Anda di halaman 1dari 18

6

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Penyakit Ginjal Kronik


Penyakit Ginjal Kronik (PGK) merupakan suatu proses patofisiologi

dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang


progresif, dan pada umumnya berakhir dengan

keadaan klinis yang ditandai

dengan penurunan fungsi ginjal yang irreversible, pada suatu derajat yang
memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi
ginjal (Suwitra, 2006).
Kriteria Penyakit Ginjal Kronik
1. Kelainan ginjal berupa kelainan struktural atau fungsional, dengan manifestasi
klinis dan kerusakan ginjal secara laboratorik atau kelainan pada pemeriksaan
radiologi, dengan atau tanpa penurunan fungsi ginjal (penurunan LFG) yang
berlangsung > 3 bulan.
2. Penurunan LFG < 60 ml/menit per 1,73 m2 luas permukaan tubuh selama > 3
bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal (National Kidney Foundation,
2002).

2.1.1

Etiologi
Umumnya penyakit ginjal kronik disebabkan oleh penyakit ginjal

intrinsik difus dan menahun. Hampir semua nefropati bilateral dan progresif akan
berakhir dengan penyakit ginjal kronik. Umumnya penyakit di luar ginjal, seperti
nefropati obstruktif dapat menyebabakan kelainan ginjal intrinsik dan berakhir
dengan penyakit ginjal kronik (Sukandar, 2006).
Menurut data yang sampai saat ini dikumpulkan oleh Indonesian Renal
Registry (IRR) pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi terbanyak
sebagai berikut: glomerulonefritis (25%), diabetes melitus (23%), hipertensi
(20%) dan ginjal polikistik (10%) (Roesli, 2008).

1.

Glomerulonefritis
Glomerulonefritis kronik merupakan penyakit parenkim ginjal progresif

dan difus yang seringkali berakhir dengan gagal ginjal kronik. Glomerulonefritis
berhubungan dengan penyakit-penyakit sistemik seperti lupus eritomatosus
sistemik, poliartritis nodosa, granulomatosus Wagener. Glomerulonefritis
(glomerulopati) yang berhubungan dengan diabetes mellitus (glomerulosklerosis)
tidak jarang dijumpai dan dapat berakhir dengan penyakit ginjal kronik.
Glomerulonefritis yang berhubungan dengan amilodois sering dijumpai pada
pasien-pasien dengan penyakit menahun seperti tuberkulosis, lepra, osteomielitis
arthritis rheumatoid dan myeloma (Sukandar, 2006).
Istilah glomerulonefritis digunakan untuk berbagai penyakit ginjal yang
etiologinya tidak jelas, akan tetapi secara umum memberikan gambaran
histopatologi tertentu pada glomerulus (Markum, 1998). Berdasarkan sumber
terjadinya

kelainan,

glomerulonefritis

dibedakan

primer

dan

sekunder.

Glomerulonefritis primer apabila penyakit dasarnya berasal dari ginjal sendiri


sedangkan glomerulonefritis sekunder apabila kelainan ginjal terjadi akibat
penyakit sistemik lain seperti diabetes melitus, lupus eritematosus sistemik (LES),
mieloma multipel, atau amiloidosis (Prodjosudjadi, 2006).
Gambaran klinis glomerulonefritis mungkin tanpa keluhan dan
ditemukan secara kebetulan dari pemeriksaan urin rutin atau keluhan ringan atau
keadaan darurat medik yang harus memerlukan terapi pengganti ginjal seperti
dialisis (Sukandar, 2006).
2.

Diabetes melitus
Menurut American Diabetes Association (2003) dalam Soegondo (2005)

diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan


karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja
insulin atau kedua-duanya.
Diabetes melitus sering disebut sebagai the great imitator, karena
penyakit ini dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai
macam keluhan. Gejalanya sangat bervariasi. Diabetes melitus dapat timbul
secara perlahan-lahan sehingga pasien tidak menyadari akan adanya perubahan

seperti minum yang menjadi lebih banyak, buang air kecil lebih sering ataupun
berat badan yang menurun. Gejala tersebut dapat berlangsung lama tanpa
diperhatikan, sampai kemudian orang tersebut pergi ke dokter dan diperiksa kadar
glukosa darahnya (Waspadji, 1996).
3.

Hipertensi
Hipertensi adalah tekanan darah sistolik 140 mmHg dan tekanan darah

diastolik 90 mmHg (Mansjoer, 2001). Berdasarkan penyebabnya, hipertensi


dibagi menjadi dua golongan yaitu hipertensi esensial atau hipertensi primer yang
tidak diketahui penyebabnya atau idiopatik, dan hipertensi sekunder atau disebut
juga hipertensi renal (Sidabutar, 1998).
Penyakit ginjal hipertensif (arteriolar nephrosclerosis) merupakan salah
satu penyebab penyakit ginjal kronik. Insiden hipertensi esensial berat yang
berakhir dengan gagal ginjal kronik kurang dari 10% (Sukandar, 2006).
4.

Ginjal polikistik
Kista adalah suatu rongga yang berdinding epitel dan berisi cairan atau

material yang semisolid. Polikistik berarti banyak kista. Pada keadaan ini dapat
ditemukan kista-kista yang tersebar di kedua ginjal, baik di korteks maupun di
medula. Selain oleh karena kelainan genetik, kista dapat disebabkan oleh berbagai
keadaan atau penyakit. Ginjal polikistik merupakan kelainan genetik yang paling
sering didapatkan. Nama lain yang lebih dahulu dipakai adalah penyakit ginjal
polikistik dewasa (adult polycystic kidney disease), oleh karena sebagian besar
baru bermanifestasi pada usia di atas 30 tahun.
Glomerulonefritis, hipertensi esensial, dan pielonefritis merupakan
penyebab paling sering dari PGK, yaitu sekitar 60%. Penyakit ginjal kronik yang
berhubungan dengan penyakit ginjal polikistik dan nefropati obstruktif hanya 1520% (Sukandar, 2006).
Kira-kira 10-15% pasien-pasien penyakit ginjal kronik disebabkan
penyakit ginjal kongenital seperti sindrom Alport, penyakit Fabbry, sindrom
nefrotik kongenital, penyakit ginjal polikistik, dan amiloidosis (Sukandar, 2006).
Pada orang dewasa penyakit ginjal kronik yang berhubungan dengan
infeksi saluran kemih dan ginjal (pielonefritis) tipe uncomplicated jarang

dijumpai, kecuali tuberkulosis, abses multipel. Nekrosis papilla renalis yang tidak
mendapat pengobatan yang adekuat (Sukandar, 2006).

2.1.2

Klasifikasi
Klasifikasi PGK didasarkan atas dua hal yaitu, atas dasar derajat (stage)

penyakit dan atas dasar diagnosis etiologi.


Klasifikasi derajat penyakit, dikelompokkan atas penurunan faal ginjal
berdasarkan LFG sesuai rekomendasi NKF-KDOQI:
Tabel 2.1.2 Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas Derajat Penyakit
Derajat

Deskripsi

LFG (mL/menit/1,73
m)

Kerusakan ginjal disertai LFG normal atau

90

meninggi
2

Kerusakan ginjal disertai penurunan ringan

60-89

LFG
3

Penurunan moderat LFG

30-59

Penurunan berat LFG

15-29

Gagal ginjal

(National Kidney Foundation, 2002).

< 15 atau dialysis

10

Tabel 2.1.2 Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas Dasar Diagnosis Etiologi
Penyakit

Tipe Mayor

Penyakit Ginjal Diabetes

Diabetes tipe 1 dan 2

Penyakit

Penyakit glomerular

Ginjal

non

Diabetes

(penyakit autoimun, infeksi sistemik, obat,


neoplasia)
Penyakit vaskular
(penyakit pembuluh darah besar, hipertensi,
mikroangiopati)
Penyakit tubulointerstisial
(pielonefritis kronik, obstruksi, keracunan obat)
Penyakit kistik
(ginjal polikistik)

Penyakit pada transplantasi

Rejeksi kronik
Keracunan Obat
Penyakit recurrent

(Suwitra, 2006)

2.1.3

Patogenesis dan Patofisiologi


Teori yang paling dapat diterima adalah hiperfiltrasi pada nefron ginjal

yang tersisa setelah terjadi kehilangan nefron akibat lesi. Peningkatan tekanan
glomerular menyebabkan hiperfiltrasi ini. Hiperfiltrasi terjadi sebagai konsekuensi
adaptif untuk mempertahankan laju filtrasi glomerulus (LFG), namun kemudian
akan menyebabkan cedera pada glomerulus. Permeabilitas glomerulus yang
abnormal umum terjadi pada gangguan glomerular, dengan proteinuria sebagai
tanda klinis (Conchol, 2005).

11

Nefropati

Kompensasi hiperfiltrasi
dan hipertropi

Berkurangnya jumlah
Nefron
Hipertensi
sistemik

Angiotensin II

Glomeruloskelerosis

Kebocoran protein
Melalui glomerular

Ekspresi Growth mediator


Inflamasi / fibrosis

Gambar 2.1. Patogenesis perburukan fungsi ginjal pada Penyakit Ginjal


Kronik
Glomerular capillary pressure
Glomerular ultrafiltration
coefficient
Glomerular arteriole resistance

Mesangial cell contraction

Angiotensin II
Endothelin I

GBM
Permeabilitas

Hypertrophy /
Hyperplasia

Proteinuria

Mesangial cell

Cytokines, Arachidonic acid


derivate

Matrix
Production

GLOMERULOSKELEROSIS

Gambar 2.2. Hemodynamic dan Non Hemodynamic Glomerular action of


Angiotension II dan Endothelin

12

2.1.4

Faktor risiko
Faktor risiko penyakit ginjal kronik, yaitu pada pasien dengan diabetes

melitus atau hipertensi, obesitas atau perokok, berumur lebih dari 50 tahun, dan
individu dengan riwayat penyakit diabetes melitus, hipertensi, dan penyakit ginjal
dalam keluarga (National Kidney Foundation, 2009).

2.1.5

Gambaran Klinik Penyakit Ginjal Kronik


Gambaran klinik penyakit ginjal kronik berat disertai sindrom azotemia

sangat kompleks, meliputi kelainan-kelainan berbagai organ seperti: kelainan


hemopoeisis, saluran cerna, mata, kulit, selaput serosa, dan kelainan neuropsikiatri
(Sukandar, 2006).

1.

Kelainan hemopoeisis
Anemia normokrom dan normositer, sering ditemukan pada pasien gagal

ginjal kronik. Anemia sangat bervariasi bila ureum darah lebih dari 100 mg% atau
penjernihan kreatinin kurang dari 25 ml per menit (Sukandar, 2006).

2.

Kelainan saluran cerna


Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian pasien

gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Patogenesis mual dan muntah
masih belum jelas, diduga mempunyai hubungan dengan dekompresi oleh flora
usus sehingga terbentuk amonia (NH3). Amonia inilah yang menyebabkan iritasi
atau rangsangan mukosa lambung dan usus halus. Keluhan-keluhan saluran cerna
ini akan segera mereda atau hilang setelah pembatasan diet protein dan antibiotika
(Sukandar, 2006).

3.

Kelainan mata
Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian kecil

pasien penyakit ginjal kronik. Gangguan visus cepat hilang setelah beberapa hari
mendapat pengobatan penyakit ginjal kronik yang adekuat, misalnya hemodialisis.
Kelainan saraf mata menimbulkan gejala nistagmus, miosis, dan pupil asimetris.

13

Kelainan retina (retinopati) mungkin disebabkan hipertensi maupun anemia yang


sering dijumpai pada pasien penyakit ginjal kronik. Penimbunan atau deposit
garam kalsium pada konjungtiva menyebabkan gejala red eye syndrome akibat
iritasi dan hipervaskularisasi. Keratopati mungkin juga dijumpai pada beberapa
pasien penyakit ginjal kronik akibat penyulit hiperparatiroidisme sekunder atau
tertier (Sukandar, 2006).

4.

Kelainan kulit
Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih belum jelas dan

diduga berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder. Keluhan gatal ini akan


segera hilang setelah tindakan paratiroidektomi. Kulit biasanya kering dan
bersisik, tidak jarang dijumpai timbunan kristal urea pada kulit muka dan
dinamakan urea frost (Sukandar, 2006).

5.

Kelainan selaput serosa


Kelainan selaput serosa seperti pleuritis dan perikarditis sering dijumpai

pada penyakit ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Kelainan selaput
serosa merupakan salah satu indikasi mutlak untuk segera dilakukan dialisis
(Sukandar, 2006).

6.

Kelainan neuropsikiatri
Beberapa kelainan mental ringan seperti emosi labil, dilusi, insomnia,

depresi. Kelainan mental berat seperti konfusi, dilusi, dan tidak jarang dengan
gejala psikosis. Kelainan mental ringan atau berat ini sering dijumpai pada pasien
dengan atau tanpa hemodialisis, dan tergantung dari dasar kepribadiannya
(personalitas). Pada kelainan neurologi, kejang otot atau muscular twitching
sering ditemukan pada pasien yang sudah dalam keadaan yang berat, kemudian
terjun menjadi koma (Sukandar, 2006).

14

7.

Kelainan kardiovaskular
Patogenesis gagal jantung kongestif pada penyakit ginjal kronik sangat

kompleks. Beberapa faktor seperti anemia, hipertensi, aterosklerosis, penyebaran


kalsifikasi mengenai sistem vaskuler, sering dijumpai pada pasien penyakit ginjal
kronik terutama pada stadium terminal. Hal ini dapat menyebabkan gagal faal
jantung (Sukandar, 2006).

8.

Hipertensi
Patogenesis hipertensi ginjal sangat kompleks, banyak faktor turut

memegang peranan seperti keseimbangan natrium, aktivitas sistem reninangiotensin-aldosteron, penurunan zat dipresor dari medulla ginjal, aktivitas
sistem saraf simpatis, dan faktor hemodinamik lainnya seperti cardiac output dan
hipokalsemia (Sukandar, 2006).
Retensi natrium dan sekresi renin menyebabkan kenaikan volume plasma
(VP) dan volume cairan ekstraselular (VCES). Ekspansi VP akan mempertinggi
tekanan pengisiaan jantung (cardiac filling pressure) dan cardiac output pressure
(COP). Kenaikan COP akan mempertinggi tonus arteriol (capacitance) dan
pengecilan diameter arteriol sehinga tahanan perifer meningkat. Kenaikan tonus
vaskuler akan menimbulkan aktivasi mekanisme umpan balik (feed-back
mechanism) sehingga terjadi penurunan COP sampai mendekati batas normal
tetapi kenaikan tekanan darah arterial masih dipertahankan (Sukandar, 2006).
Sinus karotis mempunyai faal sebagai penyangga (buffer) yang mengatur
tekanan darah pada manusia. Setiap terjadi kenaikan tekanan darah selalu
dipertahankan normal oleh sistem mekanisme penyangga tersebut. Pada pasien
azotemia, mekanisme penyangga dari sinus karotikus tidak berfungsi lagi untuk
mengatur tekanan darah karena telah terjadi perubahan volume dan tonus
pembuluh darah arteriol (Sukandar, 2006).

2.1.6

Diagnosis
Menurut (Sukandar, 2006) pendekatan diagnosis Penyakit Ginjal Kronik

(PGK) mempunyai sasaran berikut:

15

1. Memastikan adanya penurunan faal ginjal (LFG)


2. Mengetahui etiologi PGK yang mungkin dapat dikoreksi
3. Mengidentifikasi semua faktor pemburuk faal ginjal (reversible factors)
4. Menentukan strategi terapi rasional
5. Menentukan prognosis
Pendekatan diagnosis mencapai sasaran yang diharapkan bila dilakukan
pemeriksaan yang terarah dan kronologis, mulai dari anamnesis, pemeriksaan
fisik diagnosis dan pemeriksaan penunjang diagnosis rutin dan khusus (Sukandar,
2006).

1.

Anamnesis dan pemeriksaan fisik


Anamnesis harus terarah dengan mengumpulkan semua keluhan yang

berhubungan dengan retensi atau akumulasi toksin azotemia, etiologi PGK,


perjalanan penyakit termasuk semua faktor yang dapat memperburuk faal ginjal
(LFG). Gambaran klinik (keluhan subjektif dan objektif termasuk kelainan
laboratorium) mempunyai spektrum klinik luas dan melibatkan banyak organ dan
tergantung dari derajat penurunan faal ginjal (Sukandar, 2006).

2.

Pemeriksaan laboratorium
Tujuan pemeriksaan laboratorium yaitu memastikan dan menentukan

derajat penurunan faal ginjal (LFG), identifikasi etiologi dan menentukan


perjalanan penyakit termasuk semua faktor pemburuk faal ginjal (Sukandar,
2006).
a.

Pemeriksaan faal ginjal (LFG)


Pemeriksaan ureum, kreatinin serum dan asam urat serum sudah cukup

memadai sebagai uji saring untuk faal ginjal (LFG). Pemeriksaan klirens kreatinin
dan radionuklida (gamma camera imaging) hampir mendekati faal ginjal yang
sebenarnya (Sukandar, 2006).

b.

Etiologi penyakit ginjal kronik (PGK)

i.

Analisis urin rutin

16

ii.

Mikrobiologi urin

iii. Kimia darah


iv. Elektrolit
v.

Imunodiagnosis

c.

Pemeriksaan laboratorium untuk perjalanan penyakit


Progresivitas penurunan faal ginjal, hemopoiesis, elektrolit, endoktrin,

dan pemeriksaan lain berdasarkan indikasi terutama faktor pemburuk faal ginjal
(LFG) (Sukandar, 2006).

3.

Pemeriksaan penunjang diagnosis


Pemeriksaan penunjang diagnosis harus selektif sesuai dengan tujuannya,

yaitu:
a.

Diagnosis etiologi PGK


Beberapa pemeriksaan penunjang diagnosis, yaitu foto polos abdomen,

ultrasonografi (USG), nefrotomogram, pielografi retrograde, pielografi antegrade


dan Micturating Cysto Urography (MCU) (Sukandar, 2006).

b.

Diagnosis pemburuk faal ginjal


Pemeriksaan radiologi dan radionuklida (renogram) dan pemeriksaan

ultrasonografi (USG).

2.1.7.
1.

Penatalaksanaan
Terapi konservatif
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal

secara progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia,


memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan
dan elektrolit (Sukandar, 2006).
Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum
terjadinya penurunan LFG sehingga perburukan fungsi ginjal tidak terjadi. Pada
ukuran ginjal yang masih normal secara ultrasonografi, biopsi dan pemeriksaan

17

histopatologi ginjal dapat menentukan indikasi yang tepat terhadap terapi spesifik.
Sebaliknya, bila LFG sudah menurun sampai 20-30% dari normal, terapi terhadap
penyakit dasar sudah tidak bermanfaat (Suwitra, 2006).
Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan LFG
pada pasien penyakit ginjal kronik. Hal ini untuk mengetahui kondisi komorbid
(superimposed factors) yang dapat memperburuk keadaan pasien. Faktor-faktor
komorbid ini antara lain, gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak
terkontrol, infeksi traktus urinarius, obstruksi traktus urinarius, obat-obatan
nefrotoksik, bahan radiokontras, atau peningkatan aktivitas penyakit dasarnya
(Suwitra, 2006).
Perencanaan tatalaksana (action plan) penyakit ginjal kronik sesuai
dengan derajatnya, dapat dilihat di tabel

Tabel 2.1.7 Rencana Tatalaksana Penyakit Ginjal Kronik Sesuai dengan


Derajatnya
Derajat LFG

(mL/menit/1,73 Rencana tatalaksana

m)
90

Terapi penyakit dasar, kondisi komorbid,


evaluasi perburukan (progression) fungsi
ginjal, memperkeciol risiko kardiovaskular

60-89

Menghambat

perburukan

(progression)

fungsi ginjal
3

30-59

Evaluasi dan terapi komplikasi

15-29

Persiapan untuk terapi pengganti ginjal

< 15 atau dialisis

Terapi untuk pengganti ginjal

(Suwitra, 2006)

a.

Peranan diet
Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah atau

mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan terutama
gangguan keseimbangan negatif nitrogen (Sukandar, 2006).

18

Pembatasan asupan protein mulai dilakukan pada LFG 60 ml/mnt,


sedangkan di atas nilai tersebut, pembatasan asupan protein tidak selalu
dianjurkan. Protein diberikan 0,6-0,8/kgbb/hari, yang 0,35-0,50 gr diantaranya
merupakan protein nilai biologi tinggi. Jumlah kalori yang diberikan sebesar 3035 kkal/kgBB/hari, dibutuhkan pemantauan yang teratur terhadap status nutrisi
pasien. Bila terjadi malnutrisi, jumlah asupan kalori dan protein dapat
ditingkatkan. Berbeda dengan lemak dan karbohidrat, kelebihan protein tidak
disimpan dalam tubuh tapi tapi dipecah menjadi urea dan substansi nitrogen lain,
yang terutama dieksresikan melalui ginjal. Selain itu, makanan tinggi protein yang
mengandung ion hydrogen, posfat, sulfat, dan ion unorganik lain juga
dieksresikan melalui ginjal (Suwitra, 2006).
Pemberian diet tinggi protein pada pasien penyakit ginjal kronik akan
mengakibatkan penimbunan substansi nitrogen dan ion anorganik lain, dan
mengakibatkan gangguan klinis dan metabolik yang disebut uremia. Pembatasan
protein akan mengakibatkan berkurangnya sindrom uremik (Suwitra, 2006).
Masalah penting lain adalah, asupann protein berlebihan (protein
Overload)
peningkatan

akan

mengakibatkan

perubahan

aliran darah dan tekanan

hemodinamik

ginjal

berupa

intraglomerulus (intraglomerulus

hyperfiltration), yang akan meningkatkan progresifitas pemburukan fungsi ginjal.


Pembatasan asupan protein juga berkaitan dengan pembatasan asupan fosfat,
karena protein dan fosfat selalu berasal dari sumber yang sama. Pembatasan fosfat
perlu untuk mencegah terjadinya hyperfosfatemia (Suwitra, 2006).

b.

Kebutuhan jumlah kalori


Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk PGK harus adekuat

dengan tujuan utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif nitrogen,


memelihara status nutrisi dan memelihara status gizi (Sukandar, 2006).

c.

Kebutuhan cairan
Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat supaya

jumlah diuresis mencapai 2 L per hari.

19

d.

Kebutuhan elektrolit dan mineral


Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual tergantung

dari LFG dan penyakit ginjal dasar (underlying renal disease).

2.

Terapi simtomatik

a.

Asidosis metabolik
Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium

(hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat


diberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera
diberikan intravena bila pH 7,35 atau serum bikarbonat 20 mEq/L (Sukandar,
2006).

b.

Anemia
Anemia terjadi pada 80-90 % pasien penyakit ginjal kronik. Anemia pada

penyakit ginjal kronik terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoetin. Hal-hal


yang ikut berperan dalam terjadinya anemia adalah defisiensi besi, kehilangan
darah (misal, perdarahan saluran cerna, hematuri), masa hidup eritrosit yang
pendek akibat terjadinya hemolisis, defisiensi asam folat, penekanan sumsum
tulang oleh substansi uremik, proses inflamasi akut maupun kronik. Evaluasi
terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin 10 g% atau hematokrit 30g%,
meliputi evaluasi terhadap status besi (Iron Binding Capacity), mencari sumber
perdarahan morfologi eritrosit, kemungkinan adanya hemolisis (Suwitra, 2006).
Penatalaksanaan

terutama

ditujukan

pada

penyebab

utamanya,

Pemberian eritropoitin (EPO) merupakan hal yang dianjurkan. Dalam pemberian


EPO ini, status besi harus selalu diperhatikan karena EPO memerlukan besi dalam
mekanisme kerjanya. Pemberian transfusi pada penyakit ginjal kronik harus
dilakukan secara hati-hati, berdasarkan indikasi yang tepat dan pemantauan
cermat. Transfusi darah yang tidak cermat dapat mengakibatkan kelebihan cairan
tubuh, hiperkalemia dan perburukan fungsi ginjal. Sasaraan hemoglobin menurut
berbagai studi klinik adalah 11-12 g/dl (Suwitra, 2006).

20

Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah satu
pilihan terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi darah
harus hati-hati karena dapat menyebabkan kematian mendadak (Sukandar, 2006).

c.

Keluhan gastrointestinal
Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering

dijumpai pada PGK. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan utama (chief
complaint) dari PGK. Keluhan gastrointestinal yang lain adalah ulserasi mukosa
mulai dari mulut sampai anus. Tindakan yang harus dilakukan yaitu program
terapi dialisis adekuat dan obat-obatan simtomatik (Sukandar, 2006).

d.

Kelainan kulit
Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit.

e.

Kelainan neuromuskular
Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis

reguler yang adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal paratiroidektomi.

f.

Hipertensi
Pemberian obat antihipertensi, selain bermanfaat untuk memperkecil

risiko kardiovaskular juga sangat penting untuk memperlambat perburukan


kerusakan nefron dengan mengurangi hipertensi intraglomerulus dan hipertrofi
glmerulus. Beberapa studi membuktikann bahwa, pengendalian tekanan darah
mempunyai peran sama pentingnya dengan pembatasan asupan protein, dalam
memperkecil hipertensi intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus. Selain itu,
sasaran terapi farmakologis sangat terkait dengan derajat proteinuria, yang
merupakan faktor risiko terjadinya perburukan fungsi ginjal (Suwitra, 2006).

g.

Kelainan sistem kardiovaskular


Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular yang

diderita. Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular. Pencegahan


dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular merupakan hal yang penting, karena

21

40-45% kematian pada penyakit ginjal kronik disebabkan oleh penyakit


kardiovaskular. Hal-hal yang termasuk dalam pencegahan dan terapi terhadap
penyakit kardiovaskular adalah, pengendalian diabetes, pengendalian hipertensi,
pengendalian dislipidemia, pengendalian anemia, pengendalian hiperfosfatemia,
dan terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan keseimbangan elektrolit.
Semua ini terkait dengan pencegahan dan terapi terhadap komplikasi penyakit
ginjal kronik secara keseluruhan (Suwitra, 2006).

3.

Terapi pengganti ginjal


Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5,

yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa
hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal (Suwitra, 2006).

a.

Hemodialisis
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala

toksik azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat
pada pasien PGK yang belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG).
Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi
elektif. Beberapa yang termasuk dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis,
ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru dan kelebihan cairan yang tidak
responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter, muntah persisten, dan Blood
Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10 mg%. Indikasi elektif,
yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m, mual, anoreksia, muntah, dan astenia
berat (Sukandar, 2006).
Hemodialisis di Indonesia dimulai pada tahun 1970 dan sampai sekarang
telah dilaksanakan di banyak rumah sakit rujukan. Umumnya dipergunakan ginjal
buatan yang kompartemen darahnya adalah kapiler-kapiler selaput semipermiabel
(hollow fibre kidney). Kualitas hidup yang diperoleh cukup baik dan panjang
umur yang tertinggi sampai sekarang 14 tahun. Kendala yang ada adalah biaya
yang mahal (Rahardjo, 2006).

22

b.

Dialisis peritoneal (DP)


Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal

Dialysis (CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi medik
CAPD, yaitu pasien anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65 tahun), pasienpasien yang telah menderita penyakit sistem kardiovaskular, pasien-pasien yang
cenderung akan mengalami perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan
pembuatan AV shunting, pasien dengan stroke, pasien GGTA (gagal ginjal tahap
akhir) dengan residual urin masih cukup, dan pasien nefropati diabetik disertai comorbidity dan co-mortality. Indikasi non-medik, yaitu keinginan pasien sendiri,
tingkat intelektual tinggi untuk melakukan sendiri (mandiri), dan di daerah yang
jauh dari pusat ginjal (Sukandar, 2006).

c.

Transplantasi ginjal
Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi dan

faal). Menurut (Sukandar, 2006) pertimbangan program transplantasi ginjal, yaitu:


1. Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh (100%) faal
ginjal, sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih 70-80% faal ginjal
alamiah
2. Kualitas hidup normal kembali
3. Masa hidup (survival rate) lebih lama
4. Kompllikasi terutama berhubungan dengan obat imunosupresif untuk
mencegah reaksi penolakan.
5. Biaya lebih murah dan dapat dibatasi.

2.1.8

Pencegahan
Upaya pencegahan terhadap penyakit ginjal kronik sebaiknya sudah

mulai dilakukan pada stadium dini penyakit ginjal kronik. Berbagai upaya
pencegahan yang telah terbukti bermanfaat dalam mencegah penyakit ginjal dan
kardiovaskular, yaitu pengobatan hipertensi (makin rendah tekanan darah makin
kecil risiko penurunan fungsi ginjal), pengendalian gula darah, lemak darah,

23

anemia, penghentian merokok, peningkatan aktivitas fisik dan pengendalian berat


badan (National Kidney Foundation, 2009).

2.1.9.

Komplikasi

Tabel 2.1.9 Komplikasi Penyakit Ginjal Kronik


Derajat

Deskripsi

LFG

Komplikasi

(mL/menit/1,
73 m)
1

Kerusakan ginjal disertai


LFG

normal

90

atau

meninggi
2

Kerusakan ginjal disertai

60-89

Tekanan Darah tinggi

30-59

Hiperfosfatemia

penurunan ringan LFG


3

Penurunan moderat LFG

Hipokalsemia
Anemia
Hiperparatiroid
Hipertensi
Hiperhomosistinemia
4

Penurunan berat LFG

15-29

Malnutrisi
Asidosis Metabolik
Hiperkalsemia
Dislipidemia

Gagal ginjal

< 15 atau
dialysis

(Suwitra, 2006)

Gagal jantung
Uremia

Anda mungkin juga menyukai