Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN
Dermatitis adalah peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai respon
terhadap pengaruh faktor eksogen dan atau faktor endogen yang dapat
menimbulkan kelainan klinis berupa efloresensi polimorfik (eritema, edema,
papul, vesikel, skuama, likenikasi), dan keluhan gatal. Tanda polimorfik tidak
selalu muncul bersamaan, bahkan mungkin hanya beberapa (oligomorfik).
Dermatitis cenderung bersifat residif dan menjadi kronis.1
Dermatitis kontak merupakan istilah umum pada reaksi inflamasi akut atau
kronis dari suatu zat yang bersentuhan dengan kulit. Ada dua jenis dermatitis
kontak. Pertama, dermatitis kontak iritan (DKI) disebabkan oleh iritasi kimia,
dermatitis kontak alergi (DKA) disebabkan oleh antigen (alergen) dimana
memunculkan reaksi hipersensitivitas tipe IV (cell-mediated atau tipe lambat).
Karena DKI bersifat toksik, maka reaksi inflamasi hanya terbatas pada daerah
paparan, batasnya tegas dan tidak pernah menyebar. Sedangkan DKA adalah
reaksi imun yang cenderung melibatkan kulit di sekitarnya (spreading
phenomenon) dan bahkan dapat menyebar di luar area yang terkena. Pada DKA
dapat terjadi penyebaran yang menyeluruh.1,2
Dalam praktek klinis, kedua respon ini (antara iritan dan alergi) mungkin
sulit untuk membedakan. Banyak bahan kimia dapat bertindak baik sebagai iritan
maupun alergen. DKA adalah salah satu masalah dermatologi yang cukup sering,
menjengkelkan, dan menghabiskan biaya. Perlu dicatat bahwa 80% dari dermatitis
kontak akibat kerja (Occupational Contact Dermatitis) adalah iritan dan 20%
alergi. Namun, data terakhir dari Inggris dan Amerika Serikat menunjukkan
bahwa persentase dermatitis kontak akibat kerja karena alergi mungkin jauh lebih
tinggi, berkisar antara 50 dan 60 persen, sehingga meningkatkan dampak ekonomi
dari kerja DKA.1.3
Pada kesempatan ini penulis akan menguraikan secara ringkas tentang
DKA disertai dengan pembahasan mengenai satu kasus DKA di RS Puri Raharja.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Dermatitis kontak alergi (DKA) adalah suatu reaksi peradangan kulit yang
timbul setelah kontak dengan alergen. DKA dimanifestasikan dalam berbagai
derajat eritema, edema, dan vesikulasi, yang timbul pada individu yang telah
mengalami proses sensitisasi terhadap alergen.1
2.2 Epidemiologi
Diperkirakan bahwa kejadian DKI akibat kerja sebanyak 80% dan DKA
sebanyak 20%, namun data terbaru dari Inggris dan Amerika Serikat
menunjukkan bahwa persentase DKA kemungkinan lebih tinggi dari perkiraan
sebelumnya, berkisar antara 50% - 60%. Dari data NHANES (National Health
and

Nutritional

Examination

Survey),

berdasarkan

pemeriksaan

fisik,

diperkirakan prevalensi DKA di Amerika Serikat sebanyak 13,6 kasus per 1000
orang. Sedangkan prevalensinya di Swedia dan Belanda masing-masing sebanyak
2,7 dan 12 kasus per 1000 orang. Suatu studi cross-sectional di Denmark pada
tahun 1998 melaporkan sebanyak 18,6% memiliki alergi pada satu alergen
potensial untuk menimbulkan dermatitis kontak alergi. Predileksi dermatitis
kontak alergi umumnya pada tangan, kaki, dan wajah dimana bagian tersebut
memang sering terjadi kontak dengan dunia luar. DKA dapat mengenai semua
ras/suku bangsa, dan lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan dengan lakilaki. Usia tidak mempengaruhi timbulnya sensitisasi, namun DKA lebih jarang
dijumpai pada anak-anak. Lebih sering timbul pada usia dewasa muda tapi dapat
mengenai segala usia. Gejala dermatitis kontak alergi pada orang tua munculnya
lebih lambat.2,3
2.3 Etiopatogenesis
DKA

merupakan

bagian

dari

hipersensitivitas

tipe

IV.

Hipersensitivitas tipe IV merupakan respon imun yang diperantari oleh sel (cell2

mediated immune response) dan merupakan suatu reaksi imunologik tipe lambat. 2
Kurang lebih sekitar 3000 bahan kimia yang telah diketahui menyebabkan
dermatitis kontak alergi.
DKA disebabkan suatu substansi kimia sederhana yang molekulnya
amat kecil (berat molekul < 1000 Da). Molekul yang disebut hapten ini
merupakan alergen yang belum diproses, bersifat lipofilik, sangat reaktif dan
mampu menembus stratum korneum. Berbagai faktor mempengaruhi timbulya
DKA, antara lain: potensi sensitisasi alergen, dosis per unit area, luas daerah yang
terkena, lama pajanan, suhu, kelembaban, oklusi, vehikulum, dan pH. Selain itu
faktor individu seperti usia, keadaan kulit dan status imunologis.2
Reaksi Dermatitis kontak alergi terjadi dalam dua fase, yaitu fase
sensitisasi dan fase elisitasi.2
1. Fase sensitisasi
Dalam fase ini, hapten yang menembus stratum korneum, ditangkap oleh sel
Langerhans di lapisan basal epidermis melalui pinositosis. Kemudian hapten
diproses dan digabungkan pada molekul HLA-DR, sehingga menjadi antigen
yang lengkap, lalu dipresentasikan di permukaan sel Langerhans. Sel
Langerhans yang telah aktif bermigrasi menuju kelenjar getah bening regional
melalui aliran limfe dan mempresentasikan kompleks HLA-DR-antigen
kepada sel Th spesifik. Sel Langerhans kemudian mensekresikan sitokin
proinflamasi yang merangsang proliferasi sel Th spesifik seperti IL-1. Th yang
teraktivasi mengeluarkan sitokin IL-2 untuk mengaktifkan proliferasi sel T
spesifik lebih banyak lagi. Turunan dari sel Th spesifik yang dihasilkan (sel T
memori) memasuki aliran darah dan beredar ke seluruh tubuh. Fase sensitisasi
berlangsung selama 2-3 minggu.2,4
2. Fase elisitasi
Fase ini terjadi pada individu yang telah tersensitisisasi mengalami pajanan
ulang terhadap hapten. Hapten yang telah ditangkap dan diproses menjadi
antigen oleh sel Langerhans, dipresentasikan kepada sel T memori. Interaksi
ini mengakibatkan aktivasi sel T spesifik dan pelepasan mediator-mediator
inflamasi (histamin, leukotrien, prostaglandin, dan lainnya) yang diinduksi

oleh sitokin. Hal tersebut menyebabkan dilatasi vaskular dan meningkatkan


permeabilitas sehingga molekul larut seperti komplemen dan kinin mudah
masuk ke dalam dermis dan epidermis. Selain itu faktor kemotaktik dan
eikosanoid menarik neutrofil dan monosit ke dalam dermis. Rentetan kejadian
tersebut menghasilkan gejala klinis DKA. Fase elisitasi berlangsung antara 2448 jam.2,4

Gambar 1. Patogenesis dermatitis kontak alergi.4


2.4 Gambaran Klinis
Umumnya penderita mengeluh gatal pada daerah kulit yang
mengalami kelainan. Kelainan kulit yang muncul bervariasi tergantung pada
lokasi dan durasi timbulnya kelainan. Pada DKA yang akut, muncul makula
eritema berbatas tegas, diikuti edema, papulovesikel, vesikel atau bula. Vesikel
atau bula dapat pecah, menimbulkan erosi dan eksudasi. Namun, bagian tubuh
tertentu seperti kelopak mata, penis, dan skrotum, gambaran akut yang dominan
adalah eritema dan edema dibandingkan vesikel. Pada keadaan yang kronis, kulit
terlihat kering, terjadi likenifikasi, berskuama, kadang terdapat fisura, batasnya
tidak jelas. Dapat juga disertai papulovesikel, namun tidak selalu. Pada awalnya,
DKA biasanya hanya terjadi pada kulit yang mengalami kontak dengan alergen.

Namun, dapat terjadi penyebaran ke bagian tubuh yang lainnya baik melalui
pajanan terhadap alergen, atau melalui autosensitisasi. Daerah kulit kepala,
telapak tangan dan kaki relatif resisten terhadap DKA.2
Gambaran klinis DKA juga dapat dilihat menurut predileksi regionalnya.
Hal ini akan memudahkan untuk mencari bahan penyebabnya. Tempat predileksi
DKA antara lain:2
1. Tangan
Kejadian dermatitis kontak baik iritan maupun alergi paling sering di
tangan, karena merupakan organ tubuh yang paling sering digunakan untuk
pekerjaan sehari-hari. Tidak jarang ditemukan riwayat atopi pada penderita.
Etiologi DKA pada tangan sangat kompleks karena banyak faktor lain yag
berperan di samping atopi. Contoh bahan penyebabnya misalnya deterjen,
antiseptik, getah sayuran/tanaman, semen dan pestisida. Riwayat pekerjaan
perlu diperhatikan apabila terjadi dermatitis kontak alergi pada tangan.
2. Lengan
Alergen umumnya sama dengan pada tangan, misalnya oleh jam tangan
(nikel), sarung tangan karet, debu semen dan tanaman. Di aksila umumnya
oleh deodaran, anti perspiran, dan formaldehid pada pakaian.
3. Wajah
Dermatitis kontak pada wajah dapat disebabkan bahan kosmetik, spons,
obat topikal, alergen yang ada di udara (aero-alergen), nikel (tangkai kaca
mata). Alergen pada tangan dapat menenai muka dan leher pada waktu
menyeka keringat. Bila di bibir atau sekitarnya mungkin disebabkan oleh
lipstik, pasta gigi dan getah buah-buahan. Dermatitis di kelopak mata dapat
disebabkan oleh cat kuku, cat rambut, perona mata dan obat mata.
4. Telinga
DKA pada telinga sering diakibatkan oleh anting atau jepit telinga terbuat
dari nikel. Penyebab lainnya seperti obat topikal, tangkai kaca mata, cat
rambut, alat bantu pendengaran, gagang telepon.
5. Leher dan kepala
Pada leher penyebabnya adalah kalung dari nikel, cat kuku (yang berasal
dari ujung jari), parfum, alergen di udara dan zat warna pakaian. Kulit

kepala relative tahan terhadap alergen kontak, namun dapat juga terkena
oleh cat rambut, semprotan rambut, sampo atau larutan pengeriting rambut.
6. Badan
Dapat disebabkan oleh pakaian, zat warna, kancing logam, karet (elastis,
busa), plastik dan deterjen, bahan pelembut atau pewangi pakaian.
7. Genitalia
Penyebabnya dapat antiseptik, obat topikal, nilon, kondom, pembalut
wanita dan alergen yang berada di tangan, parfum, kontrasepsi, deterjen.
Bila mengenai daerah anal, mungkin karena obat anti hemorrhoid.
8. Paha dan tungkai bawah
Disebabkan oleh pakaian, dompet, kunci (nikel) di saku, kaos kaki nilon,
obat topikal (anestesi lokal, neomisin, etilendiamin), semen, sandal dan
sepatu. Pada kaki dapat diakibatkan oleh deterjen, bahan pembersih lantai.
9. Dermatitis kontak sistemik
Dapat terjadi pada individu yang telah mengalami sensitisasi, yang
kemudian mengalami pajanan secara sistemik. Walaupun jarang terjadi,
reaksi dapat meluas bahkan hingga terjadi eritroderma.

Gambar 1. Gambaran Dermatitis kontak alergi akut pada tangan

Gambar 2. Gambaran kronis dermatitis kontak alergi pada tangan


2.5 Histopatologis
Gambaran histopatologis tidak memberi gambaran khas untuk diagnostik
karena dapat juga terlihat pada dermatitis oleh sebab lain. Pada DKA akut dan
kronis gambaran histopatologisnya agak berbeda, dan bergantung pada derajat
keparahan reaksi inflamasi yang terjadi.5
Pada stadium akut, umumnya akan terjadi spongiosis akibat edema
interselular, biasanya terbatas pada epidermis bagian bawah, tapi bila reaksi yang
terjadi lebih hebat dapat mencapai lapisan epidermis bagian atas. Dermis sembab
dan pembuluh darah mengalami vasodilatasi. Terdapat sebukan sel radang
terutama sel mononuklear, kadang eosinofil juga ditemukan. Manifestasi klinis
dari akumulasi cairan pada stadium akut yaitu pembentukan vesikel yang dapat
mengalami ruptur ke permukaan epidermis.5
Pada stadium subakut, gambarannya mirip dengan stadium akut namun
edema, eksositosis dan vesikel berkurang. Vasodilatasi dan sebukan sel radang
masih jelas. Epidermis mulai menebal (akantosis) dan stratum korneum
mengalami parakeratosis. Jumlah fibroblast meningkat.5
Stadium kronis, epidermis semakin menebal, pada stratum korneum terjadi
hyperkeratosis. Pigmen melanin di dalam sel basal bertambah dan papilla dermis
memanjang. Sebukan sel radang mononuklear masih Nampak terutama di sekitar
pembuluh darah dermis bagian atas. Dinding pembuluh darah menebal, fibroblast
bertambah, dan kolagen menebal.5

2.6 Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis DKA, diperlukan anamnesis yang teliti dan
cermat, pemeriksaan fisik, dan uji tempel. Anamnesis ditujukan selain untuk
menegakkan diagnosis juga untuk mencari kausanya. Karena hal ini penting
dalam menentukan terapi dan tindak lanjutnya, yaitu mencegah kekambuhan.
Diperlukan kesabaran, ketelitian, pengertian dan kerjasama yang baik dengan
pasien. Pada anamnesis perlu juga ditanyakan riwayat atopi pribadi dan keluarga,
perjalanan penyakit, pekerjaan, hobi, pemakaian kosmetika, penyakit kulit yang
pernah dialami, riwayat kontak, dan pengobatan yang pernah diberikan oleh
dokter maupun dilakukan sendiri, serta kondisi lain yaitu riwayat medis umum,
dan mungkin faktor psikologis.2
Pemeriksaan fisik amat penting, karena dari lokasi dan pola kelainan kulit
yang ditemukan, dapat diketahui kemungkinan penyebabnya. Sangat penting
untuk mencari tahu lokasi awal munculnya kelainan kulit dan membuat daftar
kontaktan yang mungkin menjadi penyebabnya. Bila penderita mengalami
dermatitis kontak alergi yang kronis, informasi tentang faktor-faktor yang
mengakibatkan kekambuhan dari pasien akan sangat bermanfaat.2
Individu dengan DKA biasanya muncul gejala setelah beberapa hari
terpapar oleh alergen. Terutama pada area yang terpapar. Minimal 10 hari untuk
seseorang menghasilkan gejala sensitivitas yang spesifik. 3 Umumnya penderita
mengeluh gatal. Pada fase akut dimulai dari bercak eritema yang berbatas jelas
diikuti dengan edema, papulovesikel, vesikel atau bula. Vesikel dan bula yang
pecah menimbulkan ekskoriasi dan eksudasi. Pada DKA kronis terlihat kulit
kering, skuama, papul dan likenfikasi dengan batas tidak tegas.2
Gejala klinis fase akut DKA umumnya terjadi meningkat (escalating)
dimulai dari eritema hingga vesikel. Perkecualian pada daerah dengan kulit yang
tipis dan memungkinkan absorpsi yang lebih cepat seperti kelopak mata, mukosa
dan genital akan dominan tampak edema.3
Pola distribusi pada DKA mengikuti daerah kulit yang terpapar oleh
alergen atau kontaktan. Sehingga pola distribusi lesi dan daerah dengan gejala
DKA membuat klinisi mudah menentukan penyebab terjadinya dermatitis kontak
alergi.3

DKA dapat dibuktikan dengan uji tempel. Uji ini biasa digunakan untuk
alergen dengan berat molekul rendah yang dapat menembus stratum korneum
yang utuh (membran barier kulit yang intak). Meskipun anamnesis dari pasien
didapatkan kemungkinan adanya alergi, bukti yang nyata didapatkan dari hasil uji
kulit yang positif. Tujuan uji tempel adalah mencari atau membuktikan penyebab
DKA.2
2.7 Diagnosis Banding
Kelainan kulit pada dermatitis kontak alergi sering tidak
menunjukkan gambaran morfologi yang khas. Berbagai jenis kelainan kulit yang
harus dipertimbangkan dalam diagnosis banding adalah :
1. Dermatitis kontak iritan: Diagnosis banding yang terutama adalah
dermatitis kontak iritan. Dalam keadaan ini, diperlukan pemeriksaan uji
tempel untuk menegakkan diagnosis. Biasanya gejala dermatitis kontak
iritan lebih banyak mengarah pada nyeri dan rasa terbakar. Onset gejala
muncul berlangsung cepat setelah kontak dengan bahan iritan sehingga
biasanya pasien ingat bahan penyebabnya.
2. Dermatitis atopik: erupsi kulit yang bersifat kronik residif, pada tempat
-tempat tertentu seperti lipat siku, lipat lutut disertai riwayat atopi pada
penderita atau keluarganya. Biasanya gejalanya gatal hilang timbul
sepanjang hari terutama pada malam hari dan terkena keringat.
3. Dermatitis numularis: merupakan dermatitis yang bersifat kronik residif
dengan lesi berukuran sebesar uang logam dan umumnya berlokasi pada
sisi ekstensor ekstremitas. Biasanya tanpa riwayat paparan terhadap
alergen.
4. Dermatomikosis: infeksi kulit yang disebabkan oleh jamur dengan
efloresensi kulit bersifat eritema, berbatas tegas dengan tepi yang lebih
aktif dan bagian tengahnya tenang.
2.8 Uji Tempel
Uji tempel kulit pertama kali diperkenalkan oleh Jadassohn pada tahun
1895. Tujuan dari uji tempel untuk mendeteksi DKA, dilakukan dengan

menempelkan bahan yang dicurigai dengan bentuk dan konsentrasi yang benar
pada kulit normal. Uji tempel merupakan cara artifisial yang hasilnya tidak selalu
sama dengan hasil kontak dengan lingkungan pasien sehari-hari, sebab
dipengaruhi oleh absorsi perkutan. Oleh karena itu untuk menjamin dan
membantu absorbsi dari bahan yang diuji, uji tempel harus dilakukan secara
tertutup (oklusif). Absorbsi perkutan juga dipengaruhi oleh cara yang dipakai,
temperatur, kelembaban, dan waktu/kapan dilakukannya tes.2
Tempat untuk melakukan uji tempel biasanya di punggung. Penempelan
dapat dilakukan dengan menggunakan thin-layer rapid-use epicutaneus (TRUE)
test atau dengan wadah aluminium (Finn chamber) yang diletakan pada perekat.
Setelah 48 jam lembaran uji diangkat dan dilakukan pembacaan dengan sistem
skoring tertentu.2
Berbagai hal berikut perlu diperhatikan dalam pelaksanaan uji tempel:2
a. Dermatitis harus sudah tenang (sembuh). Dapat terjadi reaksi angry
back, reaksi positif palsu, bahkan memperburuk penyakit yang diderita.
b. Tes dilakukan sekurang-sekurangnya satu minggu setelah pemakaian
kortikosteroid sistemik dan topikal dihentikan. Sedangkan antihistamin
sistemik tidak mempengaruhi hasil tes.
c. Uji tempel dibuka setelah dua hari kemudian dibaca. Pembacaan kedua
dilakukan pada hari ke-3 sampai ke-7 setelah aplikasi.
d. Penderita dilarang melakukan aktivitas yang menyebabkan uji tempel
menjadi longgar, dilarang mandi sekurang-kurangnya 48 jam dan menjaga
agar punggung selalu kering sampai pembacaan terakhir selesai karena
dapat memberikan hasil negatif palsu.
e. Uji tempel dengan bahan standar jangan dilakukan pada penderita yang
mempunyai riwayat urtikaria dadakan karena dapat menimbulkan urtikaria
generalisata bahkan reaksi anafilaksis.
Setelah dibiarkan menempel selama 48 jam, uji tempel dilepas. Pembacaan
pertama dilakukan 15-30 menit setelah dilepas, agar efek tekanan bahan yang
diuji telah menghilang atau minimal. Hasilnya dicacat seperti berikut:2
1 = reaksi lemah (nonvesikular): eritema, infiltrat, papul (+)

10

2 = reaksi kuat: edema atau vesikel (++)


3 = reaksi sangat kuat (ekstrim): bula atau ulkus (+++)
4 = meragukan: hanya makula eritematosa (?)
5 = iritasi: seperti terbakar, pustule, atau purpura (IR)
6 = reaksi negative (-)
7 = excited skin
8 = tidak dites (NT= not tested)
Pembacaan kedua biasanya dilakukan 72-96 jam setelah aplikasi, penting untuk
membantu membedakan antara dermatitis kontak alergi atau iritan, juga
mengidentifikasi lebih banyak lagi respon positif alergen. Untuk menginterpretasi
hasil uji tempel tidak mudah. Interpretasi dilakukan setelah pembacaan kedua.
Respon alergi biasanya menjadi lebih jelas antara pembacaan pertama dan kedua,
berawal dari +/- ke +/++ bahkan +++ (reaksi tipe crescendo), sedangkan respon
iritan cenderung menurun (reaksi tipe decrescendo).2
2.9 Penatalaksanaan
Pada prinsipnya penatalaksanaan DKA yang baik adalah mengidentifikasi
penyebab dan menyarankan pasien untuk menghindarinya, dan menekan kelainan
kulit yang timbul dengan terapi topikal dan sistemik.2,3,4
1. Pengobatan topikal
Obat-obat topikal yang diberikan sesuai dengan prinsip-prinsip umum pengobatan
dermatitis yaitu bila basah diberi terapi basah (kompres terbuka), bila kering
berikan terapi kering. Makin akut penyakit, makin rendah prosentase bahan aktif.
Bila akut berikan kompres, bila subakut diberi losio, pasta, krim atau linimentum
(pasta pendingin ), bila kronik berikan salep. Bila basah berikan kompres, bila
kering superfisial diberi bedak, bedak kocok, krim atau pasta, bila kering di
dalam, diberi salep. Medikamentosa topikal saja dapat diberikan pada kasus-kasus
ringan. Jenis-jenisnya adalah:

Kortikosteroid
Kortikosteroid mempunyai peranan penting dalam sistem imun. Pemberian
topikal akan menghambat reaksi aferen dan eferen dari dermatitis kontak

11

alergi. Steroid menghambat aktivasi dan proliferasi sel T spesifik. Efek


imunomodulator ini meniadakan respon imun yang terjadi dalam proses
dermatitis kontak. Jenis yang dapat diberikan adalah hidrokortison 2,5 %,
halcinonid dan triamsinolon asetonid. Cara pemakaian topikal dengan
menggosok secara lembut. Untuk meningkatan penetrasi obat dan
mempercepat penyembuhan, dapat dilakukan secara tertutup dengan film
plastik selama 6-10 jam setiap hari. Perlu diperhatikan timbulnya efek
samping berupa potensiasi, atrofi kulit dan erupsi akneiformis.

Antibiotika dan antimikotika


Superinfeksi dapat ditimbulkan oleh S. aureus, S. beta dan alfa
hemolitikus, E. koli, Proteus dan Kandida spp. Pada keadaan superinfeksi
tersebut

dapat

diberikan

antibiotika

(misalnya

gentamisin)

dan

antimikotika (misalnya clotrimazole) dalam bentuk topikal.

Imunosupresif topikal
Obat-obatan baru yang bersifat imunosupresif adalah FK 506 (Tacrolimus)
dan SDZ ASM 981. Tacrolimus bekerja dengan menghambat proliferasi
sel T melalui penurunan sekresi sitokin seperti IL-2 dan IL-4 tanpa
merubah responnya terhadap sitokin eksogen lain. Hal ini akan
mengurangi peradangan kulit dengan tidak menimbulkan atrofi kulit dan
efek samping sistemik. SDZ ASM 981 merupakan derivat askomisin
makrolatum yang berefek anti inflamasi yang tinggi. Konsentrasi yang
diajurkan adalah 1%.

2. Pengobatan Sistemik
Pengobatan sistemik ditujukan untuk mengontrol rasa gatal dan atau edema,
juga pada kasus-kasus sedang dan berat pada keadaan akut atau kronik. Jenisjenisnya adalah :

Antihistamin
Maksud

pemberian

antihistamin

adalah

untuk

memperoleh

efek

sedatifnya. Ada yang berpendapat pada stadium permulaan tidak terdapat


pelepasan histamin. Tapi ada juga yang berpendapat dengan adanya reaksi

12

antigen-antobodi terdapat pembebasan histamin, serotonin, SRS-A,


bradikinin dan asetilkolin.

Kortikosteroid
Diberikan pada kasus yang sedang atau berat, secara peroral,
intramuskular atau intravena. Pilihan terbaik adalah prednison dan
prednisolon. Steroid lain lebih mahal dan memiliki kekurangan karena
berdaya kerja lama. Bila diberikan dalam waktu singkat maka efek
sampingnya akan minimal. Perlu perhatian khusus pada penderita ulkus
peptikum,

diabetes

dan

hipertensi.

Efek

sampingnya

terutama

pertambahan berat badan, gangguan gastrointestinal dan perubahan dari


insomnia hingga depresi. Kortikosteroid bekerja dengan menghambat
proliferasi limfosit, mengurangi molekul CD1 dan HLA- DR pada sel
Langerhans, menghambat pelepasan IL-2 dari limfosit T dan menghambat
sekresi IL-1, TNF-a.
2.10 Komplikasi
Infeksi sekunder mudah terjadi pada kulit yang mengalami kelainan
seperti pada DA, DKA, dan psoriasis. Bakteri yang sering mengakibatkan infeksi
sekunder adalah Staphylococcus aureus atau Steptococcus pyogenes. Antibiotik
topikal merupakan salah satu pilihan terapi karena tidak mengaibatkan toksisitas
sistemik, mengurangi kemungkinan resistensi bakteri, dan memiliki konsentrasi
tinggi. Antibiotika topikal yang sering digunakan antara lain : mupirosin,
neomisin, basitrasin, polimiksin. Dapat pula digunakan antibiotik sistemik, seperti
penisilin, klindamisin, dikloksasilin, doksisiklin, minosiklin, atau vancomisin.
2.11 Prognosis
Prognosis DKA umumnya baik, sejauh bahan kontaknya dapat
disingkirkan. Prognosis kurang baik dan dapat menjadi kronis bila bersamaan
dengan dermatitis lainnya akibat faktor endogen.

13

BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas
Nama

: IDP

Jenis kelamin

: Perempuan

Umur

: 18 tahun

Suku

: Bali

Bangsa

: Indonesia

Agama

: Hindu

Alamat

: Br. Pengiasaan, Mengwi

Tanggal pemeriksaan

: 10 September 2015

3.2 Anamnesis (Autoanamnesis)


Keluhan utama : Gatal pada kedua lipatan tangan
Perjalanan Penyakit
Pasien datang poliklinik dengan keluhan gatal pada pada pergelangan tangan kiri
sejak 2 hari yang lalu. Pasien mengeluhkan timbul bentol-bentol kecil yang
bertambah banyak serta berwarna kemerahan dan melingkar pada pergelagan
tangan pasien. Pasien mengatakan keluhan gatal ini sangat mengganggu sehingga
sering kali pasien menggaruk dan mengakibatkan lecet yang mengering di daerah
keluhan dan terasa perih. Keluhan ini muncul setelah pasien menggunakan jam
yang baru dibelinya selama 2 hari.
Riwayat penyakit dahulu
Pasien juga pernah mengalami keluhan yang sama di lingkar jari
tengahnya setelah menggunakan cincin kurang lebih

bulan yang lalu.. Dan

keluhan tersebut massih menyisakan bekas kehitaman di daerah lingkar jari


tengah tangan kiri pasien.
Pasien tidak memiliki riwayat rhinitis alergi ataupun asma. Riwayat
diabetes mellitus, hipertensi, alergi makanan dan alergi lain disangkal pasien.

14

Riwayat keluarga
Menurut pasien tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit yang sama
seperti pasien.
Riwayat sosial
Pasien bekerja sebagai pegawai swasta.

3.3. Pemeriksaan Fisik


Status Present
Kesadaran

: Compos mentis

Keadaan umum : Baik


Status general
Kepala

: Normochepali

Mata

: anemia (-/-), ikterus (-/-)

THT

: kesan tenang

Thorax

: dalam batas normal

Abd

: dalam batas normal

Extremitas : sesuai dengan status dermatologis


Status dermatologis
Lokasi

: Dorsum pedis dextra et sinistra

Effloresensi

: Patch eritema, bentuk geografika, jumlah multiple, ukuran


bervariasi, batas tegas, susunan konfluens, distribusi simetris
mengikuti bentuk sandal jepit. Beberapa tampak erosi, ditutupi
krusta kecoklatan.

15

Gambar 3. Lesi pada punggung kaki penderita

16

3.4 Diagnosis Banding


1. Dermatitis Kontak Iritan
2. Dermatitis Atopik
3.5 Diagnosis Kerja
1. Diagnosis Kontak Alergi
3.6 Resume
Pasien perempuan, umur 51 tahun, agama Islam, suku Jawa, datang
dengan keluhan gatal dan luka pada pada kedua punggung kaki sejak 10 hari yang
lalu. Pasien mengalami keluhan ini sejak tahun 1985 dan membaik dengan
pengobatan. Namun setelah menghentikan pengobatan 10 hari yang lalu timbul
keluhan gatal serta bercak kemerahan diikuti dengan muncul benjolan berisi air di
daerah celah jari kaki pertama dan kedua. Lama-lama lesi semakin banyak
mengikuti garis sandal jepit. Pasien tidak memiliki riwayat rhinitis alergi ataupun
asma. Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit yang sama seperti
pasien. Pasien bekerja sebagai ibu rumah tangga dan sehari-hari menggunakan
sandal jepit berbahan karet.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan status vital dan status generalis dalam
batas normal. Dari pemeriksaan status dermatologisnya dimana lokasinya pada
kedua punggung kaki kanan dan kiri didapatkan efloresensi berupa patch eritema,
bentuk geografika, jumlah multiple, ukuran bervariasi, batas tegas, susunan
konfluens, distribusi simetris mengikuti bentuk sandal jepit. Beberapa tampak
erosi, ditutupi krusta kecoklatan.

3.7 Usulan Pemeriksaan


Pemeriksaan uji tempel.
3.8 Penatalaksanaan
Sefadroxyl 500mg
Somerol 5mg
Loratadin 10mg
Inerson cream 15mg
17

Foson cream 10gr


KIE
1. Menghindari bahan-bahan yang mungkin dapat menyebabkan timbulnya
keluhan tersebut dalam hal ini penggunaan sandal jepit berbahan karet.
2. Memberikan pengertian kepada keluarga penderita tentang penyakitnya,
jenis penyakitnya, penyebab penyakitnya dan prognosis
3. Menggunakan sabun yang daya larut dan iritasi minimal seperti sabun bayi
4. Mengikuti pengobatan oleh dokter dengan tepat
5. Menjaga kebersihan diri dan lingkungan sekitar
6. Menyarankan untuk kontrol kembali ke poliklinik kulit dan kelamin 4 hari
lagi.

18

BAB IV
PEMBAHASAN
Dermatitis kontak alergi (DKA) adalah suatu reaksi peradangan
kulit yang timbul setelah kontak dengan alergen. Dermatitis kontak alergi
dimanifestasikan dalam berbagai derajat eritema, edema, dan vesikulasi, timbul
pada individu yang telah mengalami proses sensitisasi terhadap alergen. Kelainan
kulit pada dermatitis kontak alergi timbul akibat reaksi imunologis, yaitu reaksi
hipersensitivitas tipe lambat (delayed type hypersensitivity) atau reaksi
hipersensitivitas tipe IV.
Umumnya penderita DKA mengeluh gatal pada daerah kulit yang
mengalami kelainan. Kelainan kulit yang muncul bervariasi tergantung pada
lokasi dan durasi timbulnya kelainan. DKA yang akut, muncul makula eritema
berbatas tegas, diikuti edema, papulovesikel, vesikel atau bula. Vesikel atau bula
dapat pecah, menimbulkan erosi dan eksudasi. Pada keadaan yang kronis, kulit
terlihat kering, terjadi likenifikasi, berskuama, kadang terdapat fisura, batasnya
tidak jelas. Dapat juga disertai papulovesikel, namun tidak selalu. Pada awalnya,
dermatitis kontak alergi biasanya hanya terjadi pada kulit yang mengalami kontak
dengan alergen. Namun, dapat terjadi penyebaran ke bagian tubuh yang lainnya
baik melalui pajanan terhadap alergen, atau melalui autosensitisasi. Kejadian
dermatitis kontak baik iritan maupun alergi paling sering di tangan, karena
merupakan organ tubuh yang paling sering digunakan untuk pekerjaan sehari-hari.
Individu dengan DKA biasanya muncul gejala setelah beberapa hari
terpapar oleh alergen. Terutama pada area yang terpapar. Minimal 10 hari untuk
seseorang menghasilkan gejala sensitivitas yang spesifik. 3 Umumnya penderita
mengeluh gatal. Pada fase akut dimulai dari bercak eritema yang berbatas jelas
diikuti dengan edema, papulovesikel, vesikel atau bula. Vesikel dan bula yang
pecah menimbulkan ekskoriasi dan eksudasi. Pada DKA kronis terlihat kulit
kering, skuama, papul dan likenfikasi dengan batas tidak tegas.
Dari anamnesis pada pasien, didapatkan keluhan berupa gatal dan luka
pada pada kedua punggung kaki sejak 10 hari yang lalu. Pasien mengalami
keluhan ini sejak tahun 1985 dan membaik dengan pengobatan. Namun setelah
19

menghentikan pengobatan 10 hari yang lalu timbul keluhan gatal serta bercak
kemerahan diikuti dengan muncul benjolan berisi air di daerah celah jari kaki
pertama dan kedua. Lama-lama lesi semakin banyak mengikuti garis sandal jepit.
Pasien tidak memiliki riwayat rhinitis alergi ataupun asma. Pasien bekerja sebagai
ibu rumah tangga dan sehari-hari menggunakan sandal jepit berbahan karet.
Lesi penderita tergolong subakut ditandai dengan adanya krusta yang
berasal dari vesikel-vesikel yang pecah. Penderita sering terlihat menggaruk
kedua kakinya yang menandakan lesi bersifat gatal. Kemungkinan benda yang
menyebabkan timbulnya lesi adalah sandal jepit berbahan karet yang dipakainya.
Gambaran ini mendukung ke arah diagnosis DKA dimana terdapat jangka waktu
yang cukup lama untuk menimbulkan gejala sejak pemakaian sandal jepit
berbahan karet. Selain itu, lesi awal hanya eritema dengan muncul vesikel kecil
dan kemudian pecah menjadi krusta, distribusi lesi yang mengikuti pola
menyerupai sandal jepit mengarahkan pada diagnosis DKA penyebab alergi pada
sandal jepit berbahan karet.
Pemeriksaan dermatologis pada kedua punggung kaki kanan dan kiri
didapatkan effloresensi berupa patch eritema, bentuk geografika, jumlah multiple,
ukuran bervariasi, batas tegas, susunan konfluens, distribusi simetris mengikuti
bentuk sandal jepit. Beberapa tampak erosi, ditutupi krusta kecoklatan. Hal ini
sesuai dengan gambaran efloresensi dermatitis kontak alergi yaitu lesi yang
polimorfik dengan gatal yang terlihat dari adanya erosi akibat garukan.
Dengan pemeriksaan uji tempel diharapkan dapat ditemukan reaksi positif
terhadap alergen yang dicurigai sebagai penyebab penyakit, dan timbul reaksi
crescendo (menguat) pada pemeriksaan kedua untuk menyingkirkan diagnosis
banding dermatitis kontak iritan. Dimana pada dermatitis kontak iritan juga akan
ditemukan reaksi positif terhadap iritan, namun pada pemeriksaan kedua akan
melemah (reaksi decrescendo). Namun pada kasus ini, uji tempel tidak dilakukan.
Pada

prinsipnya

penatalaksanaan

dermatitis

yang

baik

adalah

mengidentifikasi penyebab dan menyarankan pasien untuk menghindarinya, dan


menekan kelainan kulit yang timbul dengan terapi topikal dan sistemik. Obat-obat
topikal yang diberikan sesuai dengan prinsip-prinsip umum pengobatan dermatitis
yaitu bila basah diberi kompres terbuka, bila kering berikan terapi kering. Makin

20

akut penyakit,makin rendah prosentase bahan aktif. Medikamentosa topikal saja


dapat diberikan pada kasus-kasus ringan. Pengobatan sistemik ditujukan untuk
mengontrol rasa gatal dan atau edema, juga pada kasus-kasus sedang dan berat
pada keadaan akut atau kronik, juga bila terdapat infeksi sekunder.
Pada

kasus

ini,

pengobatan

yang

diberikan

adalah

pengobatan

medikamentosa dapat diberikan secara topikal dan sistemik. pengobatan topikal


yang diberikan adalah krim inerson dan fuson yang dicampur berfungsi sebagai
anti radang dan antibiotik yang digunakan 2x sehari. Obat sistemik yang diberikan
cefadroxyl diberikan 2x sehari yang berfungsi sebagai antibiotik untuk mematikan
bakteri gram (+). Somerol diberikan 2 pagi dan 2 siang untuk anti inflamasi dan
anti alergi. Loratadin 1x sehari diberikan untuk anti alergi.
Selain pengobatan secara medikamentosa juga diberikan KIE seperti :
menghindari bahan-bahan yang mungkin dapat menyebabkan timbulnya keluhan
tersebut seperti penggunaan sandal jepit berbahan karet (disarankan menggunakan
sandal berbahan lain), memberikan pengertian kepada keluarga penderita tentang
penyakitnya, jenis penyakitnya, penyebab penyakitnya, prognosis sampai faktor
risiko apa saja yang bisa menyebabkan kekambuhan penyakit tersebut, memberi
edukasi cara penggunaan obat yang diberikan dan menyarankan untuk kontrol
kembali ke poliklinik kulit dan kelamin dalam waktu 4 hari.
Prognosis penderita dengan DKA adalah baik bila kontak terhadap alergen
pencetus dapat dihindari dan penderita tidak memiliki riwayat dermatitis lain
yang disebabkan oleh faktor endogen seperti: dermatitis atopi, dermatitis
numularis, atau psoriasis.

21

BAB V
KESIMPULAN

Dermatitis kontak alergi (DKA) adalah suatu reaksi peradangan kulit yang
timbul setelah kontak dengan alergen. Reaksi dermatitis kontak alergi terjadi
dalam dua fase, yaitu fase sensitisasi dan fase elisitasi. Manifestasi klinis
dermatitis kontak alergi pada kasus ini adalah rasa gatal pada dorsum pedis dextra
et sinistra akibat pemakaian sandal jepit berbahan karet. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan efloresensi berupa plak hiperpigmentasi, bentuk sesuai dengan kontak
sandal yang dipakai pasien, jumlah multiple, ukuran plakat, batas tegas, susunan
konfluens, distribusi bilateral. Di atasnya terdapat erosi, ditutupi krusta
kecoklatan, fisura dan likenifikasi. Beberapa tampak erosi, ditutupi krusta
kecoklatan. Pemeriksaan penunjang tes tempel pada kasus ini tidak dilakukan.
Pasien pada kasus ini didiagnosis dengan DKA et causa sandal jepit
berbahan karet yang dipakai sehari-hari. Usulan pemeriksaan penunjang adalah uji
tempel untuk mengkonfirmasi penyebab dari DKA tersebut. Penderita diterapi
dengan campuran krim inerson dan fuson ditambah obat sistemik berupa
cefadroxyl, somerol dan loratadin. Pasien diberi KIE untuk tidak memakai sandal
jepit dengan bahan yang sama, tata cara pengobatan dan kontrol kembali ke
poliklinik kulit dan kelamin 5 hari kemudian. Prognosisnya adalah dubius ad
Bonam.

22

DAFTAR PUSTAKA

1. Saint-Mezard, P., Rosiers, A., Krasteva, M., Berard, F., Dubois, B.,
Kaiserlian, D., et al. Allergic Contact Dermatitis. European Journal of
Dermatology. 2008.14:284-295
2. Sularsito, S. P., Djuanda, S. Dermatitis, dalam: Djuanda, A., Hamzah,M.,
Aisah, S. (eds), Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Ed 4. 2005. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. hal. 129-153
3. Belsito DV. Allergic Contact Dermatitis. Dalam: Freedberg IM, Eisen AZ,
Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI (eds). Fitzpatricks
Dermatology in General Medicine. 6th ed. New York: The McGraw-Hill;
2003. h. 1164-1179.
4. Hogan, D., May, J. Contact Dermatitis Allergic. 2007. Available:
http://www.emedicine.com/derm/topic84.htm.
5. Nosbaum A, Vocanson M, Rozieres A, Hennino A, Nicolas JF. allergic
and irritant contact dermatitis. Eur J Dermatol. 2009. 19(4):325-32.
6. Siregar, R. S. (2004), Dermatitis Kontak Alergi, dalam: Atlas Berwarna:
Saripati Penyakit Kulit, Ed 2, EGC, Jakarta, hal 109-112

23

Anda mungkin juga menyukai