Lapsus DKA
Lapsus DKA
PENDAHULUAN
Dermatitis adalah peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai respon
terhadap pengaruh faktor eksogen dan atau faktor endogen yang dapat
menimbulkan kelainan klinis berupa efloresensi polimorfik (eritema, edema,
papul, vesikel, skuama, likenikasi), dan keluhan gatal. Tanda polimorfik tidak
selalu muncul bersamaan, bahkan mungkin hanya beberapa (oligomorfik).
Dermatitis cenderung bersifat residif dan menjadi kronis.1
Dermatitis kontak merupakan istilah umum pada reaksi inflamasi akut atau
kronis dari suatu zat yang bersentuhan dengan kulit. Ada dua jenis dermatitis
kontak. Pertama, dermatitis kontak iritan (DKI) disebabkan oleh iritasi kimia,
dermatitis kontak alergi (DKA) disebabkan oleh antigen (alergen) dimana
memunculkan reaksi hipersensitivitas tipe IV (cell-mediated atau tipe lambat).
Karena DKI bersifat toksik, maka reaksi inflamasi hanya terbatas pada daerah
paparan, batasnya tegas dan tidak pernah menyebar. Sedangkan DKA adalah
reaksi imun yang cenderung melibatkan kulit di sekitarnya (spreading
phenomenon) dan bahkan dapat menyebar di luar area yang terkena. Pada DKA
dapat terjadi penyebaran yang menyeluruh.1,2
Dalam praktek klinis, kedua respon ini (antara iritan dan alergi) mungkin
sulit untuk membedakan. Banyak bahan kimia dapat bertindak baik sebagai iritan
maupun alergen. DKA adalah salah satu masalah dermatologi yang cukup sering,
menjengkelkan, dan menghabiskan biaya. Perlu dicatat bahwa 80% dari dermatitis
kontak akibat kerja (Occupational Contact Dermatitis) adalah iritan dan 20%
alergi. Namun, data terakhir dari Inggris dan Amerika Serikat menunjukkan
bahwa persentase dermatitis kontak akibat kerja karena alergi mungkin jauh lebih
tinggi, berkisar antara 50 dan 60 persen, sehingga meningkatkan dampak ekonomi
dari kerja DKA.1.3
Pada kesempatan ini penulis akan menguraikan secara ringkas tentang
DKA disertai dengan pembahasan mengenai satu kasus DKA di RS Puri Raharja.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Dermatitis kontak alergi (DKA) adalah suatu reaksi peradangan kulit yang
timbul setelah kontak dengan alergen. DKA dimanifestasikan dalam berbagai
derajat eritema, edema, dan vesikulasi, yang timbul pada individu yang telah
mengalami proses sensitisasi terhadap alergen.1
2.2 Epidemiologi
Diperkirakan bahwa kejadian DKI akibat kerja sebanyak 80% dan DKA
sebanyak 20%, namun data terbaru dari Inggris dan Amerika Serikat
menunjukkan bahwa persentase DKA kemungkinan lebih tinggi dari perkiraan
sebelumnya, berkisar antara 50% - 60%. Dari data NHANES (National Health
and
Nutritional
Examination
Survey),
berdasarkan
pemeriksaan
fisik,
diperkirakan prevalensi DKA di Amerika Serikat sebanyak 13,6 kasus per 1000
orang. Sedangkan prevalensinya di Swedia dan Belanda masing-masing sebanyak
2,7 dan 12 kasus per 1000 orang. Suatu studi cross-sectional di Denmark pada
tahun 1998 melaporkan sebanyak 18,6% memiliki alergi pada satu alergen
potensial untuk menimbulkan dermatitis kontak alergi. Predileksi dermatitis
kontak alergi umumnya pada tangan, kaki, dan wajah dimana bagian tersebut
memang sering terjadi kontak dengan dunia luar. DKA dapat mengenai semua
ras/suku bangsa, dan lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan dengan lakilaki. Usia tidak mempengaruhi timbulnya sensitisasi, namun DKA lebih jarang
dijumpai pada anak-anak. Lebih sering timbul pada usia dewasa muda tapi dapat
mengenai segala usia. Gejala dermatitis kontak alergi pada orang tua munculnya
lebih lambat.2,3
2.3 Etiopatogenesis
DKA
merupakan
bagian
dari
hipersensitivitas
tipe
IV.
Hipersensitivitas tipe IV merupakan respon imun yang diperantari oleh sel (cell2
mediated immune response) dan merupakan suatu reaksi imunologik tipe lambat. 2
Kurang lebih sekitar 3000 bahan kimia yang telah diketahui menyebabkan
dermatitis kontak alergi.
DKA disebabkan suatu substansi kimia sederhana yang molekulnya
amat kecil (berat molekul < 1000 Da). Molekul yang disebut hapten ini
merupakan alergen yang belum diproses, bersifat lipofilik, sangat reaktif dan
mampu menembus stratum korneum. Berbagai faktor mempengaruhi timbulya
DKA, antara lain: potensi sensitisasi alergen, dosis per unit area, luas daerah yang
terkena, lama pajanan, suhu, kelembaban, oklusi, vehikulum, dan pH. Selain itu
faktor individu seperti usia, keadaan kulit dan status imunologis.2
Reaksi Dermatitis kontak alergi terjadi dalam dua fase, yaitu fase
sensitisasi dan fase elisitasi.2
1. Fase sensitisasi
Dalam fase ini, hapten yang menembus stratum korneum, ditangkap oleh sel
Langerhans di lapisan basal epidermis melalui pinositosis. Kemudian hapten
diproses dan digabungkan pada molekul HLA-DR, sehingga menjadi antigen
yang lengkap, lalu dipresentasikan di permukaan sel Langerhans. Sel
Langerhans yang telah aktif bermigrasi menuju kelenjar getah bening regional
melalui aliran limfe dan mempresentasikan kompleks HLA-DR-antigen
kepada sel Th spesifik. Sel Langerhans kemudian mensekresikan sitokin
proinflamasi yang merangsang proliferasi sel Th spesifik seperti IL-1. Th yang
teraktivasi mengeluarkan sitokin IL-2 untuk mengaktifkan proliferasi sel T
spesifik lebih banyak lagi. Turunan dari sel Th spesifik yang dihasilkan (sel T
memori) memasuki aliran darah dan beredar ke seluruh tubuh. Fase sensitisasi
berlangsung selama 2-3 minggu.2,4
2. Fase elisitasi
Fase ini terjadi pada individu yang telah tersensitisisasi mengalami pajanan
ulang terhadap hapten. Hapten yang telah ditangkap dan diproses menjadi
antigen oleh sel Langerhans, dipresentasikan kepada sel T memori. Interaksi
ini mengakibatkan aktivasi sel T spesifik dan pelepasan mediator-mediator
inflamasi (histamin, leukotrien, prostaglandin, dan lainnya) yang diinduksi
Namun, dapat terjadi penyebaran ke bagian tubuh yang lainnya baik melalui
pajanan terhadap alergen, atau melalui autosensitisasi. Daerah kulit kepala,
telapak tangan dan kaki relatif resisten terhadap DKA.2
Gambaran klinis DKA juga dapat dilihat menurut predileksi regionalnya.
Hal ini akan memudahkan untuk mencari bahan penyebabnya. Tempat predileksi
DKA antara lain:2
1. Tangan
Kejadian dermatitis kontak baik iritan maupun alergi paling sering di
tangan, karena merupakan organ tubuh yang paling sering digunakan untuk
pekerjaan sehari-hari. Tidak jarang ditemukan riwayat atopi pada penderita.
Etiologi DKA pada tangan sangat kompleks karena banyak faktor lain yag
berperan di samping atopi. Contoh bahan penyebabnya misalnya deterjen,
antiseptik, getah sayuran/tanaman, semen dan pestisida. Riwayat pekerjaan
perlu diperhatikan apabila terjadi dermatitis kontak alergi pada tangan.
2. Lengan
Alergen umumnya sama dengan pada tangan, misalnya oleh jam tangan
(nikel), sarung tangan karet, debu semen dan tanaman. Di aksila umumnya
oleh deodaran, anti perspiran, dan formaldehid pada pakaian.
3. Wajah
Dermatitis kontak pada wajah dapat disebabkan bahan kosmetik, spons,
obat topikal, alergen yang ada di udara (aero-alergen), nikel (tangkai kaca
mata). Alergen pada tangan dapat menenai muka dan leher pada waktu
menyeka keringat. Bila di bibir atau sekitarnya mungkin disebabkan oleh
lipstik, pasta gigi dan getah buah-buahan. Dermatitis di kelopak mata dapat
disebabkan oleh cat kuku, cat rambut, perona mata dan obat mata.
4. Telinga
DKA pada telinga sering diakibatkan oleh anting atau jepit telinga terbuat
dari nikel. Penyebab lainnya seperti obat topikal, tangkai kaca mata, cat
rambut, alat bantu pendengaran, gagang telepon.
5. Leher dan kepala
Pada leher penyebabnya adalah kalung dari nikel, cat kuku (yang berasal
dari ujung jari), parfum, alergen di udara dan zat warna pakaian. Kulit
kepala relative tahan terhadap alergen kontak, namun dapat juga terkena
oleh cat rambut, semprotan rambut, sampo atau larutan pengeriting rambut.
6. Badan
Dapat disebabkan oleh pakaian, zat warna, kancing logam, karet (elastis,
busa), plastik dan deterjen, bahan pelembut atau pewangi pakaian.
7. Genitalia
Penyebabnya dapat antiseptik, obat topikal, nilon, kondom, pembalut
wanita dan alergen yang berada di tangan, parfum, kontrasepsi, deterjen.
Bila mengenai daerah anal, mungkin karena obat anti hemorrhoid.
8. Paha dan tungkai bawah
Disebabkan oleh pakaian, dompet, kunci (nikel) di saku, kaos kaki nilon,
obat topikal (anestesi lokal, neomisin, etilendiamin), semen, sandal dan
sepatu. Pada kaki dapat diakibatkan oleh deterjen, bahan pembersih lantai.
9. Dermatitis kontak sistemik
Dapat terjadi pada individu yang telah mengalami sensitisasi, yang
kemudian mengalami pajanan secara sistemik. Walaupun jarang terjadi,
reaksi dapat meluas bahkan hingga terjadi eritroderma.
2.6 Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis DKA, diperlukan anamnesis yang teliti dan
cermat, pemeriksaan fisik, dan uji tempel. Anamnesis ditujukan selain untuk
menegakkan diagnosis juga untuk mencari kausanya. Karena hal ini penting
dalam menentukan terapi dan tindak lanjutnya, yaitu mencegah kekambuhan.
Diperlukan kesabaran, ketelitian, pengertian dan kerjasama yang baik dengan
pasien. Pada anamnesis perlu juga ditanyakan riwayat atopi pribadi dan keluarga,
perjalanan penyakit, pekerjaan, hobi, pemakaian kosmetika, penyakit kulit yang
pernah dialami, riwayat kontak, dan pengobatan yang pernah diberikan oleh
dokter maupun dilakukan sendiri, serta kondisi lain yaitu riwayat medis umum,
dan mungkin faktor psikologis.2
Pemeriksaan fisik amat penting, karena dari lokasi dan pola kelainan kulit
yang ditemukan, dapat diketahui kemungkinan penyebabnya. Sangat penting
untuk mencari tahu lokasi awal munculnya kelainan kulit dan membuat daftar
kontaktan yang mungkin menjadi penyebabnya. Bila penderita mengalami
dermatitis kontak alergi yang kronis, informasi tentang faktor-faktor yang
mengakibatkan kekambuhan dari pasien akan sangat bermanfaat.2
Individu dengan DKA biasanya muncul gejala setelah beberapa hari
terpapar oleh alergen. Terutama pada area yang terpapar. Minimal 10 hari untuk
seseorang menghasilkan gejala sensitivitas yang spesifik. 3 Umumnya penderita
mengeluh gatal. Pada fase akut dimulai dari bercak eritema yang berbatas jelas
diikuti dengan edema, papulovesikel, vesikel atau bula. Vesikel dan bula yang
pecah menimbulkan ekskoriasi dan eksudasi. Pada DKA kronis terlihat kulit
kering, skuama, papul dan likenfikasi dengan batas tidak tegas.2
Gejala klinis fase akut DKA umumnya terjadi meningkat (escalating)
dimulai dari eritema hingga vesikel. Perkecualian pada daerah dengan kulit yang
tipis dan memungkinkan absorpsi yang lebih cepat seperti kelopak mata, mukosa
dan genital akan dominan tampak edema.3
Pola distribusi pada DKA mengikuti daerah kulit yang terpapar oleh
alergen atau kontaktan. Sehingga pola distribusi lesi dan daerah dengan gejala
DKA membuat klinisi mudah menentukan penyebab terjadinya dermatitis kontak
alergi.3
DKA dapat dibuktikan dengan uji tempel. Uji ini biasa digunakan untuk
alergen dengan berat molekul rendah yang dapat menembus stratum korneum
yang utuh (membran barier kulit yang intak). Meskipun anamnesis dari pasien
didapatkan kemungkinan adanya alergi, bukti yang nyata didapatkan dari hasil uji
kulit yang positif. Tujuan uji tempel adalah mencari atau membuktikan penyebab
DKA.2
2.7 Diagnosis Banding
Kelainan kulit pada dermatitis kontak alergi sering tidak
menunjukkan gambaran morfologi yang khas. Berbagai jenis kelainan kulit yang
harus dipertimbangkan dalam diagnosis banding adalah :
1. Dermatitis kontak iritan: Diagnosis banding yang terutama adalah
dermatitis kontak iritan. Dalam keadaan ini, diperlukan pemeriksaan uji
tempel untuk menegakkan diagnosis. Biasanya gejala dermatitis kontak
iritan lebih banyak mengarah pada nyeri dan rasa terbakar. Onset gejala
muncul berlangsung cepat setelah kontak dengan bahan iritan sehingga
biasanya pasien ingat bahan penyebabnya.
2. Dermatitis atopik: erupsi kulit yang bersifat kronik residif, pada tempat
-tempat tertentu seperti lipat siku, lipat lutut disertai riwayat atopi pada
penderita atau keluarganya. Biasanya gejalanya gatal hilang timbul
sepanjang hari terutama pada malam hari dan terkena keringat.
3. Dermatitis numularis: merupakan dermatitis yang bersifat kronik residif
dengan lesi berukuran sebesar uang logam dan umumnya berlokasi pada
sisi ekstensor ekstremitas. Biasanya tanpa riwayat paparan terhadap
alergen.
4. Dermatomikosis: infeksi kulit yang disebabkan oleh jamur dengan
efloresensi kulit bersifat eritema, berbatas tegas dengan tepi yang lebih
aktif dan bagian tengahnya tenang.
2.8 Uji Tempel
Uji tempel kulit pertama kali diperkenalkan oleh Jadassohn pada tahun
1895. Tujuan dari uji tempel untuk mendeteksi DKA, dilakukan dengan
menempelkan bahan yang dicurigai dengan bentuk dan konsentrasi yang benar
pada kulit normal. Uji tempel merupakan cara artifisial yang hasilnya tidak selalu
sama dengan hasil kontak dengan lingkungan pasien sehari-hari, sebab
dipengaruhi oleh absorsi perkutan. Oleh karena itu untuk menjamin dan
membantu absorbsi dari bahan yang diuji, uji tempel harus dilakukan secara
tertutup (oklusif). Absorbsi perkutan juga dipengaruhi oleh cara yang dipakai,
temperatur, kelembaban, dan waktu/kapan dilakukannya tes.2
Tempat untuk melakukan uji tempel biasanya di punggung. Penempelan
dapat dilakukan dengan menggunakan thin-layer rapid-use epicutaneus (TRUE)
test atau dengan wadah aluminium (Finn chamber) yang diletakan pada perekat.
Setelah 48 jam lembaran uji diangkat dan dilakukan pembacaan dengan sistem
skoring tertentu.2
Berbagai hal berikut perlu diperhatikan dalam pelaksanaan uji tempel:2
a. Dermatitis harus sudah tenang (sembuh). Dapat terjadi reaksi angry
back, reaksi positif palsu, bahkan memperburuk penyakit yang diderita.
b. Tes dilakukan sekurang-sekurangnya satu minggu setelah pemakaian
kortikosteroid sistemik dan topikal dihentikan. Sedangkan antihistamin
sistemik tidak mempengaruhi hasil tes.
c. Uji tempel dibuka setelah dua hari kemudian dibaca. Pembacaan kedua
dilakukan pada hari ke-3 sampai ke-7 setelah aplikasi.
d. Penderita dilarang melakukan aktivitas yang menyebabkan uji tempel
menjadi longgar, dilarang mandi sekurang-kurangnya 48 jam dan menjaga
agar punggung selalu kering sampai pembacaan terakhir selesai karena
dapat memberikan hasil negatif palsu.
e. Uji tempel dengan bahan standar jangan dilakukan pada penderita yang
mempunyai riwayat urtikaria dadakan karena dapat menimbulkan urtikaria
generalisata bahkan reaksi anafilaksis.
Setelah dibiarkan menempel selama 48 jam, uji tempel dilepas. Pembacaan
pertama dilakukan 15-30 menit setelah dilepas, agar efek tekanan bahan yang
diuji telah menghilang atau minimal. Hasilnya dicacat seperti berikut:2
1 = reaksi lemah (nonvesikular): eritema, infiltrat, papul (+)
10
Kortikosteroid
Kortikosteroid mempunyai peranan penting dalam sistem imun. Pemberian
topikal akan menghambat reaksi aferen dan eferen dari dermatitis kontak
11
dapat
diberikan
antibiotika
(misalnya
gentamisin)
dan
Imunosupresif topikal
Obat-obatan baru yang bersifat imunosupresif adalah FK 506 (Tacrolimus)
dan SDZ ASM 981. Tacrolimus bekerja dengan menghambat proliferasi
sel T melalui penurunan sekresi sitokin seperti IL-2 dan IL-4 tanpa
merubah responnya terhadap sitokin eksogen lain. Hal ini akan
mengurangi peradangan kulit dengan tidak menimbulkan atrofi kulit dan
efek samping sistemik. SDZ ASM 981 merupakan derivat askomisin
makrolatum yang berefek anti inflamasi yang tinggi. Konsentrasi yang
diajurkan adalah 1%.
2. Pengobatan Sistemik
Pengobatan sistemik ditujukan untuk mengontrol rasa gatal dan atau edema,
juga pada kasus-kasus sedang dan berat pada keadaan akut atau kronik. Jenisjenisnya adalah :
Antihistamin
Maksud
pemberian
antihistamin
adalah
untuk
memperoleh
efek
12
Kortikosteroid
Diberikan pada kasus yang sedang atau berat, secara peroral,
intramuskular atau intravena. Pilihan terbaik adalah prednison dan
prednisolon. Steroid lain lebih mahal dan memiliki kekurangan karena
berdaya kerja lama. Bila diberikan dalam waktu singkat maka efek
sampingnya akan minimal. Perlu perhatian khusus pada penderita ulkus
peptikum,
diabetes
dan
hipertensi.
Efek
sampingnya
terutama
13
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas
Nama
: IDP
Jenis kelamin
: Perempuan
Umur
: 18 tahun
Suku
: Bali
Bangsa
: Indonesia
Agama
: Hindu
Alamat
Tanggal pemeriksaan
: 10 September 2015
14
Riwayat keluarga
Menurut pasien tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit yang sama
seperti pasien.
Riwayat sosial
Pasien bekerja sebagai pegawai swasta.
: Compos mentis
: Normochepali
Mata
THT
: kesan tenang
Thorax
Abd
Effloresensi
15
16
18
BAB IV
PEMBAHASAN
Dermatitis kontak alergi (DKA) adalah suatu reaksi peradangan
kulit yang timbul setelah kontak dengan alergen. Dermatitis kontak alergi
dimanifestasikan dalam berbagai derajat eritema, edema, dan vesikulasi, timbul
pada individu yang telah mengalami proses sensitisasi terhadap alergen. Kelainan
kulit pada dermatitis kontak alergi timbul akibat reaksi imunologis, yaitu reaksi
hipersensitivitas tipe lambat (delayed type hypersensitivity) atau reaksi
hipersensitivitas tipe IV.
Umumnya penderita DKA mengeluh gatal pada daerah kulit yang
mengalami kelainan. Kelainan kulit yang muncul bervariasi tergantung pada
lokasi dan durasi timbulnya kelainan. DKA yang akut, muncul makula eritema
berbatas tegas, diikuti edema, papulovesikel, vesikel atau bula. Vesikel atau bula
dapat pecah, menimbulkan erosi dan eksudasi. Pada keadaan yang kronis, kulit
terlihat kering, terjadi likenifikasi, berskuama, kadang terdapat fisura, batasnya
tidak jelas. Dapat juga disertai papulovesikel, namun tidak selalu. Pada awalnya,
dermatitis kontak alergi biasanya hanya terjadi pada kulit yang mengalami kontak
dengan alergen. Namun, dapat terjadi penyebaran ke bagian tubuh yang lainnya
baik melalui pajanan terhadap alergen, atau melalui autosensitisasi. Kejadian
dermatitis kontak baik iritan maupun alergi paling sering di tangan, karena
merupakan organ tubuh yang paling sering digunakan untuk pekerjaan sehari-hari.
Individu dengan DKA biasanya muncul gejala setelah beberapa hari
terpapar oleh alergen. Terutama pada area yang terpapar. Minimal 10 hari untuk
seseorang menghasilkan gejala sensitivitas yang spesifik. 3 Umumnya penderita
mengeluh gatal. Pada fase akut dimulai dari bercak eritema yang berbatas jelas
diikuti dengan edema, papulovesikel, vesikel atau bula. Vesikel dan bula yang
pecah menimbulkan ekskoriasi dan eksudasi. Pada DKA kronis terlihat kulit
kering, skuama, papul dan likenfikasi dengan batas tidak tegas.
Dari anamnesis pada pasien, didapatkan keluhan berupa gatal dan luka
pada pada kedua punggung kaki sejak 10 hari yang lalu. Pasien mengalami
keluhan ini sejak tahun 1985 dan membaik dengan pengobatan. Namun setelah
19
menghentikan pengobatan 10 hari yang lalu timbul keluhan gatal serta bercak
kemerahan diikuti dengan muncul benjolan berisi air di daerah celah jari kaki
pertama dan kedua. Lama-lama lesi semakin banyak mengikuti garis sandal jepit.
Pasien tidak memiliki riwayat rhinitis alergi ataupun asma. Pasien bekerja sebagai
ibu rumah tangga dan sehari-hari menggunakan sandal jepit berbahan karet.
Lesi penderita tergolong subakut ditandai dengan adanya krusta yang
berasal dari vesikel-vesikel yang pecah. Penderita sering terlihat menggaruk
kedua kakinya yang menandakan lesi bersifat gatal. Kemungkinan benda yang
menyebabkan timbulnya lesi adalah sandal jepit berbahan karet yang dipakainya.
Gambaran ini mendukung ke arah diagnosis DKA dimana terdapat jangka waktu
yang cukup lama untuk menimbulkan gejala sejak pemakaian sandal jepit
berbahan karet. Selain itu, lesi awal hanya eritema dengan muncul vesikel kecil
dan kemudian pecah menjadi krusta, distribusi lesi yang mengikuti pola
menyerupai sandal jepit mengarahkan pada diagnosis DKA penyebab alergi pada
sandal jepit berbahan karet.
Pemeriksaan dermatologis pada kedua punggung kaki kanan dan kiri
didapatkan effloresensi berupa patch eritema, bentuk geografika, jumlah multiple,
ukuran bervariasi, batas tegas, susunan konfluens, distribusi simetris mengikuti
bentuk sandal jepit. Beberapa tampak erosi, ditutupi krusta kecoklatan. Hal ini
sesuai dengan gambaran efloresensi dermatitis kontak alergi yaitu lesi yang
polimorfik dengan gatal yang terlihat dari adanya erosi akibat garukan.
Dengan pemeriksaan uji tempel diharapkan dapat ditemukan reaksi positif
terhadap alergen yang dicurigai sebagai penyebab penyakit, dan timbul reaksi
crescendo (menguat) pada pemeriksaan kedua untuk menyingkirkan diagnosis
banding dermatitis kontak iritan. Dimana pada dermatitis kontak iritan juga akan
ditemukan reaksi positif terhadap iritan, namun pada pemeriksaan kedua akan
melemah (reaksi decrescendo). Namun pada kasus ini, uji tempel tidak dilakukan.
Pada
prinsipnya
penatalaksanaan
dermatitis
yang
baik
adalah
20
kasus
ini,
pengobatan
yang
diberikan
adalah
pengobatan
21
BAB V
KESIMPULAN
Dermatitis kontak alergi (DKA) adalah suatu reaksi peradangan kulit yang
timbul setelah kontak dengan alergen. Reaksi dermatitis kontak alergi terjadi
dalam dua fase, yaitu fase sensitisasi dan fase elisitasi. Manifestasi klinis
dermatitis kontak alergi pada kasus ini adalah rasa gatal pada dorsum pedis dextra
et sinistra akibat pemakaian sandal jepit berbahan karet. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan efloresensi berupa plak hiperpigmentasi, bentuk sesuai dengan kontak
sandal yang dipakai pasien, jumlah multiple, ukuran plakat, batas tegas, susunan
konfluens, distribusi bilateral. Di atasnya terdapat erosi, ditutupi krusta
kecoklatan, fisura dan likenifikasi. Beberapa tampak erosi, ditutupi krusta
kecoklatan. Pemeriksaan penunjang tes tempel pada kasus ini tidak dilakukan.
Pasien pada kasus ini didiagnosis dengan DKA et causa sandal jepit
berbahan karet yang dipakai sehari-hari. Usulan pemeriksaan penunjang adalah uji
tempel untuk mengkonfirmasi penyebab dari DKA tersebut. Penderita diterapi
dengan campuran krim inerson dan fuson ditambah obat sistemik berupa
cefadroxyl, somerol dan loratadin. Pasien diberi KIE untuk tidak memakai sandal
jepit dengan bahan yang sama, tata cara pengobatan dan kontrol kembali ke
poliklinik kulit dan kelamin 5 hari kemudian. Prognosisnya adalah dubius ad
Bonam.
22
DAFTAR PUSTAKA
1. Saint-Mezard, P., Rosiers, A., Krasteva, M., Berard, F., Dubois, B.,
Kaiserlian, D., et al. Allergic Contact Dermatitis. European Journal of
Dermatology. 2008.14:284-295
2. Sularsito, S. P., Djuanda, S. Dermatitis, dalam: Djuanda, A., Hamzah,M.,
Aisah, S. (eds), Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Ed 4. 2005. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. hal. 129-153
3. Belsito DV. Allergic Contact Dermatitis. Dalam: Freedberg IM, Eisen AZ,
Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI (eds). Fitzpatricks
Dermatology in General Medicine. 6th ed. New York: The McGraw-Hill;
2003. h. 1164-1179.
4. Hogan, D., May, J. Contact Dermatitis Allergic. 2007. Available:
http://www.emedicine.com/derm/topic84.htm.
5. Nosbaum A, Vocanson M, Rozieres A, Hennino A, Nicolas JF. allergic
and irritant contact dermatitis. Eur J Dermatol. 2009. 19(4):325-32.
6. Siregar, R. S. (2004), Dermatitis Kontak Alergi, dalam: Atlas Berwarna:
Saripati Penyakit Kulit, Ed 2, EGC, Jakarta, hal 109-112
23