Anda di halaman 1dari 62

ISSN 1978-0346

Volume 2, Nomor 1, Januari 2010

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Ngudi Waluyo - Ungaran

JGK

Vol. 2

No. 1

Halaman
1 - 57

Ungaran
Januari 2010

ISSN
1978-0346

ISSN : 1978-0346
Penanggung jawab

: Asaat Pitoyo. S.Kp.,M.Kes.


(Ketua STIKES Ngudi Waluyo)
Pimpinan Umum
: Drs. Sugeng Maryanto, M.Kes.
Wakil Pimpinan Umum : Puji Pranowowati, S.KM, M.Kes.
REDAKSI
Editor Pelaksana
Ketua
: Yuliaji Siswanto, S.KM, M.Kes.(Epid).
Wakil Ketua : Rosalina, S.Kp., M.Kes.
Anggota

Editor Ahli

SEKRETARIAT
BENDAHARA

: Auly Tarmaly, SKM, M.Kes.


Drs. Jatmiko Susilo, Apt, M.Kes.
Puji Purwaningsih, S.Kep. Ns
Heni Hirawati Pranoto, S.SiT
Galeh Septiar Pontang, S.Gz.
: Prof. dr. Siti Fatimah Muis,M.Sc.,Sp.GM
dr. Ari Udiyono, M.Kes
Ir. Suyatno, M.Kes
dr. Kusmiyati D.K , M.Kes.
: Sukarno, S.Kep., Ns.
: Heni Purwaningsih, S.Kep., Ns.

JGK diterbitkan 2 kali dalam satu tahun. Harga langganan : Rp. 25.000,Alamat Redaksi : Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Ngudi Waluyo
Jl. Gedongsongo-Mijen, Ungaran
Tlp: 024-6925408, Fax: 024-6925408
E-mail : www.nwu.ac.id

ii

ISSN 1978-0346
Vol. 2, No. 1, Januari 2010

Daftar Isi

Mitha Purnasari
Sugeng Maryanto
Galeh S. Pontang

Hubungan antara Asupan Serat dengan Kadar


Glukosa Darah pada Penderita Diabetes
Mellitus Tipe II di Wilayah Kerja Puskesmas
Tlogowungu Kabupaten Pati

1-7

Puji Pranowowati
Sugeng Maryanto

Induksi Partikel Terhirup Dengan Kapasitas


Fungsi Paru Pada Pengasap Ikan di
Kelurahan Bandarharjo Semarang

8 - 12

Yuliaji Siswanto
Sri Wahyuni

Pengaruh Senam Hamil Terhadap Lamanya


Persalinan Kala II Pada Ibu Hamil
Primigravida di Kabupaten Semarang

13 - 18

Siti Ambarwati
Auly Tarmali

Faktor Risiko Kejadian Stroke di RSUD dr.


Raden Soedjaji Purwodadi Kabupaten
Grobogan
Studi Postur Kerja Pemecah Batu Ditinjau
Dari Segi Ergonomi di Desa Leyangan
Kecamatan Ungaran Kabupaten Semarang

19 - 23

Sri Wahyuni

Gambaran perilaku anak autis pada anak SD


di SLB Negeri Semarang

36 - 49

Sumarti
Widya Hary Cahyati

Hubungan Antara Konsumsi Makanan


Kariogenik dan Kebiasaan Menggosok Gigi
Dengan Kejadian Karies Gigi pada Anak Pra
Sekolah Di Desa Sekaran Kecamatan Gunung
Pati Semarang

50 - 57

Qori Prasasti
Bayu Wijasena

24 - 35

iii

Hubungan antara Asupan Serat dengan Kadar Glukosa Darah pada


Penderita Diabetes Mellitus Tipe II di Wilayah Kerja Puskesmas
Tlogowungu Kabupaten Pati
Mitha Purnasari *), Sugeng Maryanto**), Galeh S. Pontang**)
*)
Alumnus Program Studi Ilmu Gizi STIKES Ngudi Waluyo
**)
Staf Pengajar Program Studi Ilmu Gizi STIKES Ngudi Waluyo
ABSTRACT
Diabetes mellitus is one of degenerative disease that will increase the incidence in the
future. Changes in food consumption pattern of low fiber, high energy and simple carbohidrates
will affect the prevalence of type II diabetes mellitus. Consumption of high fiber on diabetic
patients may help to control blood glucose levels. The purpose of this study to find out the
correlation between fiber intake with blood glucose levels on type II diabetic patients at
Tlogowungu health centers Pati regency.
This study used a descriptive correlative design with the cross sectional research. Total
samples of study were 35 people, collected by using total population. Fiber intake data was
obtained by using 24 hours food recall form and fasting plasma glucose levels were measured by
enzymatic method (glucose oxidase). Analysis of data used Kendalls Tau correlation test.
Statistical test results show a significant correlation between fiber intake with blood
glucose levels on type II diabetic patients at Tlogowungu health centers Pati regency, shown with
significant values p=0,000 < 0,005. Based on the results of the study, patients with diabetic are
advised to always consume foods that contain high fiber.
Keywords: Fiber Intake, Blood Glucose Levels.
ABSTRAK
Diabetes mellitus merupakan salah satu penyakit degeneratif yang akan meningkat
insidennya di masa mendatang. Perubahan pola konsumsi makanan yang rendah serat, tinggi
energi dan karbohidrat sederhana akan mempengaruhi prevalensi DM tipe II. Konsumsi tinggi
serat pada penderita diabetes dapat membantu mengendalikan kadar glukosa darah. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui hubungan antara asupan serat dengan kadar glukosa darah pada
penderita diabetes mellitus tipe II di wilayah kerja Puskesmas Tlogowungu Kabupaten Pati.
Desain penelitian ini adalah deskriptif kolerasi dengan pendekatan cross sectional.
Jumlah sampel 35 orang, yang diambil dengan teknik total populasi. Data asupan serat diperoleh
dengan metode formulir food recall 24 jam dan kadar glukosa darah puasa diukur dengan metode
enzimatik (glukosa oksidase). Analisis data yang digunakan adalah uji kolerasi Kendalls Tau.
Hasil uji statistik menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara asupan serat
dengan kadar glukosa darah pada penderita diabetes mellitus tipe II di wilayah kerja Puskesmas
Tlogowungu Kabupaten Pati, yang ditunjukkan dengan nilai kemaknaan p=.0,000 < 0,05.
Berdasarkan hasil penelitian bagi pasien diabetes mellitus disarankan untuk selalu mengkonsumsi
makanan yang mengandung tinggi serat.
Kata kunci

: Asupan serat, Kadar Glukosa Darah.

PENDAHULUAN
Diabetes mellitus adalah sekelompok
penyakit metabolik yang dikarakteristikkan
oleh adanya hiperglikemia yang disebabkan
oleh defek pada sekresi, kegiatan insulin atau
keduanya. Pada tubuh yang sehat, pankreas
melepas hormon insulin yang bertugas
mengangkut gula melalui darah ke otot-otot
dan jaringan lain untuk memasok energi.
Diabetes mellitus merupakan gangguan
metabolisme (metabolicsyndrome) distribusi
gula oleh tubuh.5
Diabetes mellitus merupakan salah satu
penyakit degeneratif yang akan meningkat
insidennya di masa mendatang. WHO
memperkirakan jumlah pengidap DM diatas
umur 20 tahun akan mencapai 300 juta orang
pada tahun 2025, artinya ada peningkatan
dua kali lipat dibandingkan jumlah pengidap
DM pada tahun 2000 yang jumlahnya
sebesar 150 juta orang.13
Penyakit
diabetes
mellitus
(DM)
menempati peringkat kedua di dunia setelah
penyakit infeksi. Dari hasil penelitian
nasional untuk penyakit degeneratif, diabetes
mellitus terletak dalam urutan keempat
setelah
penyakit
cardiovaskuler,
celebrovaskuler, dan geriatrik.16
Sekitar 90-95% dari semua kasus DM
yang terdiagnosa adalah diabetes tipe II.
Tanpa memandang gender, ras dan usia, saat
ini Indonesia memasuki epidemi DM tipe II.9
Studi yang dilakukan WHO (2005)
menemukan jumlah pengidap DM tipe II di
Indonesia mencapai peringkat keempat (8,6
juta) dan diprediksikan meningkat menjadi
21,3 juta pada tahun 2030, adapun peringkat
diatasnya adalah India (31,77 juta), Cina
(20,8 juta) dan Amerika (17,7 juta).12
Diabetes jika tidak ditangani dengan baik
akan mengakibatkan timbulnya komplikasi
pada
berbagai organ tubuh seperti mata, ginjal,
jantung, pembuluh darah kaki, syaraf dll.
Dengan penanganan yang baik, komplikasi
kronik diabetes mellitus dapat dicegah atau
setidaknya dihambat perkembangannya.
Pengelolaan diabetes mellitus mencakup
terapi farmakologi dan non farmakologi .15
Terapi farmakologi berupa obat antidiabetik.
Sedangkan
terapi
non
farmakologi
diantaranya yaitu diet (pengaturan makan)
dan olah raga.13
Terapi gizi merupakan salah satu terapi
non
farmakologi
yang
sangat
direkomendasikan bagi penderita diabetes.
Tujuan dari terapi gizi adalah memperbaiki
kebiasaan gizi dan olah raga untuk

mendapatkan kontrol metabolik yang lebih


baik. Prinsip pengaturan makan bagi
penderita diabetes hampir sama dengan
anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu
makanan yang seimbang dan sesuai dengan
kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing
individu.17
Dalam pengaturan
makan untuk
penderita diabetes pemberian tinggi serat
dapat membantu mengendalikan kadar
glukosa darah, hal tersebut sama dengan
hasil penelitian Sheehan et al. (1997). Serat
atau polisakarida non-pati merupakan zat
non-gizi yang berguna untuk diet (dietary
fiber), salah satunya adalah untuk diet
diabetes mellitus.14 The American Diabetic
Association
menyarankan
agar
mengkonsumsi 25-35 gram serat makanan
per hari yang dapat diperoleh dari berbagai
asupan bahan makanan.6
Serat pangan akan meningkatkan
viskositas makanan. Meningkatnya viskositas
akan menurunkan gula sehingga jumlah
glukosa yang diserap oleh usus akan
berkurang. Dengan demikian, kadar glukosa
darah juga akan menurun.1
Dari laporan tiap Puskesmas yang masuk
ke Dinas Kesehatan Kabupaten (DKK) Pati
penyakit DM menempati peringkat ke-4
(2008) dengan jumlah kunjungan sebanyak
1869 orang dan pada tahun 2009 penyakit
DM menempati peringkat ke-3 dengan
jumlah kunjungan sebanyak 1950 orang.3
Data
terakhir
dari
Puskesmas
Tlogowungu Kabupaten Pati, didapat sampai
bulan Januari 2010 jumlah pasiennya
sebanyak 43 orang pasien DM Tipe II /
NIDDM. Sedangkan data dengan melakukan
wawancara dan recall 24 jam kepada 5
penderita diabetes mellitus, didapatkan
konsumsi makanan yang mengandung serat
seperti buah dan sayur dalam jumlah yang
sedikit, yang dibuktikan dengan rata-rata
asupan seratnya 16,5 gram.
Dari uraian tersebut diatas, maka perlu
dilakukan penelitian
mengenai tingkat
konsumsi serta dengan kadar gula darah
penderita diabetes mellitus.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang digunakan adalah
deskriptif korelasi dengan menggunakan
metode pendekatan yang digunakan adalah
cross sectional. Populasi dalam penelitian
ini adalah seluruh penderita diabetes mellitus
tipe II yang periksa dan kontrol di Puskesmas
Tlogowungu Kabupaten Pati sampai bulan
Januari 2010. Sedangkan sampel adalah

keseluruhan jumlah populasi (total populasi)


penderita diabetes mellitus tipe II di
Puskesmas Tlogowungu yang sesuai dengan
kriteria inklusi dan eksklusi yaitu sebanyak
35 orang.
Dalam penelitian ini alat pengumpul
data adalah lembar food recall 24 jam
dilakukan selama 3 hari tidak berturut untuk
mendapatkan data asupan karbohidrat dan
serat. Sedangkan untuk mengukur kadar gula
darah digunakan alat GlucoDr. Sebelum
diambil darah, responden puasa terlebih
dahulu selama 8-10 jam, pengambilan darah
dilakukan oleh petugas Puskesmas.
Data dianalisa dengan menggunakan
teknik uji Kolerasi Kendalls Tau () karena
distribusi datanya tidak normal. Analisa
bertujuan untuk mengetahui hubungan antara
asupan serat dengan kadar glukosa darah
digunakan Untuk mengetahui koefisien suatu
hubungan dan seberapa besar tingkat suatu
hubungan, dengan tingkat signifikansi 5%.
Pengujian dilakukan dengan bantuan
program SPSS (Statistik Package for Social
Science) versi 12.0.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian dilakukan pada penderita
DM tipe II di wilayah Puskesmas
Tlogowungu pada tanggal 12-24 April 2010.
Hasil yang didapatkan kemudian disajikan
dalam bentuk narasi dan tabel. Hasil
penelitian ini didasarkan data yang telah
diperoleh dari 35 responden.
Karakteristik Responden
Tabel 1. Karakteristik Responden
Karakteristik responden n
%
Kelompok Usia
<= 40 tahun
8
22,9
> 40 tahun
27
77,1
Jumlah
35
100,0
Jenis kelamin
Laki-laki
15
42,9
Perempuan
20
57,1
Jumlah
35
100,0
Tingkat Pendidikan
Tidak sekolah
7
20,0
SD
12
34,3
SMP
4
11,4
SMA
7
20,0
Perguruan tinggi
5
14,3
Jumlah
35
100,0
Jenis Pekerjaan
Tidak
15
42,9

bekerja/pensiunan
Pegawai Negeri Sipil
Wiraswasta
Swasta
Jumlah

8
8
4
35

22,9
22,9
11,4
100,0

Berdasarkan tabel 1, jumlah responden


seluruhnya adalah 35 orang. Diketahui,
sebagian besar responden berjenis kelamin
perempuan
(57,1%),
sebagian
besar
responden berusia lebih dari 40 tahun
(77,1%). Pendidikan sebagian besar tamat
SD (34,3%) dan 15 responden (42,9%) tidak
bekerja.
Status Gizi Responden
Tabel
2.
Distribusi
Status
Gizi
Berdasarkan IMT Responden
IMT
n
%
Normal
12
34,3
Berat Badan 14
40,0
Lebih
Obes I
7
20,0
Obes II
2
5,7
Jumlah
35
100,0
Berdasarkan tabel 5.2, sebanyak 14
responden (40,0%) termasuk dalam kategori
status gizi berat badan lebih, sebanyak 12
responden (34,3%) dan obes I sebanyak
(20,0%).
Asupan Karbohidrat Responden
Tabel 3. Distribusi Frekuensi Menurut
Asupan Karbohidrat.
Kategori konsumsi karbohidrat n
%
Cukup : 45-65%
15 42,9
Lebih : 65%
20 57,1
Jumlah
35 100,0
Karbohidrat merupakan salah satu
sumber energi. Persentase karbohidrat
menyumbang setengah atau lebih energi di
dalam diit. Berdasarkan tabel 5.3, sebagian
besar (57,1%) subyek mempunyai konsumsi
karbohidrat termasuk kategori lebih 65%.
Anjuran konsumsi karbohidrat untuk pasien
Diabetes Mellitus Tipe 2 berkisar antara 4565%.

Asupan Serat
Tabel 4. Distribusi Frekuensi Menurut
Konsumsi Serat.
Kategori asupan serat
N
%
Kurang : < 25 gram

27

77,1

Cukup : 25-35 gram

22,9

Jumlah

35

100,0

upaya memperoleh informasi tingkat


konsumsi serat di Indonesia, telah dilakukan
analisis tingkat konsumsi serat dengan data
survei Pemantauan Konsumsi Gizi (PKG)
yang
dikumpulkan
Direktorat
Gizi
Masyarakat, Depkes, RI. Rata-rata tingkat
konsumsi serat penduduk Indonesia secara
umum yaitu sebesar 10.5 gram/orang/hari,
baru mencapai sekitar separuh dari
kecukupan serat yang dianjurkan.3
Kadar Glukosa Darah Puasa

Asupan serat berkisar antara 15,7


sampai 27,4 gram dengan rerata 21,566
3,16. Berdasarkan tabel 5.4, sebagian besar
(77,1%) responden mempunyai asupan serat
termasuk kategori kurang.
Pada penelitian ini diketahui asupan
serat responden berkisar antara 15,7 gram
sampai dengan 27,4 gram, dengan rata-rata
asupan serat sebesar 21,57 gram. Sebanyak
77,1% responden mempunyai tingkat asupan
serat < 25 gr/hari. Pada penderita diabetes
dianjurkan untuk mengkonsumsi serat
sebanyak 25-35 gr/hari, terutama serat larut
air.
Berdasarkan data recall diketahui
asupan serat responden hanya sedikit.
Asupan serat yang kurang pada sampel
terkait dengan pola kebiasaan makan yang
mengkonsumsi sayuran dalam jumlah sedikit
dibandingkan konsumsi karbohidratnya dan
jarang
menkonsumsi
buah,
padahal
kandungan serat banyak terdapat pada sayur
dan buah, hal ini dapat disebabkan karena
kurangnya pengetahuan akan manfaat serat
bagi kesehatan. Dari data recall hanya 22,9%
responden yang memiliki asupan serat sesuai
dengan yang dianjurkan pada penderita
diabetes yaitu 25-35 gr/hari.
Berdasarkan laporan Food Facts Asia,
1999 diketahui bahwa asupan serat orang
Amerika lebih rendah, umumnya 10-15 gr/hr,
sedangkan asupan serat orang Asia seperti
Singapura rata-rata 15 gr/hr dan Hongkong <
10gr/hr.7
Selama
ini
makanan
Indonesia
dipercaya banyak mengandung serat, tetapi
dari hasil survey yang dilakukan di Jakarta,
diketahui bahwa konsumsi serat hanya 19
gram sehari, jauh lebih rendah dari
rekomendasi yang dianjurkan.18
Pada saat ini informasi tentang
konsumsi serat di Indonesia masih sangat
terbatas antara lain karena daftar komposisi
bahan
makanan
Indonesia
belum
mencantumkan kandungan serat. Dalam

Tabel 5. Distribusi Frekuensi Menurut


Kadar Glukosa Darah Puasa.
Kategori kadar glukosa
N
%
darah puasa
Baik : 80-100 mg/dl
3
8,6
Sedang : 110-125 mg/dl

14,3

Tinggi : 126 mg/dl

27

77,1

Jumlah

35

100,0

Kadar
glukosa
darah
puasa
responden berkisar antara 91 sampai 339
mg/dl dengan rerata 179,26 68,35.
Berdasarkan tabel 5.5, sebagian besar
(77,1%) responden mempunyai kadar
glukosa darah puasa masih termasuk kategori
tinggi dibandingkan anjuran untuk pasien
Diabetes Mellitus Tipe 2, yaitu 80-125
mg/dl.
Pada penelitian ini kadar glukosa darah
yang diukur adalah kadar glukosa darah
puasa karena kadar glukosa darah puasa
dapat memberikan gambaran tentang
homeostasis glukosa keseluruhan. Kadar
glukosa darah puasa adalah konsentrasi
glukosa dalam darah yang dinyatakan dalam
satuan mg/dl yang diukur setelah melakukan
puasa selama 8-10 jam. Pemeriksaan kadar
glukosa
darah
puasa
responden
menggunakan uji strip dengan metode
enzimatik (glukosa oksidase).10
Berdasarkan
hasil
penelitian
pengukuran rerata kadar glukosa darah puasa
sampel adalah 179,26 mg/dl, kadar glukosa
minimum 91 mg/dl dan maksimum 339
mg/dl. Hasil pengukuran kadar glukosa darah
puasa sebanyak 77,1% termasuk dalam
kategori tinggi. Tingginya kadar glukosa
darah merupakan masalah yang serius karena
dapat menyebabkan timbulnya penyulit pada
berbagai organ tubuh, seperti pada pembuluh
darah otak (stroke), pembuluh darah mata,
(dapat terjadi kebutaan), pembuluh darah

jantung
(penyakit
jantung
koroner),
pembuluh darah ginjal (penyakit ginjal
kronik), dan pembuluh darah kaki (luka sukar
sembuh).17
Peningkatan kadar glukosa darah dapat
dipengaruhi oleh banyak faktor yaitu tinggi
asupan energi, rendah asupan serat, obesitas,
dan kebiasaan olah raga .17 Pemantauan kadar
glukosa darah bagi penyandang DM
merupakan hal yang penting dan sebagai
bagian dari pengelolaan DM. Hasil
pemantauan tersebut digunakan untuk
menilai manfaat pengobatan dan sebagai
pegangan
penyesuaian
diet,
latihan
jasmani/aktivitas fisik dan obat-obatan untuk
mencapai kadar glukosa darah senormal
mungkin serta terhindar dari berbagai
penyulit.8
Penyandang DM dengan kadar glukosa
darah tidak terkendali mempunyai risiko
untuk terjadinya penyakit jantung koroner
dan penyakit pembuluh darah otak 2 kali
lebih besar, 5 kali lebih mudah menderita
ulkus/gangren, 7 kali lebih mudah mengidap
gagal ginjal terminal, dan 25 kali lebih
mudah mengalami kebutaan akibat kerusakan
retina.17
Hubungan Antara Asupan Serat Dengan
Kadar Glukosa Darah
Berdasarkan uji normalitas data
diketahui bahwa asupan serat normal
sedangkan kadar glukosa darah puasa tidak
normal sehingga uji statistik yang digunakan
yaitu Kendall Taul (). Berikut ini disajikan
tabel yang menampilkan hasil uji statistik
hubungan asupan serat dengan kadar glukosa
darah puasa.
Tabel 6. Hasil Uji Statistik Hubungan
Asupan Serat Dengan Kadar Glukosa
Darah Puasa
Variabel (mg/dl)
Asupan serat (gr)

Kadar GDP

p
-0,485
0,0001

Dari tabel 6, berdasarkan uji Kendall


Tau telah didapat nilai sebesar -0,485
dengan p value = 0,0001. Oleh karena p
value = 0,0001 kurang dari (0,05), maka
dapat diinterprestasikan ada hubungan yang
bermakna antara asupan serat dengan kadar
glukosa darah puasa. Kolerasi yang terjadi
merupakan kolerasi negatif (karena nilai
kolerasi bertanda negatif), ini berarti bahwa
semakin rendah asupan serat maka semakin
tinggi kadar glukosa darah puasa. Tingkat

hubungan tersebut menunjukkan tingkat


hubungan yang sedang karena nilai
kolerasinya terletak antara 0,40-0,599.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui
terdapat hubungan antara asupan serat
dengan kadar glukosa darah pada penderita
diabetes mellitus tipe II di Wilayah kerja
Puskesmas Tlogowungu Kabupaten Pati.
Hubungan antara asupan serat dengan kadar
glukosa darah puasa ditunjukkan dengan = 0,485 dan tingkat signifikan p= 0,0001< 0,05
yang berarti ada hubungan yang bermakna
antara asupan serat dengan kadar glukosa
darah.
Berdasarkan kriteria kolerasi dari
Sugiyono (2007), nilai koefisien kolerasi
nilai hitung terletak antara 0,40-0,599,
maka hubungan antara asupan serat dengan
kadar glukosa darah pada penderita diabetes
mellitus tipe II di Wilayah kerja Puskesmas
Tlogowungu Kabupaten Pati memiliki
hubungan atau kolerasi yang sedang.
Hubungan antara asupan serat dengan kadar
glukosa darah dalam penelitian ini
merupakan hubungan yang negatif, yaitu
semakin rendah asupan serat maka semakin
tinggi kadar glukosa darah. Pada penelitian
ini tidak membedakan jenis serat (serat larut
air dan tidak larut air) yang terkandung di
dalam makanan sehingga tidak diketahui
seberapa besar kontribusi masing-masing
jenis serat dengan kadar glukosa darah
responden.
Mekanisme serat terhadap penurunan
kadar glukosa darah pada penderita DM
sangat
dipengaruhi
oleh
penyerapan
karbohidrat di dalam usus. Semakin rendah
karbohidrat yang diserap maka semakin
rendah kadar glukosa darah dalam hal ini
serat dapat menurunkan efisiensi penyerapan
karbohidrat yang menyebabkan turunnya
respon insulin. Dengan menurunnya respon
insulin, kerja pankreas makin ringan
sehingga dapat memperbaiki fungsi pankreas
dalam produksi insulin.1
Pengaruh serat dalam penurunan kadar
glukosa darah terjadi karena di dalam
lambung, baik serat larut maupun serat tidak
larut mempunyai kemampuan untuk mengisi
lambung,
memperlambat
pengosongan
lambung dan merubah peristaltik lambung.
Hal tersebut dapat menimbulkan rasa
kenyang yang lebih lama dan keterlambatan
penyampaian zat-zat gizi ke usus halus.
Kemudian di usus halus, jenis serat terutama
serat larut air dapat meningkatkan kekentalan
isi usus yang mengakibatkan terjadinya
penurunan

aktivitas enzim amilase dan memperlambat


penyerapan glukosa. Hal tersebut secara
tidak langsung dapat menurunkan kecepatan
difusi pada permukaan mukosa usus halus.
Akibat dari kondisi tersebut maka akan
terjadi penurunan kadar glukosa darah.2
Serat merupakan komponen yang tidak
dapat dicerna dan diserap di dalam usus
halus. Bagian yang tidak dapat dicerna
tersebut, kemudian akan dibawa masuk ke
dalam usus besar. Di dalam usus besar, serat
akan menjadi substrat potensial untuk dapat
difermentasikan oleh bakteri anaerob
menjadi asam lemak rantai pendek jenis
asetat, propionat dan butirat. Asam lemak
rantai pendek jenis propionat dapat
menghambat mobilisasi lemak dan mencegah
proses glukoneogenesis di dalam hati. Kerja
propionat tersebut dapat berpengaruh
terhadap peningkatan sekresi insulin dan
pemakaian glukosa oleh sel hati. Dengan
demikian kadar gula darah menjadi
berkurang (Todesco dkk (1991).4
Studi yang dilakukan oleh Manisha
Chandalia et al dari bagian ilmu penyakit
dalam dan pusat gizi manusia, University of
Texas Southwestern Medical Center, Dallas,
Amerika Serikat membuktikan bahwa
konsumsi makanan tinggi serat (50 gr),
khususnya serat larut dapat memperbaiki
kontrol terhadap gula dalam darah penderita
DM tipe II. Studi tersebut juga menunjukkan
bahwa asupan serat larut yang tinggi dapat
dicapai dengan mengkonsumsi makanan
alami yang kaya serat. Dimana dengan diet
tinggi serat dan sedikit efek sampingnya
dapat diterima baik oleh para penderita. Oleh
karena itu, untuk meningkatkan konsumsi
seratnya, para penderita diabetes dianjurkan
lebih memilih konsumsi makanan dari
sumber alami kaya serat dibandingkan
dengan suplemen tinggi serat.6

serat larut air seperti yang terdapat dalam


sayuran,buah, serealia dan kacang-kacangan
dalam jumlah cukup.

DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.

5.

6.
7.

8.

9.

10.
KESIMPULAN DAN SARAN
Sebagian
besar
responden
mempunyai asupan serat yang kurang
(77,1%) dan kadar glukosa darah puasanya
tinggi yaitu 126 (Sebagian besar responden
(77,1%).
Ada hubungan antara asupan serat
dengan kadar glukosa darah pada penderita
diabetes mellitus tipe 2 di wilayah kerja
Puskesmas Tlogowungu Kabupaten Pati.
Bagi pasien diabetes mellitus
dianjurkan untuk selalu mengkonsumsi
makanan yang mengandung serat terutama

11.

12.

13.

Astawan, M & Tutik, W. 2004. Diet


Sehat dengan Makanan Berserat. Edisi
1. Solo: Tiga Serangkai.
Budiyanto. 2002. Gizi dan Kesehatan.
Malang: Bayu Media dan UMM Press.
Dinkes Kab. Pati. 2009. Profil Kesehatan
Kabupaten Pati.
Immawati, F.R. 2008. Hubungan
Konsumsi Karbohidrat, Total Energi,
Serat, Beban Glikemik dan Latihan
Jasmani dengan Kadar Glukosa Darah
Pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2.
Universitas Diponegoro. Unpublished.
Lemone, P & Burke, K. 2004. Medical
Surgical Nursing: Critical thinking in
client care. 3rd Edition. New Jersey:
Pearson Education.
Lubis, Z. 2009. Hidup Sehat dengan
Makanan Kaya Serat. Bogor: IPB Press.
Olwin, N; Cornelis, A. 2005. Diet Sehat
Dengan Serat. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Pemberantasan Penyakit.
Jakarta. //http.www.Kalbefarma.com
Pradana, S. Pemantauan Pengendalian
Diabetes Mellitus. 2005. Dalam
Penatalaksanaan
Diabetes
Melitus
Terpadu. Jakarta: Pusat Diabetes dan
Lipid RSCM FKUI.
Rosalina. 2008. Hubungan Asupan
Karbohidrat, Serat, dan Indeks Massa
Tubuh (IMT) dengan Kadar Glukosa
Darah Penderita Diabetes Mellitus Tipe
2 di RSUD dr. Agoesdjam Ketapang.
Universitas Diponegoro. Unpublished.
Sacher, R. A. 2004. Tinjauan Klinis
Hasil Pemeriksaan Laboratorium. Edisi
11. Jakarta: EGC.
Smeltzer, S.C. 2002. Buku Ajar
Keperawatan Medikal-Bedah Brunner &
Suddarth. Ed 8. Vol. 1. Jakarta: EGC.
Soegondo, S. 2005. Prinsip Pengobatan
Diabetes, Insulin dan Obat Hipoglikemik
Oral. Dalam Penatalaksanaan Diabetes
Melitus Terpadu. Jakarta: Pusat Diabetes
dan Lipid RSCM FKUI.
Sudoyo, A.W; Setiyohadi, B; Alwi, I;
Simadibrata ,K. M; Setiati, S. 2006.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta:
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI

14. Sulistijani, D.A. 2001. Sehat dengan


Menu
Berserat.
Jakarta:
Trubus
Agriwidya.
15. Susanto, H. 2007. Faktor-faktor yang
Berhubunngan
dengan
Kepatuhan
Penderita Diabetes Mellitus dengan
Pengelolaan Diet di Unit Rawat Jalan
Rumah Sakit Sunan Kalijaga Demak.
Stikes Ngudi Waluyo. Unpublished.
16. Tjokroprawiro, A. 2002. Petunjuk hidup
sehat untuk para diabetes. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama.

17. Waspadji, S . 2005. Diabetes Melitus:


Mekanisme Dasar dan Pengelolaannya
yang Rasional. Dalam Penatalaksanaan
Diabetes Melitus Terpadu. Jakarta: Pusat
Diabetes dan Lipid RSCM FK UI.
18. Waspadji, S; Sukardji, K; Octarina, M.
2002. Pedoman Diet Diabetes Mellitus.

Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Induksi Partikel Terhirup Dalam Asap Terhadap Kapasitas Fungsi Paru


Pada Pengrajin Pengasapan Ikan Di Kelurahan Bandarharjo Kecamatan
Semarang Utara Kota Semarang
Puji Pranowowati*), Sugeng Maryanto**)
*)
Staf Pengajar Program Studi Kesehatan masyarakat STIKES Ngudi Waluyo
**)
Staf Pengajar Program Studi Ilmu Gizi STIKES Ngudi Waluyo
ABSTRAK
Industri dan produknya mempunyai dampak yang positif dan negatif kepada manusia. Di
lingkungan pengasapan ikan, permasalahan asap masih menjadi permasalahan utama. Asap dapat
mengandung bahan kimia yang dapat mengganggu kesehatan meliputi partikulat dan komponen
gas dan partikulat yang terdapat dalam asap dapat menyebabkan penurunan fungsi paru.
Berdasarkan wawancara dengan pengrajin didapatkan data 80% pengrajin pengasapan ikan
mengeluh mengalami batuk, 50% mengeluh mengalami sesak nafas dan 30% mengeluh
mengalami nyeri dada.
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui hubungan induksi partikel terhirup dalam asap dengan
kapasitas fungsi paru pada pengrajin pengasapan ikan di Kelurahan bandarharjo Kecamatan
semarang Utara Kota Semarang. Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan desain
cross sectional, jumlah sampel 45 orang. Pemilihan sampel dilakukan dengan simpel random
sampling. Analisis data menggunakan uji korelasi pearson product moment.
Hasil penelitian berdasarkan uji korelasi pearson product moment menemukan bahwa pajanan
partikel dalam asap berhubungan dengan kapasitas fungsi paru p=0,002 dan menunjukkan
hubungan yang sedang (r=0,444).
Rekomendasi penelitian ini diharapkan pekerja memakai masker untuk menghindari asap, ruangan
pengasapan ikan diberi ventilasi dan membuat exhaust ventilation untuk menangkap asap hasil
samping dari pengasapan ikan.
Kata kunci : partikel terhirup (dalam asap), kapasitas fungsi paru, pengasapan ikan
Kepustakaan : 37(1987-2007)

PENDAHULUAN
Industri dan produknya mempunyai
dampak yang positif dan negatif kepada
manusia. Di satu pihak akan memberikan
keuntungan berupa memberikan lapangan
pekerjaan, dan akhirnya meningkatkan
ekonomi dan sosial masyarakat. Di pihak
lain akan timbul dampak negatif karena
pajanan zat-zat yang terjadi pada proses
industrialisasi atau oleh karena produk hasil
industri tersebut. Pajanan zat-zat tersebut
mempengaruhi kesehatan lingkungan antara
lain berupa pencemaran udara. 1
Pencemaran udara dapat berupa
partikel atau gas hasil dari proses industri
yang dapat menimbulkan berbagai penyakit
dan gangguan fungsi tubuh. Penyakit dan
kelainan yang timbul akibat pajanan zat-zat
tersebut bervariasi tergantung pada organ
yang terkena dan tingkat pajanan yang
terjadi. Gangguan pada organ tubuh dapat
menimbulkan kelainan kulit, gangguan

intestinal, kelainan mata serta penyakitpenyakit saluran pernafasan dan penyakit


paru. 2
Fungsi paru sangat bervariasi dan
dipengaruhi oleh usia, tinggi badan, jenis
kelamin, suku, berat badan dan bentuk
tubuh.3 Disamping itu juga dipengaruhi oleh
keadaan bahan yang diinhalasi (gas, debu
dan uap) serta lama pajanan. Berbagai faktor
berpengaruh dalam timbulnya gangguan
saluran nafas atau penyakit paru akibat debu
diantaranya faktor debu meliputi ukuran
partikel, bentuk, konsentrasi, daya larut dan
sifat kimiawi. Faktor individual yang
mempengaruhi
meliputi
mekanisme
pertahanan paru, anatomi dan fisiologi
saluran nafas dan faktor imunologis.4
Debu yang masuk ke saluran nafas
akan menyebabkan timbulnya reaksi
mekanisme pertahanan non spesifik berupa
batuk, bersin, gangguan transport mukosilier
dan fagositosis oleh makrofag. Inhalasi debu

dalam paru-paru menyebabkan kalainan dan


kerusakan
paru
yang
disebut
pneumokoniosis. Inhalasi debu dalam paruparu akan menimbulkan reaksi fibrosis.
Fibrosis yang luas akan mengakibatkan
elastisitas, kapasitas total, kapasitas vital dan
volume residu paru berkurang sehingga
timbul penyakit paru restriktif.4 Penyakit
paru kerja merupakan penyebab utama
ketidakmampuan atau kecacatan, kehilangan
hari kerja dan kematian pada para pekerja.2
Di lingkungan pengasapan ikan,
permasalahan
asap
masih
menjadi
permasalahan utama. Asap berasal dari
proses pengasapan ikan dengan cara
membakar batok kelapa pada tungku
sederhana. Asap dapat mengandung bahan
kimia yang dapat mengganggu kesehatan
meliputi partikulat dan komponen gas
seperti karbonmonoksida, formaldehid,
akrolein, benzene, nitrogen dioksida dan
ozon. Partikulat yang terdapat dalam asap
dapat menyebabkan penurunan fungsi paru.5
Kelainan fungsi paru dapat terdeteksi
dengan
pemeriksaan
fungsi
paru
menggunakan spirometri. Pemeriksaan ini
merupakan penilaian yang obyektif untuk
evaluasi gangguan respirasi. Pada umumnya
uji faal paru dengan spirometri terdiri dari
kapasitas vital paksa (Forced Vital
Capacity), kapasitas ekspirasi paksa satu
detik (FEV1) dan persentase FEV1
terhadap FVC.1
Berdasarkan survey awal terdapat 47
usaha pengasapan ikan yang terdiri dari 80
pengrajin. Pengrajin pengasapan ikan
terpajan oleh asap yang bersumber dari
tungku pengasapan yang dibuat secara
sederhana dari drum bekas. Sedangkan jarak
pengrajin dengan tungku pengasapan hanya
sekitar 0,5 1 meter. Di samping itu
beberapa ruang pengasapan ikan tidak
mempunyai ventilasi kecuali pintu masuk.
Hal ini memungkinkan pengrajin terpajan
oleh asap hasil pengasapan ikan.
Berdasarkan wawancara dengan
pengrajin didapatkan data 80% pengrajin
pengasapan ikan mengeluh mengalami
batuk, 50% mengeluh mengalami sesak
nafas dan 30% mengeluh mengalami nyeri
dada. Menurut penelitian Sumanto (1999),
74 % pengrajin pengasapan ikan mengalami
gangguan fungsi paru. 6
MATERI DAN METODE
Penelitian ini merupakan penelitian
analitik dan endekatan yang digunakan
adalah cross sectional. Populasi penelitian

adalah pengrajin pengasapan ikan di


Kelurahan Bandarharjo Kota Semarang.
Teknik pengambilan sampel menggunakan
simpel random sampling sebanyak 45 orang
dengan kriteria inklusi lama bekerja 5
tahun dan kriteria eksklusinya adalah
merokok, mempunyai riwayat pekerjaan
yang diperkirakan dapat menimbulkan
penyakit saluran nafas seperti : perkayuan,
pertambangan serta sebelum bekerja sudah
menderita penyakit saluran nafas, asma,
penyakit jantung. Variabel bebas berupa
partikel terhirup dalama sap yang diukur
dengan Personal Dust Sampler merk SKC
Model 224-PCXR-8, dan variable terikatnya
adalah fungsi paru yang diukur dengan
Spirometer merk AS 300. Analisis bivariat
menggunakan uji statistik Pearson-Product
Momment.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum daerah Penelitian
Kelurahan Bandarharjo merupakan
daerah dataran rendah/daerah pantai dengan
ketinggian berkisar antara 0-0,75 meter di
atas permukaan air laut. Mata pencaharian
sebagian besar masyarakat Bandarharjo
adalah nelayan, dan dikenal sebagai salah
satu sentra industri pengasapan ikan
tradisional. Tempat pengasapan ikan terletak
di bantaran kali Semarang, tepatnya di
sebelah timur sungai dan di sebelah selatan
jalan arteri utara.
Industri
pengasapan
ikan
di
Kelurahan Bandarharjo terdapat 47 usaha
pengasapan ikan. Tiap usaha pengasapan
ikan mengasapi ikan antara 50 kg-1 ton ikan
setiap hari dengan jumlah tenaga kerja 2-20
orang tiap usaha pengasapan ikan. Jumlah
tenaga kerja yang ada di lingkungan usaha
pengasapan ikan Bandarharjo terdapat 180
orang pengrajin.
Pengasap ikan memulai kegiatan
pengasapan ikan sejak jam 07.00 sampai jam
17.00 WIB. Kegiatan pengasapan ikan yang
dilakukan
meliputi
pemilahan
ikan,
pengirisan ikan, pengasapan ikan dan ikan
siap dipasarkan. Pengasapan ikan dilakukan
dengan tungku pengasapan yang dibuat
secara tradisional dan sederhana dari drum
bekas dengan bahan bakar batok arang
kelapa. Pengrajin duduk dekat dengan
tungku pengasapan yang berjarak sekitar
0,5- 1 meter.
Keadaan ruangan pengasapan ada
yang di dalam ruangan tertutup dan ada juga
yang terletak di ruangan terbuka. Pengrajin
pengasapan ikan yang berada di ruangan

tertutup maupun terbuka terpajan asap hasil


pengasapan ikan. Konstruksi cerobong asap
dibuat sangat sederhana yaitu dari susunan
beberapa lembar seng. Ketinggian cerobong
hanya sekitar 4-5 meter sehingga tampak
asap tebal menyelimuti tempat pengasapan
dan sekitarnya. Para pengarjin menghindari
asap dengan cara menyesuaikan diri
berlawanan arah angin supaya asap tidak
langsung mengenai pengrajin. Cerobong
asap hanya berfungsi mengarahkan asap.
Karakteristik responden
Penelitian ini melibatkan 45 pekerja
pengrajin pengasapan ikan di Kelurahan
Bandarharjo
Kota
Semarang.
Hasil
penelitian diperoleh data:
Tabel 1 Karakteristik Responden Pengrajin
Pengasapan Ikan di Keluarahan
Bandarharjo Tahun 2008
No
1.

2.

3.

Karakteristik
Pendidikan
a. Tidak tamat SD
b. Tamat SD
c. Tamat SMP
Umur
a. 30 tahun
b. > 30 tahun
Masa Kerja
a. Normal
b. Gemuk

Jumlah

Persentase
(%)

15
21
9

33,33
46,67
20,00

13
32

28,89
71,11

23
22

51,11
48,89

Partikel terhirup dalam asap


Proses pengasapan ikan menghasilkan
banyak asap yang berasal dari pembakaran
batok kelapa pada tungku yang sederhana.
Proses pengasapan ikan hampir sama dengan
komposisi asap akibat kebakaran. Asap
mengandung berbagai komponen yang dapat
merugikan kesehatan baik dalam bentuk gas
maupun partikel.7
Partikel debu yang dapat dihirup pada
pernafasan manusia adalah ukuran 0,1
sampai 5-10 mikron. Partikel ini akan berada
di atmosfer sebagai suspended particulate
matter dan mempunyai pengaruh besar
untuk menimbulkan kerusakan jaringan dan
faal paru.8
Partikel terhirup dalam asap diukur
dengan Personal Dust Sampler dengan
diameter filter respirable berukuran 37 mm
(3,7 cm) dan diameter pori-pori filter 0,8 m
(mili mikron) yang terbuat dari ester
selulosa serta flow 2 l/menit.

Partikel terhirup dalam asap diukur


dengan Personal Dust Sampler. Rata-rata
jumlah pajanan partikel dalam asap yang
terhirup responden 2,21 mg/m3, dengan SD
1,11 dan nilai minimal 0,45 mg/m3, nilai
maksimal 4,50 mg/m3.
Nilai ambang batas partikel terhirup
menurut Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja
No SE-01/MEN/1997 tentang NAB faktor
kimia adalah 3 mg/m3. Terdapat 12 orang
(26,7%) menghirup partikel dalam asap
melebihi 3 mg/m3 (lebih dari nilai ambang
batas).
Hal ini disebabkan ruangan untuk
pengasapan ikan tidak ada ventilasi kecuali
pintu masuk dan banyak pengrajin yang
masih terpajan asap terutama pada waktu
arah angin menuju ke arah pengrajin. Solusi
yang perlu dipikirkan adalah dibuat alat
exhaust ventilation yang diharapkan dapat
menghisap asap hasil pengasapan ikan.
Tabel 2. Distribusi data pengarajin pengasap
ikan menurut kadar partikel
terhirup dalam asap di Kelurahan
Bandarharjo Tahun 2008
Kategori
partikel
NAB
> NAB
Jumlah

Frekuensi
32
13
45

Persentase
(%)
71,11
28,89
100,00

Fungsi paru
Penyakit paru dapat dilihat secara
subyektif dari tanda dan gejala penyakit
pernafasan yaitu batuk, sputum yang
berlebihan, batuk darah, sesak nafas dan
nyeri dada.9
Hal ini juga dapat dilihat bahwa
responden yang mengalami batuk ada 33
responden (73,3%). Batuk merupakan suatu
refleks protektif yang timbul akibat iritasi
percabangan trakeobronkial. Kemampuan
untuk batuk merupakan mekanisme yang
penting untuk membersihkan saluran nafas
bagian bawah. Batuk merupakan gejala yang
paling umum dari penyakit pernafasan.
Inhalasi debu, asap dan benda-benda kecil
merupakan penyebab paling sering dari
batuk.10
Responden yang mengeluarkan dahak
atau sputum ada 28 responden (62,2%).
Sputum merupakan mukus yang berlebihan
pada saluran pernafasan. Pembentukan
mukus
yang
berlebihan
disebabkan
gangguan fisik, kimia atau infeksi pada
10

membran mukosa. Mukus yang berlebihan


akan dibatukkan dalam bentuk sputum.10
Sesak nafas atau dispnea juga dilami
oleh 35 responden (77,7%). Dispnea atau
sesak nafas adalah perasaan sulit bernafas
dan merupakan gejala utama dari penyakit
kardiopulmonar. Seorang yang mengalami
dispena sering mengeluh nafasnya menjadi
pendek atau merasa tercekik. Dispnea
merupakan gejala yang paling nyata pada
penyakit yang menyerang percabangan
trakeobronkial, parenkim paru-paru dan
rongga pleura.10
Responden
yang
mengeluh
mengalami nyeri dada ada 30 responden
(66,6%). Penyebab nyeri dada salah satunya
akibat radang pleura (pleuritis). Penyebab
utama nyeri pleuritik adalah infeksi paruparu atau infark.10
Gangguan fungsi paru bisa dilihat
dari prediksi nilai Forced Vital Capacity
(FVC) dan perbandingan antara Forced
Expiratory Volume 1 (FEV1) dengan Forced
Vital Capacity (FVC).
Tabel 3. Distribusi data pengrajin pengasap
ikan menurut gangguan fungsi paru
di Kelurahan Bandarharjo Tahun
2008
Kategori
Partikel
Normal
Obstruksi
Restriksi
Campuran
(Combined)
Jumlah

Frekuensi
8
19
2
16

Persentase
(%)
17,78
42,22
4,44
35,56

45

100,0

Fungsi paru juga bisa dilihat dari


penurunan nilai FEV1. FEV1 merupakan
fraksi volume kapasitas vital yang
dikeluarkan pada satu detik pertama melalui
ekspirasi paksa (volume ekspirasi paksa 1
detik). Pada penderita asma ditemukan
kapasitas vital yang normal tapi terjadi
penurunan nilai FEV1.11
Hubungan kadar pajanan partikel dalam
asap dengan fungsi paru
Hasil analisis korelasi pearson
product moment menunjukkan nilai p=0,001
yang artinya ada hubungan antara kadar
pajanan partikel terhirup dalam asap dengan
kapasitas fungsi paru. Nilai r=0,444
menunjukkan hubungan antara kadar
pajanan partikel terhirup dalam asap dengan

kapasitas
fungsi
paru
menunjukkan
hubungan yang sedang.
Inhalasi debu atau partikel dalam
paru-paru akan menimbulkan reaksi fibrosis.
Debu
merusak
makrofag
yang
memfagositosis
debu
tersebut
dan
mengakibatkan
pembentukan
nodula
fibrotik. Fibrosis yang luas timbul akibat
penyatuan nodula-nodula fibrotik. Fibrosis
yang luas akan mengakibatkan elastisitas,
kapasitas total, kapasitas vital dan volume
residu paru berkurang sehingga timbul
penyakit paru.9
Partikel yang terkandung dalam asap
kebakaran mempunyai potensi merusak
sistem mukosilier (silia pada mukosa yang
berfungsi mengeluarkan benda asing) dan
merangsang proses fibrosis jaringan paru
dan dapat menimbulkan kerusakan paru
seperti bronkhitis kronik, emphisema serta
fibrosis paru akibat partikel polutan dan
mengandung kristal partikel dalam jaringan
paru yang dikenal dengan pneumokoniosis.12
KESIMPULAN
1. Rata-rata pajanan partikel dalam
asap yang terhirup responden 2,19
mg/m3
2. Penurunan nilai FEV1 pada
pengrajin
pengasapan
ikan
menunjukkan penurunan rata-rata
FEV1 adalah 737,8 ml
3. Ada hubungan antara induksi
partikel terhirup dalam asap dengan
kapasitas fungsi paru dengan nilai
p=0,002
SARAN
1. Ruangan
pengasapan
ikan
hendaknya diberi ventilasi sehingga
asap bisa keluar dari ruangan
2. Hendaknya
membuat
exhaust
ventilation yang berfungsi untuk
menghisap asap hasil pengasapan
ikan.
3. Pengrajin
pengasapan
ikan
diharapkan
memakai
masker
sehingga dapat mengurangi pajanan
partikel dalam asap yang terhirup

11

DAFTAR PUSTAKA
1. Mangunnegoro, H . Diagnosis dan
penilaian cacat pada penyakit paru
kerja. Dewan keselamatan dan
Kesehatan Kerja Nasional, Jakarta,
2006
2. Yunus, F. Diagnosis Penyakit Paru
Kerja.Cermin Dunia Kedokteran
No 74 Tahun 1992.diakses dari
http://www.kalbe.co.id
3. Hicks
GH.
Ventilation.
In:
Cardiopulmonary anatomy and
physiology. Philadelphia: W.B.
Saunders Company; 2000
4. Yunus, F. Dampak debu industri
pada
paru
pekerja
dan
pengendaliannya. Cermin Dunia
Kedokteran No 115 Tahun 1997.
diakses dari http://www.kalbe.co.id
5. Aditama, TY. Penilaian Polusi
Udara.
Jurnal
Respirologi
Indonesia Vol 19 No 1 Januari
1999
6. Sumanto, Hubungan lama kerja di
ruang pengasapan dengan fungsi

paru pada pengrajin pengasapan


ikan di Kel Bandarharjo Kota
Semarang, Skripsi, FKM Undip,
Semarang, 2000
7. Fardiaz,
S.
Epidemiologi
Lingkungan.
Gadjah
mada
university Press, Yogyakarta, 1989
8. Murti, B. Penerapan Metode
Statistik Non-Parametrik dalam
Ilmu-ilmu Kesehatan. Gramedia.
Jakarta.1996
9. Yunus F. Faal Paru dan Olah
Raga. Jurnal Respirologi Indonesia
Volume 17 No 2 April 1997.
10. Price & Wilson. Patofisiologi
Konsep
Klinis
Proses-proses
Penyakit. Edisi 4 Buku II, EGC,
Jakarta, 1994
11. Sherwood, L. Fisiologi Manusia
dari Sel ke Sistem, EGC, Jakarta,
2001
12. Awaloedin, M, Polusi Udara
karena Kebakaran Hutan. Diakses
dari http/www.haze-online.or.id

12

Pengaruh Senam Hamil Terhadap Lamanya Persalinan Kala II Pada Ibu


Hamil Primigravida di Kabupaten Semarang
Yuliaji Siswanto*), Sri Wahyuni*)
*)
Staf Pengajar Program Studi Kesehatan Masyarakat STIKES Ngudi Waluyo
ABSTRAK

Latar Belakang : Sampai sekarang angka kematian maternal dan perinatal di Indonesia masih
cukup tinggi. Salah satu penyebab tingginya kematian maternal dan perinatal di Indonesia dan
negara-negara berkembang lainnya adalah akibat persalinan lama. Ada tiga faktor utama penyebab
persalinan lama yaitu faktor tenaga (power), jalan lahir (passage) dan janin (passanger). Sampai
saat ini yang dapat dimanipulasi atau dikendalikan adalah masalah tenaga, yaitu kontraksi uterus
dan kekuatan ibu mengejan saat persalinan. Tenaga dari ibu ini dapat ditingkatkan dengan senam
hamil. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui perbedaan lamanya persalian kala 2 pada ibu hamil
primigravida yang melakukan senam hamil dan tidak melakukan senam hamil di Kabupaten
Semarang.
Metode : Penelitian ini merupakan studi quasi eksperimental dengan sampel ibu hamil yang
melakukan antenatal care di bidan praktik swasta di Kabupaten Semarang. Sampel sebanyak 80
orang yang memenuhi kriteria inklusi, 40 sampel melakukan latihan senam hamil sampai saat
melahirkan dan 40 sampel lainnya tanpa latihan senam hamil (kontrol). Hasil yang didapat
dibandingkan dan diuji statistik menggunakan uji Mann-Whitney.
Hasil : Rerata lama persalinan kala 2 kelompok ibu yang senam hamil lebih rendah dibandingkan
kelompok ibu yang tidak melakukan senam hamil, yaitu 37,05 15,91 berbanding 50,77 23,77
menit. Lama persalinan kala 2 kelompok ibu yang senam hamil lebih singkat dibandingkan
kelompok ibu yang tidak melakukan senam hamil (p=0,007).
Kesimpulan : Lama persalinan kala 2 kelompok ibu yang senam hamil lebih singkat secara
statistik dibandingkan kelompok ibu yang tidak melakukan senam hamil (p=0,007), jadi dapat
disimpulkan bahwa senam hamil berpengaruh terhadap lamanya persalinan kala 2.
Kata kunci : senam hamil, lama persalinan kala 2, hamil normal

PENDAHULUAN
Kehamilan
dan
persalinan
menimbulkan resiko kesehatan yang besar,
termasuk bagi perempuan yang tidak
mempunyai masalah kesehatan sebelumnya.
Sekitar 40% dari ibu hamil mengalami
masalah kesehatan yang berkaitan dengan
kehamilan, dan 15% dari ibu hamil
menderita komplikasi jangka panjang atau
yang mengancam jiwa(1). Seperempat dari
wanita pada usia reproduksi di negara
berkembang mengalami kesulitan yang
berhubungan dengan kehamilan, persalinan,
dan masa nifas(2). Menurut data dari World
Health Organizations (WHO) pada tahun
2003, Indonesia tercatat sebagai negara yang
memiliki angka kematian ibu (AKI) tertinggi

di Asia Tenggara yaitu 470 per 100.000


kelahiran hidup. Penyebab langsung
kematian ibu adalah komplikasi kehamilan,
persalinan dan nifas yang tidak tertangani
dengan baik. Kematian ibu ini terutama
diakibatkan karena pendarahan, infeksi,
eklampsia (gangguan akibat tekanan darah
tinggi saat kehamilan), komplikasi aborsi,
persalinan lama(3). Dari penelitian Senewe
(2003), sekitar 23% responden yang
mengalami
komplikasi
pada
waktu
persalinan dimana komplikasi terbesar
adalah persalinan lama yaitu sebesar
15,4%(4).
Berdasarkan hasil Survei Kesehatan
Rumah Tangga (SKRT) dan Survei
Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI)

13

tahun 2002/2003 diperkirakan AKI sebesar


307 per 100.000 kelahiran hidup dan AKB
sebesar 35 per 1.000 kelahiran hidup. Angka
kematian ibu di Jawa Tengah tahun 2004
berdasarkan hasil Survey Kesehatan Daerah
sebesar 155,22 per 100.000 kelahiran hidup.
Kejadian kematian ibu maternal paling
banyak adalah waktu bersalin sebesar 49,5
%, kemudian disusul waktu hamil sebesar
26,0 % dan pada waktu nifas 24,5 %.
Sedangkan AKB Provinsi Jawa Tengah
tahun 2004 sebesar 14,23 per 1.000
kelahiran hidup. Sementara itu, AKB
Kabupaten Semarang 7,77 per 1.000
kelahiran hidup, dan ditemukan ada 9 kasus
kematian ibu dari 9.910 kelahiran hidup(5).
Angka kematian maternal dan
perinatal merupakan indikator keberhasilan
pelayanan kesehatan, khususnya pelayanan
kebidanan dan perinatal. Sampai sekarang
angka kematian maternal dan perinatal di
Indonesia masih cukup tinggi. Salah satu
penyebab tingginya kematian maternal dan
perinatal di Indonesia dan negara-negara
berkembang
lainnya
adalah
akibat
persalinan lama(6).
Persalinan lama
merupakan penyebab kematian perinatal dua
setengah kali lebih besar bila dibandingkan
dengan persalinan normal(7). Kematian
perinatal diperkirakan karena bersangkut
paut dengan keadaan/kondisi ibu yang
melahirkan dan tindakan pertolongan pada
saat persalinan dan keadaan/kondisi
kesehatan bayi. Salah satu faktor yang
mempengaruhi kematian perinatal adalah
persalinan lama. Salah satu sebab tingginya
kematian maternal dan perinatal di Indonesia
dan negara-negara sedang berkembang
lainnya adalah distosia yang menyebabkan
timbulnya persalinan lama dan persalinan
kasep.
Penelitian
di
negara
maju
menunjukkan hubungan yang kuat antara
lama
persalinan
dengan
kematian
perinatal(8).
Dalam rangka menekan serendah
mungkin angka kematian maternal dan
angka kematian perinatal, sesuai dengan
tujuan pembangunan jangka panjang,
beberapa publikasi mengatakan bahwa
senam hamil dapat memperpendek kala 2
persalinan. Selain itu, senam hamil dapat
menurunkan insidensi persalinan tindakan
sebesar 4 kali bila dibandingkan dengan
wanita hamil yang tidak melakukan senam,
dapat menurunkan terjadinya stimulasi pada

persalinan kala 1 sebesar empat setengah


kali(7).
Ada tiga faktor utama penyebab
persalinan lama yaitu faktor tenaga (power),
jalan lahir (passage) dan janin (passanger).
Sampai saat ini yang dapat dimanipulasi
atau dikendalikan adalah masalah tenaga.
Tenaga yang dimaksud disini adalah
kontraksi uterus dan kekuatan ibu mengejan
saat persalinan. Tenaga dari ibu ini dapat
ditingkatkan dengan senam hamil. Senam
hamil merupakan suatu program latihan bagi
ibu hamil sehat untuk mempersiapkan
kondisi fisik ibu dengan menjaga kondisi
otot-otot dan persendian yang berperan
dalam
proses
persalinan,
serta
mempersiapkan kondisi psikis ibu terutama
menumbuhkan kepercayaan diri dalam
menghadapi persalinan(6).
Pada sebuah serial penelitian atas
876 pasien hamil di Pennsylvania dan New
York yang melakukan olah raga ringan,
persalinan lebih mudah di kalangan yang
melakukan secara teratur dibandingkan yang
hanya latihan sedikit atau yang tidak
melakukan latihan sama sekali. Beberapa
literatur mengatakan bahwa wanita hamil
yang melakukan senan hamil akan
mengalami resiko persalinan tindakan yang
lebih kecil dari yang tidak senam. Wanita
hamil yang secara teratur melakukan lari
atau aerobik selama kehamilan sedikit yang
memperoleh tindakan medis (seperti
penggunaan oksitosin, persalinan dengan
forsep, dan section caesarea) dan lebih dari
85 % persalinannya pervaginam tanpa
komplikasi serta lama persalinannya lebih
singkat(6).
Masalah senam hamil sendiri mulai
mendapatkan perhatian masyarakat dan
banyak diselenggarakan oleh rumah sakit
sehingga kesehatan jasmani dan rohani dapat
ditingkatkan serta dapat menghilangkan rasa
takut dalam menghadapi persalinan. Rasa
takut dan kurang percaya diri menghadapi
persalinan sering menderita kesakitan saat
kekuatannya diperlukan untuk mendorong
janin lahir, terutama bagi wanita yang untuk
pertama kalinya bersalin. Dengan senam
hamil
serta
latihan
untuk
mengkoordinasikan semua kekuatan saat
persalinan diharapkan berjalan secara
normal, tidak terlalu takut, akan mengurangi
rasa sakit dan mempunyai kepercayaan diri
yang tetap mantap(9).

14

Sebagian besar dari komplikasikomplikasi persalinan yang menyebabkan


kematian ibu tersebut sebenarnya dapat
ditangani melalui penerapan teknologi
kesehatan yang ada. Dengan kata lain
sebagian besar dari kematian ibu dapat
dicegah(3). Penelitian yang dilakukan oleh
Mulyata (2000) di Solo, terhadap 68 ibu
hamil ternyata senam hamil terbukti
memberikan kontribusi yang besar untuk
melancarkan proses persalinan(10).
Ibu hamil di wilayah Kabupaten
Semarang belum banyak yang mengikuti
senam hamil. Hal tersebut kemungkinan
disebabkan karena kurangnya pengetahuan
masyarakat/ibu hamil akan manfaat senam
hamil dan belum adanya penyelenggaraan
senam hamil oleh pelayanan kesehatan, baik
puskesmas, rumah bersalin ataupun bidan
praktik swasta.
Berdasarkan kenyataan yang ada di
daerah penelitian bahwa ketidaktahuan
masyarakat/ibu hamil akan manfaat dari
senam hamil dan belum adanya pelayanan
kesehatan yang menyelenggarakan program
senam hamil, sehingga ibu hamil cenderung
tidak mengikuti senam hamil, maka perlu
diadakan penelitian tentang pengaruh senam
hamil terhadap lama persalinan kala 2 pada
ibu hamil primigravida di wilayah
Kabupaten Semarang.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan selama 5
bulan di wilayah Kabupaten Semarang
dengan jenis penelitian kuasi-eksperimental.
Populasi dan sampel pada penelitian ini
terdiri dari kelompok eksperimental (senam
hamil) dan kelompok kontrol (tidak senam
hamil).
1. Populasi Rujukan.
Populasi rujukan pada penelitian ini adalah
ibu hamil di wilayah Kabupaten
Semarang.
2. Populasi Studi.
Populasi studi adalah ibu hamil yang
melakukan antenatal care di
pelayanan kesehatan (bidan praktik
swasta) yang ada di wilayah
Kabupaten Semarang.
3. Besar Sampel.
Pada penelitian ini ingin dihasilkan
derajat kepercayaan 95% dengan power
uji 80% sehingga dengan rumus : (11)

(Z.2PQ + ZP1Q1 + P2Q2)


n=
(P1 P2)
bila P1 (perkiraan proporsi insiden efek
pada kelompok kasus)= 50%, dan nilai
risiko yang dianggap bermakna adalah 4
maka diperoleh jumlah sampel sebesar
39 dan dibulatkan menjadi 40.
Sampel/subjek pada penelitian ini
adalah ibu hamil dengan umur
kehamilan 28 minggu (masuk trimester
ketiga). Subjek terdiri dari kelompok
perlakuan (melakukan senam hamil)
dan kelompok kontrol (tidak melakukan
senam hamil) yang harus memenuhi
kriteria penelitian (inklusi dan eksklusi),
sebagai berikut :
a.

b.

Kriteria Inklusi :
1) Ibu hamil primigravida dengan
umur kehamilan 28 minggu
2) Berumur 20 35 tahun.
3) Tinggi badan 145 cm.
Kriteria Eksklusi :
1) Ibu hamil dengan kelainan
jalan lahir, kelainan letak janin,
dan letak plasenta di bawah
berdasarkan hasil USG.
2) Ibu hamil dengan anemia dan
eklamsi.
3) Bayi yang dilahirkan pre-term.
4) Tafsiran berat badan bayi
4000 gram berdasarkan hasil
USG terakhir.
5) Ibu hamil yang mengalami
depresi

Senam hamil akan dilakukan kurang


lebih sebanyak 9-10 kali dengan waktu
pelaksanaan seminggu sekali dan durasi
waktu 1 jam setiap senam (ada
selingan waktu untuk istirahat).
Sedangkan untuk data lamanya
persalinan akan diambil berdasarkan
catatan medis.
Variabel
independen
dalam
penelitian ini adalah senam hamil dan
kondisi biologis ibu lainnya yaitu : status
gizi ibu dan besar janin, sedangkan variabel
dependen adalah lamanya persalinan kala 2.
Data hasil penelitian diolah dan disajikan
dalam bentuk tabel dan grafik. Untuk
melihat adanya pengaruh dilakukan analisis
dengan menggunakan uji independent t-test

15

apabila didapatkan distribusi data normal


dan uji Mann-Whitney apabila didapatkan
distribusi data tidak normal(12,13). Analisis
statistik
tersebut
dilakukan
dengan
menggunakan program komputer SPSS
11.00 for Windows. Nilai signifikansi pada
penelitian ini adalah apabila variabel yang
dianalisis memiliki nilai p<0,05.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian dilakukan di dua rumah
bersalin yang ada di Kabupaten Semarang.
Sampel yang diambil dalam penelitian ini
adalah 80 orang terbagi menjadi 2
kelompok, yaitu 40 orang yang melakukan
senam hamil dan 40 orang lainnya tidak.
Beberapa variabel yang diperkirakan dapat
mempengaruhi hasil penelitian sudah

dibatasi (restriksi) dengan menggunakan


kriteria
inklusi
dan
eksklusi.
Uji
komparabilitas dengan t test dilakukan
antara kelompok senam dengan kelompok
tidak senam terhadap variabel umur.
Sedangkan terhadap luaran utama penelitian
dilakukan uji Mann-Whitney karena
didapatkan distribusi data yang tidak
normal.
Penelitian ini mendapatkan rerata
umur ibu hamil yang melakukan senam dan
tidak melakukan senam tidak jauh berbeda,
yaitu 26,03 3,20 berbanding 25,08 3,31.
Secara statistik (t test) faktor umur tidak
berbeda bermakna di antara kedua kelompok
(p=0,097), jadi faktor umur dianggap tidak
akan mempengaruhi hasil penelitian. (tabel
1)

Tabel 1 : Distribusi umur subyek penelitian


Variabel
Umur (rerata SD)
Keterangan : * t test

Kelompok senam
26,03 3,20

Kelompok tidak
senam
25,08 3,31

Uji Statistik*
t
p
-1,682
0,097

Tabel 2 . Hubungan senam hamil dengan lama persalinan kala II


Lama persalinan kala II
Kelompok senam
Kelompok tidak
(menit)
senam
RerataSD
Keterangan : * Uji Mann Whitney

37,05 15,91

Lamanya
proses
persalinan
dipengaruhi oleh banyak faktor, salah
satunya adalah faktor tenaga ibu (power).
Tenaga ibu di sini adalah kontraksi uterus
dan kekuatan ibu mengedan. Senam hamil
merupakan salah satu bentuk olah raga yang
bertujuan untuk membantu wanita hamil
memperoleh power yang baik, sehingga
dapat memperlancar proses persalinannya.
Latihan senam hamil yang teratur, jika tidak
terdapat keadaan patologis akan dapat
menuntun wanita hamil ke arah persalinan
yang fisiologis(6).
Senam hamil bertujuan untuk dapat
melakukan
tugas persalinan
dengan
kekuatan dan kepercayaan diri sendiri di
bawah bimbingan
penolong menuju
persalinan normal (fisiologis). Keadaan
prima akan diperoleh melalui senam hamil,
dengan melatih dan mempertahankan

50,77 23,77

p*

0,007

kekuatan otot dinding perut, otot dasar


panggul serta jaringan penyangganya untuk
berfungsi saat persalinan(9).
Senam hamil merupakan suatu
program antenatal care yang dapat
meningkatkan stamina ibu, melatih kekuatan
otot perut, panggul dan otot-otot penunjang
lainnya agar tidak kaku dan terkoordinasi
dengan baik, serta dapat melahirkan dengan
normal, membantu melancarkan sirkulasi
darah, melatih pernafasan dan teknik-teknik
melahirkan yang baik dan benar, mencegah
terjadinya kelainan letak janin, membantu
dalam perubahan metabolisme tubuh selama
kehamilan, meningginya konsumsi oksigen
oleh tubuh, aliran darah jantung, stroke
volume dan curah jantung mempercepat
proses pemulihan pasca persalinan agar
tidak kaku / rileks. Ibu hamil akan merasa
lebih sehat dan tidak merasa sesak nafas dan

16

memberikan keuntungan persalinan masa


aktifnya (kala 2) menjadi lebih pendek,
mengurangi insiden Sectio Caesaria, dan
mengurangi terjadinya gawat janin(10).
Latihan yang dilakukan selama
hamil akan memberikan keuntungan baik
selama kehamilan ataupun pada proses
persalinan. Keuntungan tersebut meliputi :
meningkatnya
kesiapan
tubuh
dan
kesabaran, memperbaiki sikap tubuh,
mencegah
diabetes
selama
hamil,
mempersiapkan kondisi fisik selama hamil,
mengurangi kelelahan, memperbaiki otototot, mengurangi persalinan tindakan dan
operasi caesar, dan mempercepat pemulihan
kondisi fisik setelah persalinan(14).
Latihan-latihan yang dilakukan
pada senam hamil tujuan utamanya adalah
agar ibu hamil memperoleh kekuatan dan
tonus otot yang baik, teknik pernafasan yang
baik, yang penting dalam proses persalinan
terutama saat persalinan kala 2 dalam hal ini
adalah power pada persalinan. Penelitian ini
menunjukkan bahwa kelompok ibu yang
melakukan senam hamil menjalani proses
persalinan kala 2 lebih singkat dibandingkan
kelompok ibu yang tidak melakukan senam
hamil, (37,05 15,91 berbanding 50,77
23,77 menit, p=0,007). Dengan demikian
senam
hamil
mempersingkat
lama
persalinan kala 2. Penemuan ini juga
didukung oleh penelitian lain, diantaranya
Supriatmaja dan Sumardewa (2005) di
Denpasar meneliti 106 ibu hamil; didapatkan
bahwa kejadian partus lama lebih kecil
secara bermakna (1,9% vs. 15,1%; p=0,031)
di kalangan wanita hamil yang melakukan
senam hamil; juga lama persalinan kala 2nya
juga secara bermakna lebih singkat daripada
yang tidak melakukan senam hamil. Secara
statistik risiko relatifnya 0,125; artinya
risiko partus lama pada ibu yang melakukan
senam 0,125 kali dibandingkan dengan ibu
yang tidak melakukan senam hamil(6). Dari
penelitian yang dilakukan Mulyata (2000) di
Solo, terhadap 68 ibu hamil juga didapatkan
hasil bahwa senam hamil ternyata
memberikan kontribusi yang besar untuk
melancarkan proses persalinan. Pada
primigravida proses persalinan biasanya
berlangsung 14 jam hingga 15 jam, tapi
dengan senam waktu dapat dipersingkat
rata-rata 10 jam(10).
Olah raga selama kehamilan akan
menguntungkan baik fisik dan psikologik,

mengingat perasaan takut dan cemas dalam


menghadapi kehamilan dan persalinan dapat
menimbulkan ketegangan jiwa dan fisik,
yang dapat menyebabkan kakunya otot-otot
persendian sehingga persalinan berjalan
tidak wajar. Keuntungan fisik adalah
meningkatkan dan memperbaiki sistem
peredaran darah, khususnya ke otot-otot
sehingga meningkatkan kekuatan dan tonus
otot; selain itu juga meningkatkan sirkulasi
darah
ke
uteroplasenta
sehingga
memperbaiki pertumbuhan otot-otot uterus
dan perkembangan janin intrauterin.
Pertumbuhan otot-otot uterus yang optimal
akan menyebabkan kontraksi uterus lebih
optimal dan terkoordinasi di saat persalinan.
Senam atau latihan selama kehamilan
memberikan
efek
positif
terhadap
pembukaan serviks dan aktivitas uterus yang
terkoordinasi
saat
persalinan;
juga
ditemukan secara bermakna onset persalinan
yang lebih awal dan lama persalinan yang
lebih singkat dibandingkan yang tidak
melanjutkan senam setelah trimester
pertama.
Senam hamil mengajarkan berbagai
latihan pernapasan, teknik relaksasi, dan
teknik mengejan yang dipersiapkan untuk
menghadapi
persalinan.
Ibu
hamil
mempunyai gambaran yang harus dilakukan
dan merasa siap menjelang persalinan. Hal
tersebut dapat mempengaruhi kondisi psikis
ibu hamil. Pada masa akhir kehamilan ibu
tidak
mengalami
kekhawatiran
dan
ketakutan dalam menghadapi proses
persalinan,
padahal
hal
ini
dapat
mempengaruhi tenaga ibu dan kelancaran
proses persalinan. Kecemasan dapat
menimbulkan ketegangan otot-otot polos
dan pembuluh darah, sehingga terjadi
kekakuan serviks dan hipoksia pada rahim
yang menyebabkan impuls nyeri bertambah
banyak, impuls nyeri melalui thaloma limbic
ke korteks serebri dengan akibat menambah
rasa takut, sehingga kontraksi rahim
berkurang. Hal ini mengakibatkan persalinan
butuh waktu yang lama dan mungkin
membutuhkan alat bantu bahkan operasi
Caesar . Sebaliknya dengan senam hamil
dapat membantu mengurangi rasa nyeri
dengan
jalan
mengatur
pernafasan,
konsentrasi dan mengalihkan pikiran
sehingga stress bias dikurangi. Rasa nyeri
saat persalinan dapat mengakibatkan
tekanan darah meningkat, denyut jantung

17

meningkat dan konsentrasi ibu selama


persalinan menjadi terganggu(15). Rasa takut
dan kurang percaya diri menghadapi
persalinan sering menderita kesakitan saat
semua kekuatannya diperlukan untuk
mendorong janin lahir, terutama bagi wanita
yang untuk pertama kali bersalin. Senam
hamil
serta
latihan
untuk
mengkoordinasikan semua kekuatan saat
persalinan diharapkan secara normal, tidak
terlalu takut, akan mengurangi rasa sakit dan
mempunyai kepercayaan diri yang tetap
mantap(9).
KESIMPULAN
1. Rerata lama persalinan kala 2
kelompok ibu yang senam hamil
lebih
rendah
dibandingkan
kelompok
ibu
yang
tidak
melakukan senam hamil, yaitu
37,05 15,91 berbanding 50,77
23,77 menit.
2. Lama persalinan kala 2 kelompok
ibu yang senam hamil lebih singkat
secara
statistik
dibandingkan
kelompok
ibu
yang
tidak
melakukan senam hamil (p=0,007).
SARAN
1. Mengingat senam hamil cukup
bermanfaat, sebaiknya program
senam hamil dianjurkan kepada
setiap wanita hamil normal
2. Senam hamil bisa dijadikan bagian
dari program antenatal bagi
pelayanan kesehatan yang ada di
Kabupaten Semarang.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

11.

DAFTAR PUSTAKA
12.
1.

2.

3.

Cholil, Abdullah. Kesehatan ibu dan


bayi
baru
lahir.
From
http://www.path.org/files/Indonesia 193.pdf. (diakses tanggal 13 Oktober
2005)
Sutrisno; Andriyani, Lisa. Karakteristik
kematian maternal di Kabupaten Timor
Tengah Utara; 1997
Lieberman, Ellice. Make every mother
and child count. WHO : 7 April 2005
from
http:/ui.ac.id/indonesia/main.php/?hlm=
berita&id=2005-04-07%2016:14:09
(diakses tanggal 27 November 2005)

13.

14.

15.

Senewe, Felly. Faktor-faktor yang


berhubungan
dengan
komplikasi
persalinan tiga tahun terkahir di
Indonesia;
2003
from
http://digilip.litbang.depkes.go.id/go.ph
p?=jkpkbppk-gdl-res-2003-felley-883komplikasi (diakses tanggal 17 Oktober
2005)
-------. Profil kesehatan provinsi Jawa
Tengah. Semarang : Dinas Kesehatan
Provinsi Jawa Tengah; 2004
Supriatmaja, IPG; Sumardewa, TGA.
Pengaruh senam hamil terhadap
persalinan kala I dan II. Denpasar :
Universitas Udayana; 2005
Sulistyorini, Evi. Hubungan beberapa
karakteristik
ibu
hamil
dengan
keikutsertaan senam hamil di RS. Dr.
Sardjito Yogyakarta Bulan FebruariMei 2005. Semarang : FKM Undip;
2005 (skripsi)
Mochtar, R. Senam hamil. Dalam :
Sinopsis Obstetri. Bandung : EGC, ed.2,
1992
Mulyata. Senam hamil kurangi stress
saat
melahirkan.
From
http://www.diffi.com/kesehatan/beritase
hat/detail.php?id=645
(diakses
2
Desember 2005)
Primadi, Hanifa. Kehamilan. from
http://medicastore.com/med/detailpyk.p
hp?idktg=17&iddtl=586&UID=200510
05084738202.122.170.13
(diakses
tanggal 5 Oktober 2005)
Murti, Bhisma, Penerapan metode
statistik non-parametrik dalam ilmuilmu kesehatan. Jakarta : PT Gramedia
Pustaka Utama, 1996
Sugiyono, Statistika untuk penelitian.
Bandung : Alfabeta, 2005
Palmer, Jane, Exercise in pregnancy.
From
http://www.pregnancy.com.au/exercise_
in_pregnancy.htm (diakses 1 April
2008)
Clapp JF, Kim H, Burciu B. Beginning
regular exercise in early pregnancy :
Effect on fetoplacental growth. Am J
Obstet Gynecol, 2000
Susilo.
From
http://www.balitaanda.indiglobal.com/info
1.html
(diakses tanggal 5 Oktober 2005)

18

Faktor Risiko Kejadian Stroke di RSD. Raden Soedjati Purwodadi


Kabupaten Grobogan
Auly Tarmali*), Siti Ambarwati**)
*) Staf Pengajar Program Studi Kesehatan Masyarakat STIKES Ngudi Waluyo
**) Alumnus Program Studi Kesehatan Masyarakat Stikes Ngudi Waluyo

ABSTRAK
Stroke merupakan penyakit neurologi yang serius dengan serangan akut yang dapat
menyebabkan kematian dalam waktu singkat ataupun kecacatan seumur hidup. Terjadinya stroke
dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain hipertensi, penyakit jantung, diabetes mellitus,
displidemia, umur, jenis kelamin, genetik kebiasaan merokok, konsumsi alkohol, aktivitas fisik,
obesitas, kontrasepsi oral dan stress. Di RSD Dr. Raden Soedjati Purwodadi tercatat 3 tahun
terakhir kejadian stroke mengalami peningkatan yaitu 154 kasus (2004), 162 kasus (2005) dan 167
kasus (2006). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor risiko yang berhubungan
dengan kejadian stroke.
Penelitian ini adalah penelitian penjelasan menggunakan metode analitik observasional
dengan pendekatan kasus kontrol. Sampel dalam penelitian untuk kasus adalah pasien penyakit
stroke, sedangkan untuk kontrol adalah pasien yang tidak menderita penyakit stroke. Jumlah
sampel untuk kasus dan kontrol masing-masing adalah 66 orang, diambil secara Purposive
Sampling. Analisis yang digunakan adalah uji Chi Square, sedangkan untuk mengetahui besar
risiko digunakan OR (Odd Rasio).
Dari hasil penelitian ini didapatkan ada hubungan antara umur (p= 0,003, OR= 3,121),
kebiasaan merokok (p= 0,003, OR = 3,121), konsumsi alkohol (p= 0,025, OR= 2,800), aktifitas
fisik (p= 0,021, OR=10,263), dan obesitas (p= 0,032, OR= 2,328) dengan kejadian stroke, tetapi
jenis kelamin tidak ada hubungan dengan kejadian stroke (p= 0,478, OR = 1,372).
Terdapat 5 faktor yang berhubungan dengan kejadian stroke yaitu umur, jenis kelamin,
kebiasaan merokok, konsumsi alkohol, aktifitas fisik, dan obesitas.
Perlu meningkatkan perilaku hidup sehat dan lebih memperhatikan faktor risiko kejadian stroke,
sehingga diharapkan insiden stroke berkurang.
Kata kunci

= Stroke dan faktor risiko stroke

PENDAHULUAN
Stroke merupakan salah satu masalah
kesehatan yang serius karena merupakan
penyebab kematian terbesar ketiga setelah
penyakit jantung dan kakier. Faktor risiko
stroke meliputi factor risiko yang tidak dapat
diubah (seperti jenis kelamin, usia,genetic,
ras) dan faktor risiko yang dapt dirubah
(seperti hipertensi, penyakit jantung,
diabetes melitus, displidemia, obesitas,
merokok, alkohol berlebih, kontrasepsi oral).
Menurut hasil survey sosial ekonomi
nasional (Susenas) tahun 2000, diperoleh
data bahwa di Indonesia terdapat 80%
perokok pada usia 10 tahun keatas dan
berdasarkan penelitian Lasmawati (1999),
didapatkan bahwa merokok berisiko 3,4 kali
dibandingkan tidak merokok dan menurut

penelitian Wortsman dkk (1997), didapatkan


bahwa seseorang yang mengkonsumsi
alkohol memiliki risiko 6,9 kali lebih tinggi
untuk terkena stroke daripada yang tidak
mengkonsumsi alkohol sedangkan menurut
Limantoro (2003) didapatkan bahwa pada
penderita obesitas mempunyai 4 kali lebih
besar untuk terkena stroke daripada yang
tidak menderita obesitas.
Menurut penelitian Lamsudin (1997),
didapatkan bahwa proporsi penderita stroke
pada kelompok umur 31-41 tahun sebanyak
2,7% kelompok umur 41-50 tahun sebanyak
12%, kelompok umur 51-60 tahun sebanyak
24,4%, kelompok umur 61-70 tahun
sebanyak 35,6% dan kelompok umur > 70
tahun sebanyak 22,6% dari 1.053 penderita
stroke. Berdasarkan data tersebut didapatkan

19

proporsi penderita stroke semakin meningkat


dengan bertambahnya umur. Jenis kelamin
mempunyai risiko untuk terjadinya stroke
dimana menurut penelitian Perthami (2001),
didapatkan bahwa stroke orang laki-laki 2,7
kali lebih tinggi daripada orang perempuan.
Data yang diperoleh
dari RSD
Dr.Raden Soejati Purwodadi Kabupaten
Grobogan didapatkan penderita penyakit
stroke pada tahun 2004 sejumlah 154 kasus,
tahun 2005 sejumlah 162 kasus dan pada
tahun 2006 sejumlah 167 kasus.
Berdasar pengkajian pendahuluan di RSD
Dr.Raden Soejati Purwodadi pada awal
tahun2006
menggunakan
wawancara
diperoleh gambaran sebagai berikut bahwa
umumnya masyarakat Grobogan cenderung
pergi ke kota sebagai pekerja sebanyak
11.111 orang atau pergi ke luar negeri
sebanyak 2.149 orang, hal ini dapat
menyebabkan
terjadinya
peningkatan
kemampuan ekonomi masyarakat kabupaten
Grobogan yang pada gilirannya dengan
peningkatan sosial ekonomi ini akan dapat
memicu perubahan gaya hidup masyarakat
seperti kebiasaan merokok, mengkonsumsi
lebih banyak lemak, kolesterol dan alcohol
Perubahan-perubahan
tersebut
juga
dipengaruhi oleh masalah umur dan jenis
kelamin.
METODE
Dilihat dari cara mengamati maka
penelitian ini merupakan
analitik
observasional
dengan
menggunkan
rancangan kasus kontrol. Subyek penelitian
diperoleh dari semua penderita stroke yang
berobat (berkunjung) di RSD Dr.Raden
Soejati. Kasus dalam penelitian ini adalah
pasien yang menderita stroke di RSD Raden
Soejati Purwodadi, sedangkan untuk kontrol
adalah pasien yang tidak menderita stroke di
RSD Raden Soejati Purwodadi.
Jumlah sample minimal yang diambil
sebesar 132, sample diambil dengan
perbandingan (kasus:\kontrol) 1:1.
Data seknuder dikumpulkan dari
rekam medik, sedangkan data primer
dikumpulkan dengan melakukan wawancara
kepada penderita atau keluarganya

Analisa
data
digunakan
dengan
menggunakan program SPSS for windows
versi 10,0. Untuk melihat adanya hubungan
antara dua variable dilakukan analisis
dengan menggunakan uji chi square .

HASIL PENELITIAN
Analisa Univariat
Variabel dependen dalam penelitian
ini adalah umur, jenis kelamin, kebiasaan
merokok, konsumsi alkohol, aktifitas fisik
dan obesitas. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa proporsi umur responden > 55 tahun
(62,1%)
lebih tinggi dengan umur
responden < 55 tahun (37,9%). Untuk jenis
kelamin menunjukkan bahwa jenis kelamin
responden laki-laki (59,8%) lebih banyak
dari pada responden jenis kelamin
perempuan (40,2%). Untuk ressponden yang
merokok (56,1%) lebih banyak daripada
yang tidak merokok (43,9%). Untuk
responden yang tidak mengkonsumsi
alkohol (75,8%) lebih banyak daripada yang
mengkonsumsi alkohol (24,2%). Untuk
responden yang tidak berolah raga ( 92,4%)
lebih banyak daripada yang berolah raga
(7,6%) dan untuk responden yang tidak
obesitas (61,4%) lebih banyak dari pada
yang obesitas (38,6%).
Sedangkan sebagai variable dependen dalam
penelitian ini adalah kejadian stroke yaitu
penderita penyakit stroke dan penderita
yang tidak stroke.
Analisa Bivariat
Hubungan antara faktor risiko dengan
kejadian stroke
Hasil analisis statistik bivariat
hubungan antara variable bebas dengan
kejadian stroke dapat dilihat pada table
berikut ini :

20

Tabel 1 Ringkasan Hasil Analisis Bivariat


No
1. Umur
55 tahun
< 55 tahun
2. Jenis Kelamin
Laki-laki
perempuan
3. Kebiasaan Merokok
Merokok
Tidak Merokok
4. Konsumsi Alkohol
Konsumsi Alkohol
Tidak
Konsumsi
Alkohol
5. Aktivitas Fisik
Tidak Berolahraga
Berolahraga
6. Obesitas
Obesitas
Tidak Obesitas

X
6,310

Nilai p
0,020

OR
2,510

95% CI
1,215-5,185

Keterangan
Ada hubungan

0,788

0,478

1,372

0,682-2,758

Tidak ada
hubungan

9,965

0,003

3,121

1,524-6,393

Ada hubungan

5,940

0,025

2,800

1,202-6,521

Ada hubungan

6,925

0,021

10,263

1,261-83,507

Ada hubungan

5,400

0,032

2,328

1,134-4,778

Ada hubungan

Berdasarkan uji statistik chi square


pada tingkat kepercayaan 95% seperti pada
table diatas, dapat dilihat bahwa: terdapat
hubungan
bermakna
antara
umur
(p=0,020;95%CI;1,215-5,185),
kebiasaan
merokok
(p=0,003;95%CI;1,524-6,393),
konsumsi alkohol (p=0,025;95%CI;1,2026,521),
Aktifitas
fisik
(p=0,021,95%CI;1,261-83,507) dan obesitas
(p=0,032;95%CI;1,134-4,778).
Tidak
didapatkan hubungan yang bermakna secara
statistik antara variable umur dengan
kejadian stroke.
PEMBAHASAN
Faktor Umur
Penelitian ini menunjukkan bahwa
ada hubungan antara umur responden
dengan kejadian stroke dengan p=0,020.
Umur merupakan factor risiko yang
terpenting untuk terjadinya serangan stroke,
semakin bertambah tua usia seseorang maka
semakin
tinggi
untuk
menderita
stroke.Menurut sudut pandang secara
fisiologisbahwa pada usia tua cenderung
terjadi penurunan fungsi kerja organ-organ
tubuh sehingga akan rentan terhadap
penyakit degenerative

Faktor Jenis Kelamin


Penelitian ini menunjukkan tidak ada
hubungan yang bermakna secara statistik
antara variable umur dengan kejadian stroke
dengan p=0,478. Hal ini dimungkinkan
karena banyaknya jumlah perempuan yang
bekerja menjadi TKI sehingga menyebabkan
beban
hidupnya
bertambah
dan
mengakibatkan stress, Stres dapat memicu
hormone adrenalin dan katekolanin. yang
tinggi yang dapat mempercepat kekejangan
arteri koroner sehingga suplai darah ke
jantung terganggu maka akan menyebabkan
stroke. Selain itu juga perempuan juga
mempunyai
faktor
risiko
tersendiri
dibandingkan laki-laki yaitu penggunaan
kontrasepsi oral, kehamilan, melahirkan dam
menoupouse.

Faktor Kebiasaan Merokok.


Penelitian ini menunjukkan ada
hubungan yang bermakna secara statistik
antara variable kebiasaaan merokok dengan
kejadian stroke dengan p=0,003. Risiko
kejadian stroke pada orang yang merokok
sebesar 3,121 kali lebih tinggi dibandingkan
dengan yang tidak merokok, karena rokok
mengandung 3 komponen (nikotin, kotinin
dan karbon monoksida) yang toksik terhadap
pembuluh darah

21

Faktor Konsumsi Alkohol


Penelitian ini menunjukkan ada
hubungan yang bermakna secara statistik
antara konsumsi alkohol dengan kejadian
stroke dengan p=0,025. Alkohol dianggap
memberikan pengaruh yang berbahaya bagi
peredaran darah otak disamping bagi otak itu
sendiri.
Bahan
ini
telah
terbukti
meningkatkan tekanan darah, mengganggu
metabolisme hidrat arang dan lemak dalam
tubuh dan juga mengganggu pembekuan
darah.
Faktor Aktifitas Fisik
Penelitian ini menunjukkan ada
hubungan bermakna antara aktifitas fisik
dengan kejadian stroke dengan p=0,021.
Aktifitas fisik yang moderat dan tinggi dapat
menurunkan insiden stroke selain itu juga
dapat
mengurangi
risiko
penyakit
degenerative lainnya, karena dengan olah
raga rutin, maka deposit lemak yang
berlebihan akan habis sedikit demi sedikit
sehingga mencapai jumlah yang normal
selain itu olah raga juga dapat mengurangi
berat badan, mengendalikan kadar kolesterol
dan menurunkan tekanan darah yang
merupakan faktor risiko penyakit stroke.
Faktor Obesitas.
Penelitian ini menunjukkan ada
hubungan yang bermakna antara obesitas
dengan kejadian stroke dengan p=0,032.
Obesitas merupakan faktor independen atau
faktor lain yang tergantung faktor risiko lain
dalam menyebabkan stroke seperti penyakit
jantung koroner, diabetes melitus, hipetensi.
Obesitas
juga
dapat
menyebabkan
tertimbunnya kolesterol dalam dinding
pembuluh
darah
sehingga
dapat
menyebabkan aterosklerosis yang menjadi
pemicu stroke.

KESIMPULAN
1. Faktor risiko yang berhubungan
dengan kejadian stroke adalah umur
(OR= 2,510; CI 95%=1,215-5,185),
kebiasaan merokok (OR=3,121;CI
95%=1,524-6,393),
konsumsi
alkohol (OR=0,025; 95%CI=1,2026,521),
aktifitas
fisik
(OR=0,021;95%CI=1,261-83,507)
dan
obesitas
(OR=0,032;95%CI=1,134-4,778).

2.

Faktor
risiko
yang
tidak
berhubungan dengan
kejadian
stroke adalah faktor umur (
OR=1,372;95%CI=0,682-2,758)

SARAN
1. Peningkatan prenyuluhan kesehatan
tentang faktor risiko
2. Masyarakat agar tidak
mengkonsumsi alkoho, tidak
merokok dan melaksanakan olah
raga secara rutin/teratur
3. Perlu dilakukan penelitian yang
lebih lanjut tentang faktor risiko
terutama kebiasaan merokok,
konsumsi alkohol dan pentingnya
aktifitas fisik.
DAFTAR PUSTAKA
1. Anugerah, PS, (1998). Patofisiologi
Konsep Klinis Proses Penyakit.
Jakarta: Buku Kedokteran EGC
2. Bierman, EL, Aterosklerosis dan
Bentuk Aterosklerosis Lainnya.
Dalam Ahmad H.Asdie (Edisi
Bahasa Indonesia). Harison PrinsipPrinsip
Penyakit
Dlam.
Jakarta:EGC
3. Busta, MN, (2000), Epidemiologi
Penyakit
Tidak
Menular.
Jakarta:Rinera Cipta.
4. Dahla,P.,& Lamsusdin, R. (1998),
Diagnosis Jenis Patologis Stroke
untuk Kepentingan Penanganan
Stroke
yang
Rasional,
Yogyakarta:BKM UGM
5. Depkes RI . (2000). Panduan
Pengembangan Sistem Surveilans
Penyakit
Tidak
Menular.
Jakarta:Departemen Kesehatan.
6. Depkes
RI.
Pedoman
Pengembangan Sistem Surveilans
Perilaku
Risiko
Terpadu.
Jakarta:Departemen Kesehatan
7. Djaluadji,D., (2002). Kumpulan
Makalah Simposium Kewaspadaan
dan Pencegahan Stroke. SNF Ilmu
Penyakit Syaraf RSU Naraya
Kirana Lumajang.
8. Findley, TW, (1999). Stroke
Prevalence, Incidenci and Out
Comes In Veteran with Diabetes.
From:www.wri.med.gov/text only
htm 1-12k
9. Hastono,SP,
(1999).
Modul:
Analisa Data. Jakarta:FKM-UI

22

10. Hedera,P., Traunner, P., &


Budjavoda,J., (1997). Short Term
Prognosis of Strokr Due to
Occlusion Internal Carotic Arteri;
Based on Transcranial Puppler
Ulthrasonografi Stroke.
11. Iman,S., (2002). Kolesterol &
Lemak Jahat, Kolesterol & Lemak
baik dan Proses Terjadinya
Serangan Jantung & Stroke.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
12. Janis,J., (w002). Hypertension and
Hypercolesterol as the Stroke Risk
Factor. Dalam kumpulan makalah
dan abstrak pertemuan nasional
neuorogeriatri pertama. Perdossi 57 April: Jakarta.
13. Sensusi, S., (2001). Kolesterol
Tinggi.
Jakarta:Elex
Media
Komputindo.
14. Siregar, A. (2004). Penyakit
Jantung
dan
Stroke
Serta
Pencegahannya. From:
http://
www.medikaholistik.com/2003/200
4/4/28/medika.Html.
x
module=document detail & xid=91
&x cat=treatment
15. Supariasa,ID., Bakri,B., & Fajar,I.,
(2000). Penilaian Status Gizi.
Jakarta:EGC.
16. Sustrani,L.,
Alam,S.,
&
Hadibroto,L.,
(2003).
Stroke.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
17. Thomas,DJ. (1997). Faktor Risiko
Pada
Serangan
Stroke.
Jakarta:Arcan
18. Toole,JF, (1998). Cerebrovascular
Disoreders. New York: Raven Press
19. Wirawan,RB, (2000). Patofisiologi
Stroke. Simposium Penanganan
Stroke
secara
Komprehensif
Menyongsong Milenium Baru.
Semarang
20. Wortsma, JR, Halban, PA,&
Hide,R.,
(1997).
Alcohol
Consumtion and The Risk of Stroke.
The New England of Medicine.54,
Suppl 3.A143
21. Yatim,F.,
(2000).
Waspadai
Jantung Koroner, Stroke dan
Meninggal
Mendadak;
Atasi
Dengan Pola Hidup Sehat. Jakarta:
Pustaka Populer Obor.

23

Studi Postur Kerja Pemecah Batu Ditinjau Dari Segi Ergonomi Di Desa
Leyangan Kecamatan Ungaran Kabupaten Semarang
Qori Prasasti*)
*)
Staf Pengajar Program Studi Kesehatan Masyarakat STIKES Ngudi Waluyo

ABSTRAK
Pemecah batu merupakan sektor informal yang menggunakan alat kerja dan cara kerja
tradisional dalam proses kerja. Resiko untuk terjadi gangguan sistem otot dan kecelakaan kerja
berkaitan erat dengan alat kerja, postur kerja yang berlangsung saat proses kerja dilakukan. Faktor
perilaku pekerja juga melatarbelakangi adanya gangguan sistem otot.
Penelitian studi postur kerja dilakukan di proyek batu galian di Desa Leyangan Kecamatan
Ungaran Kabupaten Semarang. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan postur kerja
pemecah batu ditinjau dari segi ergonomi.
Jenis penelitian ini adalah kualitatif Grounded Teory, pengambilan data dilakukan dengan
metode triangulasi pada 6 partisipan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa postur kerja pemecah batu di Desa Leyangan
mengakibatkan gangguan sistem otot pada semua partisipan. Partisipan menganggap keluhan
gangguan sistem otot sebagai hal yang biasa terjadi setelah bekerja. Kesimpulan yang dapat
diambil dari penelitian bahwa perilaku dan budaya partisipan melatarbelakangi adanya postur kerja
yang tidak baik dari segi ergonomi, sehingga pekerja disarankan untuk memperhatikan cara kerja,
postur kerja, waktu istirahat, agar terhindar dari gangguan sistem otot.
Kata Kunci : Postur kerja pemecah batu, perilaku, ergonomi.

PENDAHULUAN
Pemecah batu merupakan sektor
informal yang menggunakan alat kerja dan
cara kerja tradisional dalam proses kerja.
Menurut M. Mikheev ICOHIS (1997)
menyatakan gambaran umum industri sektor
informal mempinyai ciri-ciri sebagai berikut
: mempunyai resiko bahaya pekerjaan lebih
tinggi, keterbatasan sumber daya untuk
meningkatkan kondisi lingkungan kerja dan
pengadaan pelayanan kesehatan yang
adekuat, kurangnya kesadaran terhadapa
faktor-faktor resiko kedehatan kerja, kondisi
pekerjaan yang tidak ergonomis, kerja fisik
yang berat, jam kerja yang panjang, struktur
kerja beraneka ragam, kurang nya
pengawasan manajeman pencegahan bahaya
pekerjaan dan anggota keluarga seringkali
terpajan.
International Labour Organization
(ILO) menginformasikan tentang masalah
kesehatan kerja yang mencakup angka

kesakitan dan kematian akibat kerja dan


akibat hubungan kerja pada sektor informal
antara lain : nelayan tradisional di NTB
mengalami nyeri persendian sebesar 57,5%,
Pekerja pandai besi mengalami pengurangn
tajam pendengaran 30-54%, pada industri
kecil 60-80 % gangguan akibat faktor
ergonomi seperti sakit pinggang, kaku leher
dan keluhan pada alat gerak atas dan bawah
(Depkes, 2002).
Gangguan akibat faktor ergonomi
seperti sakit pinggang, kaku leher dan
keluhan pada alat gerak atas dan bawah
didapatkan data 80 % terjadi pada tenaga
kerja usia antara 30-50 tahun, hal ini
dikarenakan proses kerja sektor informal
menggunakan tenaga manual manusia
dengan postur kerja yang tidak memenuhi
standar ergonomi (Kurniawan, 1995).
Berdasarkan survei awal, semua
proses kerja pemecah batu di Leyangan
dilaksanakan dengan menggunakan alat

24

tradisional, dengan postur kerja yang


bervariasi dan perilaku kerja yang tidak
aman. Perilaku pekerja secara cermat perlu
diamati untuk mengetahui cara kerja dan
postur kerja pada masing-masing pekerja.
Penggalian alasan yang menjadi latar
belakang dari perilaku pekerja dengan postur
kerja yang tidak aman akan berpengaruh
pada penerapan ergonomi dalam proses
kerja.
Pekerjaan yang dilakukan secara
manual dengan postur kerja yang tidak
sesuai standar ergonomi dapat menyebabkan
Gangguan sistem gerak tubuh (musculo
skeletal disorder) dalam bentuk nyeri
walaupun intensitasnya ringan (Kurniawan,
1995). Proses kerja tradisional/ manual di
Leyangan meliputi : postur mengangkat
batu, membungkuk membelah batu, dan
duduk memecah batu kerikil. Postur kerja
tersebut berpotensi terjadinya gangguan
sistem gerak tubuh, maka peneliti tertarik
untuk melakukan penelitian dengan judul
Studi Postur Kerja Pemecah Batu Ditinjau
Dari Segi Ergonomi Di Desa Leyangan
Kecamatan Ungaran Kabupaten Semarang .

METODE PENELITIAN
Desain penelitian ini adalah penelitian
kualitatif dengan pendekatan dengan
pendekatan cross sectional, metode yang
digunakan adalah Grounded Teory. Metode
grounded teory atau teori dasar adalah
strategi riset yang secara teoritis mendasari
riset yang sedang dilakukan dengan
memberi teori dasar pada data yang
dikumpulkan
(Dempsey,
2002).
Pengambilan
data
penelitian
ini
menggunakan metode triangulasi dengan
wawancara terstruktur, observasi lapangan
sebagai pembanding dalam penerapan
ergonomi ditempat kerja dan lermbar
observasi survei Brief (Kusnanto, 2000).
Populasi dalam penelitian ini adalah
seluruh pekerja yang ada di wilayah
penelitian pemecah batu di Leyangan.
Sampel dalam penelitian ini berjumlah 6
pekerja dari 12 pekerja, pemilihan sampel
menggunakan metode theoritical sampling
non probabilistik. Metode theoritical
sampling adalah pemilihan sampel yang
sesuai dengan sasaran pengembangan teori.
Pengembangan teori yang dimaksud adalah
postur kerja pemecah batu berdasar standar
ergonomi (Kusnanto, 2000).
Penelitian ini dilaksanakan di proyek
pemecah batu Desa Leyangan Kecamatan

Ungaran, Kabupaten Semarang. Peneliti


menggunakan observasi terstruktur dan
interaksi komunikasi antara peneliti dengan
partisipan dalam wawancara mendalam
(indepth interview). Item dalam kuesioner
terdiri dari : pengetahuan responden tentang
postur kerja, ergonomi dan gangguan sistem
otot (musculo skeletal disorder). Alat lain
yang menunjang pengumpulan data antara
lain : buku catatan , alat tulis, alat perekam
dan lembar observasi survei Brief. Proses
analisa data dimulai dengan menelaah
seluruh data yang diperoleh dari berbagai
sumber, yaitu dari wawancara, observasi,
pencatatan lapangan dan lembar survei
Brief. Langkah selanjutnya adalah
menyusun semua hasil dalam bentuk satuan,
kemudian satuan tersebut dikategorikan
sambil melakukan koding. Tahap terakhir
dar analisis data ini adalah keabsahan data.
Penafsiran dalam mengolah hasil penelitian
sementara dengan melihat teori substansif
adalah langkah terakhir dalam analisa data.

HASIL PENELITIAN
Gambaran Umum Hasil Penelitian
Proyek pemecah batu yang menjadi
obyek penelitian terletak di Desa Leyangan
Kecamatan Ungaran, Kabupaten Semarang.
Kondisi lingkungan kerja adalah lapang
terbuka yang berada diperbukitan. Proses
kerja dilapang terbuka menyebabkan pekerja
banyak terpapar faktor fisik lingkungan
antara lain : panas matahari, debu, getaran
dan kebisingan.
Proses
kerja
pemecah
batu
dilaksanakan
dengan
cara
tradisional/manual, monoton, peralatan kerja
tradisional lebih mengutamakan kekuatan
fisik pekerja. Jenis pekerjaan yang dilakukan
oleh pekerja termasuk kategori berat bila
dilihat dari tuntutan kerja, beban fisik dan
pemenuhan kalori kerja. Data penunjang dari
proses kerja pemecah batu dapat dilihat pada
tabel sebagai berikut

25

Tabel 1. Bagian dan Proses Kerja Pemecah Batu di Leyangan


Bagian Kerja
Pemecah Batu

Proses Kerja
1. Peledakan bukit
batu
2. Pembelahan
bongkahan batu
besar
3. Pengangkutan
batu
ketepian
area kerja
4. Batu
dipecah
kecil-kecil
(kerikil)

Potensi Bahaya
1. Tertimpa batu
2. Terjepit batu
3. Terkena
alat
kerja
4. Gangguan
system otot

Lama Kerja

Pengukuran
1. Penilaian
postur kerja
yang
repetitive
2. Monotonisasi
Kerja
3. Beban kerja

1-8 Jam

Tabel 2. Proses kerja pemecah batu di Desa Leyangan Kecamatan Ungaran Kabupaten
Semarang 2009
No

Bagian Kerja

1
2
3
4
5

Pembelah batu besar


Pemecah kerikil
Sopir
Bongkar muat
Mandor

Jumlah
Pekerja
4
2
3
2
1

Paparan
Fisik
Panas
Matahari
Kebisingan
Getaran
Debu

Jam Kerja
11 Jam kerja per hari, dengan
waktu istirahat pukul siang 12.0001.00
Istirahat sore pukul 14.00-15.00

Tabel 3. Karakteristik Partisipan


No

Karakteristik

1
2
3
4

Usia
Jenis Kelamin
Pendidikan
Bagian Kerja

Lama Kerja

R1

R2

35
Pria
SMP
Pembelah
batu besar
3 Tahun

47
Pria
SD
Pemecah
batu besar
6 Tahun

Kode Partisipan
R3
R4
45
43
Perempuan Pria
SD
SD
Pemecah
Pembelah
batu kerikil batu besar
6 Tahun
11 Tahun

R5
40
Pria
SMP
Pemecah
batu besar
11 Tahun

Tabel 4. Hasil Pengukuran Frekuensi Postur Kerja Repetitif dan Monoton


Standar Egonomi Pada Pemecah Batu di Leyangan
Frekuensi
< 10
10-20

<1
4
2

Waktu/Jam
1-4
8
3

R6
42
Pria
SMP
Pembelah
batu besar
11 Tahun

Berdasarkan

4
8
4

26

Tabel 5. Hasil Pengukuran Resiko Postur Kerja Yang Salah Pada Pemecah Batu di
Leyangan
Adopsi
Postur Kerja

Perputara
n Leher

Perputaran
Punggung

Jarang/
Tidak
Periodik

Sudut
Bahu/Lengan
>45 dari Badan
1

Bertahap
Sering

0
2

0
1

0
1

Keterangan

Gerakan monoton
Gerak bertahap, berhenti
untuk istirahat
Perputaran leher jarang
dilakukan

Tabel 6. Hasil Pengukuran Berat Beban Kerja Dengan Postur Menjinjing, Mengangkat,
Menarik, Mendorong Pada Pekerja Pemecah Batu di Leyangan
Waktu(Jam)
1-3
4-12
12

< 3 Kg
2
7
7

Berat Beban (Kg)


3-7 Kg
7-15 Kg
1
19
5
36
7
36

15-25 Kg
1
2
2

Tabel 7. Hasil Observasi Postur Kerja


Postur Kerja
Berdiri,
Membungkuk
Berulang kali

Frekuensi/Waktu
Selama 2 Jam, gerakan terus
dilakukan, istirahat curian 3
menit

Keterangan
Postur kerja pembelah batu besar
Posisi membungkuk 80 diatas
batu. Penekanan terjadi pada leher,
bahu, siku, punggung, lutut

Duduk

Lama duduk 4,5jam, dengan


istirahat duduk tanpa memecah
batu 12 menit

Pekerja menggunakan alas duduk


kayu. Penekanan terjadi pada
telapak tangan, siku, bahu,
panggul, pinggang dan sacrum.
Postur kerja ini dilakukan oleh
pemecah batu kecil

27

Tabel 8. Hasil Observasi Postur Kerja


Postur Kerja
Mengangkat beban

Frekuensi/Waktu
Mengangkat
batu
dengan beban lebih
dari 8Kg dilakukan 5
kali selamaa 12 jam

Keterangan
Cara mengangkat batu terdapat 3 postur :
1. Mengangkat belahan batu diatas bahu
kiri
2. Mengangkat dengan membungkuk
untuk memindahkan batu jarak dekat
3. Menggendong kepingan batu dalam
keranjang batu

Berdiri,
Membungkuk
Berulang kali

Selama 2 Jam, gerakan


terus
dilakukan,
istirahat curian 3 menit

Postur kerja pembelah batu besar


Posisi membungkuk 80 diatas batu.
Penekanan terjadi pada leher, bahu, siku,
punggung, lutut

Duduk

Lama duduk 4,5jam,


dengan istirahat duduk
tanpa memecah batu
12 menit

Pekerja menggunakan alas duduk kayu.


Penekanan terjadi pada telapak tangan, siku,
bahu, panggul, pinggang dan sacrum. Postur
kerja ini dilakukan oleh pemecah batu kecil

Tabel 9. Lama Kerja dan Bagian Kerja Partisipan


No
1

Kata Kunci
R1 : Hampir 3 tahun
R2 : Enam tahun
R3 : Enam tahun
R4 : Sebelas tahun
R5 : Sebelas tahun
R6 : Sebelas tahun
R1 : Yang namanya kerja itu ya serabutan mbak, mana yang
longgar itu yang dikerjakan
R2 : Memecah batu
R3 : Memecah batu untuk kerja sambilan
R4 : Memecah batu gitu saja mbak
R5 : Memecah batu
R6 : Memecah batu

Kategori
Lama kerja

Bagian kerja

28

Tabel 10. Riwayat Sakit Partisipan


No
3

Kata Kunci
R1 : Dulu saya pernah mengalami kecelakaan sepeda motor. Ini
ada bekasnya di dada. Kecelakaan karena pekerjaan pernah
tertimpa batu padas dibagian bahu dan tertimpa batu
belahan pada bagian lutut kanan sampai mata kaki. Sampai
sekarang masih terasa linu.
R2 : Tidak tidak pernah sakit. Paling-paling masuk angin,
kecapaian.
R3 : Pernah terkena pecahan batu, terkena batu itu suatu hal
yang biasa
R4 : Saya pernah tertimpa batu dibagian sini (sambil menunjuk
mata kaki)
R5 : Tidak.tidak pernah sakit. Paling-paling masuk angin,
kecapaian. Yang diminta itukan sehat teruskan mbak ?
R6 : Tidaktidak sakit. Tangan saya seperti ini, penyakit apaya
mbak ? 11 tahun he mbak, tangan saya sampai keras terus
mati rasa.

Kategori
Riwayat sakit

Tabel 11. Postur kerja yang baik menurut Partisipan


No
4

Kata Kunci
R1 : Posisi tangan kanan menggenggam tangkai didepan tangan kanan,
posisi ayunan alat kearah kiri badan. Posisi alat (palu
besi/bodem) sebagian saja dikenakan batu
R2 : Cara membelah batu yang baik ya diletakkan terlebih dahulu.
Caranya membelah/posisi membelah ya seperti waktu kerja di
depo.
R3 : Ya seperti waktu kerja di depo mbak, saya duduk dibawah. Kalau
ada dingklik (tempat duduk kecil dari kayu) ya..dipakai, kalau
tidak ada ya duduk dibawah.
R4 : Seperti ini caranya : (memperagakan membelah batu dengan
bodem dengan arah ayunan dari samping kanan badan)
R5 : Caranya membelah batu yang baik ya diledakkan lebih dulu, baru
dibelah pakai bodem. Kemarin mbak sudah lihat kan waktu di
depo.
R6 : Begini lho mbak .. itu sudah ada srati atau syaratnya sendirisendiri.

Kategori
Postur
kerja
yang
baik
menurut
partisipan

29

Tabel 12. Postur kerja yang tidak baik menurut partisipan


No
5

Kata Kunci
R1 : Posisi yang salah itu pada posisi alat dengan batu tegak lurus,
karena batu akan terlempar ke badan, getaran bodem terasa sampai
bahu dan dada sehingga dadanya bias rusak/sakit
R2 : Posisi yang tidak baik ya saat memecah batu yang belum
diledakkan langsung dipecah dapat merusak tangan karena batu
sangat keras
R3 : Kerja itu ya seenaknya sendiri. Setiap orangkan beda-beda, kalau
kerja seperti ini enak ya dilakukan, kalu tidak enak ya nggak.
R4 : Itu kalau pekerja baru mbak yang belum terbiasaya bias salah dan
kesleo
R5 : Tidak bisa, setiap orang punya srati sendiri, yang tahu hanya
dirinya sendiri
R6 : Posisi yang tidak baik yaitu batu dibelah sebelum diledakkan

Kategori
Postur
kerja
yang tidak baik
menurut
partisipan

Tabel 13. Gangguan System Otot Akibat Postur Kerja


No
6

Kata Kunci
R1 : Tangan sampai sini (sambil menunjuk dari pergelangan tangan
sampai tengkuk) terus pinggang setelah bekerja capek semua, tapi
itu sudah biasa, paling istirahat 2 jam sudah sembuh
R2 : Tidak ..tidak pernah sakit, saya mau diapakan? Paling pegal karena
kecapaian. Capek itu hal yang biasa jadi tidak usah dirasakan.
Kadang-kadang sampai kram, nanti kalau sudah istirahat sembuh,
besuk sudah bekerja lagi
R3 : Setelah memecah batu jari-jari sampai bahu, tulang belakang
terasa pegal, capek. Kalau istirahat ya dirumah, di depo ya kerja
terus, capek berhenti
R4 : Wah tidak karuan capeknya. Pegal, capek, kadang-kadang
malah tidak dirasakan. Malam istirahat, minum jamu, pagi sudah
bisa kerja lagi
R5 : Tangan sini, pundak, panggul capeknya merata seluruh badan.
Tangan saya yang tebal ini suatu penyakit apa bukan ? walaupun
disayat tangan saya tidak keluar darahnya
R6 :Bagian bahu, tangan rasanya capek semua

Kategori
Gangguan
system
otot
akibat
postur
kerja

30

Tabel 14. Alat Kerja Yang Baik Menurut Partisipan


No
7

Kata Kunci
R1 : Alat kerja yang baik seperti ini mbak, yang bahanya dari besi baja
asli, terus tangkainya dari rotan/menjalin yang besar. Bodem ini
beratnya 9 Kg. Panjang 1 Meter.
R2 : Ya seperti ini buat saya sudah bagus. Beratnya kira-kira 9 Kg.
Panjang 1 m
R3 : Ya ..seperti ini sudah bagus!...Beratnya 9 Kg, panjang 1 m
R4 : Yang baik itu alat yang bahannya dari besi baja asli, tidak cacat,
terus kalau dipakai 1 minggu harus diasah di pandai besi, biar
tajam. Berat nya 9 Kg, panjang 1 m
R5 : Bagi saya seperti ini sudah baik. Besinya dari baja asli terus
tangkainya dari rotan/menjalin yang besar. Rata-rata berat besi 9
Kg, panjang 1 m
R6 :Dari besi baja asli, beratnya mantap, tidak cepat rusak. Beratnya 9
Kg, Panjang 1 m

Kategori
Alat kerja yang
baik
menurut
partisipan

Tabel 15. Alat Kerja Yang Tidak Baik Menurut Partisipan


No
8

Kata Kunci
R1 : Yang tidak baik bahannya bukan dari besi baja asli, karena
besinya tidak padat
R2 : Bagaimana ya mbak yang bahannya bukan dari besi baja

Kategori
Alat kerja yang
tidak
baik
menurut
partisipan

R3 : Tidak tahu lho yang rusak pasti tidak baik, katrena tidak bias
dipakai
R4 : Itu kalau alatnya tidak tajam sehingga tidak bias dipakai
R5 : Yang besinya bukan dari besi baja asli
R6 :Yang bahannya dari besi-besi biasa
9

R1 : Ya tidak bisa to mbak, kayu itu sifatnya keras, tidak lentur,


terkena tangan rusak dan benturan besi dengan batu getarannya
sampai kedada. Getarannya dapat merusak dada. Kalau
rotan/menjalin kan lentur dan elastic
R2 : Wah gimana ya mbak, tidak bisa ya mbak, bukan pasangannya
itu jadi tidak pas, tangannya bisa rusak karena tidak lentur
R3 : Tidak pantas mbak, itu sudah pasangannya
R4 : Tidak bisa mbak, telapak tangan sakit, kayu itu sifatnya keras jadi
tidak bisa dibuat kerja
R5 : Gimana ya mbak, tidak bisa ! tangkai kayu itu keras terkenna
telapak tangan sakit/merusak tangan karena tidak lentur
R6 :Tidak bisa mbak. Tangkai yang seperti itu keras dan sakit
ditangan, tetapi jika diberi ya saya terima saja

Tangkai alat kerja

31

PEMBAHASAN
Postur kerja
Observasi yang dilakukan peneliti
terhadap 6 partisipan menghasilkan beberapa
postur kerja atara lain : postur berdiri
kemudian membungkuk dilakukan berulang
kali, postur duduk dan postur mengangkat
beban. Postur kerja pemecah batu di
Leyangan termasuk kategori tidak baik dari
segi ergnomi.
Postur kerja berdiri dilakukan oleh
R1, R2, R4, R5 dan R6, tetapi partisipan R6
tidak menjelaskan secara rinci postur kerja
yang dilakukan karena setiap orang memiliki
srati syarat/ cara kerja sendiri-sendiri.
Rata-rata R1, R2, R4, R5 posisi tangan
kanan menggenggam tangkai bodem, posisi
ayunan alat kearah kiri badan. Posisi alat
(palu besi/bodem) sebagian saja dikenakan
batu. Berdasar hasil observasi, proses
pembelahan batu besar dilasklukan dengan
berdiri membungkuk diatas batu seraya
mengayunkan bodem.
Postur
kerja
berdiri
dengan
penekanan pada kedua kaki secara monoton
dengan beban berat dapat menimbulkan
beberapa keluhan antara lain : kelelahan
seluruh otot persendian, gangguan pada otot
tulang belakang, nyeri tengkuk dan bahu.
Keluhan nyeri otot karena postur
berdiri/membungkuk diakui oleh R1, R2,
R4, R5 dan R6 yang mengatakan capek,
pegal, nyeri pada tengkuk, bahu dan
punggung.
Postur kerja duduk dilakukan oleh
partisipan R3 yang mengatakan Ya seperti
waktu kerja di depo mbak, saya duduk
dibawah. Kalau ada dingklik (tempat duduk
kecil dari kayu) ya..dipakai, kalau tidak ada
ya duduk dibawah.). Memecah batu kecil/
kerikil secara monoton
dan repetitive
menyebabkan sakit dan penebalan, kekakuan
pada jari. Postur kerja duduk apabila
dipertahankan dalam waktu yang lama dapat
meningkatkan beban kerja, kontraksi otot
statis sehingga menyebabkan kelelahan
sendi yang memerlukan pemulihan dalam
waktu yang lebih lama dari waktu kerja. R3
mengeluhkan Setelah memecah batu jarijari sampai bahu, tulang belakang terasa
pegal, capek. Kalau istirahat ya dirumah, di
depo ya kerja terus, capek berhenti
Masalah kesehatan akibat postur
monoton seperti berdiri , duduk, mengangkat
beban, mendorong, menarik seharusnya
diselingi dengan jenis pekerjaan yang
memerlukan variasi gerak fleksibel sehinnga
terhindar dari gangguan system otot. Variasi

gerak kerja akan memperlancar peredaran


darah dan dapat mereduksi kelelahan otot.
Jenis alat kerja, pakaian kerja, jenis material
kerja, lingkungan kerja dan riwayat penyakit
memiliki kontribusi terhadap postur kerja.
(Tarwaka 2004). Variasi gerak dalam proses
kerja dilakukan oleh R1 yang mengatakan
bahwa Yang namanya kerja itu ya
serabutan mbak, mana yang longgar itu
yang dikerjakan
Alat Kerja
Desain alat kerja : tangkai bodem,
palu, berat dan alas duduk (dingklik) kurang
memenuhi standar ergonomi. Tangkai
bodem berbentuk panjang 1 m tanpa lekuk
dengan berat 9 Kg, panjang tangkai palu 0,5
m tanpa lekuk dengan berat 2 Kg. Desain
tangkai bodem dan palu menyebabkan
postur pergelangan tangan cepat lelah. Berat
bodem menyebabkan pemuluran pada
tangan, lengan dan bahu sehingga
menyebabkan pegal, capek, kram hingga
tengkuk. Tangkai palu yang lurus
menyebabkan pegal, capek pada pergelangan
tangan. Ketersediaan alas duduk berupa
dingklik sangat membantu pemecah batu
kecil,
namun
partisipan
terkadang
kehilangan alas duduk sehingga pekerjaan
memecah
batu
dilakukan
dengan
berjongkok. Postur jongkok yang terlalu
lama menyebabkan sakit pinggang.
Proses kerja
Proses kerja di proyek pemecah
batu di leyangan dimulai dari peledakan
bukit batu, pembelahan bongkahan batu
besar, pengangkutan batu ketepian area
kerja, batu dipecah kecil-kecil (kerikil).
Semua proses kerja dilakukan secara
manual/tenaga manusia.

Lingkungan kerja
Lingkungan kerja di proyek pemecah
batu di Leyangan berupa perbukitan batu
yang diledakkan untuk meruntuhkan batu
besar. Membelah batu besar hingga
memecah batu menjadi ukuran kecil
dilakukan dengan manual. Postur kerja
dalam proses pemecahan batu dilakukan
sesuai dengan ukuran batu dan pengalaman
pekerja pada masing-masing bagian kerja
dan lama kerja. Area kerja terbuka dan panas
matahari menjadi beban tambahan bagi
pekerja.

32

Beberapa penelitian tentang studi


postur kerja yang tidak baik mengungkapkan
bahwa potur kerja dipengaruhi oleh perilaku
dari pekerja, lingkungan kerja, proses kerja,
alat kerja dan budaya masyarakat setempat.
Determinan perilaku merupakan factor
internal partisipan. Determinan perilaku
dipengaruhi
oleh
beberapa
faktor
predisposissi, faktor pendorong, faktor
pendukung. (Notoatmojo 2003). Determinan
perilaku dalam penelitian ini dapat diuraikan
sebagai berikut :
1. Faktor
predisposisi
yang
mempengaruhi perilaku partisipan
adalah kurangnya pengetahuan dari
partisipan tentang postur kerja dan
alat kerja yang baik sesuai standar
ergonomic. Partisipan menganggap
bahwa postur kerja dan alat kerja
yang digunakan sudah baik,
sehingga tidak perlu perubahan
lagi. Penerapan ergonomic pada
proses kerja manual dalam suatu
organisasi kerja tidak dapat
diterapkan
sempurna
tanpa
pemberian informasi yang adekuat,
pengetahuan yang mendukung dan
pelatihan kerja. (Luttman 2003)
2. Faktor
pendorong
yang
mempengaruhi perilaku partisipan
adalah anggapan bahwa gangguan
system otot adalah hal biasa terjadi
dan bukan masalah serius. Alasan
mereka adalah kerja memecah batu
sudah biasa merasakan capek dan
pegal.
Semua
partisipan
mengeluhkan : rasa capek, pegal,
lelah, nyeri dan kram. Bagian tubuh
yang mengalami gangguan system
otot antara lain : pergelangan
tangan, siku, bahu, tengkuk,
panggul, persendian kaki. Waktu
istirahat bagi partisipan dirasakan
tidak cukup untuk istirahat
sehingga partisipan melakukan
istirahat
curian.
Partisipan
menganggap bahwa gangguan
system otot bukan masalah yang
serius, mereka nmenganggap hal
yang biasa sebagai pemecah batu.
Kurangnya perhatian terhadap
gangguan system otot
dan
kecelakaan
kerja
akan
mempengaruhi kualitas kerja dan
penurunan fungsi organ. (Tarwaka
2004). Penurunan fungsi organ
terlihat jelas pada partisipan 5.

3.

Faktor
pendukung
yang
mempengaruhi perilaku partisipan
adalah
kemampuan
setiap
partisipan berbeda-beda sesuai
dengan
pembagian
kerja
(pembelaah batu, pemecah batu
besar, pemecah batu kecil) dan
tuntutan pekerjaan, hal ini sesuai
dengan teori yang mengatakan
bahwa
kemampuan
pekerja,
tuntutan tugas dan karakteristik
organisasi mempengaruhi suatu
proses kerja (Nurmianto 2000)
Pengalaman partisipan dengan
postur kerja yang dilakukan juga
dipengaruhi oleh kepercayaan,
seperti yang diungkapkan oleh
partisipan R5 : Tidak bisa, setiap
orang punya srati sendiri, yang
tahu hanya dirinya sendiri (setiap
orang mempunyai cara-cara kerja
sendiri-sendiri
sesuai
keyakinannya).

Perbandingan
hasil
wawancara,
observasi dan tinjauan teori mengenai postur
kerja ditinjau
dari
segi ergonomi
menyebutkan bahwa : suatu postur kerja
yang tidak baik dilatar belakangi oleh faktor
eksternal (Alat kerja,
proses kerja,
lingkungan kerja,adat budaya ) dan faktor
internal
(Predisposisi,
pendorong,
pendukung)

KESIMPULAN
Postur kerja yang dilakukan oleh R2,
R3, R4, R5, R6 dilakukan secara repetitif
dan monoton sementara R1 melakukan
pekerjaan serabutan dengan variasi postur
kerja. Postur kerja partisipan dilatar
belakangi oleh faktor eksternal (Alat kerja,
proses kerja, lingkungan kerja,adat budaya )
Alat kerja, proses kerja, lingkungan kerja
merupakan bagian dari ergonomi dan faktor
internal
(Predisposisi,
pendorong,
pendukung)
Potur kerja partisipan ditinjau dari
segi ergonomi dipengaruhi desain alat kerja,
berat dan jenis alat kerja
1.

Alat Kerja yang digunakan (palu,


bodem, dingklik) memiliki desain
yang kurang ergonomis. Desain
tangkai dan berat alat menyebabkan
gangguan system otot pada jari,

33

2.

3.

pergelangan tangan, tangan dan


bahu.
Proses kerja di proyek pemecah
batu di leyangan dimulai dari
peledakan bukit batu, pembelahan
bongkahan
batu
besar,
pengangkutan batu ketepian area
kerja, batu dipecah kecil-kecil
(kerikil). Semua proses kerja
dilakukan secara manual/tenaga
manusia.
Lingkungan kerja di proyek
pemecah batu di Leyangan berupa
perbukitan batu. Area kerja terbuka
dan panas matahari menjadi beban
tambahan bagi pekerja.

Faktor internal yang melatarbelakangi


postur kerja antaralain : faktor predisposisi,
faktor pendorong, faktor pendukung.
1. Faktor
predisposisi
yang
mempengaruhi perilaku partisipan
adalah Partisipan menganggap
bahwa postur kerja dan alat kerja
yang digunakan sudah baik,
sehingga tidak perlu perubahan
lagi.
2. Faktor
pendorong
yang
mempengaruhi perilaku partisipan
adalah partisipan menganggap
bahwa gangguan system otot bukan
masalah yang serius, mereka
nmenganggap hal yang biasa
sebagai pemecah batu. Penurunan
fungsi organ terlihat jelas pada
partisipan 5.
3. Faktor
pendukung
yang
mempengaruhi perilaku partisipan
adalah
kemampuan
setiap
partisipan berbeda-beda sesuai
dengan
pembagian
kerja
(pembelaah batu, pemecah batu
besar, pemecah batu kecil) dan
tuntutan pekerjaan. Pengalaman
partisipan dengan postur kerja yang
dilakukan juga dipengaruhi oleh
kepercayaan,
seperti
yang
diungkapkan oleh partisipan R5 :
Tidak bisa, setiap orang punya
srati sendiri, yang tahu hanya
dirinya sendiri (setiap orang
mempunyai cara-cara kerja sendirisendiri sesuai keyakinannya).

SARAN
1. Bagi Pekerja
a. Disarankan pekerja untuk
bekerja secara
bergantian
dibagian kerja yang lain secara
berselingan,
untuk
menghindari postur kerja yang
monoton
b. Disarankan pekerja melakukan
istirahat curian untuk relaksasi
otot
c. Bagi
pemecah
batu
kecil/kerikil,
disarankan
menggunakan alas duduk kursi
kecil/dingklik atau alas batu
untuk menghindari penekanan
lutut yang menekuk.
d. Disarankan untuk minum yang
teratur agar tidak terjadi
dehidrasi
karena
panas
matahari
2. Bagi Pengelola Proyek Batu
a. Disarankan untuk membuat
jadwal rolling kerja pada
pekerja
b. Disarankan untuk memberikan
istirahat pendek ditengah kerja
c. Penyediaan
alas
duduk/dingklik/ kursi juga
berfungsi
sebagai
tempat
istirahat pekerja, sekaligus
mengurangi postur kerja tidak
baik.
d. Penyediaan air minum yang
mencukupi untuk
mengantisipasi dehidrasi
pekerja

DAFTAR PUSTAKA
1.
2.

3.

4.

5.

Arikunto,
S.(2006).
Prosedur
Penelitian
Suatu
Pendekatan
Praktek. Jakarta : Rineka Cipta.
Dempsey.
(2002).
Riset
Keperawatan. Jakarta : Penerbit
EGC
Depkes RI. (2002). Kebijakan
Teknis Program Kesehatan Kerja.
Jakarta
Koentjaraningrat.
(2003).
Pengantar Antropologi. Jakarta :
Rineka
Cipta
Kurniawan, D. (1995). Manajemen
Nyeri Otot Pada Pekerja Wanita
Garmen. Dalam Bunga Rampai

34

Hiperkes. Vol XIII. Jakarta :


Depnaker
6. Kusnanto, H. (2000). Metode
Kualitatif Dalam Riset Kesehatan.
Yogyakarta : Universitas Gadjah
Mada
7. Lutmann, A. (2003). Preventing
Musculoskeletal Disorder In The
Work Place. India : WHO
8. Nurmianto, E. (1998). Ergonomi
Konsep Dasar dan Aplikasinya.
Jakarta : Guna Widya
9. Notoatmojo, S. (2003). Pendidikan
dan Perilaku Kesehatan. Jakarta :
Rineka Cipta
10. Tarwaka, S. (2004). Ergonomi
Untuk Keselamatan, Kesehatan
Kerja Dan Produktifitas. Surakarta
: UNIBA Press

35

Gambaran Perilaku Anak Autis Pada Anak SD Di SLB Begeri Semarang


Sri Wahyuni*)
*)
Staf Pengajar Program Studi Kesehatan Masyarakat STIKES Ngudi Waluyo

ABSTRAK
Sekitar sepuluh tahun terakhir ini autisme menjadi topik yang banyak memperoleh
perhatian di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Data jumlah anak autistik di Indonesia belum
ada yang pasti, tetapi berbagai sumber melaporkan peningkatan yang tinggi pada jumlah anak
autis dalam beberapa tahun terakhir (Gianjar, 2008). Autisme merupakan salah satu gangguan
perkembangan fungsi otak yang bersifat pervasif (inco) (Mardiyatmi, 2000 dalam Nasution,
2007). Perkembangan yang terganggu pada anak yang mengalami autisme dalam perilaku adalah
aktivitas, perilaku, dan ketertarikan anak terlihat sangat terbatas (Veskarisyanti, 2008). Musik
merupakan satu instrumen yang dapat memaksimalkan kemampuan seseorang, musik juga
merupakan reinforcer dan feedback autis (Veskarisyanti, 2008). Terapi musik, pada seorang anak
autis yang kesulitan melakukan gerak atau geraknya tidak teratur diharapkan dapat bergerak secara
terarah, sehingga anak dapat belajar dengan baik (Prasetyono, 2008). SLB Negeri Semarang,
merupakan satu-satunya sekolah luar biasa yang berstandar internasional ( ISO 9001 : 2000).
Fasilitas ruang terapi yang ada meliputi terapi fisio, akupressur, speech terapi, dan terapi musik.
Sedangkan yang merupakan program unggulan dari SLB-N Semarang ini adalah terapi musik.
Dengan melihat fenomena yang ada peneliti tertarik melakukan penelitian dengan judul
Gambaran Perilaku Anak Autis di SLB Negeri Semarang.
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif yaitu menggunakan pendekatan induktif untuk
menemukan atau mengembangkan pengetahuan yang memerlukan keterlibatan peneliti dalam
mengidentifikasi pengertian relevansi fenomena tertentu terhadap individu (Moleong, 2004).
Pendekatan yang digunakan adalah studi Fenomenologi karena peneliti ingin mendapatkan data
dengan cara memahami pengalaman hidup manusia sebagai individu yang mengalami keadaan
yang sebenarnya (Moleong, 2004). Populasi penelitian ini adalah seluruh orang tua dan guru siswa
SLB Negeri Semarang yang berjumlah 46 siswa. Metode pengambilan sampel yang digunakan
adalah purposive sampling. Jumlah responden pada penelitian ini adalah 3 orang tua yang
memiliki anak autis dan 1 guru. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik
wawancara in depth interview yang berhubungan dengan fenomenologi peran orang tua dan guru
pada anak dengan gangguan autisme.
Hasil penelitian didapatkan bahwa Autisme merupakan gangguan atau keterlambatan
berupa gangguan perilaku, keterlambatan komunikasi, kurangnya interaksi sosial, gangguan emosi,
dan sensitif. Bentuk perilaku yang muncul pada anak dengan gangguan autisme berupa : susah
untuk berbicara, suka merusak dengan menggigit atau melukai tangannya sendiri, hiperaktif, tidak
tahan duduk berlama-lama dan tidak bisa konsentrasi. Pemberian terapi untuk anak autisme dapat
dilakukan dengan bebagai cara antara lain terapi bermain, terapi perilaku, dan terapi musik.
Dalam pemberian, proses pemberian harus dilakukan secara terus menerus dan konsisten agar
proses penyembuhan anak dengan gangguan autisme dapat berjalan baik.
Kata Kunci : autisme, terapi musik, SLB

36

PENDAHULUAN
Sekitar sepuluh tahun terakhir ini
autisme menjadi topik yang banyak
memperoleh perhatian di seluruh dunia,
termasuk di Indonesia. Penyebabnya adalah
makin meningkatnya jumlah anak-anak yang
didiagnosa autistik. Saat ini diperkirakan
satu dari 150 anak yang lahir di Amerika
Serikat menunjukkan ciri-ciri autistik. Data
jumlah anak autistik di Indonesia belum ada
yang pasti, tetapi berbagai sumber
melaporkan peningkatan yang tinggi pada
jumlah anak autis dalam beberapa tahun
terakhir (Gianjar, 2008).
Autisme merupakan salah satu
gangguan perkembangan fungsi otak yang
bersifat
pervasif (inco) yaitu meliputi
gangguan kognitif, bahasa, perilaku,
komunikasi dan gangguan komunikasi sosial
(Mardiyatmi, 2000 dalam Nasution, 2007).
Ada ketakutan orang tua terutama
khususnya kaum ibu menyangkut anaknya,
yaitu autis. Jika anaknya terkena autis, ibu
akan sangat gugup karena anaknya tak
fokus, cenderung pendiam dan sulit
beradaptasi. Padahal, rata-rata anak autis
punya kecerdasan yang luar biasa (Maulana,
2007).
Reaksi pertama orang tua yang paling
mungkin adalah kekecewaan dan kesedihan
yang paling mendalam, yang kemudian
disusul dengan rasa malu. Perasaan malu ini
pula yang membuat orang tua memilih
untuk sendiri dan menutup-menutupi buah
hatinya dari lingkungan sekitar daripada
mencari informasi yang benar mengenai
buah hatinya. Meski msudah banyak
sekolah-sekolah khusus atau pusat konsultasi
mengenai anak dengan kelainan mental, tak
banyak orang tua yang meresponnya secara
positif. Alasanya karena tak ingin aib yang
dibawa sang buah hati tersebar keluar rumah
(Veskarisyanti, 2008).
Perkembangan yang terganggu pada
anak yang mengalami autisme dalam
perilaku adalah aktivitas, perilaku, dan
ketertarikan anak terlihat sangat terbatas
(Veskarisyanti, 2008). Perilaku bermasalah
sekaligus merupakan penanda / karakter
yang acapkali dimunculkan oleh anak autis
adalah stimulasi diri dan stereotip. Kalau
perilaku ini muncul, tentu saja akan
menghambat proses belajar yang sedang
berlangsung.
Untuk
mengatasi
dan
mencegah agar perilaku tersebut tidak
muncul, maka yang perlu dilakukan oleh
guru adalah memberikan reinforcement,
tidak memberikan kesempatan / waktu pada

anak untuk asyik dengan dirinya sendiri,


memberikan kegiatan yang menarik dan
positif, serta menciptakan suasana yang
kondusif bagi anak agar tidak ada
kesempatan bagi anak untuk menyakiti diri
(Widihastuti, 2006).
Cara orang tua untuk membimbing
dan memperbaiki perilaku pada anak yang
tidak
menyenangkan
(negatif)
serta
mengukuhkan dan meningkatkan perilaku
yang
menyenangkan
(positif)
bisa
dilaksanakan dengan metode modifikasi
perilaku. Modifikasi perilaku adalah
penerapan prinsip-prinsip teori belajar yang
telah teruji secara eksperimental untuk
mengubah perilaku yang tidak adaptif.
Kebiasaan-kebiasaan yang tidak adaptif
dilemahkan dan dihilangkan sedangkan
perilaku
adaptif
ditimbulkan
serta
dikukuhkan (Wolpe, 1973).
Keuntungan atas peran aktif para
orang tua anak autis yang mempermudah
ruang bagi terapis atau psikiatri untuk
mengetahui
simptom
autisme
yang
disandang seorang anak dengan detail.
Lainnya, orangtua akan dapat memilih terapi
yang tepat dan akurat untuk memperbaiki
symptom si anak (Wijayakusuma, 2004).
Beberapa terapi yang ditawarkan oleh para
ahli antara lain : terapi biomedik, terapi
okupasi, terapi integrasi sensoris, terapi
bermain, terapi perilaku, terapi fisik, terapi
wicara, terapi musik, terapi perkembangan,
terapi visual, terapi medikamentosa, dan
terapi melalui makanan (Veskarisyanti,
2008).
Otak manusia adalah otak yang
musikal dan irama memiliki kekuatan secara
langsung
mempengaruhi
kognisi.
Keterikatan terhadap emosi adalah kunci
belajar yang efektif dan hal tersebut dapat
diperoleh melalui musik. Seringkali orang
dengan kebutuhan khusus belajar lebih baik
melalui musik karena bagian dari otak
musik adalah bagian tertua dari struktur otak
yang paling sedikit mengalami kerusakan
akibat cacat lahir atau kecelakaan. Menurut
Dowlling (1984), mengungkapkan bahwa
sebuah aktivitas musik merupakan latihan
menyeluruh otak. Disamping meningkatkan
kapasitas kinerja otak dengan memperkuat
hubungan antar neuron musik juga
berpengaruh terhadap kinerja otak yang juga
merupakan bagian dari pengaruh musik
terhadap kognisi dan perilaku (Djohan,
2005).

37

Banyak hasil penelitian menunjukkan


bahwa 80-90% penderita autis merespon
musik secara positif sebagai motivator.
Ketrampilan merespon musik lebih bertahan
lama dibandingkan dengan ketrampilan
lainnya.
Penelitian
lainnya
juga
menunjukkan bahwa musik merupakan alat
yang berharga untuk menstimulasi belahan
otak kanan. Menurut Radocy dan Boyle
(1997), menjelaskan bahwa semua jaringan
saraf termasuk sensori, motor, dan koneksi
antar saraf dan sebagian saraf otak adalah
saling berhubungan serta merupakan bagian
dari hubungan jaringan komputer raksasa.
Masukan-masukan musikal seperti halnya
semua sensori masukan juga menstimulasi
struktur saraf. Sensori informasi saat ini
dapat dibandingkan dengan rekaman
pengalaman yang tersimpan dan dengan
demikian dapat membimbing perilaku
musikal organisme (Djohan, 2005).
Musik merupakan satu instrumen
yang dapat memaksimalkan kemampuan
seseorang, musik juga merupakan reinforcer
dan feedback autis musik ini penting untuk
meningkatkan akan kesadaran dirinya,
memusatkan perhatian, mengurangi perilaku
yang negatif yang tidak diharapkan,
membuka
komunikasi,
menciptakan
hubungan sosial yang berpengaruh positif
pada perkembangan dan pertumbuhan positif
(Veskarisyanti, 2008).
Tujuan terapi musik adalah untuk
mempengaruhi
perkembangan
dan
pertumbuhan psikomotorik dan fisiomotoric
secara optimum. Dengan kata lain, melalui
terapi musik, seorang anak autis yang
kesulitan melakukan gerak atau geraknya
tidak teratur diharapkan dapat bergerak
secara terarah, sehingga anak dapat belajar
dengan baik (Prasetyono, 2008).
Musik dan rilik lagu diperkenalkan
secara bersamaan kepada mereka. Musik
pengiring dapat menciptakan Susana yang
membuat meraka merasa nyaman. Kata-kata
atau lirik lagu diharapkan mampu
merangsang kognitif mereka, sehingga
meraka memberikan respon psitif setiap lagu
yang dinyanyikan. Kegiatan itu akan
berlanjut pada kegiatan rangsangan motorik
mereka dengan memaknai kata-kata melalui
gerakan gerakan terentu sesuai dengan
lagu yang sedang dinyanyikan. Petters
mengatakan bahwa jika kita mengatakan
bahwa penyandang autisme memilki gaya
kognisi yang berbeda, pada dasarnya berarti
bahwa, otak mereka memproses informasi
dengan cara berbeda. Mereka mendengar,

mellihat dan merasa, tetapi otak mereka


melakukan informasi ini dengan cara yang
berbeda (Alhamdi, 2008).
SLB Negeri Semarang, merupakan
satu-satunya sekolah luar biasa yang
berstandar internasional ( ISO 9001 : 2000).
Fasilitas ruang terapi yang ada meliputi
terapi fisio, akupressur, speech terapi, dan
terapi musik. Sedangkan yang merupakan
program unggulan dari SLB-N Semarang ini
adalah terapi musik. Terapi musik berfungsi
untuk menggali potensi yang tersembunyi.
Selain itu musik dapat memberikan stimulasi
kepada anak autis untuk mengontrol gerakan
gerakan yang tidak diharapkan. Musik
dapat membuat perasaan yang enjoy .
sehingga dari perilaku yang liar, dengan
musik akan berubah serta tingkat
kepatuhannya meningkat. Misalnya, di
sekolah ini terdapat anak yang sering
melukai temannya tanpa sebab. Saat
diberikan kelas terapi musik, anak tersebut
dapat menikmati musik dengan santai. SLB
Negeri Semarang memiliki 238 siswa yang
terdiri dari anak
tunarunguwicara,
tunagrahita, dan autis dari TKLB sampai
bengkel kerja. Sedangkan anak autis sendiri
berjumlah 46 siswa, yang terdiri dari 7 siswa
TKLB, 38 siswa SDLB, dan 1 siswa
SMALB tetapi sudah tidak aktif. Dengan
melihat fenomena yang ada peneliti tertarik
melakukan
penelitian
dengan
judul
Gambaran Perilaku Anak Autis di SLB
Negeri Semarang.

METODE PENELITIAN
Desain penelitian ini adalah penelitian
kualitatif yaitu menggunakan pendekatan
induktif
untuk
menemukan
atau
mengembangkan
pengetahuan
yang
memerlukan keterlibatan peneliti dalam
mengidentifikasi
pengertian
relevansi
fenomena tertentu terhadap individu
(Moleong, 2004).
Pendekatan yang digunakan dalam
peneliti ini adalah studi Fenomenologi
karena peneliti ingin mendapatkan data
dengan cara memahami pengalaman hidup
manusia sebagai individu yang mengalami
keadaan yang sebenarnya (Moleong, 2004).
Populasi dalam penelitian ini adalah
seluruh orang tua dan guru siswa SLB
Negeri Semarang yang berjumlah 46 siswa,
yang terdiri dari 7 siswa TKLB, 38 siswa
SDLB, dan 1 siswa. Jumlah responden pada
penelitian ini adalah 3 orang tua yang

38

memiliki anak autis dan 1 guru. Metode


pengambilan sampel yang digunakan adalah
purposive sampling yaitu memilih sampel
secara sengaja yang diambil dengan
pertimbangan subjektif penelitian dimana
persyaratan telah dibuat sebagai ke memilih
sampel secara sengaja yang diambil dengan
pertimbangan subjektif penelitian dimana
persyaratan telah dibuat sebagai kriteria
yang harus dipenuhi sebagai sampel. Pada
purposive sampling, sampel diambil
berdasarkan ciri atau sifat-sifat populasi
yang diketehui sbelumnya (Arikunto, 2002).
a. Penelitian kualitatif dengan pendekatan
fenomenologi menggunakan sejumlah
kecil individu (Dempsey, 2002).
b. Pada penelitian kualitatif dengan
pendekatan
fenomenologi
jumlah
partisipan maksimal 6 (enam) orang
(Bungin, 2003).
c. Efisien dan keterbatasan sumber daya.
Penelitian ini dilakukan di SLB
Negeri Semarang pada bulan 20-22 Januari
2009. Dalam penelitian ini peneliti sendiri
akan berperan sebagai pewawancara
(interviewer) dalam proses pengumpulan
data untuk menentukan relevansi fenomena
tertentu
yang
sangat
menentukan
keberhasilan, dan untuk menunjangnya
digunakan pedoman wawancara yang berisi
pertanyaan penelitian, buku catatan, dan alat
tulis untuk mencatat wawancara, serta alat
perekam atau tape recorder.
Teknik pengumpulan data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah teknik
wawancara in depth interview yang
berhubungan dengan fenomenologi peran
orang tua dan guru pada anak dengan
gangguan autisme (Kusnanto, 2004).
Tahap-tahap dalam wawancara : (Moleong,
2004)
1. Tahap persiapan
Pada
penelitian
ini
sebelum
melakukan proses wawancara peneliti
melakukan inteaksi untuk beberapa waktu
terlebih dahulu dengan orang tua anak autis
sampai terjalin rasa saling terpercaya
sehingga peneliti lebih mudah dalam
melakukan wawancara, dimana wawancara
dilakukan satu kali yang berlangsung kurang
lebih 20 menit disesuaikan dengan kesediaan
responden dalam wawancara.
Sebelum melakukan wawancara, peneliti
sudah menentukan siapa orang yang telah
mendatangkani inform consent. Menentukan
alat perekam yang akan digunakan dan
menyiapkan pokok-pokok pertanyaan.

2.

Tahap wawancara
Pada saat wawancara hendaknya
peneliti berpakain sepantanya dan menepati
janji terutuama datang tepat waktu sesuai
denngan tepat waktu kontrak yang telah
disepakati. Setelah itu menjelaskan maksud
dan tujuan, penjelasan sesingkat mungkin
dan beritahukan kembali kerahasian
responden, berikan jaminan ini bahwa hal itu
tidak
mungkin akan terbongkar dan
dipegang secara teguh. Dalam proses
wawancara, peneliti bertindak sebagai orang
yang netral, artinya tidak memihak pada
suatu konflik pendapat. Peristiwa dan
semacam itu.pertanyaan yang diajukan perlu
dikembangkan untuk mendapatkan data
yang mendalam. Pertanyaan yang diajukan
harus menjelaskan kata-kata yang jelas dan
mudah dimengerti oleh responden. Tape
recorder dipasang setelah memperoleh
persetujuan dari responden dan juga perlu
membuat catatan lapanagan.
3. Tahap penutup
Setelah
melakukan
wawancara,
peneliti mengecek kembali data yang sudah
diambil, untuk memastikan sekiranya pada
saat wawancara, tape recorder yang dipakai
rusak maka peneliti dapat langsung
melakukan wawncara ulang atau melakukan
pencatatan ulang. Kemudian peneliti
mengakhiri
wawancara
dengan
mengucapkan terima kasih.

HASIL PENELITIAN
Data yang sudah terkumpul ditulis
dengan lengkap sesuai hasil dan catatan
penelitian. Data kemudian dicermati dan
disajikan dalam bentuk kategori-kategori
dan kategori-kategori tersebut dibuat
mengelompokkan kata-kata kunci yang
mendukung yang telah ditentukan. Adapun
kategori yang dimaksud terdapat dalam tabel
1 dan 2.

39

Tabel 1. kategori data peran orang tua pada anak dengan gangguan autisme
No
1.

Kategori
Pengertian autisme

2.

Mencari informasi

o
o
o
o
o
o

Kata kunci
Komunikasinya agak rusak
Sosialisasinya kurang
Suka menggigit jarinya
Kontak mata kurang
Hiperaktif
Gangguan perilaku

o
o

Tanya teman, keluarga, dokter dan


akternatif.
Dokter anak, bidan dan non medis
Baca majalah, dokter dan seminar.

3.

Memberikan terapi dirumah

o
o
o
o
o
o
o
o

Mengenal bentuk huruf


Kemampuan mengurus diri
Melatih gerakan-gerakan
Bermain sambil tatap mata
Mengajak dia jalan-jalan
Duduk sambil kontak mata
Kamandirian
Konsentrasi dan bicara

4.

Kerjasama dalam memberikan terapi

o
o

Ada
Ya, ada

5.

Memberi dukungan antar pasangan

o
o

Ya
Ya lah mas

6.

Menginformasikan keterbatasan anak o


pada orang lain
o
o
o
o

Ya , ada lah mas


Ya, ada
Ya, saya sendiri
Ya, pernah
Sudah

Tabel 2. katagori data peran guru pada anak dengan gangguan autisme
No
1.

Kategori
Perilaku autis

o
o
o
o
o

Kata kunci
Gangguan perilaku
Keterlambatan dan komunikasi
Kurangnya intraksi sosial
Gangguan emosi
Sensitif

2.

Pemberian terapi

o
o
o

Terapi bermain
Terapi perilaku
Terapi musik

40

1.

Peran orang tua pada anak dengan


gangguan autisme
a. Peran mengerti anak autisme
Pesan yang disampaikan oleh
masing-masing responden sangat
variasi antar lain : komunikasi agak
rusak, sosialisasinya kurang, suka
merusak dan menggigit jarinya,
kontak mata kurang, hieraktif dan
gangguan perilaku.
Berikut penuturan mereka :
Ya, komunikasi anak saya agak
rusak Mas, maunya sendiri gitu
(Ibu A).
Kadang-kadang
mau,
senangnya sendiri Mas, tapi dia
juga kadang takut, kalau apaapa gak mau diperintah dan
rasa ingin tahunya besar (Ibu
A).
Dulu itu gini, awalnya saya
pikir anak saya normal seperti
anak yang lainnya tapi kok
lama-lama
matanya
terus
melihat keatas (Ibu A).
Saya ajak keluar malah bikin
susah saya , nek didalam
rumah juga bikin susah saya.
Apa-apa
dirumah
semua
dirusak Mas, tv didorong, tape
ditarik, kalau diluar suka lari,
bikin
susah
orang
tua
pokoknya (Ibu B).
Gak pernah, takutnya gini
kalau dia duduk melihat
sesuatu langsung lari tiba-tiba
Mas, dulu sering terbentur.
Kadang gini Mas, dulu dia
suka merusak dirinya, nganu
tangannya digigit nek sampai
berdarah Mas (Ibu B).
Gangguan perilaku (Ibu C).
Dia hiperaktif Mas (Ibu C).
b.

Peran mencari informasi untuk


penyembuhan anak autisme
Pesan yang disampaikan oleh
masing-masing responden sangat
bervariasai antara lain : bertanya
sama teman, sanak saudara, dokter,
bidan, non medis dan baca majalah.

c.

Ke dokter Mas. Dulu ke dokter


praktek terus kemudian saya ke
RS Karyadi ketemu dokter
disana (Ibu A).
Autis mungkin masuk, dulu
kakinya gak bisa jalan terus
saya bawa ke RS Karyadi
dibilang kakinya yang sebelah
kurang cairan, lalu saya bawa
ke pengobatan alternatif dan
banyak perubahan Mas (Ibu
B).
Dokter anak, nek pertama saya
konsultasi ke bidan karna saya
pikir disana anak saya bisa
ditangani jadi lebih hemat
waktu, biaya dan tenaga.
Eh, malah disuruh diperiksakan
ke dokter (Ibu B).
Otomatis ya nyari! Cuma dulu
disemarang agak susah nyari
dokter khususnya kayak gitu.
Terus dikaryadi saya ketemu
sama ibu yang juga punya
anak autis, dari situ saya tau
ada sekolah khusus untuk anak
saya (Ibu C).

Peran memberikan terapi dirumah


pada anak autisme
Pesan yang disampaikan oleh
masing-masing responden antara
lain : mengenal bentuk dan huruf,
kemampuan mengurus diri, melatih
gerakan-gerakan, bermain sambil
natap mata, duduk sambil kontak
mata,
meronce,
kemandirian,
konsentrasi dan bicara.
Berikut penuturan mereka :
Kalau saya nonton tv saya tulis
noton tv dengan kertas, buah
jeruk saya tusis buah jeruk,
nanti dia tahu bentuk tahu
hurufnya juga. Kalau misalnya
ada binatang saya kasih tau itu
binatang
kucing,
burung,
cecak, dan sering ajak dijalanjalan Mas (Ibu A).
Kalau pakai sepatu tak ajarin,
mandi, buka baju sendiri.
Sekarang lama-lama dia hafal
(Ibu A).

Berikut penuturan mereka :


Ya, tanya sama teman, orang
tua, saudara, alternative, segala
bidang pokoknya Mas (Ibu A).

41

d.

Gerakan-gerakan ya saya latih


sendiri nek minum dia gerakin
gelas, saya latih gerakannya
gitu, pernah saya mukul meja
dia denger Mas ( Ibu B).
Terus
walaupun
banyak
bermain saya ajak menatap
mata, nek dulu gak (Ibu B).
Kadang-kadang kalau sore tak
ajak jalan-jalan ke depan
rumah, ya, keliling sekitar
rumah (Ibu C).
Ya itu dulu pertama kali duduk
sambil natap mata, kalau itu
sudah, baru masuk perjalanan.
Kalau itu gak bisa ya belum,
sulit dikasih pelajaran. Awal
terapi seperti itu (Ibu C).
Nek dulu saya buakan ruang
kecil, nanti dia duduk diajarin
meronce, sedotan dipotongpotong kaya memasukan mute
panjang, otomatis dia tidak
merasa duduk lama Mas. Ya
udah gitu aja (Ibu C).
Bisa, Efek sendiri (BAB),
nyopot baju sendiri, dulu kalau
nyopot baju sendiri gak mau
dia di kamar mandi tapi
sekarang dia sudah bisa (Ibu
C).
Ya, konsentrasi, semuanya,
bicara (Ibu C).

Peran
kerjasama
dalam
memberikan terapi pada anak
autisme
Peran yang disampaikan oleh
masing-masing responden antara
lain : ada, ya ada, dan ya.
Berikut penuturan mereka :
Ada, dari keluarga banyak Mas
(Ibu A).
Ya, ada Mas (Ibu B).
Ya (Ibu C).

e.

Peran memberikan dukungan antar


pasangan dalam memberikan terapi
pada anak autisme
Pesan yang disampikan ole
responden antara lain : ya iyalah
Mas, ada, ya ada.
Berikut penuturan mereka :
Iya lah Mas! Kita harus saling
perhatian dan mendukung. Satu
medorong,
satu
mencari

f.

mafkah. Kan semua perlu


biaya (Ibu A).
Ya, ada lah Mas. Kita saling
mendukung kok Mas(Ibu B).
Ya ada! Kalau ga ya piye? (Ibu
C).

Peran menginformasikan gangguan


autis pada orang lain
Peran yang disampikan oleh
masing-masing responden antara
lain: ya saya sendiri, ya pernah dan
sudah.
Berikut pemuturan mereka :

Ya, saya sendiri (Ibu A).

Ya, pernah saya mengutarakan


sama mereka. Merekan kan
juga bisa lihat sendiri Mas
(Ibu B).

Sudah ik! Disini semua tau, ya


saya kasih tau (Ibu C).

2.

Peran guru pada anak dengan gangguan


autis
a. Pengertian autisme
Pesan yang disampaikan oleh
reaponden pantara lain : gangguan
perilaku,
keterlambatan
komunikasi, kurangnya intraksi
sosial, gangguan emosi dan sensitif.
Berikut penuturan responden :

Pada prinsipnya autisme itu


merupakan gangguan atau
ketelambatan
berupa
gangguan
perilaku,
keterlambtan
dalam
berkomunikasi, intraksi sosial
yang kurang, gangguan emosi
dan sensitif. Hal ini bisa
terlihat pada anak yang
sukanya diam di kelas, ada
yang agresif, sering merasa
takut dan cemas, kesulitan
dalam bicara, berlebihan
dalam berbicara, kemudian
anak susah untuk duduk dan
diam,
sulit
untuk
berkonsentrasi.

Yang menonjol dari anak X


adalah gangguan komunikasi.
Anak ini kesulitan dalam
berbicara, kadang anak ini
suka menyendiri. Kalau anak
Y yang menonjol adalah

42

kadang dia agresif dan yang


cukup berbahaya anak ini
punya kebiasaan merusak
dirinya sendiri. Dan anak Z
yang
menonjol
adalah
kesulitan dalam konsentrasi
dan sering merasa takut dan
cemas.

b.

Peran memberikan terapi pad anak


autisme
Pesan yang sampaikan oleh
responden antara lain : terapi
bermai, terapi perilaku, terapi
masik.
Berikut penuturan responden :

Di sekolah ada beberapa jenis


perapi yang diberikan anatara
lain : terapi bermain, terapi
perilaku dan terpi musik.
Bentuk
terapi
ini
ada
bermacam-macam
dan
bervariasi supaya anak tidak
bosan.

Misalnya
untuk
terapi
bermain
ada
banyak
permainan yang coba kita
lakukan antara lain : lomba
menamai
benda,
lomba
menyayi dan masih banyak
yang lain. Perminan juga
kadang dilakukan secara
berkelompok
sehingga
merangsang mereka untuk
berintraksi dengan temannya.

Terapi perilaku biasanya kita


lakukan untuk meningkatkan
pemahaman
anak
dan
kepatuhan anak terhadap
peraturan. Misalnya ketika
seorang anak kita suruh untuk
menulis dan dia mampu
mengikuti
perintah
kita
biasanya memberi dia pujian
atau bertepuk tangan dan
mengatakan bagus dan pintar.

Terapi musik kita lakukan


untuk
membantu
memprbaikai
konsentrasi
anak, mengurangi perilaku
yang negatif dan membuka
komunikasi. Pada terapi ini
kita perkenalkan dengan
berbagai alat musik pada anak
dan nantinya diharapkan dia
akan memilih alat
musik

mana yang dia sukai. Selain


itu, setiap kelas ada jadwal
khusus untuk terapi musik
dimana
anak-anak
diperkenalkan
dengan
beberapa jenis musik seperti
instrumen.

PEMBAHASAN
Pada bab ini akan dibahas mengenai
hasil penelitian sesuai dengan tujuan
penelitian yaitu mengetahui gambaran
perilaku anak dengan Autisme.
1.

Peran orang tua mengerti Autisme


a. Orang tua mengerti Autisme
Dari hasil wawancara dengan
responden didapatkan peran orang
tua mengerti Autisme dari Ibu A
yang mengartikan Autisme sebagai
gangguan perilaku.
Autisme merupakan gangguan
perilaku, menurut Dyah messwati
(2005)Autisme
merupakan
kumpulan gejala gangguan perilaku
yang
bervariasi
pada anak.
Gangguan perilaku dapat berupa
kurangnya
interaksi
sosial,
penghindaran
kontak
mata,
kesulitan dalam mengembangkan
bahasa, dan pengulangan tingakah
laku. Gangguan yang dialami dapat
berubah sejalan dengan waktu.
Anak
Autisme
selain
mengalami gangguan perilaku, juga
mengalami gangguan emosi, seperti
yang dikatakan Mc Candicss dalam
Dyah messwati (2005), ASD
(Autisme
Spectrum Disorder)
bukan hanya gangguan perilaku
saja tetapi merupakan sindrom yang
kompleksi berdasarkan gangguan
fisiologi dan biokimia, serta
memiliki ketidakseimbangan emosi
dan
sensor-sensor
intelektual,
sehingga diasosiasikan dengan
mutis.
Orang tua disini sudah
mengerti tentang Autisme tetapi
mereka belum dapat memperkaya
pengetahuan mengenai terapi yang
tepat untuk penyembuahan anak
mereka dikarenakan keterbatasan
waktu untuk mencari dan mereka

43

juga sudah merasa puas melakukan


terapi dirumah seperti apa yang
sudah mereka ketahui. Mereka juga
belum dapat mengkomunikasikan
keadaan anak mereka pada dokter
dan
hanya
dapat
mengkomunikasikan sebagian saja,
sehingga dokter yang menangani
belum dapat memastikan diagnostik
apakah anak mereka autistik atau
tidak. Menurut Pradipto (2005)
dalam persoalan ini orang tua
dituntut untuk mengerti hal-hal
seputar Autisme dan mampu
mengorganisirkan
kegiatan
penyembuhan anak terapi untuk
anaknya. Para ahli tidak dapat
bekerja tanpa peran serta orang tua,
dan terapi tidak efektif bila orang
tua tidak dapat bekerjasama, karena
umumnya para ahli tersebut bekerja
berdasarkan data yang diperoleh
dari orang tua yang paling
memahami dan berada paling dekat
dan hidup bersama dengan anak
yang mengalami Autis.
Berdasarkan hal ini, cukup
bijaksana apabila orang tua mulai
menggali
ilmu
pengetahuan
pengetahuan
tentang
Autism
sehingga
mereka
mampu
mengkomunikasikan pada dokter
dengan baik tentang keterbatasan
anak dan bila mencari informasi
tentang terapi yang tepat untuk
penyembuahan anak Autisme, atau
sebaliknya
bila
memiliki
pengetahuan dan pengalaman agar
mencoba untuk berbagai keadaan
orang tua yang senasib.

b.

Peran orang tua mencari informasi


tentang
penyembuhan
anak
autisme.
Peran orang tua mencari informasi
tentang penyembuahan anak autism
yang dikemukakan oleh Ibu C
otomatis ya nyari !! Cuma dulu
memang susah nyarinya dan
akhirnya aku ke Karyadi. Kebetulan
saya disana juga bertemu dengan
beberapa orang tua yang punya
anak autis juga dari situ ada niat
untuk bawa anak saya ke Sekolah
SLB.

Mencari informasi tentang


penyembuhan anak autism, bisa
lewat membaca lewat masalah
autisme, membaca buku-buku
autisme, dan ikut seminar-seminar.
Menurut pendapat Zamralita dan
Tiatri (2005) untuk mencapai
harapan yang diinginkan maka
orang tua melakukan berbagai
upaya dan bekerja keras yang
didasari oleh keyakinan bahwan
yang dilakukan akan memeperoleh
hasil yang diinginkan.upaya yang
dilakukan dalam membimbing anak
autistic agar dapat mengembnagkan
diri secara optimal antara lain
mencari informasi melalui seminar,
buku-buku,
internet,
serta
memberikan
terapi
untuk
mengembangkan
kemampuan
kognitif,
interaksi
sosial,
motorik,dan komunikasi.
Berdasarkan hal ini peran
orang tua mencari informasi
merupakan salah satu upaya yang
akan membantu orang tua mencari
jalan keluar penyembuhan anak
autisme, disamping ini juga akan
menambah pengetahaun orang tua
tentang bagaimana cara menangani
anak autisme.

c.

Peran orang tua memberikan terapi


pada anak autisme
Peran orang tua memberikan terapi
dirumah yang dikemukakan oleh
Ibu yang C :
1) kadang-kadang kalau sore tak
ajak jalan-jalan keliling
2) ya itu dulu pertama kali duduk
sambil natap mata, kalau itu
sudah baru masuk perjalanan,
kalau belum bisa itu ya balum,
sulit dikasih pelajaran, awal
terapi seperti itu.
3) nek dulu saya ajak duduk
sambil
diajarin
meronce,
sedotan dipotong-potong kaya
memasukan mute panjang,
otomatis dia gak terasa duduk
lama Mas, ya udah gitu aja.

44

4) Eak sendiri (BAB), ngelepas


baju sendiri, dulu kalau
ngelepas baju gak mau dikamar
mandi tapi dia sekarang udah
bisa.
5) ya konsentrasi, semuanya,
bicara.

Terapi
yang
dilakukan
dirumah bisa berupa terapi
bermain, sosialisasi, kemandirian,
dan komunikasi. Menurut pendapat
Danuatmaja
(2003)
home
programme merupakan program
terapi yang dilakukan oleh orang
tua atau anggota lainnya dirumah,
baik sendiri maupun bersamasama. Paling sederhana anak autis
adalah
bersosialisasi,
seperti
mengajak
bermain,
bercanda,
menggambar, atau berkomunikasi
apa saja. Ini merupakan terapi
dalam sosialisasi agar anak dapat
berkomunikasi.
Selain
itu,
kemampuan
motorik anak juga bias dilatih lewat
home programme misalnya lewat
aktivitas fisik seperti bermain
dengan gerakan memegang tangan
anak, lali ditarik ke atas.
Pemberian terapi dirumah
akan banyak membantu proses
penyembuhan
anak
autisme,
menurut Anonim (2005) terapi
yang
dilakukan
dirumah
merupakan salah satu intervensi
dini yang banyak diterapkan di
indonesia
adalah
modifikasi
perilaku atau lebih dikenal sebagai
metode
Applied
Behavioral
Analysis (ABA). Melalui terapi ini,
anakl dilatih melakukan berbagai
macam ketrampilan yang berguna
bagi hidup masyarakat. Misalnya
berkomunikasi,
berinteraksi,
berbicara, dan lain-lain. Namun
terapi yang pertama-tama perlu
diterapkan
adalah
latihan
kepatuhan.
Hal ini sangat penting
dilakukan agar mereka dapat
mengubah perilaku seenaknya
sendiri
(misal
memasakan
kehendak) menjadi perilaku yang
lazim dan diterima masyarakat.
Bila latihan ini tidak dijalankan
dengan konsisten, maka perilaku

itu sulit dirubahdan anak kalau


sudah dewasa nanti akan seperti
tidak tahu sopan santun.
Orang tua sebenarnya sudah
melaksanakan
prinsip-prinsip
modifikasi perilaku secara sadar.
Menurut pendapat Safaria (2005)
anak belajar melalui banyak cara
antara lain melalui peniruan,
observasi dan penguatab baik itu
positif maupaun negatif. Misalnya
ketika orang tua melilhat anaknya
mampu menyapu kamarnya sendiri,
kemudian
anak
dipuji
atas
perilakunya, maka hal ini sudah
merupakan
penerapan
dari
modifikasi perilaku.
Orang tua
menggunakan
program modifikasi perilaku untuk
mendorong dan mengingatkan
perilaku positif pada anak. Perilaku
positif
itu
seperti
mampu
membersihkan kamarnya sendiri,
mampu mandi sendiri, mampu
buang air ke kamar mandi, dan
banyak lagi perilaku positif yang
dikuatkan
melalui
modifikasi
perilaku.
Peran orang tua sebagai
meneger dalam memberikan terapi
saat ini jarang dilakukan karena
mereka sudah menganggap anak
mereka sudah bias keluar dari
keterbatasan. Menrut Danuatmaja
(2003) orang tua sebagai meneger
supaya nanti bias memutuskan
segala sesuatu yang berkaitan
dengan pendidikan, terapis, dan
pengobatan anak selanjutnya.
Berdasarkan hal ini pemberian
terapi pada anak autisme dirumah
sangat banyak membantu orang tua
dalam menyembuhkan anak autism
dari keterbatasan, dan disamping
itu juga peran orang tua sebagai
meneger supaya dapat dilakukan
dirumah karena nantinya akan bias
membantu orang tua dalam
memutuskan segala sesuatu yang
berhubungan
dengan
perkembangan terapi pada anak.

45

d.

Peran orang tua bekerja sama dalam


memberikan terapi pada anak
autisme
Peran orang tua bekerja dalam
memberikan terapi pada anak
autisme yang dikemukakan oleh ibu
C.
Yang baik piye ? (kadang
nek ngajarin kok gak masuk-masuk
kenapa ya pak?). dulu kita pernah
mengundang guru kesini, nek
sekarang sudah jarang karena sudah
sekolah dan nanti juga bejalan
dengan sendirinya, sekarang paling
banyak tak suruh-suruh biar tahu.
Kerjasama
dalam
memberikan
terapi
sangat
dibutuhkan dalam memberikan
terapi sangat dibutuhkan dalam
mem proses penyembuhan anak
autisme .Menurut duatmaja (2003)
orang tua asi tergantungsangat
berperan dalam memberikan terapi
di rumah karaena mereka adalah
pembinbing dan penolong paling
baik dan berdedikasi. Hanya orang
tua yang dapat melanyani dunia
anaknya. Dalam pembeberian terapi
orang tua harus mengatahui
caramengarahkan anak agar dapat
mengembangkan situasi untuk
menolong anak
keluar dari
keterbatasan.
Orang tua yang sibuk bekerja
akan kurang memberikan terapi
pada anakya. Menurut Siswanto
(2005) seorang anak berkonsentrasi
tergantung dari tingkat masalah
masing-masing
anak.
Untuk
keberhasilan progam dibutuhkan
dukungan
lingkungan.
Tanpa
adanya dukungan dari keluarga,
akan
sia-sia belaka, karena
kebanyakan orang tua yang sibuk
bekerja sehingga tidak melakukan
terapi dengan baik.
Sehingga kerjasama dalam
memberika
terapi
sangat
dibutuhkan
sekali
dalam
mempercepat proses penyembuhan
anak autisme. Terapi di rumah
biasa dilakukan secara bersamasama oleh banyak anggota keluarga
yang penting adanya satu saja yang
berperan dalam memberikan terapi
maka proses peyembuhan anak
autisme akan semakin lama.

e.

Peran orang tua memberikan


support antar pasangan dalam
memberikan terapi pada anak
autisme.
Peran orang tua memberikan
support antar pasangan dalam
memberikan
terapiyang
dikemukakanoleh ibu A Iyalah
mas! Kita harus saling mendukung,
satu memberi dorongan satu
mencari nafkah,kan semua perlu
biaya.
Saling
meberi
dukungan
dengan
pasangan
dalam
memberikan terapi pada anak
autisme
akan
kesuksesan
penyembuhan. Menurut safiria
(2005) bagaimanapun salah satu
factor yang menentukan bagaimana
kita sebagai orang tua mamapu
berhasil dan sukseh menghadapi
tantangan memiliki anak dengan
gangguan autisme ini adalah
hubugan harmonis antar kita
dengan pasangan, antar ayah dan
ibu,antara suami dan istri.
Dengan adanya hubungan
suami dan istri yang harmonis,
maka keduanya akan lebih mampu
saling
bekerja
sama
dalam
mendidik dan membimbing yang di
pukul keduanya akan tambah berat,
ditambah lagi tidak adanya kerja
sama yang baik antara suami dan
istri, sehingga mungkin saja anak
akan menjadi korban karena kasih
sayang dan perhatian.

f.

Peran orang tua menginformasikan


keterbatasan anak pada orang lain.
Perang
orang
tua
menginformasikan
keterbatasan
anak pada orang lain yang
dikemukakan C sudah kok! Disini
semua sudah tahu. Ya saya ngasi
tahu. (gini bu, kalau nanti dia
masuk trus ngerusakin barangbarang kasih tahu saya ya bu).
Menginformasikan
keterbatasan anak merupakan hal
yang sulit bagi orang tua akan
tetapi semua ini sangat dibutuhkan
dalam mensosiallisasikan anak
autisme
agar
orang
lain
mengetahuinya. Menurut safiria
(2005) kadang-kadang perlu juga
untuk
mendidik
orang-orang
disekeliling
kita
dengan

46

memberikan informasi dan biasa


pengetahuan yang akurat tenteng
gangguan autisme. Kita sebagai
orang tua harus biasa menjelaskan
secara langsung jika mempunyai
waktu, namun ketika kita tidak
mempunyai waktu yang cukup,
biasa saja kita memberikan sebuah
buku atau brosur tentang autisme.
Dengan memberikan informasi
yang akurat tentng autisme, maka
orang-orang disekitar kita akan
lebih memahami autisme secara
baik. Akibnatnya mereka akan lebih
bisa
berempati.
Selain
itu,
pemberian informasi ini akan
mencegah
mereka
untuk
mengeluarkan komentar-komentar
yang baik dan negatif tentang
autisme.
2.

Peran guru terhadap anak dengan


gangguan autisme
a. Pandangan guru tentang autisme
Dari hasil wawancara dengan
responden
didapatkan
bahwa
autisme merupakan gangguan atau
keterlambatan berupa gangguan
perilaku, keterlambatan dalam
berkomunikasi, intraksi sosial yang
kurang, gangguan emosi dan
sensitif. Hal ini bisa terlibat pada
anak yang sukanya diam di kelas,
ada yang agresif, sering merasa
takut dan cemas, kesulitan dalam
bicara, berlebihan dalm berbicar,
kemudian anak susah untuk duduk
dan
diam,
sulit
untuk
berkonsentrasi.
Menurut
yatim
(2007),
autisme bukan satu gejala penyakit
tetapi berupa tetapi berupa sindrom
(kumpulan gejala) dimana terjadi
penyimpangan
perkembangan
sosial, kemampuan berbahasa dan
kepedulian
terhadap
sekitar,
sehingga anak autisme seperti
hidup dalam dunianya sendiri.
Autisme tidak termasuk golongan
penyakit tetapi suatu kumpulan
gejala kelainan perilaku dan
kemajuan perkembangan. Dengan
kata lain, pada anak autisme terjadi
kelainan emosi, intelektual dan
kemauan (gangguan pervasif).
Autisme adalah suatu keadaan
dimana seorang anak berbuat

semuanya sendiri baik cara berpikir


maupun
berperilaku.
Autisme
ditandai oleh ciri-ciri utama, antara
lain :
tidak peduli dengan
lingkungan sosialnya, tidak bisa
bereaksi normal dalam pergaulan
sosialnya, perkembangan bicara
dan berbahasa tidak normal
(penyakit kelainan mental pada
anak = autistic-children), reaksi
/pengamatan terhadap lingkungan
terbatas atau berulang-ulang dan
tidak padan.
Menurut Prasetyono (2008),
autisme merupakan suatu kumpulan
sindrom yang mengganggu saraf.
Penyakit
ini
mengganggu
perkembangan anak, diagnosisnya
diketahui dari gejala-gejala yang
dan ditunjukan dengan adanya
penyimpangan
perkembangan.
Anak autis memiliki gambaran unik
dan karakter yang berbeda dari
anak lainya.
b.

Peran guru dalam memberikan


terapi terhadap anak dengan
gangguan autisme
Dari hasil wawancara dengan
responden didapatkan bahwa ada
beberapa jenis terapi yang berikan
antara lain : terapi bermain, terapi
perilaku dan terapi musik. Bentuk
terapi musik. Bentuk terapi ini ada
macam-macam dan
bervariasi
suplaya anak tidak bosan. Misalnya
untuk terapi bermain ada banyak
permainan yang coba kita lakukan
antara laini : lomba menamai
benda, lomba menyanyi dan banyak
masih jenis permainan lain.
Permainan juga kadang dilakukan
secara
berkelompok sehingga
merangsang
mereka
untu
berintraksi
dengan
temannya.
Terapi perilaku biasanya kita
lakukan
untuk
meningkatkan
pemahaman anak dan kepatuhan
anak terhadap peraturan. Misalanya
ketika seorang anak kita suruh
untuk menulis dan dia mampu
mengikuti perintah kita biasanya
memberi dia pujian atau bertepuk
tangan dan mengatakan bagus atau
pintar. Terapi musik kita lakukan
untuk membantu memperbaiki
konsentrasi. Pada terapi ini kita

47

perkenalkan dengan berbagai alat


musik pada anak dan nantinya
diharapkan dia akann memilih alat
musik mana yang dia sukai. Selasin
itu, setiap kelas ada jadwal khusus
untuk terapi musik dimana anakanak
diperkenalkan
dengan
beberapa jenis musik seperti
instrumen.

DAFTAR PUSTAKA
1. Alhamdi, Sulfi.2008. Pelajaran
bernyani
:
mengembangkan
kreativitas berbahasa pada insan
autis. Retrieved October 15, 2008
from raja@rajadunia.net.
2. Astuti, Idayu. 2006. Mengenal
autisme dan terapinya. Retrieved
October
24,
2008
from
info@ditplb.or.id.
3. Djohan. 2005. Psikologi musik.
Yogyakarta : Buku Baik.

KESIMPULAN
4.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan
peneliti dapat menyimpulkan beberapa hal
sebagai berikut :
1. Autisme merupakan gangguan atau
keterlambatan berupa gangguan perilaku,
keterlambatan komunikasi, kurangnya
interaksi sosial, gangguan emosi, dan
sensitif.

2. Bentuk perilaku yang muncul pada anak


dengan gangguan autisme berupa : susah
untuk berbicara, suka merusak dengan
menggigit atau melukai tangannya
sendiri, hiperaktif, tidak tahan duduk
berlama-lama dan tidak bisa konsentrasi.
3. Pemberian terapi untuk anak autisme
dapat dilakukan dengan bebagai cara
antara lain terapi bermain, terapi
perilaku, dan terapi musik.
4. Dalam pemberian, proses pemberian
harus dilakukan secara terus menerus dan
konsisten agar proses pnyembuhan anak
dengan gangguan autisme dapat berjalan
baik.

5.

6.

7.
8.

9.
10.

11.

12.
SARAN
Berdasarkan hasil penelitian diatas, ada
beberapa saran yang bisa penulis sampaikan
yaitu sebagai berikut :
1. Untuk pemberian terapi hendaknya
diberikan secara terus menerus agar anak
nanti terbiasa dan lama kelamaan bisa
hafal mengenai apa yang didapatkannya
dalam terapi.
2. Ibu
atau
keluarga
hendaknya
memberikan terapi yang bervariasi agar
anak tidak cepat bosan.

13.
14.

15.

Ginanjar, Adrina. 2008. Panduan


praktis mendidik anak autis :
menjadi orang tua istimewa.jakarta
: Dian Rakyat.
Maulana, Mirza. 2007. Anak autis :
mendidik anak autis dan ganggaun
mental lain menuju anak cerdas
dan sehat. Jogjakarta : katahati.
Nasution, Mutia. 2007. Pusat terapi
anak kebutuhan khusus tootie kidz
center. Retrieved October 15, 2008,
from www.ditplb.or.id.
Ngastiyah. 2005. Perawatan anak
sakit. Jakarta : EGC
Notoatmodjo, Soekidjo. 2003.
Pendidikan dan perilaku kesehatan.
Jakarta : Rineka Cipta.
Prasetyono, DS. 2008. Serba-serbi
anak autis. Jogjakarta : Diva Press.
Pus ponogoro, Hardiono. 2003.
Kelainan susunan saraf pusat dan
gangguan
autistik.
Rertrieved
November
2008,from
www.
Kompas.com.
Pusponogoro, Hardiono. 2007.
Apakah anak kita autis?. Bandung :
Trikarsa Multi Media.
Safaria, Triantoro. 2005. Autisme
:pemahaman baru untuk hidup
bermakna
bagi
orang
tua.yogyakarta : Graha Ilmu.
Sheppard, Triantoro. 2007. Music
makes your child smarter. Jakarta :
Gramedian pusat utama.
Suryani. 2008. kesehatan : terapi
musik perkusi bagi penderita autis.
Retrieved October 15, 2008, from
http://www.suryani-intitute.
Com/modules.php?.
Taufik, M. 2007. Prinsip-prinsip
promosi keshatan dalam bidang
keperawatan : untuk perawat dan
maha siswa keperawatan. jakarta :
Infomedik.

48

16. Veskarisyanti, Galih A. 2008. 12


terapi autis paling efektif & hemat
:untuk autisme, hiperaktif, dan
retardasi mental. Yogyakarta :
Pustaka anggrek.
17. Wisihastuti, Setiati. 2006. Pola
pendidikan anak autis. Yogyakarta
: FNAC Press.
18. Wijayakusuma, Hembing. 2004.
Psikoterapi anak autisme : teknik
bermain kreatif non verbal &
verbal : terapi khusus untuk
autisme. Jakarta : Pustaka Populer
Obor.
19. Yatim, Faisal. 2007. Autisme :
suatu gangguan jiwa pada anakanak. Jakarta :Pustaka Populer
Obor.

49

Hubungan Antara Konsumsi Makanan Kariogenik Dan Kebiasaan


Menggosok Gigi Dengan Kejadian Karies Gigi Pada Anak Pra Sekaran
Kecamatan Gunung Pati Semarang
Sumarti*) Widya Hary Cahyati**)
*)
Alumnus Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat FIK UNNES
**)
Staf Pengajar pada Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat FIK UNNES
ABSTRAK
Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah adakah hubungan antara konsumsi
makanan kariogenik dan kebiasaan menggosok gigi dengan timbulnya penyakit karies gigi pada
anak pra sekolah di Desa Sekaran Kecamatan Gunung Pati Semarang.
Jenis penelitian ini adalah explanatory research dengan metode survei dan pendekatan
crosssectional. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa TK di Desa Sekaran sejumlah
165 anak. Sampel yang diambil sejumlah 50 anak dengan menggunakan teknik proportionate
stratified random sampling. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner. Data
primer diperoleh melalui obseervasi, wawancara serta pemeriksaan gigi. Data sekunder diperoleh
dengan cara melihat data angka kesakitan penyakit karies gigi yang telah direkap pleh Puskesmas.
Data yang diperoleh dalam penelitian ini diolah dengan menggunakan statistik uji chi-square
dengan derajat kemaknaan () = 0,05.
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa sebagian besar responden berada dalam
kategori konsumsi makanan kariogenik berisiko 88%, dan kategori tidak berisiko 12%. Variabel
kebiasaan menggosok gigi sebagian besar responden berada dalam kategori kebiasaan menggosok
gigi berisiko 90%, dan kategori tidak berisiko 10%. Berdasarkan uji statistik didapatkan hasil p
value untuk hubungan antara konsumsi makanan kariogenik dengan kejadian penyakit karies gigi
sebesar 0,023, dan p value untuk hubungan antara kebiasaan menggosok gigi dengan penyakit
karies gigi sebesar 0,035.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan ada hubungan antara
konsumsi makanan kariogenik dan kebiasaan menggosok gigi dengan timbulnya penyakit karies
gigi pada anak pra sekolah. Berdasarkan hasil penelitian saran yang diajukan adalah sebaiknya
membersihkan gigi minimal 2 kali sehari dengan waktu mneyikat gigi terakhir adalah sebelum
tidur.
Kata kunci : Makanan Kariogenik, Kebiasaan Menggosok Gigi, Karies Gigi

50

PENDAHULUAN
Kesehatan
gizi
sangat
erat
kaitannya dengan apa yang kita konsumsi.
Seringkali para orang tua terutama ibu, rajin
mengingatkan anak-anaknya untuk menjauhi
makanan serba manis terutama permen. Hal
tersebut dilakukan agar anak-anak terhindar
dari penyakir gigi atau karies gigi. Menurut
A.H.B Schuurs, karies gigi atau gigi keropos
adalah sebagai penyakit kronik dari jaringan
keras gigi yang disebabkan demineralisasi
emailoleh bakteri yang ada pada plak, pada
tahap akhir karies ini menyebabkab
1)
kerusakan gigi dan gigi berlubang .
Karies gigi merupakan salah satu
penyakit gigi dan mulut yang paling sering
dijumpai di masyarakat. Karies gigi
merupakan penyakit jaringan keras gigi yang
erat hubungannya dengan
konsumsi
makanan ataupun minuman yang kariogenik.
Sekarang ini banyak dijumpai makanan
kariogenik yang dijual dipasaran dan sudah
samapai pelosok desa. Makanan ini sangat
digemari anak, sehingga perlu lebih
diperhatikan pengaruh substrat karbohidrat
kariogenik dengan kejadian karis gigi.
Mengingat pentingnya fungsi gigi maka
sejak dini kesehatan gigi anak-anak perlu
diperhatikan dalam rangka tindakan
pencegahan karies gigi. Walaupun kegiatan
menggosok gigi yang sudah umum namun
masih ada kekeliruan baik dalam
pengertiannya
maupun
dalam
2)
pelaksanaannya (John Besford, 1996: 14).
Gigi merupakan salah satu organ
pengunyah, yang terdiri dari gigi-gigi pada
rahang atas dan rahang bawah, lidah, serta
3)
saluran-saluran penghasil air ludah
(Rasinta Tarigan, 1992) bagian-bagian ini
meliputi : Email, yaitu lapisan terluar gigi
yang meliputi seluruh corona, dalam bahasa
inggris disebut crow artinya mahkota;
Dentin yaitu bagian yang terletak dibawah
email, merupakan bagian terbesar dari
seluruh gigi. ; Jaringan pulpa, jaringan benak
gigi/sum-sum gigi, yaitu jaringan lunak yang
terdapat didalam kamar pulpa/ ruang dan
seluruh saluran akar, jaringan ini terdiri
jaringan limfe, pembulluh darah arteri/vena,
dan urat syaraf; Sementum, yaitu bagian
yang meliputi seluruh lapisan luar gigi,
kecuali pada bagian lubang pucuk/ujung
akar gigi disebutforamen apikalis. Sama
seperti email dan dentin, sementum terdiri
atas air 32%, bahan organik 12%, dan bahan
4)
anorganik 56% (Ircham Mc, 2005: 26)

Gigi sulung bila tumbuh lengkap


berjumlah 20 buah, masing- masing 10 gigi
dirahang atas dan 10 gigi dirahang bawah,
yang terdiri dari 4 gigi seri, 2 gigi taring, dan
4 gigi geraham. Gigi gerahan pada gigi
sulung hanya satu macam, sedangkan pada
gigi tetap terdapat dua macam sehingga
dibedakan menjadi gigi geraham besar dan
gigi geraham kecil. Jumlah gigi seluruhnya
5)
32 buah (Ismu Suwelo, 1992)
Saat gigi sulung tanggal, biasanya
bersamaan pada gigi geraham besar, gigi
geraham besar pertama mulai tumbuh pada
umur 6-7 tahun. Gigi geraham ini bukan
pengganti, artinya gigi ini langsung muncul
pada deretan dibelakang gigi sulung, baik
pada rahang atas maupun rahang bawah, jadi
gigi ini (dan juga gigi geraham lainnya)
tumbuh tidak menggantikan gigi sulung,
sedangkan gigi lainnya, geraham kecil,
taring dan seri akan tumbuh menggantikan
5)
gigi pendahulunya (gigi sulung)
(Ismu
Suwelo, 1992)
Pertumbuhan gigi pada anak ditandai
dengan pemunculan gigi pada permukaan
gusi dan diikuti dengan perubahan posisi
gigi dari dalam tulang pendukung gigi untuk
menempati posisi fungsionalnya dalam
rongga mulut. Pada umumnya gigi sulung
pertama kali akan muncul pada usia 6 bulan
sesudah lahir dan seluruh gigi sulung selesai
muncul pada usia2,5 tahun, yang ditandai
dengan geraham sulung kedua telah
3)
mencapai kontak dengan gigi antagonisnya
(Rasinta Tarigan, 1992)
Meskipun terlihat sepele dan kurang
diperhatikan, dari fungsi ternyata gigi sulung
memegang peranan penting dalam menjaga
kenormalan fungsi bicara anak. Anak-anak
dengan gigi sulung kurang bertumbuh sehat,
berlubang dan tanggal sebelum waktunya,
perkembangan fungsi bicaranya bisa
terganggu. Dalam jangka panjang bisa
berakibat menurunkan kepercayaan diri sang
anak. Sebaliknya jika gigi sulung
berkembang dan tanggal sesuai jadwal, gigi
jadwal, gigi geligi perment pun bisa tumbuh
dengan baik. Dengan kata lain, gigi sulung
bermanfaat untuk mempertahankan ruangan
2)
bagi geligi pemanent (John Besford, 1996)
Secara umum penyakit yang menyerang
gigi dimulai dengan adanya plak gigi. Plak
timbul dari sisa makanan yang mengendap
pada lapisan
gigi
yang kemudian
berinteraksi dengan bakteri yang banyak
terdapat dalam mulut, seperti strepcococus
mutans. Plak akan melarutkan lapisan email

51

pada gigi yang lama kelamaan lapisan


tersebut menipis. Terjadinya plak sangat
singkat, yaitu hanya 10-15 menit setelah
makan. Plak yang menumpuk kemudian
membentuk karies gigi yang akhirnya
2)
merusak email hingga melubangi gigi
(John Besford, 1996)
Karies gigi adalah suatu proses kronis,
regresif yang dimulai dengan larutnya
mineral email, sebagai akibat terganggunya
keseimbangan
antara
email
dan
sekelilingnya
yang
disebabkan
oleh
pembentukan asam mikrobial dari substrat
(medium makanan bagi bakteri) yang
dilanjutkan dengan timbulnya desstruksi
komponen-komponen organik yang akhirnya
1)
terjadi kavitasi (pembentukan lubang)
(A.H.B Schuurs, 1993).
Akumulasi plak pada permukaan gigi
utuh dalam dua sampai tiga minggu
menyebabkan terjadinya bersak putih.
Waktu terjadinya bercak putihmenjadi
kavitasi tergantung pada umur, pada anakanak satu setengah tahun, dengan kisaran 6
bulan keatas dan kebawah, pada umur lima
belas tahun, 2 tahun dan 21-24 tahun,
hampir 3 tahun. Tentu saja terdapat
perbedaan individual. Sekarang ini karena
banyak pemakaian flourida, kavitasi akan
1)
berjalan lebih lambat dari pada dahulu
(A.H.B Schuurs, 1993)
Pada anak-anak, kemunduran berjalan
lebih cepat dibanding orang tua, hal ini
disebabkan :
1) Email gigi yang baru erupsi lebih
mudah diserang selama belum selesai
maturasi setelah erupsi (meneruskan
mineralisasi dan pengambilan flourida)
yang berlangsung terutama satu tahun
setelah erupsi
2) Remineralisasi yang tidak memadai
pada
anak-anak,
bukan
karena
perbedaan fisiologis, tetapi sebagai
akibat pola makannya (sering makan
makanan kecil)
3) Lebar tubuli pada anak-anak mungkin
menyokong terjadinya sklerotisasi yang
tidak memadai
4) Diet yang buruk
Perbandingan dengan orang dewasa,
pada anak-anak terdapat jumlah ludah dari
kapasitas buffer yang lebih kecil, diperkuat
oleh aktivitas proteolitik yang lebih besar
1)
didalam mulut (A.H.B Schuurs, 1993)
Faktor-faktor
yang mempengaruhi
karies gigi adalah : (1) Adanya
mikroorganisme streptococus mutans atau

kuman yang mengeluarkan tixin/racun yang


tidak dapat dilihat oleh mata biasa. (Ismu
Suwelo, 1992), (2) Terdapatnya sisa-sisa
makanan yang terselip pada gigi dan gusi
terutama makanan yang lengket seperti
permen, cokalat, biskuit, dll, (3) Permukaan
gigi dan bentuk gigi, (4) kebersihan mulut,
(5) frekuensi makan makanan yang
menyebabkan karies (makanan kariogenik),
(6) usia, (7) letak geografis, (8)
pengetahuan, sikap, dan perilaku terhadap
pemeliharaan kesehatan gigi. (Ismu Suwelo,
1992)
Gigi yang mudah sekali terserang
karies gigi adalah gigi sulung (gigi anak)
karena struktur giginya lebih tipis dan lebih
kecil dibandingkan dengan gigi dewasa (gigi
tetap). Oleh karena itu dalam mencegah
kerusakan gigi harus dilakukan sedini
mungkin. Penjalaran karies mula-mula
terjadi pada email yang merupakan jaringan
terkeras dari gigi. Bila jaringan kariesnya
tidak segera dibersihkan dan ditambal, karies
akan terus menjalar kedalam pulpa (ruangan
pembuluh syaraf dan pembuluh darah dalam
gigi) yang bisa menimbulkan rasa sakit dan
5)
akhirnya gigi tersebut bisa mati (Ismu
Suwelo, 1992: 29)
Berdasarkan data yang diperoleh
dari puskesmas sekaran menunjukkan angka
kejadian karies gigi anak-anak terus
meningkat dari tahun ketahun. Pada tahun
2005 jumlah penderita karies sebanyak 173,
sedangkan pada tahun 2006 jumlah
penderita karies gigi mengalami peningkatan
sebesar 49,18% yaitu sebanyak 263 anak.
Taman kanak-kanak yang diteliti
dalam penelitian ini yaitu TK Rhoudlotul
Huda, Tk sekar Mekar, TK Al Iman berada
dalam wilayah kerja puskesmas keluraha
sekaran. Masing-masing sekolah mempunyai
siswa yang berusia rata-rata 4-6 tahun.
Sebagian besar dari mereka sangat gemar
mengkonsumsi makanan jajanan terutama
makanan manis misalnya permen, karena
selain rasanya manis, harganya yang lebih
relatif murah, mudah didapat,permen juga
dijual dengan berbagai bentuk dan warna
yang disukai anak-anak. Distribusi makanan
manis seperti permen di 3 kawasan TK di
desa sekaran cukup baik, karena dimasingmasing TK memiliki kantin maupun penjaja
makanan yang menyediakan makanan manis
maupun jajanan lainnya. Akibatnya 85%
atau sejumlah 140 siswa di 3 TK tersebut
mengalami karies gigi.

52

METODE
Penelitian ini merupakan survei
analitik, penelitian survei analitik adalah
penelitian yang mencoba menggali mengapa
fenomena kesehatan itu terjadi. Dengan
menggunakan pendekatan cros sectional
yaitu pendekatan dimana variabel yang
masuk faktor risiko dan variabel-variabel
yang termasuk efek diobservasi sekaligus
pada waktu yang sama. Teknik pengambilan
sampel menggunakan teknik proportionate
stratified random sampling yaitu teknik atau
cara pemilihan subyek secara acak yang
dilakukan bila populasi mempunyai anggota
atau unsur yang tidak homogen dan bestrata
secara proporsional. Pada cara ini sampel
dipilih secara acak untuk setiap strata,
kemudian hasilnya dapat digabungkan
menjadi satu sampel yang terbebas dari
variasi untuk setiap strata.
Populasi adalah keseluruhan objek
peneliti/objek yang diteliti. Populasi dalam
penelitian ini adalah seluruh siswa di 3 atk
desa sekaran yang termasuk dalam range
umur 4-6 tahun, yaitu TK Roudhotul Huda
sebanyak 68 siswa, TK Sekar Mekar
sebanyak 31 siswa, TK Al Iman sebanyak 53
siswa. Jadi jumlah keseluruhan populasi
adalah 152 siswa.
Sampel adalah sebagian yang
diambil dari keseluruhan objek yang diteliti
dan dianggap mewakili seluruh populasi.
Sampel dalam penelitian ini adalah siswa
yang terdaftar sebagai murid TK desa
sekaran. Untuk mendapatkan besar sampel
minimal dengan menggunakan ukuran
sampel potong lintang (cross sectional).
Dengan menggunakan rumus tersebut, maka
didapat hasil besar sampel minimal 50 .
karena populasi dalam penelitian ini
berstrata, maka sampel yang diambil juga
berstrata menurut jumlah siswa pada
masing-masing TK.
Instrumen penelitian adalah alat
yang digunakan untuk pengumpulan
data.instrumen dalam penelitian ini adalah :
rekam medik siswa (merupakan hasil
pemeriksaan gigi yang dilakukan oleh dokter
dari puskesmas sekaran), kuesioner /
panduan pertanyaan (untuk mendapatkan
data mengenai kebiasaan menggosok dan
mengkonsumsi
makanan
kariogenik.
Pengisian kuesioner dilakukan dengan cara
menanyakan pertanyaan yang ada dalam
kuesioner kepada siswa yang didampingi
oleh orang tua siswa).
Teknik pengambilan data primer
dilakukan dengan cara
observasi dan

wawancara. Observasi merupakan suatu


prosedur yang berencana, yang antara lain
meliputi melihat dan mencatat jumlah dan
taraf
aktivitas
tertentu
yang
ada
6)
hubungannya dengan masalah yang diteliti
(Soekidjo Notoatmodjo, 2002: 102). Metode
observasi ini digunakan untuk memperoleh
gambaran mengenai tempat penelitian,
perilaku
anak-anak
TK
dalam
mengkonsumsi makanan jajanan manis, dan
dcistribusi makanan kariogenik di sekolah.
Sedangkan wawancara adalah suatu metode
yang dipergunakan untuk mengupulkan data,
dimana peneliti mendaplatkan keterangan
atau pendirian secara lisan dari seseorang
sasaran
penelitian (responden), atau
bercakap-cakap berhadapan muka (face to
face)
wawancara
digunakan
untuk
memperoleh data tentang faktor-faktor yang
berhubungan dengan kejadian penyakit
karies gigi yaitu konsumsi kariogenik dan
kebiasaan menggosok gigi.
Teknik pengambilan data sekunder
dilakukan dengan metode dokumentasi.
Metode dokumentasi adalah metode
mengumpulkan data denngan menggunakan
berbagai sumber tulisan yang berkenaan
dengan metode dokumentasi dari catatn
taman kanak-kanak (TK) roudhotul Huda,
TK sekar mekar, TK Al Iman, dan
puskesmas desa sekaran. Data sekunder
tersebut meliputi data tentang kejadian
karies gigi, jumlah siswa, dan data mengenai
tempat penelitian.

HASIL
Analisis bivariat dalam penelitian
ini digunakan untuk mengetahui hubungan
antara variabel bebas (konsumsi makanan
kariogenik dan kebiasaan menggosok gigi)
dengan variabel terikat (kejadian karies
gigi). Adapun analisis yang digunakan
dalam penelitian ini adalah uji chi-square.
Apabila dengan uji chi-square tidak
memenuhi sarat maka alternatif uji yang
digunakan adalah uji fisher-exact. Taraf
signifikan yang digunakan adalah 95%
dengan kemaknaan 5%. Kriteria hubungan
berdasarkan p value (probabilitas) yang
dihasilkan dengan nilai kemaknaan yang
dipilih, dengan kriteria sebagai berikut : (1)
jika p value > 0,05 maka Ho di terima (tidak
ada hubungan), (2) jika p value 0,05 maka
Ho ditolak (ada hubungan).

53

Hubungan Antara Konsumsi Makanan Kariogenik dengan Timbulnya Penyakit Karies Gigi
Sulung
Tabel 1. Hubungan antara konsumsi makanan kariogenik dengan timbulnya karies gigi
Konsumsi
Makanan
Kariogenik
Berisiko
Tidak Berisiko
Total

Status Penyakit
Karies
Tidak Karies
f
%
f
%
43
97,7
1
2,3

Total
f
44

%
100

66,7

33,3

100

47

94,0

6,0

50

100

Berdasarkan tabel diatas dapat


dilihat bahwa proporsi sampel yang
berstatus penyakit karies gigi pada tingkat
konsumsi makanan kariogenik yang berisiko
(97,7%) lebih banyak daripada proporsi
sampel yang berstatus penyakit karies gigi
pada tingkat konsumsi makanan kariogenik
dalam kategori tidak berisiko (66,7%) dan
sebaliknya proporsi sampel yang tidak
berstatus penyakit karies gigi pada tingkat
konsumsi makanan kariogenik yang berisiko
(2,3%) lebih rendah daripada proporsi

sampel yang tidak berstatus penyakit karies


gigi pada tingkat konsumsi makanan
kariogenik dalam kategori tidak berisiko
(33,3%).
Berdasarkan
hasil
analisis
menggunakan uji Fisher Exact diperoleh
nilai p = 0,035 < (0,05) sehingga Ha yang
menyatakan bahwa ada hubungan antara
konsumsi makanan kariogenik dengan
timbulnya penyakit karies gigi sulung
diterima.

Hubungan Antara Kebiasaan Menggosok Gigi dengan Timbulnya Penyakit Karies Gigi
Sulung.

Tabel 2. Hubungan kebiasaan menggosok gigi dengan timbulnya karies gigi


Kebiasaan
Menggosok Gigi
Berisiko
Tidak Berisiko
Total

Status Penyakit
Karies
Tidak Karies
f
%
f
%
44
97,8
1
2,2

Total
f
45

%
100

60,0

40,0

100

47

94,0

6,0

50

100

.
Berdasarkan tabel diatas juga dapat
dilihat bahwa proporsi sampel yang
berstatus penyakit karies gigi pada kategori
kebiasaan menggosok gigi berisiko (97,8%)
lebih banyak daripada proporsi sampel yang
berstatus penyakit karies gigi pada kategori
kebiasaan menggosok gigi tidak berisiko
(60,02%) dan sebaliknya proporsi sampel
yang berstatus tidak berpenyakit pada
kategori kebiasaan menggosok gigi berisiko
(2,2%) lebih rendah daripada proporsi
sampel yang berstatus tidak karie gigi pada

kategori kebiasaan menggosok gigi tidak


berisiko (40,0%)
Berdasarkan
hasil
analisis
menggunakan fisher exact diperoleh nilai p=
0,023 < (0,05) sehingga Ha yang
menyatakan bahwa ada hubungan antara
kebiasaan menggosok gigi dengan timbulnya
penyakit karies gigi diterima.

54

PEMBAHASAN
Makanan kariogenik merupakan
makanan yang sangat berfpengaruh terhadap
kesehatan gigi dan mulut. Pengaruh ini dapat
dibagi menjadi 2 yaitu : 1) isi dari makanan
yang menghasilkan energi, misalnya
karbohidrat,lemak, protein, dll. 2) fungsi
mekanis dari makanan yang dimakan,
makanan yang bersifat membersihkan gigi,
cenderung merupakan gosok gigi, seperti
apel, jambu air, dsb, sebaliknya makanan
lunak dan melekat pada gigi sangat merusak
gigi seperti perment, coklat, biskuit, cake,
dll.
Setiap kali gula mencapai plak pada
gigi, asam akan di produksi. Keasaman
diukur dengan satuan pH. Keadaan netral
adalah pH 7, keadaan asam bila ph lebih
rendah dari 7. titik kritis untuk kerusakan
gigi adalah ph 5,7 dan ini dicapai dan
terlampaui sekitar 2 menit setelah gula
masuk kedalam plak. Jika gula dalam
makanan dan minuman telah ditelan,
diperlukan sedikitnya 13 menit untuk
menaikkan ph keatas titik kritis, sehingga
kerusakan gigi dapat berhenti.
Konsumsi makanan dan minuman
manis yang berulang kali, seperti pada
pecandu kembang gula, minum banyak teh,
atau minuman ringan yang mengandung
gula, dapat membuat ph tetap dibawah 5,7
sehingga kerusakan gigi terus berlanjut.
Semua proses tadi memerlukan plak, dan
tidak dapat terjadi setelah plak dihilangkan,
tetapi plak dapat terbentuk kembali dalam
beberapa jam setelah pembersihan.
Jumlah makanan manis yang
dikonsumsi dalam suatu saat mempengaruhi
jumlah plak yang dihasilkan serta kesehatan
umum. Frekuensi gula yang dimakan
mempengaruhi lama berlangsungnya proses
kerusakan gigi. Dalam masyarakat yang
tidak mengkonsumsi gula, tidak terdapat
kerusakan gigi. Pada negara-negara dimana
angka konsumsi gula meningkat, angka
kerusakan gigi juga meningkat, begitu pula
sebaliknya. Terdapat bukti bahwa keinginan
terhadap sesuatu yang manis mulai terbentuk
sejak bayi yaitu melalui penambahan gula
pada makanan, susu, dan minuman bayi
lainnya.
Kesenangan akan makanan manis
tidak hanya menyebabkan kerusakan gigi,
rasa sakit, dan perlu kujungan ke dokter gigi
serta
kehilangan
gig,
tetapi
juga
menyebabkan
kegemukan,
penyakit

pembuluh darah arteri dan gagal jantung,


kencing manis dan penyakit lainnya.
Berdasarkan data hasil penelitian
menunjukkan bahwa pada umumnya
sebagian
besar
responden
gemar
mengkonsumsi makanan ataupun minuman
manis dan responden mengkonsumsi
makanan manis diluar jam makan utama
(waktu senggang) . hal tersebut sesuai
pendapat John Besford (1996:37) bahwa
kesenangan anak-anak akan sesuatu yang
manis mulai dibentuk sejak saat dini dalam
2)
kehidupan anak .
Kesehatan mulut tidak dapat lepas
dari etiologi dengan plak sebagai faktor
bersama terjadinya karies. Penting disadari
bahwa plak pada dasarnya terbentuk terus
menerus. Kebersihan mulut dapat dipelihara
dengan menyikat gigi dan melakukan
pembersihan gigi dengan benang pembersih
gigi. Pentingnya upaya ini adalah untuk
menghilangkan plak yang menempel pada
gigi. Penelitian menunjukkan bahwa jika
semua plak dibersihkan dengan cermat tiap
48 jam, penyakit gusi pada kebanyakan
orang dapat dikendalikan. Tetapi untuk
kerusakan gigi harus lebih sering lagi.
Banyak para ahli berpendapar bahwa
menyikat gigi 2 kali sehari sudah cukup.
Berdasarkan data hasil penelitian
menunjukkan bahwa pada umumnya
sebagian
besar
responden
tidak
membersihkan gigi sesuai dengan anjuran
yaitu 2 kali sehari. Frekuensi menggosok
gigi yang dianjurkan adalah 2 kali sehari
yaitu pagi setelah sarapan dan malam hari
sebelum tidur. Idealnya adalah menggosok
gigi setelah makan, namun yang paling
penting adalah malam hari sebelum tidur,
tujuannya
adlah
untuk
memperoleh
kesehatan gigi dan mulut serta nafas menjadi
segar.
Karies merupakan suatu proses
kronis yang dimulai dengan larutnya mineral
email
sebagai
akibat
terganggunya
keseimbangan
antara
email
dan
sekelilingnya
yang
disebabkan
oleh
pembentukan asam mikrobial dari substrat
(medium makanan bagi bakteri), timbul
destruksi komponen-komponen organik dan
akhirnya menjadi kavitasi.
Hasil penelitian menunjukkan
bahwa sebagian besar sampel menderita
penyakit karies gigi, hal ini disebabkan
karena tingginya konsumsi makanan
kariogenik, tetapi tidak diimbangi dengan
kebiasaan membersihkan gigi dengan baik.

55

Hasil penelitian ini tidak jauh


berbeda dengan penelitian Heru Pratikno
(1995) dan Bafira Ratnasari (2000)
didapatkan prevalensi karies gigi yang
7,8)
masing-masing sebesar 84 % dan 87 % .
Berdasarkan perhitungan chi-square
didapat p= 0,035 (p < 0,05 ) atau ada
hubungan antara konsumsi makanan
kariogenik dengan timbulnya penyakit karies
gigi sulung.
Hasil penelitian ini diperkuat oleh
penelitian yang sebelumnya (Heru Pratikno)
yang menyatakan bahwa ada hubungan
antara pola makan dan kebiasaan
menggosok gigi dengan prevalensi karies
gigi pada anak.
Menurut B Hauwink (2000: 187) ,
makanan yang lengket serta melekat pada
permukaan gigi dan terselip diantara celahcelah gigi merupakan makanan yang paling
merugikan untuk kesehatan gigi. Termasuk
dalam golongan makanan kariogenik adalah
makanan yang dapat memicu timbulnya
kerusakan gigi yaitu makanan yang kaya
9)
akan gula .
Frekuensi makan dan minum manis
tidak hanya menimbulkan erosi, tetapi juga
kerusakan gigi atau karies. Konsumsi makan
makanan manis pada waktu senggang jam
makan akan lebih berbahaya daripada saat
waktu makan utama. Terdapat dua alasan
yaitu kontak gula dengan plak menjadi
diperpanjang dengan makanan manis yang
menghasilkan ph lebih rendah dan
karenanya asam dapat dengan cepat
menyerang gigi. Kedua yaitu adanya gula
konsentrasi tinggi yang normal terkandung
dalam makanan manis akan membuat plak
semakin terbentuk.
Risiko
pembentukan plak dan pembentukan asam
ditentukan oleh frekuensi konsumsi gula,
bukan oleh banyaknya gula yang dimakan. 55
Berdasarkan perhitungan chi-square
didapatkan p=0,023 (p < 0,05) atau ada
hubungan antara kebiasaan menggosok gigi
dengan timbulnya karies gigi sulung. Hasil
penelitian ini diperkuat oleh penelitian yang
7)
sebelumnya
(Heru
Pratikno)
yang
menyatakan bahwa ada hubungan antara
pola makam dan kebiasaan menggosok gigi
dengan prevalensi karies gigi pada anak.
Secara umum penyakit yang
menyerang gigi dimulai dengan adnya plak
di gigi. Plak timbul dari sisa makanan yang
mengendap pada lapisan gigi yang kemudian
berinteraksi dengan bakteri yang banyak
terdapat dalam mulut, seperti streptococcus

mutans. Plak akan melarutkanlapisan email


pada gigi sehingga lama-kelamaan lapisan
tersebut akan menipis. Karena itulah
menyikat gigi setelah makan merupakan hal
yang paling utama untuk menghindari
menimbunnya plak gigi.
Menurut Rasinta Tarigan (1993),
frekuensi menggosok gigi yang dianjurkan
adalah 3 kali sehari, yaitu pagi setelah
sarapan dan malam hari sebelum tidur.
Idealnya adalah menggosok gigi setelah
makan namun yang paling penting adalah
malam hari sebelum tidur, tujuannya adalah
untuk memperlah kesehatan gigi dan mulut
3)
serta nafas menjadi segar .

KESIMPULAN
1. ada hubungan antara konsumsi makanan
kariogenik dengan timbulnya penyakit
karies gigi pada anak pra sekolah di
Desa Sekaran Kecamatan Gunung Pati
Semarang
2. ada hubungan
antara
kebiasaan
menggosok gigi dengan timbulnya
penyakit karies gigi pada anak pra
sekolah di Desa Sekaran Kecamatan
Gunung Pati Semarang

SARAN
1. bagi siswa taman kanak-kanak
sebagai upaya membersihkan gigi dari
plak dan sisa makanan yang tertinggal
disela-sela gigi, sebaiknya menyikat
gigi minimal 2 kali dalam sehari waktu
menyikat gigi terakhir adalah sebelum
tidur.
2. bagi instansi terkait (TK puskesmas
Desa Sekaran, dan Dinas Kesehatan
Kota Semarang)
dilakukannya upaya sosialisasi pada
masyarakat, terkait dengan faktor-faktor
penyebab penyakit karies gigi.

DAFTAR PUSTAKA
1.
2.

A.H.B Schuurs, 1993. Patologi Gigi


Geligi . Yogyakarta: UGM. Press
AM Kidd, Edvina & S Joyston, 1995.
Dasar-dasar Karies Penyakit dan
Penanggulangannya.
Jakarta:
DEPKESRI

56

3.

4.

5.

Bafira Ratnasari, 2000 Pengetahuan


dan Praktek Ibu Hubungannya Dengan
Frekuensi
Konsumsi
Makanan
Kariogenik dan Status Karies Pada
Anak Usia 2-5 Tahun di Kelurahan
Tegal sari Kecamatan Candisari.
Skripsi S-1. Universitas Diponegoro
Huwink, B, 2000. ilmu kedokteran gigi
pencegahan .terjemahan Sutatmi Suryo.
Yogyakarta: UGM Press
Heru Pratikno,1995. Hubungan Antara
Pola
Makan
Dan
Kebiasaan
Menggosok Gigi Dengan Prevalensi
Karies Gigi Pada Anak Sekolah Dasar
Kelas V Dan Vi Di Wilayah Kerja

6.

7.

8.
9.

Puskesmas 1 Kecamatan Purwodadi


Kecamatan Gerobogan. Skrpsi S-1
.Universitas Diponegoro.
Ircham Machfoedz dan Asmar Yetti
Zein, 2005. Menjaga Kesehatan Gigi
dan Mulut Anak-anak dan Ibu Hamil.
Yogyakarta: Tramaya.
Ismu Suharsono Suwelo, 1992. Karies
Gigi Pada Anak dengan Berbagai
Faktor Etiologi. Jakarta: EGC
Rasinta Tarigan, 1992. Karies Gigi.
Jakarta: Hipokrates
Ratih Ariningrum, 2000. Beberapa
Cara Menjaga Kesehatan Gigi dan
Mulut. Jakarta: hipokrates.

57

PEDOMAN BAGI PENULIS


Informasi umum
Jurnal Gizi dan Kesehatan menerima makalah ilmiah dari para staf STIKES,
AKBID DAN AKPER, para alumnus NGUDI WALUYO, maupun profesi lain
yang berhubungan dengan kesehatan. Makalah dapat berupa karangan asli
(penelitian), laporan kasus, ikhtisar kepustakaan, dan tulisan lain yang ada
hubungannya dengan bidang kesehatan. Bahasa yang dipergunakan adalah bahasa
Indonesia yang baik dan benar berdasarkan Pedoman Umum Ejaan Bahasa
Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman Umum pembentukan Istilah atau
dalam bahasa Inggris.
Format naskah
Tulisan diketik pada kertas kuarto, batas atas-bawah dan samping masingmasing 2,5 cm, spasi dobel, font Times New Roman, ukuran 12 dan tidak bolak
balik. Naskah untuk penelitian (karangan asli) harus meliputi :
1) Judul tulisan, dibuat singkat bersifat informatif dan mampu menerangkan
isi tulisan; nama para penulis lengkap berikut gelar beserta alamat
kantor/instansi /tempat kerja lain, diletakkan di bawah judul.
2) Pendahuluan, berisi latar belakang, masalah, maksud & tujuan serta
manfaat penelitian.
3) Bahan/subyek dan cara kerja.
4) Hasil penelitian.
5) Pembahasan, kesimpulan dan saran.
6) Pernyataan terima kasih (kalau ada).
7) Daftar rujukan.
8) Lampiran-lampiran.
Tabel/bagan/grafik/gambar/foto, harus dibuat dengan jelas dan rapi disertai
keterangan yang jelas dan informatif. Diberi nomor menurut urutan dalam
naskah. Gambar/bagan harus berwarna, jumlahnya dibatasi tidak lebih dari 3
lembar, keterangan ditempatkan di bawah gambar/bagan: Keterangan tabel
ditempatkan di atas tabel. Tabel/bagan/grafik/gambar/foto semuanya
dilampirkan terpisah dari naskah.
Rujukan dalam teks dibuat berdasarkan model Vancouver yaitu dengan
angka sesuai dengan urutan tampil. Angka ditulis di atas (superscript) tanpa
kurung setelah tanda baca. Bila angka berurutan bisa disingkat. Misalnya
2,3,4,6,7 ditulis menjadi 2-7. Daftar rujukan, disusun menurut cara Vancouver,
menurut urutan penampilan dalam naskah, ditulis dengan urutan sebagai berikut :
Nama dan huruf pertama nama keluarga penulis, judul tulisan kemudian untuk
majalah diikuti dengan : Nama majalah (dengan singkatan yang umum dipakai),
tahun, volume dan halaman. Sedangkan untuk buku diikuti Nama kota, penerbit,
tahun dan halaman (bila perlu).
Contoh: Maryanto, S, Siswanto, Y. and Susilo, J. The effect of fiber on lipid
fraction rats with high cholesterol dietary. Jurnal Kesehatan dan Gizi
2007;1;1: 1-10
Ardhani, M.H, Sulisno, M., dan Rosalina. Teknik mengontrol
halusinasi dalam manajemen ESQ. Edisi 2, Ungaran, 2001. Priyanto,
Muhajirin, A. Program Studi Ilmu Keperawatan. Stikes Ngudi Waluyo
[on line] : URL. http://www.nwu.ac.id/personal,kuliah,edu/.plan.l l.
2006.
Nama penulis yang dikutip dalam naskah harus tercantum dalam daftar rujukan.
Dalam mengutip nama penulis dalam naskah harus dibubuhi tahun publikasi.
Untuk sumber pustaka dari internet ditulis : nama penulis, judul, organisasi
penerbit,
[On Line] : URL nomor Home Page, tahun.

Abstrak
Abstrak dibuat dalam bahasa Indonesia dan Inggris terdiri sekurangkurangnya 100 kata sebanyak-banyaknya 350 kata, diketik pada lembaran kertas
terpisah dengan spasi ganda. Abstrak penelitian berupa "structured abstract" berisi
:
1. Pendahuluan /Introduction :
Berisi latar belakang, masalah, tujuan, dan kegunaan penulisan.
2. Subyek/Material dan Metode/Subject/Material and Method.
Berisi:
Subjek : nyatakan cara-cara seleksi, kriteria yang diterapkan, dan
jumlah peserta pada awal dan akhir penelitian.
Rancangan : tulisan rancangan penelitian yang tepat, pengacakan,
secara buta, baku emas untuk diagnostik, dan waktu penelitian
(restrospektif atau prospektif).
Tempat: menunjukkan tempat penelitian (rumah sakit, klinik,
komunitas) juga termasuk tingkat pelayanan klinik (primer, atau
sekunder, praktek pribadi atau intitusi).
Intervensi : uraikan keistimewaan intevensi, termasuk metode &
lamanya.
Ukuran luaran utama : harus dinyatakan sebelum merencanakan
pengambilan data.
3. Hasil (Result) : Jika memungkinkan pada hasil disertakan interval
kepercayaan (yang tersering adalah 95 %) dan derajat kemaknaan. Untuk
penelitian komparatif, interval kepercayaan harus berhubungan dengan
perbedaan antara kelompok.
4. Kesimpulan (Conclusions) : nyatakan kesimpulan yang didukung oleh
data penelitian (hindari generalisasi yang berlebihan atau hasil penelitian
tambahan). Perhatian yang sama diberikan pada hasil yang positif maupun
yang negatif sesuai dengan kaidah ilmiah.
5. Di bawah abstrak bahasa Inggris ditulis kata kunci (Keywords) maksimal
4 kata dalam bahasa Inggris.
Sinopsis
Sinopsis diketik dalam bahasa Indonesia atau Inggris terdiri atas 1 atau 2
kalimat, tidak lebih dari 25 kata dari kesimpulan naskah, digunakan dalam
penulisan daftar isi, dan diketik pada lembar terpisah dengan spasi ganda.
Running title
Berikan judul singkat naskah pada sisi kanan atas pada tiap lembar naskah.
Pengiriman
Berkas dikirim rangkap dua (hard copy) disertai CD (soft copy) dengan
mempergunakan program Microsoft Word, dialamatkan kepada Redaksi Jurnal
Gizi dan Kesehatan, STIKES NGUDI WALUYO, JI. Gedongsongo Mijen,
Ungaran, Kabupaten Semarang .
Ketentuan lain
Redaksi berhak memperbaiki susunan naskah atau bahasanya tanpa mengubah
isinya. Naskah yang telah dimuat di majalah lain tidak diperkenankan diterbitkan
dalam majalah ini

Anda mungkin juga menyukai