Anda di halaman 1dari 4

Visi

Terwujudnya Sekolah Nasional Bertaraf Internasional yang berorientasi pada multikulturalisme,


menumbuhkan semangat kewirausahaan, berwawasan lingkungan dan teknologi yang berbasis
pada pendidikan karakter.

Misi
1.

Menyelenggarakan pendidikan yang mengembangkan sumber daya manusia mandiri dan


berkepribadian nasional serta berwawasan internasional.

2.
3.

Menyediakan sarana dan prasarana pendidikan yang bertaraf internasional.


Melaksanakan program pendidikan dan atau pengembangan kultur guna terciptanya iklim
persamaan dan toleransi yang bermuara pada terwujudnya keadilan dan perdamaian.

4.

Menciptakan budaya kewirausahaan melalui proses pembelajaran dan pengalaman.

5.

Menyelenggarakan pendidikan guna menumbuhkan kesadaran, sikap dan perilaku yang


peduli lingkungan.

6.
7.

Mengintegrasikan proses pendidikan dan pengabdian masyarakat melalui pendayagunaan


TIK.
Menumbuhkembangkan ahlak mulia dan kepribadian kuat melalui pembelajaran dan
kehidupan sebagai dasar pembentukan manusia seutuhnya.

Sejarah berdirinya SMA Santu Petrus bermula dari kedatangan enam pastor muda Congregatio
Discipulorum Domini (CDD) atau Kongregasi Murid-Murid Tuhan di Pontianak tahun 1949. Setelah
beberapa bulan berada dan berkarya di tengah-tengah masyarakat Pontianak. Hati mereka risau
menyaksikan kaum muda Pontianak yang membutuhkan uluran tangan-tangan kasih dari pendidik.
Pada 1950, berdiri dan beroperasi sebuah SMP berbahasa Mandarin dengan nama Pontianak Middle
School atau Kun Tian Chung Sie. Kini Kunzhong mewakili PG-TKK, SD, SMP, SMA, SMK dan RRC Sui
Ambawang. Kunzhong perdana ini berdiri di Jalan Cempaka.
Pada 1964, Yayasan Pendidikan Kalimantan resmi berdiri. Yayasan ini diketuai dr Bong Muk Siong.
SMP/SMA Kalimantan diubah menjadi SMP/SMA Santu Petrus. Tahun 1994, Pastor Lodewyik CDD
memegang estafet pertama karya pastoral generasi muda CDD bagi Kunzhong.
Kepemimpinan Pastor Lodewyik gencar melaksanakan pembenahan dan pengembangan Kunzhong.
Lembaga itu mendirikan SMK Santa Maria, Rumah Retret Costantini, Gedung Sentra Belajar dan
Gedung Aula Besar di Jalan KS Tubun serta Gedung PG-TKK-SD di Jalan Juanda.

Gedung warna biru langit dipadu dengan warna kuning serta silver nampak menjulang tinggi di sekitar
danau yang ada di bilangan Sunter, Jakarta Utara. Saat perpulangan sekolah, gedung itu nampak riuh
oleh suara anak-anak dari kalangan etnis China sedang menunggu jemputan. Mobil-mobil mewah pun
berantrian menjemput mereka.

Begitulah pemandangan sehari-hari di Jubilee School, baik saat jam masuk maupun pulang sekolah.
Hampir 95 persen para siswa yang sekolah di gedung berlantai delapan ini dari etnis China. Namun
siapa sangka, pemilik sekolah ini adalah seorang Muslim taat keturunan Makasar bernama Ibrahim
Abdullah Assegaf (61).
Ibrahim, begitulah panggilan akrabnya. Terpanggil bergerak di dunia pendidikan ketika melihat kualitas
pendidikan bangsa ini yang kurang menggembirakan. Terutama pasca kerusuhan tahun 1998 yang
menyebabkan kalangan etnis Tionghoa ketakutan dan lari ke luar negeri.
Lelaki kelahiran Makasar 27 November 1947 ini mengatakan, padahal mereka yang lari atau
menyekolahkan anaknya ke luar negeri merupakan aset bangsa yang harus dilindungi dan mendapatkan
perlakuan sebagaimana warga Indonesia. Akhirnya tercetuslah ide untuk menjembatani kesenjangan ini
melalui pendidikan. Kalau mereka bisa sekolah di dalam negeri dalam situasi yang kondusif, kenapa
tidak? paparnya.
Harmoni dalam Perbedaan itulah salah satu motto sekolah yang berdiri pada tahun 2000 ini. Dengan
motto tersebut, pendiri lembaga ini berusaha menyatukan kembali perbedaan yang ada, baik itu
perbedaan etnik, agama, ras, dan lainnya.
Guru-guru di sini beragam latar belakangnya. Ada yang beragama Islam, Katolik, Protestan, Hindu dan
Buddha. Demikian pula ada dari suku Jawa, Batak, Cina, ujarnya saat ditemui di JS Caf sekolah.
Ibrahim menyatakan bahwa bangsa Indonesia itu bangsa yang heterogen. Kita berbeda akidah ya,
keyakinan berbeda, tapi masih banyak persamaan lain yang bisa mengikat kita untuk membangun
generasi bangsa ini, jelas lelaki yang hobi renang ini.
Bersemi dari Gedung Kontrakan
Gedung seluas satu hektar di bilangan Kampung Sunter Muara ia sewa untuk mendirikan sekolah
bernama Jubilee School. Beruntung, sang istri yang memang sudah puluhan tahun bergerak di dunia
pendidikan memahami niat baik sang suami.
Tak hanya itu, sang istri sebelum berniat mengembangkan lembaga pendidikan bersama suami adalah
mantan direktur sekolah ternama saat itu, yaitu GandhiMemorial International School. Karenanya, konsep
yang diterapkan pun banyak terinspirasi dari sekolah garapannya. Namun tak berhenti dari satu
sekolah, sang suami juga kerap memberi ide-ide segar untuk pengembangan sekolahnya.
Berbekal pengalaman dan modal yang tak sedikit dari hasil menabung, Ibrahim akhirnya membuka
Jubilee School tahun 2000. Kalau maju alhamdulillahkalau tidak maju saya tidak ngutang sama orang.
Namun Allah berkehendak lain ternyata sekolah ini terus berkembang hingga memiliki lokasi sendiri.
Semua Allah yang menghendaki, kata lelaki yang pernah menjadi guru kursus Bahasa Inggris ini.
Di luar dugaan, ketika pendaftaraan siswa baru dibuka, Jubilee School diminati oleh sekitar 4.000 calon
murid baru. Padahal saat itu lembaga ini hanya membutuhkan siswa sekitar 1.200 siswa. Subhanallah,
ternyata animo msyarakat cukup baik, tutur lulusan Akuntansi, Universitas Jayabaya tahun 1986.
Dengan banyaknya jumlah pendaftar, hal ini mampu mendatangkan pundi-pundi rupiah yang tak
sedikit. Tak heran, jika uang ngontrak berjumlah Rp 550 juta per tahun bisa ia lunasi dalam waktu
singkat. Memang, mayoritas para wali murid dari golongan kelas menengah ke atas, papar bapak dari
tiga anak ini.
Ibrahim menyadari, kalau saat itu masih belum ada sekolah yang menjadi model percontohan di
bilangan Sunter. Dengan semangat tinggi dan dibarengi dengan kemampuan serta pengalaman di
bidang pendidikan, sekolah ini terus mencari jati dirinya.
Sebagaimana latar belakang sekolah ini dibangun, yakni harmonis dalam perbedaan. Maka konsep ini
pula yang terus ia kembangkan. Peluang inilah yang coba saya angkat untuk menciptakan lingkungan
pendidikan yang kondusif dengan memberikan hak-hak mereka untuk belajar, menjaga harmonisasi
dalam perbedaan, ujar suami dari Farida ini.
Ibrahim sebagai sosok yang lahir dari keluarga beragama, yakni Islam, merasa terpanggil untuk
memberikan teladan kepada siapa saja, baik itu dari kalangan Muslim maupun non Muslim. Anggapan

sementara dari non Muslim bahwa Islam itu agama kekerasan ia tepis. Salah satunya dengan
memberikan contoh kepemimpinannya di Jubilee School ini. Bahwa Islam memberikan kedamaian dan
menjadi rahmatan lil alamien.
Istri saya di sini sebagai direktur, dan ia mengenakan jilbab, begitu juga ada beberapa guru yang
mengenakan jilbab, para wali murid tak mempermasalahkan itu, papar lelaki yang pernah mengelola
penerbitan Mario Grafika ini.
Jubilee Bangun Gedung Bertingkat
Tahun ketiga sejak berdirinya Jubilee School, Ibrahim Abdullah Assegaf akhirnya bisa menikmati hasil
jerih payah yang selama ini ia kerjakan. Di tepi Kali Sentiong atau berdekatan dengan Waduk Sunter
Barat, ia menancapkan gedung berlantai sembilan sebagai sentra pendidikan terpadu.
Lelaki yang juga pengurus Yayasan Citra Bangsa (YCB) membangun gedung sekolah nasional plus
dengan investasi sedikitnya Rp 60 miliar. Selaku pengelola Jubilee School, ia mengatakan kepercayaan
masyarakat terhadap lembaga pendidikannya yang dikelolanya cukup tinggi dan terbukti sejak didirikan
pada tahun 2000, kini jumlah muridnya lebih 2.000 orang siswa mulai pra sekolah, TK, SD, SMP dan
SMU.
Atas kepercayaan tersebut, pihaknya membangun gedung sekolah Jubilee School berlantai delapan. Ia
mengatakan, pembangunan sekolah itu seluas 12.000 meter persegi dan luas bangunan mencapai
23.000 meter persegi.Bangunan baru itu terdiri 130 kelas, ruang komputer, auditorium, sinema, kantin
dan berbagai fasilitas pendukung.
Pada awalnya, perkembangan Jubilee School pada tahun pertama jumlah muridnya sudah mencapai
1.250 orang, dan kini jumlah muridnya mencapai 2.050 orang dengan tenaga pengajar 200 guru dan
150 staf administrasi.
Lingkungan sekolah yang baru ini awalnya daerah rawan kejahatan dan kumuh. Karenanya, dalam
pelaksanaan pendidikan kami tetap menyertakan warga sekitar sebagai karyawan. Misalnya mereka
bekerja sebagai cleaning service, tukang, dan lain sebagainya. Ada lebih dari 70 orang yang ikut bekerja
di sekolah ini. Mereka menjadi penjaga secara tidak langsung, jelasnya.
Selain memberdayakan warga sekitar, Ibrahim juga ikut peduli dengan orang-orang yang
membutuhkan. Tak heran, jika ia banyak memberikan bantuan finansial kepada anak-anak kurang
mampu atau yatim piatu. Di Palu, ia memiliki anak asuh sebanyak 27 anak. Sedangkan di Jawa Timur
ada 2 anak.
Sekolah Lokal Standar Global
Sekolah nasional berstandar internasional, demikian misi yang didengungkanJubilee School ini.
Lembaga pendidikan ini tak hanya terfokus pada satu kurikulum asing. Sekolah ini juga memadukan
kurikulum nasional dan internasional. Bagi Ibrahim, tak ada satu metode pun yang benar-benar bisa
diterapkan seratus persen. Jadi perlu penggabungan berbagai metode dan disesuaikan kebutuhan.
Ibrahim juga menjelaskan sebagai sekolah nasional plus, pihaknya membagi program belajar dalam dua
bagian, yakni pertama, program pendidikan Indonesia yang mengikuti kurikulum nasional,
disampaikan dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris mulai dari kelas pra sekolah hingga DMA
(grade 2).
Program kedua, adalah full English Program, yang berdasarkan pada kurikulum nasional yang
disampaikan sepenuhnya dalam bahasa Inggris. Program ini menggunakan buku-buku panduan dan
materi internasional dengan penekanan pada metode intruksi yang digunakan sekolah internasional
terbaik.
Saat ini Jubilee School sudah menjalin kerja sama dengan dua universitas terkemuka yakni Cambridge
University dari London dan University of Wollongong dari Australia. Tak heran, jika lulusan sekolah ini
bisa meneruskan ke dalam negeri maupun luar negeri.
Selain kerja sama dengan pihak luar negeri, Jubilee School juga dipercaya pemerintah dalam hal ini
Departemen Pendidikan Nasional menjadi pilot project penggunaan sistem perguruan tinggi atau

memakai sistem SKS. Kelebihannya anak-anak tergantung dari kredit yang dia peroleh, jadi mereka
bisa menyelesaikan lebih cepat yaitu 2 tahun, katanya.
Jubilee dan Pergantian Milenium
Dalam sebuah perbincangan dengan orang Betawi, Ibrahim pernah mendapatkan lelucon tentang nama
Jubilee yang ia pilih sebagai nama sekolahnya. Suatu hari, orang Betawi mengatakan kepada dirinya, Ji
(pak haji-red), ente ini emang pinter milih nama, Jubilee, ini kan dari Aujubilee, senyum lebar Ibrahim
sambil menirukan sang Betawi berkelakar.
Hati Ibrahim terantuk dengan nama Jubilee lantaran ia pernah berkunjung ke sebuah lembaga
pendidikan yang ada di Yordan. Saat itu, ia akan menyekolahkan anaknya, Ali. Namun sayang, sekolah
itu hanya menyaratkan warga negara sendiri dan tidak bagi warga negara lain, termasuk Indonesia.
Alasan sang kepala sekolah yang saat itu dipegang Dr Taufik adalah ingin menciptakan generasi penerus
dari negeri sendiri yang handal. Kalau kita tidak memiliki SDM yang baik, one day kita ini hilang di
muka bumi, tiru Ibrahim yang mengaku sangat terkesan dengan kalimatnya.
Dalam sebuah diskusi pernah sekolah ini diberi nama Millenium tapi ia tak ingin kesannya seperti hotel
di Jakarta. Bahkan juga pernah muncul nama Metropolitan, tapi ia tak setuju karena mirip nama taksi.
Lalu saya ingat sekolah yang ada di Yordan yaitu Jubilee. Lalu kami memakai nama itu, jelas lelaki
yang pernah mondok di pesantren Al-Khairat, Palu ini.
Nama Jubilee berasal dari bahasa Ibrani yang juga kerap dipakai ketika memperingati pergantian yang
sukses. Selain itu, Jubilee juga dipakai ketika zaman Nabi Musa saat membebaskan para budak. Selain
itu juga tak asing bagi orang-orang Katholik. Kebetulan berdirinya jubilee bergantian antara milenium
baru dari abad 19 ke 20, papar bapak yang pernah belajar di SMU Katholik, Cendrawasih ini.
Bagi Ibrahim, hidup adalah perjuangan. Ia mencontohkan bagaimana para kekasih Allah seperti para
Nabi zaman dahulu tak lepas dari cobaan berat. Tapi melalui perjuangan yang tak kenal lelah, para Nabi
mendapatkan tempat mulia di sisi-Nya.
Allah tidak memanjakan para Nabi ketika usahanya mentok, baru Allah akan menurunkan jalan keluar
setelah ada usaha, kisahnya. Ia mencontohkan, bagaimana Maryam memperoleh air zam-zam setelah
melalui perjuangan panjang yang melelahkan.
Adanya Jubilee ini saya yakin ada misi yang Allah selipkan dari besarnya sekolah ini, wallahualam,
tutur lelaki yang gemar mengikuti pengajian di kalangan habaib ini.

Anda mungkin juga menyukai