Anda di halaman 1dari 16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tuberkulosis
Tuberkulosis, singkatnya TB, adalah suatu penyakit menular yang paling
sering (sekitar 80%) terjadi di paru-paru. Penyebabnya adalah suatu basil Grampositif tahan-asam dengan pertumbuhan sangat lamban, yakni Mycobacterium
tuberculosis (Tjay dan Rahardja, 2002).
Umumnya Mycobacterium tuberculosis menyerang paru dan sebagian
kecil organ tubuh lain. Kuman ini mempunyai sifat khusus, yakni tahan terhadap
asam pada pewarnaan, hal ini dipakai untuk identifikasi dahak secara
mikroskopis, sehingga disebut sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Mycobacterium
tuberculosis cepat mati dengan matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup
pada tempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh, kuman dapat dormant
(tertidur sampai beberapa tahun) (Depkes RI, 2005).
Gejala TB antara lain batuk kronik, demam, berkeringat waktu malam,
keluhan pernapasan, perasaan letih, malaise, hilang nafsu makan, turunnya berat
badan, dan rasa nyeri di bagian dada. Dahak penderita berupa lendir (mucoid),
purulent, atau mengandung darah (Tjay dan Rahardja, 2002).
Penularan TB sangat dipengaruhi oleh masalah lingkungan, perilaku sehat
penduduk, ketersediaan sarana pelayanan kesehatan. Masalah lingkungan yang
terkait seperti masalah kesehatan yang berhubungan dengan perumahan,
kapadatan

anggota

keluarga,kepadatan

penduduk,

konsentrasi

kuman,

ketersediaan cahaya matahari, dll. Sedangkan masalah perilaku sehat antara lain
akibat dari meludah sembarangan, batuk sembarangan, kedekatan anggota

Universitas Sumatera Utara

keluarga, gizi yang kurang atau tidak seimbang, dll. Untuk sarana pelayanan
kesehatan, antara lain menyangkut ketersediaan obat, penyuluhan tentang
penyakit dan mutu pelayanan kesehatan (Depkes RI, 2005).
Pengobatan infeksi kuman tahan asam masih merupakan persoalan dan
tantangan dalam bidang kemoterapi. Menurut Zubaidi (1995), faktor yang
mempersulit pengobatan ialah :
1. Kurangnya daya tahan hospes terhadap mikobakteria
2. Kurangnya daya bakterisid obat yang ada
3. Timbulnya resistensi kuman terhadap obat, dan
4. Masalah efek samping obat.
Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang sering digunakan dewasa ini adalah
Isoniazid, Rifampisin, Pirazinamid, dan Etambutol. Semua obat ini bersifat
bakterisid, kecuali Etambutol yang bersifat bakteriostatik (Suryatenggara, 1990).

2.2 Isoniazid (Ditjen POM, 1979)

Piridina-4-karboksil-hidrazida

Pemerian : hablur tidak berwarna atau serbuk hablur putih; tidak berbau; rasa agak
pahit; terurai perlahan-lahan oleh udara dan cahaya.
Kelarutan : mudah larut dalam air; agak sukar larut dalam etanol (95%) P sukar
larut dalam kloroform P dan dalam eter P.

Universitas Sumatera Utara

Rumus Molekul (RM)

: C6H7N3O

Bobot Molekul (BM)

: 137,14

2.3 Farmakokinetika Isoniazid


Derivat asam isonikotinat ini berkhasiat tuberkulostatis paling kuat
terhadap Mikobakterium tuberkulosis (dalam fase istirahat) dan bersifat bakterisid
terhadap basil yang sedang tumbuh pesat. Isoniazid masih tetap merupakan obat
kemoterapi terpenting terhadap berbagai tipe tuberkulosa dan selalu dalam bentuk
multipel terapi dengan rifampisin dan pirazinamida (Tjay dan Rahardja, 2002).
Isoniazid langsung diserap dari saluran cerna. Pemberian dosis oral
sebesar 300 mg (5 mg/kg untuk anak-anak) menghasilkan konsentrasi plasma
puncak 3-5 g/ml dalam 1-2 jam. Isoniazid langsung berdifusi secara cepat dalam
darah ke seluruh cairan tubuh dan jaringan (Chambers, 2004).
Mekanisme kerja isoniazid memiliki efek pada lemak, biosintesis asam
nukleat,dan glikolisis. Efek utamanya ialah menghambat biosintesis asam mikolat
(mycolic acid) yang merupakan unsur penting dinding sel mikobakterium (Tjay
dan Rahardja, 2002).
Efek sampingnya pada dosis normal (200-300 mg sehari) jarang dan
ringan (gatal-gatal, ikterus), tetapi lebih sering terjadi bila dosis melebihi 400 mg .
Yang terpenting adalah polineuritis, yakni radang saraf dengan gejala kejang dan
gangguan penglihatan. Penyebabnya adalah persaingan dengan piridoksin yang
rumus kimianya mirip INH. Perasaan tidak sehat, letih dan lemah, serta anoreksia
adalah lazim pula. Guna menghindari reaksi toksis ini biasanya diberikan vitamin

Universitas Sumatera Utara

B6 (piridoksin) 10-20 mg sehari bersama vitamin B1 (aneurin) 100 mg (Tjay dan


Rahardja, 2002).
Resistensi dapat timbul agak cepat bila digunakan sebagai obat tunggal,
tetapi resistensi silang dengan obat-obat TBC lainnya tidak terjadi (Tjay dan
Rahardja, 2002).
Pengobatan dengan OAT dulu biasanya hanya berupa pemberian obat
tunggal dan hanya dalam waktu yang singkat. Hasilnya ternyata kurang
memuaskan karena banyak dijumpai kekambuhan disebabkan masalah resistensi.
Muncul pemikiran untuk memperpanjang waktu pengobatan untuk mengurangi
kekambuhan serta menggunakan kombinasi obat untuk mencegah timbulnya
resistensi (Zubaidi, 1995).

2.4 Monitoring Kadar Terapeutik Obat


Yang dimaksud dengan monitoring kadar terapeutik obat adalah
pemeriksaan secara berkala kadar obat dalam darah guna membantu klinisi dalam
menentukan dosis obat yang dapat menyembuhkan atau mengobati penyakit
penderita (Muchtar, 1985).
Pemantauan konsentrasi obat dalam darah atau plasma meyakinkan bahwa
dosis yang telah diperhitungkan benar-benar telah melepaskan obat dalam plasma
dalam kadar yang diperlukan untuk efek terapetik. Untuk beberapa obat, kepekaan
reseptor pada individu berbeda, sehingga pemantauan kadar obat dalam plasma
diperlukan untuk membedakan penderita yang menerima terlalu banyak obat dan
penderita yang sangat peka terhadap obat. Dengan demikian pemantauan terapi

Universitas Sumatera Utara

konsentrasi obat dalam plasma memungkinkan untuk penyesuaian dosis obat


secara individual dan juga untuk mengoptimasi terapi (Shargel, 1988).
Dalam pemberian obat-obat yang poten kepada penderita, sudah
seharusnya mempertahankan kadar obat dalam plasma berada dalam batas yang
dekat dengan konsentrasi terapetik. Karena perbedaan antar penderita dalam hal
absorpsi, distribusi dan eliminasi obat maupun perubahan kondisi patofisioliogik
penderita, maka dalam beberapa rumah sakit telah ditetapkan adanya pelayanan
pemantauan terapetik obat atau Therapeutic Drug Monitoring (TDM) untuk
menilai respon penderita terhadap aturan dosis yang dianjurkan (Shargel, 1988).
Menurut Shargel (1988), fungsi dari pelayanan TDM yaitu:
1. Memilih obat
2. Merancang aturan dosis
3. Menilai respons penderita
4. Menentukan perlunya pengukuran konsentrasi obat dalam serum
5. Menetapkan kadar obat
6. Melakukan penilaian secara farmakokinetik kadar obat
7. Menyesuaikan kembali aturan dosis
8. Memantau konsentrasi obat dalam serum
9. Menganjurkan adanya persyaratan khusus.
Tujuan dari proses pemantauan terapi obat adalah menyesuaikan terapi
obat

pada

karakteristik

pasien

individu,

memaksimalkan

manfaat

dan

meminimalkan resiko. Respon terhadap terapi obat adalah suatu fenomena yang
kompleks dan dipengaruhi oleh obat yang digunakan pasien yang diterimanya dari
dokter yang menulisnya. Berbagai sifat farmakokinetik seperti absorbsi, distribusi,

Universitas Sumatera Utara

metabolisme, ekskresi dan durasi kerja harus dipertimbangkan apabila mendesain


suatu regimen obat. (Siregar dan Endang, 2004).

2.5 Plasma dan Darah


Darah lengkap berisi unsur-unsur seluler yang terdiri dari sel darah merah,
sel darah putih, platelet, dan berbagai macam protein lain seperti albumin dan
globulin. Secara umum, serum atau plasma digunakan untuk pengukuran obat.
Perbedaan serum dan plasma yaitu:
Untuk memperoleh serum, darah dibiarkan menggumpal kemudian disentrifugasi.
Supernatan yang diperoleh setelah disentrifugasi itulah yang disebut serum.
Serum tdak mengandung fibrinogen.
Sedangkan plasma diperoleh dari darah yang telah ditambahkan antikoagulan
seperti heparin, kemudian disentrifugasi, supernatannya inilah yang disebut
plasma (Shargel, 1941).
Darah yang dikumpulkan dan dicegah dari pembekuan dengan
menambahkan antikoagulan (heparin, sitrat dan sebagainya), bila disentrifugasi
akan terpisah, menjadi lapisan-lapisan yang menggambarkan heterogenitasnya.
Hasil yang diperoleh dengan sedimentasi ini, yang dilakukan dalam tabung gelas
standar adalah hematokrit. Cairan translusen, kekuningan dan sedikit kental yang
terletak di atas bila hematokrit diukur adalah plasma darah. Lapisan tepat di
atasnya (1% volume darah) yang berwarna putih atau kelabu dinamakan buffy
coat dan terdiri atas leukosit. Plasma darah merupakan bagian cair darah. Cairan
ini didapat dengan membuat darah tidak beku dan sel darah tersentrifugasi.
Plasma terdiri dari 90% air, 7-8% protein, dan di dalam plasma terkandung

Universitas Sumatera Utara

beberapa komponen lain seperti garam-garam, karbohidrat, lipid, dan asam amino
(Junqueira dan Carneiro, 1982).

Plasma
Buffy coat
Sel darah merah
Anonimb (2008).

2.6 Kromatografi
Kromatografi adalah istilah umum untuk berbagai cara pemisahan
berdasarkan partisi cuplikan antara fase yang bergerak, dapat berupa gas atau zat
cair, dan fase diam, dapat berupa zat cair atau zat padat (Edward dan Stevenson,
1991).
2.6.1 Pembagian Kromatografi
Menurut Rohman (2007), kromatografi dapat dibedakan atas berbagai
macam tergantung pada pengelompokannya yaitu berdasarkan pada alat yang
digunakan dan berdasarkan pada mekanisme pemisahannya.
Berdasarkan alat yang digunakan, kromatografi dapat dibagi atas:
a) Kromatografi kertas
b) Kromatografi lapis tipis
c) Kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT)
d) Kromatografi gas
Berdasarkan pada mekanisme pemisahannya, kromatografi dibedakan menjadi :
a) Kromatografi adsorbsi

Universitas Sumatera Utara

b) Kromatografi partisi
c) Kromatografi pasangan ion
d) Kromatografi penukar ion
e) Kromatografi eksklusi ukuran, dan
f) Kromatografi afinitas

2.6.2 Penggunaan Kromatografi


Menurut Gritter (1991), penggunaan kromatografi antara lain yaitu:
1. Pemakaian untuk tujuan kualitatif mengungkapkan ada atau tidak adanya
senyawa tertentu dalam cuplikan
2. Pemakaian untuk tujuan kuantitatif menunjukkan banyaknya masing-masing
komponen campuran
3. Pemakaian untuk tujuan preparatif untuk memperoleh komponen campuran
dalam jumlah memadai dalam keadaan murni.

2.6.3 Profil Puncak dan Pelebaran Puncak


Selama pemisahan kromatografi, solut individual akan membentuk profil
konsentrasi yang simetris atau dikenal juga dengan profil Gaussian dalam arah
aliran fase gerak. Profil dikenal juga dengan punak atau pita, secara perlahanlahan akan melebar dan sering juga membentuk profil yang asimetrik karena
solutsolut melanjutkan migrasinya ke fase diam (Rohman, 2007)
Ada 2 jenis puncak asimetris yakni membentuk puncak yang berekor
(tailing) dan adanya puncak pendahulu (fronting) jika ada perubahan rasio
distribusi solut yang lebih besar (Rohman, 2007).

Universitas Sumatera Utara

Baik

tailing

maupun

fronting

tidak

dikehendaki

karena

dapat

menyebabkan pemisahan kurang baik dan data retensi kurang reprodusibel.


Menurut Rohman (2007), adanya puncak yang asimetri dapat disebabkan oleh halhal berikut:
a) Ukuran sampel yang dianalisis terlalu besar. Jika sampel terlalu besar
maka fase gerak tidak mampu membawa solute dengan sempurna
karenanya akan terjadi pengekoran atau tailing.
b) Interaksi yang kuat antara solute dengan fase diam dapat menyebabkan
solute sukar terelusi sehingga dapat menyebabkan terbentuknya puncak
yang mengekor.
c) Adanya kontaminan dalam sampel yang dapat muncul terlebih dahulu
sehingga menimbulkan puncak mendahului (fronting).
Untuk menentukan tingkat asimetri puncak dilakukan dengan menghitung
faktor asimetris atau disebut juga dengan tailing factor (TF) yang dinyatakan
dengan rasio antara lebar setengah tinggi puncak. Kromatogram yang memberikan
harga TF=1 menunjukkan bahwa kromatogram tersebut bersifat setangkup atau
simetris. Harga TF>1 menunjukkan bahwa kromatogram mengalami pengekoran
(tailing). Semakin besar harga TF maka kolom yang dipakai semakin kurang
efisien. Dengan demikian harga TF dapat digunakan untuk melihat efisiensi
kolom kromatografi (Rohman, 2007).

2.7 Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)


Kromatografi cair kinerja tinggi merupakan sistem pemisahan dengan
kecepatan dan efisiensi yang tinggi karena didukung oleh kemajuan dalam

Universitas Sumatera Utara

teknologi kolom, sistem pompa tekanan tinggi, dan detektor yang sangat sensitif
dan beragam sehingga mampu menganalisa berbagai cuplikan secara kualitatif
maupun kuantitatif, baik dalam komponen tunggal maupun campuran (Ditjen
POM, 1995).
KCKT merupakan teknik pemisahan yang diterima secara luas untuk
analisis dan pemurnian senyawa tertentu dalam suatu sampel pada sejumlah
bidang antara lain; farmasi, lingkungan, bioteknologi, polimer dan industriindustri makanan (Rohman, 2007).
Kegunaan umum KCKT adalah untuk pemisahan sejumlah senyawa
organik,

anorganik,

maupun

senyawa

biologis,

analisis

ketidakmurnian

(impurities) dan analisis senyawa-senyawa yang tidak mudah menguap


(nonvolatil). KCKT paling sering digunakan untuk: menetapkan kadar senyawasenyawa tertentu seperti asam-asam amino, asam-asam nukleat dan proteinprotein dalam cairan fisiologis, menentukan kadar senyawa-senyawa aktif obat
dan lain-lain (Rohman, 2007).
Menurut Putra (2007), kelebihan KCKT antara lain:
1. Mampu memisahkan molekul-molekul dari suatu campuran
2. Resolusinya baik
3. Mudah melaksanakannya
4. Kecepatan analisis dan kepekaannya tinggi
5. Dapat dihindari terjadinya dekomposisi/kerusakan bahan yang dianalisis
6. Dapat digunakan bermacam-macam detektor
7. Kolom dapat digunakan kembali
8. Mudah melakukan rekoveri cuplikan

Universitas Sumatera Utara

9. Tekniknya tidak

begitu

tergantung

pada keahlian operator dan

reprodusibilitasnya lebih baik


10. Instrumennya memungkinan untuk bekerja secara automatis dan
kuantitatif
11. Waktu analisis umumnya singkat
12. Kromatografi cair preparatif memungkinkan dalam skala besar
13. Ideal untuk molekul besar dan ion.
2.7.1 Cara Kerja KCKT
Kromatografi merupakan teknik yang mana solut atau zat-zat terlarut
terpisah oleh perbedaan kecepatan elusi, dikarenakan solut-solut ini melewati
suatu kolom kromatografi. Pemisahan solut-solut ini diatur oleh distribusi solut
dalam fase gerak dan fase diam. Penggunaan kromatografi cair secara sukses
terhadap suatu masalah yang dihadapi membutuhkan penggabungan secara tepat
dari berbagai macam kondisi operasional seperti jenis kolom, fase gerak, panjang
dan diameter kolom, kecepatan alir fase gerak, suhu kolom, dan ukuran sampel
(Rohman, 2007).

2.7.2 Komponen-Komponen Alat KCKT


2.7.2.1 Wadah Fase Gerak
Wadah fase gerak terbuat dari bahan yang inert terhadap fase gerak. Bahan
yang umum digunakan adalah gelas dan baja anti karat. Daya tampung tandon
harus lebih besar dari 500 ml, yang dapat digunakan selama 4 jam untuk
kecepatan alir yang umumnya 1-2 ml/menit (Putra, 2007).

Universitas Sumatera Utara

2.7.2.2 Pompa
Pompa yang cocok digunakan untuk KCKT adalah pompa yang
mempunyai syarat sebagaimana syarat wadah pelarut yakni: pompa harus inert
terhadap fase gerak. Bahan yang umum dipakai untuk pompa adalah gelas, baja
tahan karat, teflon, dan batu nilam. Pompa yang digunakan sebaiknya mampu
memberikan takanan sampai 5000 psi dan mampu mengalirkan fase gerak dengan
kecepatan alir 3 ml/menit. Ada 2 jenis pompa dalam KCKT yaitu: pompa dengan
tekanan konstan, dan pompa dengan aliran fase gerak yang konstan. Tipe pompa
dengan aliran fase gerak yang konstan sejauh ini lebih umum dibandingkan
dengan tipe pompa dengan tekanan konstan (Rohman, 2007).
2.7.2.3 Injektor
Cuplikan yang akan dianalisis dimasukkan ke bagian ujung kolom, harus
dengan disturbansi yang minimum dari material kolom. Ada dua model umum
yaitu: Stopped Flow dan Solvent Flowing. Menurut Putra (2007) ada tiga tipe
dasar injektor yang dapat digunakan yaitu:
a. Hentikan aliran/stop flow: aliran dihentikan, injeksi dilakukan pada kinerja
atmosfir, sistem tertutup, dan aliran dilanjutkan lagi. Teknik ini bisa
digunakan karena difusi di dalam aliran kecil dan resolusi tidak
dipengaruhi.
b. Septum: injektor-injektor langsung ke aliran fase gerak umumnya sama
dengan yang digunakan pada kromatografi gas. Injektor ini dapat
digunakan pada kinerja sampai 60-70 atmosfir. Tetapi septum ini tidak
tahan dengan semua pelarut-pelarut kromatografi cair. Disamping itu,

Universitas Sumatera Utara

partikel kecil dari septum yang terkoyak (akibat jarum injektor) dapat
menyebabkan penyumbatan.
c. Katup putaran (loop valve): tipe injektor ini umumnya digunakan untuk
menginjeksi volume lebih besar dari pada 10 l dan sekarang digunakan
dengan cara automatis (dengan adaptor khusus, volume-volume lebih kecil
dapat diinjeksikan secara manual). Pada posisi LOAD, sampel loop
(cuplikan dalam putaran) diisi pada tekanan atmosfir. Bila katup
difungsikan, maka cuplikan di dalam putaran akan bergerak ke dalam
kolom.

Gambar 3. Tipe injektor katup putara


2.7.2.4 Kolom
Kolom

merupakan jantung kromatograf. Keberhasilan atau kegagalan

analisis bergantung pada pilihan kolom dan kondisi kerja yang tepat. Menurut
Edward dan Stevenson (1991) kolom dapat dibagi menjadi dua kelompok:
a. Kolom analitik: garis tengah-dalam 2-6 mm. Panjang bergantung pada
jenis kemasan, untuk kemasan pelikel biasanya panjang kolom 50-100 cm,
untuk kemasan mikropartikel berpori biasanya 10-30 cm.

Universitas Sumatera Utara

b. Kolom preparatif: umumnya bergaris tengah 6 mm atau lebih besar dan


panjang 25-100 cm.

2.7.2.5 Detektor
Suatu detektor dibutuhkan untuk mendeteksi adanya komponen cuplikan
dalam aliran yang keluar dari kolom. Detektor-detektor yang baik memiliki
sensitifitas yang tinggi, gangguan (noise) yang rendah, kisar respons linier yang
luas, dan memberi tanggapan/respon untuk semua tipe senyawa. Suatu kepekaan
yang rendah terhadap aliran dan fluktuasi temperatur sangat diinginkan, tetapi
tidak selalu dapat diperoleh (Putra, 2007).
Detektor yang merupakan tulang punggung kromatografi cair kecepatan
tinggi modern (KCKT) ialah detektor UV 254 nm (Edward dan Stevenson, 1991).

2.8 Elusi Gradien dan Isokratik


Menurut Putra (2007), elusi pada KCKT dapat dibagi menjadi dua sistem
yaitu:
1. Sistem elusi isokratik. Pada sistem ini, elusi dilakukan dengan satu macam
atau lebih fase gerak dengan perbandingan tetap.
2. Sistem elusi gradien. Pada sistem ini, elusi dilakukan dengan campuran fase
gerak yang perbandingannya berubah-ubah dalam waktu tertentu.
Elusi gradien didefinisikan sebagai penambahan kekuatan fase gerak
selama suatu analisis kromatografi berlangsung. Pengaruh yang menguntungkan
dari elusi gradien adalah memperpendek waktu analisis senyawa-senyawa yang
secara kuat ditahan di dalam kolom (Putra, 2007).

Universitas Sumatera Utara

2.9 Fase Gerak


Fase gerak atau eluen biasanya terdiri atas campuran pelarut yang dapat
bercampur yang secara keseluruhan berperan dalam daya elusi dan resolusi. Daya
elusi dan resolusi ini ditentukan oleh polaritas keseluruhan pelarut, polaritas fase
diam, dan sifat komponen-komponen sampel. Untuk fase normal (fase diam lebih
polar daripada fase gerak), kemampuan elusi meningkat dengan meningkatnya
polaritas pelarut. Sementara untuk fase terbalik (fase diam kurang polar daripada
fase gerak), kemampuan elusi menurun dengan meningkatnya polaritas pelarut
(Rohman, 2007).
Dalam kromatografi cair komposisi pelarut atau fase gerak adalah satu
variabel yang mempengaruhi pemisahan. Terdapat keragaman yang luas dari fase
gerak yang digunakan dalam semua mode KCKT, tetapi ada beberapa sifat-sifat
yang diinginkan yang mana umumnya harus dipenuhi oleh semua fase gerak.
Menurut Putra (2007), fase gerak harus:
1) Murni; tidak ada pencemar/kontaminan
2) Tidak bereaksi dengan pengemas
3) Sesuai dengan detektor
4) Melarutkan cuplikan
5) Mempunyai viskositas rendah
6) Mudah rekoveri cuplikan, bila diinginkan
7) Tersedia diperdagangan dengan harga yang pantas
Umumnya, pelarut-pelarut dibuang setelah digunakan karena prosedur
pemurnian kembali membosankan dan mahal. Dari semua persyaratan di atas, 4
persyaratan pertama adalah yang paling penting (Putra, 2007).

Universitas Sumatera Utara

Gelembung udara yang ada harus dihilangkan dari pelarut dengan cara
degassing, karena udara yang terlarut keluar melewati detektor dapat
menghasilkan banyak noise sehingga data tidak dapat digunakan (Putra, 2007).

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai