Biotek

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 2

Biotek

Biodiesel dari Laut


on 30 November -0001.
JAKARTA -- Tiap empat bulan sekali, Dwi Susilaningsih pergi ke Batam. Tujuannya bukan
melancong ke kota yang jaraknya hanya setengah jam perjalanan dari Singapura itu.
JAKARTA -- Tiap empat bulan sekali, Dwi Susilaningsih pergi ke Batam. Tujuannya bukan
melancong ke kota yang jaraknya hanya setengah jam perjalanan dari Singapura itu. Setiap
pulang dari kota itu, bukan tas penuh barang bermerek yang dibawanya, melainkan botolbotol berisi air laut.
Perempuan kelahiran Blora ini tengah melakukan sensus biodiversitas mikroalga di perairan
Batam. Kegiatan ini mengharuskannya bolak-balik ke Batam. "Dari Januari sampai Maret
saja saya sudah dua kali ke sana untuk mengambil sampel air laut," katanya.
Air laut dari pantai Batam memang berbeda dengan pantai lainnya. Pasalnya, hampir setiap
hari perairan Batam dilintasi kapal tanker pengangkut minyak. Letaknya, yang berada di Selat
Malaka, membuat perairan kota pulau ini sering tercemar minyak mentah yang tumpah.
Lalu lintas kapal minyak inilah yang membuat peneliti dari Pusat Penelitian Bioteknologi
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia itu memilih Batam sebagai lokasi risetnya. "Pantai
tercemar adalah tempat ideal untuk mengisolasi mikroalga," kata Dwi. "Sebab, saya mencari
mikroba yang menghasilkan senyawa hidrokarbon atau mendegradasinya," ujarnya.
Mikroalga adalah bentuk tumbuhan yang paling primitif. Orang awam lebih mengenalnya
sebagai fitoplankton, sumber pakan ikan. Tapi ada jenis mikroalga yang bisa menghasilkan
hidrokarbon sebagai produk fotosintesisnya. Jenis mikroalga inilah yang dicari doktor lulusan
Osaka University itu.
Mikroalga penghasil hidrokarbon ini ditengarai merupakan agen sumber energi yang belum
banyak digali dan dimanfaatkan. Soalnya, lewat proses biofotolisis ataupun fermentasi,
mikroalga mampu menghasilkan energi hidrogen. Gas ini mudah dikonversi menjadi panas,
listrik, ataupun bahan bakar tanpa menyisakan senyawa beracun, sehingga aman dan ramah
lingkungan.
Mikroalga tertentu, seperti Botryococcus sp., mampu menghasilkan hidrokarbon dengan
rantai C23-C40, misalnya n-alkadiens dan n-alkenes. Kemampuan ini membuat Botryococcus
amat potensial sebagai sumber bahan bakar cair terbarukan, menggantikan bahan bakar
minyak fosil, seperti minyak bumi, gas, dan batu bara. "Dengan menghasilkan senyawa
hidrokarbon jenis alkene, mikroalga dapat dijadikan pilihan sumber energi masa depan," kata
perempuan berputra dua ini.

Pada saat krisis energi mengancam Indonesia sekarang ini, lembaga penelitian di Indonesia,
termasuk Pusat Penelitian Bioteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, memang
tengah mencari sumber energi baru. Salah satunya mengembangkan bioenergi, terutama
biohidrogen yang bersumber dari mikroalga perairan air tawar ataupun laut. Mikroalga yang
terkenal sebagai penghasil hidrokarbon, sumber biodiesel ini, adalah diatom, cocolith, dan
chlorofita, seperti Botryococcus braunii.
Dwi melakukan penelitian sejak 1993. Sedangkan riset mencari senyawa berguna dari jasad
renik ini dilakukan mulai 1997. "Saya mulai meneliti mikroalga penghasil energi ini di Osaka
University, dengan bantuan dana riset dari TORAY dan pemerintah," katanya.
Riset Dwi adalah mengkultur mikroalga unggulan dan mengekstraknya untuk diambil
senyawa hidrokarbonnya, melalui proses kultivasi, pemanenan, ekstraksi, dan polimerasi.
Penelitiannya butuh waktu tiga tahun untuk menuntaskan. "Pengujiannya lama," katanya. "Ini
problemnya karena screening mikroalga tidak semudah bakteri."
Dwi yakin sebagai negara tropis-maritim, Indonesia kaya akan sumber daya hayati
mikroalga. "Sampai saat ini saya sudah memperoleh 100 jenis mikroalga," kata Dwi. "Sekitar
20 jenis sudah positif kandidat mikroalga penghasil hidrokarbon."
Dwi berharap hasil penelitiannya ini dapat mengatasi masalah energi, apalagi mikroalga
belum banyak dimanfaatkan di Indonesia padahal potensinya sangat besar. Tidak saja industri
farmasi, tapi juga makanan, perikanan, peternakan, dan lain-lain. "Bisa juga untuk mengatasi
gizi buruk karena di Jepang Chlorella dan Spirulina sudah dimanfaatkan," ujar perempuan
kelahiran 28 Oktober 1968 itu.
Sel mikroalga mengandung protein, asam lemak tak jenuh, pigmen, dan vitamin tinggi
sehingga dapat dijadikan suplemen pangan bergizi tinggi. "Perlu penelitian sebanyak
mungkin untuk membuka rahasia manfaat mikroalga bagi kepentingan manusia," kata Dwi.
TJANDRA DEWI
Sumber : Koran Tempo

Anda mungkin juga menyukai