Anda di halaman 1dari 8

N AM A

NIM
MATA KULIAH
DOSEN PENGAMPU

: BAMBANG RIYANTO
: 20082012001
: DESAIN PEMBELAJARAN MATEMATIKA
: Prof. Dr. Joshua Sabandar, M.A.
Dr. Rusdy A. Sirodj, M.Pd
Dra. Nyimas Aisyah, M.Pd

PROBLEM BASED LEARNING ( PBL) ATAU PEMBELAJARAN BERBASIS


MASALAH
Pengertian
Menurut http://www.edtech.vt.edu/edtech/id/models/powerpoint/pbl.pdf bahwa Problem
based Learning dimulai tahun 1950 sebagai restrukturisasi pendidikan sekolah kesehatan,
tidak seperti pembelajaran tradisional yang berpuncak pada masalah setelah pembelajaran
di awal yaitu berupa fakta, ketetampilan (skill), PBL dimulai dengan masalah,
pembelajaran fakta dan keterampilan di dalam konteks yang relevan.
Menurut http://www.edtech.vt.edu/edtech/id/models/powerpoint/pbl.pdf bahwa
prinsip PBL adalah:
1. Kebutuhan siswa untuk menyelesaikan masalah autentik, masalah open-ended
dengan banyaknya jawaban yang benar.
2. masalah autentik berasal dari ilmuwan, doktor, insinyur, ahli hukum, pendidik,
administrator, dan konselor.
3. penekanan pada pengetahuan awal siswa, dimulai dengan apa yang siswa
ketahui.
4. Siswa secara aktif berpartisipasi dalam merencanakan, mengorganisasi, dan
mengevaluasi proses pemecahan masalah.
5. hubungan interdisiplin sangat kuat
6. siswa bermain peran secara autentik
Menurut http://www.edtech.vt.edu/edtech/id/models/powerpoint/pbl.pdf bahwa langkahlangkah dasar untuk PBL adalah:
1. siswa dibagi dalam kelompok
2. masalah nyata dipresentasikan dan dikiskusikan
3. siswa mengidentifikasi apa yang diketahui, informasi apa yang dibutuhkan,
strategi apa atau langkah berikutnya untuk diambil
4. individu meneliti hal yang berbeda dengan sumber yang sama
5. sumber masalah dievaluasi dalam kelompok
6. siklus berulang terus menerus sampai siswa merasakan bahwa masalah telah
disampaikan dengan cukup dan semua masalah telah disampaikan.
7. kemungkinan tindakan, rekomendasi, solusi, atau hipotesis dibangun.
8. tutor kelompok atau teman sebaya.
Menurut http://www.lrckesehatan.net/cdroms_htm/pbl/pbl.htm bahwa Problem
Based Learning adalah Suatu proses pembelajaran yang diawali dari masalah-masalah

yang ditemukan dalam suatu lingkungan pekerjaan. Problem Based Learning (PBL)
adalah lingkungan belajar yang di dalamnya menggunakan masalah untuk belajar. Yaitu,
sebelum pebelajar mempelajari suatu hal, mereka diharuskan mengidentifikasi suatu
masalah, baik yang dihadapi secara nyata maupun telaah kasus. Masalah diajukan
sedemikian rupa sehingga para pebelajar menemukan kebutuhan belajar yang diperlukan
agar mereka dapat memecahkan masalah tersebut.
Menurut Zulharman (2007) bahwa:
Perubahan paradigma pendidikan kedokteran dari pembelajaran yang
berpusat pada teacher (Teacher centre learning) ke arah pembelajaran
yang berpusat pada pelajar (student centre learning) dapat dilihat dari
banyaknya Fakultas kedokteran di dunia maupun di Indonesia yang
menerapkan PBL. Penerapan PBL ini ada yang mengaplikasikannya dalam
kontek kurikulum sehingga disebut kurikulum PBL. PBL juga ada yang
menerapkan sebagai sebuah metode pendidikan.Problem Based Learning
adalah proses pembelajaran yang titik awal pembelajaran berdasarkan
masalah dalam kehidupan nyata dan lalu dari masalah ini mahasiswa
dirangsang untuk mempelajari masalah ini berdasarkan pengetahuan dan
pengalaman yang telah mereka punyai sebelumnya (prior knowledge)
sehingga dari prior knowledge ini akan terbentuk pengetahuan dan
pengalaman baru. Diskusi dengan menggunakan kelompok kecil
merupakan poin utama dalam penerapan PBL.Penerapan PBL di
pendidikan kedokteran pertama kali di Mc Master University Canada pada
dekade 1960 akhir. PBL berkembang dengan pesat hingga sampai juga di
Indonesia.
Sintaks Model Pembelajaran PBL/PBI
Menurut

Deodiknas

(dalam

akhmadsudrajat.files.wordpress.com/2009/04/16_pengembangan-model-pembelajaranctl-smp-2006.ppt bahwa:
Fase-Fase
Fase I
Orientasi siswa pada masalah
Fase II
Mengorganisasi siswa untuk belajar

Prilaku Guru
Menjelaskan tujuan, logistik yang
dibutuhkan
Memotivasi siswa terlibat aktif
pemecahan masalah yang dipilih

Fase III

Membantu siswa mendefinisikan


dan mengorganisasikan tugas
Membimbing penyelidikan individu dan
belajar yang berhub dengan
kelompok
Masalah tersebut
Fase IV
Mengembangkan dan menyajikan hasil
karya
Fase V
Menganalisa dan mengevaluasi proses
pemecahan masalah

Mendorong
siswa
untuk
mengumpulkan informasi yang
sesuai, melaksanakan eksperimen
untuk mendapatkan penjelasan
dan pemecahan masalah
Membantu
siswa
dalam
merencanakan dan menyiapkan
karya yang sesuai seperti laporan,
model dan berbagi tugas dengan
teman
Mengevaluasi
hasil
belajar
tentang materi yg tlh dipelajari

/meminta kelompok
hasil kerja

presentasi

CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING (CTL) ATAU PEMBELAJARAN


BERBASIS KONTEKSTUAL
Pengertian:
Menurut Bandono (2008) bahwa:
Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan proses pembelajaran
yang holistik dan bertujuan membantu siswa untuk memahami makna materi
ajar dengan mengaitkannya terhadap konteks kehidupan mereka sehari-hari
(konteks pribadi, sosial dan kultural), sehingga siswa memiliki pengetahuan/
ketrampilan yang dinamis dan fleksibel untuk mengkonstruksi sendiri secara
aktif pemahamannya. CTL disebut pendekatan kontektual karena konsep
belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya
dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan
antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan
mereka sebagai anggota masyarakat.
Menurut Suherman (2009) bahwa Pembelajaran Kontekstual (contextual teaching
and learning) adalah pembelajaran yang dimulai dengan mengambil (mensimulasikan,
menceritakan) kejadian pada dunia nyata, kehidupan sehari-hari, yang dialami siswa
kemudian diangkat kedalam konsep matematika yang dibahas.
Komponen:
Menurut Imran (2009) bahwa Contextual Teaching Learning (CTL) atau
Pembelajaran Kontekstual terdiri dari 7 komponen, yaitu:
1) Konstruktivisme
2) Inquiry
3) Questioning
4) Learning Community
5) Modeling
6) Authentic Assesment
7) Reflection
Menurut Suherman (2009) bahwa pembelajran kontekstual melibatkan tujuh komponen
utama pembelajaran, yaitu:
1. konstruktivisme (constructivism)
Konstruktivisme merupakan landasan filosofis dari CTL, yaitu bahwa ilmu
pengetuahn itu pada hakekatnya dibangun tahap demi tahap, sedikit demi sedikit,
melalui proses yang tidak selalu mulus (trial and error). Ilmu pengetahuan
bukanlah seprangkjat fakta yang siap diambil dan diingat, tapi harus dikonstruksi
melalui pengalaman nyata. Dalam konstruksivisme proses lebih utama daripada
hasil
2. bertanya (questioning),
bertanya adalah cerminan dlam kondisi berpikir. Melalui bertanya jendela ilmu
pengetahuan menjadi terbuka, karena dengan bertanya bisa melakukan
bimbingan, dorongan, evaluasi, atau. konfirmasi. Di samping itu dengan bertanya
bisa mencairkan ketegangan, menambah pengetahuan, mendekatkan hati,
menggali informasi, meningkatkan motivasi, dan memfokuskan perhatian.
3. menemukan (inquiry)

Menemukan adalah proses yang penting dalam pembelajaran agar retensinya kuat
dan munculnya kepuasan tersendiri dalam benak siswa dibandingkan hanya
melalui pewarisan. Dengan menemukan kemampuan berpikir mandiri (kognitif
tingkat tinggi, kritis, kreatif, inovatif, dan improvisasi) akan terlatih yang pada
kondisi selanjutnya menjadi terbiasa. Inkuiri mempunyai siklus observasi,
bertanya, menduga, kolekting, dan konklusi.
4. masyarakat belajar (learning community)
Konsep masyarakat belajar menyarankan agar hasi belajar diperoleh dari hasil
kerjasama dfengan orang lain, baik melalui perorangan maupun kelompok orang,
dari dalam kelas, sekitar kelas, di luar kelas, di lingkungan sekolah, lingkungan
rumah, ataupun di luar sana. Dalam pelaksanaan CTL guru disarankan untuk
membentuk kelompok belajar agar siswa membentuk masyarakat belajar untuk
saling berbagi, membantu, mendorong, menghargai, atau membantu.
5. pemodelan (modelling)
Pemodelan akan lebih mengefektifkan pelaksanaan CTL untuk ditiru, diadaptasi,
atau dimodifikasi. Dengan adanya model untuk dicontoh biasanya konsep akan
lebih mudah dipahami atau bahkan bisa menimbulkan ide baru. Pemodelan dalam
matematika, misalnya mempelajari contoh penyelesaian soal, penggunaan alat
peraga, cara menemukan kata kunci dalam suatu bacaan, atau cara membuat
skema konsep. Pemodelan tidak selalu oleh guru, bisa juga oleh siswa atau media
lainnya.
6. refleksi (reflection)
Refleksi adalah berpikir kembali tentang materi yang baru dipelajari,
merenungkan kembali aktivitas yang telah dilakukan, atau mengevaluasi kembali
bagaimana belajar yang telah dilakukan. Refleksi berguna untuk evaluasi diri,
koreksi, perbaikan, atau peningkatan diri. Membuat rangkuman, meneliti dan
memperbaiki kegagalan, mencari alternatif lain cara belajar (learning how to
learn), dan membuat jurnal pembelajaran adalah contoh kegiatan refleksi.
7. asesmen otentik (authentic assesment)
Asesmen otentik adalah penilaian yang dilakukan secara komprehensif berkenaan
dengan seluruh aktivitas pembelajaran, meliputi proses dan produk belajar
sehingga seluruh usaha siswa yang telah dilakukannya mendapat penghargaan.
Hakekat penilaian yang diwujudkan berupa nilai merupakan penilaian atas usaha
siswa yang berkenaan dengan pembelajaran, bukan merupakan hukuman.
Penilaian otentik semestinya dilakukan dari berbagai aspek dan metode sehingga
objektif. Misalnya membuat catatan harian melalui observasi untuk menilai
aktivitas dan motivasi, wawancara atau angket untuk menilai aspek afektif, porto
folio untuk menilai seleruh hasil kerja siswa (artefak), tes untuk menilai tingkat
peguasaan siswa terhadap materi bahan ajar.
Menurut

Depdiknas

(dalam

akhmadsudrajat.files.wordpress.com/2009/04/16_pengembangan-model-pembelajaranctl-smp-2006.ppt ) bahwa:
4

1. Konstruktivisme:
siswa membangun pemahaman mereka sendiri dari pengalaman baru berdasar
pada pengetahuan awal.
Pembelajaran harus dikemas menjadi proses mengkonstruksi bukan menerima
pengetahuan
2. Inquiry (menemukan)
Proses perpindahan dari pengamatan menjadi pemahaman
Siswa belajar menggunakan keterampilan berpikir kritis
3. Questioning (bertanya)
Kegiatan guru untuk mendorong, membimbing dan menilai kamampuan berpikir
siswa
Bagi siswa yang merupakan bagian penting dalam pembelajaran yang berbasism
inquiry
4. Learning community (masyarakat belajar)
Sekelompok orang yang terikat dalam kegiatan belajar
Bekerjasama dengan orang lain lebih baik daripada belajar sendiri
Tukar pengalaman
Berbagi ide
5. Medelling (pemodelan)
Proses penampilan suatu contoh agar orang lain berpikir, bekerja dan belajar
Mengerjakan apa yang guru inginkan agar siswa mnegerjakannya
6. Authentic Assesment (penilaian yang sebenarnya)
Mengukur pengetahuan dan keterampilan siswa
Penilaian produk (kinerja)
Tugas-tugas yang relevan dan kontekstual
7. reflection (refleksi)
Cara berpikir tentang apa yang telah kita pelajari
Mencatat apa yang telah dipelajri
Membuat jurnal, karya seni, diskusi kelompok
Karakteristik Pembelajaran Berbasis CTL
Menurut

Depdiknas

(dalam

akhmadsudrajat.files.wordpress.com/2009/04/16_pengembangan-model-pembelajaranctl-smp-2006.ppt) bahwa karakteristiknya adalah:


Kerjasama
Saling menunjang
Menyenangkan
Tidak membosankan
Belajar dengan bergairah
Pembelajaran terintegrasi
Siswa aktif
Sharing dengan teman
Siswa kritis, guru kreatif

Dinding kelas dan lorong-lorong penuh dengan hasil karya siswa, peta-peta,
gambar, artikel, humor dan lain-lain
Laporan kepada orang tua bukan hanya raport, tetapi hasil karya siswa, laporan
hasil praktikum, karangan siswa dan lain-lain.
Hakekat Belajar matematika
Menurut Suherman (2009) bahwa Belajar Matematika adalah suatu proses (aktivitas)
berpikir disertai aktivitas afektif dan fisik.
PEMBELAJARAN DENGAN PENEMUAN (INQUIRY)
Menurut Sofa (2008) bahwa Pendekatan inquiry adalah pendekatan mengajar
dimana siswa merumuskan masalah, mendesain eksperimen, mengumpulkan dan
menganalisis data sampai mengambil keputusan sendiri. Sedangkan Pendekatan
discovery merupakan pendekatan mengajar yang memerlukan proses mental, seperti
mengamati, mengukur, menggolongkan, menduga, men-jelaskan, dan mengambil
kesimpulan.
Pada kegiatan discovery guru hanya memberikan masalah dan siswa disuruh
memecahkan masalah melalui percobaan. Pada pendekatan inquiry, siswa mengajukan
masalah sendiri sesuai dengan pengarahan guru. Keterampilan mental yang dituntut lebih
tinggi dari discovery antara lain: merancang dan melakukan percobaan, mengumpulkan
dan menganalisis data, dan mengambil kesimpulan.
Menurut Sofa (2008) bahwa Pendekatan inquiry harus memenuhi empat kriteria
ialah (1) kejelasan, (2) kesesuaian, (3) ketepatan dan (4) kerumitannya.
Menurut Sofa (2007) bahwa:
Setelah guru mengundang siswa untuk mengajukan masalah yang erat
hubungannya dengan pokok bahasan yang akan diajarkan, siswa akan terlibat
dalam kegiatan inquiry dengan melalui 5 fase ialah:
Fase 1 : Siswa menghadapi masalah yang dianggap oleh siswa memberikan
tantangan
untuk
diteliti.
Fase 2 : Siswa melakukan pengumpulan data untuk menguji kondisi, sifat
khusus dari objek teliti dan pengujian terhadap situasi masalah yang dihadapi.
Fase 3 : siswa mengumpulkan data untuk memisahkan variabel yang relevan,
berhipotesis dan bereksperimen untuk menguji hipotesis sehingga diperoleh
hubungan
sebab
akibat.
Fase 4 : merumuskan penemuan inquiry hingga diperoleh penjelasan,
pernyataan,
atau
prinsip
yang
lebih
formal.
Fase 5 : melakukan analisis terhadap proses inquiry, strategi yang dilakukan
oleh guru maupun siswa. Analisis diperlukan untuk membantu siswa terarah
pada mencari sebab akibat.
Secara sederhana, metode penemuan dapat diartikan sebagai cara
penyajian pelajaran yang memberi kesempatan kepada peserta didik untuk
menemukan informasi dengan atau tanpa bantuan guru (Usman dan Setiawati,
1993 :25 dalam Turisina, 2006).
Menurut M Amin (1998 dalam Turisina, 2006) bahwa, ada beberapa pola metode
penemuan
dapat
(1)

yang

dipergunakan
Guaided

pada

pembelajaran,

Discovery-Inquiry

(penemuan

yaitu
dengan

sebagai

berikut

bimbingan);

dalam

menggunakan pola ini guna memberikan bimbingan yang cukup, (2) Modified

Discovery-Inquiry (penemuan dengan fasilitas yang tersedia); dalam pola ini


guru memberi masalah sekaligus alat dan bahan yang diperlukan kemudian
memberi semangat kepada siswa agar bekerja mencari prosedur pemecahan
masalah.

(3)

Invitation

to

Inquiry

(Penemuan

dengan

langkah

penelitian

ilmiah); Pola ini mengajak siswa seperti layaknya ilmuwan, (4) Inquiry Role
Aproach (penemuan dengan pendekatan pembagian tugas), (5)Free Inquiry
(penemuan dengan pendekatan kebebasan siswa) pada pola penemuan ini,
siswa

dilibatkan

untuk

menentukan

problem

yang

akan

d iselidiki

dan

sekaligus menentukan sendiri cara pemecahan problem. (6) Dictoral Riddle (penemuan dengan

petunjuk
masalah

gambar);
dengan

mengajukan
Lesson

pada

pola

menampilkan

gambar,

pertanyaan

(penemuan

berkaitan

dengan

ini

motivasi

poster,

dengan

pemecahan

transparasi,

gambar

membandingkan

kemudian

tersebut,

sesuatu

(7)

guru

Synectic

untuk

mencari

persamaannya), (8) Value Clarification (penemuan berdasarkan nilai sikap);


pola

ini

dapat

Pengamatan

berdasarkan

ini

pengamatan

penilian

siswa

khusus

pada

terhadap
pola

persamaan

penemuan

tersebut.

bimbingan

dan pola penemuan dengan petunjuk gambar. Ada beberapa persyaratan yang
perlu

diperhatikan

motivasi

siswa

dalam

harus

menggunakan

ditumbuhkan

metode

agar

penemuan,

suasana

belajar

antara

lain

menyenangkan,

adanya kebebasan dalam berkarya dan memecahkan masalah, guru terampil


memilih permasalahan yang problematis dan tidak banyak ikut campur dalam
kegiatan siswa (Sudjana, 1980, dalam Turisina, 2006).
Selain itu menurut Tabrani (1992 dalam Turisina, 2006), bahwa syarat utama
metode penemuan ada pada potensi yang dimiliki oleh siswa itu sendiri. Potensi itu
meliputi

kemandirian

siswa

dalam

data,

keaktifan

dalam

memecahkan

masalah, kepercayaan pada diri sendiri. Kelebihan metode penemuan, yaitu:


siswa dapat mengerti konsep dasar lebih baik, membantu dalam menggunakan
ingatan, pengetahuan mudah ditransfer pada situasi proses belajar yang baru,
mendorong siswa berpikir dan bekerja atas inisatif sendiri, memberi kepuasan
instrinsik, serta pembelajaran lebih baik (Amin, 1998 : 99-100 dalam Turisina, 2006).
Metode penemuan, menurut Gilstrap (dalam Turisina, 2006), memiliki beberapa
keunggulan dibandingkan dengan metode pembelajaran yang lain. Beberapa keunggulan
dalam

metode

penemuan adalah sebagai berikut : (1) metode ini kemungkinan yang besar
untuk

memperbaiki

ketrampilan

dalam

dan

proses

atau

memperluas

kognitif

siswa,

persediaan
(2)

dan

Pengetahuan

penguasaan
sebagai

pengetahuan yang melekat erat pada diri siswa, (3) metode penemuan dapat
menimbulkan gairah pada diri siswa, karena siswa merasakan jerih payahnya
membuahkan hasil, (4) metode ini memberikan kesempatan kepada siswa
untuk maju berkelanjutan sesusai dengan kemampuannya sendiri, (5) metode
ini

menyebabkan

siswa

mengarahkan

belajarnya

sendiri,

sehingga

lebih

termotivasi untuk belajar, (6) metode ini membantu siswa memperkuat konsep
7

siswa dengan bertambahnya rasa percaya diri selama proses kerja penemuan,
(7) metode ini terpusat pada siswa, guru sebagai fasilitator dan pendinamisator
dari penemuan, dan (8) metode ini membantu perkembangan siswa menuju ke
skeptisme (perasaan meragukan) yang sehat untuk mencapai kebenaran akhir
dan mutlak
Menurut Turisina (2006) bahwa selain memiliki kelebihan, metode penemuan
juga
memiliki
kelemahan-kelemahan sistem domonstrasi adalah : (1) metode ini
mempersyaratkan suatu persiapan kemampuan berpikir yang dapat dipercaya,
(2) metode ini kurang berhasil untuk mengajar kelas yang jumlahnya besar,
(3) harapan yang ditimbulkan oleh metode ini, kurang bisa diterapkan oleh
guru dan siswa yang sudah terbiasa dengan perencanaan dan pengajaran yang
tradisional, (4) mengajar dengan pengetahuan akan dipandang sebagai metode
yang telalu menekankan pada penguasaan pengetahuan dan kurang memperhatikan
perolehan
sikap
(5)
metode
ini
tidak
memungkinkan
siswa
untuk berpikir kreatif, bila sejak awal konsep yang akan ditemukan telah
dipilih guru dan proses penemuannya juga dibawah bimbingan guru.
DAFTAR PUSTAKA
Imran,

Syaiful.
2009.
Komponen
Pembelajaran
Kontekstual.
(online)
http://ipankreview.wordpress.com/2009/03/20/komponen-pembelajarankontekstual-ctl/ (diakses 28 April 2008)

Sofa. 2008. Pendekatan Discovery, Inquiry, dan STS dalam Pembelajaran Fisika.
(online)
http://pkab.wordpress.com/2008/06/21/discovery-inquiry-sts-fisika/
(diakses 28 April 2009)
Sudrajat, Akhmad. 2007. Pembelajaran Berbasis Kontekstual 1. (online)
akhmadsudrajat.files.wordpress.com/2009/04/16_pengembangan-modelpembelajaran-ctl-smp-2006.ppt (diakses 29 April 2009)
Suherman, Erman. 2009. Pendekatan Kontekstual dalam Pembelajaran Matematika.
(online)
http://educare.e-fkipunla.net/index2.php?
option=com_content&do_pdf=1&id=38 (diakses 28 April 2009)
Turisina, Qorry. 2006. Bimbingan Guru Melalui Metode Penemuan dalam Upaya
Meningkatkan Pemahaman dan Antusiasme Siswa pada Pelajaran Sains Kelas
Lima Sekolah Dasar. (online) http://digilib.unnes.ac.id/gsdl/cgi-bin/library?e=d00000-00---0skripsi--00-1--0-10-0---0---0prompt-10---4-------0-1l--11-en-50--20-about---00-3-1-00-11-1-0utfZz-800&a=d&d=HASHe0dd7f731bd0a62965a04d&showrecord=1 (diakses 28 April
2009)
Zulharman.
2007.
Problem
Based
Learning
(PBL).
(online)
http://zulharman79.wordpress.com/2007/07/15/problem-based-learning-pbl/
(diakses 28 April 2009)
.2004. Bahan Pembelajaran Problem Based Learning (Belajar Berdasar
Masalah. (online) http://www.lrckesehatan.net/cdroms_htm/pbl/pbl.htm (diakses
28 April 2009)

Problem-Based
Learning
(PBL).
(online)
http://www.edtech.vt.edu/edtech/id/models/powerpoint/pbl.pdf. (diakses 28 April
2009)

Anda mungkin juga menyukai