ABSTRACT
SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS IN PREGNANCY
Systemic lupus erythematosus (SLE) is an auto immune disease which is
charaterized by the production of antibodies towards the nucleus of the cell. The
mechanism is not well defined, but there seem to be some exacerbating factors
like physical and metal stress, infection, ultraviolet radiation and drugs. The
various cell of our body are recognized as antigen therefore leading to the
formation of immune complexes which will be deposited in organs and eventually
cause inflammation. The process which affects the placenta is known as
deciduas vasculitis. The effects of pregnancy towards SLE in unclear, but the
risks of exacerbation increases as pregnancy advances. Complications such as
death of the fetus, premaurity and restricted growth may occur. Complication of
pregnancy with SLE which affects the fetus characterized by congenital heart
block, cutaneus lesion, cytopenia, liver disorders and other systemic
manifestation. The pathogenesis of fetal heart block is not well understood, but
the mechanism seems to be transfers of antibody through the placenta on the
second trimester which then will lead to immunological trauma of the heart and
its conduction system which will manifest upon delivery. There are two major
points to be considered in the management of SLE in pregnancy; pregnancy can
affect the course of SLE and the fetus may become the target of auto antibody
which will lead to failure of the pregnancy itself. Corticosteroids have a significant
effect and is normally tolerable by may be considered. Contraception becomes
an important key in SLE as estrogens concentration of 20-30 urg/day may
exacerbate SLE and will increase the risk of thromboemboli, therefore
progesterone containing contraceptives are highly recommended.23
Keywords: systemic lupus erythematosus, pregnancy, management.
I. PENDAHULUAN
Lupus eritematosus sistemik (LES) merupakan penyakit autoimun yang ditandai
oleh produksi antibodi terhadap komponen komponen inti sel yang berhubungan
dengan manifestasi klinis yang luas.23
Etiologi sebenarnya belum diketahui. Secara klinis ditemukan 2 bentuk lupus
eritematosus, yaitu :
A. Bentuk diskoid yang tidak berbahaya dan terbatas pada kulit, jarang
mengenai organ lain, tidak mempunyai pengaruh timbal balik dengan kehamilan
B. Bentuk tersebar luas (sistemik) yang selain mengenai kulit juga mengenai
organ lain dalam tubuh; berbahaya dan mempunyai pengaruh timbal balik
dengan kehamilan.
Lupus eritematosus sistemik (LES) adalah penyakit radang multi sistem akibat
pengendapan kompleks imun yang tidak spesifik pada berbagai organ yang
penyebabnya belum diketahui secara jelas. Ditemukan lebih banyak pada wanita
daripada pria.1,2,3,4,5 Beberapa sistem organ yang biasanya terkena adalah otak
dan sistem saraf perifer, paru-paru, jantung, ginjal, kulit, membran serosa dan
komponen darah. Banyak sistem lain yang dapat terkena walaupun frekuensinya
lebih jarang.1
Penyakit ini telah dikenal 150 tahun yang lalu dengan berbagai nama yang
merupakan sinonim dari lupus, seperti yang dikemukakan oleh Hippocrates (460370 SM) sebagai herpes esthiomenos dan herpes ulcerosus dari Amatus
Lusitanus (1510-1568). Hebra pada tahun 1845 telah menemukan adanya suatu
seborea kongestif yang diyakini adalah suatu lupus eritematosus dengan
gambaran seperti kupu-kupu (butterfly rash) pada daerah pipi dan hidung.
Adanya manifestasi sistemik dan komplikasi serebral yang serius diperkenalkan
oleh William Osler (1895-1903). Keterlibatan kardiovaskular seperti adanya
vaskulitis dan endokarditis mural dilaporkan oleh Libman dan Sacks (1923),
sedangkan gambaran patologi glomelurus ginjal diperkenalkan oleh Baehr,
Klemperer dan Schifrin serta Gross, Keith dan Rowntree. Reinstein dkk pada
tahun 1978 mengaitkan hubungan HLA DR2 dan DR3 dengan LES. Yang
merupakan pijakan selanjutnya untuk penelitian biomolekular dan genetika
terhadap penyakit ini.6
LES terutama terjadi pada usia reproduksi antara 15-40 tahun dengan rasio
wanita dan laki laki 5 : 1, dengan demikian terdapat peningkatan kejadian
kehamilan dengan LES ini. Dari berbagai laporan kejadian LES ini tertinggi
didapatkan di negara Cina dan Asia Tenggara, sedangkan di Indonesia, RS Dr
Soetomo Surabaya melaporkan 166 penderita dalam 1 tahun (Mei 2003 - April
2004). Dari 2000 kehamilan dilaporkan sebanyak 1-2 kasus LES.23
Prevalensi SLE diperkirakan 4-250 kasus untuk setiap 100.000 penduduk, yang
menunjukkan adanya perbedaan besar pada berbagai populasi (Lawrence dkk,
1989). Di Amerika Serikat prevalensinya lebih sering pada orang-orang Asia ( 1824 / 100.000) daripada orang kulit hitam (4 / 100.000) atau Puerto Rico ( 1 /
100.000 ) lebih lanjut dilaporkan bahwa prevalensi LES lebih sering pada orangorang Cina dan Asia Tenggara (Feng dkk,1982).6 Sedangkan dalam kurun waktu
1971 sampai dengan 1975 adalah 15,02 per 10.000 perawatan.6 Sedangkan
dalam kurun 1985-1994 di bagian penyakit dalam RSUD. Dr. Saiful Anwar,
Malang, telah dirawat kasus LES sebanyak 79 kasus, dimana sebagian besar
penderita (97,1 %) adalah wanita dengan umur dibawah 30 tahun.6 Dalam
bidang obstetri penyakit ini dianggap penting karena LES dapat merupakan satu
penyulit kehamilan, dimana mempunyai potensi untuk mengakibatkan kematian
janin, kelahiran preterm maupun kelainan pertumbuhan janin.7 Bayi yang lahir
dari ibu yang mengindap LES dapat menyebabkan lupus eritematosus neonatal,
walaupun kejadiannya jarang (1:20.000 kelahiran hidup).
Sampai saat ini belum jelas mekanisme terjadinya LES ini, interaksi antara
faktor lingkungan, genetik dan hormonal yang saling terkait akan
menimbulkan abnormalitas respon imun pada tubuh penderita LES.
Beberapa faktor pencetus yang dilaporkan menyebabkan kambuhnya LES
adalah stress fisik maupun mental, infeksi, paparan ultraviolet dan obatobatan. Obat-obatan yang diduga mencetuskan LES adalah procainamine,
hidralasin, quidine dan sulfazalasine. Pada LES ini sel tubuh sendiri
dikenali sebagai antigen. Target antibodi pada LES ini adalah sel beserta
komponennya
yaitu
inti
sel,
dinding
sel,
sitoplasma
dan
partikel
pada
menimbulkan
penderita
gejala
LES.
klinis
Peran
belum
antibodi
jelas
antibodi
diketahui,
ini
dalam
beberapa
ahli
memudahkan
kompleks
imun
ini
mengendapnya
akan
kompleks
terdeposit
pada
imun.
Pembentukan
organ/sistem
sehingga
terkena.
Pada
plasenta
proses
tersebut
akan
menyebabkan
penderita LES. Adapun gen yang berperan terutama gen yang mengkode
unsur-unsur sistem imun. Kaitan dengan haplotip MHC tertentu terutama
HLA- DR2 dan HLA-DR3 serta dengan komponen komplemen yang
berperan pada fase awal reaksi ikat komplemen telah terbukti. Gen-gen
lain
yang
berperan
ialah
gen
yang
mengkode
reseptor
sel
T,
serta
pada
interaksi
antara
kedua
sel
tersebut,
hal
ini
akan
baik sel limfosit B yang memproduksi autoantibodi maupun sel T yang bersifat
sitotoksik terhadap diri sendiri.
Populasi sel yang autoreaktif ini diatur dan dikendalikan oleh sel limfosit T
supresor. Kegagalan mekanisme kendali ini mengakibatkan terbentuknya
autoantibodi yang kemudian mengakibatkan terbentuknya autoantibodi yang
kemudian membentuk kompleks imun atau berkaitan dengan jaringan. Komplek
antigen antibodi ini mengaktifasi sistem komplemen dan pelepasan mediator
peradangan dengan akibat permiabilitas kapiler meningkat, kemotaksis neuropil
dansel fagositosis lain dan mengakibatkan terjadinya kerusakan jaringan.
Sel T sitotoksik dapat menyerang sel tubuh secara langsung, sambil
mengeluarkan mediator yang meningkatkan reaksi peradangan. Antibodi dan
komplemen yang melapisi sel tersebut mengakibatkan perusakan sel oleh fagosit
dan sel Killer.
Bagian yang penting dalam patogenesis ini ialah terganggunya mekanisme
regulasi yang dalam keadaan normal mencegah autoimunitas patologis pada
individu yang resisten. Dalam keadaan normal, kompleks imun dimusnakan oleh
sel fagosit mononuklear, terutama dihati, limpa dan paru tanpa bantuan
komplemen. Dalam proses tersebut, ukuran kompleks merupakan faktor yang
penting. Pada umumnya kompleks yang besar dapat dengan mudah dimusnakan
oleh makrofag dalam hati. Kompleks kecil dan larut sulit untuk dimusnakan,
karenanya dapat lebih lama berada dalam sirkulasi.
Diduga bahwa gangguan fungsi fagosit merupakan salah satu penyebab
mengapa kompleks tersebut sulit dimusnahkan. Meskipun kompleks imun berada
di sirkulasi dalam jangka waktu yang lama, biasanya tidak berbahaya.
Permasalahan akan timbul bila kompleks tersebut mengendap dijaringan.
Terjadinya pengendapan kompleks imun dikarenakan ukuran kompleks imun
yang kecil dan permeabilitas vaskuler yang meninggi, antara lain disebabkan
oleh pelepasan histamin. Kompleks imun lebih mudah diendapkan pada tempattempat dengan tekanan darah yang tinggi yang disertai turbulensi , misalnya
dalam kapiler glomerulus, percabangan pembuluh darah, pleksus koroid dan dan
siliar mata9, akibat terjadinya fiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa
4. Ulcer mulut, ulserasi di mulut atau nasofaring, biasanya tidak nyeri, diketahui
melalui pemeriksaan dokter
5. Arthritis, artritis non-erosif yang mengenai 2 sendi perifer ditandai oleh nyeri,
bengkak atau efusi
6. Serositis
a. Pleuritis : adanya riwayat nyeri pleural atau terdengarnya bunyi gesekan
pleura oleh dokter atau adanya efusi pleura
b. Perikarditis : diperoleh dari gambaran EKG atau terdengarnya bunyi gesekan
perikardium atau adanya efusi perikardium.
7. Gangguan ginjal :
a.Proteinuria yang selalu > 0,5g/hari atau >3+
b.Ditemukan sel silinder, mungkin eritrosit, hemoglobin, granular, tubular atau
campuran
8. Gangguan neurologis
a. Kejang yang timbul spontan tanpa adanya obat-obat yang dapat
menyebabkan kelainan metabolik seperti uremia, ketoasidosis dan gangguan
keseimbangan elektrolit
b. Psikosis yang timbul spontan tanpa adanya obat-obat yang dapat
menyebabkan kelainan metabolik seperti uremia, ketoasidosis dan gangguan
keseimbangan elektrolit.
9. Gangguan Hematologi
a. Anemia hemolitik dengan retikulositosis
b. Leukopenia, kurang dari 4000/mm3 pada 2x pemeriksaan atau lebih
c. Limfopenia, kurang dari 1500/mm3 pada 2x pemeriksaan atau lebih
d.Trombositopenia, kurang dari 100.000/mm3 tanpa adanya obat yang mungkin
menyebabkannya.
10. Gangguan Imunologi
a. Adanya sel LE
b. Anti DNA : antibodi terhadap native DNA dengan titer abnormal
c. Anti Sm : adanya antibodi terhadap antigen inti atau otot polos
d. Uji serologis untuk sifilis yang positif palsu selama paling sedikit 6 bulan dan
diperkuat oleh uji imobilisasi Treponema pallidum atau uji fluoresensi absorbsi
antibodi treponema.
Tabel 1. Beberapa
autoantibodi yang
dihasilkan pada pasien
dengan LES 12 Antibodi
Insiden (%)
Hubungan Klinis
Antinuclear
95
Anti-DNA
70
Ant-Sm
30
Anti-RNP
40
Polimyositis,scleroderma
, lupus, penyakit
jaringan penyambung
Anti Ro (SSA)
30
Sjorgen Syndrome,
cutaneous lupus,
neonatal lupus
Anti-La(SSB)
10
Antihistone
70
Anticardiolipin
50
Antiphospolipid antibodi;
menaikkan thrombosis,
aborsi spontan;
preeclampsia awal
plasental infarction;
kematian fetus; partial
thromboplastin time
memanjang; positif palsu
VDRL
Antierythocytic
60
Hemolisis berlebih
jarang
Antiplatelet
Trombositopenia
Manifestasi klinis
Persen (%)
Sistemik
Lemah, demam,
anoreksia, penurunan
berat badan
95
Musculoskeletal
Arthralgia, mialgia,
poliarthritis, miopati
95
Hematologik
Anemia, hemolisis,
leukopenia,
trombositopenia,
antikoagulan lupus
85
Kulit
80
Neurologik
Disfungsi kongitif,
ganguan berpikir,
sakit kepala, kejang
60
Kardiopulmonar
Pleuritis, perikarditis,
miokarditis,
endokarditis LibmanSacks
60
Ginjal
Proteinuria, sindroma
nefrotik, gagal ginjal
60
Gastrointestinal
45
Trombosit
15
Mata
Konjungtifitis
15
Kehamilan
Abortus berulang,
30
preeklampsia,
kematian janin dalam
rahim
A. Kelelahan
Kelelahan merupakan keluhan yang umum dijumpai pada penderita LES dan
biasanya mendahului berbagai manifestasi klinis lainnya. Kelelahan ini agak sulit
dinilai karena banyak kondisi lain yang dapat menyebabkan kelelahan seperti
adanya anemia, meningkatnya beban kerja, konflik kejiwaan, serta pemakaian
obat seperti prednison.
B. Penurunan berat badan
Keluhan ini dijumpai pada sebagian penderita LES dan terjadi pada beberapa
bulan sebelum diagnosis ditegakkan. Penurunan berat badan ini dapat
disebabkan oleh menurunnya nafsu makan atau yang diakibatkan oleh gejala
gastrointestinal.
C. Demam
Demam sebagai gejala konstitusional sulit dibedakan dengan penyakit lain
seperti infeksi, karena suhu tubuh dapat lebih dari 40oC tanpa adanya bukti
infeksi lain seperti leukositosis. Demam akibat LES biasanya tidak disertai
mengigil.
D. Lain-lain
Gejala-gejala lain yang sering dijumpai pada penderita LES dapat terjadi sebelum
ataupun seiring dengan aktifitas penyakitnya seperti rambut rontok, hilangnya
nafsu makan, pembesaran kelenjar getah bening, sakit kepala, mual dan
muntah.
E. Manifestasi muskuloskeletal
Keluhan muskuloskeletal merupakan manifestasi klinik yang paling sering
dijumpai pada penderita LES, lebih dari 90%. Keluhan dapat berupa nyeri otot
(myalgia), nyeri sendi (artragia) atau merupakan suatu arthritis dimana tmpak
adanya inflamasi sendi. Keluhan ini sering kali dianggap sebagai manifestasi
arthritis rheumatoid karena keterlibatan sendi yang banyak dan simetris. Pada
LES, keterlibatan sendi pada umumnya tidak akan menyebabkan deformitas.
F. Manifestasi kulit
Ruam kulit merupakan manifestasi LES yang telah lama dikenal. Lesi
mukokutaneus yang tampak sebagai bagian dari LES dapat berupa suatu reaksi
fotosensitifitas, discoid LE (DLE), subacute cuataneous lupus erythematosus
I. Manifestasi Renal
Keterlibatan ginjal dijumpai pada 40-75% penderita yang sebagian besar terjadi
setelah 5 tahun penderita LES. Wanita lebih sering menderita kejadian ini (10:1)
dibandingkan pria, puncak insidensi antara usia 20-30 tahun. Gejala atau tanda
keterlibatan renal pada umumnya tidak tampak sebelum terjadi kegagalan ginjal
atau sindrom nefrotik. Pemeriksaan terhadap pyuria (>5/LPB) tanpa disertai
bukti adanya infeksi serta peningkatan kadar serum kreatinin menunjukkan
adanya keterlibatan ginjal pada penderita LES. 10,11,12
J.Manifestasi gastrointestinal
M. Kelainan obstetri
Lebih dari 16,7 juta wanita melahirkan, 13.555 diantaranya menderita lupus
eritematosus sistemik. Kematian ibu adalah 20 kali lipat lebih tinggi pada wanita
dengan lupus eritematosus sistemik. Risiko terjadinya trombosis, infeksi,
trombositopenia, dan transfusi masing-masing 3 - 7 kali lipat lebih tinggi untuk
wanita dengan lupus eritematosus sistemik. Pasien LES juga memiliki risiko yang
lebih tinggi untuk bedah sesar, persalinan prematur dan preeclampsia daripada
2. Persalinan preterm
Mekanisme Kerja
2- PAG
PA1-M
PAPP-P
PAPSI
Anti-TLX
Prognosa ibu pada penderita LES lebih banyak ditentukan pada pada saat
konsepsi, bila konsepsi pada masa tenang prognosanya lebih baik. Hal ini bisa
dicapai dengan manipulasi terapetik selama beberapa bulan sebelum konsepsi.
Selama itu dilakukan evaluasi klinis dan laboratorium secara ketat.17 Pada
penderita LES yang ingin hamil, kehamilan ditunda selama minimal 6 bulan
dalam kondisi terkontrol, sebelum konsepsi dilakukan.
Kontrasepsi yang efektif merupakan hal yang sangat penting, kontrasepsi
hormonal yang mengandung estrogen dapat menyebabkan eksaserbasi LES,
mengingat estrogen juga dapat menimbulkan tromboembolik dan membentuk
antibodi antikardiolipin. Penggunaan
Renal flare
Membaik
Menurun
Kadar AntidsDNA
Tidak ada
perubahan
Meningkat
Sedimen urin
Ringan
Aktif
Respon terhadap
steroid
Memburuk
Membaik
Sintesis plasenta dari sFlt-1 bertanggung jawab untuk tingkat peningkatan serum
sFlt-1 pada preeklampsia. sFlt-1 mengikat ke reseptor-pengikatan faktor
pertumbuhan plasenta (PlGF) dan faktor pertumbuhan endotel vaskular (VEGF),
bertindak sebagai inhibitor endogen VEGF dan PlGF sinyal dalam sel endotel.
Telah beredar hipotesis yang mengatakan peningkata sFlt-1 berkontribusi pada
disfungsi endotel, hipertensi, dan proteinuria preeklampsia. Ada asosiasi sFlt-1
dan preeclampsia dalam kehamilan pada pasien dengan
penyakit ini dapat merupakan temuan normal pada wanita yang sedang hamil.
Sebagai contoh, adanya preeklamsia pada wanita hamil dapat mengacaukan
eksarsebasi LES pada kehamilan. Kelainan organ vital merupakan kontraindikasi
bagi wanita untuk hamil. Walaupun demikian, dengan bertambah baiknya
penatalaksanaan LES, prognosis penderita LES jauh lebih baik dibandingkan
dengan masa lalu.
Dari berbagai laporan dapat diketahui bahwa 10% dari penderita LES aktif masih
dapat mengalami kehamilan. Walaupun demikian terjadinya eksarsebasi LES
selama kehamilan dan menyebabkan bertambah tingginya tingkat mortalitas
dan morbiditas ibu terutama pada masa peripartum. Pada suatu penelitian
retrospektif, telah dibuktikan bahwa eksarsebasi LES dalam kehamilan 3 kali
lebih besar pada 20 minggu kehamilan dan 6 kali lebih besar pada 8 minggu post
partum. Beberapa ahli mengganggap bahwa kehamilan mempresipitasi
timbulnya LES, dimana kematian yang terkait dengan penyakit tersebut
secara bermakna lebih tinggi. Hal ini merupakan alasan sebagian ahli bahwa
penderita dengan LES tidak diperbolehkan untuk hamil. Dewasa ini para klinisi
menganggap bahwa sesungguhnya hal ini tidak tepat, dimana diagnosis dan
penatalaksanaan LES saat ini telah lebih baik. Penelitian baru-baru ini telah
menunjukkan bahwa 150.605 wanita dengan LES akan mengalami eksarsebasi
selama kehamilan dan masa post partum.
Lockshin dkk pada suatu penelitian telah membuktikan bahwa tidak ada
perbedaan bermakna flare score antara kelompok kasus dan kelompok kontrol.
Peneliti yang sama mengikuti kehamilan 80 wanita dengan LES, disimpulkan
bahwa kejadian eksarsebasi LES dengan kehamilan kurang dari 25% dan
sebagian besar dengan klinis yang ringan. Jika hanya menggunakan gejala dan
tanda yang spesifik untuk LES, maka kejadiannya hanya 13%.5,6
X. SINDROMA LUPUS ERITEMATOSUS NEONATAL (LEN)
LEN merupakan komplikasi kehamilan dengan LES yang mengenai janin dimana
sindroma tersebut terdiri dari, blok jantung kongenital, lesi kutaneus sesaat,
kelainan hepar dan berbagai manifestasi sistemik lainnya pada neonatus yang
lahir dari seorang ibu yang menderita LES pada saat hamil. Untuk menegakkan
diagnosa LEN, The Research Registry for Neonatal Lupus memberikan dua
kriteria sebagai berikut :
1. Adanya antibodi 52 kD SSA/Ro, 60 kD SSA/Ro atau 48 kD SSB/La pada serum
ibu.
2. Adanya blok jantung atau ras pada kulit neonatus.
Kelainan konduksi jantung/blok jantung kongenital ditemukan 1 diantara 20 000
kelahiran hidup (0,005%), tergantung dari adanya anti SSA/Ro atau anti SSB/La.
Apabila antibodi tersebut ditemukan pada penderita LES maka risiko bayi
mengalami blok jantung kongenital berkisar antara 1,5% sampai 20%
dibandingkan bila antibodi tersebut tidak ada yaitu sekitar 0,6% dengan
distribusi yang sama antara bayi laki dan wanita. Patogenesis blok jantung
kongenital neonatus pada penderita LES dengan anti SSA/Ro dan Anti SSB/La
positip belum jelas diketahui. Mekanisme yang dipercaya saat ini adalah adanya
transfer antibodi melalui plasenta yang terjadi pada trimester ke dua yang
menyebabkan trauma imunologik pada jantung dan sistem konduksi jantung
janin. Sekali terjadi tranfer antibodi ini maka kelainan yang terjadi bersifat
menetap dan akan manifes pada saat bayi lahir. Usaha untuk menghentikan
transfer antibodi ini ke janin seperti pemberian kortiokosteroid, gammaglobulin
intravenus atau plasmaparesis telah gagal mencegah kejadian blok jantung
kongenital neonatal. Oleh karena itu pemeriksaan antibodi ini sangat penting
untuk seorang ibu yang menderita LES dan ingin hamil.23
krem pelindung sinar matahari, baju lengan panjang, topi atau payung bila akan
berjalan dibawah sinar matahari. Karena infeksi mudah terjadi maka penderita
juga dinasehatkan agar memeriksakan diri bila mengalami demam. Pada
penderita yang akan menjalani prosedur infasif diberikan antibiotika profilaksis.
Modalitas utama pengobatan LES adalah pemberian kortikosteroid, anti inflamasi
non steroid, aspirin, anti malaria dan imunosupresan.
A. Masa pra kehamilan
Idealnya wanita dengan LES yang ingin hamil harus terlebih dahulu menjalani
konseling pra kehamilan. Pada saat itu harus dijelaskan masalah obstetri yang
akan timbul jika wanita tersebut hamil, termasuk risiko kematian janin,
persalinan preterm, preeklampsi dan gangguan pertumbuhan janin. Perhatian
khusus juga diberikan terhadap kemungkinan timbulnya sindroma antifosfolipid
dan lupus neonatal. Penderita yang hendak hamil harus berada dalam fase
remisi dan tidak sedang menggunakan obat-obatan sitotoksik dan OAINS
sebelum terjadi konsepsi, juga harus dinilai apakah penderita menderita anemia,
trombositopenia, penyakit ginjal dan antibodi antifosfolipid.5,15,16,17
B. Prenatal
Penderita LES yang hamil harus melakukan pemeriksaan ke ahli kebidanan setiap
2 minggu pada trimester satu dan dua, dan setiap minggu setelahnya. Pada
setiap kunjungan, penderita harus dianamnesis mengenai gejala atau tanda
aktivitas LES. Penatalaksanaan optimal tidak harus memerlukan evaluasi
serologis untuk hipokomplementania, kompleks imun yang bersirkulasi atau
sekadar autoantibodi, selama penderita asimtomatik.5
Modalitas utama dalam pengobatan LES adalah penggunaan kortikosteroid, obat
antiinflamasi non steroid (OAINS), aspirin, antimalaria dan imunosupresan. Akan
tetapi
Pada wanita hamil yang hanya menunjukkan gejala konstitusional yang ringan
atau yang tidak menunjukkan keterlibatan organ vital, misalnya arthritis, ruam
kulit ataupun alopesia umumnya hanya memerlukan terapi prednison oral 5-15
mg/hari. Untuk penderita yang mengalami demam, serositis, flebitis dan miositis,
dapat diberikan prednison 15-45 mg/hari, Untuk pengobatan kelainan organ vital
yang aktif seperti nefritis dan selebritis, diperlukan prednison oral dosis tinggi
sebesar 1mg/kg/bb/hari atau 60-80 mg/hari. Untuk penderita yang tidak
memberikan respon dapat diberikan metilprednisolon 100 mg intravena setiap 48 jam. Jika 24-48 jam keadaan tidak membaik, maka dosis metilprednisolon
dapat ditingkatkan sampai 25-100% dari dosis awal. Pada keadaan dimana
terdapat kegawatan dimana efek sistemik yang berat dapat diberikan steroid
dengan dosis yang sangat tinggi dalam waktu singkat. Cara ini dikenal sebagai
pulse steroid therapy, walaupun umumnya efektif tetapi cara ini akan
memberikan efek samping yang berbahaya. Steroid dosis tinggi juga diberikan
pada penderita LES yang akan menjalani seksio sesaria, dapat diberikan
metilprednisolon intravena sampai 48 jam pasca operasi untuk kemudian
dilakukan tapering off.5,13,18
2. Salisilat dan OAINS
Pemakaian OAINS atau aspirin dihindari beberapa minggu sebelum persalinan.
Hidroksiklorokuin juga sering dipakai dalam pengobatan LES dan sampai saat ini
pemakaian obat ini cukup aman untuk wanita hamil. Kehamilan yang
direncanakan merupakan pilihan yang paling baik untuk penderita LES yang
masih menginginkan kehamilan. Kehamilan direkomendasikan setelah 6 bulan
remisi. Pada kunjungan pertama antenatal dilakukan pemeriksaan lengkap tanpa
memandang kondisi klinis pasien yang meliputi, pemeriksaan darah lengkap,
panel elektrolit, fungsi liver, fungsi ginjal, urinalisis, antibodi anti DNA, anti bodi
anti kardiolipin, antikoagulan Lupus, C3, C4 dan Anti SSA/R0 dan Anti SSB/La.
Pemeriksaan laboratorium tersebut diulang tiap trimester, apabila antti SSA/Ro
dan Anti SSB/La positif maka dilakukan pemeriksaan ekokardiografi janin pada
usia kehamilan 24-26 minggu untuk mendeteksi adanya blok janin kongenital.
Apabila ditemukan adanya blok jantung janin kongenital maka diberikan
dexametason 4 mg per-oral/hari selama 6 minggu/sampai gejala menghilang
kemudian dosis diturunkan sampai lahir. Pemilihan kontrasepsi yang efektif dan
aman merupakan hal yang sangat penting dalam penanganan penderita LES
pasca persalinan. Kadar estrogen dalam kontrasepsi oral yang melebihi 20-30
ugr/hari dapat mencetuskan LES. Risiko tromboemboli pada penderita LES yang
memakai
XII. PROGNOSA
A. Terhadap kehamilan
Terjadi peningkatan morbiditas dan mortalitas pada janin, terjadi abortus rekuren
dan kematian janin. Kini telah ditmukan bukti bahwa prognosa bisa diperbaiki
dengan pemberian aspirin dosis rendah ( sekitar 75 mg ) diberikan bersama
dengan prednison 20-80 mg perhari. Gant(1986) melaporkan peningkatan bayi
lahir hidup dari 6 menjadi 80 persen dengan pengobatan tersebut Lubbe(1985)
menganjurkan pengobatan hanya diberikan pada wanita dengan riwayat
kematian janin.
B. Terhadap ibu
Sebelum tahun 1950, SLE merupakan penyakit yang fatal. Pemakaian preparat
kortikosteroid merupakan pengobatan pertama yang memberikan hasil baik
pada penyakit ini. Pemakaian kortikosteroid yang lebih teratur dan terencana,
pemakaian obat imunosupresif, dan penggunaan antibiotic, antihipertensi,
dialysis serta transplatasi ginjal lebih memperpanjang survival rate lagi. Survave
rate 5 tahun sebersar 50 % pada tahun 1954 menjadi 95% pada tahun 1976.
Angka ini tidak banyak berubah sampai sekarang . Kematian paling sering terjadi
karena komplikasi pada ginjal dan susunan saraf pusat.
XIII. KESIMPULAN
Etiologi dari LES bersifat multifaktor dan patogenesisnya sangat komplek.
Gejalanya meliputi multi organ. Dibidang obstetri penyakit ini penting,
dikarenakan dapat menyebabkan serangkaian kelainan berupa kematian janin,
persalinan prematur dan gangguan pertumbuhan janin. Penangganan LES dalam
kehamilan meliputi konseling pra konsepsi dan prenatal. Penderita dengan LES
dimungkinkan untuk hamil asalkan penyakit dalam keadaan tenang.
XIV. DAFTAR PUSTAKA
12. Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap III LC, Hauth JC, Wenstrom KD,
William obstetrics. 20st ed . New York-Chicago-San Fransisco: Mc Graw-Hill,
1997:1239-44
13. Isbagio H, Kasjmir YI. Manifestasi klinis penyakit lupus eritematosus sistemik.
Simposium Nasional I Sistemic Lupus erythematosus Jakarta,1995
14. Daud R, Wibowo N, Akib AA. Lupus eritematosus sistemik pada kehamilan.
Maj Kedok Indones 1996; 46; 375-376
15. Daud R, Wibowo N, Akib AA. Sistemic lupus eryhematosus pada kehamilan.
Simposisum Nasonal I syatemic Lupus Erythematosus, Jakarta, 1995
16. Handono K, Kalim H, Hidayat A, Proprsi antibodi antifosfolopid pada penderita
abortus berulang di RSUD Dr. saiful anwar ,malang. Simposium Nasional I
sistemic Lupus erythematosus, Jakarta 1995
17. Ames RRJ, Hughes GRV. Antiphospholipid antibodi syndrome : clinical and
therapeutic aspects. Rheumatology Highlights. XIIIth European Congress of
Rheumatology. 1995
18. Ritonga P, Jacoeb TZ. Lupus eritematosus sistemik dalam obstetri dan
ginekologi. Maj Obstet Ginekol Indones 1996; 4; 241-242
19. Hahn BH, Management of sistemic lupus erythematosus. In: Kelley WN, Harris
ED, ruddy S, Sledge CB. Textbook of rheumatology 2nd ed. Philadelphia: W.B.
Saunders Company, 1985;1040-56
20. Talal N. The etiology of sistemic lupus erytematosus, In: Dubois EL. Duboiss
Lupus Erythematosus 4th ed. Philadelphia: Lea and Febinger, 1987;39-43
21. Mackay IR. Autoimmunity in relation to lupus erythematosus. In. Dubois EL,
Duboiss lupus Erythematosus 4th ed, Philadelphia: Lea and Febenger, 1987;4452
22. In: Dubois EL. Duboiss Lupus Erytematosus 4th ed. Philadelphia: Lea and
febinger, 1987;15-32
23. Anak Agung Ngurah Jaya Kusuma. Lupus Eritematosus Sistemik pada
Kehamilan. 170 J Peny Dalam, Volume 8 Nomor 2 Mei 2007
24. Clowse MEB, Jamison M, Myers E, et al. Sebuah studi nasional dari komplikasi
lupus dalam kehamilan. Am J Obstet Gynecol 2008;. 199:127 e1-127.e6.
25. Megan EB Clowse , Laurence S. Magder dan Michelle Petri. Klinik Utilitas
Pengukuran Pelengkap dan Anti-dsDNA Antibodi Selama Kehamilan pada