KEPERAWATAN
PADA NY. P DENGAN KASUS RESIKO TINGGI JATUH
DI WISMA MAWAR UPT PELAYANAN SOSIAL LANSIA
BLITAR DI TULUNGAGUNG
Dosen Pembimbing : Suharyoto, SKM, M.Kes
Disusun oleh :
Dresti R. Fitroya (01.12.014)
Prodi S1 Tk IV A
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN
PADA LANSIA DENGAN KASUS RESIKO TINGGI JATUH
DI WISMA MAWAR UPT PELAYANAN SOSIAL LANSIA BLITAR
DI TULUNGAGUNG
Mahasiswa
Dresti R. Fitroya
NIM. 01.12.014
Pembimbing Ruangan
Pembimbing Akademik
Lilik Yuliati
NIP. 196710022007012014
NIDN.
Mengetahui
Pembimbing Lahan
Kepala Seksi Bimbingan dan Pembinaan Lanjut
RESIKO JATUH
A. Pengertian
Jatuh sering terjadi atau dialami oleh usia lanjut. Banyak faktor berperan di
dalamnya, baik faktor intrinsic dalam diri lansia tersebut seperti gangguan gaya berjalan,
kelemahan otot ekstremitas bawah, kekakuan sendi, sinkope dan dizzines, serta faktor
ekstrinsik seperti lantai yang licin dan tidak rata, tersandung benda benda, penglihatan
kurang karena cahaya kurang terang, dan sebagainya.
Jatuh adalah suatu kejadian yang dilaporkan penderita atau saksi mata, yang melihat
kejadian mengakibatkan seseorang mendadak terbaring/terduduk di lantai / tempat yang lebih
rendah dengan atau tanpa kehilangan kesadaran atau luka (Reuben, 1996).
B. Faktor Resiko
Untuk dapat memahami faktor risiko jatuh, maka harus dimengerti bahwa stabilitas badan
ditentukan atau dibentuk oleh :
1. Sistem sensori
Yang berperan di dalamnya adalah: visus (penglihatan), pendengaran, fungsi vestibuler,
dan proprioseptif. Semua gangguan atau perubahan pada mata akan menimbulkan
gangguan penglihatan. Semua penyakit telinga akan menimbulkan gangguan
pendengaran. Vertigo tipe perifer sering terjadi pada lansia yang diduga karpena adanya
perubahan fungsi vestibuler akibat proses manua. Neuropati perifer dan penyakit
degeneratif leher akan mengganggu fungsi propriosep tif (Tinetti, 1992). Gangguan
sensorik tersebut menyebabkan hampir sepertiga penderita lansia mengalami sensasi
abnormal pada saat dilakukan uji klinik.
2. Sistem saraf pusat (SSP)
SSP akan memberikan respon motorik untuk mengantisipasi input sensorik. Penyakit
SSP seperti stroke, Parkinson, hidrosefalus tekanan normal, sering diderita oleh lansia
dan menyebabkan gangguan fungsi SSP sehingga berespon tidak baik terhadap input
sensorik (Tinetti, 1992).
3. Kognitif
Pada beberapa penelitian, dementia diasosiasikan dengan meningkatkan risiko jatuh.
4. Muskuloskeletal (Reuben, 1996; Tinetti, 1992; Kane, 1994; Campbell, 1987;
Brocklehurs, 1987).
Faktor ini disebutkan oleh beberapa peneliti merupakan faktor yang benar benar murni
milik lansia yang berperan besar terhadap terjadinya jatuh.Gangguan muskuloskeletal.
Menyebabkan gangguan gaya berjalan (gait) dan ini berhubungan dengan proses menua
yang fisiologis. Gangguan gait yang terjadi akibat proses menua tersebut antara lain
disebabkan oleh:
a. Kekakuan jaringan penghubung
b. Berkurangnya massa otot
c. Perlambatan konduksi saraf
d. Penurunan visus / lapang pandang
e. Kerusakan proprioseptif
Yang kesemuanya menyebabkan:
1) Penurunan range of motion (ROM) sendi
2) Penurunan kekuatan otot, terutama menyebabkan kelemahan ekstremitas bawah
3) Perpanjangan waktu reaksi
4) Kerusakan persepsi dalam
5) Peningkatan postural sway (goyangan badan)
Semua perubahan tersebut mengakibatkan kelambanan gerak, langkah yang pendek,
penurunan irama, dan pelebaran bantuan basal.Kaki tidak dapat menapak dengan
kuat dan lebih cenderung gampang goyah. Perlambatan reaksi mengakibatkan
seorang lansia susah / terlambat mengantisipasi bila terjadi gangguan seperti
terpleset, tersandung, kejadian tiba tiba, sehingga memudahkan jatuh.
1. Penderita pernah mengalami stroke, apabila bagian otak yang terkena adalah lobus
kanan, maka kaki kiri pasien bisa mengalami lumpuh, sehingga kaki kanan pasien lebih
sering dipakai atau untuk bertumpu.
2. Pasien mungkin menderita Osteoartritis, oleh karena itu memerlukan anamnesis dan
pemeriksaan tambahan
3. Pasien menderita DM, penderita DM terkadang memiliki masalah berupa retinopati
diabetik yang dapat menyebabkan visus menurun, sementara penglihatan memegang
peranan penting dalam menerima rangsangan propioseptif yang berfungsi untuk
menjaga keseimbangan.
4. Pasien menderita penyakit jantung. Penyakit jantung yang biasa terjadi pada lanjut usia,
yaitu penyakit jantung koroner, payah jantung, penyakit jantung hipertensi, aritmia, dan
stenosis aorta. Penyakit jantung tersebut dapat menyebabkan penurunan curah jantung
sehingga terjasi penurunan distribusi oksigen pada seluruh jaringan termasuk otak
sehigga bisa menimbulkan sinkop. Hal tersebut dapat menjadi faktor resiko terjadinya
jatuh.
5. Kemungkinan adanya pengaruh menopause, dimana jumlah estrogen menurun,
sehingga aktifitas osteoklas meningkat dan menyebabkan peningkatan degradasi
matriks tulang (osteoporosis), sehingga jika pasien jatuh, gampang terjadi fraktur dan
nyeri.
6. Pengaruh obat-obat terhadap kondisi pasien
a. Penggunaan obat anti hipertensi yang berlebihan dalam jangka panjang dapat
menyebabkan hipotensi ortostatik (tiba-tiba jatuh dari posisi jongkok/duduk mau
berdiri).
b. Obat hipoglikemi oral dapat menyebabkan hipoglikemi akut
c. Penggunaan obat anti hipertensi yang berlebihan dalam jangka panjang dapat
menyebabkan hipotensi ortostatik (pasien tiba-tiba jatuh dari posisi jongkok /
duduk mau berdiri), contoh : diuretik menyebabkan orang berulang kali harus ke
kamar kecil untuk BAK, selain itu dapat pula menyebabkan syok hipovolemik.
d. Penggunaan obat NSAID untuk mengobati rematik meningkatkan faktor resiko
osteoporosis sehingga apabila pasien jatuh, besar kemungkinan terjadi fraktur dan
nyeri.
7. Anamnesis tambahan
a) Aktivitas pada saat terjatuh
b) Gejala sebelumnya, misalnya rasa pusing, palpitasi, sesak napas, nyeri dada, lemah,
konfusi, inkontinensia, hilangnya kesadaran, menggigit lidah
c) Lokasi terjatuh
d) Saksi saat terjatuh
e) Riwayat medis yang lalu
f) Penggunaan obat
8. Pemeriksaan fisis
a) Tekanan darah dan denyut jantung, saat berbaring dan berdiri
b) Ketajaman visual, lapangan pandang, pemeriksaan low-vision
c) Kardiovaskular
d) Aritmia, murmur, bruit
e) Anggota gerak
f) Penyakit sendi degeneratif, vena varikosa, edema, gangguan kaki (pediatrik), sepatu
yang tidak berukuran sesuai
g) Neurologis
h) Termasuk pemeriksaan cara berjalan dan keseimbangan, misalnya duduk atau bangkit
dari tempat duduk, berjalan, membungkuk, berputar, meraih, menaiki dan menuruni
tangga, berdiri dengan mata tertutup (tes Romberg),tekanan sterna
9. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan radiologis
o
b. Pemeriksaan laboratorium
c.
Darah tepi
Elektrolit
Gula darah
Kadar Kalsium
2)
3)
4)
5)
Operasi.
Jika pada pemeriksaan radiologis ditemukan adanya fraktur yang disebabkan
karena pasien terjatuh (terpeleset) khususnya fraktur tulang belakang yang
mengakibatkan kompresi pada saraf sehingga kedua tungkai tidak dapat
digerakkan,merupakan indikasi untuk dilakukan operasi mis: fiksasi internal
nerve root,spinal cord.
Hospitalisasi (perawatan di rumah sakit).
Hal ini bertujuan untuk memudahkan penanganan pasien khususnya dengan
fraktur akut ( immobilisasi ) yang beresiko tinggi yang juga disertai dengan
penyakit kronik,yang membutuhkan perawatan intensif.
Operasi mata (operasi katarak).
Gangguan penglihatan pada pasien ini kemungkinan besar berupa katarak
senilis. Operasi dapat dilakukan jika pasien & keluarganya menyetujui dan
kondisi kesehatan pasien memungkinkan. Tindakan ini bertujuan untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien yang selama ini terganggu akibat gangguan
penglihatan (kemungkinan salah satu penyebab pasien terjatuh).
Indikasi operasi katarak :
Gangguan penglihatan dengan Snellen aquity (visus) 20/50 atau
dibawahnya.
Ketidakmampuan salah satu mata untuk melihat
Kontraindikasi :
Jika penglihatan pasien dapat dikoreksi dengan penggunaan kaca mata
atau alat bantu lainnya.
Kondisi kesehatan pasien tidak memungkinkan.
Fisioterapi.
Setelah dilakukan tindakan operasi untuk mengatasi fraktur dibutuhkan
fisioterapi (rehabilitasi) yang penting untuk mengembalikan fungsi alat gerak
dan mengurangi disabilitas selama masa penyembuhan. Penggunaan alat bantu
berjalan misalnya tongkat biasanya dibutuhkan untuk membantu permulaan
berjalan kembali dan untuk mendukung aktifitas sehari-hari lainnya.
Perbaikan status gizi.
6)
7)
F. Komplikasi
Jatuh pada lansia menimbulkan komplikasi komplikasi seperti : (Kane, 1994; Van der
Cammen, 1991)
1. Perlukaan (injury)
Rusaknya jaringan lunak yang terasa sangat sakit berupa robek atau tertariknya jaringan
otot, robeknya arteri / vena, Patah tulang (fraktur) : Pelvis, Femur (terutama kollum),
humerus, lengan bawah, tungkai bawah, kista, Hematom subdural.
2. Perawatan rumah sakit
a. Komplikasi akibat tidak dapat bergerak (imobilisasi)
b. Risiko penyakit penyakit iatrogenik
3. Disabilitas
a. Penurunan mobilitas yang berhubungan dengan perlukaan fisik.
b. Penurunan mobilitas akibat jatuh, kehilangan kepercayaan diri, dan pembatasan gerak
4. Resiko untuk dimasukkan dalam rumah perawatan (nursing home)
5. Mati
G. Pencegahan
Usaha pencegahan merupakan langkah yang harus dilakukan karena bila sudah terjadi jatuh
pasti terjadi komplikasi, meskipun ringan tetap memberatkan.
Ada 3 usaha pokok untuk pencegahan, antara lain : (Tinetti, 1992; Van der Cammen,
1991; Reuben, 1996)
1. Identifikasi faktor resiko
2. Penilaian keseimbangan dan gaya berjalan (gait)
3. Mengatur / mengatasi fraktur situasional
H. Pendekatan Diagnostik
Setiap penderita lansia jatuh, harus dilakukan assesmen seperti dibawah ini: (Kane, 1994;
Fischer, 1982)
1. Riwayat Penyakit (Jatuh)
Anamnesis dilakukan baik terhadap penderita ataupun saksi mata jatuh atau keluarganya.
Anamnesis ini meliputi :
a. Seputar jatuh
b. Gejala yang menyertai : nyeri dada, berdebar debar, nyeri kepala tiba-tiba, vertigo,
pingsan, lemas, konfusio, inkontinens, sesak nafas.
c. Kondisi komorbid yang relevan : pernah stroke, Parkinsonism, osteoporosis, sering
kejang, penyakit jantung, rematik, depresi, defisit sensorik.
d. Review obat obatan yang diminum : antihipertensi, diuretik, autonomik bloker,
antidepresan, hipnotik, anxiolitik, analgetik, psikotropik.
e. Review keadaan lingkungan : tempat jatuh, rumah maupun tempat-tempat
kegiatannya.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Tanda vital
b. Kepala dan leher : penurunan visus, penurunan pendengaran, nistagmus, gerakan
yang menginduksi ketidakseimbangan, bising.
c. Jantung : aritmia, kelainan katup
d. Neurologi : perubahan status mental, defisit fokal, neuropati perifer, kelemahan otot,
instabilitas, kekakuan, tremor.
e. Muskuloskeletal : perubahan sendi, pembatasan gerak sendi problem kaki (podiatrik),
deformitas.
3. Assesmen Fungsional
Dilakukan observasi atau pencarian terhadap :
a. Fungsi gait dan keseimbangan : observasi pasien ketika dari bangku langsung duduk
dikursi, ketika berjalan, ketika membelok atau berputar badan, ketika mau duduk
dibawah.
b. Mobilitas : dapat berjalan sendiri tanpa bantuan, menggunakan alat bantu, memakai
kursi roda atau dibantu
c. Aktifitas kehidupan sehari hari : mandi, berpakaian, bepergian, kontinens.
I. Penatalaksanaan (Reuben, 1996; Kane, 1994; Tinetti, 1992)
Tujuan penatalaksanaan ini untuk mencegah terjadinya jatuh berulang dan menerapi
komplikasi yang terjadi, mengembalikan fungsi AKS terbaik, mengembalikan kepercayaan
diri penderita.
Penatalaksanaan penderita jatuh dengan mengatasi atau meneliminasi faktor risiko,
penyebab jatuh dan menangani komplikasinya. Penatalaksanaan ini harus terpadu dan
membutuhkan kerja tim yang terdiri dari dokter (geriatrik, neurologik, bedah ortopedi,
rehabilitasi medik, psikiatrik, dll), sosiomedik, arsitek dan keluarga penderita.
Penatalaksanaan bersifat individual, artinya berbeda untuk setiap kasus karena
perbedaan factor factor yang bekerjasama mengakibatkan jatuh.Bila penyebab merupakan
penyakit akut penanganannya menjadi lebih mudah, sederhanma, dan langsung bisa
menghilangkan penyebab jatuh serta efektif.Tetapi lebih banyak pasien jatuh karena kondisi
kronik, multifaktorial sehingga diperlukan terapi gabungan antara obat rehabilitasi, perbaikan
lingkungan, dan perbaikan kebiasaan lansia itu. Pada kasus lain intervensi diperlukan untuk
mencegah terjadinya jatuh ulangan, misalnya pembatasan bepergian / aktifitas fisik,
penggunaan alat bantu gerak.
Untuk penderita dengan kelemahan otot ekstremitas bawah dan penurunan fungsional
terapi difokuskan untuk meningkatkan kekuatan dan ketahanan otot sehingga memperbaiki
nfungsionalnya.Sayangnya sering terjadi kesalahan, terapi rehabilitasi hanya diberikan sesaat
sewaktu penderita mengalami jatuh, padahal terapi ini diperlukan terus menerus sampai
terjadi peningkatan kekuatan otot dan status fumgsional. Penelitian yang dilakukan dalam
waktu satu tahun di Amerika Serikat terhadap pasien jatuh umur lebih dari 75 tahun,
didapatkanpeningkatan kekuatan otot dan ketahanannya baru terlihat nyata setelah menjalani
terapi rehabilitasi 3 bulan, semakin lama lansia melakukan latihan semakin baik kekuatannya.
Terapi untuk penderita dengan penurunan gait dan keseimbangan difokuskan untuk
mengatasi / mengeliminasi penyebabnya/faktor yang mendasarinya. Penderita dimasukkan
dalam program gait training, latihan strengthening dan pemberian alat bantu jalan. Biasanya
program rehabilitasi ini dipimpin oleh fisioterapis.Program ini sangatmembantu penderita
dengan stroke, fraktur kolum femoris, arthritis, Parkinsonisme.
Penderita dengan dissines sindrom, terapi ditujukan pada penyakit kardiovaskuler
yang mendasari, menghentikan obat-obat yang menyebabkan hipotensi postural seperti beta
bloker, diuretik, anti depresan, dll.
Terapi yang tidak boleh dilupakan adalah memperbaiki lingkungan rumah / tempat
kegiatan lansia seperti di pencegahan jatuh.
J. Strategi Rencana Keperawatan
1. Strategi umum untuk pasien risiko jatuh, yaitu:
a. Tawarkan bantuan ke kamar mandi setiap 2 jam (saat pasien bangun)
b. Gunakan 2-3 sisi pegangan tempat tidur
c. Lampu panggilan berada dalam jangkauan, perintahkan pasien untuk
mendemonstrasikan penggunaan lampu panggilan
d. Jangan ragu untuk meminta bantuan
e. Barang-barang pribadi berada dalam jangkauan
f. Adakan konferensi multidisiplin mingguan dengan partisipasi tim keperawatan
g. Rujuk ke departemen yang sesuai untuk asesmen yang lebih spesifik, misalnya
fisioterapi
h. Anjurkan pasien menggunakan sisi tubuh yang lebih kuat saat hendak turun dari
tempat tidur
2. Strategi untuk mengurangi / mengantisipasi kejadian jatuh fisiologis, yaitu:
a. Berikan orientasi kamar tidur kepada pasien
b. Libatkan pasien dalam pemilihan aktivitas sehari-harinya
c. Pantau ketat efek obat-obatan, termasuk obat psikotropika
d. Kurangi suara berisik
e. Lakukan asesmen ulang
f. Sediakan dukungan emosional dan psikologis
3. Strategi pada faktor lingkungan untuk mengurangi risiko jatuh, yaitu:
a. Lampu panggilan berada dalam jangkauan
b. Posisi tempat tidur rendah
c. Lantai tidak silau/memantul dan tidak licin
d. Pencahayaan yang adekuat
e. Ruangan rapi
f. Sarana toilet dekat dengan pasien
4. Manajemen Setelah Kejadian Jatuh
a. Nilai apakah terdapat cedera akibat jatuh (abrasi, kontusio, laserasi, fraktur, cedera
kepala)
b. Nilai tanda vital
c. Nilai adanya keterbatasan gerak
d. Pantau pasien dengan ketat
e. Catat dalam status pasien (rekam medik)
f. Laporkan kejadian jatuh kepada perawat yang bertugas dan lengkapi laporan insidens
g. Modifikasi rencana keperawatan interdisiplin sesuai dengan kondisi pasien
5. Edukasi pasien/keluarga
a. Pasien dan keluarga harus diinformasikan mengenai faktor risiko jatuh dan setuju
untuk mengikuti strategi pencegahan jatuh yang telah ditetapkan. Pasien dan keluarga
harus diberikan edukasi mengenai faktor risiko jatuh di lingkungan rumah sakit dan
melanjutkan keikutsertaannya sepanjang keperawatan pasien.
i. Informasikan pasien dan keluarga dalam semua aktivitas sebelum memulai
penggunaan alat bantu
ii. Ajari pasien untuk menggunakan pegangan dinding
Informasikan pasien mengenai dosis dan frekuensi konsumsi obat-obatan, efek
samping, serta interaksinya dengan makanan/ obat-obatan lain.
DAFTAR PUSTAKA
Gallo, Joseph.1998. Buku Saku Gerontologi. Jakarta : Buku Kedokteran EGC
Nugroho, Wahjudi.1995. Perawatan Lanjut Usia. Jakarta : Buku Kedokteran EGC