Anda di halaman 1dari 32

Proposal Penelitian

EFEK 5-FLUOROURASIL DAN TRIAMSINOLON


TERHADAP SINTESIS KOLAGEN
FIBROBLAS PADA KELOID
KARYA ILMIAH PARIPURNA
Untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat spesialis
Program Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu Bedah
Program Studi Ilmu Bedah

Diajukan oleh :

dr. Adel Berg H Simarmata


07/266854/PKU/9806

BAGIAN ILMU BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN


UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2012

Proposal Penelitian

EFEK 5-FLUOROURASIL DAN TRIAMSINOLON


TERHADAP SINTESIS KOLAGEN
FIBROBLAS PADA KELOID
KARYA ILMIAH PARIPURNA
Oleh:

dr. ADEL BERG H SIMARMATA


07/266854/PKU/9806
Telah dipresentasikan pada tanggal 25 Oktober 2012
dan dinyatakan telah memenuhi syarat
Pembimbing,

dr. Ishandono Dachlan, MSc., Sp. B, Sp. BP-RE (K)


195202141979031001
a/n Kepala Bagian Ilmu Bedah
Sekretaris Bagian
Fakultas Kedokteran UGM

Ketua Program Studi Ilmu Bedah


Fakultas Kedokteran UGM

dr. Ishandono Dachlan, MSc., Sp. B, Sp. BP-RE(K)


195202141979031001

dr. Supomo, Sp.B(K) BTKV


195311281982021001

BAGIAN ILMU BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN


UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2012

HALAMAN PERNYATAAN

Dengan ini penulis menyatakan bahwa karya ilmiah paripurna ini bukan merupakan
karya ilmiah yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan disuatu perguruan
tinggi, dan sepanjang pengetahuan penulis juga belum menemukan karya ilmiah paripurna yang
serupa yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis terdapat
dalam naskah karya ilmiah paripurna ini dan telah disebutkan oleh penulis dalam daftar pustaka.

Yogyakarta,

Oktober 2012

Adel Berg H Simarmata

PRAKATA

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan yang maha pengasih dan penyayang karena
atas karunia-Nya, penulis bisa menyelesaikan tugas ilmiah paripurna yang berjudul EFEK 5FLUOROURASIL

DAN

TRIAMSINOLON

TERHADAP

SINTESIS

KOLAGEN

FIBROBLAS PADA KELOID. Karya ilmiah ini merupakan tugas akhir dalam mengikuti
Program Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu Bedah di Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah
Mada Yogyakarta.
Karya ilmiah ini tidak dapat terwujud tanpa bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu
pada kesempatan ini perkenankanlah penulis menyampaikan rasa terima kasih yang setinggitingginya kepada :
1

dr. Ishandono Dachlan, MSc., Sp. B, Sp. BP, sebagai pembimbing utama dan sebagai
Kepala Bagian Ilmu Bedah FK UGM/RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta yang telah
memberikan bimbingan dan arahan kepada kami dalam penyelesaian karya akhir ini.

Dr. H. Supomo, SpB (K) BTKV, sebagai Ketua Program Studi Ilmu Bedah FK
UGM/RSUP Dr. Sardjito, yang telah memberikan kesempatan belajar sebagai peserta
PPDS I Ilmu Bedah dan penuh kesabaran mendidik an membantu kami selama
menempuh pendidikan.

Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada yang telah mengijinkan dan
menerima kami mengikuti pendidikan PPDS I Ilmu Bedah.

Direktur RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta yang telah memberikan fasilitas dan
kemudahan selama mengikuti pendidikan.

Para Dosen / konsulen Bagian Ilmu Bedah FK UGM/RSUP Dr. Sardjito yang telah
mendidik dan membimbing kami dengan sabar selama menjalani pendidikan.

dr. Danu Mahandaru, residen Bedah Plastik FK Universitas Indonesia Jakarta yang
telah membantu dan memberikan arahan dalam menyelesaikan karya akhir ini.

Bupati Kabupaten Samosir, Propinsi Sumatera Utara yang telah memberi kesempatan
tugas belajar pendidikan PPDS I Ilmu Bedah di FK UGM/RSUP Dr. Sardjito
Yogyakarta, atas kebersamaannya yang telah membantu kelancaran proses pendidikan
kami dari awal sampai selesai.

Teman sejawat residen PPDS I Ilmu Bedah, paramedis dan seluruh karyawan di
bagian Ilmu Bedah FK UGM / RSUP DR. Sardjito Yogyakarta, atas kebersamannya
yang telah membantu kelancarannya proses pendidikan dari awal sampai akhir.

Juga tidak lupa penulis sampaikan terima kasih yang tak terhingga kepada orang tua,
istri tercinta Kandasse Grafina P Silitonga SE, putri tercinta Amanda Esther Dyalusi
serta seluruh keluarga besar penulis yang telah rela berkorban, penuh pengertian dan
sabar mendukung memberikan semangat dan doa selama penulis menjalani proses
pendidikan PPDS I Ilmu Bedah di FK UGM / RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta hingga
selesai.

Pada akhirnya penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih banyak kekurangan,
tetapi mudah-mudahan tulisan ini bisa bermanfaat bagi kami dan semua pihak yang
memanfaatkannya.
Yogyakarta,

Oktober 2012

Penulis
Adel Berg H Simarmata

EFEK 5-FLUOROURASIL DAN TRIAMSINOLON TERHADAP SINTESIS


KOLAGEN FIBROBLAS PADA KELOID
INTISARI
Latar Belakang
Penyembuhan luka adalah suatu proses koordinasi yang melibatkan hubungan yang rumit antara faktor
seluler, humoral dan unsur jaringan ikat. Selama proses ini, keratinosit, sel sel endothelial, fibroblast dan sel sel
radang berproliferasi dan bermigrasi kedaerah yang mengalami luka, saling berinteraksi dengan matriks ekstra
sellular. Migrasi sel sel dan pemulihan jaringan ikat tersebut dipengaruhi oleh degradasi matriks ekstrasellular dan
aktifasi dari faktor faktor pertumbuhan. Proses ini dicapai oleh protease ekstra sellular dan matriks
metalloproteinase
Keloid merupakan tumor jinak fibroproliferatif dermis yang hanya terdapat pada manusia, ditandai
dengan pertumbuhan jaringan parut yang melebihi batas luka aslinya. Keloid terjadi akibat ketidakseimbangan
antara sintesis dan degradasi matriks ekstraseluler (MES) pada saat penyembuhan luka. Fibroblas keloid
menunjukkan kemampuan proliferasi lebih besar dibandingkan dengan fibroblas normal.
Secara umum terapi untuk keloid sangatlah bervariasi. Secara garis besar terapinya dibedakan menjadi dua,
terapi bedah dan terapi non bedah. Secara umum terapi yang sudah ada belum memberikan hasil yang memuaskan,
sering didapatkan respon yang kurang optimal maupun rekurensi yang masih tinggi.
Triamsinolon merupakan terapi yang paling efektif dan yang paling banyak digunakan untuk penanganan
keloid. Triamsinolon merupakan suatu antiinflamasi yang kuat dan merupakan terapi garis pertama untuk keloid. 5Fluorourasil merupakan obat anti metabolik yang berperan menghambat menghambat proliferasi fibroblastik pada
jaringan dan dipercaya untuk mengurangi skar setelah operasi dengan mengurangi proliferasi fibroblas dengan
menghambat sintesis pirimidin dengan menghambat enzim primidin sintase yaitu suatu enzim yang mengkatalisis
sintesis DNA. Antimetabolit tersebut mempunyai anti proliferative (Diegelmann et al., 1977).
Langkah-langkah sintesis kolagen.
Kolagen merupakan penyusun penting matriks ekstraseluler pada dermis. Pada manusia dewasa kolagen
tipe1 merupakan kolagen utama dermis, sedang pada anak-anak penyusun utama dermis adalah kolagen tipe 3.
Sintesis kolagen, serta modifikasi post translational, sangat tergantung pada faktor-faktor sistemik seperti oksigen
yang memadai, adanya nutrisi yang cukup (asam amino dan karbohidrat) dan kofaktor (vitamin dan jejak logam),
dan lingkungan luka lokal (suplai vaskuler dan infeksi). Mengatasi faktor-faktor ini dan memperbaiki kekurangan
nutrisi dapat mengoptimalkan sintesis kolagen dan deposisi. (Charles B, 2007; Charles H, 2004). Biokimia masingmasing rantai kolagen terdiri dari residu glisin di setiap posisi ketiga. Posisi kedua dalam triplet terdiri dari prolin
atau lisin selama proses penerjemahan. Rantai polipeptida yang diterjemahkan dari mRNA mengandung sekitar
1000 residu asam amino dan disebut protokolagen. Pelepasan protokolagen ke hasil retikulum endoplasma di
hidroksilasi prolin untuk hidroksiprolin dan lisin untuk hidroksilin oleh hydroxylases tertentu. Hidroksilase prolyl
membutuhkan oksigen dan besi sebagai kofaktor, -ketoglutarat sebagai co-substrat, dan asam askorbat (vitamin C)
sebagai donor elektron (Charles, 2004; Geoffrey, 2007).
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan bukti dan membandingkan efek 5-Fluorourasil dan
Triamsinolon Asetonide terhadap degradasi kolagen fibroblas pada keloid
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan eksperimental laboratorik dengan metode pendekatan post test-only control group
design yang menggunakan kultur sel dalam sumuran sebagai unit penelitian. Perlakuan pemberian 5FU dan
Triamsinolon pada biakan fibroblast jaringan keloid kulit manusia yang diambil dari 3 keloid donor dengan keluaran
sintesis kolagen dan proliferasi fibroblas Sampel penelitian adalah biakan fibroblas keloid dibagi menjadi 7
kelompok perlakuan yaitu 5-FU dosis 10 mg/ml, 20 mg/ml, 40 mg/ml, Triamsinolon Asetonida (TA) dosis 20 M,
40 M, 60 M serta kontrol. Dalam menganalisis hasil digunakan Paired Samples T-Test dari program SPSS untuk
menganalisa perbedaan rata- rata antara masing masing kelompok terapi dengan tingkat signifikan yang digunakan
p = 0.05
Hasil Penelitian
Kesimpulan

BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang Penelitian
Penyembuhan luka adalah suatu proses koordinasi yang melibatkan hubungan yang
rumit antara faktor seluler, humoral dan unsur jaringan ikat. Respon host terhadap penyembuhan
luka pada umumnya dibagi atas beberapa fase yang masing-masing saling tumpang tindih yaitu
fase inflamasi, proliferasi, dan maturasi.
( Sabiston, 1997; Mercandetti & Cohen, 2002)
Penyembuhan luka merupakan suatu proses kompleks yang ditandai dengan adanya
reepitelisasi dan pemulihan jaringan ikat dibawahnya. Selama proses ini, keratinosit, sel sel
endothelial, fibroblas dan sel sel radang berproliferasi dan bermigrasi kedaerah yang
mengalami luka, saling berinteraksi dengan matriks ekstra sellular. Migrasi sel sel dan
pemulihan jaringan ikat tersebut dipengaruhi oleh sintesis matriks ekstrasellular dan aktifasi dari
faktor faktor pertumbuhan. Proses ini dicapai oleh protease ekstra sellular dan matriks
metalloproteinase. (Murray, 1995; Sabiston, 1997)
Keloid

merupakan tumor jinak fibroproliferatif dermis yang hanya terdapat pada

manusia, ditandai dengan pertumbuhan jaringan parut yang melebihi batas luka aslinya (Seifert
dan Mrowietz,2009). Keloid dapat terjadi pada semua golongan umur, tetapi paling sering pada
usia 10-30 tahun terutama pada ras negro dan asia dengan insidensi 4,5-16 % dan jarang terjadi
pada bayi baru lahir atau orang tua.(Shejbal et al., 2004) Selain mengganggu penampilan keloid
dapat menyebabkan kontraksi kulit, rasa nyeri dan gatal (Lee et al., 2004), serta dapat
menurunkan kualitas hidup penderita akibat kecacatan dan psikologis yang ditimbulkan. (Bock
et al., 2006)

Keloid terjadi akibat ketidakseimbangan antara si ntesis dan degradasi matriks


ekstraseluler (MES) pada saat penyembuhan luka (Butler et al.,2008) Fibroblas keloid
menunjukkan kemampuan proliferasi lebih besar dibandingkan dengan fibroblas normal
(Calderon et al., 1996).
Secara umum terapi untuk keloid sangatlah bervariasi. Secara garis besar terapinya
dibedakan menjadi dua, terapi bedah dan terapi non bedah. Terapi bedah mulai dari eksisi total
dengan menggunakan eksisi elips, w-plasty, z-plasty maupun dengan teknik eksisi intralesi.
Sedangkan contoh terapi non bedah seperti: Pressure garmen, Injeksi kortikosteroid, radioterapi
dll. Secara umum terapi yang sudah ada belum memberikan hasil yang memuaskan, sering
didapatkan respon yang kurang optimal maupun rekurensi yang masih tinggi. Dengan
menggunakan kombinasi dari beberapa terapi menunjukkan perbaikan respon maupun
rekurensinya.
(Perdanakusuma & Noer, 2006; Froelich et al., 2007)
Triamsinolon merupakan terapi yang paling efektif dan yang paling banyak digunakan
untuk penanganan keloid. Triamsinolon merupakan suatu antiinflamasi yang kuat dan merupakan
terapi garis pertama untuk keloid (Porras et al., 2002). Uji klinik skala besar dalam tahun 1960an dan 1970-an menunjukkan bahwa efikasi triamsinolon terhadap keloid melebihi 80 persen.
(Poochaeron and Berman, 2003)
Triamsinolon juga menghambat proliferasi fibroblas normal dan fibroblas keloid,
menghambat sintesis kolagen, meningkatkan produksi kolagenase dan menurunkan kadar
inhibitor kolagenase.

Steroid melalui reseptor glukokortikoid fibroblas juga menyebabkan

perubahan ultrastruktur dalam sintesis kolagen yang memperbaiki organisasi bundel kolagen dan

menyebabkan degenerasi nodul kolagen yang merupakan ciri karakteristik keloid (Diegelmann
et al., 1977; Golladay et al., 1988)
Triamsinolon merupakan terapi yang paling efektif dan yang paling banyak digunakan
untuk penanganan keloid. Triamsinolon merupakan suatu antiinflamasi yang kuat dan merupakan
terapi garis pertama untuk keloid (Porras et al., 2002). Uji klinik skala besar dalam tahun 1960an dan 1970-an menunjukkan bahwa efikasi triamsinolon terhadap keloid melebihi 80 %. Obat
ini diinjeksikan dengan alat suntik secara intralesional langsung ke dalam keloid, dan sangat
sedikit yang diabsorbsi ke dalam darah. Dosis yang direkomendasikan adalah berkisar 10 40
mg/ml. Injeksi dapat dilakukan berulang dengan interval 4-6 minggu sampai 6-10 bulan
(Poochaeron and Berman, 2003).
Efek buruk termasuk atrofi subkutan, teleangiektasis, dan perubahan pigmen terjadi pada
separuh dari semua pasien yang mendapat terapi triamsinolon tetapi kebanyakan akan membaik
tanpa intervensi. Sindrom Cushing yang merupakan efek sistemik steroid biasanya tidak terjadi,
tetapi beberapa kasus telah dilaporkan. (Diegelmann et al., 1977)
5-Fluorourasil merupakan obat anti metabolik yang berperan menghambat menghambat
proliferasi fibroblastik pada jaringan dan dipercaya untuk mengurangi skar setelah operasi
dengan mengurangi proliferasi fibroblas dengan menghambat sintesis pirimidin dengan
menghambat enzim primidin sintase yaitu suatu enzim yang mengkatalisis sintesis DNA.
Antimetabolit tersebut mempunyai anti proliferative. (Diegelmann et al., 1977)
5-Fluorourasil juga merupakan obat anti metabolik yang berperan menghambat
proliferasi fibroblastik pada jaringan dan dipercaya untuk mengurangi skar setelah operasi
dengan mengurangi proliferasi fibroblas dengan menghambat sintesis pirimidin dengan

menghambat enzim primidin sintase yaitu suatu enzim yang mengkatalisis sintesis DNA.
Antimetabolit tersebut mempunyai anti proliferative (Diegelmann et al., 1977).
5-Fluorourasil merupakan suatu antimetabolit yang menghambat proliferasi fibroblast
dan memperbaiki parut keloid. 5-Fluorourasil dilaporkan dapat menghambat sklerosing
pascaoperasi glaucoma. Pemberian 5-Flourourasil intralesi sebagai terapi tunggal untuk keloid
pada penelitian retrospektif dengan lebih dari 1000 pasien menunjukkan adanya respons inisial
yang seragam tetapi diikuti dengan rekurensi sehingga diperlukan pemberian yang serial. 5-FU
(50 mg/ml) disuntikkan dengan dosis 0,05 ml persentimeter linear atau sampai pucat setiap 3
minggu sampai 10 kali. Uji klinik terkontrol eksisi bedah diikuti dengan pemberian 5-FU secara
topikal menunjukkan perbaikan setelah 6 bulan evaluasi, bersamaan dengan perbaikan marka
imunohistokimia. Luka diolesi dengan 5-FU (50 mg/ml) selama 5
menit kemudian ditutup. Efek buruk jarang berupa iritasi kulit tanpa perubahan hematologik
(Manuskiatti dan Fitzpatrick, 2002).
Dosis akumulasinya dari 50 mg sampai 150 mg dengan konsentrasi 50 mg/ml tiap
pemakaian. Menunjukkan hasil yang lebih efektif bila dikombinasi dengan kortikosteroid.
Komposisinya 0,9 ml 5-FU (50mg/ml) dengan 0,1 ml triamsinolon asetonide (10mg/ml) 3
kali/minggu. Efek sampingnya nyeri dan purpura pada daerah suntikan serta dapat terjadi
hiperpigmentasi temporer.(Berman et al., 2009; Perdanakusuma & Noer, 2006; Wilhelmi, 2008;
Newsome et al., 2009; Froelich et al., 2007)
Substansi ini awalnya mengalami transformasi anabolik menjadi metabolit nukleotida
ribosil dan deoksiribosil. Secara spesifik, satu dari metabolit ini 5-fluoro-2 deoksipurin 5-fosfat,
berikatan secara kovalen dengan sintesis

timidilat dan kofaktornya

10-metilen tetrahidat. Dengan cara demikian akan mengganggu langkah biokimiawi penting

pada sintesis nukleotida timin, sehingga dapat menghambat secara kompetitif enzim timidilat
sintase dan pada siklus sel yang spesifik dan juga mengganggu replikasi fase S pada RNA.
(Wilhelmi, 2008; Newsome et al., 2009; Froelich et al., 2007)
Degradasi kolagen ekstraseluler terjadi secara 2 tahap. Pada tahap pertama enzim
kolagenase (MMP1 untuk kolagen tipe3 dan MMP13 untuk kolagen tipe1) akan merusak
kolagen dermis dan menghasilkan fragmen kolagen yang larut dalam air. Fragmen kolagen larut
ini umumnya termolabil dan cepat mengalami denaturasi menjadi gelatin. Selanjutnya oleh
gelatinase A (MMP2 untuk fragmen kolagen tipe 1) dan stromyelisin2 (MMP 10 untuk fragmen
kolagen tipe3) fragmen dipecah lagi menjadi asam amino bebas. Salah satu asam amino yaitu
glisin yang larut dalam air dapat digunakan untuk menilai aktifitas degradasi kolagen
berdasarkan esai sirius red kolagen terlarut (Heng et al., 2006).

I.2. Perumusan Masalah


Dari latar belakang tersebut dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut :
Bagaimanakah Efek 5-Fluourasil dan Triamsinolon Asetonide terhadap sintesis kolagen
fibroblas pada keloid?

I.3. Tujuan Penelitian


Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan bukti dan membandingkan efek dari
5-Fluorourasil dan Triamsinolon Asetonide terhadap sintesis kolagen fibroblas pada keloid.
I.4. Manfaat Penelitian
Dengan mengetahui efek 5-Fluorourasil terhadap sintesis kolagen fibroblas pada keloid,
diharapkan :

1. Sebagai bahan referensi bagi tenaga medis agar memiliki pemahaman mengenai sintesis
kolagen fibroblas terhadap keloid, sehingga dapat memberikan edukasi pada pasien yang
mengalami luka.
2. Untuk melengkapi sumber data bagi institusi kesehatan mengenai sintesis kolagen fibroblas,
sehingga dapat memberikan kontribusi terhadap kemajuan dunia medis, khususnya pada
perkembangan dalam penyembuhan pasien yang mengalami luka kulit.
3. Memberikan informasi kepada pasien tentang pentingnya pemeriksaan dini agar luka kulit
yang dialami pasien dapat disembuhkan dengan lebih cepat sehingga tidak menimbulkan
jaringan parut berlebih..
4. Sebagai bahan referensi bagi penelitian selanjutnya yang tertarik untuk melakukan penelitian
serupa.

I.5. Keaslian Penelitian


Penulis, tahun
Ganapathi P., 2008

Carrol et al., 2002

Judul
The effect of broadbandUVB in combination with
triamcinolone acetonide
onto keloid fibroblast in
collagen deposition and
degradation

Triamcinolone acetonide
bFGF production and
hibits TGF-B1 production
by
human
dermal
fibroblast.
Dumon et al., 2000 Induction of replicative
senescence biomarkers by
sub
lethal
oxidative
stresses in normal human
fibroblast.

Hasil
Hipotesis I, hasil deposisi tidak
didapatkan angka kebermaknan
antara kombinasi TA dengan
UVB dengan kontrol
Hipotesis II, degradasi tidak
didapatkan angka kebermaknan
antara kombinasi TA dengan
UVB dengan control
TA dosisi 20 uM dapat
menghambat
pertumbuhan
fibroblast
keloid
melalui
penurunan kadar TGF-B1
secara signifikan.
H2O2 menyebabkan penuaan
fibroblast dan pengobatan
ekspresi SA-B gal

Penelitian dengan 5-FU sebagai terapi alternative keloid telah dilakukan oleh Fitzpatrick
pada tahun 1999. Penelitian ini menggunakan 1000 pasien menunjukkan adanya respons inisial
yang seragam tetapi diikuti dengan rekurensi sehingga diperlukan pemberian yang serial.
Penulis menemukan banyak penelitian yang menggunakan Triamsinolone Asetonide
sebagai terapi koloid pada pubmed.gov., namun tidak satupun membandingkan efek dengan 5FU terhadap sintesis kolagen fibroblas pada keloid.
Sepengetahuan penulis, sejauh ini belum pernah dilakukan penelitian yang bertujuan
untuk mengetahui efek 5-Fluorourasil dan Triamsinolon Asetonide terhadap sintesis kolagen
fibroblas pada keloid.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Keloid
Keloid

merupakan tumor jinak fibroproliferatif dermis yang hanya terdapat pada

manusia, ditandai dengan pertumbuhan jaringan parut yang melebihi batas luka aslinya (Seifert
dan Mrowietz,2009). Keloid dapat terjadi pada semua golongan umur, tetapi paling sering pada
usia 10-30 tahun terutama pada ras Negro dan Asia dengan insidensi 4,5-16% dan jarang terjadi
pada bayi baru lahir atau orang tua (Shejbal et al., 2004). Selain mengganggu penampilan keloid
dapat menyebabkan kontraksi kulit, rasa nyeri dan gatal (Lee et al., 2004), serta dapat
menurunkan kualitas hidup penderita akibat kecacatan dan psikologis yang ditimbulkan (Bock et
al., 2006).
A. Definisi
Pada tahun 1806 Baron Jean Louis Albert yang pertama kali mendiskusikan adanya
jaringan parut yang tampak seperti kanker pada tumor dan menyebutnya sebagai chancroid yang
kemudian disebut cheloid. Istilah keloid berasal dari bahasa yunani yaitu chele yang berarti
cakar kepiting, hal ini sesuai dengan potensi lesi meluas secara lateral, meluas di batas luka,
tidak mengalami regresi secara spontan, tumbuh mirip pseudotumor dan cenderung rekuren
setelah eksisi

B. Epidemiologi

Keloid dapat terjadi pada semua golongan umur, tetapi umumnya paling sering terjadi
pada usia 10-30 tahun dan jarang terjadi pada bayi baru lahir atau orang tua. Ini disebabkan pada
rentang usia ini seseorang lebih sering mengalami trauma, dan kulitnya relatif lebih tegang dan
laju sintesis kolagen lebih besar pada usia ini. Angka kejadian keloid pada laki-laki dan wanita
sama, walaupun didapatkan di klinik bahwa lebih banyak penderita wanita yang berobat untuk
keloidnya terutama bila keloid ada di wajah serta tingginya frekuensi ini dihubungkan dengan
tindik telinga. Insiden keloid pada seluruh populasi diperkirakan 3%-16%.(Wilhelmi, 2008)
Semua ras dapat terkena, tetapi lebih sering ditemukan pada orang berkulit gelap dan individu
bergolongan darah A lebih rentan terhadap terbentuknya keloid.
C. Etiologi
Penyebab pasti keloid masih belum diketahui pasti, ada yang menduga trauma dan proses
peradangan pada dermis merupakan faktor terpenting dalam menimbulkan keloid. Keloid dapat
timbul setelah trauma pada kulit antara lain : gigitan serangga, tato, pasca vaksinasi, trauma
tumpul, luka bakar, luka tusuk dan pembedahan. Penyakit inflamasi seperti folikulitis, infeksi
varicella zooster dan herpes simpleks atau oklusi folikular pada hidradenitis supuratif, akne
kistik dapat juga membentuk skar hipertrofi maupun keloid. Keloid sering dihubungkan dengan
faktor genetik karena sering dikaitkan dengan ekspresi gen HLA-B14, HLA-B21, HLA-BW16,
HLA-BW35, HLA-DR5, HLA-DQW3, dan golongan darah A. (Berman et al., 2009; Wilhelmi,
2008; Kokoska & Prendiville, 2009) Keloid biasanya terbentuk 2-4 minggu atau lebih dari 1
tahun setelah trauma. Insiden keloid berkurang apabila luka sejajar dengan relaxed skin tension
line (RSTL). Reaksi benda asing di dalam tubuh juga dilaporkan dapat menimbulkan
keloid.Selain itu beberapa faktor yang dapat menimbulkan keloid adalah luka yang terinfeksi,
anoksia pada luka dan pemanjangan fase inflamasi pada saat penyembuhan luka. Keloid atipik

dapat ditemukan pada penderita yang didermabrasi atau laser argon untuk akne atau rosasea atau
diberikan isotretritoin.(Perdanakusuma & Noer, 2006: Clare et al., 2005)

D. Patogenesis
Patogenesis keloid belum sepenuhnya diketahui. Banyak penelitian yang telah menguji
patogenesis keloid dari tingkat seluler. Pada keadaan normal, luka yang terjadi pada kulit akan
membuat sel-sel kulit dan jaringan penghubung (fibroblas) mulai menggandakan diri untuk
memperbaiki kerusakan. Pada prosesnya nanti terjadi sintesis kolagen yang melibatkan enzim
prolin hidroksilase, dan proses ini diimbangi dengan sistem kontrol berupa degradasi kolagen
oleh enzim kolagenase supaya tidak terjadi penumpukan kolagen ( Perdanakusuma & Noer,
2006; Robles et al, 2007). Ketidakseimbangan sintesis dan degradasi kolagen dapat terjadi 3
kemungkinan; Pertama, sintesis meningkat tanpa disertai peningkatan degradasi. Kedua, sintesis
meningkat dan degradasi meningkat tetapi peningkatan sintetisnya lebih tinggi dari
degradasinya. Ketiga, sintesis normal namun degradasinya menurun. (Perdanakusuma & Noer,
2006). Meskipun setelah luka menutup, pertumbuhan yang berlebih terus terjadi sehingga
mengakibatkan penumpukan fibroblas dan kemudian penonjolan keluar permukaan kulit yang
akhirnya membentuk benjolan di jaringan luka. Berikut dijelaskan beberapa teori yang paling
sering dianggap sebagai patogenesis keloid (Newsome et al., 2009; Robles et al, 2007) :
1. Aktifitas Fibroblas Abnormal
2. Reaksi Imun yang tidak normal
3. Peningkatan produksi asam hyaluronat
4. Peningkatan kadar growth factor dan sitokin

5. Pengaruh kadar melanin terhadap reaksi kolagen-kolagenase.


E. Gejala klinis
Keloid secara klinis nampak sebagai nodul fibrosa atau plak yang menonjol atau meninggi,
lesi elastis atau licin, kenyal sampai keras, padat, berbatas tegas dan warnanya dapat bervariasi
dari merah muda sampai berwarna seperti daging atau merah sampai coklat tua (Perdanakusuma
& Noer, 2006; Kokoska & Prendiville 2007). Keloid dapat timbul di seluruh bagian tubuh tetapi
mempunyai predileksi pada daerah bahu, telinga, punggung dan dada. Sebagian besar pasien
memiliki satu atau dua keloid, akan tetapi ada beberapa yang multipel khususnya pasien dengan
keloid spontan . Bila keloid berada di kulit persendian dapat membatasi pergerakan (Berman et
al., 2009; Perdanakusuma & Noer, 2006; Kokoska & Prendville, 2007).
F. Diagnosis
Diagnosis biasanya mudah ditegakkan berdasarkan gambaran klinis, terutama bila ada
riwayat trauma atau lesi inflamasi pada kulit (Berman et al., 2009; Perdanakusuma & Noer,
2006). Kadang-kadang keloid spontan dapat muncul di daerah presternal atau dada bagian atas.
Jika gambaran klinis meragukan dapat dilakukan biopsi untuk konfirmasi. Gambaran klinik
tampak adanya papul, nodul, tumor keras, tidak teratur, berbatas tegas, menebal, padat, berwarna
kecoklatan, kemerahan, lesi yang masih awal biasanya kenyal permukaan licin seperti karet dan
sering disertai rasa gatal. Sedangkan pada lesi yang lanjut biasanya sudah mengeras,
hiperpigmentasi dan asimptomatik (Kokoska & Prendville, 2007; Newsome et al., 2009; Robles
et al., 2007).
G. Terapi

Secara umum terapi untuk keloid sangatlah bervariasi. Banyak penelitian telah dilakukan
dalam dua dekade ini, tetapi hanya beberapa yang didukung studi prospektif dengan grup kontrol
yang adekuat. Secara garis besar terapinya dibedakan menjadi dua, terapi bedah dan terapi non
bedah. Terapi bedah mulai dari eksisi total dengan menggunakan eksisi elips, w-plasty, z-plasty
maupun dengan teknik eksisi intralesi. Sedangkan contoh terapi non bedah seperti: Silicone Gel
Sheeting,

pressure/Compression,

radioterapi, cryoterapi, laser, adhesive

Microsporous

Hypoallergenic Paper Tape, antihistamin, verapamil, topikal Retinoic Acid/Tretinoin (derivat vit
A), imiquimod, tacrolimus, injeksi Interferon, bleomisin Intralesi, anti TGF-, krim
Depigmentasi, Pulsed Light Heat Energy (LHE) dan sedang diteliti penggunaan mitomicin C
topical (Perdanakusuma & Noer, 2006; Froelich et al., 2007).

II.2. 5 Fluorourasil
Meskipun dikenal sebagai agen kemoterapi, 5-Flourourasil (5-FU) merupakan terapi
eksperimental untuk keloid karena mempunyai efek menghambat proliferasi fibroblast. Dosis
akumulasinya dari 50 mg sampai 150 mg dengan konsentrasi 50 mg/ml tiap pemakaian.
Menunjukkan hasil yang lebih efektif bila dikombinasi dengan kortikosteroid. Komposisinya 0,9
ml 5-FU (50 mg/ml) dengan 0,1 ml triamsinolon asetonide (10 mg/ml) 3 kali/minggu. Efek
sampingnya nyeri dan purpura pada daerah suntikan serta dapat terjadi hiperpigmentasi temporer
(Berman et al., 2009; Perdanakusuma & Noer, 2006; Wilhelmi, 2008; Newsome et al., 2009;
Froelich et al., 2007).

5-Fluorourasil merupakan obat anti metabolik yang berperan menghambat proliferasi


fibroblastik pada jaringan dan dipercaya untuk mengurangi skar setelah operasi dengan
mengurangi proliferasi fibroblast dengan menghambat sintesis pirimidin dengan menghambat
enzim primidin sintase yaitu suatu enzim yang mengkatalisis sintesis DNA. Antimetabolit
tersebut mempunyai anti proliferative (Newsome et al., 2009; Froelich et al., 2007).
Substansi ini awalnya mengalami transformasi anabolik menjadi metabolit nukleotida
ribosil dan deoksiribosil. Secara spesifik, satu dari metabolit ini 5-fluoro-2 deoksipurin 5-fosfat,
berikatan secara kovalen dengan sintetase timidilat dan kofaktornya 10-metilen tetrahidat.
Dengan cara demikian akan mengganggu langkah biokimiawi penting pada sintesis nukleotida
timin, sehingga dapat menghambat secara kompetitif enzim timidilat sintase dan pada siklus sel
yang spesifik dan juga mengganggu replikasi fase S pada RNA. (Newsome et al., 2009; Froelich
et al., 2007)
II.3 Triamsinolone Asetonide
Triamsinolon merupakan terapi yang paling efektif dan yang paling banyak digunakan
untuk penanganan keloid. Triamsinolon merupakan suatu antiinflamasi yang kuat dan merupakan
terapi garis pertama untuk keloid. Uji klinik skala besar dalam tahun 1960-an dan 1970-an
menunjukkan bahwa efikasi triamsinolon terhadap keloid melebihi 80 % (Diegelmann et al.,
1977; Golladay et al., 1988).

Triamsinolon menghambat proliferasi fibroblas normal dan fibroblas keloid, menghambat


sintesis kolagen, meningkatkan produksi kolagenase dan menurunkan kadar inhibitor

kolagenase. Steroid melalui reseptor glukokortikoid fibroblas juga menyebabkan perubahan


ultrastruktur dalam sintesis kolagen yang memperbaiki organisasi bundel kolagen dan
menyebabkan degenerasi nodul kolagen yang merupakan ciri karakteristik keloid (Diegelmann
et al., 1977; Golladay et al., 1988).
Triamsinolon merupakan terapi yang paling efektif dan yang paling banyak digunakan
untuk penanganan keloid. Triamsinolon merupakan suatu antiinflamasi yang kuat dan merupakan
terapi garis pertama untuk keloid (Porras et al., 2002). Uji klinik skala besar dalam tahun 1960an dan 1970-an menunjukkan bahwa efikasi triamsinolon terhadap keloid melebihi 80 %. Obat
ini diinjeksikan dengan alat suntik secara intralesional langsung ke dalam keloid, dan sangat
sedikit yang diabsorbsi ke dalam darah. Dosis yang direkomendasikan adalah berkisar 10-40
mg/ml. Injeksi dapat dilakukan berulang dengan interval 4-6 minggu sampai 6-10 bulan
(Poochaeron and Berman, 2003).
Efek buruk termasuk atrofi subkutan, teleangiektasis, dan perubahan pigmen terjadi pada
separuh dari semua pasien yang mendapat terapi triamsinolon tetapi kebanyakan akan membaik
tanpa intervensi. Sindrom Cushing yang merupakan efek sistemik steroid biasanya tidak terjadi,
tetapi beberapa kasus telah dilaporkan (Teeluck-Singh et al., 2002).

II.4. Kolagen Fibroblas pada Penyembuhan Luka Keloid


Kolagen adalah protein yang paling berlimpah di dalam tubuh dan memainkan peran
penting dalam keberhasilan menyelesaikan penyembuhan luka. Deposisi, maturasi, dan
remodeling berikutnya sangat penting untuk integritas fungsional luka (Charles , 2004).
Langkah-langkah sintesis kolagen.

Kolagen merupakan penyusun penting matriks ekstraseluler pada dermis. Pada manusia
dewasa kolagen tipe1 merupakan kolagen utama dermis, sedang pada anak-anak penyusun utama
dermis adalah kolagen tipe 3.
Sintesis kolagen, serta modifikasi post translational, sangat tergantung pada faktor-faktor
sistemik seperti oksigen yang memadai, adanya nutrisi yang cukup (asam amino dan
karbohidrat) dan kofaktor (vitamin dan jejak logam), dan lingkungan luka lokal (suplai vaskuler
dan infeksi). Mengatasi faktor-faktor ini dan memperbaiki kekurangan nutrisi dapat
mengoptimalkan sintesis kolagen dan deposisi. (Charles B, 2007; Charles H, 2004)
Biokimia masing-masing rantai kolagen terdiri dari residu glisin di setiap posisi ketiga.
Posisi kedua dalam triplet terdiri dari prolin atau lisin selama proses penerjemahan. Rantai
polipeptida yang diterjemahkan dari mRNA mengandung sekitar 1000 residu asam amino dan
disebut protokolagen. Pelepasan protokolagen ke hasil retikulum endoplasma di hidroksilasi
prolin untuk hidroksiprolin dan lisin untuk hidroksilin oleh hydroxylases tertentu. Hidroksilase
prolyl membutuhkan oksigen dan besi sebagai kofaktor, -ketoglutarat sebagai co-substrat, dan
asam askorbat (vitamin C) sebagai donor elektron (Charles, 2004; Geoffrey, 2007).
Di retikulum endoplasma, rantai protokolagen juga glikosilasi menghubungkan galaktosa
dan glukosa pada residu hidroksilin tertentu. Langkah-langkah dari hidroksilasi dan glikosilasi
mengubah kekuatan ikatan hidrogen di dalam rantai untuk menjadi sebuah konfigurasi-heliks.
Tiga rantai heliks berpilin untuk membentuk struktur tangan kanan superheliks disebut
prokolagen. (Charles , 2004)

II.5. Kerangka Teori

- Aktifitas fibroblas
abnormal
- Reaksi imun yang tidak
normal
- Peningkatan produksi
asam hyaluronat
- Peningkatan kadar
growth factor dan
sitokin
- Pengaruh kadar
melanin terhadap reaksi
kolagen-kolagenase

II.6. Kerangka Konsep

Keloid

Sintesis kolagen
fibroblas keloid

1. Terapi bedah
2. Terapi non bedah
- 5 Fuorouracil (5FU)
Intralesi
- Triamsinolon Asetonid
- Injeksi kortikosteroid
intralesi
- Silicone Gel Sheeting
- Pressure/compression
- Radioterapi
- Cryoterapi
- Hypoallergenic paper
Tape
- Antihistamin
- Verapamil
- Topikal retinotic
acid/tretinoin
- Imiquimod
- Tacromilus
- Injeksi Interferon
- Bleomisin Intralesi
- Pulsed Light Heat
Energy (LHE)

Kolagen Assay
Sintesis Kolagen Fibroblas

Ko

Keterangan :

PENYEMBUHAN
LUKA

Genetik
Usia
: Menghambat
Jenis Kelamin
: Tidak dikerjakan
Ras
Trauma
Hormon : Menyebabkan
Lokasi

Triamsinolone
Asetonide

: Menjadi

5-FU
II.7. Hipotesis
a. Berdasarkan referensi diatas, efek 5-Fluorourasil sama atau lebih tinggi terhadap
sintesis kolagen fibroblas pada keloid dibandingkan dengan Triamsinolone Asetonida.

BAB III
METODE PENELITIAN

III.1. Jenis Penelitian


Penelitian ini menggunakan eksperimental laboratorik dengan metode pendekatan post
test-only control group design

yang menggunakan kultur sel dalam sumuran sebagai unit

penelitian. Perlakuan pemberian 5FU dan Triamsinolon pada biakan fibroblast jaringan keloid
kulit manusia yang diambil dari 1 keloid donor dengan keluaran sintesis kolagen dan proliferasi
fibroblas.
III.2. Rancangan Penelitian
Fibroblas dari
Keloid pasien

Kultur + isolasi
fibroblas

5-fluorourasil

Triamsinolone
Asetonide

kontrol

Esai Pikro Sirius Red

Kolagen yang Terlarut

III.3. Populasi dan Sampel Penelitian


Populasi pada penelitian ini adalah kultur fibroblast keloid manusia yang diambil dari
seorang penderita keloid dan dibiakkan dalam Dulbecos Modified Eagles Medium (DMEM)
yang mengandung FCS 10% (serum), Penicillin dan Streptomycin. yang dipanen dari kultur
fibroblast dalam flask dan dilakukan penghitungan proliferansi fibroblast. Sampel penelitian
adalah biakan fibroblas keloid dibagi menjadi 7 kelompok perlakuan yaitu 5-FU dosis 0,1
mg/ml; 1 mg/ml; 10 ml/mg, Triamsinolon Asetonida (TA) dosis 10 M, 20 M, 40 M serta
kontrol. Dan telah mendapat persetujuan dari dokter pembimbing lapangan dr. Yohanes Widodo
Wirohadidjojo, Sp.KK(K).

III.4. Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan dilaboratorium Teknologi Kedokteran Ilmu Kesehatan Kulit dan


Kelamin gedung Radioputro lantai III Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta.
III.5. Variabel penelitian
a. Variabel Independen
1. Sel kolagen fibroblas keloid yang diberikan perlakuan terapi Triamsinolon Asetonide.
2. Sel kolagen fibroblas keloid yang diberikan perlakuan terapi 5-FU.
3. Kontrol (tidak dilakukan modalitas terapi).
b. Variabel Dependen
1. Hasil densitas dari kolagen fibroblas yang diterapi dengan Triamsinolon Asetonida, 5-FU
dan kontrol yang diukur degradasi kolagen fibroblas pada keloid.

III.5. Alat dan Bahan


a. Bahan Penelitian

b. Alat Penelitian

Jaringan keloid

Masker

DMEM Gibco 10 x 1

Forsep steril

FCS 10%

Scalpel no. 15

Amfoterisin B

Tabung konikal steril Falcon

Triamsinolon Acetonida

5-FU

Gentamicin

Alcohol 70%

50 cc

Tabung konikal steril NUNC


15 cc

Gelas Petri Dish steril 9 cm

Inkubator CO2 steril 5%

Phospat Buffer Saline A

Mikropipet steril

(Gibco)

Selotip kuning dan biru

Povidon Iodine 10%

Mikroskop inverted

NaOH (Merck)

Geles Beker 100 cc

Picro Sirius red

Pipet elektrik

Penstrip (Gibco)

III.5. Prosedur Penelitian


a. Donor fibroblast
Fibroblas diisolasi dari material keloid 4 pasien yang dilakukan insisi di bagian poliklinik
Bedah Plastik dan Rekonstruksi RSUP DR Sardjito Yogyakarta.
b. Teknik kultur fibroblas
Material keloid akan dibilas sekali dalam 10% povidone iodine dan 3 kali pada PBS steril
selama masing-masing 10menit. Material kemudian dipotong pada potongan 2 mm dan
diletakkan pada Petri dishes 35 mm sterile, dibenamkan pada 20% serum sapi yang mengandung
medium dan diinkubasi pada 37C dengan 5% CO2 semalam. Pada keesokan hari, material di cek
untuk ditambahkan dan 2 ml dari medium komplit (DMEM + 10% serum sapi + 100 unit -100
ug/ml gentamicin) yang akan ditambahkan secara perlahan dan diinkubasi ke dalam inkubator
CO2. Medium komplit akan diganti tiap 3 hari dan pertumbuhan fibroblastik akan dicapai pada
minggu ke3. Pasase akan dilakukan dengan sel tertripsinase dengan 0,025% tripsin dalam PBS,
selesai dengan menambahkan medium komplit, dibilas 3 kali dengan pencampuran dan
disentrifugasi 100G pada medium komplit. Sel bersih dan segar kemudian di rekultivasi ke
dalam flask dishes sampai Pasase III dicapai.

c. Perlakuan Terapi
Fibroblas dipisahkan dengan teknik ezimatik menggunakan tripsinase. 200L dari
suspensi diselubungi pada setiap sumur dalam 7 microplate setelah penambahan dari medium
komplit sebagai berikut :
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.

5FU 10 mg/ml
5FU 20 mg/ml
5FU 40 mg/ml
Triamsinolon Asetonida (TA) 20 M
Triamsinolon Asetonida (TA) 40 M
Triamsinolon Asetonida (TA) 60 M
Kontrol

d. Collagen assay
1. 50 L jika medium dipindahkan dari tiap sumur dari semua grup dan dipindahkan untuk
dipisah 1,5mL tabung epindrof
2. Pada tiap-tiap tabung, 1000 L dari Sirius Red ditambahkan dan dicampur
3. Semua sampel kemudian disentrifugasi pada 10.000 G selama 5 menit sehingga kolagen
terbentuk endapan
4. Supernatan dibuang dengan hati-hati
5. 1000 L dari HCl 0.1 N ditambahkan pada tiap tabung dan dicampur
6. Semua sampel disentrifugasi lagi pada 10.000 G selama 5 menit
7. Supernatant dibuang dengan hati-hati
8. 1000 L NaOH 0.5 N ditambahkan ada tiap tabung dan dicampur
9. Isi dari tiap tabung epindrof dipindahkan ke microplate baru berdasarkan micoplate
sebelumnya (tiap sumur harus mengandung 200 L)
10. Dengan software softMax Pro dan spectraMax, pembacaan direkam pada 550 nm.
e. Analisis statistik data

Dalam menganalisis hasil digunakan Paired Samples T-Test dari program SPSS untuk
menganalisa perbedaan rata- rata antara masing masing kelompok terapi dengan tingkat
signifikan yang digunakan p = 0.05.

DAFTAR PUSTAKA

Berman

B, Amini S, Viera M.H, 2009. Keloid and Hypertrophic Scar.


http://emedicine.medscape.com/article/1057599. Accessed 20 August, 2009.
Bock O., Schmid-Ott G., Malewski P., Mrowietz U. 2006. Quality of life of patients with keloid
and hypertrophic scarring. Archives of Dermatological Research. 297: 433-438.
Butler P.D., Longkaker M.T., Yang G.P. 2008. Current Progress in Keloid Research and
Treatment. Journal of The American College of Surgeon. 206: 731-741
Calderon M., Lawrence W. T., Banes A.) 1996. Increased Proliferation in keloid Fibroblast
Wounded in vitro. Journal of Surgical Research ; 61 : 343 347.
Charles B: Wound Healing. In: Schwartz Principles of Surgery 8th ed.2004. McGraw Hill
Companies: 165-189

Clare M.M, Nanchahal JD, 2005. Advances in the Modulation of Cutaneous Wound Healing and
Scarring. Biodrug 2005, pp:363-376
Diegelmann, R.F., Bryant C.P., Cohen I.K., 1977. Tissue alpha-globulins in keloid formation.
Plast reconst Surg 59: 418 - 423
Froelich K, Staudenmaier R., Klesinsasser N, Hagen R, 2007. Therapy of Auricular Keloid :
Review of Different Treatment Modalities and Proposal for Theraupetic Algorithm.
Eur arch Otorhinolaryngol 2007,264 :1497-1508
Geoffrey, C.: Wound Healing: Normal and Abnormal. In: Grabb & Smiths Plastic Surgery 6 th
ed, Charles, H., Robert, W., Shereen, J. Lippincot William & Willkins, Philadelphia,
2007, p 15-23
Golladay, E.S., 1988. Treatment of keloid by single intraoperative perilesional injection of
repository steroid. South med J 81: 736 738.
Heng E.C., Huang CCN2, connective tissue growth factor, stimulates collagen deposition by
gingival fibroblast via module 3 and alpha6-and beta-1 integrin. J.Cell.Biochem.,
98(2) : 409-20.
Kokoska

M.S,
Prendiville,
2007.
Hypertrophic
Scarring
and
Keloids.
http://emidicine.medscape.com/article/876214. Accessed 20 August, 2009.

Lee S.S., Yosipovitch G., Chan Y.H., Goh C.L. 2004. Pruritus, pain, and small nerve fiber
function in keloids: A controlled study. Journal of The American Academy of
Dermatology; 51: 1002-1006.
Manuskiati W., Fitzpatrick R.E., 2002, Treatment response of Keloidal and hypertropic
sternotomi scars : Comparison among intralessional corticosteroid 5-flourouracyl,
and 585-nm flash lamp pumped pulsed-dye laser treatment. Archive dermatology.
138: 1149 1155.
Mercandetti M, Cohen A. Wound healing, healing and repair. EMedicine. October 7. 2002.
http://www.eMedicine .com.Inc
Murray RK, Keeley FW. The extracellular matrix. In: Murray RK, Mayes P, eds. Harper's
Biochemistry. Norwalk, Conn: Appleton; 1993:. 634-46.
Newsome R.E, Tandon R, Bolling R.P, Wang A.R, Jansen D.A, 2009. Wound Healing, Keloids.
http://emedicine.medscape.com/article/1298013. Accessed 20 August, 2009.
Perdanakusuma D.S, Noer M.S, 2006. Penanganan Parut Hipertrofik Dan Keloid. Surabaya :
Airlangga University Press. p. 43-61
Poochaeron, V.N., Berman B., 2003. New therapies for the management of keloids. J Craniofag
Surg 14 : 654 657.

Porras-Reyes BH, Mustoe TA. Wound healing. In: Cohen M, ed. Mastery of Plastic and
Reconstructive Surgery. Boston, Mass: Little Brown; 1994:. 3-13.
Robles D.T. MD PhD, Moore E, Draznin M. MD, Berg D. MD, 2007. Keloids: Pathophysiology
and Management. Dermatology Online Journal 2007, 13 (3): 9.
Sabiston CD. Wound healing : Biologic and Clinical Features. Textbook of Surgery The
Biological Basis of Modern Surgical Practice, 15th ed.1997. WB Saunders Comp.
Philadelpia: 207 219
Seifert O., Mrowietz U. 2009. Keloid scarring: bench and bedside. Archives of Dermatology
Research. 301:259-272.
Shejbal D., Bedekovi V., Lvki M., Kalogjera L., Aleric Z., Drvi P. 2004. Strategies in the
treatment of keloid and hypertrophic scarr. Acta Clinica Croatia. 43:417-422.
Teeluck-Singh, S., Balkaran B., Ganeshmoorthi A., Arthur P., 2002. Prolonged childhood
cushings syndrom secondary to intralessional triamcinolone acetonide. Ann trop
Paediatr Mar: 22 (1) : 89 91.
Wilhelmi

B.J, 2008. Wound Healing, Widened and Hypertrophic Scars.


http://emedicine.medscape.com/article/1298541. Accessed 20 August, 2009.

Anda mungkin juga menyukai