Anda di halaman 1dari 20

SKRINING PENDENGARAN PADA ORANG YANG BEKERJA

I.

PENDAHULUAN
Pendengaran merupakan salah satu dari panca indera yang digunakan

untuk berkomunikasi dan berinteraksi, baik antara sesama manusia maupun


dengan lingkungan sekitarnya. Gangguan dengar akan mengurangi kemampuan
menerima informasi dan berkomunikasi melalui suara sehingga akan menyulitkan
pelaksanaan pekerjaan.1,2,3
Secara global WHO memperkirakan bahwa pada tahun 2000 terdapat 250
juta ( 14,2%) penduduk dunia menderita gangguan pendengaran, 75 sampai 140
juta di antaranya terdapat di Asia Tenggara, 50% dari gangguan pendengaran ini
sebenarnya dapat dicegah dengan penatalaksanaan yang benar dan deteksi dini
dari penyakit. Dari hasil WHO Multi Cnter Study pada tahun 1998, Indonesia
termasuk 4 (empat) negara di Asia Tenggara dengan prevalensi ketulian cukup
tinggi (4,6%), 3 (tiga) negara lainnya adalah Sri Langka (8,8%), Myanmar (8,4%)
dan India (6,3%).walaupun bukan yang tertinggi tetapi prevalensi 4,6% cukup
tinggi dan dapat menimbulkan masalah sosial di tengah masyarakat.1
Menurut WHO, saat ini diperkirakan ada 360 juta (5.3%) orang di dunia
mengalami gangguan cacat pendengaran, 328 juta (91%) diantaranya adalah
orang dewasa (183 juta laki-laki, 145 juta perempuan) dan 32 juta (9%) adalah
anak-anak. Prevalensi gangguan meningkat seiring dengan pertambahan usia.
Prevalensi gangguan pendengaran pada orang di atas usia 65 tahun bervariasi
antara 18 sampai hampir 50% di seluruh dunia. Serta diperkirakan 20% orang
dengan gangguan pendengaran membutuhkan alat bantu dengar.2,3
Dengan meningkatnya permasalahan gangguan pendengaran dan ketulian
di Indonesia, maka perlu diantisipasi dengan melakukan upaya promotif, preventif
serta memberikan pelayanan kesehatan Indera Pendengaran yang optimal sebagai
upaya kuratif dan rehabilitatif terhadap masyarakat. Untuk itu diperlukan
kerjasama dan kesamaan visi dari berbagai pihak yaitu dokter, perawat, tenaga
kesehatan (asisten audiologi, audiometris), terapis wicara, pendidik, teknisi, serta
masyarakat.2
Beberapa industri sebenarnya telah memiliki program keselamatan
pendengaran selama bertahun-tahun, namun pelaksanaan program ini baru terjadi
1

setelah Occupational Safety and Health Act (OSHA) mengeluarkan undang


undang federal tentang keselamatan dan kesehatan para karyawan yang bekerja
pada tempat- tempat dengan tingkat kebisingan yang tinggi.4
Salah satu cara yang paling efektif untuk perlindungan karyawan adalah
pengurangan dan pengendalian tingkat kebisingan lingkungan itu sendiri.
Penilaian efektivitas sarana pelindung telinga dapat dilakukan dengan pemantauan
berkala pendengaran para karyawan khususnya pada para pekerja dengan tingkat
paparan bising yang tinggi. Beberapa tes pendengaran yang dapat dilakukan
adalah pemeriksaan audiologi dasar berupa tes garpu tala, tes berbisik maupun
audiometri nada murni.4
II.

ANATOMI TELINGA
Untuk memahami tentang gangguan pendengaran dan cara pemeriksaan

pendengaran, perlu diketahui anatomi telinga dan fisiologi pendengaran. Anatomi


telinga terbagi menjadi tiga bagian, yaitu : telinga luar, telinga tengah dan telinga
dalam.4

II.1. TELINGA LUAR


: Anatomi
(dikutipdari
kepustakaan
4) telinga (meatus
Telinga luarGambar
terdiri1 dari
dauntelinga
telinga
(auricula)
dan liang
acusticus externus) sampai membran timpani. Auricula merupakan bentuk yang
khas dan berfungsi mengumpulkan getaran udara, auricula terdiri atas lempeng
tulang rawan elastis tipis yang ditutupi kulit. Auricula juga mempunyai otot
intrinsik dan ektrinsik, yang keduanya dipersarafi oleh nervus fasialis.4,5
2

Auricula atau lebih dikenal dengan daun telinga membentuk suatu bentuk
unik yang terdiri dari antihelix yang membentuk huruf Y, dengan bagian crux
superior di sebelah kiri dari fossa triangularis, antitragus yang berada di bawah
tragus, sulcus auricularis yang merupakan sebuah struktur depresif di bawah
belakang telinga di dekat kepala, concha berada di dekat saluran pendengaran,
angulus conchalis yang merupakan sudut di belakang concha dengan sisi kepala,
crux helix yang berada di atas tragus, cymba concha merupakan ujung terdekat
dari concha.4,5,7

Gambar 2 : Anatomi Auricula (dikutip sdari kepustakaan 6)

II.2. TELINGA TENGAH


Telinga tengah berbentuk kubus dengan batas luar : membran timpani,
batas depan : tuba eustachius, batas bawah : vena jugularis (bulbus jugularis),
batas belakang : aditus ad antrum, kanalis fasialis pars vertikalis, batas atas :
tegmen timpani (meninges/otak), batas dalam : berturut-turut dari atas ke bawah
kanalis semi sirkularis horizontal, kanalis fasialis, tingkap lonjong (oval window),
tingkap bundar (round window) dan promontorium. 4,7,8

Gambar 3 : Anatomi telinga tengah (dikutip dari kepustakaan 6)

Membran timpani berbentuk bundar dan cekung bila dilihat dari arah liang
telinga dan terlihat oblik terhadap sumbu liang telinga. Bagian atas disebut pars
flaksida (membran Shrapnell), sedangkan bagian bawah pars tensa (membran
propria). Pars flaksida hanya berlapis dua, yaitu bagian luar ialah lanjutan epitel
kulit liang telinga dan bagian dalam dilapisi oleh sel kubus bersilia, seperti epitel
mukosa saluran napas. Pars tensa mempunyai satu lapisan lagi di tengah, yaitu
lapisan yang terdiri dari serat kolagen dan sedikit serat elastin yang berjalan
secara radial di bagian luar dan sirkuler di bagian dalam.4

Gambar 4 : Anatomi membran tympani (dikutip dari kepustakaan


6)

Tulang pendengaran di dalam telinga tengah saling berhubungan.


Prosessus longus maleus melekat pada membran timpani, maleus melekat pada
inkus, dan inkus melekat pada stapes. Stapes terletak pada tingkap lonjong yang
berhubungan dengan koklea. Hubungan antar tulang-tulang pendengaran

merupakan persendian. Tuba eustachius termasuk dalam telinga tengah yang


menghubungkan daerah nasofaring dengan telinga tengah.4,7

Gambar 5 : gambaran tulang-tulang pendengaran (dikutip dari


kepustakaan 6)

11.3. TELINGA DALAM

Telinga dalam terdiri dari koklea (rumah siput) yang berupa dua setengah
lingkaran dan vestibuler yang terdiri dari 3 buah kanalis semisirkularis. Ujung
atau puncak koklea disebut helikotrema, menghubungkan perilimfa skala timpani
dengan skala vestibuli.4,5,7,8
Kanalis semisirklularis saling berhubungan secara tidak lengkap dan
membentuk lingkaran yang tidak lengkap. Pada irisan melintang koklea tampak
skala vestibuler sebelah atas, skala timpani di sebelah bawah dan skala media
(duktus koklearis) di antaranya. Skala vestibuli dan skala timpani berisi perilimfa,
sedangkan skala media berisi endolimfe. Ion dan garam yang terdapat di perilimfa
berbeda dengan endolimfa. Hal ini penting untuk pendengaran. Dasar skala
vestibuler disebut sebagai membran vestibuli (Reissners membrane) sedangkan
dasar skala media adalah membran basalis. Pada skala media terdapat bagian yang
berbentuk lidah yang disebut membran tektoria, dan pada membran basal melekat
sel rambut yang terdiri dari sel rambut dalam, sel rambut luar, dan kanalis corti,
yang membentuk organ corti. 4,5,7,8

Gambar 6 : Gambaran telinga tengah (dikutip dari kepustakaan 6)

III.

FISIOLOGI PENDENGARAN
Pendengaran adalah persepsi saraf mengenai energi suara. Reseptor-

reseptor khusus untuk suara terletak di telinga dalam yang berisi cairan. Dengan
demikian, gelombang suara hantaran
dipindahkan

udara harus disalurkan ke arah dan

ke telinga dalam, dan dalam prosesnya melakukan kompensasi

terhadap berkurangnya energi suara yang terjadi secara alamiah sewaktu


gelombang suara berpindah dari udara ke air. Fungsi ini dilakukan oleh telinga
luar dan telinga tengah.4,5
Daun telinga mengumpulkan gelombang suara dan menyalurkannya ke
saluran telinga luar. Membran timpani, yang teregang menutupi pintu masuk ke
telinga tengah, bergetar sewaktu terkena gelombang suara. Daerah-daerah
gelombang

suara

yang

bertekanan

tinggi

dan

rendah

berselang-seling

menyebabkan gendang telinga yang sangat peka tersebut menekuk keluar-masuk


seirama dengan frekuensi gelombang suara. 4,5
Telinga tengah memindahkan gerakan bergetar membran timpani ke cairan
di telinga dalam. Pemindahan ini dipermudah oleh adanya rantai yang terdiri dari
tiga tulang yang dapat bergerak atau osikula (maleus, inkus, dan stapes) yang
berjalan melintasi telinga tengah. Tulang pertama : maleus, melekat ke membran
timpani, dan tulang terakhir, stapes, melekat ke jendela oval, pintu masuk ke
koklea yang berisi cairan. Ketika membrana timpani bergetar sebagai respons
terhadap gelombang suara, rantai tulang-tulang tersebut juga bergerak dengan
frekuensi sama, memindahkan frekuensi gerakan tersebut dan membrane timpani

ke jendela oval. Setiap getaran yang dihasilkan menimbulkan gerakan seperti


gelombang pada cairan telinga dalam dengan frekuensi yang sama dengan
frekuensi gelombang suara semula. 4,5,7,8
Gerakan

stapes yang menyerupai piston terhadap jendela oval

menyebabkan timbulnya gelombang tekanan. Ketika stapes bergerak mundur dan


menarik jendela oval ke luar ke arah telinga tengah, perilimfe mengalir dalam arah
berlawanan, mengubah posisi jendela bundar ke arah dalam. Jalur ini tidak
menyebabkan timbulnya persepsi suara tetapi hanya menghamburkan tekanan. 7,8,9
Transmisi gelombang suara melalui gerakan cairan di dalam perilimfe
yang ditimbulkan oleh getaran jendela oval yang mengikuti dua jalur :
(1) melalui skala vestibuli, mengitari helikotrema, dan melalui skala timpani,
yang menyebabkan jendela bundar bergetar.
(2) skala vestibuli melalui membran basilaris ke skala timpani. Jalur pertama
hanya menyebabkan penghamburan energi suara, tetapi jalur kedua.
mencetuskan pengaktifan reseptor untuk suara dengan membengkokkan
rambut di sel-sel rambut sewaktu organ corti pada bagian atas membrana
basilaris bergetar, mengalami perubahan posisi terhadap membrana
tektorial di atasnya.
Organ Corti, yang terletak di atas membran basilaris, di seluruh
panjangnya mengandung sel-sel rambut, yang merupakan reseptor untuk suara.
Sel-sel rambut menghasilkan sinyal saraf, jika rambut di permukaannya secara
mekanis mengalami perubahan bentuk berkaitan dengan gerakan cairan di telinga
dalam. Rambut-rambut ini secara mekanis terbenam di dalam membrana tektorial,
suatu tonjolan mirip tenda-rumah yang menggantung diatas, di sepanjang organ
Corti. 4,5,7,8,9
Sel-sel rambut adalah sel reseptor khusus yang berkomunikasi melalui
sinaps kimiawi dengan ujung-ujung serat saraf aferen yang membentuk saraf
auditorius (koklearis). Depolarisasi sel-sel rambut (sewaktu membran basilaris
bergeser ke atas) meningkatkan kecepatan pengeluaran zat perantara mereka, yang
menaikkan kecepatan potensial aksi di serat-serat aferen. Sebaliknya, kecepatan
pembentukan potensial aksi berkurang ketika sel-sel rambut mengeluarkan sedikit

zat perantara karena mengalami hiperpolarisasi (sewaktu membrana basilaris


bergerak ke bawah). 4,5,9
Dengan demikian, telinga mengubah gelombang suara di udara menjadi
gerakan-gerakan berosilasi membrana basilaris yang membengkokkan pergerakan
maju-mundur rambut-rambut di sel reseptor. Perubahan bentuk mekanis rambutrambut tersebut menyebabkan pembukaan dan penutupan (secara bergantian)
saluran di sel, reseptor, yang menimbulkan perubahan potensial sehingga
mengakibatkan perubahan kecepatan pembentukan potensial aksi yang merambat
ke otak. Dengan cara ini,gelombang suara diterjemahkan menjadi sinyal saraf
yang dapat dipersepsikan oleh otak sebagai sensasi suara. 4,5,7,8,9

Gambar 7 : fisiologi pendengaran (dikutip dari kepustakaan 10)

IV.

JENIS-JENIS GANGGUAN PENDENGARAN


Tuli dibagi atas tuli konduktif, tuli sensorineural serta tuli campuran. Pada

tuli konduktif terjadi gangguan hantaran suara karena kelainan pada telinga luar
dan tengah. Pada tuli sensorineural terdapat kelainan pada koklea (telinga dalam),
nervus VIII atau di pusat pendengaran. Tuli campuran merupakan kombinasi dari
tuli sensorineural dan tuli konduktif. 4,5
Sumbatan tuba eustachius menyebabkan gangguan telinga tengah dan akan
terdapat tuli konduktif. Gangguan pada vena jugulare berupa aneurisma akan
menyebabkan telinga berbunyi sesuai dengan denyut jantung. 4,5

Antara inkus dan maleus berjalan cabang nervus facialis yang disebut
corda timpani. Bila terdapat radang di telinga tengah atau trauma mungkin korda
terjepit sehingga timbul gangguan pendengaran. 4,5
Di dalam telinga dalam terdapat alat keseimabangan dan alat pendengaran.
Obat-obat dapat merusak stria vaskularis sehingga saraf pendengaran dapat rusak
dan terjadi tuli sensoriuneural. Setelah pemakaian obat ototoksik seperti
streptomisin

akan

terdapat

gejala

gangguan

pendengaran

berupa

tuli

sensoriuneural dan gangguan keseimbangan. 4,5


V.
JENIS-JENIS SKRINING PENDENGARAN
V.1. CARA PEMERIKSAAN FUNGSI PENDENGARAN
Untuk memeriksa pendengaran diperlukan hantaran melalui udara dan
melalui tulang dengan menggunakan garpu tala atau PTA (Pure Tone Audiometry).
Kelainan hantaran melalui udara akan menyebabkan tuli konduktif, berarti ada
kelainan di telinga luar atau telinga tengah, seperti atresia liang telinga,
eksosotosis lian telinga, serumen, sumbatan tuba Eustachius, serta radang telinga
tengah. Sedangkan kelainan di telinga dalam akan menyebabkan tuli snsorineural
koklea atau retrokoklea. 4,5,11
Secara fisiologik telinga dapa mendegar nada antara 20 sampai 18.000 Hz.
Untuk pendengaran sehari-hari yang paling efektif antara 500 2000 Hz. Oleh
karena itu untuk pemeriksaan dengan menggunakan garpu tala digunakan garpu
tala frekuensi 512, 1024 dan 2048 Hz. Penggunaan ketiga garpu tala ini penting
untuk

pemeriksaan

secara

kualitatif.

Bila

salah

satu

trekuensi

ini

terganggupenderita akan sadar adanya gangguan pendengaran. Bila tidak mungkin


menggunakan ketiga garpu tala, maka diambil 512 Hz karena penggunaan garpu
tala ini tidak terlalu dipengaruhi suara bising di sekitarnya. 4,5,11,12
Pemeriksaan pendengaran dapat dilakukan secara kualitatif dengan
menggunakan garpu tala. beberapa jenis pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah
tes garis pendengaran, tes Rinne, tes Weber, Tes Swabach, dan tes Bing. Dapat
juga dilakukan dengan cara kuantitatif dengan mempergunakan audiometer
berupa tes PTA (Pure Tone Audimetry). 4,5,11,12,13
Berdasarkan standar Occupational Safety and Health Administration
(OSHA) para pekerja yang terkena paparan bising di atas level dan durasi yang

dapat di toleransi harus dilakukan pemeriksaan audiogram minimal sekali dalam


setahun.7,14
Level dan durasi bising yang dapat di toleransi berdasarkan OSHA adalah
level bising maksimal 85 atau 90 dB dengan durasi 8 jam perhari, dan 5 hari
dalam sepekan. Untuk pekerja yang tepapar bising di atas 100 dB maka
skrining /pemeriksaan audiogram dilakukan setiap 6 bulan. Jika terdapat
perubahan fungsi pendengaran dalam skala pemeriksaan, maka para pekerja harus
dberikan terapi untuk mencegah perburukan dari fungsi pendengaran.7,14
V.1. TES GARPU TALA
V.2.1. Tes Garis Pendengaran
Prinsip tes :
Untuk menentukan frekuensi garpu tala yang dapat didengar penderita melewati
hantaran udara bila dibunyikan pada intensitas ambang normal.4,5,13
Cara pemeriksaan :
Semua garpu tala (dapat dimulai dari frekuensi terendah berturutan sampai
frekuensi tertinggi atau sebaliknya). Dibunyikan satu per satu, dengan cara
dipegang tangkainya kemudian kedua ujung kakinya dibunyikan dengan lunak
(dipetik dengan ujung jari/kuku), didengarkan terlebih dahulu oleh pemeriksa
sampai bunyi hampir hilang untuk mencapai intensitas terendah bagi orang
normal /nilai ambang normal), kemudian diperdengarkan pada penderita dengan
meletakkan garpu tala di dekat MAE pada jarak 1 -2 cm dalam posisi tegak dan 2
kaki pada garis yang menghubungkan MAE kanan dan kiri.13
Interpretasi : 13
Normal
:
Mendengar garpu tala pada semua frekuensi
Tuli konduksi :
Batas bawah naik (frekuensi rendah tidak terdengar)
Tuli Sensori Neural :
Batas atas turun : (frekuensi tinggi tidak terdengar
V.2.2. Tes Rinne
Prinsip Tes :
untuk membandingkan hantaran melalui udara dan hantaran melalui tulang pada
satu telinga yang diperiksa.4,6,12
Cara pemeriksaan :

10

Garpu tala digetarkan biasanya frekuensi 512 Hz, kemudian tangkainya


diletakkan di processus mastoid, setelah tidak terdengar garpu tala dipindahkan di
depan telinga kira-kira jarak 2 cm. Bila masih terdengar disebut Rinne positif
(+) bila tidak terdengar disebut Rinne (-).4,13,15
Garpu tala digetarkan biasanya frekuensi 512 Hz, kemudian tangkainya
diletakkan di processus mastoid, kemudian segera dipindahkan ke depan MAE
kira-kira jarak 2 cm penderita kemudian ditanya mana yang lebih keras. Bila
lebih keras di depan MAE disebut rinne positif, bila lebih keras di belakang rinne
negatif.13
Interpretasi :4,13
Normal
Tuli konduksi
Tuli Sensorineural

: Rinne positif
: Rinne negatif
: Rinne positif

Gambar 8 : teknik pemeriksaan tes Rinne (dikutip dari


kepustakaan 15)

V.2.3. Tes Weber


Prinsip Tes :4,5,11,13,15
untuk membandingkan hantaran tulang telinga kiri dan kanan
Cara pemeriksaan :
Garpu tala digetarkan dan tangkai garpu tala diletakkan di garis tengah kepala (di
verteks, dahi, pangakal hidug, di tengah-tengah gigi seri atau di dagu). Apabila
bunyi garpu tala terdengar lebih keras pada salah satu telinga disebut weber

11

lateralisasi ke telinga tersebut. Bila tidak dapat dibedakan ke arah telinga mana
bunyi terdengar lebih kasar disebut weber tidak ada lateralisasi,4,10,12,13
Interpretasi :4,12
Normal
: tidak ada lateralisasi
Tuli konduksi
: mendengar lebih keras di telinga yang sakit.
Tuli sensori neural
: mendengar lebih keras pada telinga yang sehat.
Karena menilai kedua telinga sekaligus maka kemungkinan interpretasi dapat
lebih dari 1, sebagai contoh : Interpretasi dengan lateralisasi ke kanan :
Tuli konduksi kanan, telinga kiri normal
Tuli konduksi kanan dan kiri, tetapi kanan lebih berat
Tuli sensorineural kiri, telinga kanan normal
Tuli sensorineural kanan dan kiri, tetapi kiri lebih berat
Tuli konduksi kanan dan sensori neural kiri.

Gambar 8 : teknik pemeriksaan tes weber (dikutip dari kepustakaan


13)

V.2.4. Tes Schwabach


Prinsip tes : 4,6,10,12
Membandingkan hantaran tulang orang yang diperiksa dengan pemeriksa yang
pendengarannya normal.
Cara pemeriksaan :
Garpu tala digetarkan, tangkai garpu tala diletakkan pada processus mastoideus
sampai tidak terdengar bunyi. Kemudian tangkai garpu tala segera dipindahkan
pada processus mastoideus telinga pemeriksa yang pendengarannya normal. Bila
pemeriksa masih dapat mendengar disebut schwabach memendek, bila pemeriksa
tidak dapat mendengar, pemeriksaan dulang dengan cara sebaliknya yaitu garpu
tala diletakkan pada processus mastoideus pemeriksa lebih dulu. Bila pasien
masih dapat mendengar bunyi disebut schwabach memanjang dan bila pasien dan

12

pemeriksa kira-kira sama mendengarnya disebut normal (schwabach sama dengan


pemeriksa)4,12
Interpretasi : 4,12
Normal
Tuli konduksi
Tuli Sensori Neural

: Schwabach normal
: Schwabach memanjang
: Schwabach memendek

V.2.5. Tes Bing (Tes Oklusi).


Cara pemeriksaan :4,6,13
Tragus telinga yang diperiksa ditekan sampai menutup liang telinga, sehingga
kira-kira terdapatkuli konduktif kira-kira 30 dB. Garpu tala digetarkan dan
diletakkan pada pertengahan kepala (seperti pada tes weber). Apabila bunyi garpu
tala terdengar lebih keras pada salah satu telinga disebut Bing lateralisasi ke
telinga tersebut.
Interpretasi : 4
Normal
: Lateralisasi ke telinga yang ditutup,
Tuli Konduksi : Bila bunyi pada telinga yang ditutup tidak bertambah keras

Gambar 9 : tekhnik pemeriksaan tes Bing (dikutip dari kepustakaan


13)

V.2. TES BERBISIK.


Pemeriksaan ini bersifat semi kuantitatif, menentukan derajat ketulian
secara kasar.12
Syarat sebelum dilakukan pemeriksaan :12
Tempat :
Ruang sunyi dan tidak ada echo (dinding dibuat tidak rata atau dilapisi
soft board/ korgen) serta ada jarak sepanjang 6 m
Penderita :(yang diperiksa)

13

Mata ditutup / dihalangi agar tidak membaca gerak bibir


Telinga yang diperiksa dihadapkan ke arah pemeriksa
Telinga yang tidak diperiksa ditutup atau di masking dengan menekan
tragus ke arah MAE oleh asisten pemeriksa. Bila tidak ada asisten, telinga

ditutup kapas yang dibasahi gliserin.


Pemeriksa :4.12
Kata-kata dibisikkan dengan udara cadangan paru-paru sesudah ekspirasi

biasa.
Kata-kata yang dibisikkan terdiri dari 1 atau 2 suku kata yang dikenal

penderita, biasanya kata-kata benda yang ada di sekeliling kita.


Cara Pemeriksaan :
Penderita dan pemeriksa sama-sama berdiri, penderita tetap di tempat sedan
pemeriksa yang berpindah tempat. Mulai jarak 1 m dibisikkan 5 atau 10 kata
(umumnya 5 kata). Bila kata dapat didengar, pemeriksa mundur ke jarak 2 m
dibisikkan kata lain dalam jumlah yang sama, bila didengar semua mundur lagi,
sampai pada jarak dimana penderita mendengar 80% kata-kata (mendengar 4 kata
dari 5 kata yang dibisikkan), pada jarak itulah tajam pendengaran telinga yang di
tes.12
Interpretasi :4
biasanya nilai normal tes berbisik adalah 5/6 -6/6.

Gambar 10 : tekhnik pemeriksaan tes berbisik (dikutip dari kepustakaan 8)

V.3. TES BERBISIK MODIFIKASI


Tes ini digunakan untuk skrining pendengaran yaitu dengan memisahkan
kelompok pendengaran normal pada sejumlah besar populasi, misalnya pada uji
kesehatan penerimaan mahasiswa /pegawai.12
Cara pemeriksaan :

14

Tes ini dikerjakan di ruang kedap suara, dibisikkan 10 kata-kata, dengan intensitas
lebih rendah dari tes bisik konvensional karena jaraknya lebih dekat. Ntuk
memperpanjang jarak pemeriksa dapat menjauhkan mulutnya dengantelinga
penderita yang diperiksa yaitu denganjalan menoleh/duduk dibelakang penderita,
sambil memberi masking pada teling yang diperiksa. Bila penderita dapat
mendengar dengan betul 80% kata-kata yang dibiskkan maka dinyatakan
pendengaran normal.12
V.4. TES PTA (Pure Tone Audiometry) / Audiometri Nada Murni.
Prinsip Tes :
Adalah tes yang dilakukan untuk mengetahui ambang dengar dengan memberikan
stimulus suara berfrekuensi murni pada telinga yang dites. Frekuensi tes biasanya
mulai dari 125Hz sampai dengan 8000Hz. Tes Audiometri Nada Murni bisa
dilakukan melalui audiometer yang otomatis ataupun manual, akan tetapi esensi
proses pemeriksaannya sama. 13,14,15
Cara Pemeriksaan :
Sebelum tes, pasien diminta untuk melepas perlengkapan yang mungkin
menganggu

kenyamanan

pemeriksaan

misalnya

kacamata,

giwang

dan

semacamnya. Pemeriksa harus memberikan instruksi kepada pasien berupa


permintaan bahwa pasien harus berkonsentrasi dan mendengarkan bunyi pada
telinga yang sedang dites, jika pasien mendengar walaupun kecil pasien diminta
untuk menekan tombol tertentu yang mengindikasikan kepada pemeriksa bahwa
pasien mendengar. Headphone/Speaker dipasangkan pada kedua telinga dan
kemudian pemeriksaan segera di mulai pada masing-masing telinga, umumnya
telinga yang lebih baik mendengarnya akan diperiksa terlebih dahulu.
Pemeriksaan dilakukan dengan pertama-tama pemeriksa memberikan stimulus
suara pada frekuensi 1kHz pada intensitas atau kekerasan tertentu yang diukur
dalam dB (decibell). Jika pasien tidak mendengar, maka intensitas dinaikan secara
berkala sampai pasien mampu mendengar suara. Namun, jika pasien sudah
mendengar, pemeriksa harus menurunkan intensitas suara dan terus diulang naik
turun stimulus suara sampai pasien memberikan respons mendengar yang konstan
pada pada suara terkecil yang pasien mampu mendengar. Prosedur diatas diulang
untuk frekuensi berikutnya seperti 2kHz, 4KHz, 8kHz, 250Hz dan 500Hz.Setelah

15

selesai dengan telinga satu, selanjutnya pemeriksaan audiometri dilakukan untuk


telinga sebelahnya dengan memakai prosedur yang sama seperti di atas.4,6,12,13,14,15
Interpretasi Audiogram : 13,14,15
Terdapat ambang dengar menurut konduksi udara (AC) dan menurut
konduksi tulang (BC). Apabila ambang dengar ini dihubungkan dengan garis,
baik AC maupun BC, maka akan didapatkan didalam audiogram
1. Audiogram normal
Secara teoritis, bila pendengaran normal, ambang dengar untuk hantaran
udara maupun hantaran tulang tercatat sebesar 0 dB. Pada anakpun keadaan
ideal seperti ini sulit tercapai terutam pada frekuensi rendah bila terdapat bunyi
lingkungan (ambient noise). Pada keadaan tes yang baik, audiogram dengan
ambang dengar 10 dB pada 250,500 Hz 0 dB pada 1000, 2000,4000, 10000 Hz
pada 8000 Hz dapat dianggap normal. 13,14,15

Gambar 11 : audiogram pada pendengaran normal (dikutip dari


kepustakan 14)

2. Tuli konduksi

Diagnosis gangguan tuli konduktif ditegakkan berdasarkan prinsip bahwa


gangguan konduktif (telinga tengah) menyebabkan gangguan hantaran udara
yang lebih besar daripada hantaran tulang. Pada keadaan tuli konduktif murni,
keadaan koklea yang baik (intak) menyebabkan hantaran tulang normal, yaitu
0 dB pada audiogram. Gap antara hantaran tulang dengan hantaran udara
menunjukkan beratnya ketulian konduktif. 4,13,14,15

16

Gambar 12 : audiogram bilateral tuli konduktif (dikutip dari


kepustakaan 14 )

3. Tuli sensori Neural.


Tuli

sensorineural

terjadi

bila

didapatkan

ambang

pendengaran

hantaran tulang dan udara lebih dari 25 dB. Tuli sensorineural ini terjadi bila
terdapat gangguan koklea, N.auditorius (NVIII) sampai ke pusat pendengaran
termasuk kelainan yang terdapat didalam batang otak. 13,14,15

Gambar 13 : audiogram Tuli Sensori Neural (dikutip dari


kepustakaan 14)

17

4. Tuli campuran
Kemungkinan tarjadinya kerusakan koklea disertai sumbatan serumen
yang padat dapat terjadi. Level konduksi tulang menunjukkan gangguan
fungsi koklea ditambah dengan penurunan pendengaran karena sumbatan
konduksi udara mengambarkan tingkat ketulian yang disebabkan oleh
komponen konduktif.
Perbedaan anatara level hantaran udara dan tulang dikenal sebagai
jarak udara- tulang atau air-bone gap. Jarak udara-tulang merupakan suatu
ukuran dari komponen konduktif dari suatu gangguan pendengaran. Level
hantaran udara menunjukkan tingkat patologi koklea, kadang disebut sebagai
cochlear reserve atau cabang koklea. 13,14,15

Gambar 14 : audiogram pada tuli campuran (MHL)(dikutip dari


kepustakaan 14)

18

DAFTAR PUSTAKA
1. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Dalam : Keputusan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 879/Menkes/SK/XI/2006 tentang
Rencana Strategi Nasional Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan
Ketulian untuk mencapai Sound Hearing 2030. Jakarta:Departemen
Kesehatan R.I;2006.
2. Inspektorat Jenderal Kementrian Kesehatan. Hari Kesehatan Telinga dan
Pendengaran Nasional 2013.[Diakses tanggal 1 November 2013]; Available
from::http://www.itjen.depkes.go.id/berita/read/28/15/Hari-Kesehatan
Telinga-dan-Pendengaran-Nasional-2013.
3. Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan Kemenkes. Dalam Workshop
Pengembangan Program Kesehatan Indera Pendengaran.
4. Soepardi, Efiaty Arsyad et al. Gangguan Pendengaran dan Kelainan Telinga.
Dalam : Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorokan, Kepala
Leher. Jakarta. Balai Penerbit FKUI; 2008; 10-22.
5. Putz R, Telinga, Auris, Atlas Anatomi Manusia Sobotta, Jilid 1 Edisi 21
ECG:2006.
6. Adams GL, Boies LR, Higler PA, Boies buku ajar THT. EGC. Jakarta, 1997.
7. Moller, Aage R. Hearing : Anatomy, Physiology, and Disorders of The
Auditory System. 2nd ed. United States of America: Elsevier. 2006.
8. Menner Al. A pocket Guide to the Ear. New York :Thiema; 2003, p. 1-4. P 13-21
9. Sherwood, Lauralee. Fisiologi manusia dari sel ke sel . Edisi 2.
EGC: Virginia; 2001. Hal.176-189.
10. Ear: Structure of The Human Ear. In: Encyclopedia Brittanica Online.
[Accessed

on

31st

July

2013];

Available

from:

http://www.britannica.com/EBchecked/media/530/Structure-of-the-humanear.
11. Jafek BW, Murrow BW. ENT Secret. 3rd Edition. United State : Elsevier. P 17-21
12. Probost R, Grevers G, Iro H. Ear. In : Basic Otorhinolaryngology a Step By Step Learning
Guide. United State: Thieme;2006. P 153- 90.
13. Rukmini S, Herawati S. Teknik pemeriksaan telinga, Hidung, dan Tenggorok. Jakarta
:EGC;2000. Hal 13-26.
14. Bulls TR. Color Atlas of ENT diagnosis. 4thEdition. London: thieme Flexibook; 2003.
Chapter 1. p. 4 -10.

19

15. Lalwani AK. In Current Diagnosis & Treatment in Otolaryngology - Head


and Neck Surgery. 2nd Edition. McGraw-Hill; 2008. Page 595-600.
16. Kutz, Joe Walter ; Meyers, Arlend ; Bauer, Carol A, et al. Audiology
Pure-Tone Testing. [cited on 1 Nov 2013]. Available from:
http://www.emedicine.medscape.com/article/1822962-overview

20

Anda mungkin juga menyukai