Anda di halaman 1dari 14

Nama : Andre Dwi Apriadi

NIM : D1111141010
Prodi : Teknik Kelautan

PENGARUH PERUBAHAN IKLIM GLOBAL (Climate Change)


TERHADAP LAUTAN

PENDAHULUAN

Laut merupakan ekosistem dan habitat terbesar bagi berbagai jenis mahluk hidup di bumi. Lebih
dari 70% bagian bumi dikelilingi oleh lautan, sehingga terdapat asumsi bahwa kehidupan di
bumi bermula dari laut. Laut memiliki peranan penting dalam kehidupan sehari-hari, salah
satunya yaitu sebagai reservoir atau penampung panas radiasi sinar matahari ke bumi, karena
fungsinya ini sehingga laut dapat mempertahankan iklim baik secara lokal maupun global.
Isu yang tengah hangat pada abad ke-20 di era industrialisasi yaitu pemanasan global yang
timbul akibat aktivitas manusia (antropogenik). Menurut Murdiyarso (2003), pemanasan global
adalah fenomena naiknya suhu rata-rata permukaan bumi yang diakibatkan oleh radiasi panas
bumi yang lepas ke udara ditahan oleh selimut gas rumah kaca. Pada dasarnya atmosfir bumi
menangkap radiasi panas sehingga udara bumi bersuhu nyaman bagi kehidupan mahluk hidup,
namun revolusi industri telah meningkatkan gas rumahkaca seperti karbon dioksida (CO2),
metana (CH4) dan nitous oksida (N2O). Pemanasan global mempunyai pengaruh besar terhadap
perubahan iklim, dan berdampak langsung terhadap kenaikan suhu permukaan air laut (Keller et
al. 2009). Naiknya suhu permukaan air laut mengancam keberadaan ekosistem terumbu karang,
dan memicu terjadinya bleaching atau pemutihan karang (Keller, et al. 2009; Guldberg 2009;
Banin et al. 2000; Fit et al 2001; Barton et al 2005; Oxenford 2007).

Perubahan iklim ialah perubahan suhu, tekanan udara, angin, curah hujan, dan kelembaban
sebagai akibat dari pemanasan global.
Perubahan iklim yang terjadi saat ini disebabkan oleh efek rumah kaca. Efek rumah kaca, yang
pertama kali diusulkan oleh Joseph Fourier pada 1824, merupakan proses pemanasan permukaan
suatu benda langit (terutama planet atau satelit) yang disebabkan oleh komposisi dan
keadaan atmosfernya.
Efek rumah kaca disebabkan karena naiknya konsentrasi gas karbon dioksida (CO2) dan gas-gas
lainnya di atmosfer. Kenaikan konsentrasi gas CO2 ini disebabkan oleh kenaikan
pembakaran bahan bakar minyak, batu bara dan bahan bakar organik lainnya yang melampaui
kemampuan tumbuhan-tumbuhan dan laut untuk menyerapnya.

PEMBAHASAN

Laut menjadi tempat penyimpanan panas matahari, dan arus laut global menggerakkan energi
yang tersimpan tersebut, menyebabkan adanya iklim global, dari angin sepoi-sepoi sampai
adanya badai lautan. Studi mengenai perubahan kecerlangan matahari, memunculkan dugaan
adanya kaitan dengan perubahan iklim. Meskipun masih lebih dipercaya bahwa perubahan iklim
lebih disebabkan karena peningkatan kadar karbon dioksida di bumi, tetapi tidak tertutup
kemungkinan bahwa matahari-pun memberikan sumbangan pada perubahan iklim.
Cuaca dan iklim merupakan dua kondisi yang hampir sama tetapi berbeda pengertian khususnya
terhadap kurun waktu. Cuaca adalah keadaan atmosfer yang dinyatakan dengan nilai berbagai
parameter, antara lain suhu, tekanan, angin, kelembaban dan berbagai fenomena hujan, disuatu
tempat atau wilayah selama kurun waktu yang pendek (menit, jam, hari, bulan, musim, tahun).
Sementara iklim didefinisikan sebagai Peluang statistik berbagai keadaan atmosfer, antara lain
suhu, tekanan, angin kelembaban, yang terjadi disuatu daerah selama kurun waktu yang panjang
(Gibbs,1987).

1.

Kenaikan Permukaan Air Laut

Permukaan laut telah mengalami kenaikan setinggi 120 meter sejak puncak zaman es 18.000
tahun yang lalu. Kenaikan tertinggi muka air laut terjadi sebelum 6.000 tahun yang lalu. Sejak
3.000 tahun yang lalu hingga awal abad ke-19, muka air laut hampir tetap hanya bertambah 0,1
hingga 0,2 mm/tahun; sejak tahun 1900, permukaan laut naik 1 hingga 3 mm/tahun; sejak tahun
1992 satelit altimetri TOPEX/Poseidon mengindikasikan laju kenaikan muka laut sebesar 3
mm/tahun. Perubahan ini bisa jadi merupakan pertanda awal dari efek pemanasan global
terhadap kenaikan muka air laut. Pemanasan global diperkirakan memberikan pengaruh yang
signifikan pada kenaikan muka air laut pada abad ke-20 ini.
Muka laut rata-rata lokal (local mean sea level atau disingkat LMSL) didefinisikan sebagai
tinggi laut terhadap titik acu (benchmark) di darat, dirata-ratakan terhadap suatu periode waktu
tertentu yang cukup panjang, sebulan atau setahun, sehingga fluktuasi akibat gelombang dan
pasang surut sebisa mungkin dapat dihilangkan. Kita juga harus menyesuaikan perubahan LMSL
yang diketahui untuk memasukkan pergerakan vertikal daratan yang bisa jadi memiliki orde
yang sama dengan orde perubahan muka air laut (mm/tahun). Pergerakan daratan terjadi karena
penyesuaian isostatik mantel akibat melelehnya lempengan es di akhir zaman es terakhir.
Tekanan atmosferik (efek inversi barometrik), arus laut, dan perubahan temperatur air laut
setempat semua dapat memengaruhi LMSL.
Menurut riset yang ada, pemanasan global dari efek rumah kaca yang menyebabkan perubahan
iklim dapat menaikan permukaan air laut hingga 5200 cm untuk abad selanjutnya. Ketinggian
air laut memang selalu berfluktuasi dengan perubahan dari temperatur global. Ketika zaman es
dimana temperatur global sebesar 5 derajat Celsius lebih rendah dari sekarang, kebanyakan dari
air laut terikat dalam gletser dan ketinggian permukaan air lautnya sekitar 100 meter lebih rendah
dari sekarang. Tetapi, saat periode terakhir interglacial (100,000 tahun yang lalu), permukaan
air laut lebih tinggi 6 meter dari sekarang dan temperaturnya berkisar 1 derajat Celsius lebih
hangat dari sekarang. Tren permukaan air laut global telah diestimasi dengan cara
mengkombinasikan trentren dari tidal stations di seluruh dunia. Rekor-rekor ini
memperlihatkan bahwa selama abad terakhir ini, permukaan air laut di seluruh dunia telah naik
hingga 1025 cm yang sebagian besar diakibatkan oleh pemanasan global dari abad terakhir.
Kutub Utara berada di atas es yang lebih kecil dan lebih tipis dibandingkan dengan sebelumnya,
sementara es tua yang kuat mulai digantikan es muda yang cepat mencair. Demikian dikatakan
beberapa peneliti di NASA dan National Snow and Ice Data Center di Colorado. Menurut para
peneliti tersebut, maksimum es laut Artik pada musim dingin ini bertambah 15 juta dan 150.000
kilometer persegi, sekitar 720.000 kilometer persegi lebih kecil dibandingkan dengan rata-rata
wilayah Kutub Utara antara tahun 1979 dan 2000. Pada musim dingin normal, es seringkali
memiliki ketebalan tiga meter atau lebih, Namun, pada tahun 2010, ketebalan lapisan es hampirhampir tak dapat menembus sasaran yang tepat. Jumlah es laut tebal mencapai tingkat rendah

pada musim dingin dengan luas 680.400 kilometer persegi sehingga turun 43 persen dari tahun
sebelumnya.
Bila suhu bumi meningkat hingga 30C, diramalkan sebagian belahan bumi akan tenggelam,
karena meningkatnya muka air laut akibat melelehnya es di daerah kutub. Sebagai contoh di
negara Venesia pernah mengalami banjir parah pada bulan November 2009, ketika tingkat air
mencapai 131 cm. Venesia telah lama tenggelam, tapi naiknya permukaan air laut telah membuat
situasi lebih mengerikan. Frekuensi banjir meningkat setiap tahun, meninggalkan banyak
pertanyaan berapa lama lagi Venesia bisa tinggal di atas air.
Mencairnya es di kutub Utara dan kutub Selatan berdampak langsung pada naiknya level
permukaan air laut. Peningkatan suhu atmosfer akan diikuti oleh peningkatan suhu di permukaan
air laut, sehingga volume air laut meningkat maka tinggi permukaan air laut juga akan
meningkat. Pemanasan atmosfer akan mencairkan es di daerah kutub terutama di sekitar pulau
Greenland (di sebelah Utara Kanada), sehingga akan meningkatkan volume air laut. Kejadian
tersebut menyebabkan tinggi muka air laut di seluruh dunia meningkat antara 10 - 25 cm selama
abad ke-20. Para ilmuwan IPCC memprediksi peningkatan lebih lanjut akan terjadi pada abad
ke-21 sekitar 9 - 88 cm.

a.

Meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir

Meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir disebabkan oleh terjadinya pola hujan yang acak
dan musim hujan yang pendek sementara curah hujan sangat tinggi (kejadian ekstrim).
Kemungkinan lainnya adalah akibat terjadinya efek backwater dari wilayah pesisir ke darat.
Frekuensi dan intensitas banjir diprediksikan terjadi 9 kali lebih besar pada dekade mendatang
dimana 80% peningkatan banjir tersebut terjadi di Asia Selatan dan Tenggara (termasuk
Indonesia) dengan luas genangan banjir mencapai 2 juta mil persegi. Sebagai contoh, di wilayah
kota Tarakan khususnya di Sebengkok, Karang Anyar, Karang Balik sering mengalami banjir
apabila memasuki musim hujan yang sangat tinggi. Air rata-rata mencapai ketinggian antara 30
sampai 50 cm mengakibatkan lumpuhnya sistem transportasi dan mengganggu rutinitas warga.
Perubahan tinggi muka laut akan sangat mempengaruhi kehidupan di daerah pantai. Dengan
meningkatnya permukaan air laut, peluang terjadi erosi tebing, pantai, dan bukit pasir juga akan
meningkat. Bila tinggi lautan mencapai muara sungai, maka banjir akibat air pasang akan
meningkat di daratan. Bahkan dengan sedikit peningkatan tinggi muka laut sudah cukup
mempengaruhi ekosistem pantai, dan menenggelamkan sebagian dari rawa-rawa pantai. Negaranegara kaya akan menghabiskan dana yang sangat besar untuk melindungi daerah pantainya,
sedangkan negara-negara miskin mungkin hanya dapat melakukan evakuasi penduduk dari
daerah pantai.

b.

Perubahan arus laut dan meluasnya kerusakan mangrove

Kenaikan muka air laut selain mengakibatkan perubahan arus laut pada wilayah pesisir juga
mengakibatkan rusaknya ekosistem mangrove, yang pada saat ini saja kondisinya sudah sangat
mengkhawatirkan. Luas hutan mangrove di Indonesia terus mengalami penurunan dari 5.209.543
ha (1982) menurun menjadi 3.235.700 ha (1987) dan menurun lagi hingga 2.496.185 ha (1993).
Dalam kurun waktu 10 tahun (1982-1993), telah terjadi penurunan hutan mangrove 50% dari
total luasan semula. Apabila keberadaan mangrove tidak dapat dipertahankan lagi, maka abrasi
pantai akan kerap terjadi karena tidak adanya penahan gelombang, pencemaran dari sungai ke
laut akan meningkat karena tidak adanya filter polutan, dan zona budidaya aquaculture pun akan
terancam dengan sendirinya.
c.

Meluasnya intrusi air laut

Meluasnya intrusi air laut selain diakibatkan oleh terjadinya kenaikan muka air laut juga dipicu
oleh terjadinya land subsidence akibat penghisapan air tanah secara berlebihan. Sebagai contoh,
diperkirakan pada periode antara 2050 hingga 2070, maka intrusi air laut akan mencakup 50%
dari luas wilayah Jakarta Utara.
d. Ancaman terhadap kegiatan sosial-ekonomi
Kenaikan permukaan air laut akan membanjiri rawa-rawa dan dataran rendah, mempercepat
erosi dan memperburuk banjir di pesisir pantai, mengancam bangunanbangunan di daerah
pesisir, kehilangan kawasan wisata pantai yang indah dan juga meningkatkan salinitas
(pencemaran kadar garam) di daerah sungai, teluk, dan air di dalam tanah (aquifers).
Gangguan terhadap kondisi sosial-ekonomi masyarakat yang terjadi diantaranya adalah
gangguan terhadap jaringan jalan lintas dan kereta api di Pantura Jawa dan Timur-Selatan
Sumatera; genangan terhadap permukiman penduduk pada kota-kota pesisir yang berada pada
wilayah Pantura Jawa, Sumatera bagian Timur, Kalimantan bagian Selatan, Sulawesi bagian
Barat Daya, dan beberapa spot pesisir di Papua; hilangnya lahan-lahan budidaya seperti sawah,
payau, kolam ikan, dan mangrove seluas 3,4 juta hektar atau setara dengan US$ 11,307 juta;
gambaran ini bahkan menjadi lebih buram apabila dikaitkan dengan keberadaan sentra-sentra
produksi pangan yang hanya berkisar 4 % saja dari keseluruhan luas wilayah nasional, dan
penurunan produktivitas lahan pada sentra-sentra pangan, seperti di DAS Citarum, Brantas, dan
Saddang yang sangat krusial bagi kelangsungan swasembada pangan di Indonesia.
e.

Berkurangnya luas daratan atau hilangnya pulau-pulau kecil

Perubahan iklim yang mengakibatkan kenaikan permukaan air laut akan dapat memberikan
dampak negative terhadap ekosistem pulau-pulau kecil, dimana ekosistem pulau-pulau kecil
akan menjadi rusak, sehingga akan mempengaruhi kehidupan manusia yang tinggal di pulaupulau kecil tersebut. Terutama yang topografinya datar (low-lying island) yang memiliki

ketinggian rata-rata satu meter di atas permukaan laut akan menjadi sangat rentan, sehingga
dapat tenggelam atau hilang secara fisik.
Dampak paling serius dari naiknya tinggi muka air laut ini adalah hilangnya pulau-pulau kecil.
Diperkirakan dari 44 anggota SIDS, 14 negara kecil di antaranya terancam hilang akibat naiknya
permukaan laut, antara lain beberapa negara pulau di Samudra Pasifik, yaitu Sychelles, Tuvalu,
Kiribati, dan Palau, serta Maladewa di Samudra Hindia. Akibat pemanasan global, minimal 18
pulau di muka bumi ini telah tenggelam, antara lain tujuh pulau di Manus, sebuah provinsi di
Papua Niugini. Kiribati, negara pulau yang berpenduduk 107.800 orang, sekitar 30 pulaunya saat
ini sedang tenggelam, sedangkan tiga pulau karangnya telah tenggelam. Maladewa yang
berpenduduk 369.000 jiwa, presidennya telah menyatakan akan merelokasikan seluruh negeri
itu. Sementara itu, Vanuatu yang didiami 212.000 penduduk, sebagian telah diungsikan dan desadesa di pesisir direlokasikan karena ancaman nyata itu, delegasi dari negara kepulauan tersebut
serta Aljazair dan Tanzania sangat mendukung WOC dan akan hadir di Manado, mengingat
negara tersebut terancam hilang dari muka bumi ini akibat perubahan iklim.
Indonesia, Amerika Serikat, dan Bangladesh adalah beberapa negara yang paling terancam
tenggelam. Bahkan beberapa pulau di Indonesia sudah hilang tenggelam. Ini disebabkan
mencairnya permukaan gletser di kutub yang membuat volume air laut meningkat drastis. Satu
lagi pulau Indonesia terancam tenggelam yang di beritakan beberapa media pada April 2010.
Setelah diketahui 13 pulau hilang sejak terjadi tsunami pada 1907 di periran Kabupaten
Simueulu hingga tsunami 2005 di Nias, Sumatra Utara, sekarang di-informasikan ada satu pulau
lagi mulai timbul tenggelam di permukaan laut yakni pulau Gosong Kasih. Kondisi Pulau
Gosong Kasih sekarang sering timbul tenggelam. Ketika terjadi pasang, daratan itu tenggelam
oleh air laut, sedangkan saat sedang surut tampak kembali ke atas permukaan perairan Samudera
Hindia. Daratannya tidak hilang tapi sering tenggelam karena permukaan air laut naik. Hal ini
tidak lain akibat dari efek pemanasan global atau pengaruh gempa bumi yang sering terjadi di
perairan barat selatan Aceh. Oleh karena itu, pemukaan air semakin naik atau struktur daratan
pulau turun dari posisi semula. Naiknya permukaan laut akan menggenangi wilayah pesisir
sehingga akan menghancurkan tambak-tambak ikan dan udang di Jawa, Aceh, Kalimantan dan
Sulawesi (UNDP, 2007). akibat pemanasan global pada tahun 2050 akan mendegradasi 98 persen
terumbu karang dan 50% biota laut.
Di antara negara kepulauan di dunia, agaknya kerugian terbesar bakal dihadapi Indonesia,
sebagai negara yang memiliki jumlah pulau terbanyak. Pada tahun 2030 potensi kehilangan
pulaunya sudah mencapai sekitar 2.000 bila tidak ada program mitigasi dan adaptasi perubahan
iklim, urai Indroyono, Sekretaris Menko Kesra yang juga mantan Kepala Badan Riset Kelautan
dan Perikanan DKP. Saat ini belum diketahui berapa sesungguhnya jumlah pulau di Nusantara
ini yang telah hilang karena dampak kenaikan permukaan laut. Namun, pengamatan Badan
Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) menunjukkan penciutan daerah pantai
sudah terlihat di pulau-pulau yang berada di Paparan Sunda dan Paparan Sahul, ungkap Aris
Poniman, Deputi Sumber Dasar Sumber Daya Alam Bakosurtanal. Paparan Sunda meliputi

pantai timur Pulau Sumatera, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Selatan serta pantai utara Pulau
Jawa. Adapun Paparan Sahul berada di sekitar wilayah Papua. Penjelasan Aris didasari pada
pemantauan pasang surut yang dilakukan Bakosurtanal di berbagai wilayah pantai Nusantara
sejak 30 tahun terakhir.
2.

Pemutihan Karang (Coral Bleaching)

Karang merupakan salah satu komponen utama sumber daya pesisir dan laut utama. Terumbu
karang merupakan kumpulan fauna laut yang berkumpul menjadi satu membentuk terumbu.
Struktur tubuh karang banyak terdiri atas kalsium dan karbon. Hewan ini hidup dengan memakan
berbagai mikroorganisme yang hidup melayang di kolom perairan laut.Terumbu karang adalah
struktur hidup yang terbesar dan tertua di dunia. Untuk sampai ke kondisi yang sekarang,
terumbu karang membutuhkan waktu berjuta tahun. Tergantung dari jenis, dan kondisi
perairannya, terumbu karang umumnya hanya tumbuh beberapa milimeter saja per tahunnya.
Yang ada di perairan Indonesia saja saat ini paling tidak mulai terbentuk sejak 450 juta tahun
silam. Terumbu Karang menjadi rumah bagi ribuan spesies makhluk hidup. Jika rumahnya saja
dalam kondisi tidak baik atau bahkan hancur, bisa dibayangkan berapa banyak makhluk hidup
yang terancam punah.
Eksistensi Indonesia sebagai salah satu pusat terumbu karang diyakini terus mengalami
degradasi. Tentunya masalah itu, akan semakin meluas jika tidak segera diambil langkah-langkah
untuk melestarikannya. Sebagai salah satu negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia juga
dikenal sebagai salah satu pusat keanekaanragama hayati laut dunia dengan kekayaan terumbu
karangnya. Indonesia memiliki kawasan terumbu karang yang terbesar di dunia. Indonesia
memiliki garis pantai kira-kira 2.915.000 dimana daerah terumbu karang menghuni hampir
51.020 m2. Sebagai daerah equatorial yang memiliki keragaman karang yang sangat besar,
Indonesia memiliki 17% dari keanekaragaman yang ada di dunia. Hampir semua spesies terumbu
karang yang ada di dunia berada di Indonesia. Namun sayangnya, saat ini kekayaan terumbu
karang Indonesia justru terancam rusak akibat berbagai hal, salah satu nya adalah karena
perubahan iklim. Ketergantungan akan sinar matahari mengakibatkan terumbu karang hanya
dapat hidup pada daerah yang masih mendapat intensitas cahaya matahari sepanjang tahun
sehingga pada umumnya mendiami perairan pantai pada kedalaman 0 hingga 90 m. Ekosistem
karang pada umunya dapat dijumpai pada lintang 250 S dan 250 N, hal ini dikarenakan pada
kondisi ini terumbu karang dapat melakukan proses metabolisme yang optimal bagi
kehidupannya walaupun ada sebagian kecil karang yang berada di lintang tinggi.
Pemutihan karang adalah perubahan warna pada jaringan karang dari warna alaminya yang
kecoklat-coklatan atau kehijau-hijauan menjadi warna putih pucat. Pemutihan karang dapat
mengakibatkan kematian pada karang. Antara bulan Maret dan Mei 1983 peneliti dari Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengamati peristiwa pemutihan karang besar-besaran
dengan tingkat kematian yang luas mulai dari Selat Sunda (Jawa Barat), Kepulauan Seribu
(Jakarta) sampai Kepulauan Karimunjawa (Jawa Tengah).

Salah satu efek dari perubahan iklim terhadap terumbu karang karena kenaikan suhu permukaan
laut yang mengakibatkan stres, penyakit dan pemutihan kepada terumbu karang.
Pemutihan karang secara besar besaran pernah terjadi di Samudera Hidia (McClanahan,
2004) Pemutihan terumbu karang yang paling besar disebabkan oleh El Nino Southern
Oscillation (ENSO) yang mengakibatkan naiknya suhu permukaan laut yang terjadi pada
tahun1988, 1992, 1995, 1998, dan 2003 (Berkelmans dan Oliver 1999; Marshal and Baird 2000;
Strong et al. 2000; Mc Clanahan, 2004).
Perubahan iklim merupakan ancaman terbesar terhadap kelestarian terumbu karang (Guldberg
2009, Barton et al. 2005). Habitat seperti terumbu karang sangat rentan terhadap perubahan
iklim, yang dibuktikan dengan terjadinya pemutihan masal selama 2 dekade (Keller et al. 2009).
Perubahan iklim juga menyebabkan ekosistem laut berubah, seperti meningkatnya suhu
permukaan air laut, meningkatnya keasaman air laut, kenaikan permukaan air laut, mengubah
pola sirkulasi, meningkatnya keparahan badai, dan mengubah influx air tawar. Sejak revolusi
industri pH air laut turun 0,1 unit tiap tahun, dan selama 100 tahun terakhir, permukaan aire laut
naik 1 2 mm per tahun (Keller et al. 2009).
Pemanasan suhu permukaan air laut banyak ditemukan di daerah tropis, terutama dibelahan bumi
bagian utara. Menurut Fit et al. 2001, tercatat pada abad yang lalu, rata-rata kenaikan suhu air
laut antara 0,07 0,5 C tiap dekade. Menurut Keller et al. 2009 telah terjadi kenaikan suhu
sebesar 0,1 C pada kedalaman 0-700 meter dibawah permukaan air laut antara tahun 1961
2003. Menurut Barton et al. 2005 suhu permukaan air laut global meningkat 0,4 0,8 C sejak
akhir abad-19 dan diprediksi akan terus meningkat dimasa mendatang.
Selama 20 tahun, banyak literatur meyakinkan bahwa tingginya suhu permukaan air laut
merupakan penyebab utama terjadinya bleaching (Fit et al. 2001; Keller et al. 2009).
Peningkatan suhu 1 3 C, sering menyebabkan peristiwa pemutihan terumbu karang yang
cukup parah yang berlanjut pada kematian karang yang semakin meluas, kecuali terjadi adaptasi
termal atau aklimatisasi karang (Keller et al. 2009). Menurut Guldberg 2009, program Hotspot
di National Atmospheric Administration secara akurat memprediksi bahwa terumbu karang
sudah akan mengalami pemutihan jika suhu air laut meningkat 1 C di atas suhu jangka panjang
air laut pada musim panas. Lebih dari itu peningkatan suhu air laut sebesar 2 C selama 4
minggu menyebabkan sebagian besar jenis karang memutih. Jenis karang Arcopora dan
Stylopora akan mengalami bleaching pertamakali jika suhu permukaan air laut naik 1 C, sedang
karang yang lain seperti Porites lebih toleran terhadap kenaikan suhu permuakaan air laut,
biasanya lebih dari 1-2 C.
Peningkatan suhu air laut mempengaruhi proses fisiologi organisme dan mempengaruhi prosesproses ekologi seperti mencari makan, pertumbuhan, penyebaran dan durasi larva, serta pada
rentang geografi spesies. Kenaikan suhu juga direspon positif oleh virus, bakteri dan jamur
karang, selama masih pada batas fisologis mereka.Kenaikan suhu menyebabkan karang lebih

rentan terserang penyakit, seperti penyakitwhite-band yang ikut memicu


terjadinya bleaching (Keller et al. 2009).
Fit et al. 2001 mengatakan bahwa bleaching merupakan gambaran kondisi yang berkaitan
dengan kepadatan rendah simbion karang dan ganggang kompleks, sebagai respon terhadap
tekanan panas. Bleaching didefinisikan hilangnya simbion alga dengan pigmennya atau tidak,
sebagai respon klasik pada simbiosis karang tropis terhadap berbagai tekanan lingkungan
termasuk kenaikan suhu air laut. Fit et al. 2001 mengelompokkan bleaching karang akibat
tekanan suhu tinggi menjadi 3 jenis, yaitu:
1). Physiological bleaching, merupakan peristiwa pemutihan karang yang terjadi akibat
gangguan fisiologis sebagai respon terhadap suhu yang lebih tinggi dari pada suhu normal.
2). Algal-stress bleaching, meliputi disfungsi simbiosis alga pada pencahayaan yang tinggi atau
pada suhu yang tinggi.
3). Animal-stress bleaching, dimana sel-sel koral yang mengandung alga simbiotik terlepas dari
lapisan gastrodermal akibat tekanan suhu tinggi.
Menurut Banin et al. 2000, bleaching terjadi akibat gangguan simbiosis antara karang host
dengan fotosintetik microalgae endosymbionts (zooxanthellae). Gangguan bisa disebabkan
karena bakteri patogen. Misalnya pemutihan karang Oculina patagonicadi laut Mediterania
disebabkan oleh bakteri Vibrio shiloi. Ketika suhu air laut naik dan memungkinkan bakteri
menjadi virulen.
Banin et al. 2000 membagi tahapan infeksi Vibrio shiloi terhadap karang Oculina patagonica,
menjadi 4 tahap: 1). Adhesi pada permukaan karang, 2). Penetrasi pada jaringan karang, 3).
Bakteri mengganda di dalam jaringan, 4). Produksi toxin. Bakteri yang virulen menginfeksi pada
permukaan karang, kemudian menembus jaringan karang dan menghasilkan material
ekstraseluler yang menghambat fotosintesis algae dan membuat algae memutih kemudian lisis.
Suhu yang tinggi menginduksi berbagai faktor mematikan dalam agen infeksi penyakit, V. shiloi.
Pada suhu yang lebih tinggi, toxin menjadi lebih aktif dan kemampuan menghalangi proses
fotosintesis pun menjadi lebih besar.
Tekanan panas juga menyebabkan kerusakan / gangguan pada jalur enzimatik, yang
menyebabkan disfungsi biokimia dan metabolik. Tingkat tekanan tergantung pada suhu absolut,
panjang penyinaran, dan keberadaan faktor lingkungan lain (salinitas, cahaya, dan pergerakan
air) (Fit et al. 2001).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Fit et al. 2001 karang akan mati jika: 1). dihadapkan pada
suhu yang tinggi dalam jangka waktu yang lama, 2). dihadapkan padalethal temperature (suhu
yang menyebabkan kematian) meskipun dalam jangka waktu pendek, 3). dihadapkan
pada sublethal temperature dalam waktu paparan yang panjang. Paparan sinar matahari yang

panjang dengan suhu yang tinggi mengakibatkan kepadatan simbion alga, jaringan protein
karang, konsentrasi alga berklorofil, dan abnormalitas histologi mengalami penurunan dari waktu
ke waktu seiring dengan kenaikan suhu.
Coral bleaching menyebabkan hilangnya kehidupan karang dan penurunan fungsi ekosistem
terumbu karang (Barton et al. 2005). Dalam konteks klimatologi, untuk mencegah coral
bleaching dalam skala yang lebih besar dimasa yang akan datang akibat kenaikan suhu,
Barton et al. 2005 menggunakan data Sea Surface Temperature (SST). Data ini dapat membantu
mengetahui keterkaitan antara coral bleaching dengan kondisi thermal (suhu). Data SST
menyediakan rekaman suhu secara historis dalam ekosistem terumbu karang dan dapat
menunjukkan terjadinya coral bleaching dan penyimpangan suhu yang terjadi hampir diseluruh
dunia pada sepuluh tahun terakhir.
Peristiwa pemutihan karang terparah dan terluas terjadi pada tahun 1997-1998 yang meliputi 42
negara, antara lain: di bagian selatan Jepang, Sri Lanka, India, Indopasifik, kenya, dan
dibeberapa negara tropis lain. Kejadian coral bleaching dalam skala besar terkait dengan tekanan
suhu. Ini dapat dilihat bahwa bleaching terparah terjadi di musim yang paling panas (Fit et
al. 2001).
Kenaikan suhu berkaitan dengan peningkatan konsentrasi gas karbon dioksida dan gas rumah
kaca lainnya di atmosfer (Fit et al. 2001). Konsentrasi karbon yang berlipat ganda di atmosfer,
menyebabkan perubahan besar terhadap lingkungan laut, khususnya pada organisme yang
membangun skeletal (kerangka) dari kalsium karbonat (CaCO3). Perairan menyerap sekitar 1/3
karbon di udara yang dihasilkan oleh aktifitas manusia (Keller et al. 2009). Tingginya kandungan
CO2 terlarut dalam air yang lebih dingin, menyebabkan perkembangan terumbu karang
di latitudinal margin menunjukkan respon yang cepat dan dramatis terhadap perubahan pH.
Beradasarkan hasil study yang dilakukan Keller et al. 2009, diketahui bahwa peningkatan
keasaman air laut secara signifikan mengurangi kemampuan terumbu karang untuk membangun
kerangkanya, mempengaruhi pertumbuhan individu karang dan membuat karang lebih rentan
terhadap erosi.
Konsep ambang batas termal digunakan untuk membantu memahami peristiwableaching dan
membantu meprediksi frekuensi dan intensitas terjadinya bleaching. Ambang batas termal
ditetapkan dengan mengetahui batas suhu masing-masing spesies terumbu karang. Data HotSpot yang menunjukkan secara detail tentang anomali suhu secara global bersamaan dengan
indeks Degree Heating Weeks, yang menunjukkan keterkaitan durasi dan besarnya hot-spot
terhadap waktu bleaching, digunakan sebagai alarm penanda terjadinya bleaching (Fit et
al. 2001).
Banyak penelitian telah dilakukan secara hati-hati untuk memantau dan memprediksi dalam
jangka panjang, meyakinkan bahwa ekosistem terumbu karang akan terus menghadapi tantangan
terutama dari peningkatan suhu dan keasamaan air laut. Kelestarian terumbu karang kedepan

diragukan, jika suhu dan keasaman air laut meningkat secara kontinyu hingga pada tingkat yang
belum pernah terjadi sebelumnya (Guldberg 2009). Hingga pada tahun 2090 2099,
sebagaimana prediksi IPPC dalam Keller et al. 2009, akan terjadi peningkatan rata-rata suhu
permukaan air laut 1,8 4 C, yang utamanya disebabkan karena peningkatan CO2 di atmosfer.
Oxenford et al. 2007 menyatakan bahwa pada akhir musim panas tahun 2005,
terjadi bleaching masal terumbu karang di perairan Karibia. Rata-rata 70,6 % dari seluruh koloni
terumbu karang di hampir semua habitat dan taxa, mengalami bleaching. Terumbu karang dekat
pantai (di kedalaman < 10 m) terkena dampakbleaching yang lebih berat yaitu dengan ratarata bleaching sebesar 80,6 %, jika dibandingkan dengan terumbu karang yang ada di lepas
pantai (di kedalaman >15 m) yang mengalami rata-rata bleaching sebesar 60,5 %. Dari total
variasi inter-species, >90% koloni karang mengalami bleaching. Indikasi bleaching pada
terumbu karang akan terus berlangsung selama kurun waktu tertentu di masa mendatang.
Kejadian tersebut menggambarkan episode pemutihan terumbu karang terparah di Barbados dan
tekanan kerentanannya terhadap peristiwa bleaching, yang berkaitan erat dengan kenaikan suhu
permukaan air laut sebagai dampak dari perubahan iklim global.
Ancaman kerusakan ekosistem terumbu karang yang sangat parah di masa yang akan datang
harus ditekan dengan melakukan upaya perlindungan atau konservasi, misalnya dengan
menerapkan manajemen Marine Protected Area (MPA). Menurut Keller et al. 2009,
manajemen Marine Protected Area (MPA) dilakukan untuk menekan terjadinya pemutihan
karang dan menjaga keberlangsungan fungsi ekosistem terumbu karang. Jaringan MPA secara
potensial dianggap merupakan manajemen efektif untuk konservasi biodiversitas yang ada di
laut. Manajemen MPA menggunakan pendekatan berbasis ekologi untuk menjaga
keberlangsungan ekosistem karang dimasa mendatang.
Berdasarkan Keller et al. 2009, ada 4 manajemen pilihan yang diterapkan dalam MPA adalah:
1). Memperbaiki daerah-daerah yang mengalami tekanan, misalnya dengan mengurangi dampak
tekanan berskala lokal maupun regional seperti, pengambilan ikan berlebih, input nutrien ke laut,
sedimentasi dan polusi serta penurunan kualitas air laut
2). Melindungi daerah yang berpotensi untuk bertahan. Ada 2 tipe terumbu karang yang memiliki
potensi bertahan terhadap tekanan, yaitu terumbu karang selamat daribleaching dan terumbu
karang yang tidak terpapar oleh kenaikan suhu permukaan air laut (karena terletak di daerah
yang terekspose upwelling atau daerah yang memiliki arus yang lebih dingin);
3). Mengembangkan jaringan MPA. Desaign jaringan MPA ditujukan untuk mengatasi dampak
perubahan iklim;
4). Mengintegrasikan perubahan iklim dalam perencanaan, manajemen, dan evaluasi MPA.
Penelitian lebih jauh dibutuhkan untuk mengetahui dampak tingginya konsentrasi CO2 di laut,

kemungkinan aklimatisasi atau evolusi organisme dalam merespon perubahan air laut, dan
bagaimana respon manajemen.
Dalam pelaksanaan manajemen MPA, manager dan ilmuwan harus bekerjasama
dengan stakeholder untuk menangani dampak perubahan iklim, dan respon ekosistem, serta
dalam menentukan manajemen respon yang paling baik yang didasarkan pada ilmu pengetahuan.
Dengan demikian diharapkan coral bleaching dapat ditekan.
Namun dalam kenyataannya, pelaksanaan manajemen MPA seringkali mengalami kegagalan,
seperti yang diungkap Lydia et al. 2007. Menurut Lydia et al. 2007 banyak MPA yang diterapkan
di negara berkembang mengalami kegagalan karena kekurangan biaya untuk pelaksanaan dan
monitoring konservasi. Investasi dan manajemen swasta dalam MPA menawarkan solusi
potensial dan telah diaplikasikan dengan hasil yang positif di Sugud Island Marine Conservation
Area (SIMCA) di Sabah, Malaysia. Biaya konservasi diambil dari pengunjung daerah
wisata dive (selam) Lankayan, yang masih termasuk dalam wilayah konservasi SIMCA. Dalam
pelaksanaannya, sistem manajemen tersebut telah membangkitkan sumber keuangan yang
berkelanjutan untuk menutup biaya manajemen daerah konservasi, yang secara terpisah dikelola
oleh organisasi swasta yang disebut Reef Guardian. Ketersediaan biaya yang memadai
memungkinkanReef Guardian berinvestasi dengan memberi pelatihan kepada pegawai, dan
menggunakan teknologi untuk mengawasi pelaksanaan peraturan dan perundang-undangan di
area konservasi. Manajemen swasta dapat mengkonservasi secara efektif biodiversitas yang ada
di MPA, dan berjalan dengan sukses di lokasi-lokasi yang sesuai.
Kegagalan manajemen MPA biasanya juga disebabkan karena kurangnya keterlibatan
masyarakat dalam pelaksanaan konservasi (Camargo at al. 2008). Camargoat al. 2008 memberi
contoh kasus yang terjadi di MPA Cartagena, Colombia, dimana sumberdaya alam di daerah
lindung tersebut mengalami penurunan secara konstan. Penutupan terumbu karang di dalam
maupun diluar MPA juga semakin sedikit, dan menunjukkan telah terjadi degradasi habitat
terumbu karang. Ketidakberhasilan manajemen MPA di Cartagena, Colombia, ternyata
disebabkan oleh tingkat pendapatan yang rendah dan sedikitnya kesempatan masyararakat yang
tinggal di dalam maupun di sekitar kawasan lindung untuk ikut berpartisipasi dalam upaya
konservasi, serta lemahnya komunikasi antara steakholder dengan penguasa. Akibatnya,
masalah-masalah yang timbul di area tersebut adalah masalah-masalah yang terkait erat dengan
eksploitasi sumberdaya alam. Masyarakat tidak mau mematuhi aturan di area konservasi.
Hal di atas menunjukkan bahwa pendirian kawasan lindung adalah perlu, akan tetapi tidak cukup
menjamin tercapainya tujuan konservasi. Mengabaikan peran masyarakat local hanya akan
memperburuk masalah yang terkait dengan sumber daya alam. Keterlibatan masyarakat dalam
pengelolaan ekosistem strategis tampaknya menjadi suatu keharusan untuk meningkatkan
keefektifan kawasan lindung. Dan strategi partisipatif, seperti co-management, akan memberi
kesempatan kepada masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan kebutuhan MPA (Camargo at
al. 2008).

3.

Kesimpulan

Perubahan iklim berpengaruh besar terhadap naiknya suhu permukaan air laut yang merupakan
penyebab utama coral bleaching. Suhu permukaan air laut yang tinggi, menyebabkan simbiosis
antara karang host dan fotosintetik microalgae (zooxantella) terganggu. Naiknya suhu permukaan
air laut juga direspon positif oleh virus, bakteri dan jamur karang, sehingga karang lebih rentan
terserang penyakit dan ikut memicu terjadinya bleaching. Peningkatan suhu permukaan yang
terjadi terus-menerus meberikan ancaman terhadap kelestarian terumbu karang di masa
mendatang. Sehingga upaya perlindungan diperlukan untuk menjaga kelestarian terumbu karang,
misalnya dengan manajemen Marine Protected Area (MPA). Dalam pelaksanaanya, manajemen
MPA dapat melibatkan pihak swasta dan masyarakat supaya upaya konservasi berlangsung
secara efektif dan efisien. Pelibatan pihak swasta dapat membantu mengatasi kekurangan biaya
konservasi. Sedang pelibatan masyarakat dapat menekan terjadinya kerusakan ekosistem karang
akibat eksploitasi oleh masyarakat sekitar.

DAFTAR PUSTAKA

Numberi Freddy. Perubahan Iklim, Implikasinya Terhadap Kehidupan Di Laut, Pesisir dan
pulau-pulau Kecil. Jakarta : Fortuna Prima Makmur, 2009.

Asian Development Bank, Climate Change in Asia ; Indonesia Country Report on Socioeconomic Impacts of Climate Change and a National Response Strategy, Regional Study on
Global Environmental Issues, July 1994.
Center for Global Environmental Research, Data Book of Sea Level Rise, National Institute for
Environmental Studies, Environment Agency of Japan, 1996.
Diposaptono S., Pengaruh Pemanasan Global terhadap Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil di
Indonesia, Direktorat Bina Pesisir Ditjen Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil - DKP, 2002.
http://www.independent.co.uk/environment/climate-change/sinking-without-trace-australiasclimate-change-victims-821136.html.
http://armisusandi.com/articles/journal/Dampak%20Perubahan%20Iklim%20Terhadap
%20Ketinggian%20Muka%20Laut.
Jakarta: LIPI.Burke,Lauretta. Elizabeth Selig. Mark Spalding. Reefs at Risk in outheast Asia.
http://www.wwf.or.id/berita_fakta/pressrelease/?7140/Tekanan-Perubahan-Iklim-terhadapTerumbu-Karang.
Anonymous, http://matoa.org/terumbu-karang-jika-dilindungi-efek-pemanasan-global-dapatdipulihkan/ diakses pada tanggal 12 Maret 2013.
Anonymous. 2011. http://derinazaroni.wordpress.com/2011/03/20/dampak-perubahan-suhuterhadap-terumbu-karang/ diakses tanggal 18 Maret 2013

Anda mungkin juga menyukai