Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN
Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang
disebabkan oleh Salmonella typhi. Penyakit ini ditandai oleh panas berkepanjangan,
ditopang dengan bakteremia tanpa keterlibatan struktur endotelial atau endokardial dan
invasi bakteri sekaligus multiplikasi ke dalam sel fagosit mononuklear dari limpa,
kelenjar limfe usus dan Peyers patch.
Demam tifoid merupakan penyakit endermik di Indonesia. Penyakit ini termasuk
penyakit menular yang tercantum dalam undang-undang nomor 6 tahun 1962 tentang
wabah. Surveilans Departemen Kesehatan RI, frekwensi kejadian demam tifoid di
Indonesia pada tahun 1990 sebesar 9,2 dan pada tahun 1994 terjadi peningkatan
frekwensi menjadi 15,4 per 10.000 penduduk. Dari survey berbagai rumah sakit di
Indonesia dari tahun 1981 sampai dengan 1986 memperlihatkan peningkatan jumlah
penderita sekitar 35,8% yaitu dari 19.596 menjadi 26.606 kasus. Insidens demam tifoid
bervariasi di tiap daerah dan terkait dengan sanitasi lingkungan; di rural (Jawa Barat) 157
kasus per 100.000 penduduk, sedangkan di daerah urban ditemukan 760-810 per 100.000
penduduk. Kemudian Case Fatality Rate (CFR) demam tifoid pada tahun 1996 sebesar
1,08% dari seluruh kematian di Indonesia. Tetapi dari hasil Survei Kesehatan Rumah
Tangga Departemen Kesehatan RI (SKRT DEPKES RI) tahun 1995 demam tifoid tidak
termasuk dalam 10 penyakit dengan mortalitas tertinggi.
Umur penderita yang terkena di Indonesia (daerah endemis) dilaporkan antara 319 tahun mencapai 195 kasus. Angka yang kurang lebih sama juga dilaporkan dari
Amerika Selatan. Terjadinya penularan salmonella typhi sebagian besar melalui
makanan / minuman yang tercemar oleh kuman yang berasal dari penderita atau pembawa
kuman, biasanya keluar bersama-sama dengan tinja (melalui rute oral fekal = jalur orofekal).

BAB II
PEMBAHASAN
A. Etiologi
Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gramnegatif, mempunyai flagela, tidak berkapsul, tidak membentuk spora fakultatif
anaerob. Mempunyai antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida, flagelar
antigen (H) yang terdiri dari protein dan envelope antigen (K) yang terdiri
polisakarida. Mempunyai makromolekular lipopolisakarida kompleks yang
membentuk lapis luar dari dinding sel da dinamakan endotoksin. Salmonella typhi
juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi
terhadap multipel antibiotik.
B. Patogenesis
Bakteri salmonella typhi bersama makanan / minuman masuk ke dalam
tubuh melalui mulut. Pada saat melewati lambung dengan suasana asam (pH < 2)
banyak bakteri yang mati. Keadaan-keadaan seperti aklorhidiria, gastrektomi,
pengobatan dengan antagonis reseptor histamin H2, inhibitor pompa proton atau
antasida dalam jumlah besar, akan mengurangi dosis infeksi. Bakteri yang masih
hidup akan mencapai usus halus. Di usus halus, bakteri melekat pada sel-sel
mukosa dan kemudian menginvasi mukosa dan menembus dinding usus, tepatnya
di ileum dan yeyenum.
Setelah berada dalam usus halus, kuman mengadakan invasi ke jaringan
limfoid usus halus (terutama plak peyer) dan jaringan limfoid mesentrika. Setelah
menyebabkan peradangan dan nekrosis setempat kuman lewat pembuluh limfe
masuk ke darah (bakteremia primer) menuju organ retikuloendotelial system
(RES) terutama hati dan limfa. Di tempat ini, kuman di fagosit oleh sel-sel fagosit
RES dan kuman yang tidak difagosit akan berkembang biak. Pada akhir masa
inkubasi, berkisar 5 9 hari, kuman kembali masuk ke darah menyebar ke seluruh
tubuh (bakteremia sekunder), dan sebagian kuman masuk ke organ tubuh terutama
limpa, kandung empedu yang selanjutnya kuman tersebut dikeluarkan kembali
dari kandung empedu ke rongga usus dan menyebabkan reinfeksi di usus. Dalam
masa baktremia ini, kuman mengeluarkan endotoksin yang susunan kimianya
2

sama dengan antigen somatik (lipopolisakarida), yang semula di duga


bertanggung jawab terhadap terjadinya gejala-gejala dari demam tifoid.
Pada penelitian lebih lanjut terutama endotoksin hanya mempunyai
peranan membantu proses peradangan lokal. Pada keadaan tersebut, kuman ini
berkembang.
Demam tifoid disebabkan oleh salmonella thyposa dan endotoksinnya
yang merangsang sintesis dan pelepasan zat pirogen oleh leukosit pada jaringan
yang meradang. Selanjutnya zat pirogen yang beredar di darah memengaruhi
pusat termuregulator di hipotalamus yang mengekibatkan timbulnya gejala
demam.
Akhir-akhir ini beberapa peneliti mengajukan patogenesis terjadinya
manifestasi klinis sebagai berikut : makrofag pada penderita akan menghasilkan
substansi aktif yang disebut monokin, selanjutnya monokin ini dapat
menyebabkan nekrosis seluler dan merangsang sistem imun, instabilasi vaskuler,
depresi sumsum tulang dan panas.
Perubahan histopatologi pada umumnya ditemukan infiltrasi jaringan oleh
makrofag yang mengandung eritrosit, kuman, limfosit yang sudah terdegenerasi
yang dikenal sebagai sel tifoid. Bila sel-sel ini beragregasi, terbentuklah nodul.
Nodul ini sering didapatkan dalam usus halus, jaringan limfe mesenterium, limpa,
hati sumsum tulang dan organ-organ yang terinfeksi.
Kelainan utama terjadi di ileum terminale dan plak peyer yang hiperplasi
(minggu pertama), nekrosis (minggu kedua) dan ulserasi (minggu ketiga) serta
bila sembuh tanpa adanya pembentukan jaringan parut. Sifat ulkus berbentuk
bulat lonjong sejajar dengan sumbu panjang usus dan ulkus ini dapat
menyebabkan perdarahan bahkan perforasi. Gambaran tersebut tidak didapatkan
pada kasus demam tofoid yang menyerang bayi maupun tifoid kongenital.
C. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan, lebih
bervariasi bila dibandingkan dengan penderita dewasa. Bila hanya berpegang pada
gejala atau tanda klinis, akan lebih sulit untuk menegakkan diagnosis demam
tifoid pada anak, terutama pada penderita yang lebih muda, seperti pada tifoid
kongenital ataupun tifoid pada bayi.
Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 20 hari, dengan masa
inkubasi terpendek 3 hari dan terpanjang 60 hari. Dikatakan bahwa masa inkubasi
3

mempunyai korelasi dengan jumlah kuman yang ditelan, keadaan umum/status


gizi serta status imunologis penderita.
Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi, secara garis
besar gejala-gejala yang timbul dapat dikelompokkan :

Demam satu minggu atau lebih.


Gangguan saluran pencernaan
Gangguan kesadaran
Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi
akut pada umumnya, seperti demam, nyeri kepala, anoreksia, mual, muntah, diare,
konstipasi. Pada pemeriksaan fisik, hanya didapatkan suhu badan yang meningkat.
Setelah minggu kedua, gejala/ tanda klinis menjadi makin jelas, berupa demam
remiten, lidah tifoid, pembesaran hati dan limpa, perut kembung mungkin disertai
ganguan kesadaran dari yang ringan sampai berat.
Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti pada
orang dewasa, kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise
pattern, dapat pula mendadak tinggi dan remiten (39 41 o C) serta dapat pula
bersifat ireguler terutama pada bayi yang tifoid kongenital.
Lidah tifoid biasanya terjadi

beberapa hari setelah panas meningkat

dengan tanda-tanda antara lain, lidah tampak kering, diolapisi selaput tebal, di
bagian belakang tampak lebih pucat, di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan.
Bila penyakit makin progresif, akan terjadi deskuamasi epitel sehingga papila
lebih prominen.
Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu
kedua. Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2 4 mm,
berwarna merah pucat serta hilang pada penekanan.
Roseola ini merupakan emboli kuman yang didalamnya mengandung
kuman salmonella, dan terutama didapatkan di daerah perut, dada, kadang-kadang
di bokong, ataupun bagian fleksor lengan atas.
Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu
pertama dan harus dibedakan dengan pembesaran karena malaria. Pembesaran
limpa pada demam tifoid tidak progresif dengan konsistensi lebih lunak.
Rose spot, suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran
1 5 mm, sering kali dijumpai pada daerah abdomen, toraks, ekstremitas dan
4

punggung pada orang kulit putih, tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak
Indonesia. Ruam ini muncul pada hari ke 7 10 dan bertahan selama 2 -3 hari.
D. Gambaran Darah Tepi
Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai sedang
dengan peningkatan laju endap darah, gangguan eritrosit normokrom normositer,
yang diduga karena efek toksik supresi sumsum tulang atau perdarahan usus.
Tidak selalu ditemukan leukopenia, diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi
leukosit oleh toksin dalam peredaran darah. Sering hitung leukosit dalam batas
normal dan dapat pula leukositosis, terutama bila disertai komplikasi lain.
Trombosit jumlahnya menurun, gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis
relatif, aneosinofilia, dapat shift to the left ataupun shift to the right bergantung
pada perjalanan penyakitnya.
Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler, eritroid dan mieloid
sistem normal, jumlah megakariosit dalam batas normal.
E. Diagnosis
Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang
ringan bahkan asimtomatik. Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun
gejala yang timbul setelah inkubasi dapat dibagi dalam (1) demam, (2) gangguan
saluran pencernaan, dan (3) gangguan kesadaran. Timbulnya gejala klinis
biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional seperti
nyeri kepala, malaise, anoreksia, letargi, nyeri dan kekakuan abdomen,
pembesaran hati dan limpa, serta gangguan status mental. Sembelit dapat
merupakan gangguan gastointestinal awal dan kemudian pada minggu ke-dua
timbul diare. Diare hanya terjadi pada setengah dari anak yang terinfeksi,
sedangkan sembelit lebih jarang terjadi. Dalam waktu seminggu panas dapat
meningkat. Lemah, anoreksia, penurunan berat badan, nyeri abdomen dan diare,
menjadi berat. Dapat dijumpai depresi mental dan delirium. Keadaan suhu tubuh
tinggi dengan bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa.
Rose spots (bercak makulopapular) ukuran 1-6 mm, dapat timbul pada kulit dada
dan abdomen, ditemukan pada 40-80% penderita dan berlangsung singkat (2-3
hari). Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu, gejala dan tanda klinis
menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan.
5

Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala
klinisnya ringan bahkan asimtomatik. Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam
menegakkan diagnosis bila hanya berdasarkan gejala klinis. Oleh karena itu untuk
menegakkan diagnosis demam tifoid perlu ditunjang pemeriksaan laboratorium
yang diandalkan. Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan
diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi, bakteriologis, dan
serologis. Dalam kepustakaan lain disebutkan bahwa pemeriksaan laboratorium
untuk menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi dalam tiga kelompok, yaitu
(1) Isolasi kuman penyebab demam tifoid melalui biakan kuman dari spesimen
penderita, seperti darah, sumsum tulang, urin, tinja, cairan duodenum dan rose
spot.
Berkaitan dengan patogenesis, maka kuman lebih mudah ditemukan di
dalam darah dan sumsum tulang di awal penyakit, sedangkan pada stadium
berikutnya didalam urin dan tinja. Hasil biakan yang positif memastikan
demam tifoid, namun hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena
hasilnya tergantung beberapa faktor. Faktor tersebut adalah (1) jumlah darah
yang diambil, (2) perbandingan volume darah dan media empedu, serta (3)
waktu pengambilan darah. Untuk menetralisir efek bakterisidal oleh antibodi
atau komplemen yang dapat menghambat kuman pertumbuhan kuman, maka
darah harus diencerkan 5-10 kali. Waktu pengambilan darah paling baik
adalah pada saat demam tinggi atau sebelum pemakaian antibiotik, karena 1-2
hari setelah diberi antibiotik kuman sudah sukar ditemukan di dalam darah.
Biakan darah positif ditemukan pada 75-80% penderita pada minggu
pertama sakit, sedangkan pada akhir minggu ke-tiga, biakan darah positif
hanya pada 10% penderita. Setelah minggu ke-empat penyakit, sangat jarang
ditemukan kuman di dalam darah. Bila terjadi relaps, maka biakan darah akan
positif kembali.
Biakan sumsum tulang sering tetap positif selama perjalanan penyakit
dan menghilang pada fase penyembuhan.
Pengobatan antibiotik akan mematikan kuman di dalam darah
beberapa jam setelah pemberian, sedangkan kuman di dalam sumsum tulang
lebih sukar dimatikan. Oleh karena itu pemeriksaan biakan darah sebaiknya
dilakukan sebelum pemberian antibiotik.
6

Walaupun metoda biakan kuman S.typhi sebenarnya amat diagnostik


namun memerlukan waktu 3-5 hari. Biakan kuman ini sulit dilakukan di
tempat pelayanan kesehatan sederhana yang tidak memiliki sarana
laboratorium lengkap.
(2) Uji serologi untuk mendeteksi antibodi terhadap antigen S.typhi dan
menentukan adanya antigen spesifik dari Salmonella typhi.
Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi
terhadap kuman S.typhi yaitu uji Widal. Uji telah digunakan sejak tahun
1896. Pada uji Widal terjadi reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.typhi
dengan antibodi yang disebut aglutinin. Prinsip uji Widal adalah serum
penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam
jumlah yang sama. Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi
aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi
menunjukkan titer antibodi dalam serum.
Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam
serum penderita tersangka demam tifoid yaitu;
1. Aglutinin O (dari tubuh kuman)
2. Aglutinin H (flagel kuman)
3. Aglutinin Vi (simpai kuman).
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan
untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar
kemungkinan terinfeksi kuman ini.
Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O.
Antibodi H timbul lebih lambat, namun akan tetap menetap lama sampai
beberapa tahun, sedangkan antibodi O lebih cepat hilang. Pada seseorang yang
telah sembuh, aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan
aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan 2 tahun. Antibodi Vi timbul
lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit.
Pada pengidap S.typhi, antibodi Vi cenderung meningkat. Antigen Vi biasanya
tidak dipakai untuk menentukan diagnosis infeksi, tetapi hanya dipakai untuk
menentukan pengidap S.typhi.
Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin 1/40 dengan
memakai uji widal slide aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan
7

waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal positif 96%. Artinya apabila hasil tes
positif, 96% kasus benar sakit demam tifoid, akan tetapi apabila negatif tidak
menyingkirkan. Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin
sekali periksa 1/200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka
diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan. Aglutinin H banyak dikaitkan dengan
pasca imunisasi atau infeksi masa lampau, sedang Vi aglutinin dipakai pada
deteksi pembawa kuman S. typhi (karier). Banyak peneliti mengemukanan
bahwa uji serologi widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul positif
palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif.
Ada 2 faktor yang mempengaruhi uji Widal yaitu faktor yang berhubungan
dengan penderita dan faktor teknis.
a) Faktor yang berhubungan dengan penderita, yaitu
1. Pengobatan dini dengan antibiotik, pemberian kortikosteroid.
2. Gangguan pembentukan antibodi.
3. Saat pengambilan darah.
4. Daerah endemik atau non endemik.
5. Riwayat vaksinasi.
6. Reaksi anamnesik, yaitu peningkatan titer aglutinin pada infeksi bukan
demam akibat infeksi demam tifoid masa lalu atau vaksinasi.
b) Faktor teknik, yaitu
1. Akibat aglutinin silang.
2. Strain Salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen.
3. Teknik pemeriksaan antar laboratorium.

Beberapa keterbatasan uji Widal ini adalah:


1. Negatif Palsu
Pemberian antibiotika yang dilakukan sebelumnya (ini kejadian paling sering
di negara kita, demam > kasih antibiotika > nggak sembuh dalam 5 hari >
tes Widal) menghalangi respon antibodi.
Padahal sebenarnya bisa positif jika dilakukan kultur darah.
8

2. Positif Palsu
Beberapa jenis serotipe Salmonella lainnya (misalnya S. paratyphi A, B, C)
memiliki antigen O dan H juga, sehingga menimbulkan reaksi silang dengan
jenis bakteri lainnya, dan bisa menimbulkan hasil positif palsu (false
positive).
Padahal sebenarnya yang positif kuman non S. typhi (bukan tifoid).
(3) Pemeriksaan melacak DNA kuman S.typhi.
Akhir-akhir ini banyak dimunculkan beberapa jenis pemeriksaan
untuk mendeteksi antibodi S. typhi dalam serum, antigen terhadap S. typhi
dalam darah, serum dan urin bahkan DNA S. typhi dalam darah dan feses.
Polimerase chain reaction telah digunakan untuk memperbanyak gen
Salmonella ser. Typhi secara sfesifik pada darah pasien dan hasil dapat
diperoleh hanya dalam beberapa jam. Metode ini spesifik dan lebih sensitif
dibandingkan dengan biakan darah. Walaupun laporan-laporan pendahuluan
menunjukkan hasil yang baik namun sampai sekarang tidak salah satupun
dipakai secara luas.
F. Dignosis Banding
Pada stadium dini demam tifoid, beberapa penyakit kadang-kadang secara klinis
dapat menjadi diagnosis bandingnya yaitu influenza, gastroenteritis, bronkitis dan
bronkopneumonia. Beberapa penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme
intraseluler seperti tuberkulosis, infeksi jamur sistemik, bruselosis, tularemia,
shigelosis dan malaria juga perlu dipikirkan. Pada demam tifoid yang berat,
sepsis, leukimia, limfoma dan penyakit hodgkin dapat sebagai dignosis banding.
G. Penyulit (Komplikasi)
Perforasi usus halus dilaporkan dapat terjadi pada 0,5 3%, sedangkan
perdarahan usus pada 1 10% kasus dema tifoid anak. Penyulit ini biasanya
terjadi pada minggu ke-3 sakit, walau pernah dilaporkan terjadi pada inggu
pertama. Komplikasi di dahului dengan penurunan suhu, tekanan darah dan
peningkatan frekuensi nadi. Pada perforasi usus halus ditandai oleh nyeri
abdomen lokal pada kuadran kanan bawah akan tetapi dilaporkan juga nyeri yang
menyelubung. Kemudian akan diikuti muntah, nyeri pada perabaan abdomen,
9

defance muskulare, hilangnya keredupan hepar dan tanda-tanda peritonitis yang


lain. Beberapa kasus perforasi usus halus mempunyai manifestasi klinis yang
tidak jelas.
Dilaporkan pada kasus dengan komplikasi neuropsikiatri. Sebagian besar
bermanifestasi gangguan kesadaran, disorientasi, delirium, obtundasi, stupor
bahkan koma. Beberapa penulis mengaitkan manifestasi klinis neuropsikiatri
dengan prognosis buruk. Penyakit neurologi lain adalah rombosis sereberal,
afasia, ataksia sereberal akut, tuli, mielitis tranversal, neuritis perifer maupun
kranial, meningitis, ensefalomielitis, sindrom Guillain-Barre. Dari berbagai
penyakit neurologik yang terjadi, jarang dilaporkan gejala sisa yang permanen
(sekuele).
Miokarditis dapat timbul dengan manifestasi klinis berupa aritmia,
perubahan ST-T pada EKG, syok kardiogenik, infiltrasi lemak maupun nekrosis
pada jantung. Hepatitis tifosa asimtomatik dapat dijumpai pada kasus demam
tifoid ditandai peningkatan kadar transaminase yang tidak mencolok. Ikterus
dengan atau tanpa disertai kenaikan kadar transaminase, maupun kolesistitis akut
juga dapat dijumpai, sedang kolesistitis kronik yang terjadi pada penderita setelah
mengalami demam tifoid dapat dikaitkan dengan adanya batu empedu dan
fenomena pembawa kuman (karies).
Sebagian kasus demam tifoid mengeluarkan bakteri Salmonella typhi
melalui urin pada saat sakit maupun setelah sembuh. Sistitis bahkan pielonefritis
dapat juga merupakan penyulit demam tifoid. Proteinuria transien sering dijumpai,
sedangkan glomerulonefritis yang dapat bermanifestasi sebagai gagal ginjal
maupun sindrom nefrotik mempunyai prognosis buruk. Pneumonia sebagai
komplikasi sering dijumpai pada demam tifoid. Keadaan ini dapat ditimbulkan
oleh kuman Salmonella typhi, namun sering kali sebagai akibat infeksi sekunder
oleh kuman lain. Penyulit lain yang dapat dijumpai adalah trombositopenia,
koagulasi intrvaskular diseminata, Hemolytic Uremic Syndrome (HUS), fokal
infeksi di beberapa lokasi sebagai akibat bakteremia misalnya infeksi pada tulang,
otak, hati, limpa, otot, kelenjar ludah dan persendian.
Relaps yang didapat pada 5-10% kasus demam tifoid saat era pre
antibiotik, sekarang lebih jarang ditemukan. Apabila terjadi relaps, demam timbul
kembali dua minggu setelah penghentian antiboitik. Namun pernah juga
dilaporkan relaps timbul saat stadium konvalsens, saat pasien tidak demam akan
10

tetapi gejala lain masih jelas dan masih dalam pengobatan antibiotik. Pada
umumnya relaps lebih ringan dibandingkan gejala demam tifoid sebelumnya dan
lebih singkat.
H. Penatalaksanaan
Sebagian besar pasien demam tifoid dapat diobati dirumah dengan tirah
baring, isolasi yang memadai, pemenuhan kebutuhan cairan, nutrisi serta
pemberian antibiotik. Sedangkan untuk kasus berat harus dirawat dirumah sakit
agar pemenuhan kebutuhan cairan, elektrolit serta nutrisi disamping observasi
kemungkinan timbul penyulit dapat dilakukan dengan seksama. Pengobatan
antibiotik merupakan pengobatan utama karena pada dasarnya patogenesis infeksi
Salmonella typhi berhubungan dengan keadaan bakteriemia.
Obat-obat antimikroba yang sering digunakan antara lain :
Kloramfenikol
Meskipun telah dilaporkan adanya resistensi kuman Salmonella terhadap
Kloramfenikol di berbagai daerah, Kloramfenikol tetap digunakan sebagai obat
pilihan pada kasus demam tifoid. Sejak ditemukannya obat ini oleh Burkoder
sampai saat ini belum ada obat antimikroba lain yang dapat menurunkan demam
lebih cepat disamping harganya murah dan terjangkau oleh penderita. Kekurangan
kloramfenikol antara lain ialah reaksi hipersensitifitas, reaksi toksik, grey
syndrome, kolaps, dan tidak bermanfaat untuk pengobatan karier.
Dalam pemberian kloramfenikol tidak terdapat keseragaman dosis. Dosis
yang dianjurkan ialah 50 100 mg/kgBB/hari, selama 10 14 hari. Untuk
neonatus, penggunaan obat ini sebaiknya dihindari, dan bila terpaksa, dosis tidak
boleh melebihi 25 mg/kgBB/hari, selama 10 hari.
Tiamfenikol
Tiamfenikol mempunyai efek yang sama dengan Kloramfenikol karena
susunan kimianya hampir sama dan hanya berbeda pada gugusan R-nya. Dengan
pemberian Tiamfenikol, demam turun setelah 5 6 hari. Komplikasi hematologi
pada penggunaan Tiamfenikol jarang dilaporkan.
Dosis oral dianjurkan 50 100 mg/kgBB/hsri, selama 10 14 hari.
11

Kotrimoksasol
Pendapat mengenai Efektifitas kotrimksasol terhadap demam tifoid masih
kontroversial. Kelebihan kotrimoksasol antara lain dapat digunakan untuk kasus
yang resisten terhadap kloamfenikol, penyerapan di usus cukup baik, dan
kemungkinan timbulnya kakambuhan pengobatan pengobatan lebih kecil
dibandingkan kloramfenikol. Kelemahannya ialah dapat terjadi skin rash (1
15%), sindrom Steven Johnson, agranulositosis, trombositopenia, anemia
megaloblastik, hemolisis eritrosit terutama pada penderita G6PD,
Dosis oral yang dianjurkan adalah 30 40 mg/kgBB/hari. Sulfametoksazol
dan 6 8 mg/kgBB/hari untuk Trimetoprim, diberikan dalam 2 kali pemberian,
selama 10 14 hari.
Ampisilin dan Amoksisilin
Merupakan derivat Penisilin yang digunakan pada pengobatan demam
tifoid, terutama pada kasus yang resisten terhadap Kloramfenikol. Pernah
dilaporkan adanya Salmonella yang resisten terhadap Ampisilin di Thailand.
Ampisilin umumnya lebih lambat menurunkan demam bila dibandingkan
dengan Kloramfenikol, tetapi lebih efektif untuk mengobati karier serta kurang
toksik. Kelemahannya dapat terjadi skin rash (3 18%), dan diare (11%).
Ampisilin mempunyai daya antibakteri yang sama dengan Ampisilin,
terapi penyerapan peroral lebih baik sehingga kadar oabat yang tercapai 2 kali
lebih tinggi, dan lebih sedikit timbulnya kekambuhan (2 5%) dan karier (0
5%).
Dosis yang dianjurkan adalah :
Ampisilin 100 200 mg/kgBB/hari, selama 10 14 hari.
Amoksisilin 100 mg/kgBB/hari, selama 10 14 hari.
Pengobatan demam tifoid yang menggunakan obat kombinasi tidak
memberikan keuntungan yang lebih baik bila diberikan obat tunggal.
Seftriakson
Dosis yang dianjurkan adalah 50 100 mg/kgBB/hari, tunggal atau dalam
2 dosis iv.
Sefotaksim
12

Dosis yang dianjurkan adalah 150 200 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3- 4


dosis iv.
Siprofloksasin
Dosis yang dianjurkan adalah 2 x 200 400 mg oral pada anak berumur
lebih dari 10 tahun.
I. Prognosis
Prognosis demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan
kesehatan sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Dinegara maju, dengan
terapi antibiotik yang adekuat, angka mortalitas < 1%. Di negara berkembang,
angka mortalitasnya > 10%, biasanya karena keterlambatan diagnosis, perawatan,
dan pengobatan. Munculnya komplikasi seperti perforasi gastrointestinal atau
perdarahan hebat, meningitis, endokarditis dan pneumonia, mengakibatkan
morbiditas dan mortalitas yang tinggi.
Relaps dapat timbul beberapa kali. Individu yang mengeluarkan S. ser.
Typhi 3 bulan setelah infeksi umumnya manjadi karier kronis. Risiko menjadi
karier pada anak-anak rendah dan meningkat sesuai usia. Karier kronik terjadi
pada 1 5% dari seluruh pasien demam tifoid. Insidens penyakit traktus biliaris
lebih tinggi pada karier kronis dibanding dengan populasi umum. Walaupun karier
urin kronis juga dapat terjadi, hal ini jarang dan dijumpai terutama pada individu
dengan skistosomiasis.
J. Pencegahan
Secara umum, untuk memperkecil kemungkinan tercemar S.typhi, maka
setiap individu harus memperhatikan kualitas makanan dan minuman yang mereka
konsumsi. Salmonella typhi di dalam air akan mati apabila dipanasi setinggi 57C
untuk beberapa menit atau dengan proses iodinasi/klorinasi.
Untuk makanan, pemanasan sampai suhu 57C beberapa menit dan secara
merata juga dapat mematikan kuman Salmonella typhi. Penurunan endemisitas
suatu negara/daerah tergantung pada baik buruknya pengadaan sarana air dan
pengaturan pembuangan sampah serta tingkat kesadaran individu terhadap higiene
pribadi. Imunisasi aktif dapat membantu menekan angka kejadian demam tifoid.
13

K. Vaksin Demam Tifoid


Saat sekarang dikenal tiga macam vaksin untuk penyakit demam tifoid,
yaitu yang berisi kuman yang dimatikan, kuman hidup dan komponen Vi dari
Salmonella typhi. Vaksin yang berisi kuman Salmonella typhi, S. paratyphi A, S.
paratyphi B yang dimatikan (TAB Vaccine) telah puluhan tahun digunakan dengan
cara pemberian suntikan subcutan; namun vaksin ini hanya memberikan daya
kekebalan yang terbatas, disamping efek samping lokal pada tempat suntikan yang
cukup sering. Vaksin yang berisi kuman Salmonella typhi hidup yang dilemahkan
(Ty-21a) diberikan peroral tiga kali dengan interval pemberian selang sehari,
memberi daya perlindungan 6 tahun. Vaksin ini diberikan pada anak berumur
diatas 2 tahun. Vaksin Ty-21a diberikan pada anak berumur diatas 2 tahun. Pada
penelitian dilapangan didapat hasil efikasi proteksi yang berbanding terbalik
dengan derajat transmisi penyakit. Vaksin yang berisi komponen Vi dari
Salmonella

typhi

diberikan

secara

suntikan

intramuskular

memberikan

perlindungan 60-70% selama 3 tahun.

14

BAB III
KESIMPULAN
Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang
disebabkan oleh Salmonella typhi. Bakteri salmonella typhi bersama makanan / minuman
masuk ke dalam tubuh melalui mulut.
Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi, secara garis besar gejala-gejala
yang timbul adalah :

Demam satu minggu atau lebih.

Gangguan saluran pencernaan.

Gangguan kesadaran.

Pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi dalam tiga
kelompok, yaitu:

Isolasi kuman penyebab demam tifoid melalui biakan kuman dari spesimen
penderita, seperti darah, sumsum tulang, urin, tinja, cairan duodenum dan rose
spot.

Uji serologi untuk mendeteksi antibodi terhadap antigen S.typhi dan menentukan
adanya antigen spesifik dari Salmonella typhi.

Pemeriksaan melacak DNA kuman S.typhi.

Kloramfenikol digunakan sebagai obat pilihan pada kasus demam tifoid.


Pencegahannya adalah higiene pribadi yang baik dan Imunisasi serta vaksinasi aktif dapat
membantu menekan angka kejadian demam tifoid.

15

DAFTAR PUSTAKA
1. Soedarmo, Poorwo, SS, dkk ; penyunting : Buku ajar Infeksi dan Pediatri Tropis;
Edisi kedua; Ikatan Dokter Anak Indonesia 2010, Bagian Ilmu Kesehatan Anak
FK UI, Jakarta : 2010.
2. Richard E. Behrman, Robert M. Kliegman, Ann M. Arvin; edisi bahasa Indonesia:
A Samik Wahab; Ilmu Kesehatan Anak Nelson, ed.15- Jakarta: EGC, 1999.
3. Aru W, Sudoyo, dkk ; editor ; Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam; Jilid III, edisi IV;
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI, Jakarta : 2007
4. Alan R. Tumbelaka. Diagnosis dan Tata laksana Demam Tifoid. Dalam Pediatrics
Update. Cetakan pertama; Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta : 2003
5. Rampengan. T H : Penyakit infeksi Tropis pada Anak ; edisi 2. Jakarta : EGC
2007.

16

Anda mungkin juga menyukai