Anda di halaman 1dari 21

REFRESHING

ANATOMI, FISIOLOGI, TATA CARA PEMERIKSAAN DAN PENYAKIT


TERBANYAK YANG TERJADI PADA HIDUNG

DISUSUN OLEH:
Tut Wuri Handayani

2005730066

Pembimbing :
dr. Denny . Sp,THT.

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2010

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hidung merupakan organ penting, yang seharusnya mendapat perhatian lebih dari
biasanya, merupakan salah satu organ pelindung tubuh terpenting terhadap lingkungan yang
tidak menguntungkan.
Hidung mempunyai beberapa fungsi antara lain sebagai indra penghidu, menyiapkan
udara inhalansi agar dapat digunakan paru-paru, mempengaruhi reflek tertentu pada paru-paru
dan memodifikasi bicara.
Untuk mengetahui penyakit dan kelainan hidung, misalnya sumbatan hidung perlu
diketahui dulu tentang anatomi hidung. Hidung terdiri dari hidung bagian luar atau piramid
hidung dan rongga hidung dengan pendarahan serta persarafannya, serta fisiologi hidung. Untuk
mendiagnosis penyakit yang terdapat di dalam hidung perlu diketahui dan dipelajari pula cara
pemeriksaan hidung.
Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit dideskripsikan
karena bentuknya yang sangat bervariasi pada tiap individu. Ada empat pasang sinus paranasal,
mulai dari yang terbesar yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan
dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk
rongga didalam tulang. Semua sinus mempunyai muara (ostium) ke dalam rongga hidung.

1.2 Tujuan
Tujuan umum dari penulisan ini adalah untuk dapat lebih mendalami atas anatomi pada
hidung beserta sinus paranasal. Tujuan khususnya adalah sebagai pemenuhan tugas refreshing
kepaniteraan sistem THT.

BAB II
PEMBAHASAN

A. ANATOMI DAN EMBRIOLOGI HIDUNG


1 Anatomi dan Embriologi Hidung
Untuk mengetahui penyakit dan kelainan hidung, misalnya sumbatan hidung perlu
diketahui dulu tentang anatomi hidung. Hidung terdiri dari hidung bagian luar atau
piramid hidung dan rongga hidung dengan pendarahan serta persarafannya, serta fisiologi
hidung. Untuk mendiagnosis penyakit yang terdapat di dalam hidung perlu diketahui dan
dipelajari pula cara pemeriksaan hidung.
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah : 1) pangkal
hidung (bridge), 2) dorsum nasi, 3) puncak hidung, 4) ala nasi, 5) kolumela dan 6) lubang
hidung (nares anterior).
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit,
jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau
menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari 1) tulang hidung (os nasalis),
2) prosesus frontalis os maksila dan 3) prosesus nasalis os frontal, sedangkan kerangka
tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah
hidung, yaitu 1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior, 2) sepasang kartilago nasalis
lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago alar mayor, 3) beberapa pasang
kartilago alar minor dan 4) tepi anterior kartilago septum.
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang,
dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri.
Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang
belakang disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan
nasofaring.
Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat dibelakang
nares anteriror, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai
banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise.
Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior dan
superior.

Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan tulang
rawan. Bagian tulang adalah lamina perpendikularis os etmoid, vomer, krista nasalis os
maksila dan krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawan adalah kartilago septum
(lamina kuadrangularis) dan kolumela.
Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periostium pada
bagian tulang, sedangkan diluarnya dilapisi pula oleh mukosa hidung. Bagian depan
dinding lateral hidung licin, yang disebut ager nasi dan dibelakangnya terdapat konkakonka yang mengisi sebagian besar dinding lateral hidung.
Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling
bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka media, lebih kecil
lagi ialah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema.
Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan
labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari
labirin etmoid.
Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang
disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior,
medius dan superior. Meatus inferior terletak di antara konka inferior dengan dasar
hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium)
duktus nasolakrimalis.
Meatus medius terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga hidung.
Pada meatus medius terdapat bula etmoid, prosesus unsinatus, hiatus semilunaris dan
infundibulum etmoid. Hiatus semilunaris merupakan suatu celah sempit melengkung
dimana terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior.
Pada meatus superior yang merupakan ruang di antara konka superior dan konka
media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid. Dinding inferior
merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os palatum. Dinding
superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina kribriformis, yang
memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung. Bagian atas rongga hidung mendapat
pendarahan dari a.etmoid anterior dan posterior yang merupakan cabang dari a.oftalmika,
sedangkan a.oftalmika berasal dari a.karotis interna.

2 Perdarahan Hidung
Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a.maksilaris
interna, di antaranya ialah ujung a.palatina mayor dan a.sfenopalatina yang keluar dari
foramen sfenopalatina bersama n.sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang
ujung posterior konka media.
Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang a.fasialis.
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.sfenopalatina,
a.etmoid anterior, a.labialis superior dan a.palatina mayor, yang disebut pleksus
Kiesselbach. Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah cidera oleh trauma,
sehingga sering menjadi sumber epistaksis terutama pada anak.
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan
dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v.oftalmika
yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup,
sehingga merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi sampai ke
intrakranial.
3 Persarafan Hidung

Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari
n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal dari
n.oftalmikus. Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari
n.maksila melalui ganglion sfenopalatinum.
Ganglion sfenopalatinum, selain

memberikan

persarafan

sensoris,

juga

memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini
menerima serabut-serabut sensoris dari n.maksila, serabut parasimpatis dari n.petrosus
superfisialis mayor dan serabut-serabut simpatis dari n.petrosus profundus. Ganglion
sfenopalatinum terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka media.
Nervus olfaktorius. Saraf ini turun melalui lamina kribosa dari permukaan bawah
bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa
olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.
4 Histologi Hidung
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional dibagi
atas mukosa pernafasan (mukosa respiratori) dan mukosa penghidu (mukosa olfaktorius).
Mukosa pernafasan terdapat pada sebagian besar rongga hidung dan
permukaannya dilapisi oleh epitel torak berlapis semu (pseudo stratified columnar
epithalium) yang mempunyai silia dan diantaranya terdapat sel-sel goblet.
Pada bagian yang lebih terkena aliran udara mukosanya lebih tebal dan kadangkadang terjadi metaplasia, menjadi sel epitel skuamosa. Dalam keadaan normal mukosa
berwarna merah muda dan selalu basah karena diliputi oleh palut lendir (mucous blanket)
pada permukaannya. Palut lendir ini dihasilkan oleh kelenjar mukosa dan sel-sel goblet.
Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang penting.
Dengan gerakan silia yang teratur, palut lendir di dalam kavum nasi akan didorong ke
arah nasofaring. Dengan demikian mukosa mempunyai daya untuk membersihkan dirinya
sendiri dan juga untuk mengeluarkan benda asing yang masuk ke dalam rongga hidung.
Gangguan pada fungsi silia akan menyebabkan banyak sekret terkumpul dan
menimbulkan keluhan hidung tersumbat. Gangguan gerakan silia dapat disebabkan oleh
pengeringan udara yang berlebihan, radang, sekret kental dan obat-obatan. Di bawah
epitel terdapat tunika propria yang banyak mengandung pembuluh darah, kelenjar
mukosa dan jaringan limfoid.
Pembuluh darah pada mukosa hidung mempunyai susunan yang khas. Arteriol
terletak pada bagian yang lebih dalam dari tunika propria dan tersusun secara paralel dan

longitudinal. Arteriol ini memberikan pendarahan pada anyaman kapiler perigalnduler


dan subepitel. Pembuluh eferen dari anyaman kapiler ini membuka ke rongga sinusoid
vena yang besar yang dindingnya dilapisi oleh jaringan elastik dan otot polos. Pada
bagian ujungnya sinusoid ini mempunyai sfingter otot. Selanjutnya sinusoid akan
mengalirkan darahnya ke pleksus vena yang lebih dalam lalu ke venula. Dengan susunan
demikian mukosa hidungmenyerupai suatu jaringan kavernosus yang erektil, yang mudah
mengembang dan mengerut. Vasodilatasi dan vasokontriksi pembuluh darah ini
dipengaruhi oleh saraf otonom.
Mukosa sinus paranasal berhubungan dengan mukosa rongga hidung di daerah
ostium. Mukosa sinus menyerupai mukosa rongga hidung, hanya lebih tipis dan
pembuluh darahnya juga lebih sedikit. Sel-sel goblet dan kelenjar juga lebih sedikit dan
terutama ditemukan dekat ostium. Palut lendir di dalam sinus dibersihkan oleh silia
dengan gerakan menyerupai spiral ke arah ostium. Mukosa penghidu terdapat pada atap
rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Mukosa dilapisi oleh
epitel torak berlapis semu dan tidak bersilia (pseusostratified columnar non ciliated
epithelium). Epitelnya dibentuk oleh tiga macam sel, yaitu sel penunjang, sel basal dan
sel reseptor penghidu. Daerah mukosa penghidu berwarna coklat kekuningan.

B. FISIOLOGI HIDUNG
1. Sebagai jalan nafas
Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi
konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring, sehingga aliran udara ini
berbentuk lengkungan atau arkus. Pada ekspirasi, udara masuk melalui koana dan

kemudian mengikuti jalan yang sama seperti udara inspirasi. Akan tetapi di bagian depan
aliran udara memecah, sebagian lain kembali ke belakang membentuk pusaran dan
bergabung dengan aliran dari nasofaring.
2. Pengatur kondisi udara (air conditioning)
Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk mempersiapkan udara
yang akan masuk ke dalam alveolus. Fungsi ini dilakukan dengan cara :
a. Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir. Pada musim
panas, udara hampir jenuh oleh uap air, penguapan dari lapisan ini sedikit, sedangkan
pada musim dingin akan terjadi sebaliknya.
b. Mengatur suhu. Fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya pembuluh darah di bawah
epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas, sehingga radiasi dapat
berlangsung secara optimal. Dengan demikian suhu udara setelah melalui hidung kurang
lebih 37o C.
3. Sebagai penyaring dan pelindung
Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan bakteri dan
dilakukan oleh :
a. Rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi
b. Silia
c. Palut lendir (mucous blanket). Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir dan
partikel partikel yang besar akan dikeluarkan dengan refleks bersin. Palut lendir ini
akan dialirkan ke nasofaring oleh gerakan silia.
d. Enzim yang dapat menghancurkan beberapa jenis bakteri, disebut lysozime.
4. Indra penghirup
Hidung juga bekerja sebagai indra penghirup dengan adanya mukosa olfaktorius
pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Partikel bau
dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik nafas
dengan kuat.
5. Resonansi suara
Penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan hidung akan
menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara sengau.
6. Proses bicara
Membantu proses pembentukan kata dengan konsonan nasal (m,n,ng) dimana rongga
mulut tertutup dan rongga hidung terbuka, palatum molle turun untuk aliran udara.

7. Refleks nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran cerna,
kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh : iritasi mukosa hidung menyebabkan refleks
bersin dan nafas terhenti. Rangsang bau tertentu menyebabkan sekresi kelenjar liur,
lambung dan pankreas
C. CARA PEMERIKSAAN
a. Anamnesis :
Keluhan utama penyakit atau kelainan di hidung adalah :
1. Sumbatan hidung
Sumbatan hidung dapat terjadi oleh beberapa factor. Sumbatan terjadi terus
menerus atau hilang timbul, pada satu atau kedua lubang hidung, apakah
sebelumnya ada riwayat kontak dengan bahan allergen seperti debu, tepung sari,
bulu binatang, trauma hidung, pemakaian obat tetes hidung dekongestan untuk
jangka waktu lama, perokok atau peminum alkohol, apakah mulut dan
tenggorokkan merasa kering
2. Secret di hidung dan tenggorokkan
Keluarnya secret pada satu atau kedua lubang hidung. Konsistensi secret, encer,
bening, kental, nanah atau darah. Apakah secret keluar pada pagi hari atau pada
waktu-waktu tertentu misalnya pada musim hujan. Sekret hidung yang disebabkan
karena infeksi hidung biasanya bilateral, jernih sampai purulen. Sekret yang
jernih seperti air dan jumlahnya banyak khas untuk alergi hidung. Bila sekretnya
kuning kehijauan biasanya berasal dari sinusitis hidung dan bila bercampur darah
dari satu sisi, hati-hati adanya tumor hidung. Pada anak bila secret yang terdapat
hanya satu sisi dan berbau, sebaiknya curiga akan adanya benda asing dihidung.
3. Bersin
Bersin yang berulang-ulang merupakan keluhan pada alergi hidung. Perlu
ditanyakan apakah bersin ini timbul bila menghirup sesuatu. Apakah juga diikuti
keluar secret yang encer dan rasa gatal di hidung, tenggorok, mata, dan telinga.
4. Rasa nyeri di daerah muka dan kepala
Rasa nyeri di daerah muka dan kepala yang ad hubungannya dengan keluhan di
hidung. Nyeri di daerah dahi, pangkal hidung, pipi, dan tengah kepala dapat
merupakan tanda-tanda sinusitis. Ras anyeri atau rasa berat ini dapat timbul bila

menundukkan kepala dan dapat berlangsung dari beberapa jam sampai beberapa
hari.
5. Perdarahan dari hidung
Epistaksis dapat berasal dari bagian anterior atau posterior rongga hidung.
Perdarahan dapat berasal dari satu atau kedua lubang hidung. Sudah berapa kali
dan apakah mudah dihentikan dengan memencet hidung saja. Apakah ada riwayat
trauma hidung/muka sebelumnya dan menderita penyakit kelainan darah,
hipertensi, dan pemakaian obat-obat antikoagulansia.
6. Gangguan penghidu
Ini dapat berupa hilangnya penciuman (anosmia) atau berkurang (hiposmia). Perlu
ditanyakan apakah sebelumnya ada riwayat infeksi hidung, sinus, trauma kepala
dan keluhan ini sudah berapa lama
b. Pemeriksaan Hidung
Bentuk luar hidung diperhatikan apakah ada deviasi atau depresi tulang hidung.
Apakah ada pembengkakan didaerha hidung dan sinus paranasal. Dengan jari dapat
dipalpasi adanya krepitasi tulang hidung atau rasa nyeri tekan pada perdangan hidung
dan sinus paranasal.
Memeriksa rongga hidung bagian dalam dari depan disebut rihnoskopi anterior.
Diperlukan speculum hidung. Pada anak, dan bayi kadang-kadnag tidak diperlukan.
Otoskop dapat dipergunakan untuk melihat bagian dalam hidung terutama untuk
mencari benda asing. Spekulum dimasukkan ke dalam lubang hidung dengan hati-hati
dan dibuka setelah speculum berada didalam dan waktu mengeluarkannya jangan
ditutup dulu didalam, supaya bulu hidung tidak terjepit.
Vestibulum hidung, septum terutama bagian anterior, konka inferior, konka media,
konka superior serta meatus sinus paranasal dan keadaan mukosa rongga hidung
ahrus diperhatikan, Begitau juga rongga hidung sisi yang lain. Kadang-kadang rongga
hidung ini sempit karena adanya edema mukosa. PAda keadaan seperti ini untuk
melihat organ-organ yang disebut diatas lebih jelas perlu dimasukkan tampon kapas
adrenalin pantocain beberapa menit untuk mengurangi edema mukosa dan
menciutkan konka, sehingga rongga hidung lebih jelas terlihat.
Untuk melihat bagian belakang hidung dilakukan pemriksaan rhinoskopi posterior
sekaligus untuk melihat keadaan nasofaring. Untuk melakukan pemeriksaan

rhinoskopi posrterior diperlukan spatula lidah dan kaca nasifaring yang telah
dihangatkan dengan api lampu spiritus untuk mencegah udara pernafasan
mengembun pada kaca. Sebelum kaca ini dimasukkan suhu kaca dites dulu dnegan
menempelkannya pada kulit belakang tangan kiri pemeriksa. Pasien diminta
membuka mulut, lidah 2/3 anterior ditekan dengan spatula lidah. Pasien bernafas
melalui mulut supaya uvula ternagkat ke atas dan kaca nasofaring yang menghadap
ke atas dimasukkanmelalui mulut, kebawah uvula dan sampai nasofaring. Setelah
kaca berada di nasofaring, pasien diminta bernapas biasa melalui hidung, uvula akan
turun kembali dan rongga nasofaring terbuka kembali. Mula-mula diperhatikan
bagian belakang septum dan konka. Kemudian kaca diputar kelateral sedikit untuk
melihat konka superior, media, inferior serta meatus superior dan media. Kaca diputar
lebih kelateral lagi sehingga dapat diidentifikasi torus tubarius, muara tuba eustachius
dan fosa rossenmuler, kemudian kaca diputar ke sisi lainnya. Daerah nasofaring lebih
jelas terlihat bila pemeriksaan dilakukan dengan memakai nasofaringoskop.
Udara melalui kedua lubang hidung lebih kurang sama dan untuk mengujinya
dapat dengan cara meletakkan spatula lidah dari metal didepan kedua lubang hidung
dan membandingkan kiri dan kanan
Pemeriksana Sinus Paranasal
Dengan inspeksi, palpasi, dan perkusi daerah sinus paranasal serta pemeriksaan
rhiniskopi anterior, posterior saja, diagnose kelainan sinus sulit ditegakkan. Pemeriksaan
transiluminasi mempunyai manfaat yangsangat terbatas dan tidak dapat menggantikan
peranan pemeriksaan radiologi.
Pada pemeriksaan traniluminasi sinus maksila dan sinus frontal, dipakai lampu
khusus sebagai sumber cahay dan pemeriksaan dilakukan pada ruangan yang gelap.
Transiluminasi sinus maksila dilakukan dengan memasukkan sumber cahay ke rongga
mulut dan bibir di katupkan sehingga sumber cahaya tidak tampak lagi. Setelah beberapa
menit tampak daerah infraorbita terang seperti bulan sabit. Untuk pemeriksaan sinus
frontal, lampu diletakkan didaerah bawah sinus frontal dekat kantus medius dan dierah
sinus frontal tampak cahaya terang.
D. PENYAKIT TERBANYAK

1. RHINITIS ALERGI
a. Definisi
Penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang
sebelumnya sudah tersensitasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya
suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik
tersebut. Menurut ARIA 2001, merupakan kelainan pada hidung dengan gejala
bersin-bersin,rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar
alergen yang diperantarai oleh IgE.
b. Patofisiologi
Reaksi alergi dibagi 2, yaitu rekasi alergi fase cepat dan reaksi alergi fase lambat.
Reaksi alergi fase cepat berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam
setelahnya. Sedangkan rekasi alergi fase lambat berlangsung 2-4 jam dengan
puncak 6-8 jam setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam. Pada
kontak pertama dengan allergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit
yang berperan sebagai sel penyaji (APC) akan menangkap allergen yang
menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan
membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA kelas II
membentuk komplek peptide MHC kelas II yang kemudian dipresentasikan pada
sel T helper (Th0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin
1 (IL-1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2.
Th2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL3, IL4, IL5, dan IL13.
IL4 dan IL13 dapat diikat oleh reseptornya dipermukaan sel limfosit B, sehingga
sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi immunoglobulin E (Ig E). IgE
di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor Ig E
dipermukaan sel mastosit atau basofil sehingga ke dua sel ini menjadi aktif.
Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi.
Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan allergen yang sama, maka
kedua rantai IgE akan mengikat allergen spesifik dan terjadi degranulasi dan
basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk terutama
histamin. Selain histamine juga dikeluarkan prostaglandin D2, leukotrien D4,
leukotrien C4, bradikinin, PAF, sitokin. Inilah yang disebut rekasi alergi tipe
cepat.

Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga


menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan
menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan
permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rhinore. Gejala lain hidung
tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid.
c. Penegakkan Rhinitis Alergi
- Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena sering kali serangan tidak terjadi dihadapan
-

pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja


Pemeriksaan rhinoskopi anterior
Tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau livid disertai adanya

secret encer yang banyak


Pemeriksaan naso endoskopi
Pemeriksaan sitologi hidung
Walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai
pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak
menunjukkan kemugkinan alergi inhalan. Jika basofil mungkin disebbakan
alergi makanan sedangkkan jika ditemukannya sel PMN menunjukkan adanya

infeksi bakteri
Hitung eosinofil dalam darah tepi
Hasil yang didapat bisa normal atau meningkat. Demikian pula pemeriksaan
IgE total seringkali menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada

pasien lebih dari satu macam penyakit. Pemeriksaan ini juga bertujuan
Uji kulit allergen penyebab dapat dicari secara invivo

Ada beberapa cara yaitu uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri
(SET), uji cukit dan uji gores. Kedalaman kulit yang dicapai pada kedua uji kulit
sama. Uji SET dilakukan untuk allergen inhalan dengan menyuntikkan allergen
dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat kepekatannya. Keuntungan SET,
selain allergen penyebab juga dapat alergi serta dosis inisial untuk desensitisasi
dapat diketahui.
Untuk alergi makanan, uji kulit seperti tersebut diatas kurang dapat diandalkan.
Diagnosa biasanya ditegakkan dengan diet eliminasi dan provokasi. Alergen
ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu 5 hari. Karena itu dalam uji

provokasi, makanan yang dicurigai diberikan pada pasien setelah berpantang


selama 5 hari selanjutnya diamati reaksinya.
d. Penatalaksanaan
- Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan allergen
-

penyebabnya. Dan eliminasi.


Simtomatis
1. Medikamentosa
Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamine H-1 yang bekerja
pada reseptor H-1 sel target dan merupakan preparat farmakologik yang
paling sering dipakai sebagai lini pertama pengobatan rhinitis alergi.
Pemberian dapat kombinasi dengan dekongestan secara peroral atau tanpa
kombinasi. Antihistamin dibagi 2 kelompok yaitu generasi ke-1 bersifat
lipofilik yang menembus sawar darah otak dan plasenta sehingga
mempunyai efek kolinergik, sedangkan generasi ke-2 bersifat lipofobik
sehingga sulit menembus sawar darah otak.
Preparat agonis adrenergic alfa dipakai sebagai dekongestan hidung oral
dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin atau topikal. Namun
pemakaian

topikal

hanya

untuk

menghindari

terjadinya

rhinitis

medikamentosa. Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terutama


sumbatan hidung akibat respon fase lambat tidak berhasil diatasi obat lain.
Yang sering dipakai adalah kortikosteroid topikal. Kortikosteroid topikal
bekerja untuk mengurangi jumlah sel mastosit pada mukosa hidung,
mencegah pengeluaran protein, sitotoksik dari eosinofil, mengurangi
aktifitas limfosit, mencegah bocornya plasma.
2. Operatif
Tindakan konkotomi perlu dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berat
dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3
25%.
-

Imunoterapi
Desensitisasi dan hiposensitisasi cara pengobatan ini dilakukan pada alergi
inhalan dengan gejala yang berat dan sudah berlangsung lama serta dengan
pengobatan cara lain tidak memberikan hasil yang memuaskan.

e. Komplikasi

Komplikasi rhinitis alergi yang sering ;


1. Polip Hidung
2. Otitis Media yang sering residif
3. Sinus paranasal
2. SINUSITIS
Sinusitis adalah radang mukosa sinus paranasal. Penamaan dari sinusitis ini adalah
sesuai dengan nama anatominya. Jika yang terkena beberapa sinus disebut multisinusitis
dan jika yang terkena seluruhnya disebut pansinusitis. Yang paling sering ditemukan
adalah sinusitis maksila (antrum Highmore) . Hal ini dikarenakan : 1) Sinus maksilaris
merupakan sinus paranasal yang terbesar.2) sinus maksilaris mempunyai letak ostium
yang lebih tinggi dari dasar, sehingga aliran sekret dari sinus maksila hanya tergantung
dari gerakan silia.3) Dasar sinus maksila adalah dasar akar gigi (prosesus alveolaris),
sehingga infeksi gigi dapat menyebabkan infeksi sinus maksilaris. Dan 4) Ostium sinus
maksila terletak di meatus medius disekitar hiatus semilunaris yang sempit, sehingga
mudah tersumbat.

Patofisiologi
Jika terjadi edema di kompleks ostiomeatal, mukosa yang yang letaknya
berhadapan akan saling bertemu. Hal ini menyebabkan silia tidak dapat bergerak dan
lendir tidak dapat dialirkan. Maka terjadi gangguan drenase dan ventilasi di dalam sinus
sehingga silia menjadi kurang aktif dan lendir yang diproduksi mukosa sinus menjadi
lebih kental dan merupakan media yang baik untuk tumbuhnya bakteri patogen. Dan jika

proses ini terjadi terus menerus, maka akan terjadi hipoksia dan retensi lendir yang akan
mengakibatkan timbulnya infeksi oleh bakteri anaerob, yang selanjutnya terjadi
perubahan jaringan menjadi hipertrofi, polipoid atau pembentukan polip dan kista.
Klasifikasi
Secara klinis sinusitis dapat dikategorikan sebagai sinusitis akut bila gejalanya
berlangsung dari beberapa hari sampai 4 minggu, sinusitis subakut dari 4 minggu sampai
3 bulan dan sinusitis kronik bila berlangsung lebih dari 3 bulan.
SINUSITIS AKUT
Penyakit ini dimulai dengan penyumbatan daerah kompleks ostiomeatal oleh infeksi,
obstruksi mekanis atau alergi. Selain itu juga dapat merupakan penyebaran dari infeksi
gigi.

Etiologi
Beberapa keadaan yang dapat menyebakan terjadinya sinusitis akut ialah :
1. Rinitis akut
2. Infeksi faring
3. Infeksi gigi rahang atas
4. Berenang dan menyelam
5. Trauma
6. Barotrauma
Gejala sinusitis akut
Gejala subjektif :
1. Gejala sistemik ( demam dan rasa lesu)
2. Gejala lokal (ingus kental yang berbau dan mengalir ke nasofaring)
a. Hidung tersumbat

b. Rasa nyeri di daerah sinus yang terkena, serta kadang-kadang dirasakan juga
ditempat lain ( referred pain).
c. Sinusitis maksila ( nyeri di bawah kelopak mata, menyebar ke alveolus
nyeri gigi, nyeri alih dirasakan di dahi dan depan telinga)
d. Sinusitis etmoid ( nyeri pada pangkal hidung dan kantus medius, kadang
dirasakan pada bola mata, nyeri alih pada pelipis).
e. Sinusitis frontal ( nyeri terlokalisasi di dahi atau diseluruh kepala)
f. Sinusitis sfenoid ( nyeri di verteks, oksipital di belakang bola mata dan di
daerah mastoid).
Gejala objektif :
Terjadi pembengkakan di daerah muka. Pembengkakkan pada sinusitis maksila
terlihat dipipi dan kelopak mata bawah, pada sinusitis frontal di dahi dan kelopak mata
atas, pada sinusitis etmoid jarang timbul pembengkakan kecuali bila ada komplikasi.
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa hiperemis dan udem. Pada sinusitis maksila,
sinusitis frontal dan sinusitis etmoid anterior tampak muko pus atau nanah di meatus
medius, sedangkan pada sinusitis etmoid posterior dan sinusitis sfenoid nanah tampak
keluar dari meatus superior. Pada rinoskopi posterior tampak mukopus di nasofaring (post
nasal drips).
Pemeriksaan Penunjang
1. Transiluminasi : sinus yang sakit tampak gelap
2. Radiologik posisi Waters, PA dan lateral : perselubungan atau penebalan mukosa atau air
fluid level pada sinus yang sakit.

Pemeriksaan mikrobiologik
Pengambilan sekret di meatus medius dan superior mungkin ditemukan bakteri
patogen seperti Pneumococcus, streptococcus dan H. Influenzae. Bisa juga ditemukan jamur.
Terapi

Diberikan antibiotik selama 10-14 hari golongan penisilin. Diberikan dekongestan hidung
dan boleh diberikan analgetik untuk anti nyeri.
SINUSITIS SUBAKUT
Gejalanya sama dengan sinusitis akut tapi tanda-tanda radang akut (demam, sakit kepala
hebat, nyeri tekan sudah reda. Pada rinoskopi anterior tampak sekret purulen di meatus
medius atau superior. Pada rinoskopi posterior tampak sekret purulen di nasofaring. Pada
pemeriksaan transiluminasi tampak sinus yang sakit gelap.
Terapinya diberikan antibiotik spektrum luas atau yang sesuai dengan tes resistensi
kuman, selama 10-14 hari. Obat dekongestan, obat tetes hidung hanya diberikan terbatas 510haririnitis medikamentosa. Selain itu diberikan analgetik, antihistamindan mukolitik.
Tindakan berupa diatermi dengan sinar gelombang pendek (ultra short wave diathermy),
sebanyak 5-6 kali pada daerah yang sakit untuk memperbaiki vaskularisasi sinus. Pada
sinusitis maksiladapat dilakukan pungsi irigasi. Pada sinusitis etmoid, frontal atau sfenoid
yang letak muaranya dibawah dilakukan tindakan pencucian sinus cara Proetz (Proetz
Displacement Therapy).
Pungsi dan Irigasi Sinus Maksila
Dilakukan untuk mengeluarkan sekret yang terkumpul di dalam rongga sinus maksila.
Caranya dengan memakai trokar yang ditusukan di meatus inferior, diarahkan ke sudut luar
mata atau tepi atas daun telinga. Selanjutnya dilakukan irigasi sinus dengan larutan garan
fisiologis. Pungsi dan irigasi dapat juga dilakukan melalui fosa kanina.
Pencucian Proetz (Proetz Displacement Therapy).
Prinsipnya membuat tekanan negatif dalam rongga hidung dan sinus paranasal untuk
dapat menghisap sekret keluar. Diteteskan vasokonstriktor (HCL efedrin 0,5-1,5%) untuk
membuka ostium yang kemudian masuk kedalam sinus. Sementara pasien harus mengatakan
kak-kak-kak supaya palatum mole terangkat, sehingga ruang antara nasofaring dan orofairng
tertutup.
SINUSITIS KRONIK

POLUSI BAHAN KIMIA

SILIA RUSAK

GANGGUAN
DRAINASE

OBSTRUKSI
MEKANIK

PERUBAHAN

ALERGI DAN
DEFISIENSI
IMUNOLOGIK

MUKOSA

INFEKSI KRONIK

PENGOBATAN YANG
TIDAK SEMPURNA

Gejala subjektif :
1. Post nasal drips
2. Gatal dan rasa tidak nyaman di tenggorokan
3. Pendengaran terganggu tersumbatnya tuba auditiva
4. Nyeri kepala
5. Gejala matapenjalaran infeksi melalui duktus nasolakrimalis.
6. Batuk dan kadang-kadang komplikasi paru berupa bronkitis atau bronkiektsis atau asma
bronkial
7. Gastroenteritis pada anak.
Gejala objektif :
1. Pada rinoskopi anterior sekret kental purulen
2. Rinoskopi anterior sekret purulen di nasofaring turun ke tenggorok.
Pemeriksaan mikrobiologik

Biasanya merupakan infeksi bermacam-macam kuman seperti Streptococcus aureus , H.


Influenza, dan S.viridans.
Diagnosis :
Dibuat berdasarkan :
1. Anamnesis yang cermat
2. Rinoskopi anterior
3. Rinoskopi posterior
4. Transiluminasi
5. Pemeriksaan radiologik
6. Naso endoskopi
7. CT scan.

Terapi
Terapinya diberikan antibiotik sekurang-kurangnya 2 minggu. Dapat dibantu dengan
diatermi gelombang pendek selama 10 hari pada daerah yang sakit. Pungsi dan irigasi sinus
untuk pembersihan sekret.
Untuk sinusitis kronis, jika terapi dan tindakan tindakan tersebut di atas sudah
dilakukan tetapi tidak ada perubahan, maka dipikirkan untuk tindakan yang radikal, seperti :
1. Operasi Caldwell-Luc untuk sinus maksila.
2. Operasi etmoidektomi intranasal atau etmoidektomi ekstranasal untuk sinus etmoid.
3. Operasi Killian untuk sinus frontal.
Dewasa ini telah dikembangkan teknik operasi sinus yang tidak radikal, yang sifatnya
tidak radikal disebut bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF). Prinsipnya membersihkan
daerah osteomeatal.
Komplikasi yang mungkin dapat terjadi :

1. Manifestasi ke mata : nyeri/edem, selulitis atau abses orbita


2. Osteomielitis maksila atau frontal
3. Manifestasi ke intrakranial : meningitis, abses subdura, abses otak, trombosis sinus
kavernosus
4. Terbentuknya fistel, piokel atau mukokel
5. Kelainan paru : bronkitis, bronkiektasis, bisa sebagai pencetus asma bronkial.

DAFTAR PUSTAKA

Adam,Boies, Higler, Boies Buku Ajar Penyakit THT edisi 6, EGC, Jakarta,1997
Guyton,AC, Hall,JE, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, 1997, editor: irawati setiawan, ed. 9,
1997, Jakarta: EGC
Pearce, Evelyn C, Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis. Gramedia, Jakarta,2004
Spanner, Spalteholz, Atlas Anatomi Manusia, Bagian ke II, edisi 16, Hipokrates, Jakarta,1994.
Soepardi, Efiaty Arsyad dkk, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala
Leher edisi 5, FK UI, 2006.

Anda mungkin juga menyukai