Anda di halaman 1dari 16

Jangan Nodai Ibadah Anda

Dengan Niat Duniawi


Berbicara tentang niat yang ikhlas berarti membahas suatu amalan
hati yang paling berat untuk dilakukan seorang manusia, karena
besarnya dominasi ambisi nafsu manusia yang sangat bertentangan
dengan keikhlasan dalam niat, kecuali bagi orang-orang beriman
yang diberi kemudahan oleh Allah Ta'ala dalam semua kebaikan.
By Abdullah Taslim, Lc., MA. 2 May 2013
0 6165 6

Berbicara tentang niat yang ikhlas berarti membahas suatu amalan


hati yang paling berat untuk dilakukan seorang manusia, karena
besarnya dominasi ambisi nafsu manusia yang sangat bertentangan
dengan keikhlasan dalam niat, kecuali bagi orang-orang beriman
yang diberi kemudahan oleh Allah Taala dalam semua kebaikan.
Imam Sahl bin Abdullah at-Tustari berkata: Tidak ada sesuatupun
yang paling berat bagi nafsu manusia melebihi keikhlasan karena
pada keikhlasan tidak ada bagian untuk nafsu .
1

Semakna dengan ucapan di atas, Imam Sufyan bin Said ats-Tsauri


berkata: Tidaklah aku berusaha memperbaiki sesuatu (dalam
diriku) yang lebih sulit bagiku daripada (memperbaiki) niatku
(supaya ikhlas) .
2

Imam Ibnul Qayyim menggambarkan hal ini dalam ucapan beliau:


Adapun kesyirikan (penyimpangan) dalam niat dan keinginan
(manusia) maka itu (ibaratnya seperti) lautan (luas) yang tidak
bertepi dan sangat sedikit orang yang selamat dari penyimpangan
tersebut. Maka barangsiapa yang menginginkan dengan amal
kebaikannya selain wajah Allah, meniatkan sesuatu selain untuk
mendekatkan diri kepada-Nya, atau selain mencari pahala dari-Nya
maka sungguh dia telah berbuat syirik dalam niat dan keinginannya.
Ikhlas adalah dengan seorang hamba mengikhlaskan untuk Allah
(semata) semua ucapan, perbuatan, keinginan dan niatnya .
3

Keinginan/niat duniawi pada amal kebaikan

Termasuk penyimpangan niat yang banyak menimpa manusia dan


menodai kesucian ibadah mereka, selain perbuatan riya, adalah
terselipnya niat dan keinginan duniawi pada amal ibadah yang
dikerjakan manusia. Penyimpangan ini penting untuk diketahui,
karena sering menimpa seorang yang berbuat amal kebaikan tapi
dia tidak menyadari terselipnya niat tersebut, padahal ini termasuk
bentuk kesyirikan yang bisa menodai bahkan merusak amal
kebaikan seorang hamba.
Allah Taala berfirman:









}



.













{


Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya,
niscaya kami berikan kepada mereka balasan amal perbuatan
mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak
akan dirugikan. Merekalah orang-orang yang di akhirat (kelak) tidak
akan memperoleh (balasan) kecuali neraka dan lenyaplah apa (amal
kebaikan) yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa
yang telah mereka lakukan (QS Huud: 15-16).
Ayat yang mulia ini menunjukkan bahwa amal shaleh yang dilakukan
dengan niat duniawi adalah termasuk perbuatan syirik yang bisa
merusak kesempurnaan tauhid yang semestinya dijaga dan
perbuatan ini bisa menggugurkan amal kebaikan. Bahkan perbuatan
ini lebih buruk dari perbuatan riya (memperlihatkan amal shaleh
untuk mendapatkan pujian dan sanjungan), karena seorang yang
menginginkan dunia dengan amal shaleh yang dilakukannya,
terkadang keinginannya itu menguasai niatnya dalam meyoritas
amal shaleh yang dilakukannya. Ini berbeda dengan perbuatan riya,
karena riya biasanya hanya terjadi pada amal tertentu dan bukan
pada mayoritas amal, itupun tidak terus-menerus. Meskipun
demikian, orang yang yang beriman tentu harus mewaspadai semua
keburukan tersebut .
4

Oleh karena itu, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dalam


kitab at-Tauhid mencantumkan sebuah bab khusus tentang masalah
penting ini, yaitu bab: Termasuk (perbuatan) syirik adalah jika
seseorang menginginkan dunia dengan amal (shaleh yang
dilakukan)nya .
5

Syaikh Shalih bin Abdil Aziz Alu asy-Syaikh berkata: Termasuk


syirik kecil adalah seorang yang menginginkan (balasan di) dunia
dengan amal-amal ketaatan (yang dilakukan)nya dan tidak
menghendaki (balasan di) akhiratOrang-orang yang menginginkan
kehidupan dunia secara asal, menjadi tujuan (utama) dan (sumber)
penggerak (diri mereka) adalah orang-orang kafir. Oleh karena itu,
ayat ini (firman Allah Taala di atas) turun berkenaan dengan orangorang kafir. Akan tetapi, lafazh ayat ini mencakup semua orang
(kafir maupun mukmin) yang menginginkan kehidupan (balasan)
duniawi dengan amal shaleh (yang dilakukan)nya .
6

Makna dan perbedaannya dengan riya

Abdullah bin Abbas radhiallahuanhu berkata tentang makna ayat


di atas: Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia, artinya
balasan duniawi, dan perhiasannya, artinya harta. Niscaya kami
berikan kepada mereka balasan amal perbuatan mereka di dunia
dengan sempurna, artinya: Kami akan sempurnakan bagi mereka
balasan amal perbuatan mereka (di dunia) berupa kesehatan dan
kegembiraan dengan harta, keluarga dan keturunan .
7

Semakna dengan ucapan di atas, Imam Qatadah bin Diamah alBashri berkata: Barangsiapa yang menjadikan dunia (sebagai)
target (utama), niat dan ambisinya, maka Allah akan membalas
kebaikan-kebaikannya (dengan balasan) di dunia, kemudian di
akhirat (kelak) dia tidak memiliki kebaikan untuk diberikan balasan.
Adapun orang yang beriman, maka kebaikan-kebaikannya akan
mendapat balasan di dunia dan memperoleh pahala di akhirat
(kelak) .
8

Syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin mengisyaratkan makna


lain dari perbuatan ini, yaitu seorang yang mengamalkan ketaatan
kepada Allah Taala bukan karena riya atau pujian, niatnya ikhlas
kerena Allah Taala, akan tetapi dia menginginkan suatu balasan

duniawi, misalnya harta, kedudukan duniawi, kesehatan pada


dirinya, keluarganya atau keturunannya, dan yang semacamnya.
Maka dengan amal kebaikannya dia menginginkan manfaat duniawi
dan melalaikan/melupakan balasan akhirat .
9

Adapun perbedaan antara perbuatan ini dengan perbuatan riya,


maka perbuatan ini lebih luas dan lebih umum dibanding perbuatan
riya, bahkan riya adalah salah satu bentuk keinginan duniawi
dalam beramal shaleh .
10

Perbuatan riya bertujuan untuk mendapatkan pujian dan sanjungan


dengan amal shaleh, sedangkan perbuatan ini tidak bertujuan untuk
mendapat pujian, tapi ingin mendapatkan balasan duniawi dengan
amal shaleh, seperti harta, kedudukan, kesehatan fisik dan lainlain .
11

Dalil-dalil yang menunjukkan tercela dan buruknya perbuatan ini

Allah Taala berfirman:











}

{


Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya,
niscaya kami berikan kepada mereka balasan amal perbuatan
mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak
akan dirugikan. Merekalah orang-orang yang di akhirat (kelak) tidak
akan memperoleh (balasan) kecuali neraka dan lenyaplah apa (amal
kebaikan) yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa
yang telah mereka lakukan (QS Huud: 15-16).
Ayat yang mulia ini dibatasi kemutlakannya dengan firman
Allah Taala dalam ayat lain :
12

















}





{



Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka


Kami segerakan baginya di dunia itu apa (balasan dunia) yang Kami
kehendaki bagi orang yang Kami inginkan, kemudian Kami jadikan
baginya neraka Jahannam; ia akan memasukinya dalam keadaan
tercela dan terusir (QS al-Israa: 18).
Maka kesimpulan makna kedua ayat ini adalah: orang yang
menginginkan balasan duniawi dengan amal shaleh yang
dilakukannya, maka Allah Taala akan memberikan balasan duniawi
yang diinginkannya jika Allah Taala menghendaki, dan terkadang
dia tidak mendapatkan balasan duniawi yang diinginkannya karena
Allah Taala tidak menghendakinya .
13

Oleh sebab itu, semakin jelaslah keburukan dan kehinaan perbuatan


ini di dunia dan akhirat, karena keinginan orang yang melakukannya
untuk mendapat balasan duniawi terkadang terpenuhi dan
terkadang tidak terpenuhi, semua tergantung dari kehendak
Allah Taala. Inilah balasan bagi mereka di dunia, dan di akhirat
kelak mereka tidak mendapatkan balasan kebaikan sedikitpun,
bahkan mereka akan mendapatkan azab neraka Jahannam dalam
keadaan hina dan tercela.
Benarlah Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam yang bersabda:
Barangsiapa yang (menjadikan) dunia tujuannya maka Allah akan
mencerai-beraikan urusannya dan menjadikan kemiskinan/tidak
pernah merasa cukup (selalu ada) di hadapannya, padahal dia tidak
akan mendapatkan (harta benda) duniawi melebihi dari apa yang
Allah tetapkan baginya. Dan barangsiapa yang (menjadikan) akhirat
niatnya maka Allah akan menghimpunkan urusannya, menjadikan
kekayaan/selalu merasa cukup (ada) dalam hatinya, dan (harta
benda) duniawi datang kepadanya dalam keadaan rendah (tidak
bernilai di hadapannya) .
14

Dalam hadits shahih lainnya, Rasulullah Shallallahualaihi


Wasallam bersabda tentang buruknya perbuatan ini: Binasalah
(orang yang menjadi) budak (harta berupa) emas, celakalah (orang
yang menjadi) budak (harta berupa) perak, binasalah budak (harta
berupa) pakaian indah, kalau dia mendapatkan harta tersebut maka
dia akan ridha (senang), tapi kalau dia tidak mendapatkannya maka
dia akan murka. Celakalah dia tersungkur wajahnya (merugi serta

gagal usahanya), dan jika dia tertusuk duri (bencana akibat


perbuatannya) maka dia tidak akan lepas darinya .
15

Hadits yang agung ini menunjukkan besarnya keburukan dan


kehinaan perbuatan ini, karena orang yang melakukannya berarti
dia menjadikan dirinya sebagai budak harta, karena harta menjadi
puncak kecintaan dan keinginannya dalam setiap perbuatannya,
sehingga kalau dia mendapatkannya maka dia akan ridha (senang),
tapi kalau tidak maka dia akan murka.
Kemudian Rasulullah menggabarkan keadaannya yang buruk bahwa
orang tersebut jika ditimpa keburukan atau bencana akibat
perbuatannya maka dia tidak bisa terlepas darinya dan dia tidak
akan beruntung selamanya . Maka dengan perbuatan buruk ini dia
tidak mendapatkan keinginannya dan dia pun tidak bisa lepas dari
keburukan yang menimpanya. Inilah keadaan orang yang menjadi
budak harta , nauudzu billahi min dzaalik.
16

17

Beberapa bentuk dan contoh keinginan duniawi pada amal


kebaikan
Syaikh Abdur Rahman bin Hasan Alu asySyaikh rahimahullah menukil keterangan Imam Muhammad bin
Abdul Wahhab rahimahullah tentang bentuk-bentuk amal shaleh
yang dikerjakan dengan keinginan untuk mendapatkan balasan
duniawi, sebagai berikut:
18

1. Amal shaleh yang dikerjakan oleh banyak orang dengan


mengharapkan wajah Allah (ikhlas), berupa sedekah, shalat,
(menyambung) silaturahim, berbuat baik kepada orang lain,
tidak menzhalimi orang lain, dan lain-lain, yang dilakukan atau
ditinggalkan seseorang ikhlas karena Allah, akan tetapi dia
tidak menginginkan pahala di akhirat, dia hanya menginginkan
balasan (duniawi) dari Allah, dengan (Allah Taala) menjaga
hartanya dan mengembangkannya, atau memelihara istri dan
anggota keluarganya, atau melanggengkan limpahan
nikmat/kekayaan bagi keluarganya. Tidak ada niatnya untuk
meraih Surga dan menyelamatkan diri dari (siksa) Neraka.
Maka orang seperti ini akan diberikan balasan amal
perbuatannya di dunia dan tidak ada bagian (balasan

kebaikan) untuknya di akhirat (kelak). Bentuk inilah yang


disebutkan oleh (Shahabat yang mulia) Ibnu
Abbas radhiallahuanhu.
2. Ini lebih besar dan lebih menakutkan dari bentuk yang
pertama, dan inilah yang disebutkan oleh Imam Mujahid
tentang (makna) ayat di atas dan sebab turunnya, yaitu
seorang yang mengerjakan amal shaleh dengan niat
untuk riya (memamerkannya) kepada orang lain, bukan untuk
mencari pahala akhirat.
3. Seorang yang mengerjakan amal shaleh dengan tujuan (untuk
mendapatkan) harta, seperti orang yang berhaji untuk
memperoleh harta, berhijrah untuk mendapatkan (balasan)
duniawi atau untuk menikahi seorang wanita, atau berjihad
untuk mendapatkan ganimah (harta rampasan perang). Bentuk
ini juga disebutkan (oleh sebagian dari ulama salaf) ketika
menafsirkan ayat ini. (Contoh lainnya) seperti seorang
yang menuntut ilmu karena (keberadaan) madrasah milik
keluarganya, usaha mereka, atau kedudukan mereka, atau
seorang yang mempelajari al-Qur-an dan kontinyu
melaksanakan shalat fardhu karena tugasnya di mesjid,
sebagaimana ini sering terjadi.
4. Seorang yang mengamalkan ketaatan kepada Allah dengan
niat ikhlas karena Allah semata dan tidak ada sekutu bagi-Nya,
akan tetapi dia pernah melakukan perbuatan kufur yang
menjadikannya keluar dari agama Islam. Seperti orang-orang
Yahudi dan Nashrani jika mereka beribadah kepada Allah,
bersedekah, atau berpuasa dengan mengharapkan wajah Allah
dan (balasan) di negeri Akhirat, juga seperti kebanyakan dari
kaum muslimin yang pernah melakukan kekafiran atau
kesyirikan besar yang mengeluarkan mereka dari agama Islam
secara keseluruhan, meskipun mereka melakukan ketaatan
kepada Allah dengan ikhlas mengharapkan ganjaran pahala
dari-Nya di negeri Akhirat, akan tetapi mereka pernah
melakukan perbuatan (kufur atau syirik) yang mengeluarkan
mereka dari agama Islam dan ini menjadikan semua amal
perbuatan mereka tidak diterima (oleh Allah Taala). Bentuk ini
juga disebutkan dalam penafsiran ayat ini dari Anas bin
Malik radhiallahuanhu dan selain beliau.
Lebih lanjut, Syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin
menyebutkan beberapa contoh keinginan duniawi dengan amal
shaleh yaitu:

Orang yang menginginkan harta, misalnya orang yang


melakukan adzan (di masjid) untuk mendapatkan upah/gaji
(sebagai muadzdzin), atau orang yang berhaji untuk
mendapatkan harta.
Orang yang menginginkan kedudukan, misalnya orang yang
belajar untuk mendapatkan ijazah sehingga kedudukannya
semakin tinggi.
Orang yang menginginkan hilangnya gangguan, penyakit dan
keburukan dari dirinya, misalnya orang yang beribadah kepada
Allah supaya Allah memberikan baginya balasan di dunia
berupa kecintaan manusia kepadanya (sehingga mereka tidak
menyakitinya), dihilangkan keburukan dari dirinya, dan lainlain.
Orang yang beribadah kepada Allah dengan tujuan untuk
memalingkan wajah manusia kepadanya (menjadikan mereka
kagum kepadanya) dengan mencintai dan menghormatinya.
Dan masih banyak contoh-contoh yang lain .
19

Beberapa syubhat (kerancuan) dan jawabannya

Berdasarkan pemaparan di atas, kita menetapkan bahwa hukum


asal dalam ibadah dan amal shaleh adalah tidak boleh ada
niat/keinginan dunia padanya .
20

Akan tetapi, dalam masalah ini ada beberapa syubhat/kerancuan


yang timbul karena kesalahpahaman atau hawa nafsu, di antaranya:
A. Pendapat yang mengatakan bolehnya meniatkan balasan duniawi
dengan amal-amal shaleh. Pendapat ini berargumentasi dengan
beberapa hadits Rasulullah shallallahualaihi wasallam menyebutkan
balasan duniawi pada beberapa amal shaleh. Misalnya sabda
beliau shallallahualaihi wasallam: Barangsiapa yang senang untuk
dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya maka hendaknya
dia menyambung (hubungan baik dengan) kerabatnya .
21

Dalam hadits lain, Rasulullah shallallahualaihi wasallam bersabda:


Barangsiapa yang membunuh orang kafir (di medan jihad) dan dia
mempunyai bukti (atas pembunuhan tersebut) maka dia (yang
berhak) mendapatkan harta yang ada pada orang kafir tersebut .
22

Bagaimana cara mendudukkan hadits-hadits ini dan yang semakna


dengannya? Karena tidak mungkin Rasulullah shallallahualaihi
wasallam justru menjelaskan dan tidak mengingkari perbuatan yang
jelas-jelas tercela dalam agama.
Syaikh Shaleh bin Abdil Aziz Alu asy-Syaikh telah menjelaskan dan
memerinci hal ini, beliau berkata: Amal-amal shaleh yang dilakukan
oleh seorang hamba dengan menghadirkan (keinginan
mendapatkan) balasan duniawi ada dua macam:
1. Amal yang dilakukannya itu dengan menghadirkan dan
menginginkan balasan duniawi, serta tidak menginginkan
balasan di akhirat, (padahal) amal tersebut tidak dianjurkan
dalam syariat dengan menyebutkan balasan duniawi, seperti
shalat, puasa dan amal-amal ketaatan lainnya, maka amal
seperti ini tidak boleh diniatkan untuk (balasan) duniawi. Kalau
dia menginginkan (balasan) duniawi dengan amal seperti ini
maka (berarti) dia telah berbuat syirik dengan kesyirikan
seperti yang telah dijelaskan di atas.
2. Amal-amal yang dijelaskan dalam syariat akan mendatangkan
balasan di dunia dan dianjurkan dalam Islam dengan
menyebutkan balasannya di dunia.
Seperti shilaturahim(menyambung hubungan baik dengan
kerabat), berbakti kepada orang tua dan yang semisalnya.
Rasulullah shallallahualaihi wasallam telah bersabda:
Barangsiapa yang senang untuk dilapangkan rizkinya dan
dipanjangkan umurnya maka hendaknya dia menyambung
(hubungan baik dengan) kerabatnya .
Amal-amal seperti ini, ketika seorang hamba yang melakukannya
dia menghadirkan (menginginkan) balasan duniawi tersebut,
(meskipun) dia ikhlas kerena Allah (tapi) dia tidak menghadirkan
(menginginkan) balasan akhirat, maka dia masuk dalam ancaman
(buruknya perbuatan ini) dan ini termasuk jenis syirik yang
disebutkan di atas. Akan tetapi jika dia menghadirkan
(menginginkan) balasan duniawi dan balasan akhirat (secara)
bersamaan, (yaitu dengan) dia mengharapkan balasan di sisi Allah
di akhirat (nanti), menginginkan surga dan takut (dengan siksa)
neraka, tapi dia (juga) menghadirkan balasan duniawi dalam amal
ini, maka (yang seperti) ini tidak mengapa (tidak berdosa), karena
syariat Islam tidaklah memotivasi (untuk) mengerjakan amal
23

tersebut dengan menyebutkan balasan duniawi kecuali untuk


mendorong (kita).
Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahualaihi wasallam:
Barangsiapa yang membunuh orang kafir (di medan jihad) dan dia
mempunyai bukti (atas pembunuhan tersebut) maka dia (yang
berhak) mendapatkan harta yang ada pada orang kafir tersebut .
24

Maka barangsiapa yang membunuh orang kafir di (medan) jihad


untuk mendapatkan harta yang ada pada orang kafir tersebut, akan
tetapi tujuan (utamanya) berjihad adalah mengharapkan balasan di
sisi Allah Taala dan semata-mata mencari wajah-Nya, meskipun
keinginannya (terhadap balasan duniawi) ini sebagai tambahan
motivasi baginya. (Ringkasnya), keinginan orang ini tidak terbatas
pada balasan duniawi ini, karena hatinya juga terikat dengan
(balasan) akhirat, maka perbuatan seperti ini tidak mengapa (tidak
berdosa) dan tidak termasuk jenis (perbuatan syirik) yang pertama .
25

B. Menyebutkan manfaat-manfaat duniawi ketika menjelaskan


beberapa hikmah dan faidah amal-amal ibadah. Misalnya, di antara
faidah shalat adalah untuk olah raga dan melatih otot, demikian
juga puasa, di antara faidahnya adalah mengurangi kelebihan cairan
dalam tubuh, mengatur jadwal makan (diet), menyehatkan lambung
dan saluran pencernaan. Apakah ini diperbolehkan?
Syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin menjawab pertanyaan ini
dalam ucapan beliau: Semestinya kita tidak boleh menjadikan
(menyebutkan) manfaat-manfaat duniawi sebagai asal (yang
utama). Karena Allah tidak menyebutkan hal-hal tersebut dalam alQur-an, tetapi yang Allah sebutkan (dalam al-Qur-an) adalah bahwa
shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar (buruk), juga
tentang puasa adalah sebab untuk (meraih) takwa kepada-Nya.
Maka faidah-faidah agama dalam ibadah inilah (yang dijadikan) asal
(yang utama), sedangkan faidah-faidah duniawi (dijadikan) nomor
kedua (sekunder). Oleh karena itu, ketika kita menjelaskan hal ini di
depan orang-orang awam, maka (hendaknya) kita menyampaikan
kepada mereka segi-segi (faidah dan hikmah) yang berhubungan
dengan agama. (Terkecuali) tatkala kita menjelaskan hal ini di depan
orang yang tidak merasa puas kecuali dengan sesuatu (faidah) yang
bersifat duniawi maka (kita boleh) menjelaskan kepadanya segi-segi

(faidah dan hikmah) yang berhubungan dengan agama dan dunia


(sekaligus). Penjelasan yang kita sampaikan (hendaknya)
disesuaikan dengan kondisi (orang yang ada di hadapan kita) .
26

C. Menuntut ilmu agama di universitas-universitas Islam negeri yang


kurikulumnya berdasarkan manhaj Ahlus sunnah wal jamaah,
seperti universitas-universitas di Arab Saudi, kemudian setelah lulus
akan mendapatkan ijazah dan gelar, baik itu Lc (Licence), MA
(Master of arts) ataupun Dr (doktor), apakah ini diperbolehkan dan
tidak termasuk melakukan amal shaleh dengan keinginan duniawi?
Syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin menjawab pertanyaan ini
dengan perincian sebagai berikut:
Kalau niat dan keinginan orang yang belajar di universitasuniversitas tersebut hanya untuk mendapatkan gelar tersebut
dan tidak ada niat untuk agama, maka jelas ini termasuk
perbuatan buruk yang dijelaskan di atas.
Kalau niatnya untuk agama dan akhirat, akan tapi dia
menjadikan gelar tersebut hanya sebagai sarana untuk
memudahkan dia diterima dan mendapat pengakuan
masyarakat, sehingga dengan itu dia lebih mudah mendakwahi
dan mengajak mereka ke jalan Allah, karena di jaman sekarang
kebanyakan orang sangat memperhitungkan gelar resmi, maka
ini diperbolehkan dan niat ini adalah niat yang benar .
27

Cara untuk menyelamatkan diri dari keburukan besar ini


Semua kebaikan ada di tangan Allah Taala, tidak ada seorangpun
yang mampu melakukan kebaikan kecuali dengan pertolongan-Nya
dan tidak ada yang bisa menyelamatkannya dari keburukan kecuali
Allah Taala.
Allah Taala berfirman:







.






}






{




Jika Allah menimpakan suatu keburukan kepadamu, maka tidak


ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah
menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang dapat
menolak kurnia-Nya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa
yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dialah Yang
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS Yuunus: 107).
Khususnya yang berhubungan dengan pemurnian tauhid dan ibadah
kepada Allah Taala maka manusia tidak akan mungkin meraihnya
tanpa pertolongan-Nya. Renungkanlah makna firman-Nya:

}
{


Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah
kami memohon pertolongan (QS al-Faatihah:5).
Oleh karena itu, tekun berdoa kepada Allah Taala dengan sungguhsungguh untuk memohon taufik-Nya dalam memurnikan tauhid dan
menjauhi perbuatan syirik dalam segala bentuk dan jenisnya, ini
termasuk sebab terbesar untuk meraih penjagaan dari-Nya dari
keburukan besar ini.
Di antara doa yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahualaihi
Wasallam kepada kita yang berhubungan dengan penjagaan dari
perbuatan syirik adalah doa:


Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari perbuatan
menyekutukan-Mu yang aku ketahui, dan aku memohon ampun
kepada-Mu dari apa yang tidak aku ketahui (sadari) .
28

Kemudian termasuk sebab yang paling penting untuk memudahkan


kita meraih keikhlasan dalam ibadah dan terhindar dari keburukan
syirik dalam segala bentuknya adalah berusaha keras dan berjuang
menundukkan hawa nafsu dan keinginannya yang buruk. Inilah sifat
penghuni surga yang dipuji oleh Allah Taala dalam firman-Nya:

{ {






{




}




Adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Rabbnya (Allah


Taala) dan menahan diri dari (memperturutkan) keinginan hawa
nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal (mereka)
(QS an-Naaziaat: 40-41).
Keinginan hawa nafsu yang paling penting dan paling sulit untuk
ditundukkan, kecuali bagi orang-orang yang dimudahkan oleh
Allah Taala, adalah kecintaan dan ambisi mengejar dunia yang
berlebihan serta keinginan untuk selalu mendapatkan pujian dan
sanjungan. Inilah dua penyakit hati terbesar yang merupakan
penghalang utama untuk meraih keikhlasan dalam beribadah
kepada Allah Taala.
Imam Ibnul Qayyim berkata: Tidak akan berkumpul (bertemu)
keikhlasan dalam hati dengan keinginan (untuk mendapat) pujian
dan sanjungan serta kerakuasan terhadap (harta benda duniawi)
yang ada di tangan manusia, kecuali seperti berkumpulnya air dan
api (tidak mungkin berkumpul selamanya) Maka jika terbersit
dalam dirimu (keinginan) untuk meraih keikhlasan, yang pertama
kali hadapilah (sifat) rakus terhadap dunia dan penggallah sifat
buruk ini dengan pisau putus asa (dengan balasan duniawi yang
ada di tangan manusia). Lalu hadapilah (keinginan untuk mendapat)
pujian dan sanjungan, bersikap zuhudlah (tidak butuh) terhadap
semua ituKalau kamu sudah bisa melawan sifat rakus terhadap
dunia dan bersikap zuhud terhadap pujian dan sanjungan manusia
maka (meraih) ikhlas akan menjadi mudah bagimu .
29

Lebih lanjut, Imam Ibnul Qayyim menjelaskan cara untuk


menghilangkan dua pernyakit buruk penghalang keikhlasan
tersebut, beliau berkata: Adapun (cara untuk) membunuh (sifat)
rakus (terhadap balasan duniawi yang ada di tangan manusia, itu
akan dimudahkan bagimu dengan kamu memahami secara yakin
bahwa tidak ada sesuatupun yang diinginkan oleh (manusia) kecuali
di tangan Allah semata perbendaharaannya, tidak ada yang
memiliki/menguasainya selan Dia Subhanahu Wa Taala dan tidak
ada yang dapat memberikannya kepada hamba kecuali
Dia Subhanahu Wa Taala semata. Adapun (berskap) zuhud terhadap
pujian dan sanjungan, itu akan dimudahkan bagimu dengan kamu
memahami (secara yakin) bahwa tidak ada satupun yang pujiannya
bermanfaat serta mendatangkan kebaikan dan celaannya

mencelakakan dan mendatangkan keburukan kecuali Allah satusatunya .


30

Demikianlah, semoga tulisan ini bermanfaat bagi semua yang


membacanya dan menjadi sebab taufik dari Allah Taala bagi kita
untuk memurnikan tauhid dan penghambaan diri kepada-Nya serta
penjagaan dari segala bentuk kesyirikan yang besar maupun kecil.


Kota Kendari, 12 Rabiuts tsani 1434
1 Dinukil oleh Imam Ibnu Rajab dalam kitab Jaamiul uluumi wal
hikam (hal. 17).
2 Dinukil oleh Syaikh Bakr Abu Zaid dalam kitab Hilyatu thaalibil
ilmi (hal. 11).
3 Kitab al-Jawaabul kaafi (hal. 94).
4 Lihat kitab Fathul Majiid (hal. 451).
5 Ibid.
6 Kitab at-Tamhiid lisyarhi kitaabit tauhiid (hal. 404-405).
7 Dinukil oleh Syaikh Abdur Rahman bin Hasan Alu asy-Syaikh
dalam kitab Fathul Majiid (hal. 451).
8 Dinukil oleh Imam Ibnu Jarir ath-Thabari dalam tafsir beliau
(15/264).
9 Kitab al-Qaulul mufiid ala kitaabit tauhiid (2/242).
10 Lihat kitab at-Tamhiid lisyarhi kitaabit tauhiid (hal. 404).

11 Lihat kitab Taisiirul Aziizil Hamiid (hal. 473) dan Fathul Majiid
(hal. 451).
12 Lihat keterangan Syaikh Bin Baz pada catatan kaki kitab Fathul
Majiid (hal. 452).
13 Lihat kitab Fathul Majiid (hal. 452).
14 HR Ibnu Majah (no. 4105), Ahmad (5/183), ad-Daarimi (no. 229),
Ibnu Hibban (no. 680) dan lain-lain dengan sanad yang shahih,
dinyatakan shahih oleh Ibnu Hibban, al-Bushiri dan syaikh al-Albani.
15 HSR al-Bukhari (no. 2730), dari Abu Hurairah .
16 Lihat keterangan Imam Ibnul Qayyim dalam Igaatsatul lahfaan
(2/149).
17 Lihat keterangan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmuuul
fataawa (10/180).
18 Dalam kitab Fathul Majiid (hal. 453-454).
19 Kitab al-Qaulul mufiid ala kitaabit tauhiid (2/243).
20 Lihat keterangan Syaikh al-Utsaimin dalam kitab al-Qaulul
mufiid ala kitaabit tauhiid (2/245).
21 HSR al-Bukhari (no. 1961) dan Muslim (no. 2557).
22 HSR al-Bukhari (no. 2973) dan Muslim (no. 1751).
23 HSR al-Bukhari (no. 1961) dan Muslim (no. 2557).
24 HSR al-Bukhari (no. 2973) dan Muslim (no. 1751).
25 Kitab at-Tamhiid lisyarhi kitaabit tauhiid (hal. 406-407).
26 Kitab al-Qaulul mufiid ala kitaabit tauhiid (2/245).

27 Lihat kitab al-Qaulul mufiid (2/244) dan al-Ilmu (hal. 21).


28 HR al-Bukhari dalam al-Adabul mufrad (no. 716) dan Abu Yala
(no. 60), dinyatakan shahih oleh syaikh al-Albani.
29 Kitab al-Fawa-id (hal. 150).
30 Kitab al-Fawa-id (hal. 150).
Penulis: Ustadz Abdullah Taslim Al Buthony, MA.
Artikel Muslim.Or.id

Anda mungkin juga menyukai