Anda di halaman 1dari 19

PROPOSAL

EVIDENCE BASED NURSING PRACTICE


GROUP COGNITIVE BEHAVIOR THERAPY PADA PASIEN HIV

A.

Latar Belakang Masalah


AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrom) merupakan kumpulan gejala penykit
yang disebabkan oleh HIV (Human Immunodeficiency Virus). Virus HIV ditemukan
dalam cairan tubuh terutama pada darah, cairan sperma, cairan vagina, serta air susu
ibu. Menurut WHO pada akhir tahun 2002 terdapat 42 juta orang yang hidup dengan
HIV, dan 95% dari infeksi baru terjadi di negara berkembang dimana HIV belum
menjadi prioritas karena terbatasnya dana. Di Asia Tenggara pada tahun 2002
diperkirakan terdapat 6,1 juta ODHA, sedangkan di Indonesia sendiri terdapat 90.000
130.000 ODHA (WHO, 2002). Sampai saat ini belum ditemukan obat untuk dapat
membunuh virus HIV dalam tubuh yang terinfeksi. Individu yang terinfeksi
sepanjang hidupnya akan hidup dengan HIV dalam tubuhnya. Kondisi hidup dengan
HIV yang menekan system kekebalan tubuh, menyebabkan seseorang yang terinfeksi
menjadi rentan terhadap sakit baik oleh mikroorganisme pathogen maupun komensal
dari dalam dan luar tubuhnya. Mikroorganisme tersebut menjadi stressor fisik yang
memerlukan strategi tubuh untuk mengatasinya.
Kondisi infeksi yang berkepanjangan disisi lain juga menjadi stressor psikologis yang
diantaranya berdampak terjadinya depresi. Depresi yang terjadi pada pasien HIV akan
lebih merugikan akibat dikeluarkannya hormone stress yang berlebihan menyebabkan
penekanan pada system imunitas pasien. Penekanan imunitas pada pasien HIV
semakin memperburuk ketidakefektifan perlindungan diri pasien terhadap penyakit
infeksi.
Stres didefinisikan sebagai kondisi disharmoni atau ancaman terhadap kondisi
homeostasis yang dicetuskan oleh stressor psikologis, fisik dan lingkungan (Black,

1994). Stressor juga dapat didefinisikan sebagai semua tantangan internal maupun
eksternal yang dapat memutuskan lingkungan internal manusia. Respon mamalia
terhadap stressor bervariasi dari gambaran mekanisme adaptasi fisiologis sampai
dengan perbaikan fungsi homeostasis. Respon fisiologi terhadap stressor utamanya
difasilitasi oleh 2 sistem meuroendokrin; sympathetic nervous system (SNS) dan
aksis hypothalamic-pituitary-adrenal (HPA). Peningkatan katekolamin jaringan dan
plasma meningkatkan aktivasi SNS yang diinduksi oleh banyak stressor. Aktivasi
SNS menghasilkan pelepasan norepineprin local dari ujung saraf simpatis dan sekresi
hormone epinefrin dari sel kromafin dari medulla adrenal. Mekanisme katekolamin
mengatur respon imun dibuktikan dari penelitian in vitro maupun in vivo yang
menunjukan bahwa katekolamin memberikan dampak respon imun. Modulasi efek
katekolamin pada migrasi dan proliferasi limfosit,

sekresi antibody, aktifitas

sitotoksik, dan aktifasi makrofag. Norepinefrin menghambat induksi sitokin, MHC


klas II, antigen expression pada APC (Sheridan, dkk. 1994).
Dampak stress psikologis terhadap depresi maupun mekanisme regulasi imunitas
sudah diketahui secara jelas. Depresi adalah suatu kondisi yang terdiri dari
sekumpulan gejala yang dapat dipahami sebagai istilah peralihan kognitif pasien.
Individu yang mengalami depresi memperlihatkan kondisi yang kalah dengan
dirinya sendiri (Neisser, 1976). Kondisi depresi pada pasien dapat diukur
menggunakan Beck Depression Inventory (BDI), Hamilton Rating Scale (HRS),
Hospital Anxiety and Depression Scale (HADS), dan SCL-90. Depresi memerlukan
penanganan komprehensif. Penanganan terhadap depresi dapat melalui psikoterapi
(terapi kognitif), terapi fisik (simple massage) dan terapi farmakologis, baik secara
sendiri-sendiri maupun digunakan secara bersama-sama.
Depresi pada pasien HIV dapat diatasi menggunakan terapi farmakologis
antidepresan maupun menggunakan perubahan gaya hidup. Modifikasi gaya hidup
yang dapat meringankan gejala depresi pasien HIV diantaranya latihan rutin,
peningkatan terhadap paparan sinar matahari, manajemen stres, konseling dan
peningkatan kebiasaan tidur.

Penelitian yang dilakukan oleh Blackburn (1981) membuktikan bahwa pasien depresi
yang diberikan terapi kognitif dan diberikan obat placebo, menunjukan penurunan
skor depresi dan menurunkan angka kekambuhan depresi. Penelitian Rosell (2006)
tentang terapi kognitif pada pasien dewasa dengan diabetus mellitus menunjukan
hasil yang bermakna untuk gejala depresi dan kecemasan, harga diri, keputusasaan,
penerimaan diri terhadap kondisi diabetus, dan control glukosa.

B.

Rumusan Masalah
Prevalensi depresi pada pasien HIV berkisar pada 4,9% dan 17,9%. Pada penelitian
menunjukkan 20-37% pasien yang terinfeksi HIV terdiagnosa depresi. Dari 129 orang
pasien HIV AIDS yang menjadi responden penelitian sepertiganya mempunyai skor
back depression inventory 14 atau lebih tinggi (depresi ringan sampai sedang). 27%
memenuhi kriteria gangguan mood. Intervensi keperawatan yang dapat digunakan
untuk terapi depresi diantaranya konseling, terapi latihan, modifikasi perilaku dan
CBT/cognitif restructuring. Menarik untuk diterapkan dalam perawatan pasien HIV,
apakah cognitive restructuring menggunakan Cognitive Behavior Therapy (CBT)
dapat menurunkan kondisi depresi pada pasien HIV.

C.

Tujuan
1.

Tujuan umum
Mengetahui dampak Group Cognitive Behavior Therapy (CBT) dapat
menurunkan kondisi depresi pada pasien HIV

2.

Tujuan khusus
a.

Mengidentifikasi karakteristik pasien HIV (usia, jenis kelamin, factor


resiko)

b.

Mengidentifikasi skor depresi pasien HIV menggunakan BDI

c.

Mengetahui tingkat penerapan grup CBT pada pasien HIV

d.
D.

Mengetahui penurunan skor depresi setelah grup CBT

Manfaat
1.

Manfaat untuk pasien


Pasien HIV/AIDS diharapkan mendapatkan intervensi holistik, yaitu terapi
farmakologi dan terapi nonfarmakologis menggunakan grup CBT.

2.

Manfaat untuk pengembangan ilmu


Penerapan grup CBT pada pasien HIV/AIDS dapat ditindaklanjuti pada area
keilmuan imunologi untuk melihat dampak terhadap control imunitas maupun
control jumlah virus dalam darah pasien HIV/AIDS.

3.

Manfaat untuk mahasisa


Mahasiswa dapat mengaplikasikan grup CBT sebagai intervensi mandiri
keperawatan dan mencari bukti atas pengaruh CBT untuk menurunkan depresi
pada pasien HIV/AIDS.

METODE
EVIDENCE BASED NURSING PRACTICE

A.

Desain Evidence Based Nursing Practice


Desain yang digunakan dalam evidence based practice ini adalah quasi eksperimen
dengan pendekatan pre-post test control design.

Evidence based practice ini

bertujuan untuk mengimplementasikan salah satu hasil penelitian yang berhubungan


dengan intervensi keperawatan cognitive restructuring menggunakan Cognitive
Behavior Therapy (CBT) untuk mengatasi kondisi depresi pada pasien HIV yang
dirawat di RSCM (Pollit & Back, 2006). Studi quasi eksperimen merupakan
rancangan evidence based practice yang dipergunakan untuk mencari hubungan
sebab akibat dari satu kejadian (Notoatmojo, 2005).

A.

Populasi dan Sampel


1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien dewasa yang menderita
HIV/AIDS baik kasus baru maupun lama, datang pada periode penerapan EBNP
yaitu bulan Maret sampai dengan April 2009.
2. Sampel Penelitian
Sample penelitian menggunakan pasien ruang rawat inap terpadu gedung A lantai
I zona A, Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta. Periode penerapan CBT
pada bulan Maret sampai dengan April 2009, baik laki-laki maupun perempuan
dengan kriteria:
a. Telah terdiagnosa sebagai pasien HIV/AIDS melalui pemeriksaan penyaring
imunokromatografi

b. Berusia minimal 19 tahun pada saat penerapan CBT


c. Pasien sadar, GCS 15
d. Dapat membaca dan menulis
e. Dapat memahami bahasa Indonesia dalam komunikasi dengan orang lain
f. Bersedia untuk berpartisipasi dalam penerapan CBT
Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan non
probability sampling. Jenis yang digunakan adalah purposive sampling, yaitu
semua pasien yang memenuhi kriteria inklusi digunakan sebagai responden.

B.

Etika
Beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam menjamin hak-hak pasien,
diantarannya; kebebasan menentukan apakah responden bersedia atau tidak terlibat
dalam evidence based nursing practice (self determination), memberi keleluasaan
pribadi untuk menjaga kerahasian baik identitas maupun data, informasi yang berikan
(privacy/confidentiality), oleh karena itu sebagai ganti identitas menggunakan nomor
responden (anonymity), menjaga responden dari ketidaknyamanan fisik maupun
psikologis (protection from discomfort) (Polit & Back, 2006).

Bila terjadi kondisi depresi pada pasien HIV yang sedang dirawat maka perawat
secara mandiri melakukan tindakan keperawatan dengan memberikan intervensi
cognitive restructuring menggunakan teknik CBT untuk memperbaiki pemahaman
pasien tentang kondisi sakitnya Selanjutnya bila masih ditemukan tanda-tanda depresi
pada pasien, maka peneliti akan mengkonsulkan pada dokter dan perawat ruangan
untuk penanganan selanjutnya.

C.

Prosedur Pelaksanaan Evidence Based Practice


Langkah-langkah dalam evidence based practice ini, adalah sebagai berikut:
1.

Prosedur Administrasi : Proposal EBNP dan Ijin Ruangan

2.

Presentasi teknik CBT diruangan

3. Penentuan pasien yang akan diberikan cognitive restructuring, yaitu pasien


depresi yang diukur dengan kuesioner pre tes Beck Depression Inventory (BDI)
4. CBT menggunakan cognitive restructuring:
a. Bantu pasien menerima fakta bahwa pernyataan diri menimbulkan mosi
ringan
b. Bantu pasien memahami bahwa ketidakmampuan untuk mencapai perilaku
yang diinginkan yang dihailkan dari pernyataan diri yang irrasional
c. Tampilkan

model

berpikir

disfungsional

berpikir

terpolarisasi,

overgeneralisasi, magnifikasi, dan personalisasi )


d. Bantu pasien untuk menandai emosi terhadap nyeri ( marah, cemas, dan tidak
memiliki harapan ) dengan apa yang mereka rasakan
e. Bantu pasien untuk mengidentifikasi stresor yang di rasakan ( situasi,
kejadian, dan interaksi dengan orang lain ) yang berontribusi terhadap stress
f. Bantu pasien untuk mengidentifikasi interpretasi kegagalan diri tentang
stresor yang dirasakan
g. Bantu pasien untuk mengganti kegagalan interpretasi dengan kenyataan lain
berdasarkan interprtasi dari situasi yang membuat stress, kejadian, dan
interaksi
5. Menentukan perubahan derajat depresi ringan - sedang berat berpatokan pada
skore BDI.
6. Langkah intervensi pada nomor 4 diulang setelah 3 hari
7. Intervensi keperawatan cognitive restructuring diberikan selama 4 kali berturutturut.

D.

Jadwal Pelaksanaan Evidence based practice


No
1
2
3
4
5
6

Kegiatan
Kelengkapan Adm/Bahan EBN
Kritikal review Hasil riset EBN
Penyusunan Proposal
Ijin Ruangan
Pelaksanaan EBN
Penyusunan Laporan/Hasil

Februari
I II

Waktu
Feb
Maret
III
I - IV
IV

April
I
III
II

Clinical Implication of
Therapeutic Exercise in HIV/AIDS

A.

Latar Belakang Masalah


HIV/AIDS merupakan resiko kesehatan serius bagi jutaan individu disetiap belahan
dunia. Vaksinasi maupun obat untuk pencegahan maupun pengurangan angka
kesakitan dan kematian akibat HIV sampai saat ini belum ditemukan. Regimen
antiretroviral terbaru seperti Highly Active Antiretroviral Therapy masih memerlukan
biaya tinggi dan banyak menimbulkan efek samping. Terapi menggunakan steroid dan
hormon pertumbuhan efektif digunakan untuk mengatasi gejala HIV, tetapi juga
menimbulkan efek samping serius dan memerlukan biaya yang tinggi. Terapi
alternatif yang sering digunakan adalah latihan terapeutik (therapeutic excercise)
banyak dikaji terhadap gejala dan komplikasi untuk pasien infeksi HIV kronis.
Therapeutic Excercise telah sukses digunakan pada pasien diabetus, dislipidemia,
hipertensi, penyakit kardiovaskuler dan beberapa kasus kanker. Keuntungan latihan
secara rutin dapat diperluas pada pasien dengan infeksi HIV kronis yang dihubungkan
dengan sindrom pelisutan otot, kelemahan otot, kelelahan, kerusakan kapasitas kerja,
depresi dan penurunan kualitas hidup. Latihan dapat berdampak positif pada banyak
aspek fisik dan mental pasien HIV. Efek latihan intensitas tinggi atau overtraining
telah terdokumentasi menyebabkan peningkatan keparahan infeksi dan berdampak
negatif terhadap fungsi imun pada manusia dan meningkatkan mortalitas pada hewan
percobaan.

B.

Tujuan
Mengetahui efek excercise therapeutic pada penanda psikologis pada pasien HIV
dengan depresi.

C.

Populasi
Populasi pada jurnal penelitian implikasi klinis therapeutic excercise pada penanda
psikologis adalah pasien infeksi HIV kronis dengan gejala kecemasan dan depresi
atau gangguan lain sebagai dampak stres.

D.

Intervensi
Perlakuan menggunakan senam aerobik selama 6 minggu digunakan untuk
mengurangi kecemasan dan depresi maupun gejala yang berkaitan dengan stres.
Penelitian lain yang sejenis menggabungkan antara pemijatan dan terapi latihan.
Latihan dilakukan 20-60 menit setiap sesi, dengan intensitas latihan moderat.
Persiapan latihan dan peran perawat dijelaskan didalam jurnal.

E.

Perbandingan
Therapeutic excercise merupakan intervensi sedikit dilakukan untuk mengatasi
kondisi depresi pada pasien HIV. Hal tersebut diakibatkan ukuran aktifitas tidak dapat
dengan mudah dilakukan oleh semua pemberi layanan kesehatan. Terapi psikosoial
dan behavioral lebih banyak digunakan untuk mengatasi depresi maupun kecemasan
pada pasien HIV.

F.

Hasil
Setelah terapi 6 minggu dengan therapeutic excercise secara bermakna meningkatkan
skor kualitas hidup. Setelah 12 minggu terapi pemijatan dan terapi latihan tidak
ditemukan hasil yang bermakna untuk peningkatan mental dan emosional namun
berdampak pada gejala yang berpengaruh terhadap kulaitas hidup dan depresi seperti
pelisutan otot, kelemahan, kelelahan, dan disabilitas.

G.

Kritik
1.

Masalah yang digunakan sebagai latar belakang jurnal dijelaskan, namun


tidak menampilkan fakta angka beratnya masing-masing masalah terkait dampak
HIV terhadap sindrom pelisutan otot, kelemahan otot, kelelahan, kerusakan
kapasitas kerja, depresi dan penurunan kualitas hidup.

2.

Gerakan yang digunakan dalam senam aerobik tidak dijelaskan. Waktu


terbaik yang digunakan untuk therapeutic excercise tidak dijelaskan.

Coping Effectiveness Training for Men Living With HIV: Results From
a Randomized Clinical Trial Testing a Group-Based Intervention

A.

Masalah dan Populasi


Diperkirakan 42 juta penduduk di dunia terinfeksi HIV hidup dengan penyakit kronis
yang tidak diketahui prognosisnya. Kemajuan dalam terapi HIV memperbaiki
progresifitas penyakit dan meningkatkan daya tahan pasien, memberikan dampak
pertumbuhan populasi penderita yang besar. Kompleksitas regimen terapi
dikarakteristikan dengan banyaknya efek samping dan masalah stres psikososial lain
akibat penyakit. Saat ini terjadi peningkatan prosentase laki-laki heteroseksual dan
wanita yang hidup dengan HIV. Di Amerika laki-laki gay berlanjut menjadi individu
terinfeksi HIV kelompok terbesar. Pada beberapa dokumentasi penelitian pengalaman
tekanan hidup pada kelompok ini termasuk stigma sosial,isolasi sosial, perhatian
terhadap masalah kesehatan dan semua stresor yang berdamapak terhadap depresi dan
kecemasan.Meskipun banyak tantangan, banyak laki-laki gay yang terinfeksi
mempunyai koping yang efektif danmelanjutkan hidup yang produktif dan bermakna.
Di sisi lain banyak laki-laki gay mengalami kesulitan koping yang berhubungan
dengan stres akibat kondisinya.

B.

Tujuan
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efek teori intervensi perilaku yang
dibangun untuk meningkatkan koping pada laki-laki gay terinfeksi HIV yang
mengalami depresi.

C.

Populasi dan sampel


Metode rekrutmen partisipan menggunakan iklan koran lokal gay, menyebarkan
brosur dan poster, surat pada penyedia layanan kesehatan dan klinik yang
memberikan terapi HIV, kelompok penjangkau pada organisasi masyarakat. Kriteria

inklusi mencakup identifikasi diri gay atau laki-laki biseksual usia 21-60 tahun dan
level CD4 antara 200-700 sel/mm2. Partisipan dirandomisasi dalam dua kelompok
kondisi yang memenuhi jumlah partisipan untuk kelompok intervensi dan kelompok
waiting list.
D.

Intervensi
Individu mendapatkan coping efektiveness training dan HIV info dalam 10-90 menit
dan dibantu oleh laki-laki atau perempuan coleader dengan pengalaman sarjana
pekerja sosial dan psikologi klinis atau pemberi pelayanan HIV komunitas. Setelah 10
minggu fase intervensi kelompok CET dan HIV info bertemu setiap 3 bulan untuk
mendapatkan booster intervensi.
Intervensi paska dari rumah sakit tidak dijelaskan, jumlah terapi dan support sosial
tidak dijelaskan.

E.

Perbandingan
Coping efektiveness training dan HIV info lebih mudah dilakukan pada setiap pasien
HIV dengan tidak memandang tingkat kognitif pasien. CET dan HIV info lebih
mengatasi kondisi depresi dengan latihan koping positif tanpa memandang latar
belakang atau menggali lebih dalam faktor penyebab depresi. Cognitive Behavior
Therapy dapat menutup kelemahan CET dengan eksplorasi pikiran negatif dan
menggantikannya dengan pikiran positif yang akan diadaptasi oleh penderitanya.

F.

Hasil
Gejala depresi dikaji menggunakan 20 item center of epidemiologic studies-depresion
dengan koefisien alpha 0,90. Stres dikaji menggunakan 10 item perceived stress scale
dengan alpha 0,89. Kecemasan dikaji dengan menggunakan state trait anxiety
inventory. Hasil menunjukkan pada kelompok intervensi terjadi perbedaan bermakna
sebelum dan sesudah intervensi untuk 3 variabel yaitu rendahnya

tingkat stres,

tingginya level koping pertahanan diri dan burnout. Tren statistik pada variabel
tambahan moral positif dan sosial support. Pada kelompok waiting list control terjadi

perbedaan bermakna pada rendahnya tingkat kecemasan, dan tingginya pikiran


positif.
G.

Kritik
1.

Masalah dideskripsikan dengan jelas, intervensi merupakan


terapi untuk depresi. Tujuan penelitian telah dijelaskan.

2.

Penelitian ini tidak menggali penyebab depresi pada pasien


HIV

A Review of Treatment Studies of Depression in HIV

A.

Masalah dan populasi


Depresi menunjukkan prevelensi yang tinggi dan mempengaruhi kondisi sakit dengan
prevalensi berkisar 4,9% dan 17,9%. Gejala depresi yaitu kesedihan persisten,
kehilangan ketertarikan penurunan nafsu makan, rendahnya konsentrasi, masalah
tidur, kehilangan rasa percaya diri, penurunan energi, kemunduran psikomotor dan
ide bunuh diri. Disstres yang signifikan, gejala depresi dapat menyebabkan masalah
fungsional lain dan gagngguan kualitas hidup. Pada penelitian menunjukkan 20-37%
pasien yang terinfeksi HIV terdiagnosa depresi. Rata-rata tersebut lebih tinggi
daripada estimasi pada populasi umum. Pada penelitian sebelumnya menunjukkan
129 orang dengan HIV AIDS sepertiganya mempunyai skor back depression
inventory 14 atau lebih tinggi (depresi ringan samapi sedang). 27% memenuhi kriteria
gangguan mood. Faktor yang berkontribusi terhadap tingginya depresi pada HIV
diantaranya dampak HIV terhadap otak,stigma, ketidakmampuan melakukan
pekerjaan, isolasi, perubahan body image, bereavment dan debilitation. Mengenali
dan menangani depresi penting karena hal tersebut berhubungan dengan perawatan
diri dan buruknya dampak terhadap kesehatan.
Masalah yang digunakan sebagai latar belakang jurnal dijelaskan

B.

Intervensi
Psiko social intervensi yang berdampak langsung pada depresi di antaranya adalah
group kognitif behaviour terapi, experimental terapi. Intervensi CBT meliputi kognitif
restructuring, strategi perubahan perilaku, keterampilan asertif dan stress managemen.
Gejala depresi diukur menggunakan BDI.

C.

Perbandingan
Cognitive behavior therapy memerlukan tingkat kognitif yang cukup atau ketrampilan
psikoterapi pemberi layanan. Memerlukan waktu lebih dari terapi manajemen stress
maupun latihan koping positif.

D.

Hasil
Perbandingan antara penelitian acak intervensi menggunakan CBT,ET dan WLC
menunjukkan perubahan skor BDI pada intervensi CBT dan ET = -4,0 WLC = -0,2 (p
< 0,01).

E.

Kritik
1.

Masalah penelitian telah dijelaskan

2.

Populasi dan sample telah dijelaskan

3.

Penelitian ini tidak melampirkan teknik CBT yang digunakan

Cognitive-Behavioral Group Therapy for Depression


in Adolescents with Diabetes: A Pilot Study

A.

Masalah dan Populasi


Telah bertahun-tahun penelitian membuktikan tingginya prevalensi depresi pada
pasien diabetus melitus. Peneliti telah sepakat bahwa ada hubungan antara fisiologi
(perubahan neurokimia dan neurovaskuler) dan faktor psikososial (penurunan kualitas
hidup, stres kronis dengan penanganan DM setiap hari berinteraksi terhadap
gangguan psikologis sampai depresi. Sejumlah penelitian telah membuktikan bahwa
diabetus pada usia muda banyak menunjukan gangguan psikiatrik, diantaranya
depresi.

Intervensi psikologis terbanyak pada orang dewasa dengan diabetus

difokuskan untuk meningkatkan kepatuhan diri, kontrol glukosa, variabel psikososial


seperti manajemen stres dan ketrampilan koping. Intervensi yang memberikan
dampak psikososial terbesar seperti harga diri, ketrampilan komunikasi kemudian
selanjutnya pada kontrol glukosa. Intervensi psikososial berdasar pada prinsip
perilaku, teori pembelajaran sosial, dan terapi keluarga.
B.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas cognitive behaviour group
therapy terhadap pasien depresi di Puerto Rico. CBT didasarkan pada teori adanya
hubungan antara pikiran personal (kognitif), tindakan dan mood.

C.

Intervensi
Intervensi menggunakan CBT 2 fase dengan 12 sesi. Sesi 1 dimulai dengan
pengenalan CBT, bagaimana pikiran berpengaruh terhadap mood, bagaimana aktifitas
berpengaruh terhadap mood, bagaimana hubungan sikap mood, penutup.

D.

Perbandingan
CBT merupakan intervensi psikososial berdasar pada prinsip perilaku, teori
pembelajaran sosial, dan terapi keluarga. CBT memberikan dampak psikososial
terbesar seperti harga diri, ketrampilan komunikasi kemudian selanjutnya pada
kontrol glukosa. Penelitian manajemen stres dan teknik koping merupakan bagian
dari CBT, sehingga CBT lebih komprehensive.

E.

Hasil
Hasil penelitian menunjukan intervensi bermakna terhadap perubahan skor depresi
dan penilaian diri terhadap diabetus (p<0,5). Intervensi bermakna untuk konsep diri
(p <0,1). Partisipan melaporkan adanya perubahan kondisi depresinya dari skor
moderat sampai dengan depresi hilang.

F.

Kritik
1.

Masalah penelitian telah dijelaskan

2.

Tujuan telah dijelaskan

3.

Populasi dan sample telah dijelaskan

4.

Penelitian ini tidak melampirkan teknik CBT yang digunakan

KRITIK RISET
EVIDENCE BASED NURSING PRACTICE
INTERVENSI DEPRESI PADA PASIEN HIV

Oleh
EKO WINARTO

PROGRAM SPESIALIS KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK, 2008

Anda mungkin juga menyukai