Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Guna Mencapai Gelar Sarjana Hukum
Disusun Oleh :
Nama
: Hendri Djuanda
NPM
: 031000077
Program Kekhususan
Di bawah Bimbingan :
Nurhasan, S.H., M.Hum
NIPY : 151.103.15
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PASUNDAN
BANDUNG
2010
LEMBAR PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini ;
Nama
: Hendri Djuanda
NPM
: 031000077
Hendri Djuanda
ABSTRAK
Indonesia merupakan salah satu negara dengan masyarakat yang pluralistik
dengan beragam suku dan agama. Ini tercermin dari semboyan bangsa Indonesia yaitu
Bhinneka Tunggal Ika. Dalam kondisi keberagaman seperti ini, bisa saja terjadi interaksi
sosial di antara kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda yang kemudian berlanjut
pada hubungan perkawinan. Berkaitan dengan perkawinan, belakangan ini sering tersiar
dalam berbagai media terjadinya perkawinan yang dianggap problematis dalam
kehidupan bermasyarakat. Sebagai contoh, perkawinan campuran, perkawinan sejenis,
kawin kontrak, dan perkawinan antara pasangan yang memiliki keyakinan (agama) yang
berbeda. Walaupun perkawinan campuran dan perkawinan beda-agama sama sekali
berbeda, bukan tidak mungkin pada saat yang sama perkawinan campuran juga
menyebabkan perkawinan beda-agama. Perkawinan beda agama di Indonesia terdapat
kontradiksi dalam Pasal 1 dan 2 Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 yang
menyebabkan pasangan berbeda keyakinan tidak dapat lagi dengan mudah menikah
karena disebutkan bahwa perkawinan akan menjadi sah bila dilakukan menurut hukum
masing-masing agama dan kepercayaannya.
Berdasarkan permasalahan di atas, maka penulis dalam pengumpulan datanya
menggunakan spesifikasi penelitian berupa deskriptif analitis yaitu metode penelitian
yang menggambarkan atau melukiskan fakta yang berupa data tentang perkawinan Warga
Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing berbeda agama yang dilangsungkan di
luar negeri dan dianalisis dengan menggunakan bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder, dan bahan hukum tersier, sedangkan metode pendekatan yang digunakan pada
penelitian ini adalah yuridis normatif sebagai pendekatan yang utama, dan ditunjang
dengan pendekatan Hukum Perdata Internasional, tahap penelitian dilakukan melalui dua
tahapan yaitu penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Teknik pengumpulan data
yang digunakan berupa studi literatur dan studi lapangan. Analisis data dilakukan secara
yuridis kualitatif, yaitu dengan memperhatikan tata urutan perundang-undangan yang satu
dengan yang lain tidak boleh bertentangan dan dianalisis tanpa menggunakan rumus dan
angka.
Hasil penelitian yang diperoleh penerapan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
dalam menangani perkawinan Warga Negara Indonesia (WNI) dengan Warga Negara
Asing (WNA) berbeda agama yang dilangsungkan di luar negeri tersebut belum berjalan
dengan baik. Perkawinan berbeda agama dan berbeda kewarganegaraan dapat disahkan
tetapi itupun hanya perkawinan beda warga negara, dilangsungkan di luar negeri, tetapi
untuk perbedaan agamanya tidak dapat disahkan menurut Undang-Undang No. 1 tahun
1974 Tentang Perkawinan. Maka dari itu masyarakat sangat dibingungkan dengan aturan
yang sulit, jika dilihat dari unsur HAM (Hak Asasi Manusia) jelas melanggar, namun
bagaimana cara menyikapinya, hal yang paling mudah yang dilakukan pasangan yang
akan menikah biasanya salah satu pihak akan pindah agama untuk memudahkan proses
perkawinan agar perkawinannya sah menurut hukum yang berlaku di Indonesia.
Kata Kunci : Pernikahan, Berbeda Agama, Hukum Perdata Internasional Indonesia.
ABSTRACT
Indonesia is one of the country with society pluralistik with various tribe and
religion. This is seen from Indonesian slogan that is unity in diversity. In a condition kind
like this, can happen social interaction between different society groups then continue in
marriage connection. Related to marriage, lately often get about in so many media the
happening of marriage that assume problematis in societal life. For example, mixture
marriage, marriage of a kind, marrying contract, and marriage between pair that has
confidence (religion) different. Although mixture marriage and marriage difference
religion absolutely differ, it is not impossible at the (time) of same also causes marriage
difference religion. Marriage difference religion in Indonesia found contradiction in
section 1 and 2 marriage law number 1 year 1974 that causes pairs differ confidences
can not again easily get married because be mentioned that marriages be been valid
when has done has to followed laws each religions and the believes.
Based on troubleshoot above, so author in the data collecting uses watchfulness
spesification shaped analytical descriptive that is watchfulness method that describes or
describe fact shaped Indonesia citizen connubial budle with foreign citizen differ religion
is performed beyond the sea and has analyzed by using primary law ingredient,
secondary law ingredient, and tertiary law ingredient, while method approaches that
used in this watchfulness juridical normatif as has been approached prima facie, and at
support with approach international civil law, watchfulness stage does to pass two stages
that is literatures watchfulness and fields watchfulness. Budle collecting technique that
used shaped literature study and field study. budle analysis does qualitative juridical,
that is with pay attention order sequence legislation one with other may not againts and
be analyzed without be used formula and number.
Watchfulness result that got number law applications 1 year 1974 in handle
Indonesia Citizen Marriage (WNI) with Foreign Citizen (WNA) differ religion performed
beyond the sea not yet has walked well. Marriage differ religion and differ citizenship
can appointed but that also only marriage difference citizen, performeding beyond the
sea, but for the religion difference can not appointed follow number law applications
year 1974 connubial. So from that is society very stumped with difficult rule, if see from
ham element (human basic right) clear break, but how does manner receive it, matter
easiest that do pair that will get married usually one of the parties will move religion to
make easy marriage process so that lawful the marriage operative in Indonesia.
Key Words : Marriage, Different Religion, Indonesian International Civil Law.
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, berkat rahmat
dan hidayahnya, penulis dapat menyelesaikan tugas akhir skripsi ini. Penyusunan
tugas akhir ini merupakan salah satu syarat kelengkapan ujian memperoleh gelar
Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Pasundan Bandung, dengan judul
Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Warga Negara Indonesia (WNI) Dengan
Warga Negara Asing (WNA) Berbeda Agama Yang Dilangsungkan Di Luar Negeri
Ditinjau Dari Sudut Hukum Perdata Internasional Indonesia.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis dihadapkan pada berbagai masalah yang
kesemuanya itu tidak terlepas dari kekurangan wawasan dan kemampuan berfikir dari
penulis, namun karena adanya pertolongan dan dukungan dari orang-orang yang
penulis cintai, maka penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, untuk itu penulis ingin
menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada
kedua orang tuaku (H. E Djuanda dan Hj. Apong Dedeh), yang telah memberikan
perhatian, doa serta dorongan baik secara moril maupun materil, kepada saudarasaudara tertuaku Ervan Fauzi Rachmat, Euis nonon Saniati, Ade Kusnandar, Dewi
Yulianti, Cecep Nurhidayat, SE, Pupung Saidah, Amd, Hendra Djuanda, Miasari
Jamilah, yang telah mendorong dan memberikan semangat kepada penulis untuk
segera menyelesaikan program S1 ini, kepada tunanganku Ani Setiani terima kasih
atas cinta, kasih sayangnya dan kesetiaanmu yang menemani penulis selama
pembuatan skripsi ini.
iii
iv
Bandung,
2010
Hendri Djuanda
vi
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PENGESAHAN
LEMBAR PERNYATAAN
ABSTRAK.
ABSTRACT..
ii
KATA PENGANTAR..
iii
DAFTAR ISI.
vii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian.....
B. Identifikasi Masalah.
C. Tujuan Penelitian..
D. Kegunaan Penelitian.
E. Kerangka Pemikiran.
10
F. Metode Penelitian.
15
1. Spesifikasi Penelitian
15
2. Metode Pendekatan...
15
3. Tahap Penelitian...
16
17
17
vii
BAB II
6. Analisis Data.....
17
7. Lokasi Penelitian..
18
19
1. Pengertian Perkawinan.
19
2. Hakikat,
Asas,
Syarat,
Tujuan
Perkawinan
Menurut
Peraturan Perundang-undangan
21
a. Hakikat Perkawinan
21
b. Asas Perkawinan.
22
22
d. Akta Perkawinan.....
24
26
26
29
31
31
viii
3. Validitas
Esensial
Perkawinan,
Validitas
Formal
31
31
32
c. Akibat-akibat Perkawinan..
33
BAB III
Asasi Manusia...........
33
33
a. Hak Kebebasan..
35
b. Hak Demokrasi..
35
c. Hak Sosial..
35
36
37
37
40
ix
Berbeda
Negara...........................................................................................
44
44
45
46
47
50
50
51
52
52
57
ANALISIS
TERHADAP
HUKUM
PERKAWINAN
60
WARGA
Indonesia
Sudah
Mencukupi
Dalam
Keabsahan
Perkawinan
Warga
67
Negara
71
74
PENUTUP
A.
Kesimpulan
77
B.
Saran...
78
xi
DAFTAR PUSTAKA.......
xii
79
BAB I
PENDAHULUAN
Hak Asasi Manusia menurut Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia adalah : seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan
manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati,
dijunjung tinggi dan dilindungi negara hukum, pemerintah dan setiap orang.
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, hlm 474.
Salah satu bentuk anti-diskriminasi dari deklarasi ini adalah dalam hal perkawinan Pasal 16 Universal
Decleration of Human Rihts 1948 dinyatakan :
1) Orang dewasa baik laki-laki maupun perempuan dengan tidak di batasi oleh kebangsaan,
kewarganegaraan atau agama, berhak untuk mencari jodoh dan untuk membentuk keluarga.
Mereka mempunyai hak yang sama dalam soal perkawinan, di dalam perkawinan dan di kala
perceraian.
2) Perkawinan harus dilakukan hanya dengan cara suka sama suka dari kedua mempelai.
3) Keluarga adalah kesatuan yang sewajarnya serta bersifat pokok dari masyarakat dan berhak
mendapat perlindungan dari masyarakat dan negara.
seluruh Warga Negara Indonesia yang pluralis agamanya. Banyak kasus-kasus yang
terjadi di dalam masyarakat, seperti perkawinan antara Berdger dengan Astrie
menikah di Jerman, David Handi dengan Arissa Reunion menikah di Jepang, Tjok
Krishna Putra Sudharsana dengan Catherine Putri Sudharsana menikah di Australia,
artis Anne J. Cotte dengan Mark Hanusz menikah di Amerika Serikat dan masih
banyak lagi.
Perkawinan antar agama yang terjadi dalam kehidupan masyarakat seharusnya
tidak terjadi jika dalam hal ini negara atau pemerintah secara tegas melarangnya dan
menghilangkan sikap mendua dalam mengatur dan melaksanakan suatu perkawinan
bagi rakyatnya. Sikap ambivalensi pemerintah dalam perkawinan beda agama ini
terlihat dalam praktek bila tidak dapat diterima oleh Kantor Urusan Agama, dapat
dilakukan di Kantor Catatan Sipil dan menganggap sah perkawinan berbeda agama
yang dilakukan di luar negeri.
Yang menjadi pokok permasalahan ialah perkawinan Warga Negara Indonesia
(WNI) dengan Warga Negara Asing (WNA) berbeda agama yang dilangsungkan di
luar negeri, dimana hal tersebut menjadi kasus yang rumit untuk melakukan
pencatatan sipil di Indonesia. Jika memerhatikan Pasal 8 butir (f) Undang-Undang
Perkawinan No. 1 tahun 1974, tentang larangan perkawinan yang berbunyi :
perkawinan dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh
agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin. Melihat kepada pendapat
ini, maka dapat di uraikan dalam beberapa hukum yang ada di Indonesia.
Pertama, Agama Islam, yang melarang dengan perkawinan antar agama bagi
wanita Islam. Sedangkan bagi pria Islam terdapat perbedaan di antara para ahli
Hukum Islam ke dalam tiga golongan, yang diantaranya : ada yang melarang secara
mutlak, ada yang memperkenankan secara mutlak dan ada yang memperkenankan
dengan syarat-syarat tertentu.
Kedua, Agama Kristen Protestan, yang pada dasarnya memandang
perkawinan sebagai persekutuan pria dan wanita yang berasaskan ciptaan Tuhan serta
untuk
meneruskan
keturunannya.
Gereja
Protestan
umumnya
menghindari
perkawinan beda agama. Hanya dalam keadaan yang tidak dapat dihindari Gereja
akan mengijinkannya dengan catatan harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Sikap
dan syarat-syarat untuk masing-masing Gereja Protestan adalah berbeda-beda.
Ketiga, Agama Kristen Katolik, yang mempunyai kesamaan dengan agama
Protestan, sedapat mungkin menghindari perbedaan agama. Hanya dalam hal tertentu,
dalam keadaan yang tidak dapat dihindari, Gereja dapat mengijinkan perkawinan
beda agama, dengan memberikan dispensasi dari Bapak Uskup.
Keempat, Agama Budha, dalam ajaran agama Budha setiap agama adalah
baik dan setiap manusia bebas untuk memeluk agamanya masing-masing menurut
keyakinannya, sehingga tidak menjadi persoalan apabila seseorang yang beragama
Budha hendak menikah dengan seseorang yang bukan beragama Budha.
Kelima, Agama Hindu, melarang perkawinan beda agama, terutama jika pihak
laki-laki yang beragama Hindu, karena berbeda agama berarti berbeda prinsip hidup.
Namun, bila kedua calon mempelai tetap bersikukuh untuk melangsungkan
Pasal 56 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,
menentukan :
1. Perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara dua orang Indonesia atau seorang
Indonesia dengan Warga Negara Asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang
berlaku di Negara dimana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi Indonesia tidak melangggar
ketentuan Undang-Undang ini.
2. Dalam waktu 1 (satu) tahun setelah suami istri itu kembali di wilayah Indonesia, surat bukti
perkawinan mereka harus didaftarkan di Kantor Pencatatan Perkawinan tempat tinggal mereka.
perkawinan beda agama yang dilangsungkan di luar negeri tidak akan melanggar
ketertiban umum sebagai salah satu prinsip umum Hukum Perdata Internasional.
Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan diatas maka penulis tertarik untuk
memilih judul Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Warga Negara Indonesia
(WNI) Dengan Warga Negara Asing (WNA) Berbeda Agama Yang Dilangsungkan
Di Luar Negeri Di Tinjau Dari Sudut Hukum Perdata Internasional Indonesia.
B. Identifikasi Masalah
Dengan tujuan lingkup pembahasan lebih terarah dan tidak melampaui dari
yang seharusnya dijadikan pembahasan, maka penulis membatasi permasalahan pada
hal-hal sebagai berikut :
1. Apakah pengaturan perkawinan dalam Hukum Perdata Internasional Indonesia
sudah mencukupi dalam menyelesaikan persoalan yang dialami Warga Negara
Indonesia?
2. Bagaimanakah keabsahan perkawinan Warga Negara Indonesia dengan Warga
Negara Asing berbeda agama yang dilangsungkan di luar negeri menurut
perundang-undangan tentang perkawinan yang berlaku di Indonesia?
3. Apakah hak yang telah diperoleh (Vested Rights) Pasangan Warga Negara
Indonesia dengan Warga Negara Asing berbeda agama yang menikah di luar
negeri dapat diakui di Indonesia?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh secara lebih mendalam
mengenai :
1. Untuk mengetahui, memahami, dan mengkaji bagaimana pengaturan Hukum
Perdata Internasional Indonesia tentang perkawinan yang mempunyai unsur asing.
2. Untuk mengetahui, memahami, dan mengkaji bagaimana perkawinan beda agama
yang dilangsungkan di luar negeri ditinjau dari hukum perkawinan yang berlaku
di Indonesia.
3. Untuk mengetahui, memahami, dan mengkaji apakah pasangan Warga Negara
Indonesia dengan Warga Negara Asing yang berbeda agama yang telah menikah
di luar negeri diakui di Indonesia berdasarkan hak yang telah diperoleh (Vested
Rights).
D. Kegunaan Penelitian
Melalui penelitian ini diharapkan dapat diperoleh manfaat baik dari segi
teoritis maupun praktis, yaitu sebagai berikut :
1. Kegunaan Teoritis
a. Memberikan masukan-masukan baru atau informasi dengan mengkaji dampak
positif dan negatif yang timbul dalam perkawinan beda agama di Indonesia.
b. Penelitian ini diharapkan berguna bagi perkembangan ilmu hukum khususnya
Hukum Perdata Internasional Indonesia dan bermanfaat sebagai sumbangan
dalam khasanah perpustakaan ilmu Hukum Perdata.
10
2. Kegunaan Praktis
a. Bagi masyarakat dan pihak-pihak terkait, penelitian ini dapat dijadikan bahan
informasi dan masukan untuk dikaji lebih lanjut.
b. Diharapkan dapat menunjang rekan mahasiswa pada khususnya untuk dapat
memperluas pengetahuannya.
E. Kerangka Pemikiran
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 merupakan landasan yuridis bagi
perkawinan di Indonesia. Pasal 2 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 menyatakan bahwa :
(1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang
undangan yang berlaku.
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan (2) di atas tersebut, ditarik
kesimpulan, bahwa terdapat dua peraturan yang harus diakui oleh pasangan menikah
yaitu agama dan negara. Menurut aturan agama mengharuskan perkawinan dilakukan
sesuai dengan kepercayaan atau tata cara yang dilakukan oleh masing-masing agama,
misal apakah suatu perkawinan dilarang atau tidak, atau apakah para calon mempelai
telah memenuhi syarat-syarat atau belum.
Untuk itu perkawinan harus memenuhi unsur materil dan unsur formil yang
ditetapkan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Syarat-syarat materil tersebut
antara lain : perkawinan harus didasarkan atas perjanjian kedua calon mempelai,
mendapat izin orang tua atau wali (apabila orang tua mempelai sudah meninggal)
11
bagi yang berumur di bawah 12 tahun. Untuk syarat formil adalah bahwa tata cara
pelaksanaan perkawinan harus mengikuti tata cara yang ditetapkan oleh agama
masing-masing. Sedangkan dari sisi administrasi negara, perkawinan tersebut harus
dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Para pakar hukum berbeda pendapat tentang perkawinan beda agama dalam
Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 hal ini disebabkan karena undangundang tersebut tidak menyebut secara tertulis/tekstual/eksplisit (expressis verbis)
mengenai perkawinan beda agama. Pada garis besarnya ada tiga pandangan tentang
perkawinan beda agama di Indonesia terkait dengan pemahaman terhadap UndangUndang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yaitu :
1.
2.
Perkawinan beda agama adalah diperbolehkan dan sah dan oleh sebab itu dapat
dilangsungkan, sebab perkawinan tersebut termasuk dalam perkawinan
campuran. Menurut pendapat ini titik tekan Pasal 57 tentang perkawinan
campuran terletak pada dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang
berlainan. Oleh karena itu pasal tersebut tidak saja mengatur perkawinan antara
dua orang yang memiliki kewarganegaraan yang berbeda tetapi juga mengatur
perkawinan antara dua orang yang berbeda agama. Menurut pendapat ini
pelaksanaan perkawinan beda agama dilakukan menurut tata cara yang diatur
12
bahwa, Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam pengertian
tersebut prinsip perkawinan adalah antara pria dan wanita, dengan tujuan membentuk
keluarga yang bahagia ini secara implisif makna memperoleh keturunan (anak), serta
prinsip keluarga yang Berketuhanan Yang Maha Esa.
Sehubungan dengan tidak diaturnya mengenai perkawinan beda agama dalam
hukum positif yang berlaku di Indonesia, maka yang bersangkutan mengambil cara
khusus dengan melakukan pernikahan di luar negeri, di negara-negara yang
mengesahkan dan mengakui perkawinan beda agama.
Hal tersebut merupakan ruang lingkup Hukum Perdata Internasional (HPI).
HPI menurut Gaverson adalah 4:
Bidang hukum yang berkenaan dengan perkara-perkara yang
didalamnya mengandung fakta relevan yang menunjukan
4
13
14
ibid 138
15
Dalam arti yang terbatas, maka vested rights atau hak-hak yang diperoleh
akan berarti6:
Hak-hak yang dimiliki seseorang (suatu subjek hukum)
berdasarkan kaidah hukum asing dapat diakui di dalam
yurisdiksi lex fori, selama pengakuan itu tidak bertentangan
dengan kepentingan umum masyarakat lex fori.
F. Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan suatu unsur yang mutlak dalam suatu penelitian,
demikian pula hubungannya dengan penulisan skripsi ini, langkah-langkah yang
digunakan penulis dalam penyusunan skripsi
ini
adalah
sebagai berikut :
1. Spesifikasi Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian yang bersifat
deskriptif analitis yaitu metode penelitian yang menggambarkan atau melukiskan
fakta yang berupa data tentang perkawinan Warga Negara Indonesia dengan
Warga Negara Asing berbeda agama yang dilangsungkan di luar negeri dan
dianalisis dengan menggunakan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder,
dan bahan hukum tersier.
2. Metode Pendekatan
Permasalahan pokok dalam penelitian ini ditempuh dengan menggunakan
pendekatan yuridis normatif sebagai pendekatan yang utama, dan di tunjang
dengan pendekatan Hukum Perdata Internasional.
ibid 139
16
3. Tahap Penelitian
Berkenaan dengan digunakannya metode pendekatan Yuridis normatif, maka
penelitian ini dilakukan melalui dua tahapan, yaitu:
a. Penelitian kepustakaan (Library Research)
Penelitian ini dimaksudkan untuk mendapatkan data sekunder, yang diambil
dari:
1)
2)
3)
17
18
memperhatikan tata urutan perundang-undangan yang satu dengan yang lain tidak
boleh bertentangan dan dianalisis tanpa menggunakan rumus dan angka.
7. Lokasi Penelitian
Data dalam skripsi ini diperoleh dari berbagai perpustakaan, sebagai berikut :
a. Perpustakaan
1)
2)
3)
b. Instansi
1)
2)
Departemen Hukum dan HAM Provinsi Jawa Barat Jl. Jakarta No. 27
Bandung;
3)
Media cetak
a) Kompas;
b) Pikiran rakyat.
2)
Media elektronik
a) Internet.
19
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974
TENTANG PERKAWINAN DAN PENGATURAN PERKAWINAN DALAM
HUKUM PERDATA INTERNASIONAL INDONESIA
1. Pengertian Perkawinan
Sudah menjadi kodrat alam, sejak dilahirkan manusia selalu hidup
bersama dengan manusia lainnya di dalam suatu pergaulan hidup. Hidup bersama
20
manusia adalah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, baik yang bersifat jasmani
maupun rohani.
Hidup bersama antara seorang pria dan seorang wanita yang telah
memenuhi syarat-syarat tertentu, disebut perkawinan. Untuk mendapatkan
pengertian yang lebih mendalam tentang perkawinan tersebut, maka dapat
dikemukakan beberapa definisi, baik menurut para ahli maupun menurut hukum
positif Indonesia.
Menurut Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
yang dimaksud
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sedangkan
di
dalam
ketentuan
pasal-pasal
KUHPerdata,
tidak
memberikan pengertian perkawinan itu. Oleh karena itu untuk memahami arti
perkawinan dapat dilihat pada ilmu pengetahuan atau pendapat para sarjana.
Ali Afandi mengatakan bahwa 7:
Perkawinan adalah suatu persetujuan kekeluargaan
Dan menurut Scholten perkawinan adalah 8:
Hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita
untuk hidup bersama dengan kekal, yang diakui oleh negara
Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian, Jakarta, Rineka Cipta,
1997, hlm. 94
8
Soetojo Prawirohamidjojo dan Azis Safioedin, Hukum Orang dan Hukum Keluarga,
Bandung, Alumni, 1985, hlm. 31
21
2.
22
wanita sebagai suami istri. Jadi hakikat perkawinan bukan sekedar ikatan
formal belaka, tetapi juga ikatan batin antara pasangan yang sudah resmi
sebagai suami dan istri.
Dalam KHI Pasal 2 hakikat perkawinan adalah untuk mentaati
perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Sedangkan
menurut
KUHPerdata
hakikat
perkawinan
adalah
mengizinkan. Asas tersebut sejalan dengan apa yang dimaksud dengan KHI.
Sedangkan KUHPerdata menganut
23
24
d. Akta Perkawinan
Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan yang berlaku 10. Bagi
mereka yang melakukan perkawinan menurut agama Islam, pencatatan
dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA). Sedang bagi yang beragama
Katholik, Kristen, Budha, Hindu, pencatatan itu dilakukan di Kantor Catatan
Sipil (KCS).
10
Pasal 2 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa (1)
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu. (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
11
25
Pasal 11 :
1. Sesaat sesudah dilangsungkannya perkawinan sesuai
dengan
ketentuan-ketentuan Pasal 10 Peraturan
Pemerintah ini, kedua mempelai menandatangani akta
perkawinan yang telah disiapkan oleh Pegawai Pencatat
berdasarkan ketentuan yang berlaku.
2. Akta perkawinan yang telah ditandatangani oleh mempelai
itu, selanjutnya ditandatangani pula oleh kedua saksi dan
Pegawai Pencatat yang menghadiri perkawinan dan bagi
yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam,
ditandatangani pula oleh wali nikah atau yang
mewakilinya.
3. Dengan penandatanganan akta perkawinan, maka
perkawinan telah tercatat secara resmi.
Pasal 12 :
Akta perkawinan memuat :
1. Nama, tanggal dan tempat lahir, agama/kepercayaan,
pekerjaan dan tempat kediaman suami-isteri; Apabila
salah seorang atau keduanya pernah kawin, disebutkan
juga nama isteri atau suami terdahulu ;
2. Nama, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat
kediaman orang tua mereka;
3. Izin sebagai dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), (3), (4) dan
(5) undang-undang;
4. Dispensasi sebagai dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2)
undang-undang;
5. Izin Pengadilan sebagai dimaksud dalam Pasal 4 undangundang;
6. Persetujuan sebagai dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1)
undang-undang;
7. Izin dari Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri
HANKAM/PANGAB bagi anggota Angkatan Bersenjata;
8. Perjanjian perkawinan apabila ada;
9. Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat
kediaman para saksi, dan wali nikah bagi yang beragama
Islam ;
10. Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat
kediaman kuasa apabila perkawinan dilakukan melalui
seorang kuasa.
26
12
Hasil wawancara di Dinas Kependudukan Kota Bandung Jl. Ambon No. 1 B Bandung,
dengan Bapak Cecep Rasman, 5 Maret 2009.
27
13
28
15
hlm 29
16
29
2.
18
ibid, hlm 22
30
proses kualifikasi fakta, konsep titik taut kembali digunakan dalam rangka
menentukan hukum yang akan diberlakukan dalam perkara Hukum Perdata
Internasional yang bersangkutan.
Secara sederhana, titik-titik taut didefinisikan sebagai Fakta-fakta di
dalam sekumpulan fakta perkara (HPI) yang menunjukkan pertautan antara
perkara itu dengan suatu tempat di negara tertentu, dan karena itu menciptakan
relevensi antara perkara yang bersangkutan dengan kemungkinan berlakunya
sistem/aturan hukum intern dari tempat itu.
Prof.E.J. Cohn, berpandangan bahwa 19:
Salah satu objek dari Hukum Perdata Internasional adalah
untuk meletakkan aturan-aturan dalam rangka memilih hukum
yang akan diberlakukan (rules for the choice of law). Choice of
Law Rules itu adalah aturan-aturan yang menegaskan hukum
apa yang seharusnya mengatur suatu perkara yang
mengandung unsure asing. Usaha pemilihan hukum ini, hampir
selalu bergantung pada titik-titik taut yang akan menunjukkan
sistem hukum apa yang relevan dengan sekumpulan fakta yang
tengah dihadapi.
Menurut Cohn, beberapa titik taut lain yang penting adalah 20:
1. Hukum dari tempat dilaksanakannya perbuatan (lex loci
actus)
2. Hukum dari tempat dimana benda-benda tetap terletak (lex
rei sitae)
3. Tempat pembuatan dan atau pelaksanaan kontrak (locus
contractus/locus solutionis)
19
20
ibid, hlm 60
ibid
31
Dalam Hukum Perdata Internasional dikenal dua jenis titik taut, yaitu 21:
a.
b.
3.
utama
yang
berkembang
dalam
Hukum
Perdata
ibid, hlm 61
32
1.
2.
3.
4.
22
23
33
c. Akibat-akibat Perkawinan
Beberapa
asas
yang
berkembang
warga
negara
setelah
perkawinan
setelah
perkawinan
(gemeenscapelijke
woonplaats/joint residence), atau tempat suami istri berdomicile tetap setelah perkawinan
C. Tinjauan Umum Mengenai Pengaturan Perkawinan Dalam Hak Asasi Manusia
1.
24
34
yang kemudian berlanjut pada bill of rights dan kemudian berpangkal pada
DUHAM PBB.
Hak merupakan unsur normatif yang melekat pada diri setiap manusia
yang dalam penerapannya berada dalam ruang lingkup hak persamaan dan hak
kebebasan yang terkait dengan interaksinya antara individu atau dengan instansi.
Hak juga merupakan sesuatu yang harus diperoleh. Masalah HAM adalah sesuatu
hal yang sering kali dibicarakan dan dibahas.
Dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia,
yang dimaksud dengan Hak Asasi Manusia adalah:
Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada
hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang
Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati,
dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum,
Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta
perlindungan harkat dan martabat manusia.
Menurut Franz Magnis Suseno dkk, mencoba memberikan batasan
tentang HAM, dalam bukunya Mudiarti Trisnaningsih yang berjudul Relevansi
Kepastian Hukum Dalam Mengatur Perkawinan Beda Agama Di Indonesia,
sebagai 25:
Hak Asasi Manusia adalah hak-hak yang dimiliki oleh
manusia bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat
atau negara, melainkan berdasarkan martabatnya sebagai
manusia. Hak dimiliki manusia dikarenakan ia manusia
25
35
Hak Kebebasan
Adalah hak yang bersifat melindungi kebebasan dan kedamaian manusia
dalam kehidupan pribadi. Termasuk di dalamnya antara lain hak atas
hidup, keutuhan jasmani, kebebasan bergerak, kebebasan dalam memilih
jodoh, kebebasan beragama, perlindungan terhadap hak milik, hak untuk
ditahan sewenang-wenang, dan hak atas perlindungan hukum.
b.
Hak Demokrasi
Adalah hak berdasarkan keyakinan atas kedaulatan rakyat. Termasuk di
dalamnya antara lain: kebebasan untuk memilih wakil rakyat, hak untuk
menentukan pemimpin negara, hak mengemukakan pendapat, kebebasan
pers, dan hak berkumpul dan berserikat.
c.
Hak Sosial
Adalah hak berdasarkan kesadaran bahwa masyarakat dan negara
berkewajiban untuk mengusahakan kesejahteraan pihak-pihak dalam
masyarakat. Termasuk di dalamnya antara lain hak atas jaminan sosial,
hak atas pekerjaan, hak atas upah yang wajar, hak perlindungan atas
pengangguran, hak atas pendidikan, dan hak atas kesederajatan antara
pria dan perempuan.
26
Ibid, hlm 65
36
2.
27
28
Ibid, hlm 68
Ibid, hlm 70
37
3.
29
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia (Jakarta:
Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1988), hlm. 307.
38
2)
3)
Asasi Manusia disepakati di Paris pada tahun 1948, yang lebih dikenal
sebagai Deklarasi Universal tentang Hak-Hak Asasi Manusia (DUHAM).
30
31
39
Kemudian,
deklarasi
ini
dipertegas
kembali
dengan
dilahirkannya
40
mana seseorang berasal, baik dari negara yang merdeka, yang berbentuk
wilayah-wilayah perwalian, jajahan atau yang berada di bawah batasan
kedaulatan yang lain.
Demikian juga dengan ICCPR (Kovenan Internasional tentang HakHak Sipil dan Politik) dan ICECSR (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak
Ekonomi, Sosial dan Budaya). Dalam Pasal 23 ICCPR, disebutkan bahwa
keluarga merupakan kesatuan masyarakat yang alamiah serta mendasar dan
berhak mendapat perlindungan dari masyarakat dan negara. Setiap laki-laki
dan wanita yang sudah dalam usia perkawinan berhak untuk melakukan
perkawinan dan hak untuk membentuk keluarga harus diakui. Syarat
mendasar bagi perkawinan adalah adanya persetujuan yang bebas dari para
pihak yang menikah (jo. Pasal 10 ICESCR).
b. Berdasarkan Sumber Hukum Nasional
Sejak perubahan UUD 1945 (UUD 1945 Amandemen), kedudukan
HAM di Indonesia menjadi sangat penting. Hal ini tercermin dari meluasnya
pengaturan terkait HAM dan pengelompokannya ke dalam satu bab tersendiri.
Selain UUD 1945, sebelumnya TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang
HAM dan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM (UU HAM)
telah memberikan landasan yang kuat mengenai penghormatan terhadap
HAM di Indonesia.
Salah satu hal yang sangat penting dicatat adalah adanya kesadaran
bahwa selama lebih 50 tahun usia Republik Indonesia, pelaksanaan
41
42
dalam hal pemenuhan hak, kita hidup tidak sendiri dan kita hidup
bersosialisasi dengan orang lain. Jangan sampai kita melakukan pelanggaran
ham terhadap orang lain dalam usaha perolehan atau pemenuhan HAM pada
kita sendiri.
Dalam
Hukum
Perdata
Internasional,
persoalan
perkawinan
akan
memunculkan
persoalan-persoalan
Hukum
Perdata
tersebut
dan
tidak
melanggar
ketentuan-ketentuan
dalam
32
43
34
Pasal 84 KUHperdata menyebutkan : Dalam waktu satu tahun setelah kembalinya suami
istri ke wilayah Indonesia, akta tentang perkawinan mereka di luar negeri harus didaftarkan dalam
daftar umum perkawinan di tempat tinggal mereka.
35
P.N.H. Simanjuntak, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta, Djambatan, 1999, hlm. 56
36
Ibid
44
BAB III
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERKAWINAN WARGA NEGARA
INDONESIA (WNI) DENGAN WARGA NEGARA ASING (WNA) BERBEDA
AGAMA YANG DILANGSUNGKAN DI LUAR NEGERI DITINJAU DARI
SUDUT HUKUM PERDATA INTERNASIONAL INDONESIA
1.
45
seperti agama Islam, Kristen katolik, Kristen protestan, Hindu, Budha, dan
agama Konghucu yang telah berumur lebih dari 5000 tahun.
Pengaturan mengenai kebebasan memeluk agama tidak hanya di
Indonesia, melainkan hampir di seluruh dunia menghormati juga, kebebasan
memeluk agama juga diatur didalam pernyataan umum tentang Hak Asasi
Manusia Pasal 2 yang berbunyi :
setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan-kebebasan
yang tercantum di dalam pernyataan ini tanpa perkecualian
apapun seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama,
politik, atau pendapat yang berlainan, asal mula kebangsaan,
atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran, ataupun kedudukan
lain
Pasal di atas memberikan makna bahwa tidak ada diskriminasi terhadap
setiap individu dalam hal yang meliputi, warna kulit, jenis kelamin, bahasa,
agama, politik, atau pendapat yang berlainan, asal mula kebangsaan, atau
kemasyarakatan, hak milik, kelahiran, ataupun kedudukan lain. Pasal 2 HAM ini
memberikan suatu bentuk perlindungan hukum yang berlaku bagi semua negara
dan wajib untuk dipatuhi oleh setiap negara guna menegakan suatu perlindungan
yang bersifat asasi bagi setiap individu.
2.
46
masing agama kepada umatnya. Ketakwaaan dari setiap umat beragana terhadap
agamanya adalah suatu bentuk dari yakinnya seorang umat terhadap tuhannya.
Perkawinan merupakan salah satu bentuk dari ibadah yang harus
dilakukan bagi setiap individu untuk melanjutkan keturunannya.
3.
menurut undang-undang
47
mengatur dua orang yang berbeda agama. Pendapat ketiga bahwa perkawinan
antar agama sama sekali tidak diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974,
oleh karena itu berdasarkan Pasal 66 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 maka
persoalan perkawinan beda agama dapat merujuk pada peraturan perkawinan
campuran, karena belum diatur dalam undang-undang perkawinan. 37
4.
37
Ahmad Sukarja, Perkawinan Berbeda Agama Menurut Hukum Islam, Editor Chuzaimah T
Yanggo, & Hafiz Anshary, Problematika Hukum Islam Kontemporer, Jakarta, PT Pustaka Firdaus,
1996, hlm. 17-18
48
yang berlaku di Indonesia dan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 inipun berlaku
secara efektif di seluruh Indonesia. Syarat sahnya perkawinan antara dua orang
Warga Negara Indonesia diluar negeri maupun perkawinan campuran diluar
negeri diatur dalam Pasal 56 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan yang isinya :
a) Perkawinan yang dilangsungkan diluar Indonesia antara dua orang Warga
Negara Indonesia atau seorang Warga Negara Indonesia dengan Warga
Negara Asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang
berlaku dinegara dimana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi Warga
Negara Indonesia tidak melanggar ketentuan-ketentuan undang-undang
ini.
b) Dalam waktu 1 (satu) tahun setelah suami istri itu kembali di wilayah
Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus di daftarkan di kantor
pencatatan perkawinan tempat tinggal mereka.
Syarat sah perkawinan yang dilangsungkan diluar negeri seperti yang
dinyatakan Pasal 56 diatas, tidak secara materil
49
50
beda
berkewarganegaraan Jerman
warga
negara
dan
beda
agama,
berdger
40
www.hukumonline.com/klinik_detail.asp, www.scribed.com
51
tidak
membolehkan
perkawinan
beda
agama,
apalagi
berdger
anaknya
beragama
Khatolik
sementara
berdger
tidak
bisa
52
53
54
55
56
hilangnya
kewarganegaraan
anak-anaknya
yang
57
ini
pada
dasarnya
tidak
mengenal
58
baru
di
kemudian
hari
atau
tidak.
Memiliki
memiliki
sistem
Hukum
Perdata
Internasional
59
(mengikuti Pasal 6 AB Belanda, yang disalin lagi dari Pasal 3 Code Civil
Perancis). Berdasarkan Pasal 16 AB tersebut dianut prinsip nasionalitas
untuk status personal. Hal ini berati Warga Negara Indonesia yang berada
di luar negeri, sepanjang mengenai hal-hal yang terkait dengan status
personalnya, tetap berada di bawah lingkungan kekuasaan hukum
nasional Indonesia, sebaliknya, menurut jurisprudensi, maka orang-orang
asing yang berada dalam wilayah Republik Indonesia dipergunakan juga
hukum nasional mereka sepanjang hal tersebut masuk dalam bidang
status personal mereka.
Dalam jurisprudensi Indonesia yang termasuk status personal
antara lain perceraian, pembatalan perkawinan, perwalian anak-anak,
wewenang hukum, dan kewenangan melakukan perbuatan hukum, soal
nama, soal status anak-anak yang dibawah umur.
Bila
dikaji
dari
segi
Hukum
Perdata
Internasional,
60
1974),
namun
berdasarkan
hukum
dari negara
pemberi
berkewarganegaraan
Indonesia
menikah
dengan
Arissa
61
62
betul bahwa hal tersebut hanya bisa dilaksanakan sebelum atau bersamaan
dengan pendaftaran catatan sipil? Dengan kata lain, jika david sudah
mendaftarkan catatan sipil, lalu setelahnya ingin membuat perjanjian
perkawinan, ini tidak dapat dilaksanakan menurut hukum di Indonesia?
Selanjutnya apakah perjanjian perkawinan berdasarkan hukum Indonesia
hanya dapat dibuat di Indonesia, dan di hadiri/tanda tangani di Indonesia?
Atau apakah sebaiknya di buat berdasarkan hukum Prancis? Atau di
jepang karena mereka menikah di Jepang dan masih berdomisili di Jepang
dalam beberapa tahun mendatang?
b. Apakah perjanjian pernikahan yang dibuat di negara A berdasarkan
hukum negara tersebut, hanya efektif dan sah selama digunakan di negara
A tersebut? Tanpa kepastian tentang di negara mana masalah yang
memerlukan penggunaan perjanjian perkawinan terjadi, bagaimana
masing-masing pihak melindungi hak dasar dirinya dan anaknya di
kemudian hari, misalnya dalam kasus perceraian atau kematian salah satu
pihak lainnya?
c. Apakah perjanjian pernikahan tersebut (terlepas dibuat di mana pun,
berdasarkan hukum negara mana pun) adalah yang paling kuat secara
hukum dibanding hukum perkawinan negara tertentu?
d. Atau apakah ada hukum internasional yang mengatur pernikahan dan
perjanjian pernikahan?
Sejak diberlakukan Undang-undang No.1 Tahun 1974, perkawinan beda
63
agama dilarang, tapi perkawinan antar Warga Negara Indonesia dengan Warga
Negara Asing selama memenuhi syarat-syarat hukum Indonesia boleh dilakukan
berdasarkan Pasal 57 - 62 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Pertama-tama
harus ketahui atas perkawinan Warga Negara Indonesia yang dilangsungkan di
luar negeri berlaku Pasal 56 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yang mengatur
untuk setiap perkawinan Warga Negara Indonesia di luar negeri berlaku asas lex
loci celebrationis. Asas ini berarti perkawinan harus dilaksanakan berdasarkan
hukum negara dimana perkawinan dilangsungkan, dalam kasus ini hukum
Jepang. Hukum perkawinan Jepang, lewat Horei law hanya mengatur
perkawinan secara perdata dan menjunjung tinggi pilihan hukum yang dilakukan
para pihak. Sehingga perkawinan tersebut secara formil telah sah.
Tapi pelaksanaan Pasal 56 tersebut harus didahului oleh pelaksanaan
Pasal 60 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yang menyatakan untuk setiap
Warga Negara Indonesia yang hendak menikah harus memenuhi persyaratan
materiil dan konsepsi perkawinan yang ditentukan oleh Undang-Undang No. 1
tahun 1974.
Konsepsi perkawinan yang harus dianut adalah bahwa perkawinan adalah
ikatan lahir batin antara pria dan wanita sebagai suami dan isteri dengan tujuan
untuk membentuk keluarga yang bahagia kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa. Karena konsepsi ini, perkawinan di Indonesia haruslah sah menurut
hukum agama.
64
65
pengadilan Indonesia akan tanpa ragu menerima permohonan cerai. Jika tidak
dilaporkan, ada kemungkinan Pengadilan Indonesia menyatakan tidak berwenang
terhadap permohonan cerai sehingga terpaksa harus kembali ke Jepang hanya
untuk bercerai.
Terhadap anak, pelaporan perkawinan juga diperlukan sehingga status
dwikewarganegaraannya
diketahui.
Lalu
dengan
diketahuinya
status
66
Pasal 1395 Code Civil Perancis kurang lebih juga menyatakan perjanjian
kawin hanya boleh dilakukan sebelum perkawinan terjadi. Selain itu, secara
umum, Code Civil Perancis mengatur perjanjian kawin sebagai hukum yang
berlaku atas harta perkawinan, bukan atas hukum atau cara mendidik anak.
Secara Internasional, Perancis juga tunduk pada the Hague Convention on
the Law Applicable to Matrimonial Property Regimes. Pasal 3 Konvensi di atas
juga dengan tegas menyatakan perjanjian perkawinan harus dilaksanakan
sebelum perkawinan berlangsung. Jika tidak dibuat sebelum menikah maka atas
harta kekayaan mempelai setelah kawin harus diatur mengikuti tempat tinggal
tetap mempelai setelah menikah atau hukum negara yang paling banyak terkait.
Di Jepang, Hukum Horei memperbolehkan pasangan yang menikah di
Jepang untuk memilih hukum yang berlaku atas harta kekayaan mereka setelah
menikah. Namun pilihan terbatas pada hukum tempat tinggal tetap, hukum asal
kewarganegaraan, atau menyangkut benda tidak bergerak seperti tanah, hukum
tempat kedudukan tanah. Perjanjian perkawinan yang sah tetap valid walaupun
pasangan mempelai telah pindah ke negara lain jika telah didaftarkan di Jepang.
67
BAB IV
ANALISIS TERHADAP HUKUM PERKAWINAN WARGA NEGARA
INDONESIA DENGAN WARGA NEGARA ASING DAN BERBEDA AGAMA
YANG DILANGSUNGKAN DI LUAR NEGERI
68
sangat
berbelit
dan
terlalu
dengan
suami
saya
yang
Menurut
saya
hukum
perdata
itikad
keuntungan
dan
perkawinan
baik.
Ada
beberapa
dari
Peraturan
Hukum
Perdata
kerugian
Menurut
Internasional :
1. Kerugiannya kami dirugikan dalam hal
biaya yang terlalu besar, karena hampir
41
Wawancara dengan beberapa orang yang melangsungkan perkawinan berbeda agama dan
berbeda kewarganegaraan yang dilangsungkan di luar negeri. tgl 12 Mei 2009.
69
karena
setelah
kami
70
42
Wawancara dengan Bapak. Idang Hasan, SH.,M.H, selaku hakim Pengadilan Agama Kelas
1 A Bandung, Tgl 29 Juli 2009.
71
72
melangsungkan perkawinan diluar negeri, apakah harus memenuhi syarat yang telah
ditetapkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Oleh karena itu dibutuhkan kaidah
Hukum Perdata Internasional yang lebih jelas untuk mendukung pengaturan tersebut.
Hukum perkawinan menurut Hukum Perdata Internasional Indonesia
termasuk kedalam bidang status personil. Status personil adalah kelompok kaidahkaidah yang mengikuti seseorang kemanapun ia pergi43.
Terdapat dua macam prinsip dalam dalam status personil di dunia ini, yaitu
prinsip nasionalitas (lex Patriae) dan prinsip domisili (domicile). Prinsip nasionalitas
adalah perinsip yang mengaitkan seseorang kepada hukum nasionalnya berdasarkan
kewarganegaraan orang tersebut, sedangkan prinsip domisili adalah prinsiip yang
mengaitkan status personil seseorang berdasarkan domisili orang tersebut (tempat
dimana orang tersebut berada).
Pada awalnya Indonesia menerapkan prinsip domosili baru setelah ada
peraturan kewarganegaraan tersendiri dalam bentuk wet op het nederland
onderdaanschap dari 1910 (s. 1910 no.296) maka dirasa perlu untuk meninjau
kembali prinsip domisili yang tadinya dipergunakan dalam status personil.
Akibat dari kurang jelasnya pengaturan mengenai perkawinan campuran
maupun perkawinan antar Warga Negara Indonesia diluar negeri ini dalam UndangUndang No. 1 Tahun 1974 apa yang menjadi syarat formil dan syarat materil, maka
43
73
untuk solusinya dapat dilakukan analogi dengan kaidah yang terdapat dalam Pasal
10.s 1898 No. 156 tentang perkawinan campuran yang berbunyi 44:
Perkawinan campuran yang dilangsungan diluar Indonesia,
atau didalam Indonesia yang masih terdapat swapradja, adalah
sah jika dilangsungkan menurut formalitas dari tempat
perkawinan dilangsungkan, asal saja tidak ada pihak yang
bertindak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan atau
syarat-syarat menurut hukum yang berlaku baginya untuk
menikah
Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan hakim Pengadilan Agama Kelas
1 A Bandung bapak. Idang Hasan, SH.,M.H bahwa 45:
Mengenai keabsahan perkawinan Warga Negara Indonesia
(WNI) dengan Warga Negara Asing (WNA) dan yang berbeda
agama yang dilangsungkan di luar negeri menurut perundangundangan yang berlaku di Indonesia tidak bisa dipungkiri jika
perkawinan berbeda agama dan perkawinan berbeda
kewarganegaraan semakin marak dilakukan. Hal ini akan
timbul
persoalan-persoalan
baru
dalam
kehidupan
bermasyarakat. Perkawinan berbeda agama keabsahannya
tidak bisa di akui namun perkawinan berbeda
kewarganegaraan bisa di akui di Indonesia karena Indonesia
mengakui Hukum Perdata Internasional, tetapi hanya
hukumnya saja kita menghormati, sebetulnya yang saya
ketahui bahwa tiap agama ada yang melarang perkawinan
berbeda agama ada yang tidak melarang, seperti :
1. Agama Islam melarang dengan mutlak perkawinan antar
agama bagi wanita islam, sedangkan bagi pria islam
terdapat perbedaan antara para ahli hukum islam yang
dapat di bagi tiga yaitu :
a.
Melarang secara mutlak;
b.
Memperkenankan secara mutlak;
c.
Memperkenankan dengan syarat-syarat tertentu.
44
74
2.
C. Apakah Hak Yang Telah Diperoleh (Vested Rights) Pasangan Warga Negara
Indonesia Dengan Warga Negara Asing Berbeda Agama Yang Menikah Di Luar
Negeri Dapat Diakui Di Indonesia
Seperti yang telah di jelaskan sebelumnya bahwa perkawinan campuran
seperti perkawinan yang didalamnya mengandung unsur asing (Foreigen element)
termasuk kedalam ruang lingkup Hukum Perdata Internasional. Perkawinan seperti
ini meliputi perkawinan campuran dan perkawinan warga Indonesia di luar negeri ini
diakui di Indonesia.
Perkawinan campuran yang dilangsungan diluar Indonesia, atau didalam
Indonesia yang masih terdapat swapradja, adalah sah jika dilangsungkan menurut
formalitas dari tempat perkawinan dilangsungkan, asal saja tidak ada pihak yang
bertindak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan atau syarat-syarat menurut
75
46
ibid
76
77
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pengaturan perkawinan dalam Hukum Perdata Internasional sudah mencukupi
dalam menyelesaikan persoalan yang dialami Warga Negara Indonesia, tetapi
untuk perkawinan berbeda agama masyarakat masih di sulitkan dengan aturanaturan yang membingungkan masyarakat, hal ini jelas bahwa peraturan
perkawinan di Indonesia belum mencukupi untuk menyelesaikan persoalanpersoalan yang dialami Warga Negara Indonesia dalam perkawinan campuran dan
atau perkawinan berbeda kewarganegaraan.
2. Akibat dari kurang jelasnya pengaturan mengenai perkawinan campuran maupun
perkawinan antar Warga Negara Indonesia diluar negeri ini dalam UndangUndang No. 1 Tahun 1974 apa yang menjadi syarat formil dan syarat materil,
maka untuk solusinya dapat dilakukan analogi dengan kaidah yang terdapat dalam
Pasal 10.s 1898 No. 156 tentang perkawinan campuran.
3. Perkawinan berbeda agama dan berbeda kewarganegaraan dapat disahkan tetapi
itupun hanya perkawinan beda warga negara, dilangsungkan di luar negeri, tetapi
untuk perbedaan agamanya tidak dapat disahkan menurut Undang-Undang No. 1
tahun 1974 Tentang Perkawinan. Maka dari itu masyarakat sangat dibingungkan
78
dengan aturan yang sulit, jika dilihat dari unsur HAM (Hak Asasi Manusia) jelas
melanggar, namun bagaimana cara menyikapinya, hal yang paling mudah yang
dilakukan pasangan yang akan menikah biasanya salah satu pihak akan pindah
agama untuk memudah proses perkawinan agar perkawinannya sah menurut
hukum yang berlaku di Indonesia.
B. Saran
1.
Perlu adanya suatu pasal tambahan mengenai perkawinan berbeda agama dan
berbeda kewarganegaraan yang dilangsungkan di luar negeri, yang dapat
memudahkan masyarakat untuk melangsungkan perkawinan tersebut, dan supaya
masyarakat dapat dilindungi hak-haknya sebagai Warga Negara Indonesia.
2. Perlu adanya suatu sosialisasi tentang perkawinan yang sah menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, supaya masyarakat lebih dapat
memikirkan kembali jika akan melangsungkan perkawinan berbeda agama yang
juga berbeda kewarganegaraan dan terdapat unsur hukum asing.
79
DAFTAR PUSTAKA
A. Sumber Buku
Ahmad Sukarja, Perkawinan Berbeda Agama Menurut Hukum Islam, Editor
Chuzaimah T Yanggo, & Hafiz Anshary, Problematika Hukum Islam
Kontemporer, Jakarta, PT Pustaka Firdaus, 1996.
Ali Afandi, Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian, PT. Rineka
Cipta, Jakarta, 2004.
Andi Hamzah, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia Jakarta, 1986.
Bayu Seto Hardjowahono, Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional, Buku ke
satu edisi keempat, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006.
Bunyamin, Perkembangan Hukum Islam, Fakultas Hukum Universitas Pasundan,
Bandung, 2005.
Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1996.
Darwin Prist, Sosialisasi dan Diseminasi Penegakan HAM, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2000.
Djaja S. Meliala, Perkembangan Hukum Perdata Tentang Orang dan Hukum
Keluarga, Nuansa Aulia, Edisi revisi 2007.
Hazairin, Tinjauan Mengenai Undang-Undang Perkawinan No 1/1974, Jakarta,
Tintamas, 1986.
Kaelan, Pendidikan Pancasila, Fakultas Filsafat UGM, Paradigma, Yogyakarta,
2003.
Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka.
Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, Jakara, Haji Masagung, 1993.
Mudiarti Trisnaningsih,
Relevansi
Kepastian
80
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia
(Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, 1988).
Notonegoro, Pancasila Secara Ilmiah Populer, Bumi Aksara, Jakarta, 1995.
P.N.H. Simanjuntak, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta, Djambatan, 1999.
Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, CV. Pustaka Setia, Bandung, 2000.
Rusli & R. Tama, Perkawinan Antar Agama Dan Masalahnya, CV. Pioner Jaya,
Bandung, 2000.
Satjitpto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti Bandung, 2000.
Soedharyo, Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, Jakarta, Sinar Grafika, 2002.
Soejono & Abdurrahman, Metode Penelitian Hukum, Jakarta, Rineka Cipta,
2003.
Soetojo Prawirohamidjojo dan Azis Safioedin, Hukum Orang dan Hukum
Keluarga, Bandung, Alumni, 1985.
Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme Dalam Perundang-undangan Perkawinan
di Indonesia, Surabaya, Airlangga University Press, 1986.
Sudargo Gautama, Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia,
Binacipta, Bandung, 1987.
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty Yogyakarta,
2003.
Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Jakarta, Rineka Cipta, 1991.
Sunaryati Hartono, Pokok-Pokok Hukum Perdata Internasional, Binacipta
Bandung, 1976.
Sution Usman Adji, Kawin Lari dan Kawin Antar Agama, Yogyakarta, Liberty,
1989.
81
B. Sumber Lain
Universal Decleration of Human Rihts 1948.
Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, PT. Pradnya Paramita,
Jakarta, 2003.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan.
Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, PT. Pradnya Paramita, Jakarta,
2003.
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UndangUndang No. 1 Tahun 1974.
Peraturan Tentang Perkawinan Campuran (Gemengde Huwelijke Regeling).
Dewi Fortuna, Perkawinan Campuran dalam Hukum Positif di Indonesia,
www.psikologiuinjkt2004.wordpress.com, ,tanggal akses, September
23, 2007.
Seminar
www.scribed.com.
www.hukumonline.com/klinik_detail.asp.