Anda di halaman 1dari 6

NEBULISASI SALBUTAMOL DAN NaCl 3% DIBANDING NEBULISASI

SALBUTAMOL PADA ANAK ASMA SERANGAN RINGAN DAN SEDANG


Irwan E, Darfioes B, Finny FY, Didik H
Abstrak
Latar Belakang. Patofisiologi serangan asma terdiri dari bronkokonstriksi, udem
submukosa, dan hipersekresi mukus. Terapi standar pada permulaan serangan bertujuan
mengatasi bronkokonstriksi. NaCl 3% telah tebukti dapat mengurangi udem submukosa
dan meningkatkan pengeluaran mukus pada penderita asma, bronkhiolitis,
bronkhiekstasis dan Cystic Fibrosis.
Tujuan. Menilai apakah nebulisasi salbutamol dan NaCl 3% pada anak asma serangan
ringan dan sedang lebih baik daripada nebulisasi salbutamol saja.
Metode. Penelitian ini merupakan uji klinis pada anak asma serangan ringan dan sedang
yang berusia 5-14 tahun yang datang ke IGD RS. M. Djamil Padang. Anak yang
memenuhi kriteria dirandom dan dibagi menjadi 2 kelompok, kelompok nebulisasi
salbutamol dan NaCl 3% (kelompok NaCl 3%) dan kelompok nebulisasi salbutamol saja
(kelompok kontrol). Pada kedua kelompok dilakukan penilaian Pediatric Asthma Score
(PAS) sebelum dan setelah nebulisasi. Setelah nebulisasi juga dilakukan pengukuran pH
sputum pada kedua kelompok. Data dianalisis dengan menggunakan independent-samples
T test.
Hasil. Empat puluh empat anak diikutkan dalam penelitian, terdiri dari 22 anak pada
kelompok NaCl 3% dan 22 anak pada kelompok kontrol. Pengukuran data dasar kedua
kelompok tidak ada perbedaan bermakna (p>0,05). Setelah dilakukan nebulisasi,
didapatkan perbedaan bermakna peburunan PAS kelompok NaCl 3% (4,912,07)
dibandingkan dengan kelompok kontrol (3,641,56). Hal serupa juga didapatkan pada
nilai pH sputum 7,040,48 banding 6,740,47; dan selisih kenaikan saturasi O2 2,362,38
banding 11,83.
Kesimpulan. Penambahan NaCl 3% pada nebulisasi salbutamol anak asma serangan
asma ringan dan sedang dapat menurunkan derajat serangan asma lebih baik daripada
nebulisasi salbutamol saja.
Kata kunci : NaCl 3%, Pediatric Asthma Score (PAS), serangan asma, pH sputum
Asma merupakan penyakit respiratorik
kronis yang paling sering dijumpai pada
anak.(Bateman et al., 2008) Prevalensi
asma anak di berbagai negara berkisar
antara 2-30%, di Indonesia prevalensi
asma anak sekitar 10% pada usia sekolah
dasar, dan sekitar 6,5% pada usia sekolah
menengah pertama.(Rahajoe et al., 2004)
Kemajuan dalam tatalaksana
asma memiliki konstribusi signifikan
terhadap penurunan kematian global
akibat asma sejak pertengahan tahun
1990-an.(Greening et al., 2008) Inhalasi
adalah jalur pilihan yang paling baik,
karena dapat mencapai percabangan
bronkus, membutuhkan dosis obat yang
lebih rendah dan efek samping obat yang
lebih rendah.(Cantani, 2008)

Terapi serangan asma saat ini


masih bertujuan untuk
mengatasi
bronkokonstriksi, padahal produksi mukus
dan udem submukosa juga dapat
menyebabkan penyumbatan bronkiolus
yang dapat memperberat serangan
asma.(Bateman et al., 2008) Penelitian
Jones, dkk. telah membukti-kan keamanan
penggunaan salin hipertonik sebagai
induksi sputum pada anak penderita
asma.(Jones et al., 2001)
Studi ini bertujuan untuk menilai
apakah penurunan derajat serangan asma
dengan penambahan salin hipertonik
(NaCl 3%) pada nebulisasi lebih baik dari
pada terapi standar.
Metode
55

Penelitian ini merupakan uji klinis pada


anak dengan serangan asma yang berusia
5-14 tahun yang datang ke IGD RS. M.
Djamil Padang pada bulan Juni 2010
sampai Maret 2011. Penelitian ini telah
lulus kaji Etik oleh Komite Etik Penelitian
RS. M. Djamil Padang.
Belum ada laporan yang meneliti
efek penambahan salin hipertonik pada
penderita serangan asma, sehingga
dilakukan penelitan pendahuluan pada 10
orang anak dengan serangan asma untuk
mendapatkan standar deviasi yang akan
digunakan dalam perhitungan besar
sampel penelitian, didapatkan standar
deviasi
sebesar
1,174.
Kemudian
didapatkan sampel penelitian ini sebesar
44 anak, terdiri dari 22 anak pada
kelompok NaCl 3% dan 22 anak pada
kelompok kontrol. Selama penelitian
pendahuluan tidak terjadi perburukan
derajat serangan asma setelah nebulisasi
salbutamol ditambah NaCl 3%.
Kriteria Inklusi adalah : 1) Anak
penderita asma serangan ringan dan
sedang; 2) Usia 5-14 tahun; dan 3) Belum
mendapat
terapi
serangan
asma
sebelumnya. Sedangkan kriteria ekslusi
adalah : 1) Penderita asma serangan berat
menurut skor PAS atau tak respons
setelah 3 kali nebulisasi; 2) Bersamaan
dengan penyakit pneumonia, bronkiolitis,
atau sumbatan saluran respiratorik oleh
benda asing; 3) Menderita penyakit gagal
jantung; 4) Penderita tidak sadar.
Orang tua dijelaskan tentang
prosedur penelitian dan diminta untuk
mengisi informed consent. Anak usia 5-14
tahun dengan serangan asma yang datang
ke RS. M. Djamil dibagi menjadi 2
kelompok secara consecutive random
sampling, terdiri dari kelompok NaCl 3%
dan kelompok kontrol.
Sebelum nebulisasi, terlebih
dahulu dilakukan penilaian PAS pada
setiap subjek penelitian. Kelompok NaCl
3% diterapi dengan nebulisasi salbutamol
ditambah dengan 2 cc NaCl 3%,
sedangkan kelompok kontrol diterapi
dengan nebulisasi salbutamol saja. Dua
puluh menit setelah nebulisasi dilakukan
penilaian PAS.
Subjek
penelitian
diminta

mengumpulkan sputum pada kontainer


yang sudah disediakan sebanyak 2 cc,
kemudian lakukan pengukuran pH sputum
dengan menggunakan pH meter.
Data dicatat pada formulir
penelitian dan dilakukan uji statistik
mengunakan uji T untuk sampel tidak
berpasangan.
Hasil
Empat puluh empat anak diikutkan dalam
penelitian, 22 anak pada kelompok NaCl
3% dan 22 anak pada kelompok kontrol.
Rerata usia kelompok NaCl 3% 8,402,44
dan kelompok kontrol 8.102,13. Pada
kelompok NaCl 3% jumlah anak laki-laki
lebih banyak (77,3%) dibanding dengan
kelompok kontrol (54,5%). Sedangkan
riwayat atopi lebih banyak pada kelompok
kontrol (90,9%) dibanding kelompok
NaCl 3% (68,2%). Namun ketiganya tidak
berbeda bermakna secara statistik
(p>0.05). (Tabel 1)
Tidak ada perbedaan yang
bermakna secara statistik (p>0,05) dari
rerata PAS, laju nafas, saturasi O2, laju
nadi, auskultasi, retraksi dan dispneu pada
kelompok NaCl 3% dan kelompok kontrol
sebelum dilakukan nebulisasi. (Tabel 2)
Tabel 1. Karakteristik subjek penelitian

Setelah dilakukan nebulisasi,


didapat-kan
perbedaan
bermakna
kelompok NaCl 3% dibandingkan dengan
kelompok kontrol pada selisih penurunan
PAS 4,912,07 banding 3,641,56; nilai
pH sputum 7,040,48 banding 6,740,47;
dan selisih kenaikan saturasi O2 2,362,38
banding 11,83. (Tabel 3)

56

MCC pada nebulisasi volume kecil (23mL) larutan salin konsentrasi tinggi
(14,4%) pada penderita dengan asma
ringan dan orang sehat, bertujuan untuk
menunjukkan
efek
HS
pada
MCC.(Daviskas et al., 1996) Tahun 1996,
studi Donaldson dkk. menunjukkan
bahwa penggunaan Na+ hipertonik pada
anak usia 13-18 tahun dan dewasa 19-44
tahun dapat meningkatkan jumlah cairan
perisiliar pada epitel respiratorik dan
memperbaiki
transpor
mukosiliar
penderita Cystic Fibrosis secara in vitro
dan juga dapat berlaku pada saluran
respiratorik sehat dan penderita penyakit
respiratorik lain.(Donaldson et al., 2006)
Tahun 2002 studi yang dilakukan oleh
Mandelberg dkk. pada 52 penderita yang
dirawat dengan bronkhiolitis virus
mendapat inhalasi epinefrin 1,5 mg dalam
4 ml NaCl 3% memiliki perbaikan klinis
dan lama rawat di rumah sakit yang

Diskusi
Sampai penelitian ini dilakukan belum
ada laporan yang meneliti efek
penambahan NaCl 3% (salin hipertonik)
pada terapi standar asma. Selama ini salin
hipertonik sudah dipakai untuk pengeluaran sputum (induksi sputum) pada
penderita
asma,
bronkhiekstasis,
bronkhiolitis
dan
cystic
fibrosis.
Pemberian
salin
hipertonik
dapat
membantu pengeluaran mukus melalui
perbaikan sistem mucocilliary clearance
(MCC) dan mekanisme batuk.
Pada tahun 1978, Pavia dkk.
meneliti efek salin hipertonik (7%) pada
MCC penderita bronkitis kronis. Mereka
menemukan
bahwa
tingkat
MCC
meningkat 2 kali lipat dibanding dengan
normal salin.(Pavia et al., 1978) Tahun
1996, Daviskas dkk. melakukan penelitian
pada anak usia 13-18 tahun dan dewasa
19-44 tahun menunjukkan peningkatan

Tabel 2. Data awal penelitian sebelum nebulisasi

lebih baik dibandingkan dengan inhalasi


epinefrin
1,5
mg
dalam
NaCl

0,9%.(Mandelberg et al., 2003) Kuzik,


dkk. tahun 2004 pada 96 penderita yang
57

dirawat di rumah sakit di Kanada dan


Arab Saudi dengan bronkiolitis yang
diterapi dengan nebulisasi 4 ml NaCl 3%
atau NaCl 0,9% bersamaan dengan
pemberian terapi standar, menunjukkan
bahwa pemberian nebulisasi NaCl 3%
menurunkan masa rawatan lebih baik
dibandingkan dengan nebulisasi NaCl
0,9%.(Kuzik et al., 2007)
Studi Jones dkk. pada 182 anak
penderita asma yang dilakukan induksi
menggunakan
salin
hipertonik
mendapatkan angka keberhasilan yang
tinggi dalam pengeluaran sputum dan
menyimpulkan bahwa induksi sputum
menggunakan salin hipertonik aman
digunakan
pada
anak
penderita
asma.(Jones et al., 2001) Studi Tarodo
dkk. pada 64 penderita dengan berbagai
macam derajat asma, menyimpulkan
bahwa induksi sputum dengan salin
hipertonik merupakan prosedur yang
aman bahkan untuk asma serangan
berat.(Tarodo et al., 1998) Studi Makris
dkk. pada 65 penderita menggunakan
inhalasi NaCl 4,5%, menyimpulkan
bahwa induksi sputum dengan salin
hipertonik merupakan prosedur yang
aman.(Makris et al., 2006)
Saat ini salin hipertonik juga
digunakan sebagai salah satu cara untuk
provokasi bronkus, karena diduga salin
hipertonik
dapat
menyebab-kan
penyempitan saluran nafas secara tidak
langsung melalui stimulasi aktifitas
eosinofil. Tahun 2002, Meer dkk.
melakukan studi pemberian provokasi
bronkus menggunakan salin hipertonik
(NaCl 4,5%) pada 430 anak usia 8-13
tahun dan didapatkan peningkatan
aktifitas eosinofil melalui pengukuran
eosinophilic cationic protein (ECP) serum
terutama pada anak yang memiliki
atopi.(Meer et al., 2004) Konsentrasi
saline hipertonik yang dipakai sebagai
prosedur provokasi bronkus adalah 4,5%
seperti protokol yang dibuat oleh
Anderson dan Brannan(Anderson and
Brannan, 2003) yang disetujui oleh
ISAAC dan telah digunakan pada
penelitian
lain
seperti
penelitian
Ridler(Riedler et al., 1998) dan
Supriyanto(Supriyatno et al., 2005).

Tabel 3. Pengaruh penambahan NaCl 3%


pada
nebulisasi
ventolin
tehadap
penurunan PAS, laju nafas, peningkatan
saturasi O2, nilai pH

Studi ini tidak menilai jumlah


mukus yang dikeluarkan pada masingmasing kelom-pok. Studi ini menilai
perbaikan serangan asma melalui
penurunan nilai PAS. Rerata selisih
penurunan PAS menunjukkan perbedaan
bermakna
pada
kedua
kelompok.
Penelitian
ini
juga
mendapatkan
perbedaan
bermakna
pada
selisih
peningkatan saturasi oksigen pada kedua
kelompok dan tidak ada perbedaan
bermakna pada penurunan laju nafas.
Studi ini menggunakan NaCl 3%
sebagai terapi tambahan pada anak asma
serangan ringan dan sedang dengan tujuan
untuk mendapatkan peningkatan efek
pengeluaran mukus tanpa menimbulkan
efek provokasi bronkus, seperti pada NaCl
4,5%. Penambahan NaCl 3% pada
neblulisasi salbutamol, diharapkan dapat
memperbaiki derajat serangan asma
melalui peningkatan pengeluaran mukus.
Pada studi ini juga didapatkan
hasil bermakna pada nilai pH sputum
setelah nebulisasi pada kelompok NaCl
3% 7,04 (SD 0,48) dibanding kelompok
kontrol 6,74 (SD 0,47). Studi Thiele dan
Burgoyne
mendapatkan
bahwa
peningkatan [H+] dan [Ca2+] menimbulkan kondisi asam dan kekuatan ionik yang
mendukung terbentuknya ikatan disulfida
pada musin (pekursor mukus). Keadaan
ini juga juga dapat menstabilkan rantai
musin dengan cara netralizing (shielding)
muatan negatif pada musin.(Burgoyne and
Morgan, 2003, Thiele and Huttner, 1998)
Penelitian lain mendapatkan bahwa
berkurangnya [H+] dan bertambahnya [Cl] dapat merusak shielding Ca2+ pada rantai
60

musin, sehingga dapat memutus ikatan


disulfida pada musin.(Lidell et al., 2003)
Berdasarkan studi di atas didapatkan
bahwa kondisi asam (pH rendah) dapat
menguatkan ikatan disulfida pada musin
sehingga mukus yang dihasilkan akan
mem-bentuk konsistensi yang lebih kental
(gel), sedangkan semakin berkurangnya
kondisi asam (pH tinggi) maka akan
semakin lemah ikatan disulfida pada
musin dan menghasilkan mukus dengan
konsistensi yang lebih encer. Pada studi
ini didapatkan nilai pH yang lebih tinggi
dapat berperan sebagai mukolitik untuk
membantu proses pengeluaran mukus
pada penderita asma.
Kekurangan penelitian ini adalah
melakukan pengumpulan sputum dengan
cara
dibatukkan,
sehingga
ada
kemungkinan sputum yang dikumpulkan
bercampur lengan saliva, sehingga ini
dapat menjadi bias dalam penelitian ini.
Idealnya dalam pengambilan sampel
untuk analisa sputum dilakukan dengan
menggunakan
bronkoskopi.
Tetapi
penggunaan bronkoskopi tidak mungkin
dan sangat
membahayakan untuk
dilakukan pada anak dalam serangan
asma.
Kami menyimpulkan bahwa
penambah-an NaCl 3% pada terapi
nebulisasi salbutamol pada anak dengan
serangan asma derajat ringan dan sedang
dapat menurunkan derajat serangan asma
lebih baik daripada nebulisasi salbutamol
saja. Penambahan NaCl 3% juga akan
mem-berikan pH yang lebih tinggi pada
sputum yang diduga dapat melemahkan
ikatan disulfida pada musin sehingga
dapat berfungsi sebagai mukolitik.

Wenzel, S. E. & Zar, H. J. 2008.


Global
strategy
for
asthma
management and prevention: GINA
executive summary. Eur Respir J 31,
143-178.
Burgoyne, R. D. & Morgan, A. 2003.
Secretory granule exocytosis. Physiol
Rev, 83, 581632.
Cantani, A. 2008. Asthma. Pediatrics
Alergy, Asthma and Immunology.
New
York:
Springer
Berlin
Heidelberg.
Daviskas, E., Anderson, D. D., Gonda, I.
& Et, A. L. 1996. Inhalation of
hypertonic saline aerosol enhances
mucociliary clearance in asthmatic
and healthy subjects. Eur Respir J, 9,
725-732.
Donaldson, S. H., Bennett, W. D., Zeman,
K. L., Knowles, M. R., Tarran, R. &
Boucher, R. C. 2006. Mucus
clearance and lung function in cystic
fibrosis with hypertonic saline. N
Engl J Med, 354, 241-250.
Greening, A. P., Stempel, D., Bateman, E.
D. & Virchow, J. C. 2008. Managing
asthma patients: which outcomes
matter ? Eur Respir Rev 17, 53-61.
Jones, P. D., Hankin, R., Simpson, J.,
Gibson, P. G. & Henry, R. L. 2001.
The tolerability, safety and success of
sputum induction and combined
hypertonic saline challenge in
children. Am J Respir Crit Care Med,
164, 1146-1149.
Kuzik, B. A., Al Qadhi, S. A., Kent, S. &
Et, A. L. 2007. Nebulized hypertonic
saline in the treatment of viral
bronchiolitis. J Pediatr, 151, 266270.
Lidell, M. E., Johansson, M. E. &
Hansson,
G.
C.
2003.
An
autocatalytic cleavage in the C
terminus of the human MUC2 mucin
occurs at the low pH of the late
secretory pathway. J Biol Chem, 278,
1394413955.
Makris, D., Tzanakis, N., Moschandreas,
J. & Siafakas, N. M. 2006. Dyspnea
assessment and adverse events during
sputum induction in COPD. BMC
Pulmonary Medicine, 6, 1-9.

Daftar Pustaka
Anderson, S. D. & Brannan, J. D. 2003.
Methods for indirect challenge
tests including exercise, eucapnic
voluntary hyperpnea, and hypertonic
aerosols. Clin Rev Allergy Immunol,
24, 27-54.
Bateman, E. D., Hurd, S. S., Barnes, P. J.,
Bousquet, J., Drazen, J. M.,
Fitzgeralde, M., Gibson, P., Ohta, K.,
Obyrne, P., Pedersen, S. E.,
Pizzichini, E., Sullivanee, S. D.,
61

Mandelberg, A., Tal, G., Witzling, M. &


Et, A. L. 2003. Nebulized 3%
hypertonic saline solution treatment
in hospitalized infants with viral
bronchiolitis. Chest, 123, 481-487.
Meer, G., Postma, D. S., Janssen, N. a. H.,
Jongstez, J. C. & Brunekreef, B.
2004.
Bronchial
hyperresponsiveness to hypertonic saline
and blood eosinophilic markers in 8
13-year-old schoolchildren. Clin Exp
Allergy, 34, 1226-1231.
Pavia, D., Thomson, M. L. & Clarke, S.
W. 1978. Enhanced clearance of
secretions from the human lung after
the administration of hypertonic
saline aerosol. Am. Rev. Respir. Dis.,
117, 199-203.
Rahajoe, N., Supriyatno, B. & Setyanto,
D. B. 2004. Pedoman nasional asma
anak.
Riedler, J., Gamper, A., Eder, W. &
Oberfeld, G. 1998. Prevalence of

bronchial hyperresponsiveness to
4,5% hypertonic saline and its
relations to asthma and allergy
symptoms in Austrian children. Eur
Respir J, 11, 355-360.
Supriyatno, B., Medina, D., Tumbelaka,
A. R. & Rahajoe, N. N. 2005. The
use of 4.5% hypertonic saline
challenge test in diagnosing asthma
in children with chronic recurrent
cough. Paediatr Indones, 45, 93-98.
Tarodo, P., Romagnoli, M., Godard, P.,
Bousquet, J. & Chanez, P. 1998.
Safety of Inducing Sputum in
Patients with Asthma of Varying
Severity. Am J Respir Crit Care Med,
157, 1127-1130.
Thiele, C. & Huttner, W. B. 1998. Protein
and lipid sorting from the trans-Golgi
network to secretory granules: recent
developments. Semin Cell Dev Biol,
9, 511-516.

62

Anda mungkin juga menyukai