Anda di halaman 1dari 23

PENGGUNAAN MODEL PROBLEM BASED LEARNING (PBL)

UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KREATIF


SISWAPADA MATERI PROGRAM LINEAR KELAS XI

DOSEN PENGAMPU

Prof. Dr. Bornok Sinaga, M.Pd

Oleh Kelompok 7
NAMA

: Anggi Paramita Daulay

ID.8156172004

Ammamiaritha Tarigan

ID.8156172003

KELAS

: B-2

PRODI

: PENDIDIKAN MATEMATIKA

PENDIDIKAN MATEMATIKA PASCA SARJANA


UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2015

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Melihat perkembangan zaman yang semakin pesat dengan didukung oleh
kemajuan teknologi mau tidak mau menstimulus pendidikan untuk dapat beradaptasi
sesuai dengan tuntutan zaman. Model pembelajaran merupakan salah satu metodologi
yang diciptakan dunia pendidikan dalam rangka menuju ke tercapainya suatu perubahan.
Pada pelaksanaan model pembelajaran tentunya melibatkan pembelajar (guru) dan
peserta didik (siswa). Seorang guru adalah seorang yang profesionalis dalam menjalankan
fungsi-fungsinya dengan menggunakan metodologi untuk membelajarkan peserta didik
dengan cara yang tidak konstan, artinya seorang guru itu harus berinovasi dan
menciptakan perubahan baik pada dirinya serta pada peserta didiknya.
Menurut Arends (Trianto, 2011:90): it is strange that we expect students to
learn yet seldom teach then about learning, we expect student to slove problems yet
seldom teach then about problem solving, yang berarti dalam mengajar guru selalu
menuntut siswa untuk belajar dan jarang memberikan pelajaran tentang bagaimana siswa
untuk belajar, guru juga menuntut siswa untuk menyelesaikan masalah, tapi jarang
mengajarkan bagaimana siswa seharusnya menyelesaikan masalah.
Guru dituntut untuk dapat memilih model pembelajaran yang dapat memacu
semangat siswa untuk secara aktif ikut terlibat dalam pengalaman belajarnya,
menemukan cara terbaik untuk menyampaikan berbagai konsep yang diajarkan sehingga
siswa dapat menggunakan dan mengingat lebih lama konsep tersebut serta
mengaitkannya dalam kehidupan nyata. Salah satu alternatif model pembelajaran yang
memenuhi tuntutan tersebut dan memungkinkan dikembangkannya keterampilan berfikir
kreativitas siswa dalam pemecahan masalah adalah problem based learning (PBL) atau
dalam bahasa Indonesia disebut pembelajaran berbasis masalah (PBM).
Menurut Tan (Rusman, 2011:229), Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem
Based Learning) merupakan inovasi dalam pembelajaran karena pada model ini
kemampuan berpikir siswa betul-betul dioptimalisasikan melalui proses kerja kelompok
atau tim yang sistematis, sehingga siswa dapat memberdayakan, mengasah, menguji, dan
mengembangkan kemampuan berpikirnya secara berkesinambungan. Serta siswa dapat
berfikir kreatif, berfikir kreatif adalah kemampuan kognitif orisinil dan proses pemecahan

masalah, kemampuan berfikir kreatif siswa yang dimaksud adalah kemampuan berpikir
kreatif matematis. Sing (Mann, 2005) mendefinisikan kreativitas matematis sebagai
proses merumuskan hipotesis yang mengenai penyebab dan pengaruh di dalam situasi
matematis, pengujian, pengujian kembali hipotesis, membuat modifikasi dan akhirnya
mengkomunukasikan hasil. Aspek-aspek kemampuan berpikir kreatif matematis, yaitu
kelancaran, keluwesan, keaslian, elaborasi, dan sensitivitas (Munandar, 2009).
Maka guru haruslah memahami konsep dari Model Pembelajaran Berbasis
Masalah (Problem Based Learning) terlebih dahulu agar dapat mengasah kemampuan
berpikir kreatif siswa. Karena dengan model Problem Based Learning dinyatakan mampu
meningkatkan kreativitas siswa menurut penelitian di Jurnal Online Universitas Negeri
Surabaya, oleh Dian Utami Wati dan Arifin Rahman. Sehingga makalah ini akan
memperlihatkan Problem Based Learning akan meningkatkan kemampuan berpikir
kreatif siswa dengan materi program linear di kelas xi pada pelajaran matematika wajib.
Berdasarkan hal tersebut, maka perlu kiranya ada sebuah bahan kajian yang
mendalam tentang apa dan bagaimana Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem
Based Learning) ini untuk selanjutnya diterapkan dalam sebuah proses pembelajaran agar
meningkatkan kreatif siswa, sehingga dapat memberi masukan, khususnya kepada para
guru tentang model pembelajaran ini. Dimana, menurut Tan (Rusman, 2011:230),
Pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Learning) merupakan pembelajaran yang
relevan dengan tuntutan

abad ke-21 dan umumnya kepada para ahli dan prkatisi

pendidikan yang memusatkan perhatiannya pada pengembangan dan inovasi sistem


pembelajaran. Berikut uraian secara rinci dari Model Pembelajaran Berbasis Masalah
(Problem Based Learning) serta akan dibahas contoh penerapannya dalam pembelajaran
matematika.

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan dari latar belakang yang telah dikemukakan tadi maka adapun
rumusan masalahnya adalah :
1. Apa yang dimaksud dengan model pembelajaran berbasis masalah (problem based
learning) ?
2. Teori-teori apa sajakah yang melandasi model pembelajaran berbasis masalah
(problem based learning) ?

3. Bagaimanakah sintaks dari model pembelajaran berbasis masalah (problem based


learning) ?
4. Bagaimana pendekatan saintifik (Scientific) dalam model pembelajaran berbasis
masalah (problem based learning) ?
5. Bagaimana strategi STAD dalam model pembelajaran berbasis masalah (problem
based learning) ?
6. Bagaimana penerapan model pembelajaran pembelajaran berbasis masalah (problem
based learning) pada salah satu materi matematika yaitu Program Linear ?
7. Bagaimana penerapan model pembelajaran pembelajaran berbasis masalah (problem
based learning) dalam meningkatkan kemampuan berpikir kreatif siswa?
1.3. Tujuan Penulisan
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah diuraikan, maka
yang menjadi tujuan dalam penulisan makalah ini adalah :
1. Sebagai bahan bacaan bagi pembaca tentang Model Pembelajaran Berbasis Masalah
(Problem Based Learning).
2. Menambah wawasan pembaca mengenai Model Pembelajaran Berbasis Masalah
(Problem Based Learning) dengan pendekatan saintifik.
3. Sebagai referensi tambahan bagi pembaca terutama guru tentang Model
Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning) dapat meningkatkan
kemamapuan berpikir kreatif siswa dan penerapannya pada pembelajaran
matematika.
1.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based


Learning)
Pendidikan pada abad ke-21 berhubungan dengan permasalahan baru yang ada
di dunia nyata. Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning)
berkaitan dengan penggunaan inteligensi dari dalam diri individu yang berada dalam
sebuah kelompok orang, atau lingkungan untuk memecahkan masalah yang bermakna,
relevan, dan kontekstual.
Hasil pendidikan yang diharapkan meliputi pola kompetensi dan inteligensi yang
dibutuhkan untuk berkiprah pada abad ke-21. Pendidikan bukan hanya menyiapkan masa
depan, tetapi juga bagaimana menciptakan masa depan. Nah, apakah sebenarnya Model
Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning) itu ?. Berikut akan dibahas
defenisi dari medel ini berdasarkan pendapat dari beberapa ahli.
Menurut Dewey (Trianto, 2011:91) belajar berdasarkan masalah adalah interaksi
antara stimulus dengan respons, merupakan hubungan antara dua arah belajar dan
lingkungan. Lingkungan memberi masukan kepada siswa berupa bantuan dan masalah,
sedangkan otak berfungsi menafsirkan bantuan itu secara efektif sehingga masalah yang
dihadapi dapat diselidiki, dinilai, dianalisis serta dicari pemecahannya dengan baik.
Boud dan Feletti (Rusman, 2011:230) mengemukakan bahwa Model
Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning) adalah inovasi yang paling
signifikan dalam pendidikan. Margetson (Rusman, 2011:230) mengatakan bahwa Model
Pembelajaran

Berbasis

Masalah

(Problem

Based

Learning)

membantu

untuk

meningkatkan perkembangan keterampilan belajar sepanjang hayat dalam pola pikir yang
terbuka, reflektif, kritis, dan belajar aktif, serta memfasilitasi keberhasilan memecahkan
masalah, komunikasi, kerja kelompok, dan keterampilan interpersonal dengan lebih baik
dibanding model lain.
Pembelajaran berbasis masalah merupakan suatu pembelajaran yang menyajikan
masalah pada awal pembelajaran. Pembelajaran ini efektif untuk diterapkan pada
pembelajaran matematika untuk mengembangkan keterampilan siswa dalam mencapai
standar kemampuan matematika. Pembelajaran berbasis masalah sebagai suatu

pendekatan pembelajaran yang diawali dengan penyajian masalah yang dirancang dalam
konteks yang relevan dengan materi yang akan dipelajari untuk mendorong siswa:
memperoleh pengetahuan dan pemahaman konsep, mencapai berpikir kritis, memiliki
kemandirian belajar, keterampilan berpartisipasi dalam kerja kelompok, dan kemampuan
pemecahan masalah (Permana dan Sumarmo dalam Hoiriyah, 2014).
Pembelajaran berbasis masalah adalah salah satu pembelajaran yang berpusat
pada siswa dan guru sebagai fasilitator. Savery (2006:12) menyatakan bahwa : PBL is
an instructional (and curricular) learner-centered approach that empowers learners to
conduct research, integrate theory and practice, and apply knowledge and skills to
develop a viable solution to a defined problem.
Dalam pembalajaran

berbasis

masalah ini

siswa juga dikembangkan

kemampuannya dalam berfikir tingkat tinggi yang dibutuhkan dalam pembelajaran


matematika. Hal ini sejalan dengan pendapat Arends (Trianto, 2011:92) bahwa
pembelajaran berbasis masalah merupakan suatu pendekatan pembelajaran dimana siswa
mengerjakan permasalahan yang autentik dengan maksud untuk menyususn pengetahuan
mereka sendiri, mengembangkan inkuiri dan keterampilan berpikir tingkat lebih tinggi,
mengembangkan kemandirian dan kepercayaan diri. Manfaat dari pembelajaran berbasis
masalah (problem based learning) ini juga dijelaskan oleh Ibrahim dan Nur (Trianto,
2011:96) yaitu pembelajaran berbasis masalah dikembangkan untuk membantu siswa
mengembangkan kemampuan berpikir, pemecahan masalah, dan keterampilan intelektual;
belajar berbagai peran orang dewasa melalui pelibatan mereka dalam pengalaman nyata
atau simulasi, dan menjadi pembelajar yang otonom dan mandiri.
Berdasarkan beberapa pendapat ahli, maka dapat disimpulkan bahwa Model
Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning) adalah model pembelajaran
yang diawali dengan pemberian masalah nyata kepada peserta didik dimana masalah
tersebut dialami atau merupakan pengalaman sehari-hari peserta didik. Selanjutnya
peserta didik menyelesaikan masalah tersebut untuk menemukan konsep dan pengetahuan
baru. Secara garis besar PBL terdiri dari kegiatan menyajikan kepada peserta didik suatu
situasi masalah yang autentik dan bermakna serta menuntun kepada mereka untuk
melakukan penyelidikan dan inkuiri dalam menenukan solusi dari masalah yang
diberikan.

2.2. Teori Belajar yang Melandasi Model Pembelajaran Berbasis Masalah


(Problem Based Learning)
Teori belajar pada dasarnya merupakan penjelasan mengenai bagaimana
terjadinya belajar atau bagaimana informasi diproses di dalam pikiran peserta didik. Ada
beberapa teori belajar yang melandasi Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem
Based Learning) sebagai berikut :
1. Teori Belajar Konstruktivisme
Dari segi pedagogis, Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based
Learning) didasarkan pada teori konstruktivisme dengan ciri (Rusman, 2011:231):
a. Pemahaman diperoleh dari interaksi dengan skenario permasalahan dan lingkungan
belajar.
b. Pergulatan dengan masalah dan proses inquiry masalah menciptakan disonansi
kognitif yang menstimulasi belajar.
c. Pengetahuan terjadi melalui proses kolaborasi negoisasi sosial dan evaluasi terhadap
keberadaan sebuah sudut pandang.
2. Teori Belajar dari Piaget
Piaget menegaskan bahwa anak memiliki rasa ingin tahu bawaan dan secara
terus menerus berusaha ingin memahami dunia di sekitarnya. Rasa ingin tahu ini,
menurut Piaget dapat memotivasi mereka untuk secara aktif membangun tampilan dalam
otak mereka mengenai lingkungan yang mereka hayati. Pada saat mereka tumbuh
semakin dewasa dan memperoleh lebih banyak kemampuan bahasa dan memori, tampilan
mental mereka tentang dunia menjadi lebih luas dan lebih abstrak. Sementara itu, pada
semua tahap perkembangan, anak perlu memahami lingkungan mereka dan
memotivasinya untuk menyelidiki dan membangun teori-teori yang menjelaskan
lingkungan itu.
3. Teori Belajar Bermakna dari David Ausubel
Suparno (Rusman, 2011:244) mengatakan bahwa Ausubel membedakan antara
belajar bermakna (meaningfull learning) dengan belajar menghafal (rote learning).
Belajar bermakna merupakan proses belajar dimana informasi baru dihubungkan dengan
struktur pengertian yang sudah dimiliki seseorang yang sedang belajar. Belajar

menghafal, diperlukan bila seseorang memperoleh informasi baru dalam pengetahuan


yang sama sekali tidak berhubungan dengan yang telah diketahuinya. Kaitannya dengan
model pmbelajaran berbasis masalah dalam hal mengaitkan informasi baru dengan
struktur kognitif yang telah dimiliki oleh siswa.
4. Teori Belajar Vigotsky
Perkembangan intelektual terjadi pada saat individu berhadapan dengan
pengalaman baru dan menantang serta ketika mereka berusaha untuk memecahkan
masalah yang dimunculkan. Dalam upaya mendapatkan pemahaman, individu berusaha
mengaitkan pengetahuan baru dengan pengetahuan awal yang telah dimilikinya kemudian
kemudian membangun pengertian baru. Ibrahim dan Nur dalam Rusman (2011:244)
Vigotsky meyakini bahwa interaksi sosial dengan teman lain memacu terbentuknya ide
baru dan memperkaya perkembangan intelektual siswa. Kaitannya dengan model
pembelajaran berbasis masalah (PBL) dalam hal mengaitkan informasi baru dengan
struktur kognitif yang telah dimiliki oleh siswa melalui kegiatan belajar dalam interkasi
sosial dengan teman lain.
5. Teori Belajar Jerome S. Bruner
Metode penemuan merupakan metode dimana siswa menemukan kembali,
bukan menemukan yang sama sekali benar-benar baru. Belajar penemuan sesuai dengan
pencarian pengetahuan secara aktif oleh manusia, dengan sendirinya memberikan hasil
yang lebih baik, berusaha sendiri mencari pemecahan masalah serta didukung oleh
pengetahuan yang menyertainya, serta menghasilkan pengetahuan yang benar-benar
bermakna (Dahar dalam Rusman, 2011:245).
Bruner juga menggunakan konsep scaffolding dan interaksi sosial di kelas
maupun di luar kelas. Scaffolding adalah suatu proses untuk membantu siswa
menuntaskan masalah tertentu melampaui kapasitas perkembangannya melalui bantuan
guru, teman atau orang lain yang memiliki kemampuan lebih.
Kaitan intelektual antara pembelajaran penemuan dan belajar berbasis masalah
sangat jelas. Pada kedua model ini, guru menekankan keterlibatan siswa secara aktif,
orientasi induktif lebih ditekankan dari pada deduktif, dan siswa menentukan atau
mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Pada belajar berbasis masalah atau penemuan,
guru mengajukan pertanyaan atau masalah kepada siswa dan memperbolehkan siswa
untuk menemukan ide dan teori mereka sendiri.

2.3. Sintaks Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning)


Sintaks suatu pembelajaran berisi langkah-langkah praktis yang harus dilakukan
oleh guru dan siswa dalam suatu kegiatan belajar mengajar. Menurut Ibrahim (Trianto,
2011:97), di dalam kelas yang melaksanakan pembelajaran berbasis masalah (PBL),
peran guru berbeda dengan kelas tradisional. Peran guru di dalam kelas PBL antara lain
sebagai berikut:
a. Mengajukan masalah atau mengorientasikan siswa kepada masalah autentik, yaitu
masalah kehidupan nyata sehari-hari,
b. Menfasilitasi/ membimbing penyelidikan misalnya melakukan pengamatan atau
melakukan eksperimen/percobaan,
c. Memfasilitasi dialog siswa, dan
d. Mendukung belajar siswa.
Pada pembelajaran berbasis masalah terdiri dari 5 (lima) langkah utama yang
dimulai dengan guru memperkenalkan siswa dengan situasi masalah dan diakhiri dengan
penyajian dan analisis hasil kerja siswa. Kelima langkah tersebut dijelaskan oleh Samosir
dan Siahaan (2014) dalam tabel 2.1 berikut:
Tabel 2.1. Lima Langkah Pokok Pembelajaran Berdasarkan Masalah
No
.

Langkah

Orientasi siswa
pada masalah

Mengorganisasikan
siswa belajar
Membantu
penyelidikan
individual dan
kelompok

Kegiatan Guru
1.Menginformasikan kompetensi dasar
2.Menciptakan lingkungan kelas yang menungkinkan
terjadi pertukaran ide secara terbuka
3.Mengarahkan siswa pada pertanyaan atau masalah
4.Mendorong siswa mengekspresikan ide-ide secara
terbuka
1.Membantu siswa menemukan konsep berdasarkan
masalah
2.Mendorong keterbukaan, proses-proses demokrasi
3.Menguji pemahaman siswa atas konsep yang
ditemukan
1.Memberi kemudahan pengerjaan siswa dalam
memecahkan masalah
2.Memberikan scaffolding
3.Mendorong kerja sama menyelesaikan tugas-tugas
4.Mendorong dialog berdiskusi dengan teman-teman
5.Membantu siswa mendefenisikan dan
mengorganisasikan tugas-tugas belajar yang

berkaitan dengan masalah


6.Membantu siswa dalam menemukan hipotesis
7.Membantu siswa dalam memberikan solusi
Mengembangkan dan
4

menampilkan hasil
kerja

1.Membimbing siswa mengerjakan LKS


2.Membimbing siswa menyajikan hasil kerja

1.Membantu siswa mengkaji ulang hasil pemecahan


masalah
mengevaluasi proses 2.Memotivasi siswa untuk terlibat dalam pemecahan
masalah
pemecahan masalah
3.Mengevaluasi materi akademik
Menganalisis dan

Dalam pembelajaran PBL, Kegiatan pembelajaran dimulai dengan pemberian


masalah yang autentik. Kriteria dari masalah autentik tersebut yaitu merupakan masalah
yang berangkat dari lingkungan budaya siswa, bermanfaat, terkait materi, dan
mengundang ketertarikan siswa. Langkah-angkah yang akan dilalui oleh siswa dalam
sebuah proses PBL (Rusman, 2011:243) adalah : (1) menemukan masalah, (2) mendefinisikan masalah, (3) mengumpulkan fakta, (4) membuat hipotesis, (5) penelitian, (6)
repharsing masalah, (7) menyuguhkan alternatif, dan (8) mengusulkan solusi.
Sistem sosial yang perlu disiapkan dalam proses PBL adalah sistem sosial yang
terbuka dan flexible (luar atau dalam kelas), menggunakan proses demokrasi, komunikasi
transaksional dalam kompetensi/ penagihan tugas, dapat berupa kelompok kolaboratif dan
kooperatif, dan toleransi terhadap keberagaman. Lingkungan belajar PBL menekankan
pada peran sentral siswa bukan pada guru.
Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning) memiliki
beberapa keunggulan dan kelemahan sebagai berikut : (Ahsan, Arfiyadi,2012)
Keunggulan
a. Merupakan teknik yang cukup bagus untuk lebih memahami isi pelajaran.
b. Dapat menantang kemampuan siswa serta memberikan kepuasan
untukmenemukan pengetahuan baru bagi siswa.
c. Dapat meningkatkan aktivitas pembelajaran siswa.
d. Dapat membantu siswa bagaimana mentranfer

pengetahuan

mereka

untukmemahami masalah dalam kehidupan nyata.


e. Dapat membantu siswa untuk mengembangkan

pengetahuan

barunya

dan bertanggung jawab dalam pembelajaran yang mereka lakukan.


f. Pemecahan masalah dianggap lebih menyenangkan dan disukai siswa.

g. Dapat mengembangkan kemampuan siswa untuk berpikir lebih kritis dan


mengembangkan kemampuan mereka untuk menyesuaikan dengan pengetahuan.
h. Dapat memberikan kesempatan pada siswa untuk mengaplikasikan pengetahuan
yang mereka miliki dalam dunia nyata.
i. Dapat mengembangkan minat siswa untuk secara terus-menerus belajarsekalipun
belajar pada pendidikan formal telah berakhir.
j. Dapat membentuk siswa untuk memiliki kemampuan berpikir tingkat tinggi,yang
dibarengi dengan kemampuan inovatif dan sikap kreatif akan tumbuhdan
berkembang.
k. Dengan model

pembelajaran

berbasis

masalah,

kemandirian

siswa

dalam belajar akan mudah terbentuk, yang pada akhirnya akan menjadi kebiasaan
dalam menyelesaikan berbagai permasalahan yang ditemuinya dalamaktivitas
kehidupan nyata sehari-hari ditengah-tengah masyarakat.

Kelemahan
a. Manakala

siswa

tidak

memiliki

minat

atau

tidak

mempunyai

kepercayaan bahwa masalah yang dipelajari sulit untuk dipecahkan, maka mereka
akanmerasa enggan untuk mencoba.
b. Keberhasilan model pembelajaran PBL ini membutuhkan cukup waktu
untuk persiapan dan pelaksanaannya.
c. Tanpa pemahaman mengapa mereka berusaha untuk memecahkan masalahyang
sedang dipelajari, maka mereka tidak akan belajar apa yang merekaingin pelajari

2.4. Pendekatan dalam Penerapan Model Pembelajaran Berbasis Masalah


(Problem Based Learning)
Pendekatan yang di sarankan dalam pelaksanaan kurikulum 2013 saat ini adalah
pendekatan Scientific (Saintifik). Model pembelajaran berbasis masalah (problem based
learning) merupakan salah satu model pembelajaran yang sesuai dengan pendekatan
saintifik.

Langkah-langkah pada pendekatan saintifik merupakan bentuk adaptasi dari


langkah-langkah ilmiah pada sains. Proses pembelajaran dapat dipadankan dengan suatu
proses ilmiah, karenanya Kurikulum 2013 mengamanatkan esensi pendekatan saintifik
dalam pembelajaran. Pendekatan saintifik diyakini sebagai titian emas perkembangan dan
pengembangan sikap, keterampilan, dan pengetahuan peserta didik. Dalam pendekatan
atau proses kerja yang memenuhi kriteria ilmiah, para ilmuan lebih mengedepankan
pelararan induktif (inductive reasoning) dibandingkan dengan penalaran deduktif
(deductiv reasoning).
Penalaran deduktif melihat fenomena umum untuk kemudian menarik simpulan
yang spesifik. Sebaliknya, penalaran induktif memandang fenomena atau situasi spesifik
untuk kemudian menarik simpulan secara keseluruhan. Sejatinya, penalaran induktif
menempatkan bukti-bukti spesifik ke dalam relasi ide yang lebih luas. Metode ilmiah
umumnya menempatkan fenomena unik dengan kajian spesifik dan detail untuk
kemudian merumuskan simpulan umum. Metode ilmiah merujuk pada teknik-teknik
investigasi atas suatu atau beberapa fenomena atau gejala, memperoleh pengetahuan baru,
atau mengoreksi dan memadukan pengetahuan sebelumnya.
Untuk dapat disebut ilmiah, metode pencarian (method of inquiry) harus berbasis
pada bukti-bukti dari objek yang dapat diobservasi, empiris, dan terukur dengan prinsipprinsip penalaran yang spesifik. Metode ilmiah pada umumnya memuat serangkaian
aktivitas pengumpulan data melalui observasi atau ekperimen, mengolah informasi atau
data, menganalisis, kemudian memformulasi, dan menguji hipotesis.
Ada lima kegiatan utama di dalam proses pembelajaran menggunakan
pendekatan saintifik, yaitu:
1. Mengamati
Mengamati merupakan metode yang mengutamakan kebermaknaan proses
pembelajaran (meaningfull learning). Kegiatan belajar yang dilakukan dalam proses
mengamati adalah membaca, mendengar, menyimak, melihat (tanpa atau dengan alat).
Kompetensi yang dikembangkan adalah melatih kesungguhan, ketelitian, mencari
informasi
2. Menanya
Menanya merupakan kegiatan pembelajaran yang dilakukan dengan cara
mengajukan pertanyaan tentang informasi yang tidak dipahami dari apa yang diamati atau

pertanyaan untuk mendapatkan informasi tambahan tentang apa yang diamati (dimulai
dari pertanyaan faktual sampai ke pertanyaan yang bersifat hipotetik). Kompetensi yang
dikembangkan adalah mengembangkan kreativitas, rasa ingin tahu, kemampuan
merumuskan pertanyaan untuk membentuk pikiran kritis yang perlu untuk hidup cerdas
dan belajar sepanjang hayat.
3. Mengumpulkan Informasi/Eksperimen
Mengumpulkan informasi/eksperimen merupakan kegiatan pembelajaran yang
berupa

eksperimen,

membaca

sumber

lain

selain

buku

teks,

mengamati

objek/kejadian/aktivitas, dan wawancara dengan narasumber. Kompetensi yang


dikembangkan

dalam

proses

mengumpulkan

informasi/

eksperimen

adalah

mengembangkan sikap teliti, jujur, sopan, menghargai pendapat orang lain, kemampuan
berkomunikasi, menerapkan kemampuan mengumpulkan informasi melalui berbagai cara
yang dipelajari, mengembangkan kebiasaan belajar dan belajar sepanjang hayat.
4. Mengasosiasikan/Mengolah Informasi
Mengasosiasikan/mengolah informasi merupakan kegiatan pembelajaran yang
berupa pengolahan informasi yang sudah dikumpulkan baik terbatas dari hasil kegiatan
mengumpulkan/eksperimen maupun hasil dari kegiatan mengamati dan kegiatan
mengumpulkan

informasi.

Kompetensi

yang

dikembangkan

dalam

proses

mengasosiasi/mengolah informasi adalah mengembangkan sikap jujur, teliti, disiplin, taat


aturan, kerja keras, kemampuan menerapkan prosedur dan kemampuan berpikir induktif
serta deduktif dalam menyimpulkan.
5. Mengkomunikasikan
Mengkomunikasikan

merupakan

kegiatan

pembelajaran

yang

berupa

menyampaikan hasil pengamatan, kesimpulan berdasarkan hasil analisis secara lisan,


tertulis, atau media lainnya.

Kompetesi yang dikembangkan dalam tahapan

mengkomunikasikan adalah mengembangkan sikap jujur, teliti, toleransi, kemampuan


berpikir sistematis, mengungkapkan pendapat dengan singkat dan jelas, dan
mengembangkan kemampuan berbahasa yang baik dan benar.

2.5. Strategi dalam Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based


Learning)
Untuk mengajarkan kecakapan berpikir kritis siswa khususnya dalam mata
pelajaran matematika sangat perlu di cari model maupun strategi pembelajaran yang
sesuai untuk itu. Model Belajar Berdasarkan Masalah (Problem Based Learning/PBL)
dan strategi pada pembelajaran Kooperatif (Cooperative Learning) tampaknya dapat
diterapkan dalam pembelajaran matematika untuk mencapai tujuan belajar siswa dan
melatih kecakapan berpikir kritis siswa.
Model PBL memiliki ciri siswa bekerja sama antara satu dengan lainnya dalam
bentuk berpasangan atau berkelompok untuk bersama-sama memecahkan masalah yang
dihadapi. Dalam belajar berkelompok, siswa akan termotivasi secara berkelanjutan
terlibat dalam tugas-tugas kompleks dan berpeluang untuk berdialog dalam
mengembangkan keterampilan sosial dan keterampilan berpikir. Model PBL sangat baik
dipasangkan dengan startegi kooperatif. Hal ini mendukung Hereid (2000); Gilbert and
Driscooll (2002); Rindell (1999) dalam Bagus (2006) mengemukakan bahwa PBL sangat
penting dipasangkan dengan strategi pembelajaran kooperatif karena dapat memacu
kecepatan peningkatan kemampuan berpikir siswa.
Strategi pembelajaran kooperatif menyediakan situasi agar siswa bekerja sama
antara siswa dengan siswa dan siswa dengan guru. Oleh karena itu pembelajaran
kooperatif dapat melatih kemampuan siswa dalam memecahkan masalah secara bersamasama. Tejada (2002) mengemukakan pembelajaran kooperatif dapat memberikan
dukungan agar siswa belatih berpikir dengan bantuan orang lain. Dumas (2003)
mengemukakan pembelajaran kooperatif memberikan jalan bagi semua anggota
kelompok untuk meningkatkan kecakapan berpikir tingkat tinggi, seperti kecakapan
analistis, sintesis, elaborasi, memecahkan masalah, berpikir alternatif, dan kecakapan
berbahasa.
Pembelajaran kooperatif tipe Student Team Achievement Division (STAD) yang
dikembangkan oleh Robert Slavin dan teman-temannya di Universitas John Hopkin
(dalam Slavin, 1995) merupakan pembelajaran kooperatif yang paling sederhana, dan
merupakan pembelajaran kooperatif yang cocok digunakan oleh guru yang baru mulai
menggunakan pembelajaran kooperatif. Student Team Achievement Divisions (STAD)
adalah salah satu tipe pembelajaran kooperatif yang paling sederhana. Siswa ditempatkan

dalam tim belajar beranggotakan empat orang yang merupakan campuran menurut tingkat
kinerjanya, jenis kelamin dan suku.
Guru menyajikan pelajaran, kemudian siswa bekerja dalam tim untuk memastikan
bahwa seluruh anggota tim telah menguasai pelajaran tersebut. Akhirnya seluruh siswa
dikenai kuis tentang materi itu dengan catatan, saat kuis mereka tidak boleh saling
membantu. Tipe pembelajaran inilah yang akan diterapkan dalam pembelajaran
matematika. Model Pembelajaran Koperatif tipe STAD merupakan pendekatan
Cooperative Learning yang menekankan pada aktivitas dan interaksi diantara siswa untuk
saling memotivasi dan saling membantu dalam menguasai materi pelajaran guna
mencapai prestasi yang maksimal. Guru yang menggunakan STAD mengajukan
informasi akademik baru kepada siswa setiap minggu mengunakan presentasi Verbal atau
teks.
Tahap Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD
Menurut Nurasman (2006: 5) menyatakan bahwa kegiatan pembelajaran
Kooperatif tipe STAD terdiri dari enam tahap:
1. Persiapan materi dan penerapan siswa dalam kelompok. Sebelum menyajikan
guru harus mempersiapkan lembar kegiatan dan lembar jawaban yang akan
dipelajarai siswa dalam kelompok-kelomok kooperatif. Kemudian menetapkan
siswa dalam kelompok heterogen dengan jumlah maksimal 4 - 6 orang, aturan
heterogenitas dapat berdasarkan pada.
a. Kemampuan akademik (pandai, sedang dan rendah) yang didapat dari hasil
akademik (skor awal) sebelumnya. Perlu diingat pembagian itu harus
diseimbangkan sehingga setiap kelompok terdiri dari siswa dengan siswa
dengan tingkat prestasi seimbang.
b. Jenis kelamin, latar belakang sosial, kesenangan bawaan/ sifat (pendiam dan
aktif) dan lain-lain.
2. Penyajian Materi Pelajaran ditekankan pada hal berikut:
a. Pendahuluan. Di sini perlu ditekankan apa yang akan dipelajari siswa dalam
kelompok dan menginformasikan hal yang penting untuk memotivasi rasa
ingin tahu siswa tentang konsep-konsep yang akan mereka pelajari. Materi
pelajaran

dipresentasikan

oleh

guru

dengan

menggunakan

metode

pembelajaran. Siswa mengikuti presentasi guru dengan seksama sebagai


persiapan untuk mengikuti tes berikutnya.

b. Pengembangan. Dilakukan pengembangan materi yang sesuai yang akan


dipelajari siswa dalam kelompok. Di sini siswa belajar untuk memahami
makna bukan hafalan. Pertanyaan-peranyaan diberikan penjelasan tentang
benar atau salah. Jika siswa telah memahami konsep maka dapat beralih
kekonsep lain.
c. Praktek terkendali. Praktek terkendali dilakukan dalam menyajikan materi
dengan cara menyuruh siswa mengerjakan soal, memanggil siswa secara acak
untuk menjawab atau menyelesaikan masalah agar siswa selalu siap dan dalam
memberikan tugas jangan menyita waktu lama.
3. Kegiatan Kelompok
Guru membagikan LKS kepada setiap kelompok sebagai bahan yang akan
dipelajari siswa. Isi dari LKS selain materi pelajaran juga digunakan untuk
melatih kooperatif. Guru memberi bantuan dengan memperjelas perintah,
mengulang konsep dan menjawab pertanyaan. Dalam kegiatan kelompok ini, para
siswa bersama-sama mendiskusikan masalah yang dihadapi, membandingkan
jawaban, atau memperbaiki miskonsepsi. Kelompok diharapkan bekerja sama
dengan sebaik-baiknya dan saling membantu dalam memahami materi pelajaran.
4. Evaluasi
Dilakukan selama 45-60 menit secara mandiri untuk menunjukkan apa yang telah
siswa pelajari selama bekerja dalam kelompok. Setelah kegiatan presentasi guru
dan kegiatan kelompok, siswa diberikan tes secara individual. Dalam menjawab
tes, siswa tidak diperkenankan saling membantu. Hasil evaluasi digunakan
sebagai nilai perkembangan

individu

dan disumbangkan

sebagai nilai

perkembangan kelompok.
5. Penghargaan Individu dan Kelompok
Dari hasil penilaian perkembangan maka penghargaan pada prestasi kelompok
diberikan

dalam

ketingkatan

penghargaan

atau

persyaratan

pemberian

penghargaan misalnya bagi kelompok yang mendapat rata-rata nilai dibawah (7960) mendapatkan penghargaan Great Team sedangkan bagi kelompok yang
mendapatkan rata-rata nilai ( 55-30 ) mendapatkan penghargaan Super Team
6. Perhitungan
ulang
skor
awal
dan
pengubahan
kelompok.
Satu periode penilaian (34 minggu) dilakukan perhitungan ulang skor evaluasi
sebagai skor awal siswa yang baru. Kemudian dilakukan perubahan kelompok
agar siswa dapat bekerja dengan teman yang lain.

Materi Matematika yang Relevan dengan STAD. Materi-materi matematika yang


relevan dengan pembelajaran kooperatif tipe Student Team Achievement Divisions
(STAD) adalah materi-materi yang hanya untuk memahami fakta-fakta, konsep-konsep
dasar dan tidak memerlukan penalaran yang tinggi dan juga hapalan. Dengan penyajian
materi yang tepat dan menarik bagi siswa, seperti halnya pembelajaran kooperatif tipe
STAD dapat memaksimalkan proses pembelajaran sehingga dapat meningkatkan prestasi
belajar siswa.
2.6. Kemampuan Berpikir Kreatif
Berpikir kreatif adalah suatu proses berpikir yang menghasilkan bermacam-macam
kemungkinan jawaban. Dalam pemecahan masalah apabila menerapkan berpikir kreatif,
akan menghasilkan banyak ide-ide yang berguna dalam menemukan penyelesaian
masalah.
Pehkonen (1997: 65) mendefinisikan berpikir kreatif sebagai kombinasi antara
berpikir logis dan berpikir divergen yang didasarkan pada intuisi tapi masih dalam
kesadaran. Ketika seseorang menerapkan berpikir kreatif dalam suatu praktek pemecahan
masalah, pemikiran divergen menghasilkan banyak ide yang berguna dalam
menyelesaikan masalah. Dalam berpikir kreatif dua bagian otak akan sangat diperlukan.
Keseimbangan antara logika dan kreativitas sangat penting. Jika salah satu menempatkan
deduksi logis terlalu banyak, maka kreativitas akan terabaikan. Dengan demikian untuk
memunculkan kreativitas diperlukan kebebasan berpikir tidak di bawah kontrol dan
tekanan.
Silver (1997: 76) menjelaskan bahwa menggunakan masalah terbuka dapat
memberi siswa banyak sumber pengalaman dalam menafsirkan masalah, dan mungkin
pembangkitan solusi berbeda dihubungkan dengan penafsiran yang berbeda. Siswa tidak
hanya dapat menjadi fasih dalam membangkitkan banyak masalah dari sebuah situasi,
tetapi mereka dapat juga mengembangkan fleksibilitas dengan mereka membangkitkan
banyak solusi pada sebuah masalah. Melalui cara ini siswa juga dapat dikembangkan
dalam menghasilkan pemecahan yang baru.
Silver (1997: 76) menjelaskan komponen berpikir kreatif dalam pemecahan
masalah pada tabel berikut .
Tabel 1: Komponen Berpikir Kreatif dan Pemecahan Masalah Pemecahan Masalah
Pemecahan Masalah

Komponen Berpikir Kreatif

Siswa menyelesaikan masalah dengan bermacam-

Kefasihan (fluency)

macam solusi dan jawaban.


Siswa menyelesaikan (menyatakan) dalam satu cara

Fleksibilitas (flexibility)

kemudian dalam cara lain.


Siswa memeriksa jawaban dengan berbagai metode

Kebaruan (novelty)

penyelesaian dan kemudian membuat metode yang


baru yang berbeda.
Berpikir kreatif dalam hal ini adalah kemampuan siswa dalam menghasilkan
banyak kemungkinan jawaban dan cara dalam memecahkan masalah. Kemampuan
berpikir kreatif dapat diukur dengan fleksibilitas, kebaruan, dan kefasihan. Fleksibilitas
yaitu kemampuan siswa dalam memecahkan masalah dengan berbagai cara yang berbeda.
Kebaruan yaitu kemampuan siswa dalam membuat berbagai jawaban yang berbeda dan
benar dalam memecahkan masalah. Jawaban yang berbeda yaitu jawaban-jawaban yang
diperoleh tidak sama dan tidak membentuk suatu pola tertentu. Kefasihan yaitu
kemampuan siswa dalam membuat jawaban yang beragam dan benar dalam memecahkan
masalah. Jawaban yang beragam yaitu jawaban yang diperoleh tidak sama dan
membentuk pola tertentu. Contoh Tentukan dua bilangan yang jumlahnya 5. Jika
jawaban siswa berpola 1+4, 2+3, 3+2, 4+1, dan seterusnya, maka jawaban tersebut

memenuhi kefasihan tetapi tidak memenuhi kebaruan. Jika jawaban siswa

1
1
+4
2
2

8 +(-3), 0,25 + 4,25, dan seterusnya, maka jawaban tersebut tidak berpola dan memenuhi
kebaruan sekaligus kefasihan.

BAB III
PENERAPAN PBL DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA

3.1. Penerapan PBL Pada Materi Program Linier

Projek
4.5 Merancang dan mengajukan masalah nyata berupa masalah program linear, dan
menerapkan berbagai konsep dan aturan penyelesaian sistem pertidaksamaan
linier dan menentukan nilai optimum dengan menggunakan fungsi selidik yang
ditetapkan.
PENILAIAN
No
1.

Indikator
Menyelesaikan

berbagai

permasalahan

berkaitan

yang

Penilaian

dengan menghitung nilai optimum


pada suatu persoalan program
linear.
3.2. RaPoPo NOTYET

3.3. Lembar Aktivitas Siswa

Tertulis dan
Kinerja

Instrumen
Rubrik
Penilaian
Proses LAS
dan KUIS

Hari/ Tanggal
Kelompok/ Kelas
Nama Kelompok

:
:
: 1.
2.
3.
4.
5.

Lembar Aktivitas Siswa Program Linear


Penilaian Tertulis (Bentuk Uraian)
Satuan Pendidikan : SMA
Mata Pelajaran

: Matematika

Kelas

: XI

Kompetensi Dasar

:
3.8 Menerapkan prosedur yang sesuai untuk menyelesaikan
masalah program linear terkait masalah nyata dan
menganalisis kebenaran langkah-langkahnya.

Indikator

:
Siswa dapat menentukan nilai optimum dari suatu fungsi
objektif dan dapat menafsirkan solusi dari masalah program
linear.

Materi

: Program Linear

Petunjuk

:
1. Diskusikan dan selesaikan permasalahan berikut ini
bersama anggota kelompokmu.
2. Tulislah hasil jawaban pada lembar jawaban yang tersedia.
3. Tulislah rincian tiap-tiap langkah dalam menyelesaikan
permasalahan mulai dari apa diketahui, apa yang ditanya
hingga menemukan hasilnya.

Soal
PT. Disney akan memproduksi dua jenis boneka yaitu boneka Hello Kitty dan boneka
Winnie the Pooh. Proses pembuatan boneka melalui dua mesin, untuk boneka Hello
Kitty yaitu 20 menit mesin I dan 10 menit mesin II sedangkan untuk boneka Winnie
The Pooh yaitu10 menit mesin I dan 20 menit mesin II. Mesin I dan mesin II masing-

masing beroperasi 8 jam per hari. Jika PT. Disney menjual boneka Hello Kitty dan
Winnie The Pooh dengan keuntunganmasing-masing Rp10.000,00 dan Rp8.500,00
per buah.
a. Buatlah model matematika dari permasalahan ini agar dapat memperoleh
keuntungan sebesar-besarnya!
b. Tentukan banyaknya boneka Hello Kitty dan Winnie the Pooh yang
diproduksi agar dapat memperoleh keuntungan sebesar-besarnya!
c. Tentukan keuntungan maksimal yang mungkin diperoleh PT. Disney!

Solusi

KUNCI JAWABAN LAS


Alternatif Jawaban
Diketahui

: Pembuatan boneka Hello Kitty menggunakan 20 menit mesin I dan 10


menit mesin II Pembuatan boneka Winnie The Pooh menggunakan 10
menit mesin I dan 20 menit mesin II. Mesin I dan II masing-masing
beroperasi selama 8 jam per hari Penjualan boneka Hello Kitty dan
Winnie The Pooh masing-masing adalah Rp. 10.000,00 dan Rp 8.500,00
per boneka.

Ditanya

a. Buatlah model matematikanya!


b. Tentukanlah keuntungan maksimumnya!
c. Tentukan banyaknya boneka Hello Kitty dan Winnie The Pooh
yang harusdi produksi agar PT. Disney mendapatka keuntungan yang
sebesar-besarnya!
Jawab

a. Membuat model matematika


Untuk membuat model matematikanya maka langkah awal adalah memiasalkan
boneka-boneka yang di produksi dengan suatu variabel pengganti
Misalkan :
x = banyaknya boneka Hello kitty yang diproduksi
y = banyaknya boneka Winne the Pooh yang diroduksi

3.4. Penilaian

DAFTAR PUSTAKA

Trianto
Rusman
Hoiriyah (jurnal PARADIKMA, 2014) No.2
Saomsir, Katrina dan Sahat Siahaan (jurnal PARADIKMA, 2014) No.1

Savery, J. R. (2006). Overview of Problem-based Learning: Denitions and


Distinctions.Interdisciplinary Journal of Problem-Based Learning, 1(1).
Ida Bagus Putu Arnyana, Pengaruh Penerapan Strategi Pembelajaran Inovatif Pada
Pelajaran Biologi Terhadap Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa SMA. Jurnal
Pendidikan Dan Pengajaran Ikip Negeri Singaraja, No. 3 Th. xxxix Juli 2006.
ISSN 0215 8250. Hal 496-515

Anda mungkin juga menyukai