Aspek keimanan yang akan dikaji dalam tulisan ini adalah aspek kejiwaan
dan nilai. Aspek ini belum mendapat perhatian seperti perhatian terhadap aspek
lainnya. Kecintaan kepada Allah, ikhlas beramal hanya karena Allah, serta
mengabdikan diri dan tawakal sepenuhnya kepada-Nya, merupakan nilai
keutamaan yang perlu diperhatikan dan diutamakan dalam menyempurnakan
cabang-cabang keimanan.
Sesungguhnya amalah lahiriah berupa ibadah mahdhah dan muamalah
tidak akan mencapai kesempurnaan, kecuali jika didasari dengan nilai keutamaan
tersebut. Sebab nilai-nilai tersebut senantiasa mengalir dalam hati dan tertuang
dalam setiap gerak serta perilaku keseharian.
Pendidikan moden telah mempengaruhi peserta didik dari berbagai arah
dan pengaruhnya telah sedemikian rupa merasuki jiwa generasi penerus. Jika tidak
pandai membina jiwa generasi mendatang, dengan menanamkan nilai-nilai
keimanan dalam nalar, pikir dan akal budi mereka, maka mereka tidak akan
selamat dari pengaruh negatif pendidikan moden. Mungkin mereka merasa ada
yang kurang dalam sisi spiritualitasnya dan berusaha menyempurnakan dari
sumber-sumber lain. Bila ini terjadi, maka perlu segera diambil tindakan, agar
pintu spiritualitas yang terbuka tidak diisi oleh ajaran lain yang bukan berasal dari
ajaran spiritualitas Islam.
Seorang muslim yang paripurna adalah yang nalar dan hatinya
bersinar, pandangan akal dan hatinya tajam, akal pikir dan nuraninya
berpadu dalam berinteraksi dengan Allah dan dengan sesama manusia,
sehingga sulit diterka mana yang lebih dahulu berperan kejujuran jiwanya
atau kebenaran akalnya. Sifat kesempurnaan ini merupakan karakter Islam,
yaitu agama yang membangun kemurnian akidah atas dasar kejernihan akal
dan membentuk pola pikir teologis yang menyerupai bidang-bidang ilmu
eksakta, karena dalam segi akidah, Islam hanya menerima hal-hal yang
menurut ukuran akal sehat dapat diterima sebagai ajaran akidah yang benar
dan lurus.
Pilar akal dan rasionalitas dalam akidah Islam tecermin dalam aturan
muamalat dan dalam memberikan solusi serta terapi bagi persoalan yang
dihadapi. Selain itu Islam adalah agama ibadah. Ajaran tentang ibadah didasarkan
atas kesucian hati yang dipenuhi dengan keikhlasan, cinta, serta dibersihkan dari
dorongan hawa nafsu, egoisme, dan sikap ingin menang sendiri. Agama seseorang
tidak sempurna, jika kehangatan spiritualitas yang dimiliki tidak disertai dengan
pengalaman ilmiah dan ketajaman nalar. Pentingnya akal bagi iman ibarat
pentingnya mata bagi orang yang sedang berjalan.
Tuhan yang haq dalam konsep al-Quran adalah Allah. Hal ini dinyatakan
antara lain dalam surat Ali Imran ayat 62, surat Shad 35 dan 65, surat Muhammad
ayat 19. Dalam al-quran diberitahukan pula bahwa ajaran tentang Tuhan yang
diberikan kepada Nabi sebelum Muhammad adalah Tuhan Allah juga. Perhatikan
antara lain surat Hud ayat 84 dan surat al-Maidah ayat 72. Tuhan Allah adalah esa
sebagaimana dinyatakan dalam surat al-Ankabut ayat 46, Thaha ayat 98, dan Shad
ayat 4.
Dengan mengemukakan alasan-alasan tersebut di atas, maka menurut
informasi al-Quran, sebutan yang benar bagi Tuhan yang benar-benar Tuhan
adalah sebutan Allah, dan kemahaesaan Allah tidak melalui teori evolusi
melainkan melalui wahyu yang datang dari Allah. Hal ini berarti konsep tauhid
telah ada sejak datangnya Rasul Adam di muka bumi. Esa menurut al-Quran
adalah esa yang sebenar-benarnya esa, yang tidak berasal dari bagian-bagiandan
tidak pula dapat dibagi menjadi bagian-bagian.
FILASAFAT KETUHANAN
Sejarah pemikiran manusia yang dimaksud di sini adalah pemikiran yang
berdasarkan pengalaman lahiriah-batiniah (penelitian rasional atau pengalaman
batin). Dalam konteks literatur historis agama pemikiran tentang Tuhan dikenal
dengan teori evolusionisme (suatu proses kepercayaan tingkat sederhana sampai
menjadi tingkat sempurna).
Tokoh atau Pemikir dan penganut yang mengemukakan teori
evolusionisme : Max Muller, EB Taylor, Robertson Smith, Lubbock dan Jevens.
Pemikiran Barat
a. Tuhan Dinamisme.
Manusia sejak zaman primitif sudah mengenal dan mengakui adanya
kekuatan gaib yang mempengaruhi hidup manusia. Yang dimaksud
berpengaruh di sini adalah sebuah benda. Benda tersebut bisa
berpengaruh negatif positif. Namun kekuatan benda tersebut juga di
sebut bermacam-macam, ada namanya mana, tuah, Syakti. Semua
kekuatan tersebut tidak dapat di cerna oleh panca indera manusia, namun ia
dapat di rasakan pengaruhnya.
b. Tuhan Animisme.
Setiap benda dianggap mempunyai roh. Roh bagi masyarakt primitif bisa
bersifat aktif meski benda tersebut kelihatan mati. Oleh karena itu, roh
dianggap sesuatu yang hidup (rasa senang dan kebutuhan-kebutuhan).
Karena roh mempunyai kebutuhan, masyarakat primitif menyediakan
sesajian sebagai salah satu wujud memenuhi kebutuhan roh, jika tidak,
manusia bisa terkena dampak negatif dari roh tersebut.
c. Tuhan Politeisme.
Bagi Tuhan politeisme, eksistensi Tuhan Dinamisme dan Animisme
belum dapat memberikan konsep ketuhanan yang sebenarnya karena masih
bersifat sanjungan dan pujaan saja. Baginya, dari sekian banyak roh-roh
ada beberapa saja yang dianggap unggul, punya karakter dan punya
pengaruh terhadap hidup manusia. Di antara roh yang unggul tersebut
disebut sebagai dewa (dewa yang bertanggungjawab terhadap cahaya, air,
angin dan sebagainya.
d. Tuhan Henoteisme.
Dari sekian banyak dewa yang ada, hanya mengakui satu dewa saja.
Namun manusia masih mengakui Tuhan bangsa lain. (Tuhan tingkat
nasional).
4
e. Tuhan Monoteisme.
Dalam monoteisme hanya mengakui satu Tuhan untuk seluruh bangsa dan
bersifat internasional. Bentuk monoteisme di tinjau dari segi filsafat
ketuhanan terbagi menjadi 3: 1. Deisme (Tuhan bersifat transenden: setelah
pencipataan alam, Tuhan tidak terlibat lagi dengan hasil ciptaannya). 2.
Panteisme (Tuhan bersifat imanen: Tuhan menampakkan diri dalam
berbagai fenomena alam). 3. Teisme (Tuhan pada prinsip bersifat
transenden, mengatasi semesta kenyataan, tetapi Tuhan juga selalu terlibat
dengan alam semesta).
Pemikiran Lain
Tuhan sebagaimana juga yang diperkenalkan dalam ajaran-ajaran lain
sesuai dengan petunjuk dari tuhan itu sendiri ataupun berdasarkan persepsi atau
gambaran tentang kondisi sifat-sifat sesuatu yang dipertuhankan yang dapat
dihayati oleh pemimpin-pemimpin agamanya. Seperti sebutan Sang Hyang Adhi
Budha yang diperkenalkan oleh Sidharta Gautama, Sang Hyang Widi
diperkenalkan oleh agama Hindu, Trinitas bagi pengikut agama Kristen, atau
orang-orang Yunani Kuno menganggap Tuhan itu adalah Aktus Purus.
Perbedaan Tuhan dengan dewa hanya sekedar perbedaan terjemah bahasa,
meski masing-masing punya latar belakang perkembangan makna terkait dengan
apresiasi masing-masing atas konsepsi Ketuhanannya. Namun secara universal
keduanya menunjuk pada eksistensi yang sama, yaitu soal 'Yang Tak
Terbantahkan'.
Karena dalam agama manapun, konsep Tuhan merupakan inti dari
keimanan, ajaran, dan praktik. Konsep Tuhan menetapkan apa yang diakui oleh
penganutnya sebagai halal atau sebaliknya. Ia membentuk sikap para penganutnya
terhadap orang lain sebagai "golongan tak beriman" (unbelievers). Ia mengilhami
daya persepsi yang merumuskan bagaimana mereka mengkonsepsikan peranan
mereka dalam mengatur kehidupan.
Sebagai pembuktian bahwa adanya Tuhan menurut jalan fikiran atau
filsafat ketuhanan dan kemahaesaan-Nya tentang kemestian adanya Tuhan
menurut Juhaya S. Praja[13] diperkenalkan sebagai dalil klasik dengan
argumen-argumen sebagai berikut;
1. Argumen Ontologis
Ontologi adalah teori tentang hakikat wujud, tentang hakikat yang ada.
Argumen ontologis tentang hakikat wujud ini semata-mata berdasarkan atas
argumen-argumen logika yang logis dan rasional. Argumen ini diperkenalkan
pertama kali oleh Plato (428-348 SM), bahwa tiap-tiap yang ada di alam nyata
mesti ada ideanya. Yang dimaksud dengan idea adalah definisi atau konsep
universal dari setiap sesuatu. Yang ingin membuktikan dari ideanya, Plato ini,
bahwa alam bersumber pada suatu kekuatan gaib yang bernama the Absolute, atau
yang maha mutlak baik atau Tuhan.
ST Agustine (354-430 M), bahwa manusia mengetahui dari
pengalamannya dalam hidup bahwa dalam alam ini ada kebenaran. Namun akal
manusia terkadang merasa ragu-ragu bahwa yang diketahuinya itu adalah
kebenaran. Maksudnya adalah akal manusia mengetahui bahwa di atasnya masih
ada suatu kebenaran mutlak dan kekal, kebenaran ini yang disebut Tuhan.
Inti dari argumen ini adalah bahwa segala sesuatu yang ada pasti ada yang
menciptakan, sebab seluruh perwujudan yang ada di alam ini, selamanya
bergantung pada adanya perwujudan yang lain. Tidak mungkin ada di alam ini
sesuatu yang wujud tanpa adanya yang memunculkan. Keteraturan alam ini pasti
ada yang mengatur dan pasti ada yang menjadikan sebabnya. Sebab utama disebut
dengan prima causa atau asbabul asbab. Sedangkan rangkaian peristiwa atau
gerakan itu, akan mengantarkan pula kepada adanya penggerak utama atau prima
causa tersebut.
Kalau rangkaian sebab akibat atau gerakan itu terus diperturutkan niscaya
terjadi "daur" (lingkaran gerak yang tak berujung atau berawal) atau tastaltsul
(rangkaian gerak yang tidak berawal atau berakhir). Menurut akal yang sehat
bahwa teori daur atau tastaltsul ini tidak mungkin. Bila tidak bisa diterima akal,
maka harus dikatakan bahwa prima causa (penyebab utama) itu merupakan
penggerak yang tidak digerakkan atau penyebab yang tidak diawali oleh penyebab
lain. Prima causa atau penggerak yang tidak digerakkan oleh yang lain itu tiada
lain adalah Allah.
Walau dalil ini dikritik juga oleh Immanuel Kant, kalau wujud alam ini
tidak wajib, apa sebabnya Dzat yang wajibul wujud ini menciptakan alam. Iqbal
mengkritik, mestikah wajibul wujud itu suatu zat yang disebut Tuhan? Tidakkah
bisa kosmos ini bersifat wajibul wujud itu? Keadaan argumen kosmologis bersifat
kurang kuat didasarkan atas hakekat bahwa Aristoteles tak pernah bertanya :
Adakah Tuhan? Logikanya mengenai bentuk dan materi membawa ia kepada
bentuk yang tak mempunyai materi, sebagai akhir rentetan dari gerak dan
penggerak yang timbul dari hubungan bentuk dan materi. Bentuk ini bukanlah
Tuhan Pencipta Alam, tetapi penggerak pertama dari segala gerak.
3. Argumen Teleologis
Bahwa argumen ini merupakan penerapan dari argumen kosmologis dalam
bentuknya yang lain. Segala perwujudan ini tersusun dalam sistim yang teratur,
dan setiap benda yang di alam semesta ini memiliki tujuan-tujuan (theo;tujuan,
teologis;ada tujuannya) tertentu. Ala mini keseluruhannya berevolusi dan beredar
kepada suatu tujuan tertentu. Keteraturan alam tidak bisa tidak harus ada yang
mengatur. Sumber keteraturan itu adalah Allah.
Dalam teologi, segala sesuatu dipandang sebagai organisme yang tersusun
dari bagian-bagian yang mempunyai hubungan erat dan bekerja sama untuk
kepentingan organisme tersebut. Dunia dalam pandangan teologis tersusun dari
bagian-bagian yang erat hubungannya satu sama lainnya dan bekerjasama untuk
tujuan tertentu. Tujuan ini ialah kebaikan dunia dalam keseluruhannya.Lontaran
kritik dalam argumen ini bahwa alam tidak mempunyai tujuan,
4. Argumen Moral
Immanuel Kant mempelopori argumen Moral menyatakan bahwa
perbuatan baik jadi baik tidak karena akibat-akibat baik yang akan ditimbulkan
dari perbuatan itu dan tidak pula agama mengajarkan bahwa perbuatan itu baik.
Perbuatan baik itu karena manusia tahu dari perasaan yang tertanam dalam
jiwanya bahwa ia diperintahkan untuk berbuat baik. Perasaan manusia
berkewajiban untuk melaksanakan perbuatan yang baik dan untuk menjauhi
perbuatan buruk, tidak diperoleh dari pengalaman dunia, tetapi dibawa dari lahir.
Manusia lahir dengan perasaan itu. Kalau manusia merasa bahwa dalam
dirinya ada perintah mutlak untuk mengerjakan yang baik dan menjauhi yang
buruk, dan kalau perintah itu diperoleh bukan dari pengalaman tetapi telah
terdapat dalam diri manusia, maka perintah itu mesti berasal dari suatu dzat yang
tahu baik dan buruk. Dzat inilah yang disebut Tuhan. Walaupun argument ini
mendapat kritik pula, yang berpangkal dari pengakuan yang ada perasaan moral
yang tertanam dalam jiwa manusia yang berasal dari luar diri manusia, tidak dapat
diterima, karena norma-norma moral tersebut bisa tidak objektif.
5. Argumen Epistemologis
Ibn Taimiyah menyodorkan argumen epistemologis yang bertujuan untuk
membuktikan adanya Tuhan secara meyakinkan melalui teori-teori pengetahuan
atau ilmu. Ilmu itu mempunyai dua sifat, ta'bi, yang dapat diterjemahkan obyektif;
dan matbu' yang dapat diterjemahkan subyektif. Suatu ilmu yang keberadaan
obyeknya tidak bergantung kepada ada dan tidak adanya pengetahuan si subyek
(manusia) tentang obyek tersebut. Sedangkan yang bersifat subyektif ialah
pengetahuan manusia sebagai subyek tentang obyek ilmu itu. Atau suatu ilmu itu
dinyatakan ada kalau si subyek atau manusia mengetahui keberadaannya.
Kemudian dalam Islam, (yang penulis menitik beratkan tentang Tuhan
dalam agama Islam), manusia dengan Tuhannya digambarkan oleh
Imaduddin[28], bahwa semua dari kita yakin bahwa matahari itu adalah sumber
energi, hanya sejauh mana manusia tadi memanfaatkan panas dari matahari
tersebut. Ada yang sangat maksimal dan ada yang hanya untuk keperluan
pribadinya saja. Seperti petani yang hanya untuk keperluan tanah garapannya saja,
nelayan yang sebatas untuk menangkap ikan saja, berbeda dengan teknokrat yang
memanfaatkan panas matahari tersebut untuk segala macam kehidupan manusia.
Hal ini tidak jauh dengan pandangan sebagian manusia yang memandang Tuhan
untuk hanya sebagian keperluannya saja, di waktu susah saja atau di waktu senang
saja, berbeda dengan ulama yang memandang tuhan itu adalah tempat mengadu di
waktu senang dan susah.
10
11
12
Dalil Naqli
Sekalipun secara fitrah manusia bisa mengakui adanya Allah, dan dengan
akal pikiran bisa membuktikannya, namun manusia tetap memerlukan dalil naqli
(al-Quran dan Sunnah) untuk membimbing manusia untuk mengenal Tuhan yang
sebenarnya (Allah) dengan segala asma dan sifatNya. Sebab fithrah dan akal tidak
bisa menjelaskan siapa Tuhan yang sebenarnya itu (Allah).
Allah SWT adalah Al-awwal artinya tidak ada permulaan bagi wujudNya.
Dia juga Al-Akhir akhirnya tidak ada akhir dari wujudNya.
Dialah yng awal dan yang akhir, yang zhahir dan yang bathin, dan Dia
Mengetahui segala sesuatu.
(Al-Hadid 57:3).
Tidak ada satu pun yang menyerupaiNya.
Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia lah Yang Maha
Mendengar lagi Maha Melihat.
(As-Syura 42:11).
Allah SWT Maha Esa
Katakanlah : Dialah Allah, Yang Maha Esa
(Al-Ikhlas 112:1).
Allah SWT memiliki Al-Asma was Shiffaat (nama-nama dan sifat-sifat)
yang disebutkanNya untuk diriNya di dalam Al-Quran serta semua nama dan sifat
yang dituturkan untukNya oleh Rasulullah SAW dalam sunnahnya, seperti ArRahmaan, Ar-Rahiim, AlAliim, Al-Aziz, As-Sami, Al-Bashiir dan lain-lain.
Firman Allah :
yang
13
14
15
PENUTUP
Sebagai penutup saya kutip perkataannya Al Ghazali dalam bukunya AlMaqasidul Asna, yang membahas tentang Asma' Alhusna, bahwa "Ketuhanan"
adalah sesuatu yang hanya dimiliki Allah, tidak dapat tergambar dalam bentuk
benak, bahwa ada yang mengenalnya kecuali Allah atau yang sama dengan-Nya,
dan karena tidak ada yang sama dengan-Nya, maka tidak ada yang mengenalnya
kecuali Allah.
Tidak ada yang mengenal Allah kecuali Allah Yang Maha Tinggi sendiri,
karena itu Dia tidak menganugerahkan kepada hamba-Nya yang termulia
(Muhammad saw) kecuali nama yang diselubungi dengan firman-Nya
"Sabbihisma Rabbika al A'la", Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Maha Tinggi.
Demi Allah tidak ada yang mengetahui Allah di dunia dan di akhiratkecuali Allah. Karena itu tulis Al-Ghazali; "Jika Anda bertanya apakah puncak
pengetahuan orang-orang arif tentang Allah?" Saya menjawab kata Al-Ghazali-,
"Puncak pengetahuan orang-orang arif adalah ketidakmampuan mengenal-Nya".
Sesuai dengan yang diisyaratkan Nabi Muhammad saw ; Saya Ya Allah- tidak
menjangkau pujian untuk-Mu dan mencakup sifat-sifat ketuhanan-Mu. Hanya
Engkau sendiri yang mampu untuk itu" H.R. Ahmad.
Maka, selesai sudah makalah agama yang telah menyentuh Konsep
Ketuhanan Dalam Islam.
16
DAFTAR PUSTAKA
Syaltut, Mahmud. 1994. Aqidah dan Syariah Islam. Jakarta: Bumi Aksara
http:///F:/download/filsafat-ketuhanan.htm
http ///F:/download/konsep-ketuhanan-dalam-islam.htm
17