Anda di halaman 1dari 11

HADITS TENTANG KEPEMIMPINAN

A. Setiap Muslim Adalah Pemimpin

.
:
.
. .

) (
Hadits Abdullah bin Umar ra. Bahwasanya Rasulullah saw
bersabda: setiap kamu adalah pemimpin yang akan dimintai
pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang amir yang
mengurus keadaan rakyat adalah pemimpin. Ia akan dimintai
pertanggungjawaban tentang rakyatnya. Seorang laki-laki adalah
pemimpin terhadap keluarganya di rumahnya. Seorang wanita
adalah pemimpin atas rumah suaminya. Ia akan diminta
pertanggungjawaban tentang hal mereka itu. Seorang hamba
adalah pemimpin terhadap harta benda tuannya, ia kan diminta
pertanggungjawaban tentang harta tuannya. Ketahuilah, kamu
semua adalah pemimpin dan semua akan diminta pertanggung
jawaban tentang kepemimpinannya.1
Dalam

sejarah

Riyadhus

Shalihin

dijelaskan,

bahwa

seorang wajib menegakkan keadilan dalam diri dan keluarganya,


dan orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya. Adil dalam
dirinya dengan tidak memberatkan pada sesuatu yang tidak
dieprintahkan Allah, dia harus memperhatikannya hingga kepada

1 Muhammad Fuad Abdul Baqi, Al-Lulu Wal Marjan, (Semarang: Al-Ridha, 1993), h. 562-563.

masalah kebaikan, jangan memberatkan dan membebankannya


terhadap sesuatu yang tidak mampu dilakukannya.
Demikian juga wajib bersikap adil bagi seorang suami
terhadap keluarganya. Seperti orang yang memiliki dua orang
istri, ia wajib bersikap adil diantara keduanya. Dan wajib pula
bersikap adil kepada anak-anaknya. Begitu pula bagi seorang
istri yang juga seorang pemimpin dalam rumah suaminya. Baik
dalam

menjaga

harta

suaminya

dan

tidak

menghambur-

hamburkannya.2
B. Pemimpin Pelayan Masyarakat


:
:
(
)
Hadits maqil bin Yasar, dari hasan bahwasanya Ubaidillah bin
yazid mengunjungi Maqil bertanya kepadanya: bahwasanya
saya akan ceritakan kepadamu suatu hadits yang saya dengar
dari Rasulullah saw saya mendengar nabi saw bersabda: tidak
ada

seorang hamba yang diberi tugas

oleh Allah untuk

memelihara segolongan rakyat, lalu ia tidak melakukan sesuai


dengan petunjuk, melainkan ia tidak memperoleh bau saya3

2 Syaikh Muhammad Bin Shalih Al-Utsaimin, Syarah Riyadhus Shalihin, Jilid 2, Cet. 2,
(Jakarta Timur: Darussunnah Press, 2009), h. 1030-1031.
3 Muhammad Fuad Abdul Baqi, Op. Cit., Hal. 263-264

Dalam syarah Riyadhus Shalihin yang dijelaskan oleh syekh


Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, wajib bagi seorang yang
memegang tonggak kepemimpinan untuk bersikap lemah lembut
kepada rakyatnya, berbuat baik an selalu memperhatikan
kemaslahatan mereka dengan mempekerjakan orang-orang yang
ahli dalam bidangnya. Menolak bahaya yang menimpa mereka.
Karena

seorang

pemimpin

akan

mempertanggungjawabkan

kepemimpinannya di hadapan Allah taala.


Dan

rendahkanlah

dirimu

terhadap

orang-orang

yang

mengikutimu, Yaitu orang-orang yang beriman.(Q.S. As-Syuara:


215)
Yakni janganlah bersikap tinggi terhadap mereka, jangan
merasa tinggi akan tetapi rendahkanlah walaupun kamu orang
yang berkedudukan tinggi dibanding mereka, maka hendaklah
tetap merendahkan diri.4
Asbabun nuzul ayat tersebut adalah, dalam suatu riwayat


dikemukakan bahw ketika turun ayat
,

yaitu

ayat

sebelum

ayat

215.

Rasulullah

saw

memulai

dakwahnya kepada keluarga terdekatnya. Hal ini menyinggung


perasaan kaum muslimin (merasa terabaikan) sehingga Allah
menurunkan ayat selanjutnya ayat 215 sebagai perintah untuk
juga memperhatikan kaum muminin lainnya (diriwayatkan oleh
ibnu Jabir yang bersumber dari ibnu Juaid).5

4 Syaikh Muhammad Bin Shalih Al-Utsaimin, Op. Cit, h. 1029-1030.


5 Shaleh, Dkk, Asbabun Nuzul: Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat Al-Quran,
Cet. 3, (Bandung: Cv Diponegoro, 1982), h. 370.

Maka dari itu, siapa saja yang berkuasa mengendalikan


urusan umat Islam, baik dalam kedudukannya sebagai amir
(gubernur), khalifah, kepala negara/pemimpin rakyat dalam
biang

tugas

menjalankan

tertentu,

lalu dia

pemerintahannya

dibebankan rakyatnya
itu

dengan

hal-hal

dan
yang

menimbulkan kesulitan bagi rakyatnya. Maka nabi mendoakan


supaya sang pemimpin itu ditimpakan siksaan Tuhan.
Sebaliknya barang siapa yang menjadi pemimpin dan
bertinak dengan lemah lembut. Maka Nabi mendoakan mudahmudahan Tuhan juga lemah lembut terhadap dirinya.6
C. Batasan Taat Kepada Pemimpin


:

) (
hadits Abdullah ibnu Umar ra. Dari Nabi saw beliau bersabda:
mendengarkan dan mentaati merupakan kewajiban seorang
muslim mengenai hal-hal yang ia sukai dan ia benci, sepanjang
ia tidak diperintahkan berbuat durhaka. Maka jika diperintah
berbuat durhaka, maka tidak lah boleh mendengarkan dan
tidaklah boleh mengikutinya.7
Sabda Rasulullah saw: wajib atas seorang muslim, kalimat
ini menunjukkan kewajiban. Maka wajib bagi seseorang muslim
berdasarkan keislamannya untuk selalu mendengarkan dan
menaati pemerintah. Baik dalam hal yang ia sukai maupun yang
6 Ibnu Hamzah Al-Husaini Ad-Damsyiki, Asbabul Wurud, Kalam Mulia, h. 352.

7 Muhammad Fuad Abdul Baqi, Op. Cit., h. 569-570.

ia benci. Walaupun ia memerintahkan dengan sesuatu yang


dibencinya, namun ia wajib melaksanakannya, kecuali jika
perintah itu bermaksiat kepada Allah, maka ketaatan kepada
Allah itu diatas segala ketaatan. Tidak ada ketaatan kepada
makhluk dalam bermaksiat terhadap khaliq.8

:

: :
:
. .
:
.
:

Hadits Ali ra, ia berkata: Nabi saw mengirimkan pasukan tentara
dan mengangkat seorang laki-laki dari golongan anshar untuk
menjadi

komanan

pasukan

itu.

Dan

Nabi

memerintahkan

pasukan itu agar menaatinya lalu komandan pasukan itu


memarahi pasukan sambil mengatakan: bukankan Nabi saw
sungguh telah menyuruh kalian untuk menaati ku. Mereka
menjawab ya, benar. Ia berkata: saya bermaksud agar kalian
mengumpulkan kayu bakar, dan kamu nyalakan api lalu kamu
sekalian masuk kedalamnya. Maka mereka mengumpulkan
kayu bakar, lalu mereka menyalakannya. Ketika mereka hendak
masuk ke dalam api maka sebagian dari mereka melihat kepada
sebagian

yang

lain.

Sebagian

dari

mereka

berkata:

sesungguhnya kami mengikuti Nabi saw. agar terlepas dari api


8 Syaikh Muhammad Bin Shalih Al-Utsaimin, Op. Cit, h.1053-1054.

maka mengapakah kita akan memasukinya? ketika mereka


dalam

keadaan

kemarahan
disampaikan

demikian

komandan
kepada

pun
Nabi

tiba-tiba
hilang.
saw.

api

pun

Lalu

maka

padam

kasus
beliau

dan

tersebut
bersabda:

seandainya mereka masuk ke dalam api itu, pastilah mereka


tidak akan keluar dari padanya untuk selamanya, sesungguhnya
kepatuhan itu adalah pada sesuatu yang baik.9


Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu
berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benarbenar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian
itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Q.S. An-Nisa:
59)
Berkaitan dengan surah Annisa ayat 59, Al-Hafidh Ibnu Hajar
berpendapat bahwa maksud kisah Abdullah bin Hudzafah,
munasabah atau keterkaitan disangkut pautkan dengan alasan
turunnya ayat ini (surah An-Nisa: 59), karena dalam kisah itu
dihasilkan adanya perbatasan antara taat kepada pemerintah
(pimpnan) dan menolak perintah, ntuk terjun ke dalam api. Ayat
9 Muhammad Fuad Abdul Baqi, Op. Cit., h. 570-571.

ini

turun

memberikan

petunjuk

kepada

mereka

apabila

berbantahan hendaknya kembali kepada Allah dan Rasulnya.10


Karena perintah penguasa itu terbagi tiga bagian:
1.

Perintah yang sesuai dengan yang diperintahkan Allah


taala maka wajib ditaati

2.

Mereka memerintahkan kemaksiatan, maka tidak perlu


mendengarkan dan metaati mereka apapun yang terjadi
jika kamu disiksa oleh mereka disebabkan hal ini (tidak
mentaati) maka mereka akan dibalas pada hari kiamat
oleh Allah SWT

3.

Mereka memerintahkan sesuatu yang di dalamnya tidak


ada perintah atau larangan syarI, di dalam hal ini wajib
mentaati mereka, jika tidak mentaati termasuk orangorang yang berdosa, dan penguasa berhak memberi
hukuman dengan sesuatu yang mereka pandang sesuai,
karena telah melanggar perintah Allah dalam mentaati
mereka.11
Maka dari itu wajib mendengar dan patuh kepada perintah

pemimpinnya,

selama

yang

diperintahkannya

itu

tidak

merupakan perbutan maksiat.


Apabila

yang

diperintahkan

itu

merupakan

perbuatan

maksiat yang tidak dibenarkan oleh syara, maka rakyat tidak


boleh mendengar dan mematuhi perintah itu.
D. Hukuman Bagi Pemimpin Yang Menipu Rakyat
10 Shaleh, Dkk, Op. Cit., h. 138-139.

11 Syaikh Muhammad Bin Shalih Al-Utsaimin, Op. Cit, h. 1053-1056.

Abu jala (maqil) bin jasar r.a berkata: saya telah mendengar
rasulullah saw bersabda: tiada seorang yang diamanati oleh
allah memimpin rakyat
menipu

rakyatnya,

kemudian ketika ia mati ia masih

melainkan

pasti

allah

mengharamkan

baginya surga. (HR. Bukhari dan Muslim)


Kejujuran adalah modal yang paling mendasar dalam
sebuah kepemimpinan. Tanpa kejujuran, kepemimpinan ibarat
bangunan tanpa fondasi, dari luar nampak megah namun di
dalamnya rapuh dan tak bisa bertahan lama. Begitu pula dengan
kepemimpinan, bila tidak didasarkan atas kejujuran orang-orang
yang terlibat di dalamnya, maka jangan harap kepemimpinan itu
akan berjalan dengan baik. Namun kejujuran di sini tidak bisa
hanya mengandalakan pada satu orang saja, kepada pemimpin
saja misalkan. Akan tetapi semua komponen yang terlibat di
dalamnya, baik itu pemimpinnya, pembantunya, staf-stafnya,
hingga struktur yang paling bawah dalam kepemimpnan ini,
semisal tukang sapunya, harus menjunjung tinggi nilai-nilai
kejujuran.

Hal

itu

karena

tidak

sedikit

dalam

sebuah

kepemimpinan, atau sebuah organisasi, terdapat pihak yang jujur


namun juga terdapat pihak yang tidak jujur. Bila pemimpinnya
jujur namun staf-stafnya tidak jujur, maka kepemimpinan itu juga
akan rapuh. Begitu pula sebaliknya.
Namun secara garis besar, yang sangat ditekankan dalam
hadis ini

adalah seorang pemimpin harus memberikan suri

tauladan yang baik kepada pihak-pihak yang dipimpinnya. Suri

tauladan ini tentunya harus diwujudkan dalam bentuk kebijakankebijakan

atau

keputusan-keputusan

pemimpin

yang

tidak

menipu dan melukai hati rakyatnya. Pemimpin yang menipu dan


melukai hati rakyat, dalam hadis ini disebutkan, diharamkan oleh
allah untuk mengninjakkan kaki si sorga. Meski hukuman ini
nampak kurang kejam, karena hanya hukuman di akhirat dan
tidak menyertakan hukuman di dunia, namun sebenarnya
hukuman haram masuk sorga ini mencerminkan betapa
murkanya allah terhadap pemimpin yang tidak jujur dan suka
menipu rakayat.
E. Hadits Tentang Larangan Berambisi Menjadi Pemimpin

:
!

-1 : 83 :
Abdurahman bin Samurah, ia berkata: Nabi saw bersabda:
wahai Abdurrahman bin Samurah! Janganlah kamu meminta
diangkat menjadi penguasa. Karena, jika kamu diberi kekuasaan
lantaran permintaan, niscaya engkau dibiarkan (yakni tidak
diberi pertolongan). Namun, jika kamu diberi kekuasaan bukan
karena permintaan, niscaya kamu diberi pertolongan untuk
melaksanakannya.
Al-imarah maksudnya ialah menjadi pemimpin atas manusia
atau menduduki posisi diatas mereka, baik besar maupun kecil.
Adapun pemimpin yang besar adalah yang menguasai
perkara-perkara

orang

muslim

secara

umum.

Sedangkan

kepemimpinan secara khusus, seperti pemimpin pada sebuah


9

sector di daerah-daerah yang mencakup pemerintahan yang


lebih khusus.
Sebagaimana dengan hadits diatas, seseorang dilarang
meminta jabatan atau kedudukan, karena seolah-olah meminta
jabatan agar berkehidupan bagus, dan ia tidak memiliki bagian di
akhirat nanti. Oleh karena itu meminta jabatan dilarang.
F.

Kesimpulan

1. Kamu semua adalah pemimpin dan semua akan dimintai


pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya.
2. Meminta diangkat menjadi amir atau pemimpin dan berupaya
untuk memperoleh pangkat itu makruh.
3. Perintah pernguasa terbagi tiga bagian:
a. Perintah yang sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh
Allah taala wajib ditaati.
b. Mereka memerintahkan kemaksiatan, maka tidak perlu
mendengarkan dan mentaati mereka.
c. Mereka memerintahkan sesuatu yang di dalamnya tidak
terdapat perintah atau larangan syari, dalam hal ini wajib
mentaati mereka, jika tidak mentaati maka termasuk
orang-orang yang berdosa.

DAFTAR PUSTAKA

Baqi, Muhammad Fuad Abdul. Al-Lulu Wal Marjan. Semarang: AlRidha. 1993.

10

Al-Utsaimin, Syekh Muhammad Bin Shaleh. Syarah Riyadhus


Shalihin. Jakarta

Timur: Darussanah Press. 2009.

Shaleh, K.H.Q, Dkk. Asbabun Nuzul (Latar Belakang Historis


Turunnya Ayat

Ayat Al-Quran). Bandung: CV Diponegoro.

1982.
Ad-Damsyiki, Ibnu Hamzah Alhusaini. Asbabul Wurud. Kalam
Mulia.

11

Anda mungkin juga menyukai