Anda di halaman 1dari 4

MYCOBACTERIUM LEPRAE

1. ETIOLOGI ( PENYEBAB)
Infeksi kronis dengan predileksi pada kulit, membrana mukosa dan saraf
perifer ini disebabkan oleh kuman Mycobacterium leprae yang non motil, bersifat
aerob dan tahan asam, yang dapat menimbulkan infeksi kronis yang bersifat
destruktif. Kuman ini ditularkan langsung dari orang ke orang atau melalui sekret
hidung.
2. GEJALA KLINIS
Awitan lepra bersifat perlahan-lahan dan tersembunyi. Lesi timbul pada
jaringan tubuh yang lebih dingin: kulit saraf superfisial, hidung, faring, laring, mata,
dan testis. Lesi kulit dapat muncul sebagai lesi makular anestetik, pucat dan
berdiameter 1-10 cm; eritema difus atau diskret, nodul infiltrasi berdiameter 1-5 cm;
atau infiltrasi kulit difus. Gangguan neurologi terjadi karena infiltrasi dan penebalan
saraf, yang berakibat anestesi daerah yang terkena, neuritis, parestesia, ulkus tropik,
dan resorpi tulang serta pemendekan jari-jari. Gangguan bentuk anatomi badan yang
terkena terjadi akibat adanya infiltrasi kulit dan keterlibatan saraf pada kasus-kasus
yang tidak diobati dapat menjadi parah.
Penyakit ini dibagi menjadi dua tipe utama, yaitu lepromatosa dan tuberkuloid.
Dengan beberapa stadium intermedia. Pada tipe leptomatosa, perjalanan penyakitnya
progresif dan ganas, dengan lesi kulit nodular; keterlibatan saraf simetrik lambat;
terdapat banyak basil tahan-asam di lesi kulit, bakterimia yang terus-menerus; dan uji
kulit lepromin yang negatif ( ekstraksi jaringan lepromatosa). Pada lepra lepromatosa,
imunitas selilar sangat menurun dan kulit diinfiltrasi oleh sel T supresor. Gangguan
sensorik, motorik, dan trofik : anestesia, neuritis, paralisis, Osteolisis dan resorpsi
falang, deformitas jari tangan dan kaki.
Pada tipe tuberkuloid, perjalanan penyakitnya jinak dan tidak progesif, dengan
lesi kulit makular, keterlibatan saraf asimetrik yang parah dengan awitan yang
mendadak dan pada lesi, terdapat sedikit basil serta uji kulit lepromin yang positif.
Pada lepra tuberkuloid, imunitas selularnya utuh dan kulit diinfiltrasi dengan sel T
helper. Perubahan bentuk wajah penderita atau fasies leonine: muka singa.
Gejala sistemik anemia dan limfadenopati juga dapat muncul. Keterlibatan
mata sering dijumpai. Dapat terjadi amiloidosis.

Masa inkubasi antara 3 sampai 5 tahun atau lebih. Prediposisi terutama pada
anak, kondisi kesehatan yang buruk dan malnutrisi.
Komplikasi lepra dapat berupa : mutilasi tulang, keratitis, iridosklitis sampai
buta, nefrosis, Amiloidosis, superinfeksi dan infeksi sekunder tuberkulosis.
3. PATOGENESIS
Basil tuberkulum merupakan salah satu biota patogen yang paling banyak
didistribusikan. Pada dasarnya patogen dan dapat menyebabkan TBC spontan pada
manusia dan berbagai hewan. Kerentanan hewan berbeda variasi, namun sapi, babi
dan monyet sangat sensitif. Berbagai jenis basil tuberkulum berbeda dalam
patogenisitasnya. Jenis mamalia bersifat patogen bagi manusia atau hewan mamalia
itu sendiri tetapi tidak untuk burung atau hewan berdarah. Jenis burung yang patogen
bagi burung, namun memiliki efek kecil pada mamalia kecuali kelinci dan babi. Jenis
berdarah dingin menghasilkan tuberkulosis pada hewan berdarah dingin dan ikan.
Hewan yang menunjukkan perbedaan ditandai dalam kerentanan mereka
terhadap tuberkulosis eksperimental. Beberapa spesies, misalnya Babi Guinea dan
monyet, sangat rentan terhadap jenis manusia dan sapi. Lainnya seperti anjing, tikus
dan tikus pengerat sangat resisten. Kelompok ketiga, termasuk kambing, kelinci dan
musang, relatif rentan terhadap basil sapi tetapi tahan terhadap basil manusia. Variasi
dalam kerentanan menyediakan tes lebih lanjut untuk diferensiasi kedua jenis
mamalia, dalam prakteknya kelinci adalah hewan yang digunakan untuk tujuan ini.
Injeksi basil tuberkulum menjadi hewan yang rentan, seperti kelinci
percobaan, menghasilkan bentuk fulminan cepat penyebaran tuberculosis berakhir
fatal biasanya dalam 3-5 minggu. Stelah inokulasi subkutan terbentuk baik ditandai
lesi lokal dengan tuberkel kaseosa pada kelenjar regional dan sebagian besar organ,
terutama limpa, hati dan paru-paru. Pada hewan yang relatif tahan, seperti kelinci
untuk jenis manusia, inokulasi subkutan dosis kecil dari organisme menghasilkan lesi
lokal perlahan-lahan berkembang, generalisasi dari infeksi dan kematian dapat terjadi
dalam beberapa kasus setelah beberapa bulan.

4. DIAGNOSA LABOLATORIUM DAN DIAGNOSA KLINIS


Pemeriksaan mikroskopik atas cairan hidung (penderita lepra lepromatosa)
dan dari bahan biopsi kulit atau nodus limfe yang diwarnai dengan pewarnaan
tahan asam akan menemukan kuman lepra (mycobacterium leprae). Atau

pengerokan kulit atau mukosa nasal dengan skalpel atau dari biopsi kulit daun

telinga digoreskan pada slide dan diwarnai dengan tekhnik Ziehl-Neelsen.


Pemeriksaan histopatologi akan menemukan sel lepra (Virchows cell) atau
sel tuberkuloid. Biopsi kulit atau saraf yang menebal memberikan gambaran

histologi yang khas.


Uji kulit : Tes lepromin ( Tes Matsuda), positif pada lepra tuberkuloid, dan
negatif pada lepra lepromatosa.

5. PENATALAKSAAN ATAU TERAPI


Terapi dengan obat-obatan
Lepra tuberkuloid : DDS (4-4-Diamino Diphenyl sulfone)/ Dapson :
50-100 mg/hari per oral selama 2-4 tahun.
Lepra lepromatosa : diberikan 3 jenis obat per oral (Rifampin, DDs
dan clofazimine) selama sedikitnya 10 tahun. Dosis clofazimine : 50mh/hari.
Dosis rifampin, 10 mg/kg berat badan / hari maksimum 600 mg/ hari. Untuk
penderita yang sedang mengalami reaksi lepromatosa (Erythema nodosum
leprosum) yang bersifat fatal jika tidak diobati, diberikan kortikosteroid dosis
tinggi atau thalidomide 300 mg/hari (penderita tidak sedang hamil) per oral
selama beberapa minggu. Juga kortikosteriod dapat diberikan pada penderita
reversal.
Terapi bedah ortopedik dilakukan bila ada indikasi, misalnya terjadinya
deformitas tulang dan gangguan pasa saraf. Rehabilitasi sosial, psikologik dan
ekonomi sebaiknya juga dilakukan terhadap penderita. Upaya pencegahan
lepra dilakukan dengan pemberian DDS pada anak berumur di bawah 16 tahun
yang kontak lama dengan penderita (misalnya anak dengan ibu yang menderita
lepra).

6. KEPUSTAKAAN
1) Jawetz, Melnick et al. Mikrobiologi Kedokteran Edisi 23 (terjemahan).
Jakarta: EGC. 2007. Halm 335-336
2) Fairbrother RW, Taylor Geoffrey. A Text-book of Bacteriology ninth
edition. Halm 316
3) Soedarto, Prof dr PhD. Sinopsis klinis. Surabaya: Airlangga University
Press. 2002. Halm 255-256
4) Bonang, Gerrard dr. Mikrobiologi untuk profesi Kesehatan edisi 14.
Jakarta: EGC. 1982. Halm 311-313

Anda mungkin juga menyukai