Anda di halaman 1dari 24

29

Jurnal Hukum, Vol. XVIII, No. 18, April 2010 : 29 - 52

ISSN1412 - 0887

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI AGEN PENJUALAN


TIKET APABILA TERJADI PEMBATALAN
Djarot Pribadi, S.H., M.H1
Imelda F. Solissa2
ABSTRAK
Akibat hukum dari pencabutan ijin penerbangan terhadap perjanjian keagenan menjadi
batal demi hukum, bukan dapat dibatalkan. Perjanjian batal demi hukum karena
pembatalan tersebut bukan dilakukan oleh PT Adam Air secara sepihak, melainkan
pembatalan karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk
digunakan sebagai dasar untuk batalnya suatu perjanjian keagenan. Batalnya
perjanjian tersebut tidak dimintakan pembatalan pada hakim pengadilan negeri
melainkan batal dengan sendirinya atau batal demi hukum, sehingga sejak semula
dianggap tidak pernah dibuat suatu perjanjian. Akibat batalnya perjanjian tersebut
tidak memberikan hak kepada agen untuk menuntut ganti kerugian atas pembatalan,
karena tidak ada dasar hukum yang digunakan sebagai dasar menggugat ganti
kerugian.

PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Negara Indonesia terdiri dari beberapa pulau yang menghubungkan antara
wilayah satu dengan wilayah lain dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk
menghubungkan wilayah tersebut dapat ditempuh melalui angkutan darat, laut dan
udara. Angkutan udara dipandang sangat efektif, karena daya tempuhnya relatif singkat
jika dibandingkan dengan angkutan dara maupun laut.
Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun
2009 tentang Penerbangan (untuk selanjutnya disingkat UU Penerbangan) kesatuan
sistem yang terdiri atas pemanfaatan wilayah udara, pesawat udara, bandar udara,
angkutan udara, navigasi penerbangan, keselamatan dan keamanan, lingkungan hidup,
serta fasilitas penunjang dan fasilitas umum lainnya.
Angkutan udara niaga menurut Pasal 1 angka 13 UU Penerbangan angkutan
udara untuk umum dengan memungut pembayaran.
1
2

Dosen Fakultas Hukum Unversitas Narotama Surabaya


Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya

30

Angkutan udara saat ini sedang menjadi primadona, karena ongkos angkutan
tidak jauh berbeda dengan angkos angkutan darat maupun laut, namun mempunyai
keandalan mengenai kecepatannya. Namun tidak jarang menjadi permasalahan hingga
izin usahanya dicabut seperti halnya dengan Perseroan Terbatas Adam Air (selanjutnya
disingkat PT Adam Air), yang izin usahanya pengangkutan udara dicabut oleh
pemerintah.
Mengenai penyelenggaraan angkutan didasarkan atas bukti angkutan berupa
tiket penumpang atau dokumen penerbangan untuk angkutan barang. Mengenai tiket
penerbangan ini calon penumpang tidak selalu harus membelinya di perusahaan
penerbangan yang bersangkutan, melainkan juga dapat dibeli pada agen-agen yang
ditunjuk oleh perusahaan penerbangan untuk menjual tiket penerbangan melalui
perjanjian bekerjasama keagenan.
Mengenai penjualan tiket melalui agen ini ternyata timbul suatu permasalahan
ketika perusahaan penerbangan yang menunjuk agen tersebut dicabut izin usahanya
oleh pemerintah, sebagaimana yang menimpa PT Adam Air. Pencabutan izin usaha
perusahaan penerbangan oleh pemerintah tersebut menyisakan suatu permasalahan
setelah dinyatakan pailit terdapat masalah lain yaitu berhubungan dengan perjanjian
keagenan.
Para agen yang mengadakan kerjasama dengan perusahaan penerbangan PT
Adam Air diwajibkan untuk menyerahkan dana yang disebut dengan deposit tiket milik
agen penjual yang jumlahnya sebesar Rp. 15.000.000.000,00 (lima belas milyar rupiah)
dan refund tiket senilai US$ 29.000, sejak maskapai itu berhenti operasi pada 18 Maret
2008. Dana itu terkumpul dari sekitar 200 agen penjual tiket anggota Astindo dan
penjual lainnya. Dana deposit tiket di PT Adam Air terakumulasi dari Rp. 750 ribu per
tiket yang wajib disetorkan ke Account PT Adam Air.
Manajemen PT Adam Air menyatakan bahwa pengembalian uang jaminan dan
refund tiket tidak dapat dilakukan, karena Direktur Keuangan PT Adam Air, menolak
menandatangani dokumen pencairan uang. Sejak Pengadilan Niaga, 9 Juni 2008
mempailitkan PT Adam Skyconnection Airlines, maka hak dan kewenangan direksi
beralih kepada kurator.
Herna salah seorang agen penjualan tiket perusahaan penerbangan PT Adam
Air pun merasa dipimpong, Herna salah seorang agen penjualan tiker tersebut
menuturkan, sejak Mei 2008 meminta manajemen PT Adam Air mengembalikan dana
deposit dan refund tiket. Tapi, pihak PT Adam Air saling mengelak tanggung jawab.
Dari Direktur Keuangan ke Direktur Utama. Surat terakhir dari Adam A. Suherman,
Direktur Utama PT Adam Air, tanggal 19 Juni 2008, justru meminta Herna salah
seorang agen kembali ke Direktur Keuangan. Selama ini, sejumlah maskapai
penerbangan domestik menempatkan dana jaminan tiket penerbangan di rekening
perusahaan. Akibatnya, ketika maskapai itu berhenti operasi atau bangkrut, agen penjual

31

tiket sulit menarik kembali dana yang sudah disetorkan. Padahal dana itu titipan, bukan
aset perusahaan maskapai.
Agar kasus ini tak terulang, maskapai penerbangan domestik harus segera
membuat escrow account (rekening bersama). Tanpa adanya escrow account,
mekanisme penyimpanan dana penjual tiket akan rumit. Sebab, setiap maskapai ada satu
rekening. Apabila rekening bersama, maka dana itu tidak dimasukkan dalam
perhitungan neraca perusahaan, uang manajemen, atau pemegang saham. Dana itu
berdiri sendiri, jadi lebih aman, baik untuk agen maupun maskapai. Selama ini
timpang, agen selalu memberi jaminan.
PT Adam Air melalui Suherman berjanji melakukan refund secara penuh, tanpa
dikenakan biaya apa pun, dan dapat dilakukan langsung di kantor PT Adam Air bagi
penumpang yang membeli melalui kantor PT Adam Air. Untuk pembelian yang
dilakukan di agen perjalanan, maka pengembalian juga melalui agen tersebut. Apabila
PT Adam Air tidak segera menyelesaikan pengembalian refund tiket, maka pihaknya
akan mememasukkan dalam blacklist pemilik maupun investor PT Adam Air. Padahal,
dua pemilik saham PT Adam Air, yaitu konsorsium PT Bhakti Investama Tbk, dan
keluarga Suherman, telah berniat mendirikan maskapai penerbangan baru.
PT Bhakti Investama Tbk telah mempunyai surat izin usaha penerbangan (SIUP)
Eagle Air, sedangkan keluarga Suherman sedang mengusulkan maskapai King and
Queen Air. Kalau itu tidak diselesaikan, maka yang akan membuat maskapai, AOC-nya
(air operator certificate) tidak akan kami terbitkan.3
Keagenan didasarkan atas perjanjian sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1313
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (selanjutnya disingkat KUH Perdata) yang
menentukan: suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau
lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dan pembahasan sebagaimana di atas, maka rumusan permasalahan sebagai berikut:
a. Apakah akibat hukum dari pencabutan ijin penerbangan terhadap perjanjian
keagenan?
b. Upaya hukum apakah yang ditempuh oleh agen untuk mendapatkan kembali
uang keagenannya ?
METODE PENULISAN
a. Tipe Penelitiaan
Tipe penelitian yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah tipe
penelitian normatif, merupakan penelitian kepustakaan, yaitu penelitian terhadap
peraturan perundang-undangan, literatur-literatur mengenai materi yang dibahas.
3

h/ 26.

Media Mingguan TRUST, Dana Tiket Dibayar Lelet, No. 35 Tahun VI 23-29 Juni 2008,

32

b. Pendekatan Masalah
Pendekatan-pendekatan yang digunakan di dalam penelitian hukum adalah
pendekatan undang-undang (statute approach), dan pendekatan konseptual (conceptual
approach).4 Pendekatan undang-undang (statute approach) dilakukan dengan menelaah
semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang
sedang dibahas yaitu hak imunitas advokat. Sedangkan conseptual approach yaitu
pendekaran didasarkan atas sumber hukum berupa pendapat para sarjana.5
c. Bahan Hukum
- Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang bersifat mengikat, berupa peraturan
perundang-undangan dalam hal ini antara lain, Kitab Undang-undang Hukum Perdata,
UU Penerbangan dan peraturan-peraturan pelaksanaannya.
- Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang erat hubungannya dengan bahan
hukum primer dan dapat membantu dalam menganalisis dan memahami bahan hukum
primer, yaitu literatur maupun karya ilmiah para sarjana yang berkaitan dengan materi
yang dibahas.
d. Langkah Penelitian
Langkah pengumpulan bahan hukum dalam tulisan ini adalah melalui studi
kepustakaan, yaitu diawali dengan inventarisasi semua bahan hukum yang terkait
dengan pokok permasalahan, kemudian diadakan klasifikasi bahan hukum yang terkait
dan selanjutnya bahan hukum tersebut disusun dengan sistematisasi untuk lebih mudah
membaca dan mempelajarinya.
Langkah pembahasan dilakukan dengan menggunakan penalaran yang bersifat
deduktif dalam arti berawal dari pengetahuan hukum yang bersifat umum yang
diperoleh dari peraturan perundang-undangan dan literatur, yang kemudian
diimplementasikan pada permasalahan yang dikemukakan sehingga diperoleh jawaban
dari permasalahan yang bersifat khusus. Pembahasan selanjutnya digunakan penafsiran
sistematis dalam arti mengkaitkan pengertian antara peraturan perundang-undangan
yang ada serta pendapat para sarjana.
PEMBAHASAN
A. Akibat Hukum Pencabutan Ijin Penerbangan Terhadap Perjanjian Keagenan
1. Hubungan Hukum Antara Perusahaan Penerbangan dengan Agen Penjualan
Tiket
Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa bukti perjanjian pengangkutan udara
adalah adanya tiket. Dalam pelaksanaan penjualan tiket angkutan udara ini, perusahaan
4

93.

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2006, h.

Ibid.

33

penerbangan tidak menjual sendiri, melainkan bekerja sama dengan perusahaan lain
yang bergerak di bidang penjualan tiket yang bertindak sebagai agen. Agen perusahaan
menurut Purwosutjipto adalah: Orang yang melayani beberapa pengusaha sebagai
perantara dengan pihak ketiga. Orang ini mempunyai hubungan tetap dengan pengusaha
dan mewakilinya untuk mengadakan dan selanjutnya melaksanakan perjanjian dengan
pihak ketiga. Hubungannya dengan pengusaha bukan merupakan hubungan perburuhan,
dan juga bukan hubungan pelayanan berkala. Bukan hubungan perburuhan, karena
hubungan antara agen perusahaan dengan pengusaha bersifat subordinasi, bukan
hubungan seperti majikan dan buruh, tetapi hubungan antara pengusaha dengan
pengusaha. Jadi sama tinggi sama rendah. karena agen perusahaan juga mewakili
pengusaha, maka di sini ada hubungan pemberian kuasa.6
Hubungan antara perusahaan penerbangan dengan agen penjualan tiket
didasatkan pada perjanjian penunjukkan keagenan diawali dengan pengajuan
permohonan calon agen yang ditujukan kepada perusahaan penerbangan. Di bawah ini
diberikan contoh perjanjian penunjukan keagenan penjualan tiket pada Perusahaan
Penerbangan Perseroan Terbatas Merpati. Apabila permohonan yang diajukan oleh
calon agen tersebut disetujui oleh PT Merpati, maka pemohon disyaratkan menyetor
uang deposit kepada PT. Merpati Nusantara sebesar Rp. 6.000.000,- (enam juta rupiah)
secara tunai sebagai jaminan untuk mendapat 20 (dua puluh) Flight Coupon. Hal ini
berarti bahwa kepada agen yang permohonan menjadi agen diterima diwajibkan untuk
menyerahkan uang sebesar Rp 6.000.000,00 (enam juta rupiah) secara tunai yang
digunakan sebagai jaminan untuk mendapatkan dua puluh kali penerbangan.
Selaku pihak yang diberi wewenang menjual tiket penerbangan, agen
mendapatkan keuntungan atau komisi sebagai agen dengan rincial sebagai berikut:
Besaran komisi penjualan adalah sebagai berikut :
1. Route Domestik : Tarif Normal (7%) & Tarif Promo (5%) Tarif Flexy sesuai
ketentuan Agent News/055/VIII/2006
2. Route Internasional : 7% dari Publish Fare
Mendapatkan Komisi dari setiap penjualan tiket sesuai aturan yang berlaku di
PT. Merpati Nusantara. Periode penjualan dokumen angkutan penumpang pasasi PT.
Merpati Nusantara dilakukan setiap hari kerja. Hal ini berarti bahwa kewajiban agen
adalah menjual tiket untuk setiap hari penerbangan. Apabila tidak dilaksanakan maka
PT Merpati akan mengenakan denda keterlambatan setor dengan mengurangi stock
tiket. Apabila tanggal jatuh tempo tersebut jatuh pada hari libur, penyetoran di
berlakukan pada hari kerja berikutnya pada tanggal bersangkutan. Sanggup memenuhi
kewajiban dan mematuhi segala ketentuan di dalam peraturan pokok keagenan dalam
negeri PT. Merpati Nusantara peraturan pokok keagenan dalam negeri PT. Merpati
Nusantara. Sanggup memenuhi Minimum Sales Level Rp. 25.000.000,- per bulan.
Dalam hal Sub Agen menurut pertimbangan Merpati tidak melaksanakan dan/atau
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud di dalam surat penunjukkan ini, maka
dikenakan sanksi sebagai berikut :
6

Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia (Pengetahuan Dasar


Hukum Dagang), Djambatan, Jakarta, 1989, h. 47.

34

a. Apabila Sub Agen terlambat membuat laporan dan menyetorkan uang hasil
penjualan sesuai jadwal dimaksud pada point 2 butir f, maka :
1) Dropping tiket pesawat udara dihentikan
2) Terhadap jumlah yang terlambat disetorkan tersebut dikenakan denda sebesar
25% per tahun.
b. Membayar ganti kerugian kepada Merpati sesuai kerugian yang telah diderita
Merpati apabila Sub Agen melakukan manipulasi tiket, dan apabila sebelum jangka
waktu 60 (enam puluh) hari Sub Agen belum menyelesaikannya, maka Merpati
berhak mengenakan sanksi sebagai berikut :
1) Pemutusan hubungan keagenan dan/atau
2) Mengajukan tuntutan melalui saluran hukum
c. Membayar secara tunai setiap pengambilan dokumen angkutan penumpang selama
Sub Agen mempunyai tunggakan (Outstanding Payment). Penyetoran normal
diberlakukan kembali setelah pembayaran outstanding diselesaikan.
Memperhatikan uraian sebagaimana tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa
perjanjian penunjukkan agen sifatnya hanya sepihak, karena klausula-klausula
perjanjian keagenan hanya mementingkan pihak perusahaan penerbangan. Demikian
halnya dengan klausula bahwa apabila pernyataan ini tidak dipenuhi, maka PT. Merpati
Nusantara berhak menarik kembali penunjukkan ini secara sepihak. Untuk mengadakan
keputusan tersebut, dikesampingkan ketentuan-ketentuan seperti tersebut dalam Pasal
1266 dan Pasal 1267 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pasal 1266 KUH Perdata
menentukan bahwa syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan yang
timbal balik, andaikata salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Dalam hal
demikian persetujuan tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan
kepada Pengadilan. Permintaan ini juga harus dilakukan, meskipun syarat batal
mengenai tidak dipenuhinya kewajiban dinyatakan di dalam persetujuan. Jika syarat
batal tidak dinyatakan dalam persetujuan, maka Hakim dengan melihat keadaan, atas
permintaan tergugat, leluasa memberikan suatu jangka waktu untuk memenuhi
kewajiban, tetapi jangka waktu itu tidak boleh lebih dari satu bulan. Ketentuan Pasal
1266 KUH Perdata sebagaimana tersebut di atas mengandung makna bahwa setiap
perjanjian bersifat timbal balik (sebagaimana perjanjian keagenan) syarat batal selalu
dianggap dicantumkan di dalamnya. Batalnya perjanjian tersebut tidak batal dengan
sendirinya (batal demi hukum) melainkan pembatalan perjanjian harus dimohonkan
pada pengadilan. Hal ini tetap berlaku meskipun di dalam perjanjian tercantum klausula
batalnya perjanjian jika salah satu pihak ingkar janji atau wanprestasi.
Sedangkan Pasal
1267 KUH Perdata menentukan bahwa pihak yang
terhadapnya perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih; memaksa pihak yang lain untuk
memenuhi persetujuan, jika hal itu masih dapat dilakukan, atau menuntut pembatalan
persetujuan, dengan penggantian biaya, kerugian dan bunga. Ketentuan Pasal 1267
KUH Perdata tersebut merupakan suatu pilihan yang diberikan kepada pihak yang
dirugikan akibat adanya wanprestasi yaitu membatalkan perjanjian, membatalkan
perjanjian disertai ganti kerugian atau ganti kerugian saja.

35

3.

Perjanjian Keagenan Merupakan Perjanjian yang Didasarkan Atas Pemberian


Kuasa

Perjanjian pemberian kuasa diatur dalam Pasal 1792 sampai dengan Pasal 1819
KUH Perdata. Pasal 1792 KUH Perdata mengartikan kuasa adalah sebagai berikut:
Pemberian kuasa adalah suatu perjanjian dengan mana seorang memberikan kekuasaan
kepada seorang lain, yang menerimanya, untuk atas namanya menyelenggarakan suatu
urusan.
Kuasa adalah perjanjian, ialah perjanjian sebagaimana Pasal 1313 KUH
Perdata, menentukan bahwa: Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu
orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Subekti
mengartikan perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang
lain atau di mana dua orang tiu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.7
Pengertian perjanjian menurut Subekti sebagai suatu perjanjian yang bersifat timbal
balik, yang nampak dari kalimat seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua
orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.
Perjanjian yang dibuat tersebut sah dalam arti mengikat kedua belah pihak,
apabila dibuat memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian sebagaimana Pasal 1320 KUH
Perdata, menentukan:
Sahnya perjanjian diperlukan empat syarat:
1.
2.
3.
4.

sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;


kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
suatu hal tertentu;
suatu sebab yang tidak dilarang oleh hukum.

Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya maksudnya adalah: Sepakat mereka


yang mengikatkan dirinya mengandung makna bahwa para pihak yang membuat
perjanjian telah sepakat atau ada persesuaian kemauan atau saling menyetujui kehendak
masing-masing, yang dilahirkan oleh para pihak dengan tiada paksaan, kekeliruan atau
penipuan.8 Dikatakan terdapat suatu kata sepakat antara para pihak apabila yang
membuat perjanjian tersebut terdapat suatu kemauan yang bebas dalam arti perjanjian
dibuat tanpa ada unsur paksaan, penipuan maupun kekhilafan. Mengenai kebebasan
dalam membuat perjanjian, Pasal 1321 KUH Perdata menentukan bahwa tiada sepakat
yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan
paksaan aau penipuan. Hal ini berarti bahwa apabila perjanjian yang dibuat disertai
oleh unsur paksaan, penipuan atau kekhilafan oleh salah satu pihak berarti perjanjian
tersebut tanpa ada kata sepakat. Kata sepakat dalam perjanjian harus tanpa ada
penekanan dari pihak manapun, dalam arti harus ada kemauan yang bebas dalam
membuat perjanjian.

h. 214.

Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 1991, h. 1.

Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung, 1989,

36

Kecakapan untuk membuat suatu perikatan, maksudnya yang membuat perikatan itu harus para pihak yang cakap bertindak dalam hukum, sebagaimana Pasal 1329
KUH Perdata. Dinyatakan tidak cakap dalam membuat perjanjian yaitu belum dewasa
dan ditaruh di bawah pengampuan sesuai dengan ketentuan Pasal 1330 ayat (1) dan (2)
KUH Perdata.
Suatu hal tertentu, maksudnya perjanjian yang dibuat harus ada obyek yang
diperjanjikan untuk diserahkan atau dibuat. Mengenai obyek yang diperjanjikan, Pasal
1333 KUH Perdata menentukan sebagai berikut: Hanya barang yang dapat
diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok persetujuan. Pasal 1330 KUH Perdata
menentukan: Suatu persetujuan harus mempunyai pokok berupa suatu barang yang
sekurang-kurangnya ditentukan jenisnya. Jumlah barang itu tidak perlu pasti, asal saja
jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung. Barang yang dijadikan obyek
perjanjian dapat diperdagangkan, mengenai jumlah barang tidak perlu pasti asalkan
disebutkan jenisnya.
Suatu sebab yang halal maksudnya bahwa perjanjian tersebut tidak dilarang oleh
undang-undang, ketertiban umum maupun kesusilaan. Syarat sepakat mereka yang
mengikatkan dirinya dan kecakapan untuk membuat suatu perikatan disebut dengan
syarat subyektif, sedangkan syarat suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal disebut
dengan syarat obyektif. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Subekti sebagai
berikut: Dua syarat yang pertama, dinamakan syarat-syarat subyektif, karena menenai
orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat
yang terakhir dinamakan syarat-syarat obyektif karena mengenai perjanjiannya sendiri
atau obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu9 Perjanjian yang dibuat syarat
subyektifnya tidak terpenuhi, maka perjanjian tersebut dapat dimintakan pembatalan
sesuai dengan yang dikemukakan oleh Subekti sebagai berikut: Apabila pada waktu
pembuatan perjanjian, ada kekurangan mengenai syarat yang subyektif, maka perjanjian
itu bukan batal demi hukum, tetapi dapat dimintakan pembatalan.10 Namun jika syarat
obyektif tidak dipenuhi, maka perjanjiannya adalah batal demi hukum. Secara yuridis
dari semula tidak ada suatu perjanjian dan tidak ada pula suatu perikatan antara orangorang yang bermaksud membuat perjanjian itu.11
Perjanjian apabila dibuat telah memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana
Pasal 1320 KUH Perdata, maka perjanjian ini mempunyai kekuatan mengikat
sebagaimana mengikatnya undang-undang sesuai dengan ketentuan Pasal 1338 alinea 1
KUH Perdata yang menentukan bahwa: Semua perjanjian yang dibuat secara sah

Subekti, Op. cit., h. 17.

10

Ibid., h. 22.

11

Ibid.

37

berlaku sebagai undang-undang bagi merek yang membuatnya. Perjanjian pinjam


meminjam meskipun boleh dibuat secara lisan, perlu didukung oleh dokumen yang
membuktikan bahwa perjanjian pinjam meminjam itu sudah terjadi dalam arti mengikat
kedua belah pihak.
Perjanjian yang dibuat tersebut mempunyai kekuatan mengikat sejak kedua
belah pihak mencapai sepakat atua konsensus, sesuai dengan yang dikemukakan oleh
Subekti bahwa: Pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya itu
sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kesepakatan. Perjanjian itu sudah sah apabila
sudah sepakat mengenai hal-hal yang pokok dan tidaklah diprlukan sesuatu
formalitas.12 Dengan tercapainya kata sepakat tersebut, menimbulkan suatu kewajiban
secara timbal balik yang lebih dikenal dengan prestasi.
Dalam perjanjian pemberian kuasa pihak pemberi kuasa memberikan kuasa
kepada penerima kuasa untuk dan atas nama pemberi kuasa menjalankan suatu urusan.
Mengenai untuk dan atas nama, Wirjono Prodjodikoro mengemukakan bahwa katakata atas nama yaitu bahwa pihak yang diberi kuasa, bertindak secara mewakili pihak
yang memberi kuasa. Juga ada sepakat bahwa soal pemberian kuasa dan soal
perwakilan adalah dua hal tersendiri yang tidak selalu berada bersama-sama pada suatu
perhubungan hukum.13 Hal ini berarti bahwa penerima kuasa menjalankan kuasanya
untuk dan atas nama pemberi kuasa.
Dalam perjanjian pemberian kuasa pihak pemberi kuasa memberikan kuasa
kepada penerima kuasa untuk dan atas nama pemberi kuasa menjalankan suatu urusan.
Mengenai untuk dan atas nama, Wirjono Prodjodikoro mengemukakan bahwa katakata atas nama yaitu bahwa pihak yang diberi kuasa, bertindak secara mewakili pihak
yang memberi kuasa. Juga ada sepakat bahwa soal pemberian kuasa dan soal
perwakilan adalah dua hal tersendiri yang tidak selalu berada bersama-sama pada suatu
perhubungan hukum.14 Hal ini berarti bahwa penerima kuasa menjalankan kuasanya
untuk dan atas nama pemberi kuasa. Oleh karenanya selama penerima kuasa
menjalankan urusan sesuai dengan isi kuasa, maka segala hal yang terjadi menjadi
tanggungan pemberi kuasa. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 1797 KUH Perdata,
yang menentukan bahwa si kuasa tidak diperbolehkan melakukan sesuatu apapun yang
melampaui kuasanya, kekuasaan yang diberikan untuk menyelesaikan suatu urusan
dengan jalan perdamaian, sekali-kali tidak mengandung kekuasaan untuk menyerahkan

12

Ibid., h. 15.

13

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata tentang Persetujuan-persetujuan Tertentu,


Sumur Bandung, Jakarta, 1991, h. 151.
14

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata tentang Persetujuan-persetujuan Tertentu,


Sumur Bandung, Jakarta, 1991, h. 151.

38

perkaranya kepada urusan wasit. Meskipun ketentuan Pasal 1797 KUH Perdata tidak
menyebut konsekuensi yuridis jika penerima kuasa menjalan-kan kuasa atau urusan
yang menyimpang dari isi kuasa, namun dengan mengingat penerima kuasa
menjalankan tugas atau urusan sesuai dengan isi kuasa, maka jika menyimpang dari isi
kuasa dan menimbulkan suatu kerugian, maka kerugian yang timbul menjadi
tanggungan penerima kuasa.
Perjanjian pemberian kuasa dapat dibuat secara khusus maupun perjanjian
pemberian kuasa secara umum, sesuai dengan ketentuan Pasal 1795 KUH Perdata,
menentukan bahwa pemberian kuasa dapat dilakukan secara khusus yaitu mengenai
hanya satu kepentingan tertentu atau lebih, atau secara umum, yaitu meliputi segala
kepentingan si pemberi kuasa. Jadi letak perbedaan antara pemberian kuasa secara
khusus dan secara umum adalah berhubungan dengan lingkup tugas atau urusannya.
Jika kuasa diberikan secara khusus, maka lingkup tugas atau urusannya hanya satu
kepentingan saja, misalnya kuasa untuk menjual hanya sebatas melakukan perbuatan
untuk menjual tidak termasuk untuk menyerahkan barang yang dijual maupun
menerima harga penjualan. Sedangkan kuasa yang diberikan secara umum, penerima
kuasa bukan hanya menjalankan urusan satu kepentingan saja, melainkan lebih dari itu,
misalnya kuasa untuk menjual termasuk juga menyerahkan barang serta menerima
pembayaran harga barang dari pembeli.
Di dalam perjanjian penunjukkan agen untuk penjualan tiket pesawat udara
tersebut disertai dengan suatu persyaratan, bahwa agen harus menyerahkan sejumlah
uang sebagai jaminan. Jaminan yang ditetapkan oleh perusahaan penerbangan tersebut
memang sepantasnya demikian, karena penjualan tiket tersebut agen memperoleh
pembayaran dari pembeli tiket sesuai dengan harga tiket. Harga penjualan tiket tersebut
diserahkan kepada perusahaan penerbangan yang tiketnya terjual dan menyerahkannya
tidak sekaligus melainkan disesuaikan dengan perjanjian. Adanya tenggang waktu
penyerahan padahal penumpang telah terangkut tersebut, perusahaan penerbangan
menanggung risiko dari kemungkinan agen tidak menyetorkan harga penjualan tiket,
untuk itu sebagai jaminan atas disetornya harga tiket tersebut agen diwajibkan untuk
menyerahkan sejumlah uang tertentu sebagai jaminan. Apabila hubungan keagenan
tersebut diakhiri baik oleh agen maupun perusahaan penerbangan, maka uang yang
disetorkan sebagai jaminan tersebut dapat diambil kembali.
Memperhatikan pembahasan di atas yang berhubungan dengan tindakan
Perusahaan Penerbangan PT Adam Air yang menahan dana deposit tiket milik agen
penjual dibenarkan ditinjau dari perjanjian keagenan adalah tidak benar, karena kedua
belah pihak telah mencapai kata sepakat, bahwa jika perjanjian keagenan berakhir,
maka pihak perusahaan penerbangan akan mengembalikan uang jaminan penjualan tiket
tersebut kepada agen. Perusahaan penerbangan PT Adam Air mengakhiri hubungan
kerjasama keagenan tersebut karena izin usahanya dicabut oleh pemerintah, sehingga
pengakhiran yang demikian diperkenankan oleh undang-undang. Konsekuensi dari

39

pencabutan izin usaha yang berarti hubungan keagenan antara PT Adam Air dengan
para agen diakhiri, dengan pengakhiran hubungan kerjasama tersebut maka berakhir
pula perjanjian pemberian kuasa, sehingga harus mengembalikan dalam keadaan
semula, pihak agen tidak lagi menjual tiket penerbangan PT Adam Air dan sebaliknya
pihak PT Adam Air harus mengembalikan uang jaminan sebagai agen kepada masingmasing agen.
3. Akibat Hukum Pembatalan Perjanjian Keagenan Karena Izin Usaha Dicabut
Hubungan keagenan didasarkan atas perjanjian, sehingga perjanjian keagenan
yang dibuat telah memenuhi syarat sahnya perjanjian, maka perjanjian keagenan
tersebut mengikat kedua belah pihak sebagaimana mengikatnya undang-undang sesuai
dengan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang menentukan bahwa semua perjanjian
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya. Sebagai perjanjian yang mempunyai kekuatan hukum mengikat kedua
belah pihak, didasarkan atas kesepakatan kedua belah pihak, maka perjanjian tersebut
tidak dapat dicabut selain ada kata sepakat kedua belah pihak. Perjanjian dapat dicabut
atau dibatalkan selama ada kesepakatan kedua belah pihak atau karena alasan-alasan
yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu sesuai dengan Pasal 1338 ayat
(2) KUH Perdata, yang menentukan bahwa suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali
selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undangundang dinyatakan cukup untuk itu.
Perjanjian keagenan yang dibuat antara agen dengan PT Adam Air tersebut
dibatalkan, karena izin usaha penerbangan PT Adam Air dicabut oleh pemerintah.
Pencabutan izin penerbangan tersebut berakibat perjanjian keagenan berakhir.
Berakhirnya perjanjian keagenan bukan karena pembatalan secara sepihak oleh PT
Adam Air melainkan karena peraturan perundang-undangan. Hal ini berarti bahwa
pembatalan perjanjian keagenan tersebut bukan karena pembatalan sepihak oleh PT
Adam Air melainkan karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup
digunakan untuk membatalkan perjanjian keagenan sebagaimana dimaksud oleh Pasal
1338 ayat (2) KUH Perdata.
Oleh karena pembatalan tersebut disebabkan karena undang-undang, maka jika
berakibat para agen menderita kerugian, berarti yang terjadi adalah adanya keadaan
memaksa atau overmach atau force majeur. Sehubungan dengan force majeur, Riduan
Syahrani menjelaskan sebagai berikut: Overmacht sering juga disebut force majeur
yang lazimnya diterjemahkan dengan keadaan memaksa dan ada pula yang menyebut
dengan sebab kahar.18
Force majeur dalam hukum perdata diatur dalam buku III KUH Perdata dalam
Pasal 1244, 1245 dan 1444 KUH Perdata.
Pasal 1244 KUH Perdata menentukan:
Jika ada alasan untuk itu, si berutang harus dihukum mengganti biaya, ru-gi dan
bunga apabila ia tak dapat membuktikan, bahwa hal tidak atau ti-dak pada waktu

18

Riduan Syahrani, Op. cit., h. 243.

40

yang tepat dilaksanakannya perikatan itu, disebabkan suatu hal yang tak terduga,
pun tak dapat dipertanggungjawabkan pa-danya, kesemuanya itu pun jika itikat
buruk tidaklah ada pada pihaknya.
Pasal 1245 KUH Perdata menentukan: Tidaklah biaya rugi dan bunga, harus
digantinya, apabila lantaran keadaan memaksa atau lantaran suatu kejadian tak
disengaja si berutang berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan,
atau lantaran hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang.
Apabila memperhatikan ketentuan Pasal 1244 dan 1245 KUH Perdata di atas,
maka dapat dijelaskan bahwa debitur dalam setiap perjanjian jika tidak dapat memenuhi
kewajibannya, yaitu tidak memenuhi sama sekali, memenuhi tetapi terlambat atau
memenuhi tetapi tidak sesuai dengan yang dijanjikan, maka diwajibkan untuk
memberikan ganti kerugian atas dasar wanprestasi. Debitur yang dinyatakan
wanprestasi, dapat mengelak dari tanggung jawab pemberian ganti kerugian dengan
mengemukakan keadaan memaksa atau force majeur. Dengan demikian keadaan
memaksa atau force majeur merupakan suatu sarana bagi debitur untuk membela diri
dari tuduhan lalai pemenuhan prestasi dengan mengemukakan alasan bahwa tidak
dipenuhinya prestasi disebabkan karena keadaan memaksa atau force majeur. Dengan
alasan kea-daan memaksa atau force majeur inilah diharapkan dapat membebaskan diri
dari kewajiban pemenuhan prestasi.
Hal tersebut di atas menunjukkan bahwa keadaan memaksa atau force majeur ini
dimaksudkan sebagai dasar untuk meminta maaf agar menghapus kesalahan karena
tidak dipenuhinya prestasi. Mengenai hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh
Yahya Harahap sebagai berikut: Overmacht menjadi landasan hukum yang memaafkan
kelalaian seorang debitur. Peristiwa overmacht mencegah debitur menanggung akibat
dan risiko perjanjian. Itulah sebabnya overmacht merupakan penyimpangan dari asas
hukum.17
Dalam kaitannya dengan keadaan memaksa atau force majeur dikenal dua ajaran
sebagai berikut: Ajaran keadaan memaksa yang bersifat obyektif, artinya benda yang
menjadi obyek perikatan tidak mungkin dapat dipenuhi oleh siapapun. Dasar ajaran ini
ialah ketidak mungkinan. Keadaan memaksa yang demikian ini disebut dengan istilah
absolute overmacht, apabila benda obyek perikatan itu musnah di luar kesalahan
debitur. Keadaan memaksa yang bersifat subyektif, karena menyangkut perbuatan
debitur sendiri, menyangkut kemampuan debitur sendiri, jadi terbatas pada perbuatan
atau kemampuan debitur.
Berdasarkan pembahasan yang berhubungan dengan pembatalan perjanjian
keagenan sebagaimana tersebut di atas, tentunya PT Adam Air dapat membuktikan
bahwa tidak berprestasinya tersebut disebabkan karena keadaan memaksa, maksudnya
keadaan dicabutnya izin usaha penerbangan menjadikan perjanjian keagenan menjadi
batal demi hukum. Oleh karenanya jika pembatalan tersebut mengakibatkan kerugian
yang diderita para agen, maka tidak mewajibkan PT Adam Air untuk memberikan ganti
kerugian akibat pembatalan perjanjian keagenan tersebut.

17

Yahya Harahap, op. Cit., 82.

41

B. Upaya Hukum Yang Ditempuh Oleh Agen Penjualan Tiket Untuk


Mendapatkan Kembali Uang Jaminan Keagenan
1. Pembatalan Perjanjian
Perjanjian penunjukkan agen dibuat memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian
sebagaimana Pasal 1320 KUH Perdata, dan memenuhi karakteristik perjanjian
penunjukkan agen di antaranya dibuat secara tertulis sehingga mengikat kedua belah
pihak sebagaimana mengikatnya undang-undang bagi perusahaan penerbangan dan
agen sesuai dengan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata. Perjanjian keagenan tersebut
tidak dapat dibatalkan secara sepihak, pembatalan hanya diperkenankan jika kedua
belah pihak mencapai kata sepakat atau oleh peraturan perundang-undangan
diperkenankan untuk itu sesuai dengan Pasal 1338 ayat (2) KUH Perdata. Hal ini
berarti bahwa selama perjanjian penunjukkan agen berlangsung, maka pembatalan
secara sepihak adalah dilarang dan jika mengakibatkan agen menderita kerugian, maka
dapat digunakan sebagai dasar agen untuk menuntut ganti kerugian. Pengakhiran
hubungan keagenan antara perusahaan perbangan PT Adam Air dengan para agen
disebabkan karena izin penerbangan PT Adam Air dicabut oleh pemerintah, yang berarti
bahwa pengakhirian hubungan keagenan tersebut dibenarkan oleh undang-undang
sesuai dengan Pasal 1338 ayat (2) KUH Perdata. Namun tidak jarang dalam perjanjian
tersebut tercantum klausula mengesampingkan berlakunya ketentuan Pasal 1266 KUH
Perdata, bahwa setiap perjanjian yang bersifat timbal balik syarat batal selalu dianggap
dicantumkan di dalamnya. Perjanjian tersebut tidak batal dengan sendirinya, melainkan
dengan putusan pengadilan. Putusan pengadilan tersebut tetap harus dimintakan
meskipun klausula syarat batal telah dicantumkan dalam perjanjian penunjukkan agen.
Dalam perspektif Hukum Perikatan, penyimpangan terhadap Pasal 1266 KUH
Perdata masih menimbulkan perbedaan penafsiran, menyangkut sifat dari ketentuan ini,
yakni bersifat melengkapi (aanvullend/voluntary) atau memaksa (dwinged/mandatory).
Jika mengacu pada sifat yang pertama maka ketentuan ini boleh saja disimpangi,
sebaliknya jika dinilai memaksa tentu penyimpangan tidak akan mempunyai kekuatan
hukum dalam arti tidak mengikat.15 Perbedaan itu terutama bersumber dari Pasal 1266
ayat (2) KUH Perdata yang menyatakan, Dalam hal yang demikian persetujuan tidak
batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada hakim.
Pada umumnya dipahami, untuk menentukan sifat suatu ketentuan, dalam
bidang perdata, salah satu cara yang dapat digunakan adalah dengan mengidentifikasi
konstruksi atau susunan kalimat dalam ketentuan itu. Dengan demikian cara ini tergolong penafsiran gramatikal. Adanya kata harus atau wajib misalnya, mengindikasikan bahwa ketentuan yang bersangkutan bersifat dwingend/mandatory. Sebaliknya,
rumusan, jika tidak telah diadakan perstujuan lain atau jika tidak diper-janjikan
sebaliknya misalnya, mengindikasi bahwa ketentuan itu bersifat aanvullend/ voluntary.

15

Yohanes Sogar Simamora, Prinsi hukum Kontrak Dalam Pengadaan Barang dan Jasa
Oleh Pemerintah, Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum Progranm Pascasarjana Universitas
Airlangga Surabaya, 2005, h. 56

42

Dengan cara ini maka tak dapat lain untuk tidak mengatakan bahwa Pasal 1266 KUH
Perdata bersifat dwingend dan karenanya tidak dapat disimpangi. 16
Sementara itu, cara kedua yang dapat digunakan adalah dengan memahami
strekking dari ketentuan dimaksud, yakni dengan mengkaitkan suatu ketentuan dengan
ketentuan lain. Pada hakekatnya ini merupakan jenis penafsiran sistematis karena
penafsiran dilakukan dengan memahami suatu ketentuan dihubungkan dengan
pemahaman terhadap seluruh aturan yang terkait. Dari segi strekkingnya Pasal 1266
KUH Perdata juga harus dinilai dwingend karena syarat batal dalam Pasal ini tergolong
syarat batal relatif dan bukan syarat batal mutlak seperti ketentuan sebelumnya, yakni
Pasal 1265 KUH Perdata. Perbedaan keduanya terletak pada momen terjadinya
kebatalan. Pada syarat batal mutlak, jika syarat terpenuhi maka dengan sendirinya
perikatan batal, sedangkan pada syarat batal relatif, sekalipun syarat terpenuhi perikatan
tidak otomatis batal melainkan harus dimintakan kepada hakim. Juga jika dilihat dari
segi tujuannya, penilaian terhadap Pasal 1266 KUH Perdata akan sampai pada
kesimpulan bahwa Pasal ini bersifat dwingend karena tujuan Pasal ini untuk
melindungi salah satu pihak dan penilaian subjektif pihak yang lain. Adalah tidak adil
jika penilaian mengenai tidak dipenuhinya suatu kewajiban (wanprestasi) digantungkan
pada pihak lain. Hakimlah yang berwenang melakukan penilaian itu.
Dari tiga sudut penilaian di atas, Pasal 1266 KUH Perdata merupakan ketentuan
yang bersifat dwingend. Diperlukan penjelasan lebih lanjut mengenai hal ini. Pertama,
perlu dipahami bahwa ketentuan ini berkaitan dengan perikatan bersyarat
(voorwaardelijke verbintenissen). Terdapat dua jenis perikatan bersyarat, yakni syarat
menangguhkan (Pasal 1263 KUH Perdata) dan syarat batal (Pasal 1265 KUH Perdata).
Jenis yang kedua inilah yang menjadi fokus perhatian terkait dengan Pasal 1266 KUH
Perdata. Pada umumnya jenis syarat yang kedua ini dalam yurisprudensi dan oleh para
penulis di Indonesia disebut sebagai syarat batal, kecuali Sri Soedewi Masjchoen
Sofwan17 yang menyebutnya sebagai syarat yang memutus. Inilah yang menurut saya
paling tepat. Sebab, kata batal menunjuk pada situasi ketika kontrak dibentuk,
sedangkan dalam kaitan dengan perikatan bersyarat, perikatannya sudah terjadi,
demikian juga pelaksanaannya. Apa yang diatur dalam Pasal 1266 KUH Perdata ini
pada dasarnya menenai situasi tidak dipenuhinya syarat atau kewajiban dalam tahap
pelaksanaan dan bukan syarat dalam pembuatan kontrak sebagaimana ditentukan dalam
Pasal
1320 KUH Perdata. Dengan demikian istilah syarat memutus yang

16

Ibid.
Yohanes Sogar Simamora, Prinsip Hukum Kontrak Dalam Pengadaan Barang dan
Jasa Oleh Pemerintah, Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum Progranm Pascasarjana
Universitas Airlangga Surabaya, 2005, h. 47.
17

43

mengandung makna mengakhiri atau membubarkan perikatan lebih tepat dibandingkan


dengan istilah syarat batal.18
Kedua, dalam perjanjian timbal balik manakala salah satu pihak wanprestasi,
syarat memutus (atau syarat bubar) merupakan syarat yang berlaku dengan sendirinya
karena hukum. Dengan demikian yang membuat perikatan itu putus atau bubar adalah
karena adanya wanprestasi dan bukan putusan hakim. Kalau pun ada putusan hakim
maka putusan itu sekedar mengkonstantir. Pasal 1266 KUH Perdata karenanya dinilai
sebagai aturan yang tidak tepat seperti dinyatakan oleh Hoge Raad: para pihak dapat
mengesampingkan perlunya perantaraan hakim dalam perjanjiannya.
Ketiga, jika dikatakan Pasal 1266 KUH Perdata untuk melindungi kepentingan
pihak yang merasa dirugikan karena kontrak diputus secara sepihak, juga tidak tepat.
Mengenai perlindungan terhadap pihak yang telah memenuhi kewajiban atau pihak
yang hendak memutus kontrak, dari segi pendekatan ekonomi, hal ini dinilai sebagai
pemikiran yang tidak sejalan dengan prinsip efisiensi. Pada umumnya kriteria yang
digunakan untuk dapat dilakukannya pemutusan sepihak adalah apabila pihak lawan
tidak melaksanakan kewajiban yang fundamental (fundamental non-performance),
sementara keputusan pengadilan bukan sautu keharusan, dalam arti dapat dilakukan jika
memang dikehendaki demikian. Keempat, kenyataan menunjukkan penyimpangan
terhadap Pasal 1266 KUH Perdata dalam praktek kontrak komersial di Indonesia
merupakan suatu kelaziman. Dengan demikian penyimpangan tersebut memang dinilai
sebagai kebutuhan. Oleh karenanya, sekalipun dari segi gramatikanya, Pasal 1266 KUH
Perdata ini nampak bersifat dwingend tetapi pengesampingannya di dalam kontrak
dapat dinilai sebagai syarat yang biasa diperjanjikan (bestendig gebruikelijke bedingen)
oleh para pihak dan secara yuridis harus dianggap mengikat.
Memperhatikan uraian tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa prinsip-prinsip
dan norma hukum yang diterapkan jika terjadi kegagalan pemenuhan kewajiban
pemenuhan prestasi pada kontrak penunjukkan agen yang di dalamnya tidak tercantum
mengenai sanksi bagi pelanggar perjanjian adalah prinsip-prinsip sebagaimana diatur di
dalam Buku III KUH Perdata, tentang Perikatan. Prinsip kontrak penunjukkan agen
adalah didasarkan atas buku III KUH Perdata, yang menganut asas terbuka atau
kebebasan berkontrak dan asas pelengkap. Apabila dalam kontrak penunjukkan agen
tidak mengadakan penyimpangan dari buku III KUH Perdata, maka akan dilengkapi
oleh Pasal -Pasal buku III KUH Perdata dengan adanya kelengkapan ini menjadikan
kontrak penunjukkan agen dapat berjalan sebagaimana mestinya dan sesuai dengan
maksud dibuatnya kontrak penunjukkan agen tersebut.
Selain itu dalam perjanjian penunjukkan agen perusahaan penerbangan
mengesampingkan ketentuan pasdal 1267 KUH Perdata, yang berarti membatasi diri
dari tuntutan ganti kerugian atas dasar wanprestasi, di mana ketentuan Pasal 1267 KUH
18

Ibid., h. 47.

44

Perdata memberikan pilihan kepada pihak yang dirugikan untuk meminta agar
perjanjian keagenan dibatalkan disertai dengan ganti kerugian ataui ganti kerugian saja
atau poembatalan disertai dengan penggantian kerugian. Gugatan ganti kerugian
merupakan hak dari pihak yang dirugikan akibat adanya wanprestasi, oleh karena itu
jika pihak yang mengakibatkan terjadinya kerugian atau perusahaan penerbangan yang
membatalkan secara sepihak dan akibat pembatalan tersebut pihak agen dirugikan,
maka peraturan perundang-undangan memberikan hak untuk menggugat ganti kerugian.
Sehingga jika perjanjian mengesampingkan mengenai gugatan ganti kerugian adalah
tidak berlandaskan hokum. Hal ini secara tegas diatur dalam Pasal 1339 KUH Perdata
bahwa mengikatnya perjanjian bukan hanya sebatas pada hal-hal yang tercantum dalam
perjanjian saja, melainkan juga harus memperhatikan pula kebiasaan, Kepatutan dan
undang-undang.
Berdasarkan hal tersebut di atas yang berhubungan dengan pembatalan
perjanjian keagenan, pembatalan perjanjian disebabkan karena izin usaha angkutan PT
Adam Air dicabut oleh pemerintah. Pembatalan perjanjian penunjukkan keagenan yang
demikian adalah diperkenankan sebagaimana Pasal 1338 ayat (2) KUH Perdata, bahwa
suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak,
atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.
Sehingga termasuk pembatalan perjanjian secara sepihak yang didasarkan atas alasanalasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Dengan dibatalkannya
perjanjian kerjasama keagenan tersebut, maka sesuai dengan kesepakatan perusahaan
penerbangan dalam hal ini PT Adam Air mengembalikan uang jaminan yang diserahkan
oleh agen sebagai syarat dari penunjukkan keagenan dalam penjualan tiket atau karcis
penumpang angkutan udara. Kenyataannya PT Adam Air tidak mengembalikan uang
jaminan penunjukkan sebagai agen penjualan tiket perusahaan penerbangan, padahal
tercantum dalam klausula jika perjanjian keagenan berakhir, perusahaan penerbangan
yang diageninya bersedia mengembalikan uang jaminan tersebut.
Hal tersebut di atas menunjukkan bahwa hal yang dituntut para agen adalah
pengembalian uang jaminan, hukan tuntutan akibat pembatalan perjanjian keagenan
secara sepihak. Pengembalian uang jaminan keagenan sebagai syarat untuk menjadi
agen penjualan tiket merupakan hak para agen ketika perjanjian keagenan berakhir
karena pembatalan tersebut, sehingga apabila ternyata PT Adam Air tidak
mengembalikan uang jaminan yang merupakan hak agen, menjadikan para agen dapat
menuntut haknya tersebut.
2. Pencairan Uang Jaminan Keagenan
PT Adam Air menolak untuk mencairkan uang jaminan keagenan, yang
mengakibatkan para agen menderita kerugian. Kerugian yang timbul dari hukum
keperdataan dapat dituntut untuk memberikan penggantian kerugian. Mengenai gugatan
ganti rugi dalam hukum perdata dapat terjadi karena adanya ingkar janji atau
wanprestasi dan dapat pula terjadi karena perbuatan melanggar hukum atau
onrechmatige daad.

45

Gugatan ganti rugi atas dasar wanprestasi atau ingkar janji menurut Abdulkadir
Muhammad diartikan sebagai berikut: Wanprestasi artinya tidak memenuhi
kewajiban yang telah ditetapkan dalam perikatan.19 Dengan demikian PT Adam Air
yang tidak mengembalikan jaminan keagenan sebagai syarat keagenan dalam
penjualan tiket tersebut dapat dikatakan telah melanggar kewajiban yang diwajibkan
oleh perjanjian kerjasama penunjukkan agen, maka dapat dikatakan telah
wanprestasi atau ingkar janji.
Menurut Subekti, seseorang dikatakan telah wanprestasi apabila:
a. tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya.
b. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan.
c. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat.20
Di atas telah disebutkan bahwa salah satu unsur wanprestasi adalah berakibat
merugikan orang lain. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Yahya Harahap
sebagai berikut: Jika wanprestasi itu benar-benar menimbulkan kerugian kepada
kreditur, maka debitur wajib mengganti kerugian yang timbul. Namun untuk itu harus
ada hubungan sebab akibat atau kausal verband antara wanprestasi dengan kerugian.21
Dengan demikian seseorang yang wanprestasi memberikan hak kepada pihak
lain yang dirugikannya untuk menggugat ganti kerugian. Mengenai bentuk ganti
kerugian dapat berupa penggantian biaya, rugi dan bunga, sesuai dengan ketentuan
Pasal 1246 KUH Perdata, yang menentukan: Biaya, rugi dan bunga yang oleh si
berpiutang boleh dituntut akan penggantiannya, terdirilah pada umumnya atas rugi yang
telah dideritanya dan untung yang sedianya harus dapat dinikmatinya,.
Namun dalam hal gugatan atas dasar wanprestasi tersebut, peraturan perundangundangan memberikan suatu pilihan kepada pihak yang dirugikan sebagaimana
tercantum dalam Pasal 1267 KUH Perdata yang menentukan: Pihak terhadap siapa
perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih apakah ia, jika hal itu masih dapat dilakukan,
akan memaksa pihak yang lain untuk memenuhi perjanjian, ataukah ia akan menuntut
pembatalan perjanjian, disertai penggantian biaya, rugi dan bunga. Jadi pihak yang
dirugikan atas dasar wanprestasi dapat memilih antara memaksa agar debitur berprestasi
jika masih memungkinkan, atau membatalkan perjanjian atau membatalkan perjanjian
disertai dengan ganti kerugian. Dengan demikian apabila dalam pelaksanaannya PT
Adam Air tidak mengembalikan uang jaminan penunjukkan agen tersebut kepada agen
maka dapat dikatakan telah ingkar janji atau wanprestasi dan masuk dalam klasifikasi
tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya. Kepada para agen atas
wanprestasi yang dilakukan oleh PT Adam Air dapat memilih untuk memaksa PT Adam
Air untuk mengembalikan uang jaminan saja, atau memilih mengembalikan jaminan
disertai dengan penggantian biaya, rugi dan bunga.
Mengenai gugatan ganti rugi atas dasar perbuatan melanggar hukum atau
onrechtmatige daad dibedakan antara perbuatan melanggar hukum dalam arti sempit
dan dalam arti luas. Perbuatan melanggar hukum dalam arti sempit yaitu melanggar
peraturan perundang-undangan. Perihal perbuatan melanggar hukum setelah tahun 1919

19

Ibid., h. 20.

20

Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 2001, h. 45.

21

Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1989, h. 65.

46

diartikan secara luas sesuai dengan yang dikemukakan oleh Riduan Syahrani sebagai
berikut: Baru tahun 1919 Hoge Raad meninggalkan penafsiran yang sempit atas
pengertian perbuatan melanggar hukum, yaitu ketika memberikan putusan pada tingkat
kasasi terhadap perkara Lindenboum vs Cohen, tanggal 31 Januari 1919 yang dikenal
dengan nama arrest drukker.22 Perbuatan melanggar hukum secara luas diartikan
sebagai berikut: Berbuat atau tidak berbuat melanggar hak orang lain, atau
bertentangan dengan kewajiban hukum orang yang berbuat itu sendiri, atau
bertentangan dengan kesusilaan atau sikap berhati-hati sebagaimana patutnya dalam lalu
lintas masyarakat, terhadap diri atau barang-barang orang lain.23 Sedangkan menurut
Soetojo Prawirohamidjojo adalah: Suatu perbuatan atau kelalaian yang apakah
mengurangi hak orang lain atau melanggar kewajiban hukum orang yang berbuat,
apakah bertentangan dengan kesusilaan atau bertentangan dengan sikap hati-hati, yang
pantas di dalam lalu lintas masyarakat terhadap orang lain atau barangnya.24 Setiawan
menggolongkan pelaku melakukan perbuatan melanggar hukum apabila:
1)
2)
3)
4)

melanggar hak orang lain, atau


bertentangan dengan kewajiban hukum dari si pembuat, atau
bertentangan dengan kesusilaan, atau
bertentangan dengan kepatutan yang berlaku dalam lalu lintas masyarakat
terhadap diri atau barang orang lain.25

Melanggar hak orang lain maksudnya adalah melanggar hak subyektif orang
lain. Hak subyektif yang diakui oleh yurisprudensi adalah:
1) Hak-hak perorangan seperti kebebasan, kehormatan, nama baik.
2) Hak-hak atas harta kekayaan seperti hak-hak kebendaan dan hak-hak
mutlak lainnya.26
Jadi termasuk perbuatan melanggar hak orang lain yaitu apabila hak seseorang tersebut
dihambat atau kehormatan serta nama baiknya dilanggar. Termasuk pula pelanggaran
terhadap hak atas harta kekayaan dan hak-hak mutlak lain yang dimiliki oleh seseorang.
Bertentangan dengan kewajiban hukum si pembuat maksudnya melanggar
kewajiban yang didasarkan pada hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis.
Bertentangan dengan kesusilaan, maksudnya bertentangan dengan norma-norma
moral, selama dalam kehidupan masyarakat diakui sebagai norma hukum. Jadi jika
masyarakat setempat menganggap bahwa tindakan pelaku telah melanggar normanorma moral, maka dapat dikatakan telah melanggar kesusilaan.
Bertentangan dengan kepatutan yang berlaku dalam lalu lintas masyarakat
terhadap diri atau orang lain. Dianggap bertentangan dengan kepatutan apabila:
22

Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung,
1989, h. 276.
23

Ibid., h. 278.

24

Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, Op. Cit., h. 7.

25

Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Putra Abardin, Jakarta, 1999, h. 82.

26

Ibid.

47

1) perbuatan yang sangat merugikan orang lain kepentingan yang layak;


2) perbuatan yang tidak berguna yang menimbulkan bahaya terhadap orang lain, di
mana menurut manusia yang normal hal tersebut harus diperhatikan.27
Gugatan ganti rugi yang terjadi karena adanya perbuatan melanggar hukum,
ditentukan dalam Pasal 1365 KUH Perdata, yang menentukan: Tiap perbuatan
melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang
yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, menggantikan kerugian tersebut.
Apabila memperhatikan ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata di atas, di dalamnya
terkandung unsur-unsur sebagai berikut:
Perbuatan yang melanggar hukum (onrechtmatige daad);
Harus ada kesalahan;
Harus ada kerugian yang ditimbulkan;
adanya hubungan kausal antara perbuatan dan kerugian. 28
Perbuatan melanggar hukum diartikan sebagai berikut: Berbuat atau tidak
berbuat melanggar hak orang lain, atau bertentangan dengan kewajiban hukum orang
yang berbuat itu sendiri, atau bertentangan dengan kesusilaan atau sikap berhati-hati
sebagaimana patutnya dalam lalu lintas masyarakat, terhadap diri atau barang-barang
orang lain.29
1.
2.
3.
4.

Perihal kesalahan dalam perbuatan melanggar hukum, ditentukan dalam Pasal


1366 KUH Perdata bahwa: Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian
yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan
karena kelalaian atau kurang hati-hatinya. Hal ini berarti bahwa, dalam hukum perdata
berkaitan dengan perbuatan melanggar hukum tidak membedakan antara kesalahan
yang ditimbulkan karena kesengajaan pelaku, melainkan juga karena kelalaian atau
kurang hati-hatinya pelaku. Ketentuan ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Riduan
Syahrani sebagai berikut: tidak membedakan antara kesalahan dalam kesengajaan
dan kesalahan dalam bentuk kurang hati-hati.30
Perihal kerugian dalam perbuatan melanggar hukum, dapat berupa kerugian
materiil dan kerugian immateriil.31 Kerugian dalam bentuk materiil, yaitu kerugian
yang jumlahnya dapat dihitung, sedangkan kerugian immateriil, jumlahnya tidak dapat
dihitung, misalnya mengkonsumsi suatu barang mengakibatkan kematian.
Adanya hubungan kausal atau hubungan sebab akibat maksudnya yaitu kerugian
yang diderita tersebut ditimbulkan atau disebabkan karena perbuatan melanggar hukum
yang dilakukan oleh pelaku.
Perihal ganti kerugian dalam perbuatan melanggar hukum, menurut
yurisprudensi kerugian yang timbul karena perbuatan melanggar hukum, ketentuannya
27

Ibid., h. 83.

28

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 142.

29

Ibid., h. 145-146.

30

Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung,
2004, h. , h. 265.
31

Ibid., h. 266.

48

sama dengan ketentuan kerugian yang timbul karena wan-prestasi dalam perjanjian.
Ketentuan tersebut diperlakukan secara analogi.32 Kerugian atas dasar wanprestasi
bentuknya berupa penggantian biaya, rugi dan bunga sesuai dengan Pasal 1246 KUH
Perdata. Jadi bentuk ganti rugi dalam perbuatan melanggar hukum terdiri dari
penggantian biaya, rugi dan bunga.
Biaya yang dimaksud adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyatanyata sudah dikeluarkan oleh satu pihak. Rugi adalah kerugian karena kerusakan
barang-barang kepunyaan kreditur yang diakibatkan oleh kelalaian debitur. Bunga
adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau
dihitung oleh kreditur.33
Mengenai pihak yang harus bertanggung gugat atas perbuatan melanggar hukum
Soetojo Prawirohamidjojo, mengemukakan bahwa dengan tanggung gugat atas benda,
pada dia, yang ditetapkan bertanggung gugat atas benda, harus ada kesalahan (asas dari
tanggung gugat kesalahan).34 Mengenai tanggung gugat mengacu pada ketentuan
Pasal 1367 ayat (2) sampai dengan ayat (5) KUH Perdata menyebutkan 3 (tiga)
golongan penggugat di antaranya:
a) para orang tua dan para wali murid, untuk anak-anak yang min-derjarig, yang
bertempat tinggal serumah dengan mereka dan terhadap siapa mereka
menjalankan kekuasaan orang tua;
b) majikan bertanggunggugat untuk perbuatan-perbuatan melanggar hukum dari
para bawahannya;
c) para guru sekolah dan pemimpin kelompok kerja bertanggung gugat untuk para
murid mereka.35
Berdasarkan uraian di atas yang berhubungan dengan masalah tanggung gugat
dapat dijelaskan bahwa pengertian tanggung gugat mengacu pada ketentuan Pasal 1367
KUH Perdata, yang oleh Soetojo Prawirohamidjojo dibedakan menjadi dua bagian,
yaitu bagian pertama tanggung gugat atas dasar kesalahan yaitu kelalaiannya terhadap
orang-orang yang berada di bawah tanggungannya atau barang-barang yang berada di
bawah pengawasannya sebagaimana Pasal 1367 ayat (1) KUH Perdata, dan tanggung
gugat majikan bertanggunggugat untuk perbuatan-perbuatan melanggar hukum dari para
bawahannya.
Sehubungan dengan ganti kerugian atas dasar perbuatan melanggar hukum,
pihak yang dirugikan harus membuktikan bahwa haknya telah dilanggar. Hal ini sesuai
dengan ketentuan Pasal 1865 KUH Perdata, yang menentukan: Setiap orang yang
mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak, atau guna meneguhkan haknya sendiri,

32

Abdulkadir Muhammad, Op. Cit., h. 146.

33

Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 2001, h. 47.

34

Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, Onrechmatige Daad, Jumali,


Surabaya, 1979, h. 55.
35

Ibid., h. 56.

49

maupun membantah hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa diwajibkan
membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut. Jadi selama pihak yang merasa
haknya dilanggar oleh orang lain, maka harus dapat membuktikan bahwa haknya
tersebut memang benar-benar dilanggar oleh pelaku perbuatan melanggar hukum.
Apabila dikaitkan dengan perjanjian penunjukkan agen sebagaimana tersebut di
atas dikaitkan dengan pembatalan perjanjian keagenan karena sesuatu sebab yang oleh
undang-undang diperkenankan, jika PT Adam Air tidak mengembalikan uang jaminan
kepada para agen, maka dapat dikatakan melakukan perbuatan yang dalam dunia bisnis
tidak patut untuk dilakukannya. Melakukan perbuatan yang tidak patut untuk dilakukan
dapat dikualifikasikan telah melakukan perbuatan melanggar hukum, sehingga unsur
pertama harus ada perbuatan melanggar hukum telah terpenuhi.
Sebagai suatu perusahaan penerbangan yang menjalankan usaha penjualan tiket
bekerjasama dengan para agen, maka ketika perjanjian keagenan berakhir, seharusnya
PT Adam Air mengembalikan uang jaminan, namun uang jaminan tersebut nampaknya
sengaja untuk tidak dikembalikan dengan alasan kesulitan keuangan. Hal ini berarti
bahwa penolakan pengembalian uang jaminan tersebut telah disengaja, yang berarti
unsur kedua perbuatan melanggar hukum yaitu harus ada kesalahan telah terpenuhi.
Akibat tidak dikembalikan uang jaminan sebagai salah satu persyaratan
perjanjian penunjukkan keagenan tersebut oleh PT Adam Air, menjadikan para agen
menderita kerugian. Hal ini berarti bahwa unsur ketiga perbuatan melanggar hukum
yaitu harus ada kerugian yang timbul telah terpenuhi.
Kerugian yang diderita oleh para agen disebabkan karena perbuatan PT Adam
Air setelah ijin operasional penerbangannya ditutup oleh pemerintah, tidak
mengembalikan uang jaminan keagenan. Hal ini berarti bahwa unsur keempat perbuatan
melanggar hukum yaitu adanya hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian
telah terpenuhi.
Berdasarkan pembahasan sebagaimana tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa
tindakan PT Adam Air yang tidak mengembalikan uang jaminan kepada para agen yang
menjadi hak agen dapat dikualifikasikan telah melakukan perbuatan melanggar hukum,
karena keseluruhan unsur Pasal 1365 KUH Perdata telah terpenuhi. Dengan adanya
perbuatan melanggar hukum tersebut mewajibkan PT Adam Air untuk memberikan
penggantian kerugian berupa penggantian biaya rugi dan bunga sebagaimana Pasal
1246 KUH Perdata selain harus mengembalikan seluruh jumlah uang jaminan
penunjukkan keagenan. Biaya maksudnya yaitu biaya-biaya yang telah dikeluarkan oleh
agen yang berhubungan dengan perjanjian penunjukkan agen, rugi maksudnya yaitu
kerugian yang terjadi dan diderita oleh agen dengan dibatalkannya perjanjian keagenan
dan bunga maksudnya keuntungan yang telah dibayangkan dan dihitung oleh agen jika
perjanjian keagenan tidak dibatalkan.
Dengan memperhatikan seluruh pembahasan sebagaimana tersebut di atas dapat
dijelaskan bahwa para agen yang tidak mendapatkan pengembalian uang jaminan
keagenan sebagai salah satu persyaratan untuk dapat ditunjuk sebagai agen oleh PT
Adam Air dapat menempuh jalur hukum dengan menggugat PT Adam Air berupa ganti
kerugian baik atas dasar wanprestasi atau ingkar janji maupun perbuatan melanggar
hukum atau onrechtmatige daad, karena kedua unsur wanprestasi maupun perbuatan
melanggar hukum. Mengenai dasar gugatan yang diajukan oleh para agen lebih tepat
atas dasar ingkar janji atau wanprestasi, karena para agen tidak perlu membuktikan

50

adanya wanprestasi yang dilakukan oleh PT Adam Air. Hal ini berbeda jika para agen
menggugat PT Adam Air atas dasar telah melakukan perbuatan melanggar hukum atau
onrechtmatiga daad, karena agen harus dapat membuktikan bahwa PT Adam Air telah
melakukan perbuatan melanggar hukum sesuai dengan Pasal 1865 KUH Perdata.
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan uraian dan pembahasan permasalahan sebagaimana bab
sebelumnya yang berhubungan dengan pembatalan perjanjian keagenan untuk penjualan
tiket penerbangan PT Adam Air karena izin penerbangannya dicabut oleh pemerintah,
dapat disimpulkan sebagai berikut:
a. Aibat hukum dari pencabutan ijin penerbangan terhadap perjanjian keagenan
menjadi batal demi hukum, bukan dapat dibatalkan. Perjanjian batal demi hukum
karena pembatalan tersebut bukan dilakukan oleh PT Adam Air secara sepihak,
melainkan pembatalan karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan
cukup untuk digunakan sebagai dasar untuk batalnya suatu perjanjian keagenan.
Batalnya perjanjian tersebut tidak dimintakan pembatalan pada hakim pengadilan
negeri melainkan batal dengan sendirinya atau batal demi hukum, sehingga sejak
semula dianggap tidak pernah dibuat suatu perjanjian. Akibat batalnya perjanjian
tersebut tidak memberikan hak kepada agen untuk menuntut ganti kerugian atas
pembatalan, karena tidak ada dasar hukum yang digunakan sebagai dasar
menggugat ganti kerugian.
b. Perusahaan penerbangan yang izin usahanya dicabut, maka secara otomatis
perjanjian penunjukkan keagenan menjadi berakhir karena undang-undang sesuai
dengan ketentuan Pasal 1338 ayat (2) KUH Perdata. dengan pembatalan tersebut
berarti tidak lagi terjadi hubungan hukum atau hubungan hukum menjadi batal.
Oleh karenanya pihak perusahaan penerbangan diwajibkan untuk mengembalikan
uang jaminan keagenan tersebut sebagai hak agen. Penolakan pengembalian uang
jaminan keagenan berarti perusahaan penerbangan telah ingkar janji atau
wanprestasi dan sekaligus melakukan perbuatan melanggar hukum karena
melakukan perbuatan yang tidak patut untuk dilakukannya. Sehingga upaya hukum
yang ditempuh oleh agen untuk mendapatkan kembali uang keagenannya adalah
menggugat ganti kerugian atas dasar wanprestasi atau ingkar janji sekaligus
perbuatan melanggar hukum atau onrechtmatige daad.
2. Saran
Berdasarkan jawaban atas masalah yang berhubungan dengan pembatalan
perjanjian keagenan antara PT Adam Air dengan para agen sedang PT Adam Air tidak
mengembalikan uang jaminan yang diserahkan para agen sebagai persyaratan menjadi
agen penjualan tiket Adam Air, maka disarankan sebagai berikut:
a. Hendaknya Perusahaan Penerbangan PT Adam Air menyelesaikan permasalahan
secara damai dengan para agen, karena bagaimanapun direksi atau komisaris

51

perusahaan tetap mempunyai keinginan untuk membuka usaha penerbangan, jika


harus diselesaikan dengan gugatan ganti kerugian, ada kemungkinan para agen jera
ditujuk menjadi agen jika usaha tersebut benar-benar berdiri.
b. Hendaknya para agen hanya mengambil langkah gugatan ganti kerugian jika cara
lain tidak membawa hasil. Karena jika cara-cara damai membawa hasil masih
dimungkinkan untuk menjalin hubungan keagenan jika direksi dan komisaris berniat
membentuk usaha penerbangan. Cara gugatan ganti kerugian sebagai upaya terakhir
dengan cara menggugat perusahaan penerbangan atas dasar wanprestasi sekaligus
perbuatan melanggar hukum.

52

DAFTAR PUSTAKA

A. Literatur
Harahap, Yahya, Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1989.
Muhammad, Abdulkadir, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Prawirohamidjojo, Soetojo dan Marthalena Pohan, Onrechmatige Daad, Jumali,
Surabaya, 1979.
Prodjodikoro, Wirjono, Hukum Perdata tentang Persetujuan-persetujuan Tertentu,
Sumur Bandung, Jakarta, 1991.
Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia (Pengetahuan Dasar
Hukum Dagang), Djambatan, Jakarta, 1989.
Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Putra Abardin, Jakarta, 1999.
Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 1991.
Syahrani, Riduan, Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung,
2004.
Yohanes Sogar Simamora, Prinsip Hukum Kontrak Dalam Pengadaan Barang dan
Jasa Oleh Pemerintah, Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum Progranm
Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya, 2005.

B. Majalah
Media Mingguan TRUST, Dana Tiket Dibayar Lelet, No. 35 Tahun VI 23-29 Juni 2008.

C. Peraturan Perundang-undangan
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata)
Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan

Anda mungkin juga menyukai