Anda di halaman 1dari 6

Industri Petrokimia di Indonesia

Petrokimia adalah suatu bidang industri yang sangat potensial bila dikembangkan di negaranegara yang kaya dengan sumber daya minyak bumi dan gas alam. Hal ini dikarenakaan
bahan baku petrokimia berasal dari kedua sumber alam tersebut, antara lain bahan baku
berasal dari kilang minyak adalah fuel gas, propana, butana, nafta, kerosin, fuel oil, dan
short residue/ waxy residue, sedangkan bahan baku petrokimia yang berasal dari gas alam
adalah metana, etana, propana, butana, dan kondensat (C5H12-C11H24). Perkembangan industri
petrokimia di Indonesia bergantung pada pasokan bahan baku minyak bumi dan gas alam dari
kilang minyak bumi dan sumber gas bumi yang tersebar di beberapa kota diantaranya
Cilacap, Balongan, Dumai, Musi, dan Balikpapan, sedangkan sumber gas bumi berada di
Natuna, Bontang, dan gas Arun. Kebergantungan bahan baku ini menyebabkan
perkembangan industri petrokimia di Indonesia belum maksimal karena berlangsungnya
kegiatan ekspor bahan baku sebesar 60 persen padahal permintaan bahan baku dalam negeri
belum terpenuhi.
Produk yang dihasilkan dari industri petrokimia dapat dikategorikan menjadi 4 sub
produk, yaitu produk dasar, produk antara, produk akhir, dan produk jadi. Produk dasar
petrokimia di antaranya adalah etilena, benzena, toluena, xilena, dan n-parafin; produk antara
petrokimia di antaranya adalah amonia, urea, metanol, etanol, etil klorida, dan propilen
oksida; produk akhir di antaranya polietena, poli vinil klorida, polistirena, dan nilon; produk
jadi adalah produk siap pakai pada kegiatan sehari-hari misalnya barang-barang rumah
tangga. Pada industri petrokimia di bagian hulu, kegiatan produksi yang dilakukan sebatas
produk baku dan produk antara sedangkan pada indutri hilir (UKM), kegiatan produksi
ditekankan pada pengolahan produk antara menjadi produk akhir dan produk siap pakai.
Beberapa manfaat produk petrokimia yang dikenal oleh masyarakat awal antara lain
aspal, lilin, polipropilena sebagai bahan baku kantung plastik, pelarut (solvent), dan oli untuk
kendaraan bermotor. Lilin yang diproduksi dari bahan baku minyak bumi dikenal sebagai
Hard Semi White Wax dan Fully Refined White Wax. Selain sebagai penerangan saat gelap,
lilin digunakan sebagai bahan dasar kertas lilin, bahan baku semir, dan pengkilap mebel.
Produk lain olahan minyak bumi adalah polipropilena adalah kantung plastik, karung plastik,
film, produk cetakan, dan tali. Produk petrokimia olahan minyak bumi juga digunakan pada
sektor pertanian. Produk kimia pertanian terbagi menjadi dua macam, yaitu Tenac Striker
yang bermanfaat sebagai bahan perekat dan pestisida serta TB 192 yang berguna untuk
menutup luka tanaman yang disadap getahnya.

Setelah diguncang krisis 1998, sektor industri petrokimia mulai menunjukkan


pemulihannya. Hal ini diindikasikan dengan meningkatnya konsumsi bahan baku plastik
yang dihasilkan industri petrokimia hulu olefin. Untuk mengantisipasi meningkatnya
permintaan, produsen petrokimia hulu olefin, aromatik maupun yang berbasis gas alam akan
menambah kapasitas produksi. Namun di tengah pemulihan tersebut, industri petrokimia
masih memiliki sejumlah hambatan, seperti pengadaan bahan baku untuk industri hulu
petrokimia. Pertamina hingga saat ini masih memiliki kilang minyak yang aktif memproduksi
nafta, salah satu bahan baku petrokimia. Namun, hampir 60 persen produk nafta yang
dihasilkan justru diekspor untuk memenuhi kontrak kerja sama jangka panjang. Akibatnya,
nafta harus diimpor dengan nilai impor dalam setahun mencapai 2,08 juta ton senilai US$
1,66 miliar, melonjak 30persen dibandingkan impor di tahun 2009 dengan biaya US$ 1,02
miliar.
Kegiatan ekspor bahan baku merupakan suatu tindakan yang merugikan padahal para
penggerak industri petrokimia di Indonesia merasa kesulitan dalam memperoleh bahan baku.
Selain itu, biaya cukai untuk impor dengan negara asal di luar ASEAN belum dibebaskan,
yakni sebesar 15 persen, dan untuk negara ASEAN, biaya bea cukai sebesar 0 persen.
Masalah ini menjadi salah satu penyebab tidak berkembangnya industri petrokimia di
Indonesia. Belum adanya jaminan pasokan ini menyebabkan timbulnya masalah lain yang
timbul yaitu tidak adanya investasi yang ditanamkan pihak asing pada industri petrokimia
Indonesia. Investasi pada sektor industri ini sangat membantu pertumbuhan petrokimia di
Indonesia.
Salah satu solusi yang ditawarkan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan nafta sebagai
bahan baku produksi adalah pembangunan kilang minyak baru yang akan dikonstruksi pada
2012 dan diharapkan beroperasi pada 2015. Pembangunan kilang minyak baru diharapkan
dapat mereduksi impor nafta yang harganya semakin naik. Selain itu, persaingan industri
petrokimia di Indonesia diharapkan mulai kompetitif dengan pesaing dari negara lain. Nafta
sebagai bahan baku sangat penting untuk mendukung kegiatan produksi bahan baku plastik
seperti polipropilena yang dibutuhkan industri plastik nasional sebanyak 1,5 juta 1,6 juta
ton per tahun. Namun, sampai saat ini, kapasitas pemenuhan hanya 600-700 ribu ton.
Pertumbuhan industri petrokimia dari tahun ke tahun diperkirakan pesat dikarenakan
kebutuhan masyarakat terhadap bahan kimia terus meningkat. Pada kegiatan impor,
kebutuhan kimia pada 2007 mencapai 3,7 juta ton dan pada 2008, terjadi peningkatan
permintaan sebesar 0,1 juta ton. Kapasitas produksi bahan kimia naik mencapai 38,24 juta
ton pada 2008 dibandingkan pada 2007 sebesar 37,67 juta ton. Kegiatan ekspor produk di

tahun 2008 pun meningkat menjadi 5,63 juta ton pertahun dari 5,2 juta ton. Masih adanya
kesenjangan antara permintaan dan pemasokan adalah suatu celah untuk pengembangan
bertahap dari industri petrokimia. Kuncinya kembali terletak pada ketersediaan bahan baku.
Selain itu, produk petrokimia yang dihasilkan industri hulu lebih ditekankan untuk
diimpor padahal kebutuhan produk tersebut untuk pertumbuhan industri hilir sangat besar.
Pemerintah berencana untuk mengembangkan industri hilir petrokimia yang meliputi
kegiatan produksi produk akhir dan produk jadi. Kegiatan ini diharapkan dapat mensubtitusi
kegiatan impor bahan baku pada industri hilir yang membutuhkan biaya tidak sedikit.
Minyak bumi adalah sumber daya alam tak terbarukan yang terus menipis karena
kegiatan eksplorasi dan pengeboran yang terus berlangsung. Cadangan minyak bumi di
Indonesia diprediksi tersisa 3,9 miliar barrel dan hanya mampu memenuhi permintaan hingga
11 tahun ke depan. Setiap tahun permintaan minyak meningkat hingga 6 persen. Departemen
Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menargetkan kontribusi minyak terhadap
kebutuhan energi tinggal mencapai 20 persen pada 2025 dari kapabilitas pemenuhan saat ini
sebesar 50,66 persen. Pasokan minyak bumi untuk pemenuhan bahan baku petrokimia adalah
20 persen sedangkan pasokan minyak bumi sebagai bahan bakar sebesar 80 persen.
Sumber gas alam dan batu bara Indonesia lebih melimpah jumlahnya dibandingkan
dengan cadangan minyak bumi. Hal ini menyebabkan pemerintah berencana meningkatkan
peran gas alam sebagai bahan bakar sebesar 30persen di tahun 2025. Pada sektor industri
petrokimia, salah satu usaha pemerintah untuk mengurangi penggunaan bahan baku minyak
bumi pada industri hulu adalah memberikan insentif fiskal, berupa (berdasarkan Peraturan
Pemerintah No.1 Tahun 2007) pengurangan pajak penghasilan, penyusutan dan amortisasi
yang dipercepat, dan kompensasi kerugian yang lebih dari 5 tahun dan tidak lebih dari 10
tahun, untuk pengelola industri petrokimia berbahan baku gas alam atau dikenal dengan
petrokimia berbasis metana. Produk petrokimia berbasis metana antara lain amonia, metanol,
asam nitrat, amonium nitrat, hidrogen peroksida, dan industri pupuk termasuk pupuk
majemuk dan NPK. Pada industri hilir, amonia dan asam nitrat menghasilkan bahan peledak,
pupuk, dan bahan penunjang di industri perkayuan (plywood). Kebutuhan gas alam di
Indonesia menempati urutan ketiga terbesar setelah minyak bumi dan batu bara yaitu
mencapai 13,7 persen pada tahun 2008. Potensi gas bumi yang dimiliki Indonesia
berdasarkan catatan di tahun 2008 mencapai 170 TCSF dan produksi per tahun mencapai
2,87 TCSF. Cadangan gas alam diperkirakan habis dalam kurun waktu 59 tahun. Sebagian
besar gas alam yang diproduksi dipasok untuk pemenuhan LNG sebesar 1,3 TCSF per tahun,
sementara untuk pemenuhan pasar dalam negeri, gas alam dipasok sekitar 320 juta TCSF per

tahun. Walaupun sumber daya alam lain dapat dijadikan sebagai bahan baku petrokimia,
seperti gas alam, sumber daya tak terbarukan tetap saja tidak akan berumur panjang.
Pemerintah menargetkan Indonesia untuk menjadi produsen produk petrokimia kedua
setelah Thailand dengan realisasi melalui program hirilisasi di sektor industri petrokimia.
Menteri Perindustrian, MS Hidayat menyatakan bahwa pengembangan di sektor hilir sangat
penting karena produk yang dihasilkan merupakan salah satu industri dasar manufaktur
lainnya. Pemerintah sangat berharap industri petrokimia dapat bangkit kembali yang masih
berkembang 2 hingga 4 persen sampai saat ini setelah keterpurukan di tahun 1998
dikarenakan harga minyak bumi yang melambung tinggi.
Saat ini, pemerintah fokus pada pengembangan tiga sentra produksi utama petrokimia
yaitu pusat produksi olefin di Banten (Jawa Barat) dan Bontang (Kalimantan Timur) serta
pusat produksi aromatik di Tuban (Jawa Timur). Tiga sentra produksi ini diharapkan dapat
meningkatkan optimasi petrokimia di Indonesia dengan dukungan pembangunan kilangkilang minyak baru di tahun 2012 yang diharapkan mampu menumbuhkan sektor industri
petrokimia hingga 10 persen. Pembangunan kilang minyak diharapkan dapat membantu
pasokan bahan baku sehingga biaya impor dapat ditekan. Usaha lain yang dilakukan
pemerintah adalah menjalin kerja sama dengan perusahaan asing untuk menanamkan
investasi di sektor ini, seperti kerja sama pemerintah dengan pihak Lotte Group asal Korea
untuk membangun kreker dengan investasi sebesar US$ 5 miliar. Kerja sama lain yang
dikembangkan di antaranya adalah kerjasama dengan perusahaan ban asal Italia untuk
pengembangan industri ban di Indonesia menyusul pembangunan pabrik butadiena di tahun
2013 oleh PT Chandra Asri Petrochemical Tbk.
Industri kimia dipercaya dapat menjadi sumber kekuatan perekonomian Indonesia
karena dapat mendorong tumbuhnya industri manufaktur lain. Di negara-negara maju seperti
Amerika Serikat, Jepang, dan negara-negara Eropa, industri kimia yang kokoh dan kompetitif
berdampak nyata pada pertumbuhan ekonomi nasional. Peran sektor industri kimia sangat
jelas dikarenakan hampir semua kegiatan industri bergantung pada chemicals sebagai bahan
baku produksi. Jika produksi bahan kimia maju pesat, industri hilir untuk barang-barang siap
pakai tidak mengalami hambatan. Singapura yang dikenal dengan negara minim sumber daya
alam baru-baru ini diketahui telah menginvestasikan dana sebesar US$ 40 miliar dalam kurun
waktu 10 tahun (2000-2010) untuk pengembangan industri petrokimia. Biaya investasi
petrokimia di Singapura memang jauh lebih mahal dibandingkan di Indonesia karena bahan
baku, tenaga kerja, dan infrastruktur terpenuhi dari kegiatan impor. Namun, optimisme ini
sudah pasti didasarkan pada perhitungan yang matang mengenai keuntungan yang didapatkan

jika industri petrokimia berkembang pesat. Sebagai contoh, aromatik dan olefin sebagai salah
satu produk industri petrokimia berperan dalam menunjang berbagai sektor industri lain
seperti industi makanan, sandang, papan, transportasi, dan pertanian. Prospek keuntungan
dari industri ini diperkirakan mencapai US$ 80-US$200 dari setiap 1 ton sedangkan harga
produk petrokimia mencapai US$ 400 sampai diatas US$ 1200 per ton.
Perkembangan industri petrokimia yang pesat di negara-negara maju didukung penuh
oleh pemerintah yang mengambil peran besar berupa pemodalan. Dalam industri petrokimia
yang berkembang, pemerintah memiliki saham misalnya pemerintah Singapura memiliki
saham di Petrochemical of Singapore (PCS). Selain itu, pemerintah Thailand juga memiliki
saham dalam NPC (National Petrochemical Corporation) dan kepemilikan saham pemerintah
Mesir juga terdapat pada ECHEM (Egypth petrochemical Holding Corporation).
Industri petrokimia merupakan industri yang terintegrasi dari hulu ke hilir. Indonesia
sebagai salah satu negara dengan hasil pertambangan dan migas yang kaya sudah sepantasnya
dapat memanfaatkan sumber daya alam ini dengan tidak hanya dibatasi pada pengelolaan
sumber bahan bakar. Pengembangan industri petrokimia sangat berpotensi besar dalam
menambah pendapatan negara karena keuntungan yang diperoleh sangat signifikan. Negaranegara dengan kekuatan ekonomi besar seperti Arab Saudi, Jepang, Korea Selatan, dan
Taiwan adalah negara-negara yang memiliki industri petrokimia dengan pertumbuhan pesat
sebagai sumber pendapatan, baik dalam bentuk pajak penghasilan maupun pajak
pertambahan nilai. Salah satu hambatan terbesar dalam oengembangan industri petrokimia
adalah pendanaan. Oleh karena itu, pemerintah perlu bekerja keras untuk terus menjalin kerja
sama yang baik dengan pihak-pihak yang bersedia berinvestasi pada bidang sektor ini. Selain
itu, masalah utama lainnya yang belum terselesaikan adalah jaminan pasokan bahan baku.
Dengan berbagai usaha pemerintah yang telah dipaparkan di atas, hal ini dapat menunjukkan
bahwa suatu regulasi dan sistem yang baik diperlukan dalam penyelesaian masalah ini.
Bukanlah sebuah mimpi jika negara kita memiliki basis perekonomian yang kuat dari
pertumbuhan sektor industri petrokimia yang pesat. Selain pemodalan dan pasokan bahan
baku, hal lain yang perlu diperhatikan pemerintah adalah peningkatan kualitas sumber daya
manusia Indonesia untuk mempersiapkan tenaga-tenaga ahli dalam pengolahan bahan baku.
Dengan tenaga ahli yang berkualitas, pemerintah dapat mengembangkan sektor industri
petrokimia yang tidak bergantung pada sumber daya alam tak terbarukan seperti minyak
bumi yang jumlah cadangannya semakin menipis. Pemerintah juga harus memperhatikan
aspek lingkungan dalam pengembangan industri ini agar tidak menimbulkan dampak negatif
jangka panjang.

Anda mungkin juga menyukai