Penyalahgunaan Napza
Penyalahgunaan Napza
penelitian yang dilakukan penulis pada 137 napi menunjukkan bahwa sebagian
besar mereka yang melakukan kejahatan adalah mereka yang memakai napza.
Meskipun ada juga yang mengemukakan bahwa mereka melakukan kejahatan
karena pengaruh teman, pribadi, ekonomi dan karena sering nonton televisi.
Penderita penyalahgunaan napza mudah sekali melakukan kejahatan karena
napza adalah zat yang dapat menekan pusat penendalian din, akibatnya mereka
yang ada dibawah pengaruh zat itu menjadi lebih (insight) menjadi jelek. Rasa
percaya diri menjadi berlebihan, kepribadian menjadi sangat ekspansif, disertai
meningkatnya afek yang patologik, alam perasaan mengayun tidak terkendali
dengan letupan emosi yang berlebihan. Dalam keadaan demikian mereka akan
mudah sekali melakukan tindakan amoral termasuk melakukan kejahatan.
Dan hasil penelitian itu penulis juga dapat menunjukkan bahwa ada
hubungan yang bermakna antara penyalahgunaan napza dengan tingginya
angka kejahatan dan pembunuhan. Hal ini dapat dimengerti karena dengan
penyalahgunaan napza itu dapat tercipta keadaan yang tak terkendali oleh
individu untuk melakukan tindakan yang membahayakan atau mengancam
masyarakat. Di samping itu juga akibat timbulnya sifat berani yang berlebihan
dan terlalu besar serta terganggunya pertimbangan moral dapat memudahkan
individu terdorong untuk melakukan tindakan kejahatan dan pembunuhan.
Dapat pula diperlihatkan dari hasil penelitian itu bahwa sebagian besar
para residivis adalah mereka yang melakukan penyalahgunaan napza. Beberapa
kejahatan yang telah dilakukan oleh para napi itu adalah: pembunuhan (10,95%),
pencurian (53,29 %), perampokan (0,73 %), perampasan (5,10 %), perkosaan
(3,65 %), penipuan (2,92 %), prakelahian (2,18 %), pelanggaran lalin (5,10 %),
penyalahgunaan napza (6,56 %), percabulan (0,73 %), penganiayaan (2, 8 %),
penggelapan (0,73 %), penadahan ( 0,73 %), uang palsu (3,65 %), pemalsuan
(0,73 %), pemerasan (0,73 %).
Hal yang menarik pula untuk dikemukakan dari hasil penelitian penulis ini
ialah bahwa sebagian besar pelaku tindak kejahatan itu adalah remaja (41,60 %)
dan mereka yang berusia dewasa muda (46,64 %). Sedangkan pelaku kejahatan
yang berusia lebih dari 40 tahun hanya ada: 8,76 %. Dari angka-angka ini kiranya
perlu perhatian banyak pihak agar segera memikirkan secara bijaksana dan
dengan kesungguhan untuk mencari baik. Tidak menutup kemungkinan mereka
mengalami kecemasan atau depresi sehingga pertolongan psikiatrik sering
sangat diperlukan. Dalam keadaan cemas dan depresi mereka dapat menjadi
kebingungan dan tidak tahu lagi harus berbuat apa. Mereka dapat menjadi lebih
berbahaya baik terhadap dirinya sendiri (suicide) atau terhadap orang lain
(homicide).
Penyalahgunaan napza tidak hanya merusak kesehatan individu yang
bersangkutan tetapi juga akan sangat merugikan secara ekonomi. Belum ada
penelitian yang adekuat tentang kerugian yang ditimbulkan oleh penyalahgunaan
napza itu, tetapi dan hasil penelitian yang dilakukan oleh Dadang hawari (1998)
menunjukkan bahwa jumlah penyalahgunaan napza di Indonesia ada 1,3 juta
orang dan beaya pengeluaran untuk memakai napza tiap hari tiap orang berkisar
antara Rp100.000,- sampai Rp300.000,- Dengan demikian berarti bahwa di
seluruh wilayah Indonesia uang yang hilang karena penyalahgunaan napza itu
tiap hari berkisar antara 130 miliar sampai 390 miliar rupiah. Bahkan di AS setiap
tahunnya kerugian akibat penyalahgunaan napza mencapai nilai 85 biliun dolar,
disamping kerugian lainnya akibat kecelakaan yang ditimbulkan oleh keracunan
napza.
Satu survei besar yang belum lama dilakukan telah menemukan
prevalensi
seumur
hidup
dari
suatu
diagnosis
penyalahgunaan
bahwa
atau
keergantungan zat Sfantara populasi orang di Amerika Serikat yang berusia lebih
dari 18 tahun adalah 16,7 persen. Prevalensi seumur hidup penyalahgunaan
atau ketergantungan alkohol adalah 13,8 persen, dan untuk zat yang nonalkohol
adalah 6,2 persen. Prevalensi seumur hidup tin penggunaan zat sekarang di
tahun 1991. Alkohol dan nikotin (rokok) adalah zat paling sering digunakan, tetapi
marijuana, hashish, dan kokain juga sering digunakan. Tetapi pada umumnya
untuk keempat zat tesebut - alkohol, marijuana, hashish, dan kokain - terdapat
penurunan yang bertahap tetapi terus menerus pada penggunaannya yang tinggi
disekitar tahun 1980 ke awal 1990-an . Tetapi, beberapa bukti telah menunjukkan
bahwa penyalahgunaan zat meningkat lagi di antara anak-anak dan remaja yang
dibawah usia 18 tahun.
Penyalahgunaan dan ketergantungan pada zat adalah lebih umum pada
laki-laki dibandingkan wanita, dengan perbedaan yang lebih jelas pada zat
nonalkohol dibandingkan alkohol. Penyalahgunaan zat juga lebih tinggi di antara
kelompok pengangguran dan kelompok minoritas tertentu di bandingkan di
antara kelompok orang yang bekerja dan kelompok mayoritas. Penggunaan zat
adalah tidak terbatas pada orang dewasa. Seperti yang ditunjukkan oleh survei
terakhir pada sekolah menengah atas, kira-kira 30 persen dari mereka mencoba
zat nonalkohol dan nonmarijuana (sebagai contohnya , amfetamin, inhalan,
halusinogen, sedatif, atau kokain) sekurangnya satu kali.
Penggunaan zat adalah lebih sering di antara profesional medis
dibandingkan profesional non medis untuk tingkat pendidikan yang sama
(sebagai contohnya, ahli hukum). Satu penjelasan yang mungkin untuk
perbedaan tersebut adalah relatif mudahnya mendapatkan suatu kelas zat pada
profesional medis (sebagai contohnya, sedatif dan stimulan)
Data epidemiologis tahun 1991 berikut ini didapatkan dari National
Institute on Drug Abuse (NIDA)
Di tahun 1991 sekitar 37 persen populasi (75,1 juta) melaporkan bahwa
mereka pernah menggunakan satu atau lebih zat gelap selama hidupnya, 13
persen (25,8 juta) pernah menggunakan zat gelap dalam tahun terakhir, dan 6
persen (12,8 juta) pernah menggunakan zat tersebut dalam bulan sebelum
survei.
Kira-kira 85 persen (171,9 juta) populasi pernah menggunakan alkohol,
68 persen (138 juta) pernah menggunakan alkohol dalam bulan terakhir
Marijuana adalah zat gelap yang paling sering digunakan ditahun 1991. dari
keseluruhan populasi yang berusia 12 tahun dan lebih tua, kira-kira 33 persen
(67,7 juta) pernah menggunakan marijuana, dan 5 persen (9,7 juta) merupafcan
pengguna yang baru.
Zat gelap selanjutnya yang paling sering digunakan di tahun 1991 adalah
zat psikoterapetik yang diresepkan dan kokain. Prevalensi penggunaan selama
hidup adalah 12,5 persen (25,4 juta) untuk zat psikoterapetik dan 11,5 persen
(23,7 juta) untuk kokain. Prevalensi penggunaan kedua zat tersebut dalam bulan
terakhir masing-masing adalah 1,6 persen (3,3 juta) dan 0,9 persen (1,9 juta).
Zat gelap lainnya (halusinogen, inhalan, dan heroin) digunakan oleh
kurang dari 9 persen populasi di dalam seumur hidupnya dan kurang dari 1
persen dalam bulan terakhir.
Kelompok usia. Prevalensi penggunaan zat gelap dalam bulan terakhir
adalah paling tinggi pada mereka yang berusia 18 sampai 25 tahun, yang lebih
tinggi secara bermakna dibandingkan usia yang lebih muda 12 sampai 17 tahun
dan dua kelompok usia yang lebih lanjut. Sekitar 1,3 juta anak muda yang
berusia 12 sampai 17 tahun , 4,4 juta dewasa muda yang berusia 18 sampai 25
tahun, dan 7 juta dewasa yang lebih tua pernah menggunakan satu atau lebih
zat gelap dalam bulan terakhir.
Laki-laki secara bermakna lebih tinggi dibandingkan wanita untuk
menggunakan zat gelap dalam bulan terakhir. Keseluruhan 7,4 juta laki-laki
merupakan pengguna sekarang, dibandingkan 5,4 juta pada wanita.
Kelompok kulit hitam secara bermakna lebih tinggi dibandingkan
kelompok kulit putih dan hispanik untuk menggunakan zat gelap dalam bulan
terakhir, tetapi hispanik tidak berbeda secara bermakna dengan kulit putih.
Bahkan walaupun prevalensi penggunaan zat gelap dalam bulan terakhir adalah
lebih tinggi pada kulit hitam dibandingkan kulit putih, kira-kira tigaperempat (72,4
persen) pengguna zat gelap di tahun 1991 adalah kulit putih. Keseluruhan 9,2
juta kelompok kulit putih menggunakan zat gelap dalam bulan terakhir,
dibandingkan dengan 2,2 juta kulit hitam dan 1 juta hispanik.
Penduduk
didaerah
metropolitan
yang
besar
paling
mungkin
menggunakan zat gelap dalam bulan terakhir, dan penduduk daerah non
metropolitan adalah paling kecil dalam kemungkinannya melakukan hal yang
sama .Hampir setengah (47,7 persen) dari mereka yang menggunakan zat gelap
dalam bualn terakhir tinggal didaerah metropolitan yang besar. Keseluruhan 6,1
juta penduduk daerah metropolitan besar, 4,2 juta penduduk daerah metropolitan
kecil, dan 2,5 juta penduduk non metropolitan pernah menggunakan at gelap
dalam bulan terakhir.
Prevalensi penggunaan zat gelap dalam bulan terakhir secara bermakna
lebih tinggi didaerah barat dibandingkan dengan daerah timur laut, selatan, dan
utara tengah, tidak ada perbedaan antafa tiga daerah lainnnya yang bermakna
secara statistik.
Upaya kesehatan jiwa yang merupakan bagian integral dari upaya
kesehatan secara keseluruhan terayata dirasakan makin dibutuhkan dengan
kemajuan
masyarakat
modern,
karena
modernisasi
memang
dapat
kedokteran
jiwa
masyarakat
(Maramis,
1980)
merupakan
jiwa
yang
berorientasi
perorangan
(individual-patient-oriented
baru
masih
saja
akan
terus
terjadi.
Oleh
karena
itu
upaya
Banyak
generasi
muda
yang
membuat
kelompok
sendiri,
memisahkan din dari kehidupan masyarakat luas. Remaja membentuk genggeng (peer group) sendiri. Penyimpangan perilaku makin banyak terlihat
faktor
pencetus
utama
untuk
bunuh
diri
.Orang
yang
dibandingkan
penyalahgunaan
populasi
alkohol
umum.
atau
Kira-kira
ketergantungan
15
persen
alkohol
orang
telah
dengan
dilaporkan
melakukan bunuh diri. Frekuensi bunuh diri tersebut adalah dalam urutan ke dua
setelah frekuensi yang ditemukan pada pasien dengan gangguan depresi berat.
Penyalahgunaan obat merupakan pula resiko spiritual karena pengaruh
dunia
yang
semu.
Hidupnya
didominasi
oleh
materialisme,
khawatir
mempunyai
anggota
keluarga
yang
melakukan
dapat
merasa
bersalah
karena
anaknya
melakukan
institusi
yang
dianggapnya
lebih
banyak
mengetahui
tentang
penyalahgunaan obat itu. Takhayul satu persatu akan pudar dan orang akan
lebih banyak menggantungkan nasibnya pada ilmu pengetahuan. Mungkin sekali
psikiatri pencegahan (prevention psychiatry) akan lebih banyak diterapkan.
harus
meliputi:
meningkatkan
kesadaran
masyarakat
akan
membantu
masyarakat
agar
mampu
berupaya
dalam
pengguna
pengobatan
non
medis
tingkah
ini:
sering
secara
merupakan life saving. Bila keadaan krisis telah dapat dilalui maka perawatan
intensif dapat dihentikan dengan berbagai pertimbangan antara lain beaya yang
sangat mahal, menyita tenaga perawatan tingkat tinggi dan ketidak nyamanan
bagi penderita. Selanjutnya penderita mendapatkan perawatan tingkat menengah
atau intermedia. Beberapa kegiatan telah mulai dapat dilakukan sendiri atau
hanya dengan sedikit pertolongan. Pada perawatan intermedia psikoterapi dan
pendekatan agama telah dapat diberikan tetapi terapi motorik belum dapat
dilakukan. Dari perawatan tingkat intermedia penderita akan dapat kembali
(retrogressif) ke perawatan intensif atau menuju (progressif) ke perawatan biasa.
Fungsi-fungsi vital mulai stabil, emosi juga mulai terkendali tetapi dapat kembali
membalik dengan tiba-tiba. Dalam perawatan tingkat biasa kewaspadaan dapat
diturunkan dan pertolongan dalam kegiatan sehari-hari dapat diberikan atas
permintaan penderita. Sebagian besar kegiatan sehari-hari mulai dapat
dikerjakan tanpa pertolongan. Fungsi vital sering telah stabil, juga emosinya.
Pada perawatan biasa semua jenis terapi psikiatrik dapat diberikan mulai dari
fisioterapi /ECT, psikoterapi, psikofarmaka,
terapi olah
raga, kesenian,
sosialisasi, kerja sampai terapi agama. ECT diberikan untuk tujuan memperbaiki
tingkah laku yang ribut, mencegah bunuh din dan memperbaiki afek terutama
bagi yang menderta psikotik dan depresif. Psikoterapi dilakukan untuk
meningkatkan dan menumbuhkan maturitas diri. Terapi psikofarmaka bertujuan
menghilangkan simtom ganguan mental, memperbaiki proses pikir, alam
perasaan, sikap dan emosi, memperbaiki penghayatan diri (insight) serta
memperbaiki judgement. Pada perawatan tingkat ini terapi agama mulai
dilakukan lebih intensif.Dari perawatan ini penderita telah dapat keluar Rumah
Sakit tetapi kadang masih memerlukan perawatan lehabilitatoris. Penyembuhan
yang telah didapat belum cukup untuk melepaskannya hidup independen dalam
masyarakat apalagi kalau ia tinggal sendirian atau semua anggota keluarganya
bekerja di luar rumah. Dalam perawatan tingkat rehabilitatoris ini penderita
dipersiapkan untuk mampu berdiri sendiri dan memiliki kepribadian yang lebih
matang.
Keempat tahapan perawatan ini sangat diperlukan bagi penderita
penyalahgunaan obat. Hingga kini nampaknya belum ada Rumah Sakit yang
memiliki keempat tahapan perawatan itu secara utuh. Tingkat perawatan
rehabilitatoris kini menjadi sangat penting mengingat makin banyaknya korban
harus
terkoordinir
menjadi
satu
proses
yang
bertujuan
kehampaan jiwa, yang timbul akibat modernisasi sering merupakan stresor yang
menyebabkan orang lari mencari jalan pintas. Ketaatan beribadah mampu
meredam segala ketegangan jiwa yang terjadi, karena telah terbukti bahwa
ketaatan beribadah mampu sebagai pelindung terhadap timbulnya berbagai
penyakit seperti kanker rahim, kanker kandungan, kolitis, enteritis, gangguan
kardiovaskuler, hipertensi, stroke dan ancaman bunuh diri.
Ada banyak definisi rehabilitasi dan salah satunya adalah bahwa
rehabilitasi merupakan usaha untuk mengembalikan penderita ke masyarakat
dan menjadikannya sebagai warga yang swasembada dan berguna (Dit.kes.wa,
1983). Berdasar definisi ini maka untuk melakukan rehabilitasi diperlukan
persiapan penderita agar dapat menyesuaikan diri dengan baik. Rehablitasi
dapat dilakukan melalui terapi kerja, rumah sakit siang hari atau malam hari,
keluarga angkat, rumah separo jalan, (halfway house), dan bengkel kerja
terlindung (sheltered-workshop) serta pesantren. Terapi kerja, tujuannya
memberikan aktivitas, mengisi waktu, dan melatih serta mempertahankan
kemampuan penderita, seperti konsentrasi, ketrampilan dan kelenturan otot.
Latihan kerja, untuk melatih ketrampilan atau suatu jenis pekerjaan tertentu (yang
dapat dievaluasi). Bila hasil evaluasi menunjukkan nilai baik, penderita dapat
disalurkan ke bengkel kerja terlindung atau ke masyarakat. perakitan sederhana,
pengetikan, pengarsipan. Kegiatan itu tidak memerlukan tenaga fisik yang besar
(Wilson, 1983); b) kegiatan yang memerlukan tenaga fisik memerlukan kontrol
motorik halus dan kasar, mempertahankan suatu aktifitas dalam waktu tertentu,
serta kekuatan otot. Misalnya: membatik, menganyam, merajut, mengampelas.
Rumah sakit siang hari adalah pelayanan perawatan, pengobatan dan
rehabilitasi hanya pada siang hari (day care) untuk meningkatkan kesehatan
jiwanya serta penyesuaian psikososial. Rumah sakit malam hari adalah bentuk
pelayanan perawatan malam hari pada rehabilitan yang sudah mampu
menyesuaikan diri dengan lingkungannya pada siang hari tetapi masih
mengalami kesulitan di malam hari terutama gangguan tidur.
kepustakaan
Agoes,
A.,
1980.
Sejarah
Ethnobiotani
dan
Ethnomedicine,
Berkala
Beck, J.C., and Worthen, K., 1972. Precipitating Stress, Crisis Theory, and
Hospitalization in Schizophrenia and Depression, Arch Gen
Psychiatry, 26: pp. 123-129.
Bourne, P.O., 1978. The Psychiatrist's Responsibility and The Public Trust, Am J.
Psychiatry, 135, 2 : pp. 174-177.
Campbell, R.J., 1981. Psychiatric Dictionary, 5 th ed., Oxford University Press,
New York.
Cooper, F.A., 1999. The Influence of Patient's Beliefs About Their Illness on
Clinical Outcome, Medical Progress, 26, 5: pp. 9 - 14.
Direktorat Kesehatan Jiwa., 1983. Pedoman Rehabilitasi Fasten Mental Rumah
Sakit Jiwa di Indonesia, edisi n (revisi), Departemen Kesehatan R.I.,
Jakarta.
Dipojono, B., 1979. Faktor-Faktor Sosio Budaya Pada Pengobatan Tradisional
Orang Jawa, Simposium Kesehatan Jiwa, Jakarta.
Ernst, E., 2000. Prevalence of Use of Complementary/Alternative Medicine: A
Systematic Review, Bulletin of The World Health Organization, 78,2:
pp. 252-257.
Hawari, D., 1996. limit Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa, PT Dana Bakti
Prima Yasa, Yogyakarta.
Heerdjan, 1977. Beberapa Dasra Psikiatri Kemasyarakatan ( Community
Psychatry), Jiwa, lndon.Psychiat. Quart., X,4: pp.1 - 21.
Hill, S. Y, Owers, L.I., Locke, J., Snidman, N., and Kagan, J., 1999. Behavioral
Inhibition in Children From Families at High Risk for Developing
Alcoholism, J. Am. Acad. Child Adolesc Psychiatry, pp. 410-416.
Joewana, SD., 1985. Usaha Preventif Terhadap Penyalahgunaan Obat dan
Ketergantungan Obat/Substansi, PT Gramedia Jakarta.
Kaplan, H.I., Sadock, B.J., Grebb, J., 1994. Synopsis of Psychiatry, 7 th ed.,
Williams & Wilkins Co., Baltimore.
Livingston, M.G., 1992. Benzodiazeoine Dependence, Medicine Digest, 10,7: pp.
13-17.
Maramis, W.F., 1980. limit Kedokteran Jiwa, Airlangga University Press,
Surabaya.
Mende, Y, 1993. Upaya Penanggulangan Masalah Narkotika, Psikotropika, dan
bahan berbahaya di Indonesia, Seminar Penyalahgunaan Alkohol