Anda di halaman 1dari 6

LATAR BELAKANG

Disahkannya UU nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah membuat


Pemerintah daerah lebih leluasa dalam pembuatan sebuah kebijakan. Sebelum adanya UU
pemerintah daerah ini,kebijakan yang dibuat pemerintah daerah harus melalui persetujuan
pemerintah pusat. Kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah daerah juga terbatas. Namun
sejalan dengan demokratisasi yang dilakukan setelah reformasi, pemerintah menerapkan
sistem desentralisasi melalui penerbitan UU no. 32 tahun 2004. Pemerintah daerah diberi
otonomi untuk menjalankan pemerintahannya dengan mandiri dan lebih leluasa. Dengan
adanya mandat otonomi ini diharapkan pemerintah daerah dapat menjalankan tugasnya
sebagai instansi yang paling dekat dengan masyarakat lokal agar lebih responsif terhadap
kebutuhan masyarakat di tingkat lokal.
Namun dengan adanya otonomi daerah bukan hanya membuat pemerintah daerah
lebih leluasa dalam menjalankan tugas pelayanan masyarakat tapi juga memperbesar
kesempatan elite-elite lokal dalam menggunakan kewenangannya untuk memenuhi
kepentingannya sendiri. Bila sebelum adanya UU no. 32 tahun 2004 kebijakan publik banyak
diintervensi oleh elite pusat saja,setelah adanya UU tersebut justru semakin banyak elite yang
menjadikan kebijakan publik sebagai bancaan untuk ditebengi kepentingannya. Dengan
adanya pemilihan kepala daerah secara langsung ,modal ekonomi dan modal social yang
dibutuhkan untuk memenangkan kepala daerah secara langsung otomatis membesar.
Akibatnya kewenangan yang dimiliki seringkali digunakan untuk media mencari modal guna
mengikuti pemilihan kepala daerah selanjutnya atau dengan kata lain melanggengkan
kekuasaannya. Salah satu cara memperoleh modal ekonomi yang paling cepat adalah dengan
membuat

kebijakan

yang

berorientasi

ekonomi

sehingga

mudah

untuk

diambil

keuntungannya. Pembuatan kebijakan yang dilakukan terutama pada pemberian perizinan dan

pengadaan barang seringkali disertai dengan pungutan yang nantinya masuk ke kantong para
elite pembuat kebijakan. Karena pembuatan kebijakan yang berorientasi ekonomi lebih bisa
mendatangkan keuntungan bagi para elite, Akibatnya kebijakan seringkali tidak
memperhitungkan untung rugi pada aspek lain lagi,terutama bagi penerima kebijakan yaitu
masyarakat. Kebijakan subsidi dan kebijakan lain yang utamanya diperuntukkan untuk rakyat
justru seringkali dinikmati oleh orang berekonomi bagus sehingga kebijakan banyak yang
dicabut oleh pemerintah akibat dianggap tidak tepat sasaran. Kebijakan lain yang dibuat juga
lebih banyak difokuskan untuk peningkatan untung bagi Negara bukan untuk pembangunan
masyarakat.
Hal ini diperparah karena dalam pembuatan kebijakan lebih banyak hanya ditentukan
oleh elite. Dalam membuat kebijakan,elite merupakan pihak yang paling banyak peranannya
bahkan sejak lahirnya kebijakan public. Elite cenderung melupakan masyarakat sebagai
penerima hasil akhir kebijakan itu sendiri. Masyarakat sebagai penerima kebijakan tidak
banyak dilibatkan dalam pembuatan kebijakan. Selama ini pelibatan masyarakat dalam
pembuatan kebijakan hanya sebatas pengakuan hak saja namun tidak ada mekanisme
pelibatan masyarakat yang jelas. Memang banyak musyawarah di tingkat local yang diadakan
guna menjaring aspirasi masyarakat local,namun justru pada akhirnya musyawarah yang
diadakan seringkali hanya diikuti oleh elite local,kalaupun diikuti oleh masyarakat,hasil
musyawarah di tingkat local ini seringkali tidak ditindaklanjuti dalam pembuatan kebijakan
di tingkat daerah maupun nasional. Hal ini tidak lepas dari actor pembuat kebijakan yang
hanya terdiri dari elite saja. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa elite memiliki
kecenderungan untuk menciptakan keuntungan demi mempertahankan kekuasaannya melalui
kebijakan yang dibuatnya sendiri. Elite cenderung bekerja sama dengan elite lainnya untuk
menciptakan keuntungan melalui kebijakan yang dibuat. Keuntungan yang diperoleh bisa

berupa keuntungan ekonomi maupun social yang bisa digunakan untuk mempertahankan
kekuasaannya.
Hal ini bisa dilihat dalam pembangunan infrastruktur misalnya. Salah satu proyek
yang sering dijadikan elite sebagai media perwujudan kepentingannya adalah pembangunan
jalan. Akses yang dimiliki elite dalam memutuskan pembangunan jalan justru seringkali
dimanfaatkan sebagai media mengeruk keuntungan bagi dirinya. Walaupun jelas
pembangunan jalan sedikit banyak akan menguntungkan masyarakat,namun seringkali yang
paling banyak menerima keuntungan dalam realitasnya adalah elite yang memutuskan
pembangunan jalan. Keuntungan yang terutama diterima dari pembangunan jalan kebanyakan
berupa keuntungan ekonomi bagi elite. Selain dalam pembangunan jalan,kepentingan elite
bisa juga dilihat pada proyek-proyek pembangunan infrastruktur yang lain. Contohya pada
pemilihan nama jalan di Kabupaten Mojokerto. Mega proyek pengaspalan jalan merupakan
salah satu agenda utama PemKab Mojokerto di bawah kepemimpinan Bupati Mustofa Kemal
Pasa atau yang lebih dikenal dengan MKP. Proyek ini telah dimulai sejak tahun 2011 dengan
anggaran APBD sebesar 200 M per tahun. Pembangunan jalan yang dilakukan tidak hanya
mencakup jalan protocol sja,namun juga jalan-jalan penghubung antar desa. Karena jasanya
atas pembangunan jalan yang dilakukannya,pemerintah kabupaten Mojokero,khususnya dinas
PU memutuskan untuk menjadikan nama MKP sebagai nama salah satu jalan yang baru
dibuat. Sejak Desember 2014,plat Jalan Mustofa Kemal Pasa telah dipasang pada gapura
kawasan wisata Pacet yang terhubung dengan desa Sendi sepanjang 4,6 KM. Namun
pemberian nama jalan ini tidak melalui proses pemberian nama yang umumnya dilakukan di
daerah lain. Walaupun di setiap daerah memiliki aturan yang berbeda mengenai pemilihan
nama jalan, umumnya pemilihan nama jalan dilakukan melalui musyawarah warga sekitar
jalan yang kemudian hasilnya diusulkan pada pemerintah setempat dan diputuskan dalam
bentuk peraturan daerah dan diresmikan setelah ada konsultasi dengan DPRD dan tokoh-

tokoh kemasyarakatan. Pemilihan nama jalan juga umumnya merupakan bentuk apresiasi
pada siapapun atau bahkan apapun yang dianggap berjasa dan merepresentasikan daerah.
Kalaupun berupa nama jalan umumnya merupakan nama tokoh yang telah meninggal dunia
dan merupakan icon yang telah berjasa dan dikenal secara luas.
Memang telalu dini untuk membuat simpulan bahwa proyek pembangunan jalan ini
merupakan strategi bupati MKP untuk menitipkan kepentingannya. Maka perlu dilakukan
analisis mendalam terhadap pertanyaan bagaimana kebijakan pemilihan nama jalan Mustofa
Kemal Pasa diputuskan ? Siapa saja actor dalam pembuatan kebijakan ini ?

Rumusan masalah :
-

Bagaimana kebijakan pemilihan nama jalan Mustofa Kemal Pasa diputuskan ?


Siapa saja actor dalam pembuatan kebijakan ini ?

Kerangka Teoritik :
Berdasarkan kekuatan,posisi penting,dan pengaruhnya , ODA mengelompokkan
actor-aktor yang terlibat dalam pembuatan kebijakan public ke dalam tiga
kelompok, yaitu stakeholder primer, stakeholder sekunder,stakeholder kunci.
Mereka yang termasuk dalam stakeholder primer adalah mereka yang memiliki
kaitan kepentingan secara langsung dengan suatu kebijakan,program,dan proyek
yaitu sebagai penentu utama dalam proses pengambilan keputusan yaitu
masyarakat atau tokoh masyarakat1. Sedangkan yang disebut sebagai
stakeholder sekunder adalah mereka yang tidak memiliki kaitan erat dalam
pembuatan kebijakan public,keberadaannya tidak banyak mempengaruhi dalam
proses pembuatan kebijakan public namun dibutuhkan dalam proses
implementasi kebijakan publik seperti aparat pemerintah , LSM , serta kalangan
akamedisi. Stakeholder kunci adalah actor yang memiliki peranan paling besar
dalam pembuatan kebijakan public karena memiliki kewenangan yang sah
secara legal formal untuk menentukan sah atau tidaknya kebijakan yang dibuat
contohnya Pemerintah,DPR, atau dinas bersangkutan.
Namun dalam praktiknya,pembuatan kebijakan public seharusnya tidak
memperhatikan pada tingkatan atau kelompok manakah sebuah unsure dalam
masyarakat itu termasuk. Hal ini utamanya dalam Negara demokrasi yang
menjunjung kesetaraan peran seluruh warga. Output akhir dari kebijakan public
ditujukan untuk public sendiri jadi adalah hak setiap orang untuk mempengaruhi
proses pembuatan kebijakan public. Namun bagi masyarakat kebanyakan,hak
1 Hlm. 31

untuk mempengaruhi proses pembuatan kebijakan telah diserahkan pada


administrator public sehingga yang disebut sebagai policy maker adalah
administrator public itu bukan masyarakat sendiri. Padahal pengertian public
sebenarnya adalah semua warga non pemerintah,sementara stakeholder hanya
terkait dengan suatu isu atau rencana tertentu 23. Actor pembuat kebijakan public
penting untuk dipetakan karena sebesar atau sekecil apapun perannya akan
dapat mempengaruhi pembuatan kebijakan public. Selain itu dengan
memetakan aktornya,segala kemungkinan dalam pelaksanaan kebijakan public
dapat diantisipasi terlebih karena setiap actor pasti memiliki anatominya
sendiri,yaotu menyangkut isu yang dibawa dan derajat pengaruh yang dimiliki.
Maka untuk mengantisipasi kegagalan pembuatan kebijakan public dan
mengantisipasi agar kebijakan public tidak digunakan untuk kepentingan
tertentu,motif dan keepentingan yang dibawa oleh tiap actor harus dapat
diuraikan.
Dari sejarah terbentuknya kebijakan public,kebijakan public diyakini baru
berkembang saat era revolusi industry Inggris yang melahirkan banyak
penemu,ahli,serta filsuf baru. Dari para cendekiawan itulah banyak muncul
spesialisasi disiplin ilmu baru. Dari adanya spesialisasi disiplin ilmu baru banyak
ditemukan kebutuhan yang mendesak pada masing-masing sector sebagai hasil
penelitian yang dilakukan cendekiawan-cendekiawan tersebut. Kebutuhan
mendesak tersebut berupa kebutuhan regulasi-regulasi sebagai bentuk solusi
dari masalah yang ditemukan. Dari sinilah ilmu mengenai kebijakan public
semakin berkembang. Namun akibatnya kebijakan public cenderung tidak
demokratis karena hanya menjadi wilayah kerjja penguasa dan pakar saja 4.
Kebijakan public hanyalah menjadi sesuatu yang dibicarakan di tingkat para elite
saja dan hal ini terjadi secara terus menerus hingga kebijakan public menjadi
sesuatu yang elitis dan eksklusif. Kebijakan public klasik justru meminggirkan
kepentingan public itu sendiri. Ia menjadi alat kekuasaan pada sebuah bangsa
untuk melakukan perbuatan-perbuatan koruptif dan manipulative demi
kepentingan sedikit orang. Kebijakan public di posisi ini hanya dimiliki oleh
segelintir orang dan keuntungan dari produk politik itupun tidak berimbas pada
keseluruhan masyarakat5.
Studi kebijakan public dari sejak kelahirannya juga hanya dikembangkan oleh
para pakar analis kebijakan sendiri sehingga tidak mengakomodasi kepentingan
dan kebutuhan rakyat biasa. Hal ini juga diperkuat karena pada perkembangan
studi kebijakna public berikutnya, pendekatan positivistic dan ekonomik semakin
2 Hlm. 35
3
4 Hlm. 7
5 Hlm. 25

mendominasi pembuatan kebijakan public. Akibatnya pembuatan kebijakan


public tidak memperhitungkan aspek lain seperti aspek social politik dalam
pertimbangannya. Variabel-variabel seperti masyarakat dan lingkungan semakin
terabaikan. Kebijakan public menjadi hal yang sangat elitis karena tidak
melibatkan aspek social yang utama yaitu masyarakat sebagai penerima
kebijakan sendiri
Dalam pembuatan kebijakan publik,input berasal dari warga Negara sebagai
pemilik hak terbesar dalam mempengaruhi proses pembuatan kebijakan public
untuk disampaikan pada pembuat keputusan sebagai pemilik kewenangan legal
formal dalam pembuatan kebijakan public, analis sebagai ahli yang mengetahui
kelebihan kekurangan sebuah kebijakan,serta stakeholder. Proses terakhirnya
adalah kebijakan public lahir sebagai hasil tawar menawar antara warga
Negara,analis,stakeholder,serta pembuat kebijakan.

Anda mungkin juga menyukai