
D. Pemeriksaan Status Mental
Meliputi bagaimana penderita berpikir, merasakan bertingkahlaku selama pemeriksan. Keadaan umum
penderita adalah termasuk penampilan, aktivitas, psikomotorik, sikap terhadap pemeriksaan. Keadan
umum penderita termasuk penampilan, aktivitas, psikomotorik.
E. Penilaian Fungsi
Penderita lanjut usia harus diperiksa tentang kemampuan mereka untuk mempertahnkan kemandirian
dan untuk melakukan aktivitas dalam kehidupan sehari hari. Seperti ke toilet, makan minum,
berdandan.
F. Mood, Perasaan dan afek
Di Negara lain, bunuh diri adalah suatu penyebab utama kematian dari golongan usia lanjut. Perasaan
kesepian, tidak berguna, tidak berdaya adalah masalah depresi. Kesepian merupakan merupakan alasan
yang paling sering di kemukakan oleh kaum lanjut usia untuk bunuh diri. Pemeriksaan harus spesifik
menanyakan tentang adanya pikiran bunuh diri, apakah klien merasa kehidupanya sudah tidak berharga
lagi.
G. Gangguan Persepsi
Halusianasi dan ilusi pada usia lanjut merupakan fenomena yang disebabkan penurunan ketajaman
sensorik. Pemeriksa harus mencatat apakah penderita mengalami kebingungan terhadap waktu dan
tempat selama episode halusinasi.
Halusiansi dapat disebabkan oleh tumor otak.
H. Gangguan Visuospasial
Suatu penurunan kapasitas visuospasial adalah normal dengan lanjut usia. Membantu penderita untuk
menggambar atau mencontoh mungkin membantu dalam penilaian pemeriksaan neuro psikologis.
I. Peoses Berpikir
Gangguan pada progresi pikiran adalah neologisme. Isi pikiran harus diperiksa adanya obsesi,
preokupasi. Pemeriksaan harus menentukan apakah adanya waham dan harus dicari. Serta bagaimana
waham tersebut mempengaruhi kehidupan.
J. Sensorum dan kognisi

Mempermasalahkan fungis dari indra tertentu, sedangkan kognisi mempermasalahkan informasi dan
intelektual.
K. Kesadaran
Indikator terhadap pekanya perubahan fungsi otak adalah kesdaran. Adanya fluktuasi tingkat kesadaran,
pada tingkat stupor atau somnolen.
L. Orientasi
G3 Orientasi terhadap waktu, tempat, dan orang berhubungan dengan gangguan kognisi. G3 orientasi
sering diketemukan pada gangguan kognitif dan gangguan kecemasan terutama pada periode stres fisik
dan lingkungan. Pemeriksa harus menguji orientasi pada tempat dan minta untuk menggambar lokasi
tersebut. Penderita yang tidak mengalami kelainan biasanya dapat mengingat angka maju dan mundur.
M. Daya Ingat
Dalam hal daya ingat jangka panjang, pendek dan segera. Tes yang diberikan dengan memberikan klien
6 dijit angka dan penderita di iminta untuk mengulangi maju dan mundur.
N. Fungsi Intelektual, konsentrasi dan kecerdasan.
Sejumah fungsi intelektual mungkin diajukan untuk menilai pengetahuan umum. Penderita dapat
diberikan soal matematik seperti pengurangan seperti 100 7 atau sebagainya. Pengetahuan umum
adalah yang berhubungan dengan kecerdasan penderita dengan misalnya menanyakan kota besar di
indonesia.
O. Membaca dan menulis
Untuk mengetahui penderita mempunyai defisit bicara khusus. Pemeriksa dapat meminta membaca
dengan keras atau menulis sederhana untuk mengetahui adanya defisit atau kelainan.
P. Pertimbangan
Kapasitas untuk bertindak sesuai dengan bebagai situasi. Sebagaian besar dari tata cara pelaksanaa tes
harus dimengerti pula oleh mereka yang berkecimpung, karena pada orang dengan usia lanjut terdapat
hubungan yang sangat erat antara hubungan, hub psikologig dan sosial. Pemeriksaan di atas biasanya
dimasukan dalam assesment geriatri.
Beberapa masalah di bidang psikogeratri
1.
Kesepian
Kesepian, biasanya dialami oleh seorang lanjut usia pada saat meninggalnya pasangan hidup atau
teman dekat, atau :
o Pensiun
o Anak sibuk
o Tak punya aktivitas
o Terisolasi sosial
o Tak ada teman bicara
1.
Duka Cita
Periode duka cita merupakan suatu periode yang rawan bagi seorang lanjut usia. Mennggalnya pasngan
hidup. Seorang teman dekat atau hewan yang disayangi.
1.

Depresi

Menurut kriteria baku yang dekeluarkan oleh DSM-III R


Perasaan tertekan hampir sepanjang hari.
BB turun secara nyata atau tidak.
Depresi merupakan suatu gangguan keadaan tonus perasaan yang secara umum ditandai oleh rasa
kesedihan, apatis, pesimisme, dan kesepian yang mengganggu aktivitas sosial dalam sehari-hari.
Depresi biasanya terjadi pada saat stress yang dialami oleh seseorang tidak kunjung reda, sebagian
besar diantara kita pernah merasa sedih atau jengkel, kehidupan yang penuh masalah, kekecewaan,
kehilangan dan frustasi yang dengan mudah menimbulkan ketidakbahagiaan dan keputusasaan. Namun
secara umum perasaan demikian itu cukup normal dan merupakan reaksi sehat yang berlangsung cukup
singkat dan mudah dihalau (Gred Wilkinson, 1995).
Depresi dan Lanjut Usia sebagai tahap akhir siklus perkembangan manusia. Masa dimana semua orang
berharap akan menjalani hidup dengan tenang, damai, serta menikmati masa pensiun bersama anak
dan cucu tercinta dengan penuh kasih sayang. Pada kenyataanya tidak semua lanjut usia
mendapatkannya. Berbagai persoalan hidup yang menimpa lanjut usia sepanjang hayatnya seperti :
kemiskinan, kegagalan yang beruntun, stress yang berkepanjangan, ataupun konflik dengan keluarga
atau anak, atau kondisi lain seperti tidak memiliki keturunan yang bisa merawatnya dan lain sebagainya.
Kondisi-kondisi hidup seperti ini dapat memicu terjadinya depresi. Tidak adanya media bagi lanjut usia
untuk mencurahkan segala perasaan dan kegundahannya merupakan kondisi yang akan
mempertahankan depresinya, karena dia akan terus menekan segala bentuk perasaan negatifnya ke
alam bawah sadar (Rice philip I, 1994).
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat depresi adalah gangguan mental yang umum
terjadi di antara populasi. Diperkirakan 121 juta manusia di muka bumi ini menderita depresi. Dari
jumlah itu 5,8 persen laki-laki dan 9,5 persen perempuan, dan hanya sekitar 30 persen penderita
depresi yang benar-benar mendapatkan pengobatan yang cukup, sekalipun telah tersedia teknologi
pengobatan depresi yang efektif. Ironisnya, mereka yang menderita depresi berada dalam usia
produktif, yakni cenderung terjadi pada usia kurang dari 45 tahun. Tidaklah mengherankan, bila
diperkirakan 60 persen dari seluruh kejadian bunuh diri terkait dengan depresi (Ahmad Djojosugito,
2002).
Depresi dialami oleh 80 persen mereka yang berupaya atau melakukan bunuh diri pada penduduk yang
didiagnosis mengalami gangguan jiwa. Bunuh diri adalah suatu pilihan untuk mengakhiri
ketidakberdayaan, keputusasaan dan kemarahan diri akibat gangguan mood. Angka bunuh diri
meningkat tiga kali lipat pada populasi remaja (usia 15 sampai 24) karena terdapat peningkatan insiden
depresi pada populasi ini. Pria yang berusia lebih dari 64 tahun memiliki angka bunuh diri 38/100.000
dibandingkan dengan angka 17/100.000 untuk semua pria di Amerika Serikat (Roy, 2000).
Menurut sebuah penelitian di Amerika, hampir 10 juta orang Amerika menderita Depresi dari semua
kelompok usia, kelas sosial ekonomi, ras dan budaya. Angka depresi meningkat secara drastis diantara
lansia yang berada di institusi, dengan sekitar 50 persen sampai 75 persen penghuni perawatan jangka
panjang memiliki gejala depresi ringan sampai sedang. Dari jumlah itu, angka yang signifikan dari orang
dewasa yang tidak terganggu secara kognitif (10 sampai 20 persen) mengalami gejala-gejala yang
cukup parah untuk memenuhi kriteria diagnostik depresi klinis. Oleh karena itu, depresi merupakan
masalah kesehatan masyarakat yang disignifikan merupakan gangguan psikiatri yang paling banyak
terjadi pada lansia, tetapi untungnya dapat diobati dan kembali sehat (Hermana, 2006).
Selain itu prevalensi depresi pada lansia di dunia berkisar 8-15 persen dan hasil meta analisis dari
laporan-laporan negara di dunia mendapatkan prevalensi rata-rata depresi pada lansia adalah 13,5
persen dengan perbandingan wanita-pria 14,1 : 8,6. Adapun prevalensi depresi pada lansia yang
menjalani perawatan di RS dan panti perawatan sebesar 30-45 persen. Perempuan lebih banyak
menderita depresi (Chaplin dan Prabova Royanti, 1998).

Depresi pada lansia seringkali lambat terdeteksi karena gambaran klinisnya tidak khas. Depresi pada
lansia lebih banyak tampil dalam keluhan somatis, seperti: kelelahan kronis, gangguan tidur, penurunan
berat badan dan sebagainya. Depresi pada lansia juga tampil dalam bentuk pikiran agitatif, ansietas,
atau penurunan fungsi kognitif. Sejumlah faktor pencetus depresi pada lansia, antara lain faktor
biologik, psikologik, stress kronis, penggunaan obat. Faktor biologik misalnya faktor genetik, perubahan
struktural otak, faktor resiko vaskuler, kelemahan fisik, sedangkan faktor psikologik pencetus depresi
pada lansia, yaitu tipe kepribadian, relasi, interpersonal (Frank J. Bruno, 1997).
Berdasarkan hasil survey pendahuluan yang dilakukan di Desa Satahi Nauli Terdapat 80 KK yang
mempunyai lansia yang tinggal bersama mereka.
Q. Penatalaksanaan
Menurut Suryo, faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dalam terapi depresi padalansia yaitu
perubahan faal oleh proses menua, status medik atau komorbiditas penyakit fisik, status fungsional,
interaksi antar obat, efektivitas dan efek samping obat serta dukungan sosial.
Penatalaksanaan depresi pada lansia mencakup terapi biologik dan psikososial, katanya.
Terapi biologik lain dengan pemberian obat antidepresan, terapi kejang listrik (ECT), terapi sulih hormon
dan Transcranial Magnetic Stimulation (TMS). Sementara terapi psikosial bertujuan mengatasi masalah
psikoedukatif, yaitu mengatasi kepribadian maladaptif, distorsi pola berpikir, mekanisme koping yang
tidak efektif, hambatan relasi interpersonal. Terapi ini juga dilakukan untuk mengatasi masalah
sosiokultural, seperti keterbatasan dukungan dari keluarga , kendala terkait faktor kultural, perubahan
peran sosial.
Pada tahun 2025 jumlah lansia di Indonesia diperkirakan meningkat 4 kali lipat. Masalah
kesehatan lansia kian menonjol sementara upaya pelayanan kesehatan bagilansia masih terbatas
kuantitas dan kualitasnya. Menjadi tua berarti mengalami beragam perubahan baik fisik dan psikososial
sejalan bertambahnya umur. Menua merupakan bagian dari proses kehidupan yang tidak bisa diingkari,
namun kualitas hidup harus diupayakan tetap terjaga sehingga dapat sehat, aktif dan mandiri, katanya.
Daftar Pustaka
1. Kaplan HI, Saddock BJ and Greb. Geriatri. Sinopso Psokiatri Vol VI. Alih bahasa : Wijaya K. Bina Rupa
Aksara : Jakarta
2. Direktorat Kesehatan Jiwa. Pedoman pengelolaan jiwa dan diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia. Dep
Kes RI
3. Gunadi H. 2000. Problematik usia lanjut diitnjau dari kesehatan Jiwa. Jiwa.Jakarta : Erlangga
Gerontik Patra.doc

Anda mungkin juga menyukai