Anda di halaman 1dari 17

PENDAHULUAN

Aspek keimanan yang akan dikaji dalam tulisan ini adalah aspek kejiwaan
dan nilai. Aspek ini belum mendapat perhatian seperti perhatian terhadap aspek
lainnya. Kecintaan kepada Allah, ikhlas beramal hanya karena Allah, serta
mengabdikan diri dan tawakal sepenuhnya kepada-Nya, merupakan nilai
keutamaan yang perlu diperhatikan dan diutamakan dalam menyempurnakan
cabang-cabang keimanan.
Sesungguhnya amalah lahiriah berupa ibadah mahdhah dan muamalah
tidak akan mencapai kesempurnaan, kecuali jika didasari dengan nilai keutamaan
tersebut. Sebab nilai-nilai tersebut senantiasa mengalir dalam hati dan tertuang
dalam setiap gerak serta perilaku keseharian.
Pendidikan moden telah mempengaruhi peserta didik dari berbagai arah
dan pengaruhnya telah sedemikian rupa merasuki jiwa generasi penerus. Jika tidak
pandai membina jiwa generasi mendatang, dengan menanamkan nilai-nilai
keimanan dalam nalar, pikir dan akal budi mereka, maka mereka tidak akan
selamat dari pengaruh negatif pendidikan moden. Mungkin mereka merasa ada
yang kurang dalam sisi spiritualitasnya dan berusaha menyempurnakan dari
sumber-sumber lain. Bila ini terjadi, maka perlu segera diambil tindakan, agar
pintu spiritualitas yang terbuka tidak diisi oleh ajaran lain yang bukan berasal dari
ajaran spiritualitas Islam.
Seorang muslim yang paripurna adalah yang nalar dan hatinya
bersinar, pandangan akal dan hatinya tajam, akal pikir dan nuraninya
berpadu dalam berinteraksi dengan Allah dan dengan sesama manusia,
sehingga sulit diterka mana yang lebih dahulu berperan kejujuran jiwanya
atau kebenaran akalnya. Sifat kesempurnaan ini merupakan karakter Islam,
yaitu agama yang membangun kemurnian akidah atas dasar kejernihan akal
dan membentuk pola pikir teologis yang menyerupai bidang-bidang ilmu
eksakta, karena dalam segi akidah, Islam hanya menerima hal-hal yang
menurut ukuran akal sehat dapat diterima sebagai ajaran akidah yang benar
dan lurus.
Pilar akal dan rasionalitas dalam akidah Islam tecermin dalam aturan
muamalat dan dalam memberikan solusi serta terapi bagi persoalan yang
dihadapi. Selain itu Islam adalah agama ibadah. Ajaran tentang ibadah didasarkan
atas kesucian hati yang dipenuhi dengan keikhlasan, cinta, serta dibersihkan dari
dorongan hawa nafsu, egoisme, dan sikap ingin menang sendiri. Agama seseorang
tidak sempurna, jika kehangatan spiritualitas yang dimiliki tidak disertai dengan
pengalaman ilmiah dan ketajaman nalar. Pentingnya akal bagi iman ibarat
pentingnya mata bagi orang yang sedang berjalan.

KONSEP KETUHANAN DALAM ISLAM


Pengkajian manusia tentang Tuhan, yang hanya didasarkan atas
pengamatan dan pengalaman serta pemikiran manusia, tidak akan pernah benar.
Sebab Tuhan merupakan sesuatu yang ghaib, sehingga informasi tentang Tuhan
yang hanya berasal dari manusia biarpun dinyatakan sebagai hasil renungan
maupun pemikiran rasional, tidak akan benar.
Informasi tentang asal-usul kepercayaan terhadap Tuhan antara lain tertera dalam:
Sesungguhnya agama yang diturunkan Allah adalah satu, yaitu agama
Tauhid. Oleh karena itu seharusnya manusia menganut satu agama, tetapi
mereka telah berpecah belah. Mereka akan kembali kepada Allah dan
Allah akan menghakimi mereka.
(Surah Al-Anbiya, 92)
Ayat tersebut di atas memberi petunjuk kepada manusia bahwa sebenarnya
tidak ada perbedaan konsep tentang ajaran ketuhanan sejak zaman dahulu hingga
sekarang. Melalui Rasul-rasul-Nya, Allah memperkenalkan dirinya melalui
ajaran-Nya, yang dibawa para Rasul, Adam sebagai Rasul pertama dan
Muhammad sebagai terakhir.
Jika terjadi perbedaan-perbedaan ajaran tentang ketuhanan di antara
agama-agama adalah karena perbuatan manusia. Ajaran yang tidak sama dengan
konsep ajaran aslinya, merupakan manipulasi dan kebohongan manusia yang
teramat besar.
Al-Masih berkata: Hai Bani Israil sembahlah Allah Tuhaku dan
Tuhanmu. Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan)
Allah, maka pasti mengharamkan kepadanya syurga, dan tempat mereka
adalah neraka.
(Surah Al-Maidah, 72)
Katakanlah, Dia-lah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang
bergantung pada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada pula
diperanakkan dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.
(Surah Al-Ikhlas, 1-4)
Dari ungkapan ayat-ayat tersebut, jelas bahwa Tuhan adalah Allah. Kata
Allah adalah nama isim jumid atau personal name. Merupakan suatu pendapat
yang keliru, jika nama Allah diterjemahkan dengan kata Tuhan, karena
dianggap sebagai isim musytaq.
2

Tuhan yang haq dalam konsep al-Quran adalah Allah. Hal ini dinyatakan
antara lain dalam surat Ali Imran ayat 62, surat Shad 35 dan 65, surat Muhammad
ayat 19. Dalam al-quran diberitahukan pula bahwa ajaran tentang Tuhan yang
diberikan kepada Nabi sebelum Muhammad adalah Tuhan Allah juga. Perhatikan
antara lain surat Hud ayat 84 dan surat al-Maidah ayat 72. Tuhan Allah adalah esa
sebagaimana dinyatakan dalam surat al-Ankabut ayat 46, Thaha ayat 98, dan Shad
ayat 4.
Dengan mengemukakan alasan-alasan tersebut di atas, maka menurut
informasi al-Quran, sebutan yang benar bagi Tuhan yang benar-benar Tuhan
adalah sebutan Allah, dan kemahaesaan Allah tidak melalui teori evolusi
melainkan melalui wahyu yang datang dari Allah. Hal ini berarti konsep tauhid
telah ada sejak datangnya Rasul Adam di muka bumi. Esa menurut al-Quran
adalah esa yang sebenar-benarnya esa, yang tidak berasal dari bagian-bagiandan
tidak pula dapat dibagi menjadi bagian-bagian.

FILASAFAT KETUHANAN
Sejarah pemikiran manusia yang dimaksud di sini adalah pemikiran yang
berdasarkan pengalaman lahiriah-batiniah (penelitian rasional atau pengalaman
batin). Dalam konteks literatur historis agama pemikiran tentang Tuhan dikenal
dengan teori evolusionisme (suatu proses kepercayaan tingkat sederhana sampai
menjadi tingkat sempurna).
Tokoh atau Pemikir dan penganut yang mengemukakan teori
evolusionisme : Max Muller, EB Taylor, Robertson Smith, Lubbock dan Jevens.
Pemikiran Barat
a. Tuhan Dinamisme.
Manusia sejak zaman primitif sudah mengenal dan mengakui adanya
kekuatan gaib yang mempengaruhi hidup manusia. Yang dimaksud
berpengaruh di sini adalah sebuah benda. Benda tersebut bisa
berpengaruh negatif positif. Namun kekuatan benda tersebut juga di
sebut bermacam-macam, ada namanya mana, tuah, Syakti. Semua
kekuatan tersebut tidak dapat di cerna oleh panca indera manusia, namun ia
dapat di rasakan pengaruhnya.
b. Tuhan Animisme.
Setiap benda dianggap mempunyai roh. Roh bagi masyarakt primitif bisa
bersifat aktif meski benda tersebut kelihatan mati. Oleh karena itu, roh
dianggap sesuatu yang hidup (rasa senang dan kebutuhan-kebutuhan).
Karena roh mempunyai kebutuhan, masyarakat primitif menyediakan
sesajian sebagai salah satu wujud memenuhi kebutuhan roh, jika tidak,
manusia bisa terkena dampak negatif dari roh tersebut.
c. Tuhan Politeisme.
Bagi Tuhan politeisme, eksistensi Tuhan Dinamisme dan Animisme
belum dapat memberikan konsep ketuhanan yang sebenarnya karena masih
bersifat sanjungan dan pujaan saja. Baginya, dari sekian banyak roh-roh
ada beberapa saja yang dianggap unggul, punya karakter dan punya
pengaruh terhadap hidup manusia. Di antara roh yang unggul tersebut
disebut sebagai dewa (dewa yang bertanggungjawab terhadap cahaya, air,
angin dan sebagainya.
d. Tuhan Henoteisme.
Dari sekian banyak dewa yang ada, hanya mengakui satu dewa saja.
Namun manusia masih mengakui Tuhan bangsa lain. (Tuhan tingkat
nasional).
4

e. Tuhan Monoteisme.
Dalam monoteisme hanya mengakui satu Tuhan untuk seluruh bangsa dan
bersifat internasional. Bentuk monoteisme di tinjau dari segi filsafat
ketuhanan terbagi menjadi 3: 1. Deisme (Tuhan bersifat transenden: setelah
pencipataan alam, Tuhan tidak terlibat lagi dengan hasil ciptaannya). 2.
Panteisme (Tuhan bersifat imanen: Tuhan menampakkan diri dalam
berbagai fenomena alam). 3. Teisme (Tuhan pada prinsip bersifat
transenden, mengatasi semesta kenyataan, tetapi Tuhan juga selalu terlibat
dengan alam semesta).

Pemikiran Umat Islam


Secara garis besar pemikiran umat Islam tentang ketuhanan timbul sejak
wafatnya Nabi Muhammad SAW. Secara sederhana ada aliran pemikiran bersifat
liberal, tradisional, dan di antara keduanya. Sebab timbulnya berbagai aliran Islam
tersebut lantaran karena adanya perbedaan metodologi dalam memahami alquran
dan hadits dengan pendekatan kontekstual, sehingga lahir aliran bersifat liberal.
Sebagian umat Islam memahami dengan pendekatan tekstual, lahirlah aliran
bersifat tradisional. Sedangkan memadukan kedua pemikiran tersebut lahirlah
aliran yang bersifat antara liberal dengan tradisional. Di antara aliran tersebut
adalah sebagai berikut:
1. Mutazilah
Disebut kaum rasional yang menekankan pemakaian akal secara intensif
dalam memahami semua ajaran dan keimanan. Salah satu pemikiran
mereka: Orang Islam yang berbuat dosa besar, maka ia tidak kafir dan
tidak mukmin. Ia berada di antara dua posisi tersebut; manzilah bainal
manzilatain.
2. Qodariah
Manusia mempunyai kebebasan dalam berbuat dan berkehendak). Artinya,
prediket kafir atau mukmin diadasrkan atas pilihan dan tanggung
jawabnya sendiri.
3. Jabariah
Manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam berbuat atau berkehendak.
Artinya, semua perilaku manusia di tentukan dan dipaksa oleh Allah
4. Asyariyah dan Maturidiah
Pendapatnya berada antara Qadariah dan Jabariah

Pemikiran Lain
Tuhan sebagaimana juga yang diperkenalkan dalam ajaran-ajaran lain
sesuai dengan petunjuk dari tuhan itu sendiri ataupun berdasarkan persepsi atau
gambaran tentang kondisi sifat-sifat sesuatu yang dipertuhankan yang dapat
dihayati oleh pemimpin-pemimpin agamanya. Seperti sebutan Sang Hyang Adhi
Budha yang diperkenalkan oleh Sidharta Gautama, Sang Hyang Widi
diperkenalkan oleh agama Hindu, Trinitas bagi pengikut agama Kristen, atau
orang-orang Yunani Kuno menganggap Tuhan itu adalah Aktus Purus.
Perbedaan Tuhan dengan dewa hanya sekedar perbedaan terjemah bahasa,
meski masing-masing punya latar belakang perkembangan makna terkait dengan
apresiasi masing-masing atas konsepsi Ketuhanannya. Namun secara universal
keduanya menunjuk pada eksistensi yang sama, yaitu soal 'Yang Tak
Terbantahkan'.
Karena dalam agama manapun, konsep Tuhan merupakan inti dari
keimanan, ajaran, dan praktik. Konsep Tuhan menetapkan apa yang diakui oleh
penganutnya sebagai halal atau sebaliknya. Ia membentuk sikap para penganutnya
terhadap orang lain sebagai "golongan tak beriman" (unbelievers). Ia mengilhami
daya persepsi yang merumuskan bagaimana mereka mengkonsepsikan peranan
mereka dalam mengatur kehidupan.
Sebagai pembuktian bahwa adanya Tuhan menurut jalan fikiran atau
filsafat ketuhanan dan kemahaesaan-Nya tentang kemestian adanya Tuhan
menurut Juhaya S. Praja[13] diperkenalkan sebagai dalil klasik dengan
argumen-argumen sebagai berikut;
1. Argumen Ontologis
Ontologi adalah teori tentang hakikat wujud, tentang hakikat yang ada.
Argumen ontologis tentang hakikat wujud ini semata-mata berdasarkan atas
argumen-argumen logika yang logis dan rasional. Argumen ini diperkenalkan
pertama kali oleh Plato (428-348 SM), bahwa tiap-tiap yang ada di alam nyata
mesti ada ideanya. Yang dimaksud dengan idea adalah definisi atau konsep
universal dari setiap sesuatu. Yang ingin membuktikan dari ideanya, Plato ini,
bahwa alam bersumber pada suatu kekuatan gaib yang bernama the Absolute, atau
yang maha mutlak baik atau Tuhan.
ST Agustine (354-430 M), bahwa manusia mengetahui dari
pengalamannya dalam hidup bahwa dalam alam ini ada kebenaran. Namun akal
manusia terkadang merasa ragu-ragu bahwa yang diketahuinya itu adalah
kebenaran. Maksudnya adalah akal manusia mengetahui bahwa di atasnya masih
ada suatu kebenaran mutlak dan kekal, kebenaran ini yang disebut Tuhan.

ST. Anselmus (1033-1109), bahwa manusia dapat memikirkan sesuatu


yang kebesarannya tak dapat melebihi dan diatasi oleh segala yang ada. Zat yang
serupa ini mesti mempunyai wujud dalam hakekat. Sesuatu yang maha besar,
maha sempurna itu mesti mempunyai wujud, maka Tuhan mempunyai wujud,
oleh karena itu Tuhan ada.
Inti dari argumen ini adalah bahwa manusia ini memiliki konsep tentang
sesuatu yang sempurna. Dan bila ia berfikir tentang sesuatu yang sempurna,
niscaya terpikirkan olehnya tentang adanya sesuatu yang lain yang lebih sempurna
itu mengantarkan pada adanya "Dzat Yang Maha Sempurna" yang tiada
kesempurnaan lain selain Dia.
Argumen ini juga mendapat tantangan, bahwa wujud yang ada di dunia
yang alam nyata ini belum tentu sama dengan bayangan aslinya. Sebab alam
aslinya itu alam ghaib di atas jangkauan indera manusia. Immanuel Kant pun ikut
mengkritik argumen ontologi ini dengan alasan wujud kepada konsep tentang
sesuatu tidak membawa hal yang baru bagi konsep itu. Dengan kata lain konsep
tentang kursi bayangan dan konsep kursi yang mempunyai wujud tidak ada
perbedaannya. Oleh karenanya argumen ini tidak meyakinkan atheis atau agnostic
untuk percaya pada adanya Tuhan.
2. Argumen Kosmologis
Argumen kosmologi untuk pertama kalinya dikenalkan oleh Aristoteles,
murid Plato. Cosmological argument atau dalil tentang penciptaan adalah
merupakan pembuktian paling tua dan sederhana tentang pembuktian adanya
Tuhan. Bahwa tiap benda yang dapat ditangkap panca indera mempunyai materi
dan bentuk (matter and form). Bentuk merupakan hakikat atau konsep universal
atau definisi sesuatu, maka ia adalah kekal dan tidak berubah-ubah. Akan tetapi
dalam panca indera terdapat perubahan.
Al-Kindi berpendapat bahwa alam ini diciptakan dan yang
menciptakannya adalah Allah. Segala yang terjadi dalam alam ini mempunyai
hubungan sebab dan musabab/ Sebab mempunyai efek pada musabab. Rentetan
sebab musabab ini berakhir kepada sebab pertama yaitu Allah pencipta alam.
Sedang Al-Farabi berargumen bahwa alam ini bersifat mumkin wujudnya
dan oleh karena itu berhajat pada suatu zat yang bersifat wajib wujudnya untuk
merubah kemungkinan wujudnya kepada yang hakiki, yaitu sebagai sebab bagi
terciptanya wujud yang mungkin itu. Tuhan itu ada dalam arti wajib al-wujud atau
necessary being, Tuhan itu mesti ada, berarti bahwa wujud Tuhan itu tak berhajat
pada bukti, sebagaimana bundaran tak berhajat pada bukti. Ini adalah suatu hal
yang
jelas
dengan
sendirinya,
tak
memerlukan
bukti.

Inti dari argumen ini adalah bahwa segala sesuatu yang ada pasti ada yang
menciptakan, sebab seluruh perwujudan yang ada di alam ini, selamanya
bergantung pada adanya perwujudan yang lain. Tidak mungkin ada di alam ini
sesuatu yang wujud tanpa adanya yang memunculkan. Keteraturan alam ini pasti
ada yang mengatur dan pasti ada yang menjadikan sebabnya. Sebab utama disebut
dengan prima causa atau asbabul asbab. Sedangkan rangkaian peristiwa atau
gerakan itu, akan mengantarkan pula kepada adanya penggerak utama atau prima
causa tersebut.
Kalau rangkaian sebab akibat atau gerakan itu terus diperturutkan niscaya
terjadi "daur" (lingkaran gerak yang tak berujung atau berawal) atau tastaltsul
(rangkaian gerak yang tidak berawal atau berakhir). Menurut akal yang sehat
bahwa teori daur atau tastaltsul ini tidak mungkin. Bila tidak bisa diterima akal,
maka harus dikatakan bahwa prima causa (penyebab utama) itu merupakan
penggerak yang tidak digerakkan atau penyebab yang tidak diawali oleh penyebab
lain. Prima causa atau penggerak yang tidak digerakkan oleh yang lain itu tiada
lain adalah Allah.
Walau dalil ini dikritik juga oleh Immanuel Kant, kalau wujud alam ini
tidak wajib, apa sebabnya Dzat yang wajibul wujud ini menciptakan alam. Iqbal
mengkritik, mestikah wajibul wujud itu suatu zat yang disebut Tuhan? Tidakkah
bisa kosmos ini bersifat wajibul wujud itu? Keadaan argumen kosmologis bersifat
kurang kuat didasarkan atas hakekat bahwa Aristoteles tak pernah bertanya :
Adakah Tuhan? Logikanya mengenai bentuk dan materi membawa ia kepada
bentuk yang tak mempunyai materi, sebagai akhir rentetan dari gerak dan
penggerak yang timbul dari hubungan bentuk dan materi. Bentuk ini bukanlah
Tuhan Pencipta Alam, tetapi penggerak pertama dari segala gerak.
3. Argumen Teleologis
Bahwa argumen ini merupakan penerapan dari argumen kosmologis dalam
bentuknya yang lain. Segala perwujudan ini tersusun dalam sistim yang teratur,
dan setiap benda yang di alam semesta ini memiliki tujuan-tujuan (theo;tujuan,
teologis;ada tujuannya) tertentu. Ala mini keseluruhannya berevolusi dan beredar
kepada suatu tujuan tertentu. Keteraturan alam tidak bisa tidak harus ada yang
mengatur. Sumber keteraturan itu adalah Allah.
Dalam teologi, segala sesuatu dipandang sebagai organisme yang tersusun
dari bagian-bagian yang mempunyai hubungan erat dan bekerja sama untuk
kepentingan organisme tersebut. Dunia dalam pandangan teologis tersusun dari
bagian-bagian yang erat hubungannya satu sama lainnya dan bekerjasama untuk
tujuan tertentu. Tujuan ini ialah kebaikan dunia dalam keseluruhannya.Lontaran
kritik dalam argumen ini bahwa alam tidak mempunyai tujuan,

4. Argumen Moral
Immanuel Kant mempelopori argumen Moral menyatakan bahwa
perbuatan baik jadi baik tidak karena akibat-akibat baik yang akan ditimbulkan
dari perbuatan itu dan tidak pula agama mengajarkan bahwa perbuatan itu baik.
Perbuatan baik itu karena manusia tahu dari perasaan yang tertanam dalam
jiwanya bahwa ia diperintahkan untuk berbuat baik. Perasaan manusia
berkewajiban untuk melaksanakan perbuatan yang baik dan untuk menjauhi
perbuatan buruk, tidak diperoleh dari pengalaman dunia, tetapi dibawa dari lahir.
Manusia lahir dengan perasaan itu. Kalau manusia merasa bahwa dalam
dirinya ada perintah mutlak untuk mengerjakan yang baik dan menjauhi yang
buruk, dan kalau perintah itu diperoleh bukan dari pengalaman tetapi telah
terdapat dalam diri manusia, maka perintah itu mesti berasal dari suatu dzat yang
tahu baik dan buruk. Dzat inilah yang disebut Tuhan. Walaupun argument ini
mendapat kritik pula, yang berpangkal dari pengakuan yang ada perasaan moral
yang tertanam dalam jiwa manusia yang berasal dari luar diri manusia, tidak dapat
diterima, karena norma-norma moral tersebut bisa tidak objektif.
5. Argumen Epistemologis
Ibn Taimiyah menyodorkan argumen epistemologis yang bertujuan untuk
membuktikan adanya Tuhan secara meyakinkan melalui teori-teori pengetahuan
atau ilmu. Ilmu itu mempunyai dua sifat, ta'bi, yang dapat diterjemahkan obyektif;
dan matbu' yang dapat diterjemahkan subyektif. Suatu ilmu yang keberadaan
obyeknya tidak bergantung kepada ada dan tidak adanya pengetahuan si subyek
(manusia) tentang obyek tersebut. Sedangkan yang bersifat subyektif ialah
pengetahuan manusia sebagai subyek tentang obyek ilmu itu. Atau suatu ilmu itu
dinyatakan ada kalau si subyek atau manusia mengetahui keberadaannya.
Kemudian dalam Islam, (yang penulis menitik beratkan tentang Tuhan
dalam agama Islam), manusia dengan Tuhannya digambarkan oleh
Imaduddin[28], bahwa semua dari kita yakin bahwa matahari itu adalah sumber
energi, hanya sejauh mana manusia tadi memanfaatkan panas dari matahari
tersebut. Ada yang sangat maksimal dan ada yang hanya untuk keperluan
pribadinya saja. Seperti petani yang hanya untuk keperluan tanah garapannya saja,
nelayan yang sebatas untuk menangkap ikan saja, berbeda dengan teknokrat yang
memanfaatkan panas matahari tersebut untuk segala macam kehidupan manusia.
Hal ini tidak jauh dengan pandangan sebagian manusia yang memandang Tuhan
untuk hanya sebagian keperluannya saja, di waktu susah saja atau di waktu senang
saja, berbeda dengan ulama yang memandang tuhan itu adalah tempat mengadu di
waktu senang dan susah.

BUKTI ADANYA ALLAH SWT


Sebenarnya masalah tentang keberadaan Allah SWT sudahlah nyata,
bahkan suatu hakikat yang tidak perlu diragukan lagi persoalannya. Tidak ada
jalan untuk mengingkarinya. Persoalan tentang keberadaan Allah SWT adalah
terang benderang bagaikan cahaya fajar diwaktu pagi yang cerah.
Semua yang ada dilingkungan alam semesta ini pun dapat digunakan
sebagai bukti tentang adanya Tuhan (Allah SWT), bahkan benda-benda yang
terdapat disekitar alam semesta dan unsur-unsurnya dapat pula mengokohkan atau
membuktikan bahwa benda-benda itu pasti ada pencipta dan pengaturnya.
Alam Semesta adalah pengukuhan wujud Maha Pencipta
Periksalah alam cakrawala yang ada diatas kita, yang didalamnya itu
terdapat matahari, bulan, bintang, dan sebagainya. Demikian pula alam yang
berbentuk bumi ini dengan segala sesuatu yang ada di dalamnya baik yang berupa
manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan dan benda padat, juga perihal adanya
hubungan yang erat dengan perimbangan yang pelik yang merapikan susunan
diantara alam-alam yang beraneka ragam itu serta yang menguatkan keadaannya
masing-masing itu, semuanya tidak lain kecuali merupakan tanda dan bukti
perihal wujudnya Allah. Selain menunjukkan adanya Dzat itu juga membuktikan
keesaanNya dan hanya Dia sajalah yang Maha Kuasa untuk menciptakannya.
Kiranya tidak terlukis sama sekali dalam akal fikiran siapapun bahwa
benda-benda tersebut terjadi tanpa ada yang mengadakan atau menjadikan,
sebagaimana juga halnya tidak mungkin terlukiskan bahwa sesuatu buatan itu
tidak ada yang membuatnya. Oleh sebab itu, manakala sudah tetap bahwa
penciptaan alam semesta ini memang karena adanya kesengajaan, maka tetap pula
lah perihal adanya Tuhan (Allah) sebagai Dzat Maha Pengatur yang bijaksana,
Maha Mulia dan Tinggi yakni dari jalan yang sama-sama dapat dirasakan.
Dengan demikian tidak ada jalan lain untuk membantah atau
mengingkarinya dan ini tepat sekali dengan apa yang difirmankan oleh Allah
SWT:
Apakah dalam Dzat Allah masih ada keragu-raguan, yaitu Tuhan Maha
Pencipta langit dan bumi?
(Surah Ibrahim:10)

10

Allah Taala telah berfirman dalam kitab-Nya yg Agung:


Sesungguhnya Rabb kalian semua adalah Allah yg telah menciptakan
langit & bumi dalam masa enam hari, kemudian Dia bersemayam diatas
Arsy. Dia menutupkan malam pd siang yg mengikutinya dgn cepat, &
diciptakannya pula matahari, bulan & bintang-bintang (masing-masing)
tunduk pd perintah-Nya, Ingatlah menciptakan & memerintah itu
hanyalah hak Allah, Maha suci Allah Rabb semesta alam .
(Al Quran Surat: Al A`raaf:;54)
Fitrah Sebagai Bukti Adanya ALLAH SWT
Alam semesta atau jagad raya dengan segala sesuatu yang ada didalamnya
yang nampak sangat teratur kokoh, indah, sempurna, rapi dan seluruhnya sebagai
ciptaan baru, bukannya itu saja yang dapat digunakan sebagai saksi tentang
adanya Tuhan (Allah) yang maha mendirikan langit dan bumi ini, tetapi masih ada
saksi lain lagi yang dapat digunakan untuk itu dan bahkan dapat lebih
meresapkan. Saksi yang lainnya itu adalah berupa perasaan-perasaan yang
tertanam dalam jiwa setiap insan yang merasakan akan adanya Allah SWT.
Perasaan ini adalah sebagai pembawaan sejak manusia itu dilahirkan dan
oleh sebab itu dapat disebut sebagai perasaan fitrah. Fitrah adalah keaselian yang
diatasnya itulah Allah menciptakan makhluk manusia itu. Ini dapat pula
diibaratkan dengan kata lain sebagai gharizah diniah atau pembawaan keagamaan.
Ghazirah dianiah adalah satu-satunya hal yang merupakan batas pemisah
antara makhluk Tuhan yang disebut manusia dan yang disebut binatang, sebeb
binatang pasti tidak memikirkannya. Ghazirah keagamaan ini adakalanya tertutup
atau hilang, sebagian atau seluruhnya, dengan adanya sebab yang mendatang,
sehingga manusia yang sedang dihinggapi penyakit ini lalu tidak mengerti sama
sekali tentang kewajiban dirinya terhadap Tuhan. Ia tidak terjaga dari
kenyenyakan tidurnya dan tidak dapat dibangunkan dari kelalaiannya itu, kecuali
apabila ada penggerak yang menyebabkan ia jaga dan bangun.
Dalam hal ini Allah Taala berfirnan :
Dan jikalau manusia itu ditimpa bahaya, maka ia pun berdoalah kepada
Kami (Allah) diwaktu berbaring, diwaktu duduk atau berdiri. Tetapi
setelah Kami hilangkan bahaya itu dari padanya, iapun berjalanlah
seolah-olah tidak pernah berdoa kepada Kami atas bahaya yang telah
menghinggapinya itu.
(S. Yunus.12).

11

Bukti Kejadian dan Pengalaman


Setiap manusia tentu pernah berdoa kepada Tuhannya, kemudian
dikabulkanlah apa yang menjadi permintaannya. Pernah pula memanggilNya dan
iapun dijawab apa yang diinginkan serta dikehendakinya. Ia pernah pula
memintaNya dan apa yang diminta itupun diberikan. Tidak sedikit orang yang
sakit dan memohon kesembuhan kepadaNya disamping berusaha dengan berobat
yang dilakukan dan kemudian ia berhasil sembuh.
Pengalaman-pengalaman manusia dalam kehidupannya di dunia ini
sebenarnya sudah membimbing dirinya sendiri untuk dapat sampai kepada
penemuan akan Allah SWT secara kesadaran dan bukan karena adanya paksaan,
sebab pengalaman-pengalaman itu memang dapat membuka segala macam
hakikat yang ia sendiri pasti tidak merasakan dengan panca inderanya.
Dan (ingatlah kisah) Nuh, sebelum itu ketika dia berdoa, dan Kami
memperkenankan doanya, lalu Kami selamatkan dia beserta keluarganya
dari bencana yang besar.
(Al Anbiya: 76)
(Ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada Robbmu, lalu
diperkenankan-Nya bagimu.
(Al Anfaal: 9)
Anas bin Malik Ra berkata,
Pernah ada seorang badui datang pada hari Jumat. Pada waktu itu
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam tengah berkhotbah. Lelaki itu berkata Hai
Rasul Allah, harta benda kami telah habis, seluruh warga sudah kelaparan. Oleh
karena itu mohonkanlah kepada Allah Subhanahu wa Taala untuk mengatasi
kesulitan kami. Rasulullah lalu mengangkat kedua tanganya dan berdoa. Tibatiba awan mendung bertebaran bagaikan gunung-gunung. Rasulullah belum
turun dari mimbar, hujan turun membasahi jenggotnya. Pada Jumat yang kedua,
orang badui atau orang lain berdiri dan berkata, Hai Rasul Allah, bangunan
kami hancur dan harta bendapun tenggelam, doakanlah akan kami ini (agar
selamat) kepada Allah. Rasulullah lalu mengangkat kedua tangannya, seraya
berdoa: Ya Robbku, turunkanlah hujan di sekeliling kami dan jangan Engkau
turunkan sebagai bencana bagi kami. Akhirnya beliau tidak mengisyaratkan
pada suatu tempat kecuali menjadi terang (tanpa hujan).
(HR. Al Bukhari)

12

Dalil Naqli
Sekalipun secara fitrah manusia bisa mengakui adanya Allah, dan dengan
akal pikiran bisa membuktikannya, namun manusia tetap memerlukan dalil naqli
(al-Quran dan Sunnah) untuk membimbing manusia untuk mengenal Tuhan yang
sebenarnya (Allah) dengan segala asma dan sifatNya. Sebab fithrah dan akal tidak
bisa menjelaskan siapa Tuhan yang sebenarnya itu (Allah).
Allah SWT adalah Al-awwal artinya tidak ada permulaan bagi wujudNya.
Dia juga Al-Akhir akhirnya tidak ada akhir dari wujudNya.
Dialah yng awal dan yang akhir, yang zhahir dan yang bathin, dan Dia
Mengetahui segala sesuatu.
(Al-Hadid 57:3).
Tidak ada satu pun yang menyerupaiNya.
Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia lah Yang Maha
Mendengar lagi Maha Melihat.
(As-Syura 42:11).
Allah SWT Maha Esa
Katakanlah : Dialah Allah, Yang Maha Esa
(Al-Ikhlas 112:1).
Allah SWT memiliki Al-Asma was Shiffaat (nama-nama dan sifat-sifat)
yang disebutkanNya untuk diriNya di dalam Al-Quran serta semua nama dan sifat
yang dituturkan untukNya oleh Rasulullah SAW dalam sunnahnya, seperti ArRahmaan, Ar-Rahiim, AlAliim, Al-Aziz, As-Sami, Al-Bashiir dan lain-lain.
Firman Allah :

yang

Hanya milik Allah asmaa-ul husna, maka bermohonlah kepadaNya


dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang
menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-namaNya. Nanti
mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka
perbuat.
(Al-Araf 7:18).

13

KEIMANAN DAN KETAQWAAN


Pengertian Iman
Kebanyakan orang menyatakan bahwa kata iman berasal dari kata kerja
amina-yumanu-amanan yang berarti percaya. Oleh karena itu, iman yang berarti
percaya menunjuk sikap batin yang terletak dalam hati. Akibatnya, orang yang
percaya kepada Allah dan selainnya seperti yang ada dalam rukun iman, walaupun
dalam sikap kesehariannya tidak mencerminkan ketaatan dan kepatuhan (taqwa)
kepada yang telah dipercayainya, masih disebut orang yang beriman. Hal itu
disebabkan karena adanya keyakinan mereka bahwa yang tahu tentang urusan hati
manusia adalah Allah dan dengan membaca dua kalimah syahadat telah menjadi
Islam.
Dalam surah al-Baqarah ayat 165 dikatakan bahwa orang yang beriman
adalah orang yang amat sangat cinta kepada Allah (asyaddu hubban lillah). Oleh
karena itu beriman kepada Allah berarti amat sangat rindu terhadap ajaran Allah,
yaitu Al-Quran menurut Sunnah Rasul. Hal itu karena apa yang dikehendaki
Allah, menjadi kehendak orang yang beriman, sehingga dapat menimbulkan tekad
untuk mengorbankan segalanya dan kalau perlu mempertaruhkan nyawa.
Dalam hadits diriwayatkan Ibnu Majah Atthabrani, iman didefinisikan
dengan keyakinan dalam hati, diikrarkan dengan lisan, dan diwujudkan dengan
amal perbuatan (Al-Immaanu aqdun bil qalbi waigraarun billisaani waamalun bil
arkaan). Dengan demikian, iman merupakan kesatuan atau keselarasan antara hati,
ucapan, dan laku perbuatan, serta dapat juga dikatakan sebagai pandangan dan
sikap hidup atau gaya hidup.
Istilah iman dalam al-Quran selalu dirangkaikan dengan kata lain yang
memberikan corak dan warna tentang sesuatu yang diimani, seperti dalam surat
an-Nisa:51 yang dikaitkan dengan jibti (kebatinan/idealisme) dan thaghut
(realita/naturalisme). Sedangkan dalam surat al-Ankabut: 52 dikaitkan dengan
kata bathil, yaitu walladziina aamanuu bil baathili. Bhatil berarti tidak benar
menurut Allah. Dalam surat lain iman dirangkaikan dengan kata kaafir atau
dengan kata Allah. Sementara dalam al-Baqarah: 4, iman dirangkaikan dengan
kata ajaran yang diturunkan Allah (yuminuuna bimaa unzila ilaika wamaa unzila
min qablika).
Kata iman yang tidak dirangkaikan dengan kata lain dalam al-Quran,
mengandung arti positif. Dengan demikian, kata iman yang tidak dikaitkan
dengan kata Allah atau dengan ajarannya, dikatakan sebagai iman haq.
Sedangkan yang dikaitkan dengan selainnya, disebut iman bathil.

14

Korelasi Keimanan dan Ketakwaan


Keimanan pada keesaan Allah yang dikenal dengan istilah tauhid dibagi
menjadi dua, yaitu tauhid teoritis dan tauhid praktis. Tauhid teoritis adalah tauhid
yang membahas tentang keesaan Zat, keesaan Sifat, dan keesaaan Perbuatan
Tuhan. Pembahasan keesaan Zat, Sifat, dan Perbuatan Tuhan berkaitan dengan
kepercayaan, pengetahuan, persepsi, dan pemikiran atau konsep tentang Tuhan.
Konsekuensi logis tauhid teoritis adalah pengakuan yang ikhlas bahwa Allah
adalah satu-satunya Wujud Mutlak, yang menjadi sumber semua wujud.
Adapun tauhid praktis yang disebut juga tauhid ibadah, berhubungan
dengan amal ibadah manusia. Tauhid praktis merupakan terapan dari tauhid
teoritis. Kalimat Laa ilaaha illallah (Tidak ada Tuhan selain Allah) lebih
menekankan pengertian tauhid praktis (tauhid ibadah). Tauhid ibadah adalah
ketaatan hanya kepada Allah. Dengan kata lain, tidak ada yang disembah selain
Allah, atau yang berhak disembah hanyalah Allah semata dan menjadikan-Nya
tempat tumpuan hati dan tujuan segala gerak dan langkah.
Selama ini pemahaman tentang tauhid hanyalah dalam pengertian beriman
kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Mempercayai saja keesaan Zat, Sifat, dan
Perbuatan Tuhan, tanpa mengucapkan dengan lisan serta tanpa mengamalkan
dengan perbuatan, tidak dapat dikatakan seorang yang sudah bertauhid secara
sempurna. Dalam pandangan Islam, yang dimaksud dengan tauhid yang sempurna
adalah tauhid yang tercermin dalam ibadah dan dalam perbuatan praktis
kehidupan manusia sehari-hari. Dengan kata lain, harus ada kesatuan dan
keharmonisan tauhid teoritis dan tauhid praktis dalam diri dan dalam kehidupan
sehari-hari secara murni dan konsekuen.
Dalam menegakkan tauhid, seseorang harus menyatukan iman dan amal,
konsep dan pelaksanaan, fikiran dan perbuatan, serta teks dan konteks. Dengan
demikian bertauhid adalah mengesakan Tuhan dalam pengertian yakin dan
percaya kepada Allah melalui pikiran, membenarkan dalam hati, mengucapkan
dengan lisan, dan mengamalkan dengan perbuatan. Oleh karena itu seseorang baru
dinyatakan beriman dan bertakwa, apabila sudah mengucapkan kalimat tauhid
dalam syahadat asyhadu allaa ilaaha illa Alah, (Aku bersaksi bahwa tidak ada
Tuhan selain Allah), kemudian diikuti dengan mengamalkan semua perintah Allah
dan meninggalkan segala larangan-Nya.

15

PENUTUP
Sebagai penutup saya kutip perkataannya Al Ghazali dalam bukunya AlMaqasidul Asna, yang membahas tentang Asma' Alhusna, bahwa "Ketuhanan"
adalah sesuatu yang hanya dimiliki Allah, tidak dapat tergambar dalam bentuk
benak, bahwa ada yang mengenalnya kecuali Allah atau yang sama dengan-Nya,
dan karena tidak ada yang sama dengan-Nya, maka tidak ada yang mengenalnya
kecuali Allah.
Tidak ada yang mengenal Allah kecuali Allah Yang Maha Tinggi sendiri,
karena itu Dia tidak menganugerahkan kepada hamba-Nya yang termulia
(Muhammad saw) kecuali nama yang diselubungi dengan firman-Nya
"Sabbihisma Rabbika al A'la", Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Maha Tinggi.
Demi Allah tidak ada yang mengetahui Allah di dunia dan di akhiratkecuali Allah. Karena itu tulis Al-Ghazali; "Jika Anda bertanya apakah puncak
pengetahuan orang-orang arif tentang Allah?" Saya menjawab kata Al-Ghazali-,
"Puncak pengetahuan orang-orang arif adalah ketidakmampuan mengenal-Nya".
Sesuai dengan yang diisyaratkan Nabi Muhammad saw ; Saya Ya Allah- tidak
menjangkau pujian untuk-Mu dan mencakup sifat-sifat ketuhanan-Mu. Hanya
Engkau sendiri yang mampu untuk itu" H.R. Ahmad.
Maka, selesai sudah makalah agama yang telah menyentuh Konsep
Ketuhanan Dalam Islam.

16

DAFTAR PUSTAKA

Sabiq, Sayid. 2002. Aqidah Islam. Bandung: Penerbit Diponegoro.


Taymiyah, Ibnu. 1983. Aqidah Islam. Bandung : Al-Maarif.

Ilyas, Yunahar. 2004. Kuliah Aqidah Islam. Yogyakarta: LPPI Universitas


Muhammadiyah Yogyakarta.

Syaltut, Mahmud. 1994. Aqidah dan Syariah Islam. Jakarta: Bumi Aksara

http:///F:/download/filsafat-ketuhanan.htm

http ///F:/download/konsep-ketuhanan-dalam-islam.htm

17

Anda mungkin juga menyukai