Anda di halaman 1dari 9

Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Pengembangan Ayam Lokal

PENAMPILAN REPRODUKSI TIGA JENIS AYAM LOKAL


JAWA BARAT
SOEPARNA, KUNDRAT HIDAJAT dan TITA D. LESTARI
Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran
Jatinangor, Sumedang 45363

ABSTRAK
Penelitian mengenai penampilan reproduksi tiga jenis ayam lokal Jawa Barat telah dilaksanakan di
Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran, Jatinangor, Sumedang. Penelitian ini menggunakan 24 ekor
ayam jantan, yang terdiri dari tiga strain lokal yaitu Pelung, Sentul dan Jantur. Masing-masing strain lokal
diwakili oleh 8 (delapan) ekor. Seluruh ayam jantan yang digunakan dalam penelitian ini didatangkan dari
tempat aslinya. Ayam Pelung dari Cianjur, ayam Sentul dari Ciamis, dan ayam Jantur dari Pamanukan,
Subang. Peubah-peubah yang diamati selama penelitian laboratoris meliputi volume semen, pH semen,
konsentrasi sperma total dan motilitas sperma. Pengambilan data dilakukan setiap minggu selama delapan
minggu. Setelah pengumpulan data kualitas semen secara in vitro diperoleh, semen dari seluruh pejantan diuji
periode fertil spermanya menggunakan 240 ekor ayam petelur strain Super Harco. Masing-masing pejantan
diuji oleh 10 ekor betina. Pakan yang diberikan kepada ayam-ayam penelitian adalah pakan ayam petelur
komersial yang mengandung protein kasar 16% dan 2850 kcal ME/kg. Setiap ekor ayam jantan memperoleh
125 gram/ekor/hari yang diberikan dua kali dalam bentuk pasta. Air minum diberikan secara ad libitum.
Pengukuran peubah penelitian seluruhnya dilakukan secara manual. Penghitungan konsentrasi sperma total
dan konsentrasi sperma mati dilakukan menggunakan pipet haemacytometer dan kamar hitung Neubauer.
Larutan NaCl 3% digunakan untuk melakukan penghitungan konsentrasi sperma total, sedangkan BPSE
digunakan dalam penghitungan konsentrasi sperma mati serta pengenceran semen untuk inseminasi untuk
pengukuran periode fertil sperma. Setiap ekor ayam betina yang berumur 25 minggu diinseminasi dengan
0,25 ml semen cair yang mengandung 100 juta sperma motil. Data yang terkumpul kemudian dianalisis
menggunakan Sidik Ragam. Adapun perbedaan nilai yang terjadi pada setiap strain ayam lokal diuji
menggunakan Uji Beda Nyata Jujur. Hasil penelitian menunjukan bahwa ayam Pelung memiliki kualitas
semen, baik secara kualitatif maupun kuantitatif, yang paling baik dibandingkan dengan ayan Sentul dan
ayam Jantur. Ayam Pelung yang memiliki ukuran tubuh paling besar akan memiliki jaringan testicular yang
lebih besar dari dua jenis ayam lainnya sehingga mampu menghasilkan kuantitas semen yang lebih banyak.
Ayam Pelung juga memiliki kemampuan beradaptasi yang lebih baik terhadap lingkungan tempat penelitian
serta sistem pemeliharan selama penelitian. Keeratan hubungan antara hewan dengan manusia (animal-human
relationship) ayam Pelung juga lebih baik sehingga sangat berperan dalam mengatasi cekaman (stress)
selama penampungan semen sehingga kualitas semennya menjadi lebih baik. Seleksi yang dilakukan secara
terus menerus ke arah kualitas suara (salah satu karakter seks sekunder jantan) pada ayam Pelung secara tidak
langsung berpengaruh terhadap pencapaian kualitas dan kuantitas semennya. Penelitian ini juga menunjukan
bahwa motilitas sperma merupakan parameter yang paling baik untuk menentukan kualitas sperma secara in
vitro. Adapun apabila pengukuran kualitas semen dilakukan secara in vivo, maka lebih tepat menggunakan
parameter periode fertil sperma.
Kata kunci: Ayam lokal, penampilan reproduksi

PENDAHULUAN
Ayam lokal Indonesia yang lazim pula
disebut sebagai ayam Kampung, ayam Buras,
atau ayam Sayur memiliki kontribusi yang
cukup besar terhadap pemenuhan protein
hewani masyarakat Indonesia. Ayam lokal ini
pada umumnya dipelihara secara semi intensif
atau ekstensif di perdesaan. Bagi golongan
masyarakat tertentu, daging ayam lokal
tersebut memiliki cita rasa yang sangat spesifik

dan tidak tergantikan oleh daging ayam ras


yang harganya lebih murah.
Ayam lokal Indonesia yang pada umumnya
merupakan keturunan dari ayam Hutan Merah
(Gallus gallus) (PRAWIROKUSUMO, 1978;
ICHINOE, 1982; AINI, 1990; CRAWFORD, 1990)
terdiri dari banyak strain lokal. Sampai saat ini
paling tidak sudah ada 21 jenis ayam lokal
yang mulai diidentifikasi (NATAAMIJAYA,
1993). Sebagian dari ayam lokal teridentifikasi
tersebut berada di Jawa Barat, yaitu ayam

105

Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Pengembangan Ayam Lokal

Banten, ayam Burgo (Cirebon), ayam Ciparage


(Karawang), ayam Wareng (Indramayu), ayam
Pelung (Cianjur dan Sukabumi), ayam Sentul
(Ciamis), ayam Lamba (Garut) dan ayam
Jantur (Pamanukan Subang).
Ayam Pelung merupakan ayam lokal Jawa
Barat dikenal sebagai ayam penyanyi yang
memiliki kemurnian relatif tinggi. Hal itu
merupakan konsekuensi tidak langsung dari
aktivitas pemuliabiakan tradisional yang
dilakukan masyarakat Cianjur dan Sukabumi
ke arah penampilan suara selama puluhan
tahun. Ayam Pelung juga merupakan ayam
lokal yang memiliki ukuran tubuh terutama
jantannya paling besar diantara ayam lokal di
Jawa Barat. Pada saat ini bobot ayam Pelung
jantan dewasa berkisar antara 3,50 5,50 kg,
sedang ayam betina 2,5 3,5 kg (MANSJOER,
S.S. et al., 1990; ANONYMOUS, 1994). Menurut
penuturan para peternak sepuh di daerah
Cianjur dan Sukabumi, bobot badan ayam
Pelung jantan di masa lalu lebih tinggi lagi,
yaitu dapat mencapai 7,5 kg.
Ayam Pelung betina mulai bertelur pada
umur 5,5 7 bulandengan produksi 14,33 butir
dalam setiap periode bertelur tau sekitar 39
68 butir/tahun. Telur ayam Pelung memiliki
bobot rata-rata 42,20 gram/butir dengan
fertilitas dan daya tetas telur sebesar 76,60%
dan 80% (MANSJOER et al., 1990; 1994;
NATAAMIJAYA, 1993; ANONYMOUS, 1994).
Informasi mengenai potensi reproduksi ayam
Pelung jantan sampai saat ini belum banyak
terungkap.
Ayam Sentul merupakan ayam lokal yang
berkembang di wilayah Kabupaten Ciamis,
Jawa Barat. Penampilan fisiknya agak mirip
dengan ayam sabung (Bangkok), hanya variasi
warna bulu serta bentuk jengger dan/atau
pialnya sangat lebar. Ayam Sentul tersebut
mendapat perhatian dan pemeliharaan yang
lebih baik sehubungan dengan produksi
telurnya dapat mencapai 10 18 butir/periode
peneluran. Masa istirahat antara satu periode
peneluran dengan periode peneluran berikutnya
relative pendek serta bobot telur yang
mencapai 43,87 1,25 gram merupakan daya
tarik lain dari ayam tersebut. Fertilitas dan
daya tetas telurnya mencapai 80,40% dan
78,20% (NATAAMIJAYA, 1993). Adapun
informasi produktivitas dan kemampuan
reproduksi ayam jantannya belum tergali.

106

Ayam Jantur adalah ayam lokal Jawa Barat


yang berkembang secara alamiah di Desa
Rancahilir, Kecamatan Pamanukan, Kabupaten
Subang. Penampilan morfologik ayam Jantur
jantan lebih mendekati postur ayam sabung
(Bangkok). Perawakannya masif dengan
tungkai yang kokoh. Aspek yang membedakan
ayam Jantur dengan ayam Bangkok adalah
keberagaman warna bulu dan bentuk jengger
dan/atau pialnya. Penampilan ayam betina
dewasanya pun lebih mendekati ayam
Bangkok betina.
Ayam Jantur jantan dewasa memiliki berat
badan 2,50 3,50 kg, sedangkan betina
dewasanya memiliki berat badan sekitar 1,70
kg. Ayam betina mulai bertelur pada umur 5
6 bulan dengan berat telur sekitar 37
gram/butir.
Tingginya keanekaragaman hayati ayam
lokal di Jawa Barat khususnya dan Indonesia
pada umumnya merupakan peluang bagi
pelaku pemuliaan ternak mengembangkan
strain ayam baru berbasis potensi lokal. Hal ini
dilandasi oleh karakteristik ayam lokal yang
sangat adaptif dengan kondisi iklim tropis dan
sistem pemeliharaan yang tidak rumit serta
potensi-potensi lainnya yang belum tergali,
seperti daya tahannya terhadap penyakit
tertentu.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini menggunakan 30 ekor ayam
jantan yang terdiri dari 10 ekor ayam Pelung,
10 ekor ayam Sentul, dan 30 ekor ayam Jantur
yang berumur antara 10 sampai 12 bulan.
Ayam-ayam tersebut diperoleh dari peternak di
Kabupaten Cianjur, Ciamis, dan Subang Jawa
Barat. Bobot badan rata-rata ayam Pelung
3,376 kg, ayam Sentul 2,514 kg, dan ayam
Jantur 2,340 kg. Masing-masing ayam
dipelihara dalam kandang individu yang
ditempatkan dalam ruangan seluas 30 m2.
Masing-masing kandang individu yang
berbahan rangka kayu dengan dinding dan alas
bilah-bilah bambu berukuran panjang 80 cm,
lebar 80 cm, dan tinggi 70 cm. Ruangan
tersebut dilengkapi dengan dua buah exhauster
fan. Adapun pencahayaan sepenuhnya
menggunakan cahaya alami.
Ayam-ayam jantan penelitian diberi pakan
petelur komersial yang mengandung 26%

Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Pengembangan Ayam Lokal

protein kasar dan 2.850 kcal ME/kg. Setiap


ekor memperoleh pakan sebanyak 120
gram/hari yang diberikan dua kali yaitu pukul
07.00 dan pukul 14.00. Pakan diberikan dalam
bentuk pasta. Adapun air minum diberikan
secara ad libitum. Seluruh ayam penelitian
diberikan kesempatan exercise dua kali dalam
seminggu, masing-masing selama dua jam
(dari jam 08.30 10.30). Ayam-ayam tersebut
dikeluarkan secara bergiliran dari kandang
individu dan dilepaskan dalam ranch kecil
yang berukuran 50 m2.
Penampungan semen dilakukan secara
artifisial dengan cara pengurutan yang
merupakan modifikasi dari metode yang
dikembangkan oleh BURROWS dan QUINN
(1935). Penampungan semen untuk keperluan
evaluasi kualitas semen secara in vitro
dilakukan selama delapan minggu dengan
frekuensi satu kali per minggu. Adapun
penampungan pada minggu ke-sembilan dan
ke-sepuluh dilaksanakan untuk keperluan
pengujian periode fertil sperma secara in vivo
melalui inseminasi buatan. Seluruh kegiatan
penampungan
dan
evaluasi
semen
dilaksanakan pada sore hari (pukul 15.30
17.30). Begitu pula dengan pelaksanaan
inseminasi.
Semen yang diperoleh dari hasil
penampungan kemudian dicatat kualitas
makroskopiknya (volume, warna, kekentalan,
bau dan pH). Setelah itu dievaluasi secara
mikroskopik yang meliputi konsentrasi sperma
total dan konsentrasi sperma matinya.
Penghitungan konsentrasi sperma dilaksanakan
menggunakan pipet Haemacytometer dan
kamar hitung Neubauer. Penghitungan
konsentrasi sperma total memakai larutan
Natrium Klorida 3% yang diberi pewarna
Eosin, sedangkan larutan Beltsville Poultry
Semen Extender (SEXTON, 1977; BOOTWALLA,
and MILES, 1992) digunakan dalam
mengencerkan semen untuk penghitungan
jumlah sperma mati. Penentuan motilitas
sperma dilakukan berdasarkan perbandingan
konsentrasi sperma hidup (selisih dari
konsentrasi sperma total dengan konsentrasi
sperma mati) dengan konsentrasi sperma total.
Larutan yang sama juga dipakai mengencerkan
semen untuk keperluan inseminasi.
Penentuan
periode
fertil
sperma
dilaksanakan pada 240 ekor ayam betina
petelur strain Super Harco yang berumur 25

minggu. Setiap ekor pejantan diuji dengan 10


ekor ternak betina. Ayam-ayam betina tersebut
diinseminasi dengan semen sebanyak 0,25 ml
yang mengandung 100 juta sperma motil.
Telur-telur yang dioviposisikan mulai hari ke-2
setelah inseminasi dikoleksi, diberi tanda
berdasarkan individu betina, hari peneluran,
dan kode pejantan. Telur-telur yang terkumpul
dibersihkan dari kotoran kemudian disimpan
dalam ruangan yang suhunya diatur pada 15o
C. Telur-telur yang sudah terkumpul, setiap
tiga hari diinkubasi. Pada hari ke-5 masa
inkubasi diperiksa fertilitasnya melalui pengamatan perkembangan embrionya. Penentuan
periode fertil sperma dilakukan dengan jalan
melihat telur fertil terakhir yang dihasilkan
pada hari ke-n setelah pelaksanaan inseminasi.
Data mengenai bobot badan mingguan
ayam jantan, kualitas semen dan periode fertil
sperma diuji secara statistik menggunakan
Daftar Sidik Ragam. Adapun korelasi antara
satu peubah dengan peubah lain diuji
menggunakan matriks korelasi. Perbedaan
yang terdapat dalam satu peubah dievaluasi
dengan LSD. Model matematik yang
digunakan dalam penelitian ini adalah:
Y = + i + j+ij + k + i k + jk + ijk,
dimana
Y = dependent variable
= means
i = pengaruh minggu observasi
j = pengaruh individu
ij = error of i and j
k = pengaruh strain
ik = interaksi antara minggu ke-i dan
strain k
jk = interaksi antara individu j dan strain
k
ijk = error of data ijk
Data
penelitian
tersebut
diolah
menggunakan Program Statistik SX 3.1 (NH
Analytical Software).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Korelasi Umum
Berdasarkan matriks korelasi yang dibuat,
terdapat hubungan yang cukup kuat antara
bobot badan dengan volume semen (r =
0,5238) dan antara bobot badan dengan

107

Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Pengembangan Ayam Lokal

motilitas sperma (r = 4527). Sedangkan


korelasi antara volume semen dengan
konsentrasi sperma total dan motilitas sperma
hanya memiliki nilai r = 0,2526 dan r = 0,2371.

Rataan hasil pengamatan penampilan


reproduksi tiga jenis ayam lokal selama
delapan minggu disajikan pada Tabel berikut:

Tabel 1. Karakteristik semen ayam Pelung, Sentul, dan Jantur


Variabel yang diamati
Bobot badan (kg)
Volume semen (ml)
pH semen
Konsentrasi sperma total (juta sel/ml)
Motilitas sperma ( % )
Periode fertil sperma(hari)

Pelung

Sentul

Jantur

3,515Aa
0,48 A
7,42 b
3.160,30 AB
78,52A
15,88A

2,515 Bb
0,33 b
7,42 b
3.031,40B
71,95B
14,40AB

2,446Bc
0,32 b
7,63 A
3.262,30 A
60,08C
12,91B

Keterangan: Huruf besar (superscript) yang berbeda ke arah kolom dalam baris yang sama menunjukan
perbedaan sangat nyata (P < 0,01); sedangkan huruf kecil menunjukan perbedaan nyata (P <
0,05)

Perkembangan bobot badan ayam


Pengamatan perkembangan bobot badan
ayam jantan dilakukan setiap minggu untuk
melihat tingkat kecukupan pakan yang
diberikan. Ketiga strain ayam lokal yang
dijadikan subjek penelitian menunjukkan
peningkatan berat badan secara konstan. Ayam
Pelung menunjukkan peningkatan berat badan
yang paling tinggi, diikuti oleh strain Jantur.
Adapun ayam Sentul mengalami sedikit
penurunan pada minggu ke-empat dan ke-lima.
Hasil analisis statistik mengenai berat
badan menunjukan bahwa masing-masing
variabel, yaitu strain ayam, individu ayam dan
minggu observasi menunjukkan perbedaan
nyata satu dengan yang lainnya. Uji LSD
memperkuat bahwa bobot badan ayam Pelung
sangat nyata (P < 0,01) lebih tinggi dari pada
ayam Sentul dan ayam Jantur. Adapun ayam
Sentul nyata (P <0,05) lebih berat dari pada
ayam Jantur.
Perbedaan tersebut selain disebabkan oleh
faktor genetik, kemungkinan disebabkan oleh
tingkat kemampuan ayam-ayam tersebut
beradaptasi terhadap lingkungan serta sistem
pemeliharaan. Ayam Pelung di tempat asalnya
sudah terbiasa dikandangkan sepanjang hari
dengan pemberian pakan yang lebih menjamin
kebutuhan fisiologik ayam. Adapun ayam
Sentul dan ayam Jantur tampaknya belum
dapat beradaptasi sebaik ayam Pelung karena
selain pola pemeliharaan di tempat asal sangat
berbeda dengan apa yang mereka alami di

108

tempat penelitian. Keadaan lingkungan tempat


penelitian pun sangat berbeda dengan tempat
asalnya.
Volume semen
Informasi mengenai volume semen yang
ditampung secara mingguan disajikan pada
Gambar 2. Secara keseluruhan, volume semen
dari ketiga strain ayam mengalami penurunan
pada penampungan minggu kedua dan ketiga.
Volume semen ayam Pelung selama penelitian
relatif konstan, sedangkan dua jenis ayam
lainnya mengalami penurunan yang sangat
tajam pada penampungan minggu kedua.
Setelah itu kembali normal meskipun
volumenya tidak dapat kembali pada tingkat
penampungan pertama.
Hasil analisis statistik memperlihatkan
bahwa antara strain ayam terdapat perbedaan
yang sangat nyata di mana ayam Pelung
menempati posisi paling tinggi diikuti oleh
ayam Sentul dan ayam Jantur. Adapun antara
kedua strain terakhir secara statistik tidak
menunjukan adanya perbedaan.
Mengacu pada pendapat LAKE (1981),
bobot sepasang testes ayam jantan yang aktif
secara seksual mencapai 1% dari berat badan
totalnya. Ayam Pelung tampaknya akan
memiliki ukuran testes yang paling besar
dibandingkan dengan dua ayam jenis lainnya.
Konsekuensi dari keadaan tersebut ayam
Pelung mampu memproduksi semen lebih
banyak daripada ayam-ayam yang berukuran

Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Pengembangan Ayam Lokal

tubuh lebih kecil seperti Sentul dan Jantur.


Volume semen yang diperoleh secara artifisial
selain tergantung pada umur dan bangsa ayam
(BAKST dan BAHR, 1993), juga dipengaruhi
oleh kebiasaan ayam menjalani proses
penampungan semen secara artifisial dan
tingkat keahlian operator yang merangsang dan
mengurutnya (FUJIHARA, 1992). Melihat
sistem pemeliharaan ayam Pelung yang
menekankan keeratan hubungan antara pemilik
dengan ayam peliharaannya atau animalhuman relationship (SIEGEL, 1993), maka
tingkat stress ayam Pelung ketika menjalani
proses penampungan secara buatan akan lebih
rendah dibandingkan dengan ayam Sentul dan
ayam Jantur.

pH semen
pH semen tiga jenis ayam lokal yang
ditampung selama delapan minggu disajikan
pada Gambar 3 berikut ini.
Ayam Pelung memiliki pH yang agak
alkalis pada penampungan pertama sampai
ketiga. Akan tetapi secara rata-rata pada
penampungan keempat sampai ke delapan pHnya relatif konstan. Adapun ayam Sentul
mengalami peningkatan pH pada penampungan
kedua dan bergerak mendekati nilai 7 pada
periode akhir penelitian. Sedangkan ayam
Jantur memiliki pH yang lebih alkalis dari
kedua jenis ayam sebelumnya.

4200
4000

3600
3400
3200

Pelung

3000

Sentul

2800

Jantur

2600
2400
2200
2000
1800

5
Minggu ke -

Gambar 1. Bobot badan mingguan tiga jenis ayam lokal Jawa Barat

Gambar 2. Volume semen mingguan tiga jenis ayam lokal Jawa Barat
0.8
0.7
0.6
0.5
0.4
0.3

Volume semen (ml)

Bobot badan (grams)

3800

Pelung
Sentul
Jantur

0.2
0.1
0
0

Minggu ke -

Gambar 2. Volume semen mingguan tiga jenis ayam lokal Jawa Barat

109

pH

Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Pengembangan Ayam Lokal

8.1
8
7.9
7.8
7.7
7.6
7.5
7.4
7.3
7.2
7.1
7
6.9
6.8
6.7
6.6
6.5
6.4

Pelung
Sentul
Jantur

Minggu ke -

Gambar 3. pH semen mingguan tiga jenis ayam lokal Jawa Barat

Konsentrasi Sperma (10 juta sell/ml)

450
425
400
375
Pelung

350
325

Sentul

300

Jantur

275
250
225
200
175
150
0

4
5
Minggu ke -

Gambar 4. Konsentrasi sperma total tiga jenis ayam lokal Jawa Barat

Secara statistik, ayam Jantur memiliki pH yang


sangat nyata (P < 0,01) lebih alkalis
dibandingkan dengan ayam Pelung dan Sentul.
Adapun pH semen antara ayam Pelung dan
Sentul tidak berbeda.
Konsentrasi sperma total
Rata-rata konsentrasi sperma total ayam
Pelung selama delapan minggu pengamatan
adalah 3.160,30 juta sel (3.037,50 juta 3.287,50 juta) sel setiap milliliter semennya.
Adapun ayam Sentul memiliki rataan
konsentrasi sperma total 3.031,40 juta sel

110

(2.712,50 juta 3.390,00 juta) sel/ml semen.


Sedangkan ayam Jantur memiliki rataan
konsentrasi sperma total yang lebih tinggi,
yaitu 3.262,30 juta (2.981,30 juta 3.575,00
juta) sel/ml semen.
Berdasarkan
hasil
analisis
statistik
diperoleh bahwa ayam Jantur memiliki rataan
konsentrasi sperma total yang sangat nyata (P
< 0,01) dibandingkan dengan ayam Sentul.
Akan tetapi perbedaannya dengan ayam Pelung
tidak nyata. Begitu pula antara konsentrasi
sperma total ayam Pelung dengan ayam Sentul.
Ayam Jantur merupakan ayam asli daerah
pantai utara Jawa Barat, tepatnya dari Desa

Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Pengembangan Ayam Lokal

Rancahilir Kecamatan Pamanukan Kabupaten


Subang. Temperatur lingkungan harian di
daerah tersebut jauh lebih panas dibandingkan
dengan tempat asal ayam Sentul (Ciamis),
apalagi dengan daerah Cianjur kota. Kondisi
klimatologik tempat penelitian (Jatinangor)
yang sedikit lebih hangat dari Cianjur dan lebih
dingin dibandingkan dengan wilayah pantai
utara Jawa Barat serta Ciamis kemungkinan
merupakan salah satu stimulator yang
membuat ayam Jantur mengalami proses
spermatogenesis lebih aktif. Faktor temperatur
lingkungan tersebut telah terbukti menurunkan
tingkat
spermatogenesis
pada
ternak
(ORTAVAN, dkk., 1969; PINEDA, 1989;
GARNER dan HAFEZ, 1993).
Motilitas sperma
Rataan motilitas sperma ayam penelitian
selama
delapan
minggu
pengamatan
menunjukan bahwa ayam Pelung memiliki

nilai motilitas sperma yang paling tinggi, yaitu


78,52% (74,38 - 81,25 %), diikuti oleh ayam
Sentul sebesar 71,95% (65,00 - 76,25%) dan
ayam Jantur sebesar 60,08% (42,50 - 73,75%).
Ketiga jenis ayam dalam penelitian ini
memperlihatkan pola motilitas sperma
mingguan yang berbeda. Ayam Pelung
memperlihatkan pola yang relative konstan
dari minggu pertama sampai akhir penelitian,
diikuti oleh ayam Sentul, Adapun ayam Jantur
memperlihatkan fluktuasi motilitas sperma
yang unik dari minggu ke minggu dengan
kecenderungan yang terus membaik.
Hasil analisis sidik ragam memperlihatkan
bahwa motilitas sperma ayam Pelung sangat
nyata (P < 0,01) lebih tinggi dibandingkan
dengan motilitas sperma ayam Sentul.
Motilitas sperma ayam Sentul juga sangat
nyata (P < 0,01) lebih tinggi dari pada motilitas
sperma ayam Jantur.

100
90
sperma

80

Pelung

70
Sentul

Motilitas

60
50

Jantur

(%)

40
30
20
10
0

Minggu ke -

Gambar 5. Motilitas sperma tiga jenis ayam lokal Jawa Barat


Perbedaan motilitas sperma tersebut selain
merupakan salah satu karakter reproduksi dari
setiap jenis ayam yang diteliti, juga erat
kaitannya dengan faktor pH, baik pH semen
maupun pH larutan pengencer yang digunakan
dalam penelitian ini, yaitu Beltsville Poultry
Semen Extender yang memiliki nilai 7,50.
Semen ayam Jantur yang lebih alkalis dari
ayam Pelung dan Sentul, juga memiliki rentang
perbedaan pH yang lebih lebar terhadap larutan
BPSE, yaitu 0,13. Adapun semen ayam Pelung

dan ayam Sentul rata-rata hanya memiliki


perbedaan sebesar 0,08.
Periode fertil sperma
Kemampuan sperma ayam, yang digunakan
dalam penelitian ini, untuk membuahi sel telur
bevariasi menurut jenis (strain) maupun
individu di dalam masing-masing strain. Ratarata periode fertil sperma ayam Pelung adalah
15,88 5,58 hari ( 6 25 hari); ayam Sentul
14,40 4,99 hari (6 23 hari); dan ayam
Jantur 12,91 4,45 hari (6 21 hari).

111

Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Pengembangan Ayam Lokal

Berdasarkan hasil analisis statistik, periode


fertil sperma ayam Pelung sangat nyata (P <
0,01) lebih lama dari pada periode fertil sperma
ayam Jantur. Adapun antara ayam Pelung dan
ayam Sentul serta ayam Sentul dan ayam
Jantur tidak menunjukan perbedaan lamanya
periode fertil.
Pencapaian periode fertil sperma ayam
Pelung yang lebih lama dibandingkan dengan
dua strain ayam Jawa Barat lainnya merupakan
manifestasi dari kualitas semen ayam Pelung
yang
secara
keseluruhan
lebih
baik
dibandingkan dengan semen ayam Sentul dan
Jantur. Meskipun jumlah sperma motil yang
diinseminasikan adalah sama (100 juta sel)
untuk setiap ekor betina, jumlah sperma ayam
Pelung yang mampu mencapai sperm nest di
daerah infundibulum kemungkinan besar lebih
banyak dibandingkan dengan sperma ayam
Jantur dan Sentul. Mekanisme di dalam saluran
reproduksi ayam betina hanya memfasilitasi
pengangkutan sperma motil menuju lipatanlipatan penyimpanan di bagian infundibulum.
Adapun sperma yang mati tidak akan mampu
mencapai
daerah
penyimpanan
yang
berdekatan tengan tempat berlangsungnya
proses fertilisasi tersebut (WISHART, 1984;
WISHART dan PALMER, 1985; BRILLARD,
1992).
KESIMPULAN
1. Ayam Pelung merupakan strain ayam local
Jawa Barat yang memiliki karakteristik
semen paling baik, dibandngkan dengan
ayam Sentul dan ayam Jantur, baik secara
kuantitatif maupun secara kualitatif. Ada
tiga kemungkinan untuk menjelaskan
fenomena tersebut:
a. Bobot tubuh berperan penting sebagai
penentu produksi semen. Ternak yang
memiliki ukuran tubuh lebih besar akan
memiliki jaringan testikular lebih besar
yang pada akhirnya lebih mampu
menghasilkan semen dalam volume yang
lebih besar pula.
b. Tingkat adaptasi hewan terhadap
lingkungan klimatologik dan sistem
pemeliharaan,
serta
animal-human
relationship ayam Pelung yang lebih baik
dibandingkan dengan ayam Sentul dan
ayam Jantur merupakan faktor-faktor

112

yang memperkuat produksi semen, baik


secara kualitatif maupun kuantitif.
c. Ayam Pelung memiliki status genetik
lebih baik sebagai hasil proses seleksi
dan pemuliabiakan selama beberapa
generasi. Proses seleksi ayam Pelung
jantan yang diarahkan pada kualitas suara
yang merupakan salah satu karakter seks
sekunder jantan secara tidak langsung
berpengaruh terhadap produksi dan
kualitas semen.
2. Motilitas sperma merupakan parameter
terbaik untuk menduga kualitas semen
secara in vitro. Adapun pengujian secara in
vivo, periode fertil sperma merupakan
parameter yang paling baik untuk
menentukan kualitas semen ayam secara
keseluruhan.
DAFTAR PUSTAKA
AINI, I. 1990. Indigenous chicken production in
South-East Asia. Worlds Poultry Science
Journal, 46: 51-57.
ANONYMOUS. 1994. Kokok Pelung mengundang
kedatangan Pangeran Jepang. Trubus, 299.
Jakarta. Indonesia. pp. 16-16.
ANONYMOUS. 1994. Spesies Ayam dan Varietasnya.
Trubus, 299 (Supplement). Jakarta. Indonesia.
pp. 1-16.
BAHR, J.M. and M.R. BAKST. 1993. Poultry. In:
HAFEZ, E.S.E. (Ed.). Reproduction in Farm
Animals. 6th edition. LEA and FEBIGER.
Philadelphia. pp. 385 - 402.
BOOTWALLA, S.M. and R.D. MILES. 1992.
Developments of diluents for domestic fowl
semen. Worlds Poultry Science Journal,
48:121-128.
BRILLARD, J.P. 1993. Sperm storage and transport
following natural mating and artificial
insemination. Poultry Science, 72: 923-928.
BRILLARD, J.P and M.R. BAKST. 1990.
Quantification of spermatozoa in the spermstorage tubules of turkey hens and the relation
to the sperm numbers in the perivitelline layer
of eggs. Biology of Reproduction, 43: 271175.
CRAWFORD, R.D. 1990. Origin and history of
poultry species, Pages 1-41, In: Poultry
Breeding and Genetics, R.D. CRAWFORD (ed.).
Elsevier. Amsterdam.

Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Pengembangan Ayam Lokal

FUJIHARA, N. 1992. Accessory reproductive fluids


and organs in male domestic birds. Worlds
Poultry Science Journal, 48: 39-56.
GARNER, D.L. and E.S.E. HAFEZ. 1993. Spermatozoa
and Seminal Plasma. In: HAFEZ, E.S.E. (Ed.).
Reproduction in Farm Animals. 6th edition.
LEA and FEBIGER. Philadelphia. pp. 165 - 187
ICHINOE, K. 1982. Introduction. In: ICHINOE (Ed.)
Physiological and Ecological Studies on
Jungle Fowls. Tokyo University of
Agriculture. pp. 3-8.
LAKE, P.E. 1981. Male genital organs. In : Form
and Function in Birds. Vol. 2. A.S. King and
J. MCLELLAND (eds.). Academic Press. New
York. pp. 3 - 53.
MANSJOER, S.S. 1989. Genetic characters and
performance of Indonesian native chickens.
Bogor Agricultural University. Bogor.
Indonesia.
MANSJOER, S.S. MANSJOER, S.H.S. SIKAR and S.
DARWATI. 1990. Pencarian galur murni ayam
Kampung, ayam Pelung dan ayam Bangkok,
dalam usaha pelestarian sumber genetik ayam
di Indonesia. Institut Pertanian Bogor.
MANSJOER, S.S., S.H. SIKAR, B. JUNIMAN, R.
HERLINA, S. DARWATI and GATOT. M. 1994. A
Study on the Immunogenetic Response
towards New Castle Disease in Indonesian
Native
Chicken.
Bogor
Agriculture
University. Indonesia.
NATAAMIJAYA, A.G. 1993. Pengamatan terhadap
status Ayam Pelung, Nunukan, Kedu, Gaok
dan Sentul, di pedesaan serta eksplorasi
kemungkinan keberadaan ayam Buras langka
lainnya.
Paper.
Seminar
Nasional
Pengembangan Ternak Ayam Buras melalui
wadah Koperasi Menyongsong PJPT II.
Universitas Padjadjaran. Bandung.

NATAAMIJAYA, A.G., HARYONO, E. SUMANTRI, P.


SITORUS, M. KUSNI, SUHENDAR, and SUBARNA.
1993. Karakteristik morfologis delapan breed
ayam bukan ras (Buras) langka. Seminar
Nasional Pengembangan Ternak Ayam Buras
melalui wadah Koperasi menyongsong PJPT
II. Padjadjaran University. Indonesia.
ORTAVANT, R., M. COUROT, and M.T. HOCHEREAU.
1969. Spermatogenesis and morphology of the
spermatozoon. In: COLE, H.H. and P.T. CUPPS
(Eds.) Reproduction in domestic animals.
Academic Press. New York, London. pp. 272273.
PINEDA, M.H. 1989. Male reproduction. In:
MCDONALD, L.E. and M.H. PINEDA (Eds.).
Veterinary endocrinology and reproduction.
LEA and FEBIGER. Philadelphia, London. pp.
263-266
PRAWIROKUSUMO, S. 1978. Problem to improve
small scale native chickens management in
South-East Asia countries. Proceeding XIII
Worlds Poultry Congress. Japan. pp. 113117.
SEXTON, T.J. 1977. A new poultry semen extender.
1. Effect of extension on the fertility of
chicken semen. Poultry Science, 56: 11431146.
SIEGEL, P.B. 1993. Behavior-genetic analyses and
poultry husbandry. Poultry Science, 72: 1-6.
WISHART, G.J. 1984. Effect of lipid peroxide
formation on sperm motility, ATP content,
and fertilizing ability. Journal of Reproduction
and Fertility, 71: 113-116.
WISHART, G.J. and F.H. PALMER. 1985. Correlation
of the fertilizing ability of semen from
individual male fowls with sperm motility and
ATP content. British Poultry Science, 27: 97102.

113

Anda mungkin juga menyukai