Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN
Sepsis merupakan respons sistemik terhadap infeksi dimana pathogen atau toksin
dilepaskan ke dalam sirkulasi darah sehingga terjadi aktivitas proses inflamasi. Infeksi dapat
disebabkan oleh virus, bakteri, fungi atau riketsia. Sepsis merupakan proses infeksi dan inflamasi
yang kompleks dimulai dengan rangsangan endo atau eksotoksin terhadap sistem imunologi,
sehingga terjadi aktivasi makrofag, sekresi berbagai sitokin dan mediator, aktivasi komplemen
dan netrofil, sehingga terjadi disfungsi dan kerusakan endotel, aktivasi sistem koagulasi dan
trombosit yang menyebabkan gangguan perfusi ke berbagai jaringan dan disfungsi/kegagalan
organ multipel.
Sepsis, syok sepsis, dan kegagalan multipel organ (MOF) mengenai hampir 750. 0000
penduduk di Amerika Serikat dan menyebabkan kematian sebanyak 215.000 orang. Sepsis,
sepsis berat dan syok sepsis memiliki angka kematian yang tinggi pada orang dewasa dan dan 24
39 % kasus terjadi di rumah sakit. Angka mortalitas sepsis di Indonesia tinggi. Di RSUP Dr.
Kariadi Semarang menurut penelitian terbaru yaitu pada periode waktu tahun 2004 sampai 2005
didapatkan hasil positif tumbuhnya kuman pada kultur darah pasien sepsis sebanyak 35,5 %.
Sepsis masih menjadi penyebab utama kematian di sejumlah Intensive Care Unit (ICU). Selama
Januari 2006-Disember 2007 di bagian PICU/NICU Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi
Surakarta, terdapat angka kejadian sepsis 33,5% dengan tingkat mortalitas sebesar 50,2%.

Tujuan penanganan syok tahap awal adalah mengembalikan perfusi dan oksigenasi
jaringan dengan mengembalikan volume dan tekanan darah. Pada syok tahap lebih lanjut,
pengembalian perfusi jaringan saja biasanya tidak cukup untuk menghentikan perkembangan
peradangan sehingga perlu dilakukan upaya menghilangkan faktor toksik yang terutama
disebabkan oleh bakteri. Selama beberapa dekade albumin telah diberikan kepada pasien sepsis
terutama sepsis yang berat guna memberikan tekanan volum intravaskular dan tekanan onkotik
yang memadai.
Pada beberapa kondisi albumin memang sangat dianjurkan diberikan kepada pasien
sepsis terutama pada pasien dengan kadar albumin yang rendah, pemberian albumin dianjurkan
oleh UK National Institute for Health and Care Excellence (NICE) and the Surviving Sepsis
1

Campaign (GRADE 2C), dan pada penelitian SAFE (Saline vs Albumin Fluid Evauation )
menyatakan penggunaan albumin dapat memperbaiki kerusakan endotel namun tidak ada
perbedaan bermakna antara terapi dengan albumin maupun dengan kristaloid.
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan diatas maka rumusan
masalahnya yaitu bagaimana efektifitas penggunaan albumin pada pasien dengan sepsis?
1.3. Tujuan
a) Mengetahui secara umum tentang sepsis
b) Mengetahui tujuan, manfaat, dan indikasi pemberian albumin
c) Mengetahui efektifitas pemberian albumin pada pasien sepsis
1.4. Manfaat
a. Manfaat Teoritis
Sebagai sumber pengetahuan khususnya di bidang kedokteran tujuan dan manfaat
albumin dalam penanganan sepsis
b. Manfaat Praktis
Sebagai sarana untuk mengembangkan pengetahuan dalam pertimbangan pemakaian
albumin berdasarkan efektifitas dan kebutuhan pasien

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 SEPSIS
2.1.1 Pengertian Sepsis
Sepsis adalah suatu sindroma klinik yang terjadi oleh karena adanya respon tubuh yang
berlebihan terhadap rangsangan produk mikroorganisme. Ditandai dengan panas, takikardia,
takipnea, hipotensi dan disfungsi organ berhubungan dengan gangguan sirkulasi darah.
Untuk mencegah timbulnya kerancuan, disepakati standardisasi terminologi. Pada bulan
Agustus

1991,

telah

dicapai

konsensus

yang

dihasilkan

American

College

of

Chest

Physicians/Society of Critical Care Medicine beberapa pengertian tersebut di bawah ini:


1) Infeksi : respon inflamasi akibat adanya miroorganisme yang secara normal pada jaringan
tersebut seharusnya steril.
2) Bakteriemi : adanya bakteri hidup dalam darah
3) Systemic Inflammatory Response Syndrome (sindroma reaksi inflamasi sistemik= SIRS),
merupakan reaksi inflamasi masif sebagai akibat dilepasnya berbagai mediator secara
sistemik yang dapat berkembang menjadi disfungsi organ atau Multiple Organ Dysfunction
(MOD) disertai dengan lebih dari satu manifestasi klinis berupa:

Hipertemi/ hipotermi Suhu > 38C atau < 36

Tachycardia > 90 denyut /menit


Tachypneu respirasi >20/menit atau PaCO2 < 32 mmHg
Hitung leukosit > 12.000/mm2 atau > 10% sel imatur

Biomarker sepsis adalah prokalsitonin (PcT); Creactive Protein (CrP) (tambahan


pada konferensi tahun 2001)

Sepsis adalah SIRS yang disebabkan oleh infeksi. Biakan darah tidak harus positif atau tidak
harus terdapat bakteremia. Bakteremia bersifat akut atau sepintas.

2.1.2

Epidemiologi
Dalam kurun waktu 23 tahun yang lalu bakterimia karena infeksi bakteri gram negatif di

AS yaitu antara 100.000-300.000 kasus pertahun, tetapi sekarang insiden ini meningkat antara
300.000-500.000 kasus pertahun. Shock akibat sepsis terjadi karena adanya respon sistemik pada
infeksi yang seirus. Walaupun insiden shock sepsis ini tak diketahui namun dalam beberapa
tahun terakhir ini cukup tinggi Hal ini disebabkan cukup banyak faktor predisposisi untuk
terjadinya sepsis antara lain diabetes melitus, sirhosis hati, alkoholisme, leukemia, limfoma,
keganasan, obat sitotoksis dan imunosupresan, nutrisi parenteral dan sonde, infeksi traktus
urinarius dan gastrointestinal. Di AS syok sepsis adalah penyebab kematian yang sering di ruang
ICU.
2.1.3

Etiologi Syok Septic


Shock sepsis dapat disebabkan oleh infeksi bakteri gram negatif 70% (pseudomonas

auriginosa, klebsiella, enterobakter, echoli, proteus). Infeksi bakteri gram positif 20-40%
(stafilokokus aureus, stretokokus, pneumokokus), infeksi jamur dan virus 2-3% (dengue
hemorrhagic fever, herpes viruses), protozoa (malaria falciparum). Sedangkan pada kultur yang
sering ditemukan adalah pseudomonas, disusul oleh stapilokokus dan pneumokokus. Shock
4

sepsis yang terjadi karena infeksi gram negatif adalah 40% dari kasus, sedangkan gram positif
adalah 5-15% dari kasus.
Penyebab terbesar sepsis adalah bakteri gram (-)

yang memproduksi endotoksin

glikoprotein kompleks sedangkan bakteri gram (+) memproduksi eksotoksin yang merupakan
komponen utama membran terluar dari bakteri menghasilkan berbagai produk yang dapat
menstimulasi sel imun. Sel tersebut akan terpacu untuk melepaskan mediator inflamasi. Produk
yang berperan penting terhadap sepsis adalah lipopolisakarida (LPS).
LPS merangsang peradangan jaringan, demam dan syok pada penderita yang terinfeksi.
Struktur lipid A dalam LPS bertanggung jawab terhadap reaksi dalam tubuh penderita. LPS
endotoksin gram (-) dinyatakan sebagai penyebab sepsis terbanyak, dia dapat langsung
mengaktifkan sistme imun selular dan humoral, yang dapat menimbulkan perkembangan gejala
septikemia. LPS sendiri tidak mempunyai sifat toksik tetapi merangsang pengeluaran mediator
inflamasi yang bertanggung jawab terhadap sepsis. Makrofag mengeluarkan polipeptida, yang
disebut faktor nekrosis tumor (Tumor necrosis factor /TNF) dan interleukin 1 (IL-1), IL-6 dan
IL-8 yang merupakan mediator kunci dan sering meningkat sangat tinggi pada penderita
immunocompromise (IC) yang mengalami sepsis.
2.1.4 Tahapan Sepsis
1. Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS),
SIRS ditandai dengan 2 gejala sebagai berikut:
a) Hyperthermia/hypothermia (>38,3C; <35,6C)
b) Takipnea (resp >20/menit)
c) Tachycardia (nadi >100/menit)
d) Leukositosis >12.000/mm atau Leukopenia <4.000/mm
e) >10% cell imature
2. Sepsis : Infeksi disertai SIRS
3. Sepsis Berat : Sepsis yang disertai MODS/MOF, hipotensi, oliguria bahkan anuria.
4. Sepsis dengan hipotensi : Sepsis dengan hipotensi (tekanan sistolik <90 mmHg atau
penurunan tekanan sistolik >40 mmHg).
5. Syok septik
Syok septik adalah subset dari sepsis berat, yang didefinisikan sebagai hipotensi yang diinduksi
sepsis dan menetap kendati telah mendapat resusitasi cairan, dan disertai hipoperfusi jaringan.
Perbedaan Sindroma Sepsis dan Syok Sepsis
Sindroma sepsis
Syok Sepsis
5

Takipneu, respirasi 20x/m

Sindroma sepsis ditambah dengan

Takikardi 90x/m

gejala:

Hipertermi 38 C

Hipotensi 90 mmHg

Hipotermi 35,6 C

Tensi menurun sampai 40 mmHg dari

Hipoksemia

baseline dalam waktu 1 jam

Peningkatan laktat plasma

Membaik dengan pemberian cairan

Oliguria, Urine 0,5 cc/kgBB dalam 1 jam

dan penyakit shock hipovolemik, infark


miokard dan emboli pulmonal sudah
disingkirkan

2.1.5 Faktor Resiko Sepsis


1. Umur
- Pasien yang berusia kurang dari 1 tahun dan lebih dari 65 tahun
2. Pemasangan alat invasive
- Venous catheter
- Arterial lines
- Pulmonary artery catheters
- Endotracheal tube
- Tracheostomy tubes
- Intracranial monitoring catheters
- Urinary catheter
3. Prosedur invasive
- Cystoscopic
- Pembedahan
4.
5.
-

Medikasi/Therapeutic Regimens
Terapi radiasi
Corticosteroids
Oncologic chemotherapy
Immunosuppressive drugs
Extensive antibiotic use
Underlying Conditions
Poor state of health
Malnutrition
Chronic Alcoholism
Pregnancy
Diabetes Melitus
6

Cancer
Major organ disease cardiac, hepatic, or renal dysfunction

2.1.6 Patofisiologi
Respon inflamasi sistemik timbul bila benda asing di dalam darah atau jaringan diketahui
oleh tuan rumah. Respon ini bertujuan untuk menetralisir mikroorganisme dan produknya sampai
bersih, tetapi dapat terjadi efek negative pada tuan rumah, terutama kerusakan jaringan. Sitokin
proinflamasi dan antiinflamasi yang diaktifkan di ruang intravascular melalui kehadiran material
mikroba mempunyai efek merusak. Respon inflamasi yang berlebihan berperan terhadap
gangguan hemodinamik dan iskemia jaringan dan berakhir sebagai multiple organ dysfunction.
Patofisiologi sepsis adalah complex karena memberikan efek pada hemodinamik. Faktor
koagulasi, respon kekebalan, dan proses metabolik berkaitan dengan serangkaian reaksi biokimia
yang distimulasi mediator endogen. Produksi mediator endogen dirangsang oleh endotoksin,
suatu lipopolisakarida yang merupakan bagian dari dinding sel bakteri gram-negatif.
Endotoksin dilepaskan dan memulai kegiatannya setelah bakteri telah dihancurkan oleh
sistem kekebalan tubuh inang atau dengan terapi antibodi. Oleh karena itu, sepsis dapat terjadi
meskipun bakteri tidak lagi beredar pada sirkulasi intravaskular. Bakteri Gram positif tidak
menghasilkan endotoksin. Namun, mediator kimia endogen dari respon sepsis diaktifkan dalam
gram sepsis positif. bakteri Gram positif, jamur dan virus dapat menghasilkan respon inflamasi
sistemik yang mirip dengan sepsis gram negatif, walaupun biasanya tidak parah.
Meskipun tidak adanya endotoksin dalam beberapa bentuk sepsis, efek endotoksin dapat
digunakan sebagai model untuk menjelaskan perubahan physiologyc terlihat pada SIRS, sepsis
dan syok septik.
Pengaruh endotoksin
Endotoksin mengaktifkan jalur klasik dan alternatif. C3a dan C5a adalah produk utama
komplemen protein yang diproduksi. Mediator ini menghasilkan vasodilatasi melalui pelepasan
histamin dan meningkatkan permeabilitas kapiler, yang menyebabkan perpindahan cairan ke
interstisial.
Perpindahan

cairan ke interstisial juga disebabkan oleh vasodilatasi dan perubahan

permiabelitas yang disebabkan oleh endotoksin / reaksi mediator lain. Contoh bradikinin,
7

prostaglandin, dan leukotrien metabolisme. Perpindahan cairan dari intravaskuler ke ruang


interstisial menyebabkan terjadinya hypovolemia, penurunan perfusi jaringan, dan hipoksia
jaringan.
Perfusi jaringan juga berkurang melalui pembentukan emboli dalam mikrosirkulasi.
Koagulasi dipicu oleh endotoksin, dengan mengaktifkan jalur koagulasi intrinsik , melalui faktor
Hageman. Koagulasi lebih lanjut disebabkan oleh komplemen / platelet prostaglandin dengan
meningkatkan platelet aggregation dan aktivasi platelet factor. platelet factor diproduksi dan
distimulasi oleh faktor lain Tumor nekrosis mediator endogen (TNF, cachectin). Proses biokimia
yang diaktivasi oleh endotoksin digambarkan pada tabel 1.
Tabel 1
Proses Biokimia yang dipacu oleh endotoksin dalam sepsis dan SIRS
Proses
Mediator
Aktivasi jalur klasik dan C3a dan C5a
alternatif

Efek
Vasodilatasi
Peningkatan permeabelitas
kapiler
Aktivasi histamine
Kemotaksis oleh leukosit
Platelet agregasi
Aktivasi intrinsic koagulasi Hageman factor (factor XII) Koagulasi intravaskular
Aktivasi kallikreinBradikinin
Vasodilatasi
bradikinin
Peningkatan permeabelitas
kapiler
Aktivasi
metabolism Prostaglandin
Vasodilatasi
arachidonic acid
Leukotrien
Peningkatan permeabelitas
kapiler
Platelet agregasi
Bronkokonstriksi
Depressi myokardial
Produksi Makrofag oleh Tumor
nekrosis
factor Intravascular koagulasi
sitokin
(TNF)
Neutrofil agregasi
Interleukin 1
Menimbulkan
perusakan
dan fagosit endotel sel dan
adesi oleh Pmn
Menghasilkan
proteolitik
enjim
Penurunan aktivitas lipase
Demam
Pengeluaran
hormone Endorphin, ACTH
Vasodilatasi
pituitari
Hipotensi
8

Hiperglikemia
Sumber : Bone,RC
Tumor necrosis factor
TNF dianggap sebagai mediator utama pada sepsis dan SIRS. Endotoksin merangsang
makrofag untuk menghasilkan TNF dan sitokin lainnya, seperti interleukin 1, interferon dan
interleukin 6. TNF memiliki efek langsung dan juga menguatkan reaksi mediator lainnya, seperti
cascade koagulasi dan produksi leukotriene.
TNF secara langsung meracuni sel-sel endotel. Selain itu, kerusakan sel juga meningkat
akibat aktivasi TNF pada sel polymorphonuclear (PMNs), melalui phagocytize sel endotel, dan
melalui pelepasan TNF promored enzim proteolitik. TNF juga terlibat dalam metabolisme
derangements. Hal ini berkaitan dengan hubungan TNF dengan penurunan aktivitas lipase
dengan mencegah penyerapan dan penyimpanan triglyserides.
Efek metabolik
Beberapa penyimpangan metabolik terlihat selama respon septik. Hypermetabolic,
Hiperglikemi, katabolik terjadi sebagai akibat dari respon stres (rilis cathecolamine), endotoksin
menstimulasi adrenocoticotropic hormon (ACTH) rilis dan TNF menyebabkan penurunan
aktivitas enzim lipase. Glukosa, lemak. dan metabolisme protein berubah. Serum glukosa
meningkat terkait dengan peningkatan produksi glukosa hepatik dan resistensi insulin perifer.
Lypolisis dan katabolisme Protein ditinagkatkan. katabolik, ditambah dengan perfusi terganggu
dan hipoksia jaringan, berkontribusi terhadap kerusakan sel dan organ.
Empat perubahan patofisiologi yang utama terjadi pada syok septik adalah, depresi
miokard,

vasodilatasi

masif,

maldistribution

volume

intravaskuler

dan

pembentukan

microemboli (gambar 1). Depresi miokard terjadi bila kekuatan kontraksi ventrikel menurun
akibat dari mediator biokimia, termasuk yang terlibat di dalamnya adalah faktor depresi miokard,
endotoksin, tumor nekrosis faktor, endorfin, produk komplemen dan leukotrien. vasodilatasi
masif dan meningkatnya permeabilitas kapiler menyebabkan menurunnya jumlah darah kembali
ke jantung (preload). Penurunan afterload karena vasodilatasi terjadi akibat pelepasan mediator
seperti bradikinin, endorphions, produk komplemen, histamin dan prostaglandin. Meskipn
volume plasma normal pada fase awal syok septik, akan menjadi maldistributed selama shock
9

berlangsung karena peningkatan permeabilitas kapiler, vasokonstriksi selektif, dan oklusi


vaskuler. Peningkatan permeabilitas kapiler memungkinkan protein dan cairan bergeser ke
kompartemen interstisial dan intacellular. Tetapi tidak semua vaskular vasodilatasi. Stimulasi
sistem saraf simpatik dan prostaglandin dan mediator biokimia lainnya menyebsdabkan
vasokonstriksi selektif dalam sirkulasi paru, ginjal, dan splancnic.
Aktivasi dari sistem pembekuan dan agregasi neutrofil menyebabkan pembentukan
microemboli yang kemudian menutupi pembuluh darah kecil, menyebabkan beberapa jaringan
vaskular untuk menerima darah lebih dari yang mereka butuhkan, sementara yang lain menerima
terlalu sedikit. Maldistribution darah ini menyebabkan hipoksia dan kurangnya dukungan gizi ke
beberapa daerah, menyebabkan disfungsi seluler yang akhirnya menyebabkan kematian sel.

ENDOTOXIN

Production, Release and/or activation of endogenous Mediators

Vasodilation

Capillary

Gambar
2. Patofisiologi sepsis
Permiability
Clotting
Cascade

Platelet
Aggregation
Shunting of Fluids
intravascular to Interstitial

ENDOTO
XIN
Production,
Release
and/or activation of
Intravascular Microemboli
endogenous Mediators

Distributional Hypovolemia

Vasodilati
on

Capillary
Permiab
Shunting of Fluids
ility
Decreased
intravascular
to Tissue
Distributional
Perfusion
Interstitial
Hypovolemia

Hypermetobolism &
Platelet
Aggregat
ion

Decreased
Lactic Acidosis
Tissue
Lactic
Perfusion
Acidosis
Cellular
Cellular Death
Death
Multiple Organ
Failure
Deat
Multiple Organ Failureh

Death

Clottin

g
Casca
Intravascular de
Microemboli

Metabolic
Derangements

Hypermetobolis
Catabolism of
m Protein
& Metabolic
Derangements
Catabolism
of Protein

Direct Endothelial
Cell Damage
Direct
Endothelial
Cell Damage

10

Tahap awal menuju syok septik dicirikan oleh fase hiperdinamik atau hangat sebagai
mekanisme kompensasi diaktifkan. Selama fase ini, vasodilatasi besar terjadi di pembuluh vena
dan arteri, menyebabkan penurunan resistensi vaskuler sistemik. Dilatasi vena menurunkan arus
vena kembali ke jantung dan menurunkan preload. Dilatasi arteri menurunkan afterload.
vasodilatasi ini menyebabkan penurunan tekanan darah, tekanan nadi melebar dan hangat, kulit
flused. peningkatan denyut jantung merupakan kompensasi untuk mengimbangi hipotensi,
peningkatan asidosis metabolik, terstimulasinya sistem saraf simpatik, dan adrenal. ventilasi /
perfusi yang tidak seimbang terjadi di paru-paru sebagai akibat dari vasokonstriksi paru sehingga
frekuensi napas akan meningkat untuk mengimbangi hipoksemia tersebut. Crackles terjadi
karena permeabilitas kapiler membran paru meningkat sehingga menyebabkan edema paru.
Hasil penilaian gas darah arteri menunjukkan alkalosis pernafasan, asidosis metabolik, dan
hipoksemia. Tingkat kesadaran menurun, pasien menjadi disorientasi, bingung, agresif, atau lesu.
Suhu tubuh pasien meningkat sebagai

reaksi terhadap phyrogen

yang dibebaskan oleh

mikroorganisme yang menyerang. Ketika proses syok septik terus berlangsung, kondisi pasien
memburuk dan masuk ke dalam fase hypodynamic, dengan penurunan output jantung dan
hipotensi. Hasil dari fase kegagalan ventrikel yang disebabkan oleh hipoksemia miokard, akibat
faktor depresan miokardial, dan asidosis, untuk menghasilkan peningkatan afterload. Takikardia
terjadi karena tubuh berusaha untuk mengkompensasi penurunan output jantung dan hipotensi.
vasokonstriksi perifer menyebabkan peningkatan tekanan resistensi vaskular sistemik untuk
mengimbangi penurunan tekanan darah . Kulit pasien menjadi pucat, dingin dan lembap. Pada
11

Tabel 2, mencantumkan gejala dan temuan klinis yang terlihat pada syok hiperdinamik dan syok
hipodinamik.
Tabel 2.Manifestasi klinis syok sepsis
Syok Hiperdinamik
Hipotensi

Syok hipodinamik
Hipotensi

Takikardia

Takikardia

Takipnea (inspirasi dalam)

Takipnea (inspirasi dangkal)

Alkalosis respiratorik

Asidosis metabolic

Curang jantung tinggi, TVS Curah

jantung

rendah,

rendah

tinggi

Kulit hangat, kemerahan

Kulit dingin, pucat

Hyperthermia/hypothermia

Hypothermia

Perubahan status mental

Status mental memburuk

Poliuria

Disfungsi

organ

dan

TVS

selular

(oliguria, KID, ARDS)


Sel darah putih meningkat

Sel darah putih menurun

Hiperglikemia

Hipoglikemia

Sa O2 80%

Sa O2 < 60%

2.1.7 Manifestasi Klinik Sepsis


1. Manifestasi Kardiovaskular
a. Perubahan sirkulasi
Karakteristik hemodinamik utama dari syok septic adalah rendahnya tahanan vaskular
sitemik (TVS) ,sebagian besar karena vasodilatasi yang terjadi Sekunder terhadap efek-efek
berbagai mediator ( prostaglandin, kinin, histamine dan endorphin). Mediator-mediator yang
sama tersebut juga dapat menyebabkan meningkatnya permeabelitas kapiler, mengakibatkan
berkurangnya volume intravascular menembus membrane yang bocor, dengan demikian
mengurangi volume sirkulasi yang efektif. Dalam berespon terhadap penurunan TVS dan volume
yang bersirkulasi, curah jantung (CJ), biasanya tinggi tetapi tidak mencukupi untuk

12

mempertahankan perfusi jaringan dan organ. Aliran darah yang tidak mencukupi sebagian
dimanifestasikan oleh terjadinya asidemia laktat.
Dalam hubungnnya dengan vasodilatasi dan TVS yang rendah, terjadi maldistribusi aliran
darah. Mediator-mediator vasoaktif yang dilepaskan oleh sistemik menyebabkan vasodilatasi
tertentu dan vasokonstriksi dari jaringan vascular tertentu, mengarah pada aliran yang tidak
mencukupi ke beberapa jaringan sedangkan jaringan lainnya menerima aliran yang berlebihan.
Selain itu terjadi respon inflamasi massif pada jaringan, mengakibatkan sumbatan kapiler karena
adanya agregasi leukosit dan penimbunan fibrin, dan berakibat kerusakan organ dan endotel yang
tidak dapat pulih.
b. Perubahan miokardial
Kinerja miokardial mengalami gangguan, dalam bentuk penurunan fraksi ejeksi
ventricular dan juga gangguan kontraktilitas. Factor depresan miokardial, yang berasal dari
jaringan pankreatik iskemik, adalah salah satu penyebabnya. Terganggunya fungsi jantung juga
diakibatkan oleh keadaan metabolic abnormal yang diakibatkan oleh syok, yaitu adanya asidosis
laktat, yang menurunkan responsivitas terhadap katekolamin.
Dua bentuk pola disfungsi jantung yang berbeda terdapat pada syok septic. Bentuk
pertama dicirikan dengan curah jantung yang tinggi dan TVS yang rendah, kondisi ini disebut
dengan syok hiperdinamik. Bentuk kedua ditandai dengan curah jantung yang rendah dan
peningkatan TVS disebut sebagai syok hipodinamik.

13

Gambar 2. Cardiovascular changes associated with septic shock and the effects of fluid
resuscitation.
A. Fungsi normal kardiovaskular, B. respon kardiovaskular pada syok septic, C.kompensasi
resusitasi cairan. (Sumber : Dellinger RP: Cardiovascular management of septic shock. Crit Care
Med 2003;31:946-955.)
B. Manifestasi Hematologi
Bakteri dan toksinnya menyebabkan aktivasi komplemen. Karena sepsis melibatkan
respon inflamasi global, aktivasi komplemen dapat menunjang respon-respon yang akhirnya
menjadi keadaan yang lebih buruk ketimbang melindungi.
Komplemen menyebabkan sel-sel mast melepaskan histamine. Histamine merangsang
vasodilatasi dan meningkatnya permeabelitas kapiler. Proses ini selanjutnya menyebabkan
perubahan sirkulasi dalam volume serta timbulnya edema interstisial.
Abnormalitas platelet juga terjadi pada syok septic karena endotoksin secara tidak
langsung menyebabkan agregasi platelet dan selanjutnya pelepasan lebih banyak bahan-bahan
vasoaktif (serotonin, tromboksan A). platelet teragregasi yang bersirkulasi telah diidentifikasi
pada mikrovaskular, menyebabkan sumbatan aliran darah dan melemahnya metabolism selular.
Selain itu endotoksin juga mengaktivasi system koagulasi, dan selanjutnya dengan menipisnya
factor-faktor penggumpalan, koagulapati berpotensi untuk menjadi koagulasi intravaskular
disemanata.
C. Manifestasi Metabolik
Gangguan metabolic yang luas terlihat pada syok septic. Tubuh menunjukkan
ketidakmampuan progresif untuk menggunakan glukosa, protein, dan lemak sebagai sumber
energy. Hiperglikemia sering dijumpai pada pada awal syok karena peningkatan glukoneogenesis
dan resisten insulin, yang menghalangi ambilan glukosa ke dalam sel. Dalam berkembangnya
syok, terjadi hipoglikemia karena persedian glikogen menipis dan suplai protein dan lemak
perifer tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan metabolic tubuh.
Pemecahan protein terjadi pada syok septic, ditunjukkan oleh tingginya eksresi nitrogen
urine. Protein otot dipecah menjadi asam-asam amino, yang sebagian digunakan untuk oksidasi
dsan sebagian lain dibawa ke hepar untuk digunakan pada proses glukoneogenesis. Pada syok
tahap akhir, hepar tidak mampu menggunakan asam-asam amino karena disfungsi metaboliknya,
dan selanjutnya asam amino tersebut terakumulasi dalam darah.
Dengan keadaan syok berkembang terus, jaringan adipose dipecah untuk menyediakan
lipid bagi hepar untuk memproduksi energi, metabolism lipid menghasilkan keton,yang
14

kemudian digunakan pada siklus kreb (metabolism oksidatif), dengan demikian menyebabkan
pembentukan laktat.
Pengaruh dari pada kekacauan metabolik ini menyebabkan sel menjadi kekurangan
energi. Deficit energi menyebabkan timbulnya kegagalan banyak organ Pada keadaan multiple
organ failure terjadi koagulasi, respiratory distress syndrome, payah ginjal akut, disfungsi
hepatobiller, dan disfungsi susunan saraf pusat seperti terlihat pada tabel 3 (Dobb, 1991).
Pada penelitian para ahli didapatkan bahwa tambah banyak disfungsi organ akan
meningkatkan angka mortalitas akibat sepsis. Pada susunan saraf pusat karena terganggunya
permeabelitas kapiler menyebabkan terjadinya odem otak peninggian tekanan intrakranial akan
menyebabkan terjadinya destruksi seluler atau nekrosis jaringan otak (Plum, 1983). Tetapi defisit
neurologik fokal dapat terjadi akibat
meningkatnya aggregasi platelet dan eritrosit sehingga menyumbat aliran darah serebral.
Sedangkan DIC dapat mengakibatkan terjadinya perdarahan intra serebral.

2. Manifestasi Pulmonal
Endotoxin mempengaruhi paaru-paru baik langsung maupun tidak langsung. Respon
pulmonal awal adalah bronkokonstriksi, mengakibatkan hipertensi pulmonal dan peningkatan
kerja pernapasan. Neutrofil teraktifasi dan menginviltrasi jaringan pulmonal dan vaskulatur,
menyebabkan akumulasi air ekstravaskular paru-paru (edema pulmonal). Neutrofil yang
teraktivasi menghasilkan bahan-bahan lain yang mengubah integritas sel-sel parenkim pulmonal,
mengakibatkan peningkatan permeabelitas. Dengan terkumpulnya cairan di interstisium,
komplians paru berkurang, terjadinya gangguan pertukaran gas dan terjadi hipoksemia.
2.1.8

Diagnosis
Diagnosis awal sepsis atau syok septik tergantung pada kepekaan dokter untuk menilai

pasien dengan dan tanda awal yang tidak spesifik seperti takipnnea, dispnea, takikardia dengan
keadaan hiperdinamik, vasodilatasi perifer, instabilitas tempratur, dan perubahan keadaan mental.
Keadaan seperti ini penting di perhatikan pada seperti pada wanita wanita dengan resiko tinggi
seperti pyelonefritis, korioamnionitis, endometritis, abortus septik, atau telah menjalani prosudur
operasi emergensi. Diagnosa dan penanganan awal ini sangat menentukan keberhasilan hidup
pasien.
15

Tanda yang tampak tergantung dari fase syok septik dan tipe kerusakan organ yang
terjadi, tetapi hipotensi selalu ditemukan. Kebanyakan pasien mengalami peningkatan temperatur
dan lekosit dengan pergeseran ke kiri, tetapi pada beberapa pasien terjadi penurunan temperatur
dan kadar leukosit dibawah normal. Sebagai akibat dari keadaan hiperdinamik jantung, terjadi
gejala gejala pada jantung seperti iskemia, gagal jantung kiri, atau aritmia. Konsekuansi klinik
dari DIC adalah perdarahan, trombosis dan hemolisis mikroangiopati. Karena pada syok sepsis
potensi terjadinya disfungsi ginjal dan hipovolemia, manifestasi klinik dapat berupa oligouria,
hematuria dan proteinuria.
Dalam hal membantu menegakkan diagnosa sepsis atau syok septik, selain melalui
pemeriksaan fisik, juga diperlukan pemeriksaan rongen dan kultur. Dua kuman yang sangat
virulen dengan angka mortalitas yang tinggi adalah Streptokokus pyogens ( group A streptokokus
) dan Clostridium Sordeli.

16

Tabel 3.
Kriteria Diagnosis Severe sepsis/Syokseptik
Variable Umum
Temperature >38.3 c atau < 36 c
HR > 90x/mnt
Takipnea
Penurunan status mental
Signifikan edema > 20 ml/kg dalam 24 jam
Hiperglikemia (>120 mg/dl) pada pasien non diabetes
Variabel inflamasi
WBC >12000,<4000 mm
C reaktif protein meningkat
Procalcitonin plasma meningkat
Variabel heodinamik
Sistolik BP <90 mmHg/
MAP < 70 mmHg
SVO2 > 70 %
Variabel perfusi jaringan
Laktat serum >1mmol/L
CRT> 2 detik
Variable gangguan organ
Pa O2/FiO2 <300
Urine output < 0,5 ml/kgbb/jam
Kreatinin > 0,5 mg/dl
INR> 1.5 atau aPTT>60 detik

Sumber : Levy MN et all:2001,Crit Care Med 31:1250,2003.

2.1.9

Penatalaksanaan Septic
Early goal directed treatment, merupakan tatalaksana syok septic, dengan pemberian

terapi yang mencakup penyesuaian beban jantung, preload, afterload dan kontraktilitas dengan
oxygen delivery dan demand. Protocol tersebut mencakup pemberian cairan kristaloid dan koloid
500 ml tiap 30 menit untuk mencapai tekanan vena sentral (CVP) 8-12 mmHg. Bila tekanan
arteri rata-rata (MAP) kurang dari 65 mmHg, diberikan vasopressor hingga >65 mmHg dan bila
MAP > 90 mmHg berikan vasodilator. Dilakukan evaluasi saturasi vena sentral (Scv O2), bila
ScvO2 <70 %, dilakukan koreksi hematokrit hingga di atas 30 %. Setelah CVP, MAP dan
hematokrit optimal namun scvO2 <70%, dimulai pemberian inotropik. Inotropik diturunkan bila
MAP < 65 mmHg, atau frekuensi jantung >120x/menit. (Gambar 2)
17

Gambar 3. Algoritma early goal directed therapy

Sumber : Rivers 2001

18

Gambar 4. Stepwise approach to sepsis and septic shock

Dalam melakukan evaluasi pasien sepsis, diperlukan ketelitian dan pengalaman dalam
mencari dan menentukan sumber infeksi, menduga patogen yang menjadi penyebab (berdasarkan
pengalaman klinis dan pola kuman di RS setempat), sebagai panduan dalam memberikan terapi
antimikroba empirik.
19

Penatalaksanaan sepsis yang optimal mencakup eliminasi patogen penyebab infeksi,


mengontrol sumber infeksi dengan tindakan drainase atau bedah bila diperlukan, terapi
antimikroba yang sesuai, resusitasi bila terjadi kegagalan organ atau renjatan. Vasopresor dan
inotropik, terapi suportif terhadap kegagalan organ, gangguan koagulasi dan terapi imunologi
bila terjadi respons imun maladaptif host terhadap infeksi.
1. Resusitasi
Mencakup tindakan airway (A), breathing (B), circulation (C) dengan oksigenasi, terapi
cairan (kristaloid dan/atau koloid), vasopresor/inotropik, dan transfusi bila diperlukan.
Tujuan resusitasi pasien dengan sepsis berat atau yang mengalami hipoperfusi dalam 6
jam pertama adalah CVP 8-12 mmHg, MAP >65 mmHg, urine >0.5 ml/kg/jam dan
saturasi oksigen >70%. Bila dalam 6 jam resusitasi, saturasi oksigen tidak mencapai 70%
dengan resusitasi cairan dengan CVP 8-12 mmHg, maka dilakukan transfusi PRC untuk
mencapai hematokrit >30% dan/atau pemberian dobutamin (sampai maksimal 20
g/kg/menit).
Banyak pasien syok sepsis terjadi penurunan volume intravaskuler, sebagai respon
pertama harus diberikan cairan jika terjadi penurunan tekanan darah. Untuk mencapai
cairan yang adekuat pemberian pertama 1 L-1,5 L dalam waktu 1-2 jam. Jika tekanan
darah tidak membaik dengan pemberian cairan maka perlu dipertimbangkan pemberian
vasopressor seperti dopamin dengan dosis 5-10 ug/kgBB/menit. Dopamin diberikan bila
sudah tercapai target terapi cairan, yaitu MAP 60mmHg atau tekanan sistolik 90-110
mmHg. Dosis awal adalah 2-5 mg/Kg BB/menit. Bila dosis ini gagal meningkatkan
MAP sesuai target, maka dosis dapat di tingkatkan sampai 20 g/ KgBB/menit. Bila
masih gagal, dosis dopamine dikembalikan pada 2-5 mg/Kg BB/menit, tetapi di
kombinasi dengan levarterenol (noreepinefrin). Bila kombinasi kedua vasokonstriktor
masih gagal, berarti prognosisnya buruk sekali. Dapat juga diganti dengan
vasokonstriktor lain (fenilefrin atau epinefrin).
2. Eliminasi sumber infeksi
Tujuan: menghilangkan patogen penyebab, oleh karena antibiotik pada umumnya tidak
mencapai sumber infeksi seperti abses, viskus yang mengalami obstruksi dan implan
prostesis yang terinfeksi. Tindakan ini dilakukan secepat mungkin mengikuti resusitasi
yang adekuat.
20

3. Terapi antimikroba
Merupakan modalitas yang sangat penting dalam pengobatan sepsis. Terapi antibiotik
intravena sebaiknya dimulai dalam jam pertama sejak diketahui sepsis berat, setelah
kultur diambil. Terapi inisial berupa satu atau lebih obat yang memiliki aktivitas
melawan patogen bakteri atau jamur dan dapat penetrasi ke tempat yang diduga sumber
sepsis. Oleh karena pada sepsis umumnya disebabkan oleh gram negatif, penggunaan
antibiotik yang dapat mencegah pelepasan endotoksin seperti karbapenem memiliki
keuntungan, terutama pada keadaan dimana terjadi proses inflamasi yang hebat akibat
pelepasan endotoksin, misalnya pada sepsis berat dan gagal multi organ.
Pemberian antimikrobial dinilai kembali setelah 48-72 jam berdasarkan data
mikrobiologi dan klinis. Sekali patogen penyebab teridentifikasi, tidak ada bukti bahwa
terapi kombinasi lebih baik daripada monoterapi.
Indikasi terapi kombinasi yaitu:

Sebagai terapi pertama sebelum hasil kultur diketahui


Pasien yang dapat imunosupresan, khususnya dengan netropeni
Dibutuhkan efek sinergi obat untuk kuman yang sangat pathogen (pseudomonas
aureginosa, enterokokus)

4. Terapi suportif
a. Oksigenasi
Pada keadaan hipoksemia berat dan gagal napas bila disertai dengan penurunan
kesadaran atau kerja ventilasi yang berat, ventilasi mekanik segera dilakukan.
b. Terapi cairan
Hipovolemia harus segera diatasi dengan cairan kristaloid (NaCl 0.9%

atau ringer laktat) maupun koloid.


Pada keadaan albumin rendah (<2 g/dL) disertai tekanan hidrostatik

melebihi tekanan onkotik plasma, koreksi albumin perlu diberikan.


Transfusi PRC diperlukan pada keadaan perdarahan aktif atau bila kadar
Hb rendah pada kondisi tertentu, seperti pada iskemia miokard dan
renjatan septik. Kadar Hb yang akan dicapai pada sepsis masih

kontroversi antara 8-10 g/dL.


c. Vasopresor dan inotropic
Sebaiknya diberikan setelah keadaan hipovolemik teratasi dengan pemberian
cairan adekuat, akan tetapi pasien masih hipotensi. Vasopresor diberikan mulai
dosis rendah dan dinaikkan (titrasi) untuk mencapai MAP 60 mmHg atau tekanan
darah sistolik 90mmHg. Dapat dipakai dopamin >8g/kg.menit,norepinefrin
21

0.03-1.5g/kg.menit, phenylepherine 0.5-8g/kg/menit atau epinefrin 0.10.5g/kg/menit. Inotropik dapat digunakan: dobutamine 2-28 g/kg/menit,
dopamine 3-8 g/kg/menit, epinefrin 0.1-0.5 g/kg/menit atau fosfodiesterase
inhibitor (amrinone dan milrinone).
d. Bikarbonat
Secara empirik bikarbonat diberikan bila pH <7.2 atau serum bikarbonat <9
mEq/L dengan disertai upaya untuk memperbaiki keadaan hemodinamik.
e. Disfungsi renal
Akibat gangguan perfusi organ. Bila pasien hipovolemik/hipotensi, segera
diperbaiki dengan pemberian cairan adekuat, vasopresor dan inotropik bila
diperlukan. Dopamin dosis renal (1-3 g/kg/menit) seringkali diberikan untuk
mengatasi gangguan fungsi ginjal pada sepsis, namun secara evidence based
belum terbukti. Sebagai terapi pengganti gagal ginjal akut dapat dilakukan
hemodialisis maupun hemofiltrasi kontinu.
f. Nutrisi
Pada metabolisme glukosa terjadi peningkatan

produksi

(glikolisis,

glukoneogenesis), ambilan dan oksidasinya pada sel, peningkatan produksi dan


penumpukan laktat dan kecenderungan hiperglikemia akibat resistensi insulin.
Selain itu terjadi lipolisis, hipertrigliseridemia dan proses katabolisme protein.
Pada sepsis, kecukupan nutrisi: kalori (asam amino), asam lemak, vitamin dan
mineral perlu diberikan sedini mungkin.
g. Kontrol gula darah
Terdapat penelitian pada pasien ICU, menunjukkan terdapat penurunan mortalitas
sebesar 10.6-20.2% pada kelompok pasien yang diberikan insulin untuk mencapai
kadar gula darah antara 80-110 mg/dL dibandingkan pada kelompok dimana
insulin baru diberikan bila kadar gula darah >115 mg/dL. Namun apakah
pengontrolan gula darah tersebut dapat diaplikasikan dalam praktek ICU, masih
perlu dievaluasi, karena ada risiko hipoglikemia.
h. Gangguan koagulasi
Proses inflamasi pada sepsis menyebabkan terjadinya gangguan koagulasi dan
DIC (konsumsi faktor pembekuan dan pembentukan mikrotrombus di sirkulasi).
Pada sepsis berat dan renjatan, terjadi penurunan aktivitas antikoagulan dan
supresi proses fibrinolisis sehingga mikrotrombus menumpuk di sirkulasi
mengakibatkan

kegagalan

organ.

Terapi

antikoagulan,

berupa

heparin,

antitrombin dan substitusi faktor pembekuan bila diperlukan dapat diberikan,


tetapi tidak terbukti menurunkan mortalitas.
22

Untuk masa mendatang pengobatan dengan antibodi monoklonal merupakan


harapan dan diharapkan dapat menurunkan biaya pengobatan dan dapat
meningkatkan efektifitas. Pada binatang percobaan pemberian TNF antibodi
hanya efektif bila diberikan sebagai profilak. Suatu studi preklinik dengan
antibodi CB0006 dan TNF antibodi lainnya dapat digunakan sebagai profilak dan
mungkin juga dapat digunakan untuk pengobatan walaupun terapeutic windownya sempit. Pemberian HA-1A Human monoclonal antibody sebaiknya
dipertimbangkan pada pasien sepsis yang penyebabnya dicurigai bakteri Gram
negative, terutama pada sumber infeksi saluran cerna dan saluran kemih yang
sering disebabkan kuman Gram negatif (Mansjoer, 2001).
i. Kortikosteroid
Hanya diberikan dengan indikasi insufisiensi adrenal. Hidrokortison dengan dosis
50 mg bolus IV 4x/hari selama 7 hari pada pasien dengan renjatan septik
menunjukkan penurunan mortalitas dibandingkan kontrol. Keadaan tanpa syok,
kortikosteroid sebaiknya tidak diberikan dalam terapi sepsis.
Pemberian kortikosteroid pada binatang percobaan yang dibuat sepsis dapat
menurunkan angka mortalitas. Pada suatu studi prospektif pada manusia
pemberian dosis tinggi 30 mg metil prednisolon/kgBB dan diikuti 5 mg/kgBB/jam
sampai 9 jam pada ke dua studi ini tidak didapatkan peningkatan angka mortalitas.
Pada penelitian yang lain juga didapatkan hasil yang sama dan hanya dapat
memperbaiki keadaan shock tetapi tidak memperbaiki angka mortalitas.
5. Modifikasi respons inflamasi
Anti endotoksin (imunoglobulin poliklonal dan monoklonal, analog lipopolisakarida);
antimediator spesifik (anti-TNF, antikoagulan-antitrombin, APC, TFPI; antagonis PAF;
metabolit asam arakidonat (PGE1), antagonis bradikinin, antioksidan (N-asetilsistein,
selenium), inhibitor sintesis NO (L-NMMA); imunostimulator (imunoglobulin, IFN-,
G-CSF, imunonutrisi); nonspesifik (kortikosteroid, pentoksifilin, dan hemofiltrasi).
Endogenous activated protein C memainkan peranan penting dalam sepsis: inflamasi,
koagulasi dan fibrinolisis. Drotrecogin alfa (activated) adalah nama generik dari bentuk
rekombinan dari human activated protein C yang diindikasikan untuk menurunkan
mortalitas pada pasien dengan sepsis berat dengan risiko kematian yang tinggi.
2.1.10 Prognosis
23

Keseluruhan angka kematian pada pasien dengan syok septik menurun dan sekarang ratarata 40% (kisaran 10 to 90%, tergantung pada karakteristik pasien). Hasil yang buruk
sering mengikuti kegagalan dalam terapi agresif awal (misalnya, dalam waktu 6 jam dari
diagnosa dicurigai). Setelah laktat

asidosis berat dengan asidosis metabolik

decompensated menjadi mapan, terutama dalam hubungannya dengan kegagalan


multiorgan, syok septik cenderung ireversibel dan fatal.

II. 2 ALBUMIN
2.2.1 Pengertian Albumin

Albumin merupakan protein plasma yang paling banyak dalam tubuh manusia, yaitu
sekitar 55-60% dari protein serum yang terukur. Albumin terdiri dari rantai polipeptida tunggal
dengan berat molekul 66,4 kDa dan terdiri dari 585 asam amino. Pada molekul albumin terdapat
17 ikatan disulfida yang menghubungkan asam-asam amino yang mengandung sulfur. Molekul
albumin berbentuk elips sehingga bentuk molekul seperti itu tidak akan meningkatkan viskositas
plasma dan terlarut sempurna. Kadar albumin serum ditentukan oleh fungsi laju sintesis, laju
degradasi dan distribusi antara kompartemen intravaskular dan ektravaskular. Cadangan total
albumin sehat 70 kg dimana 42% berada di kompartemen plasma dan sisanya dalam
kompartemen ektravaskular.
Sintesis albumin hanya terjadi di hepar dengan kecepatan pembentukan 12-25 gram/hari.
Pada keadaan normal hanya 20-30% hepatosit yang memproduksi albumin. Akan tetapi laju
produksi ini bervariasi tergantung keadaan penyakit dan laju nutrisi karena albumin hanya
dibentuk pada lingkungan osmotik, hormonal dan nutrisional yang cocok. Tekanan osmotik
koloid cairan interstisial yang membasahi hepatosit merupakan regulator sintesis albumin yang
penting.
24

Degradasi albumin total pada dewasa dengan berat 70 kg adalah sekitar 14 gram/hari atau
5% dari pertukaran protein seluruh tubuh per hari. Albumin dipecah di otot dan kulit sebesar 4060%, di hati 15%, ginjal sekitar 10% dan 10% sisanya merembes ke dalam saluran cerna lewat
dinding lambung. Produk degradasi akhir berupa asam amino bebas. Pada orang sehat
kehilangan albumin lewat urine biasanya minimal tidak melebihi 10-20 mg/hari karena hampir
semua yang melewati membran glomerolus akan diserap kembali.
2.2.2 Kadar Albumin Normal
Sekitar 30-40% albumin ada di dalam kompartemen plasma (intravaskular). Kadar akhir
albumin plasma adalah 40 g/dL (interval 30-40 g/dL) dipengaruhi sintesis, distribusi
ekstravaskular dan degradasi.

25

2.2.3 Fungsi Albumin


Albumin merupakan protein plasma yang berfungsi sebagai
berikut:

Mempertahankan tekanan onkotik plasma agar tidak terjadi


asites

Membantu metabolisme dan tranportasi berbagai obat-obatan


dan senyawa endogen dalam tubuh terutama substansi lipofilik (fungsi
metabolit, pengikatan zat dan transport carrier)

Anti-inflamasi

Membantu keseimbangan asam basa karena banyak memiliki anoda


bermuatan listrik

Antioksidan dengan cara menghambat produksi radikal bebas eksogen


oleh leukosit polimorfonuklear

Mempertahankan integritas mikrovaskuler sehingga dapat

mencegah

masuknya kuman-kuman usus ke dalam pembuluh darah, agar tidak terjadi


peritonitis bakterialis spontan

Memiliki efek antikoagulan dalam kapasitas kecil melalui banyak gugus


bermuatan negatif yang dapat mengikat gugus bermuatan positif pada
antitrombin III (heparin like effect).

Inhibisi agregrasi trombosit

2.2.4 Penggunaan Albumin


Normal human serum Albumin adalah lanjutan steril preparat protein plasma yang
mengandung sekurang kurangnya 96% albumin yang diperoleh dari pemisahan plasma darah.
Albumin dipakai sebagai terapi suplemen pada kejadian hipoproteinemia yang disebabkan oleh
penurunan

produksi

maupun

oleh

peningkatan

destruksi/kehilangan

albumin,

yang

membahayakan jiwa penderita akibat terjadinya gangguan keseimbangan cairan/ tekanan onkotik
dan rangkaian penyakit atau kelainan yang ditimbulkannya. Bukan hanya keadaan
hipoproteinemia/hipoalbuminemia saja yang merupakan indikasi pemberian albumin. Perlu
dipertimbangkan pemberian albumin pada keadaan seperti :
26

Sepsis

Multitrauma dan sakit kritis

Luka Bakar

Gangguan Peredaran Darah Otak

Preeklamsi/Eklamsia

Pankreatitis Akut

Asites

Sindroma Nefrotik

Hipotensi saat Hemodialisa

Gagal Ginjal dengan Asites

Penyakit Ginjal Anak

Penyakit Hati Anak

Penggunaan albumin pada sepsis dapat diberikan dengan indikasi mengalami sepsis
dengan hipoalbuminemia , pemberian dilakukan bila kadar albumin < 2g%. Dosis obat yang
dipakai. Obat yang tersedia yakni Albumin 20% atau 25 %. Dosis pemberian tidak lebih dari 1-2
mg/kg/jam.Waspada dapat menimbulkan bahaya terutama Capillary Leak Syndrome dimana
albumin masuk ke jaringan interstisial yang justru dapat menambah edem yang sulit ditarik
kembali ke intravaskular. Dasar terapi albumin pada sepsis salah satunya adalah sebagai terapi
supportif memberikan nutrisi yang baik guna sintesis protein
Contoh sediaan albumin yang telah beredar di Indonesia :

27

2.2.5 Efek Samping


1. Kardiovaskular

Depresi Miokardial
Albumin mengikat kalsium serum sehingga kalsium total meningkat tetapi kalsium
serum turun, hal ini menyebabkan kegagalan jantung dan edema paru.

Hipotensi
Pemberian albumin yang cepat dapat menimbulkan hipotensi karena mengandung
prekursor pembebas agen vasodilator seperti prekalikrein dan bradikinin.

Pemberian Albumin 25 % yang terlampau banyak pada luka bakar akut


menyebabkan ekstravasasi protein ke jaringan akibatnya terjadi oliguria
refrakter, hipovolemia, dan edema paru

Pemberian intravena yang cepat harus dimonitor

2. Intoksikasi
Pada Bayi dan pasien dialisis menimbulkan akumulasi dan keracunan alumunium.
3. Ginjal
Pada renjatan hipovolemik akan menyebabkan retensi Na.
4. Hipersensitivitas
Gejala alergi panas menggigil, urtikaria, penurunan tekanan darah, mual , muntah. Dapat
sembuh dengan pemberian steroid
28

2.2.6 Kontraindikasi

Riwayat alergi albumin

Anemia berat

Gagal Jantung

Volume intravaskular yang normal atau meningkat

Sindroma Nefrotik kronik

2.2.7 Penelitian Menggunakan Terapi Albumin Pada Sepsis


1. ALBIOS (Albumin Italian Outcome Sepsis Study)
Pada penelitian ini pemberian albumin pada penderita sepsis dengan
hipoalbunemia albumin < 3g/dL menyebabkan stabilisasi hemodinamik.. Angka survival
meningkat hingga 6,3% (p=0,04), angka kematian

41,1% pada albumin 43% pada

kristaloid namun perbedaannya tidak terlalu signifikan.


2. Pada penelitian Caironi et al 2014
Pemberian albumin pada sepsis tidak meningkatkan angka bertahan/survival pada
pasien sepsis. Pada 28 hari angka kematian 31,8 % pada pengguna albumin dan 32,0%
pada pengguna kristaloid.
3. Penelitian oleh Amit Patel 2014
Penelitian ini tidak menganjurkan pemberian albumin meskipun pemberiannya
tidak mengancam dan tidak ditemukan penurunan angka mortalitas yang signifikan.

29

BAB III
KESIMPULAN

Dasar utama terapi sepsis adalah stabilisasi keadaan, menghentikan proses sepsis dengan
mengontrol pengebab (sumber sepsis) , memberikan antibiotik, terapi suportif dengan
memberikan nutrisi yang membantu sintesa protein. Sampai saat ini belum terbukti bahwa
pemberian albuin pada kasus sepsis dapat memperbaii keadaan meskipun secara teoritis albumin
penting untuk binding obat serta antioksidan.
Penggunaan albumin dalam beberapa kondisi klinis masih menjadi kontroversi. Kontra
terhadap pemakaian albumin timbul akibat uji klinis yang tidak menunjang serta biaya terapi
yang tinggi. Dalam penatalaksanaan sepsis albumin sering dimanfaatkan karena efek onkotiknya
serta untuk memperbaiki kondisi hipoalbuminemia.
Sebagian indikasi telah melalui uji klinis yang memadai, sebagian lagi belum ditunjang
data yang cukup kuat. Masih perlu penelitian lebih lanjut serta pertimbangan pemberian albumin
pada kondisi tertentu dengan mempertimbangkan efektifitas serta efisiensi pada pasien.

30

DAFTAR PUSTAKA

1. Marik, Paul E. 2013. Early Management of Severe Sepsis. From the Division of
Pulmonary and Critical Care Medicine, Eastern Virginia Medical School, Norfolk,
VA.
2. Linda D, Kathleen. M Stacy, Mary E,L, 2006, Critical care nursing diagnosis and
management, Mosby, USA.
3. Guntur HA. 2008. SIRS, SEPSIS dan SYOK SEPTIK (Imunologi, Diagnosis dan
Penatalaksanaan). Surakarta: Sebelas Maret University Press
1. Monahan, Sand, Neighbors, 2007.Phipps Medical surgical nursing, Mosby, st Louis.
2. Persatuan Dokter spesialis penyakit dalam Indonesia , 2006, Buku ajar ilmu penyakit

dalam, PDSPDI. Jakarta.


3. Franklin C M, Darovic G O, Dan B B. Monitoring the Patient in Shock. Dalam buku:
Darovic G O, ed, Hemodynamic Monitoring: Invasive and Noninvasive Clinical
Application. USA : EB. Saunders Co. 1995 ; 441 - 499.
4. Schwarz
A,
Hilfiker
ML.Shock.
update

October

2004

http:/www/emedicine.com/ped/topic3047
5. Patrick D. At a Glance Medicine, Norththampon : Blackwell Science Ltd, 2003
6. Pedoman Penggunaan Albumin RSUD dr. Soetomo Surabaya. Edisi II tahun 2003
7. Hasan, Irsan dan Titis Anggraeni Irma. 2008.
Peran Albumin dalam
Penatalaksanaan Sirosis Hati. Medicinus Jurnal April Juni 2008 Vol 21.
8. Caironi, Pietro et al. 2014. Albumin Replacement in Patients with Severe Sepsis or
Sepsis Shock. The New England Medical Journal April 10, 2014
9. Gatinoni, Lucious et al. 2013. ALBIOS trial Albumin in Sepsis. Toronto , Canada

31

Anda mungkin juga menyukai