BAB II PEMBAHASAN
2.1 Hubungan Antara Agama dan Kebudayaan Hindu
2.1.1 Budaya
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu
buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal)
diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia.
Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata
Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Budaya merupakan suatu
cara hidup yang berkembang dari suatu masyarakat dan diwariskan dari
generasi ke generasi. Kebudayaan adalah esensi kehidupan bangsa.
Mengenal kebudayaan bangsa berarti mengenal aspirasinya dalam segala
aspek kehidupannya.
Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J.
Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala
sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang
dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah
Cultural-Determinism.
Menurut Edward Burnett Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan
yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan,
kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain
yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.
Menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah
sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.
Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai
kebudayaan adalah sesuatu yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan
dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia,
sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak.
Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan
oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan
benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa,
peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang
kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan
kehidupan bermasyarakat.
2.1.2. Agama Hindu
Ada kalanya pengetahuan, pemahaman, dan daya tahan fisik manusia
dalam menguasai dan mengungkap rahasia rahasia alam sangat terbatas.
Secara bersamaan, muncul keyakinan akan adanya penguasa tertinggi dari
sistem jagat raya ini, yang juga mengendalikan manusia sebagai salah satu
bagian alam ini. Sehubungan dengan itu, baik secara individual maupun
hidup bermasyarakat, manusia tidak dapat dilepaskan dari religi atau
sistem kepercayaan kepada penguasa alam semesta.
3
ini diwujudkan dan disesuaikan dengan desa, kala, dan patra pada waktu
itu.
Kalau dilihat dari fakta sejarah, wujud budaya agama itu dari zaman ke
zaman mengalami perubahan bentuk, namun tetap memiliki konsep yang
konsisten. Artinya, prinsip-prinsip ajaran agama itu tidak pernah berubah
yakni bertujuan menghayati Ida Sang Hyang Widi Wasa. Kepercayaan
terhadap Ida Sang Hyang Widi Wasa, menjadi sumber utama untuk
tumbuh dan berkembangnya budaya agama dan ini pula yang melahirkan
variasi bentuk budaya agama. Variasi bentuk itu disesuaikan dengan
kemampuan daya nalar dan daya penghayatan umat pada waktu itu.
Budaya agama yang dilahirkan dapat muncul seperti upacara agama.
Upacara agama pada hakikatnya tidak semata-mata berdimensi agama
saja, tetapi juga berdimensi sosial, seni budaya, ekonomi, manajemen dan
yang lainnya. Melalui upacara agama, dapat dibina kerukunan antar
sesama manusia, keluarga, banjar yang satu dengan banjar yang lain.
Upacara agama juga melatih umat untuk bisa berorganisasi dan merupakan
latihan-latihan manajemen dalam mengatur jalannya upacara. Lewat
upacara agama ditumbuhkan juga pembinaan etika dan estetika. Upacara
agama merupakan motivator yang sangat potensial untuk melestarikan atau
menumbuhkembangkan seni budaya, baik yang sakral maupun yang
profan.
Bahkan upacara agama merupakan salah satu daya tarik pariwisata dan
dapat menunjang kehidupan manusia. Keseluruhan budaya agama dalam
bentuk upacara agama tersebut merupakan usaha manusia mendekatkan
diri kepada Ida Sang Hyang Widi wasa untuk mewujudkan kedamaian dan
kebahagiaan yang abadi.
Seperti halnya manusia, tubuh merupakan hasil budaya agama itu
sendiri, sedangkan agama Hindu merupakan jiwa atau rohnya agama
tersebut.
2.2. Kebudayaan yang Ada dalam Agama Hindu
2.2.1. Dharma Gita
Dharma Gita merupakan suatu bentuk budaya hasil dari pengamalan
ajaran agama Hindu berupa seni suara atau vocal yang indah yang mampu
memberi kepuasan secara jasmani maupun rohani. Dharma Gita berasal
dari bahasa Sansakerta dan terdiri dari dua kata yakni Dharma dan Gita.
Dharma artinya kebenaran/kebaikan, kewajiban, hukum, aturan.
Sedangkan Gita artinya nyanyian/lagu. Jadi, Dharma Gita berarti suatu
nyanyian kebenaran yang biasa dilantunkan suatu upacara keagamaan.
Hindu. Di Dharma Gita terdapat syair-syair yang sudah di ringkas
sedemikia rupa dan penuh dengan ajaran keagamaan, kemudian
dilantunkan dengan suara yang amat mempesona. Pelaksanaan Dharma
Tari Balih-Balihan
Tari yang tergolong Balih-balihan adalah semata-mata bertujuan
untuk hiburan, akan tetapi tetap berdasarkan norma-norma seni
budaya yang luhur. Contoh: tari legong, tari oleg, tari cak, janger,
drama tari, dan lainnya.
2.2.3 Seni Tabuh
Seni tabuh merupakan suatu karya seni yang dikumandangkan dengan
alat-alat musik tradisional. Seni tabuh mempunyai fungsi sebagai
pelaksana dan pengiring jalannya suatu upacara, seperti : Gambang, Saron,
Slonding, Angklung, Gender Wayang, Balaganjur, Bebonangan, dan lain
sebagainya.
Unsur unsur agama Hindu dikemas sedemikian rupa ke dalam
instumen instrumen tabuh. Selain sebagai pengiring upacara keagamaan,
seni tabuh juga merupakan pengiring dari tari tarian yang ditampilkan
setiap upacara keagamaan.
8
Sanskerta (-pur, -puri, -pura, -puram, -pore), yang artinya adalah kota,
kota berbenteng, atau kota dengan menara atau istana. Dalam
perkembangan pemakaiannya di Pulau Bali, istilah "Pura" menjadi khusus
untuk tempat ibadah; sedangkan istilah "Puri" menjadi khusus untuk
tempat tinggal para raja dan bangsawan.
Tidak seperti candi atau kuil Hindu di India yang berupa bangunan
tertutup, pura dirancang sebagai tempat ibadah di udara terbuka yang
terdiri dari beberapa lingkungan yang dikelilingi tembok. Masing-masing
lingkungan ini dihubungkan dengan gerbang atau gapura yang penuh
berukiran indah. Lingkungan yang dikelilingi tembok ini memuat beberapa
bangunan seperti pelinggih yaitu tempat suci bersemayam Ida Sang Hyang
Widhi. Struktur tempat suci pura mengikuti konsep Trimandala, yang
memiliki tingkatan pada derajat kesuciannya, yakni :
1. Nista mandala (Jaba pisan): zona terluar yang merupakan pintu
masuk pura dari lingkungan luar. Pada zona ini biasanya berupa
lapangan atau taman yang dapat digunakan untuk kegiatan pementasan
tari atau tempat persiapan dalam melakukan berbagai upacara
keagamaan.
2. Madya mandala (Jaba tengah): zona tengah tempat aktivitas umat
dan fasilitas pendukung. Pada zona ini biasanya terdapat Bale Kulkul,
Bale Gong (Bale gamelan), Wantilan (Bale pertemuan), Bale
Pesandekan, dan Perantenan.
3. Utama mandala (Jero): yang merupakan zona paling suci di dalam
pura. Di dalam zona tersuci ini terdapat Padmasana, Pelinggih Meru,
Bale Piyasan, Bale Pepelik, Bale Panggungan, Bale Pawedan, Bale
Murda, dan Gedong Penyimpenan.
Meskipun demikian tata letak untuk zona Nista mandala dan Madya
mandala kadang tidak mutlak seperti demikian, karena beberapa bangunan
seperti Bale Kulkul, atau Perantenan atau dapur pura dapat pula terletak di
Nista mandala.
Pada aturan zona tata letak pura maupun puri (istana) di Bali,
baik gerbang Candi bentar maupun Paduraksa merupakan satu kesatuan
rancang arsitektur. Candi bentar merupakan gerbang untuk lingkungan
terluar yang membatasi kawasan luar pura dengan Nista mandala zona
terluar kompleks pura. Sedangkan gerbang Kori Agung atau Paduraksa
digunakan sebagai gerbang di lingkungan dalam pura, dan digunakan
untuk membatasi zona Madya mandala dengan Utama mandala sebagai
kawasan tersuci pura Bali. Maka disimpulkan baik untuk kompleks pura
11
agama Hindu karena dari setiap alunan alunan bunyi yang di hasilkan
memiliki makna tertentu yang bernafaskan Hindu.
Seni Ogoh- Ogoh dalam Upacara Keagamaan : Seperti yang kita
ketahui bersama , setiap perayaan Hari Raya Nyepi selalu identik dengan
pawai ogoh- ogoh. Selain dijadikan sebagai ajang kreativitas remaja
setempat, Ogoh- ogoh ini merupakan symbol dari Butha Kala (unsur
negatif) untuk itu pada saat nyepi perlu dilakukan penyucian diri dan
lingkungan dari pengaruh pengaruh negatif tersebut. Hal ini sesuai
dengan ajaran agama yaitu selalu mendekatkan diri dengan Sang Hyang
Widhi Wasa.
Upacara Agama ( Ritual ) : Setiap upacara agama di Bali selalu
berdasarkan atas ajaran agama. Misalnya pada upacara Manusa Yadnya
yaitu Mapandes /Metatah ( Potong gigi ). Budaya potong gigi ini
merupakan suatu keharusan yang dilakukan sebagai symbol pengendalian
sifat- sifat yang merupakan musuh yang ada dalam diri manusia. Hal ini
sesuai dengan ajaran agama Hindu yaaitu pengendalian Sad Ripu.
Bangunan Suci : bangunan suci atau tempat suci merupakan tempat
ibadah atau persembahyangan bagi umat Hindu, untuk itu tempat tempat
tersebut selalu dibuat sedemikian rupa agar bernafaskan agama Hindu dan
mengikuti uger uger yang umat Hindu percaya.
13
3.1 Kesimpulan
Dari uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan sebagaia berikut :
1. Terdapat hubungan yang sangat erat dan selaras antara budaya dan
agama Hindu dimana menjiwai budaya yang ada. Baik itu dalam
bentuk dharma gita, seni tari, seni tabuh, upacara keagamaan, pakaian
adat, maupun bangunan suci. Semua itu merupakan bentuk usaha
manusia untuk mendekatkan diri kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa
yang bernafaskan ajaran ajaran Weda.
2. Jenis jenis budaya yang ada dalam agama Hindu antara lain :
Dharma Gita, Seni Tari, Seni Tabuh, Upacara Keagamaan, Pakaian
Adat, dan Bangunan Suci.
3. Dari setiap budaya yang telah di paparkan tadi di atas dapat dibuktikan
adanya unsur kehinduan yang menjiwai masing masing budaya
sebagai bentuk ekspresi dari pengamalan ajaran agama Hindu.
3.2 Saran
Budaya merupakan bentuk ekspresi dari pengamalan ajaran agama Hindu.
Untuk itu kita sebagai umat Hindu harusnya mulai menjaga dan melestarikan
budaya Hindu sebagai bentuk penghargaan dan wujud bhakti guna
mendekatkan diri kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
14