Anda di halaman 1dari 13

POLA PENYAKIT DAN

SISTEM KESEHATAN NASIONAL


Dengan berubahnya tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia, pola penyakit saat
ini mengalami transisi epidemiologi ditandai dengan beralihnya penyebab kematian
yang

semula

didominasi

penyakit

menular

ke

penyakit

tidak

menular

(Noncommunicable Diseases).
Perubahan pola penyakit tersebut sangat dipengaruhi oleh perubahan lingkungan,
transisi demografi, sosial ekonomi dan budaya. Penyakit tidak menular menjadi
salah satu tantangan dalam pembangunan bidang kesehatan.
Di Indonesia, data penyakit tidak menular sebagai berikut, proporsi angka kematian
penyakit tidak menular meningkat dari 41,7 persen pada tahun 1995 menjadi 59,5
persen pada tahun 2007. Hasil Riskesdas tahun 2007 menunjukkan tingginya
prevalensi penyakit tidak menular di Indonesia, seperti hipertensi (31,7 persen),
penyakit jantung (7,2persen), stroke (0,83 persen), diabetes melitus (1,1persen) dan
diabetes melitus di perkotaan (5,7 persen), asma (3,5 persen), penyakit sendi (30,3
persen), kanker/tumor (0,43 persen), dan cedera lalu lintas darat (25,9 persen).
Stroke merupakan penyebab utama kematian pada semua umur, jumlahnya
mencapai 15,4 persen, hipertensi 6,8 persen, cedera 6,5 persen, diabetes melitus
5,7 persen, kanker 5,7 persen, penyakit saluran nafas bawah kronik (5,1 persen),
penyakit jantung iskemik 5,1 persen, dan penyakit jantung lainnya 4,6 persen.
Faktor risiko penyakit tidak menular meliputi pola makan tidak sehat seperti pola
makan rendah serat dan tinggi lemak serta konsumsi garam dan gula berlebih,
kurang aktivitas fisik (olah raga) dan konsumsi rokok.
Transisi Epidemiologi
Pada abad ke-19, penyakit yang banyak berkembang di masyarakat merupakan
penyakit menular atau disebut penyakit infeksi. Yang menjadi penyebabnya
merupakan

mikroorganisme

seperti

bakteri,

virus,

maupun

parasit.

Cara

penularannya dari suatu individu kepada individu lain dapat melalui media tertentu

seperti udara (contohnya penyakit TBC dan infulenza), konsumsi makanan dan
minuman yang kurang bersih pencuciannya (hepatitis dan typhoid/tifus), maupun
dari jarum suntik dan transfusi darah (HIV AIDS, hepatitis).
Di Indonesia, meskipun masih banyak penyakit menular seperti TBC dan malaria
menjadi penyebab kematian yang utama tetapi pada abad ke-20 tren penyakit mulai
diambilalih oleh penyakit tidak menular, seperti stroke, serangan jantung dan
kanker. Perubahan pola penyakit ini dikenal sebagai transisi epidemiologi.
Apa itu Penyakit Tidak Menular (PTM)?
Penyakit tidak menular merupakan

penyakit kronik atau

bersifat menahun

(degeneratif). PTM ini bisa disebut penyakit non-Infeksi karena penyebabnya bukan
mikroorganisme. Namun tidak berarti peranan mikroorganime dalam terjadinya
penyakit tidak menular ini dapat dikesampingkan karena jika PTM tidak ditangani
dengan baik maka bisa saja menjadi komplikasi dengan penyakit infeksi.
Karakteristik penyakit tidak menular ini adalah penyebaran penyakitnya tidak melalui
suatu rantai penularan tertentu, masa inkubasi penyakit yang panjang, dan dalam
diagnosisnya lebih sulit daripada penyakit menular, serta variasinya luas.
Apa yang menjadi penyebab PTM?
Terjadinya perubahan pola penyakit dengan peningkatan PTM ini dapat didorong
dengan beberapa hal, yaitu: perubahan struktur masyarakat yaitu dari agraris ke
industri, dan perubahan struktur penduduk yaitu penurunan anak usia muda dan
peningkatan jumlah penduduk usia lanjut karena keberhasilan KB.
PTM

yang

berkembang

di

masyarakat

pada

umumnya

disebabkan

bawaan/keturunan, kecacatan akibat kesalahan proses kelahiran, maupun akibat


pola hidup yang tidak sehat, seperti dampak dari konsumsi makanan serta
minuman termasuk merokok, mengonsumsi alkohol, narkoba, obat-obat perangsang
ataupun penenang, kurangnya olah raga, tipe pekerjaan yang banyak duduk, dan
pola makanan berkolesterol tinggi serta kurang serat mulai banyak dilakukan oleh
angkatan muda, terutama di perkotaan.

Faktor-faktor tersebut ditambah lagi dengan perilaku yang serba kompetitif akan
meningkatkan stres dan menaikkan tekanan darah. Dipengaruhi juga faktor
lingkungan yang tidak sehat dan udara yang tercemar asap rokok, asap knalpot, dan
asap industri, membuat angka kematian akibat penyakit tidak menular itu meningkat.
Angka penyakit tidak menular di Indonesia terus meningkat, pada tahun 1995
kematian akibat penyakit tidak menular sebesar 41,7 persen dan tahun 2007
meningkat menjadi 59,5 persen. Contohnya adalah kematian akibat rokok. Dalam
hal ini, WHO memperkirakan bahwa jika di tahun 2000 terdapat 4 juta kematian yang
berkaitan dengan rokok di seluruh dunia, maka di tahun 2030 angka itu akan
mencapai 10 juta. Sebesar 7 juta di antaranya akan terjadi di negara-negara
berkembang dan yang 3 juta terjadi di negara-negara maju. Jumlah kematian
sebesar itu tentu akan membebani ekonomi negara-negara berkembang.
Apa saja PTM itu?
Seperti yang telah dijelaskan di atas, PTM merupakan penyakit degeneratif, saat ini
yang banyak berkembang di masyarakat seperti penyakit hipertensi atau darah
tinggi, diabetes melitus, hiperkolesterolemia, asam urat, penyakit jantung, paru-paru
kronis, bahkan kanker. PTM dapat juga disebabkan karena kecelakaan termasuk
cedera, luka dan benturan akibat kecelakaan
Bagaimana menanggulanginya?
Upaya pencegahan PTM dengan menggunakan prinsip: upaya pencegahan
penyakit lebih baik dari mengobati juga tetap berlaku. Upaya pencegahan ini
ditujukan kepada faktor resiko yang telah diidentifikasi. Ada empat tingkat
pencegahan dalam epidemiologi, antara lain
1. Pencegahan primordial dimaksudkan untuk memberikan kondisi pada
masyarakat yang memungkinkan PTM ini tidak didukung dari kebiasaan, gaya
hidup dan faktor resiko lainnya. Upaya ini cukup kompleks, karena tidak
hanya membutuhkan kesadaran pribadi dari individu tetapi juga dukungan
sosial masyarakat.

2. Pencegahan tingkat pertama, meliputi Promosi kesehatan masyarakat,


seperti: kampanye kesadaran masyarakat, promosi kesehatan, pendidikan
kesehatan masyarakat. Selain itu juga berupa pencegahan khusus, yaitu
pencegahan keterpaparan.
3. Pencegahan tingkat kedua meliputi diagnosis dini, misalnya dengan
melakukan screening. Pencegahan tingkat dua lainya adalah pengobatan,
kemoterapi atau tindakan pembedahan.
4. Pencegahan tingkat ketiga meliputi rehabilitasi, misalnya perawatan rumah
sakit.
Jadi, untuk menekan angka kematian akibat epidemi PTM ini sebenarnya bukan
tergantung pada obat saja, tetapi diperlukan juga kesadaran masyarakat sendiri
untuk mengubah pola hidup yang tidak sehat menjadi pola hidup yang sehat,
termasuk juga mengendalikan pencemaran udara dan lingkungan hidup. Contohnya
Pasien hipertensi tidak hanya bergantung pada obatnya, tetapi juga harus
mengubah pola makannya untuk mendukung pengobatannya, jika tidak tentu akan
percuma saja. Yuk, sama-sama menanggulangi PTM dimulai dari diri sendiri.

Transisi Demografi
Pada awal abad 20, tampak bahwa tingkat kematian turun di berbagai Negara Barat
dan tingkat kelahiran juga turun. Kondisi ini menimbulkan teori demografi yang
utama yaitu : Teori Transisi Demografi. Transisi demografi pada dasarnya mengacu
pada perubahan dari satu situasi stationary (saat dimana pertumbuhan penduduk 0)
ke situasi lainnya. Menurut Blacker (1947) ada 5 phase dalam teori transisi
demografi, dimana khususnya phase 2 dan 3 adalah phase transisi.
Tahap-tahap dalam Transisi Demografi
1. Tahap Stasioner tinggi
Tingkat Kelahiran: Tinggi
Tingkat Kematian: Tinggi

Pertumbuhan Alami: Nol/sangat rendah


Contoh: Eropa abad 14
2. Tahap Awal perkembangan
Tingkat Kelahiran: Tinggi (ada budaya pro natalis)
Tingkat Kematian: Lambat menurun
Pertumbuhan Alami: Lambat
Contoh: India sebelum PD II
3. Tahap Akhir perkembangan
Tingkat Kelahiran: Menurun
Tingkat Kematian: Menurun lebih cepat dari tingkat kelahiran
Pertumbuhan Alami: Cepat
Contoh: Australia, Selandia Baru tahun 30an
4. Tahap Stasioner rendah
Tingkat Kelahiran: Rendah
Tingkat Kematian: Rendah
Pertumbuhan Alami: Nol/sangat rendah
Contoh: Perancis sebelum PD II
5. Tahap Menurun
Tingkat Kelahiran: Rendah
Tingkat Kematian: Lebih tinggi dari tingkat kelahiran
Pertumbuhan Alami: Negatif
Contoh: Jerman Timur & Barat tahun 75
Ada beberapa masalah dalam mengaplikasikan teori transisi demografi bagi negara
negara berkembang. Bila di Eropa, penurunan mortalitas lebih dikarenakan
pembangunan sosio ekonomi, namun penurunan mortalitas dan fertilitas di negara
negara berkembang lebih karena pengaruh faktor-faktor lain seperti: peningkatan
pemakaian kontrasepsi, peningkatan perhatian pemerintah, modernisasi,
pembangunan dll.

Kaitan antara transisi demografi dengan kesehatan secara umum


Seiring dengan cepatnya perkembangan dalam era globalisasi, serta adanya
transisi demografi dan epidemiologi penyakit, maka penyakit akibat perilaku dan
perubahan gaya hidup yang berkaitan dengan perilaku dan sosial budaya
cenderung akan semakin kompleks. Perbaikannya tidak hanya dilakukan pada
aspek pelayanan kesehatan, perbaikan pada lingkungan dan merekayasa
kependudukan atau faktor keturunan, tetapi perlu memperhatikan faktor perilaku
yang secara teoritis memiliki andil 30-35% terhadap derajat kesehatan.
Mengingat dampak dari perilaku terhadap derajat kesehatan cukup besar, maka
diperlukan berbagai upaya untuk mengubah perilaku yang tidak sehat menjadi
sehat
Perubahan masalah kesehatan ditandai dengan terjadinya berbagai macam
transisi kesehatan berupa transisi demografi, transisi epidemiologi, transisi gizi
dan transisi perilaku. Transisi kesehatan ini pada dasarnya telah menciptakan
beban ganda (double burden) masalah kesehatan.
1. Transisi demografi, misalnya mendorong peningkatan usia harapan hidup
yang meningkatkan proporsi kelompok usia lanjut sementara masalah bayi
dan BALITA tetap menggantung.
2. Transisi epidemiologi, menyebabkan beban ganda atas penyakit menular
yang belum pupus ditambah dengan penyakit tidak menular yang meningkat
dengan drastis.
3. Transisi gizi, ditandai dengan gizi kurang dibarengi dengan gizi lebih.
4. Transisi perilaku, membawa masyarakat beralih dari perilaku tradisional
menjadi modern yang cenderung membawa resiko.
Masalah kesehatan tidak hanya ditandai dengan keberadaan penyakit, tetapi
gangguan kesehatan yang ditandai dengan adanya perasaan terganggu fisik,
mental dan spiritual. Gangguan pada lingkungan juga merupakan masalah
kesehatan karena dapat memberikan gangguan kesehatan atau sakit. Di negara
kita mereka yang mempunyai penyakit diperkirakan 15% sedangkan yang
merasa sehat atau tidak sakit adalah selebihnya atau 85%. Selama ini nampak
bahwa perhatian yang lebih besar ditujukan kepada mereka yang sakit.
Sedangkan mereka yang berada di antara sehat dan sakit tidak banyak

mendapat upaya promosi. Untuk itu, dalam penyusunan prioritas anggaran,


peletakan perhatian dan biaya sebesar 85 % seharusnya diberikan kepada 85%
masyarakat sehat yang perlu mendapatkan upaya promosi kesehatan.
Contoh Pola Penyakit di Jawa Tengah (2001)
a. Pola penyakit penderita rawat jalan di Puskesmas
Sebagian besar penderita baru rawat jalan di puskesmas merupakan
penderita Diare. Dari 1.150.274 penderita baru rawat jalan puskesmas
596.706 (51,87%) diantaranya merupakan penderita Diare. Urutan kedua
adalah disentri, yaitu sebanyak 147.078 penderita (12,79%). Hal ini
menunjukkan bahwa insidensi penyakit saluran pencernaan (abdominalis)
masih tinggi. Hal ini dapat digunakan sebagai indikator bahwa :
-

Dimasyarakat masih banyak ditemukan adanya sumber penularan


penyakit, yang terjadi sebagai akibat tidak sempurnanya pengobatan yang
dilakukan terhadap penderita dan carrier.

Kualitas lingkungan, terutama lingkungan permukiman penduduk di


Jawa Tengah belum memadai, terutama yang berkaitan dengan
penyediaan air bersih, sanitasi makanan, pembuangan tinja, dan
pembuangan sampah.

Masyarakat
belum menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat, terutama dalam hal
kebiasaan mencuci tangan dengan sabun setelah buang air besar dan
pada saat akan makan atau menyentuh makanan.
Selain penyakit saluran pencernaan, penyakit lain yang kasusnya

cukup banyak adalah Malaria 135.018 penderita (11,91%), dimana sebagian


besar, 107957 (9,39%) dari keseluruhan kasus malaria adalah malaria tanpa
pemeriksaan

laboratorium

(malaria

klinis),

15.100

(11,02%)

malaria

falsiparum, 13.567 (9,90%) malaria vivax, dan 394 (0.36%) malaria mix.
Kasus Pnemoni sebanyak 96.680 (8,58%), dan Tifoid sebanyak 79.234
(6,89%). Pada kelompok Penyakit malaria, yang perlu mendapat perhatian
adalah Malaria falsiparum, karena penyakit tersebut dapat berkembang pada

keadaan yang lebih buruk seperti terjadinya meningitis dan kematian.


Sedangkan pada pnemonia, sebagian besar penderitanya adalah bayi dan
anak balita. Dengan menderita pnemoni, bayi dan anak balita lebih mudah
terkena

penyakit

lain

yang

kemudian

akan

memperburuk

keadaan

kesehatannya, bahkan sering menimbulkan kematian. Berdasarkan kelompok


umur penderita, lima penyakit yang paling banyak ditemukan pada penderita
rawat jalan di puskesmas adalah :
-

Kelompok umur < 1 tahun ; Diare (67,12%), Pneumoni (16,35%),


Desentri (10,57%), malaria klinis (2,36%) dan malaria klinis (1,74%).

Kelompok umur 1 4 tahun ; diare (59,25%), Pnemonia (15,84%),


Desentri (12,49%), Malaria klinis (4,73%), dan tifoid (3,80%)

Kelompok umur 5 14 tahun ;Diare (51,04%), Desentri (13,96%),


Malaria klinis (10,88%), Tifoid (8,93%), dan TB Paru klinis (4,86%)

Kelompok umur 15 44 tahun ; Diare (42,65%), Malaria klinis


(13,34%), Desentri (13,01%), Tifoid (8,89%) dan pneuemia (8,59%)

Kelompok umur > 45 tahun ; Diare (50,84%), TB Paru klinis (7,92%),


Malaria klinis (11,05%), Desentri (12,79%), dan Tifoid (7,53%)
Berdasarkan data diatas, meskipun angkanya sangat bervariasi,

namun proporsi penderita diare pada semua kelompok umur selalu


menempati urutan teratas. Disentri menempati urutan kedua pada semua
kelompok umur kecuali pada kelompok umur < 1 tahun menempati urutan
ketiga setelah pnemoni. Pneumoni, pada bayi dan anak balita menempati
urutan kedua, namun pada kelompok umur 5 14 tahun dan > 45 tahun tidak
menempati urutan kelima. Keadaan sebaliknya terjadi pada TB Paru klinis
yang proporsinya semakin meningkat seiring dengan meningkatnya umur.
Penyakit yang polanya hampir sama denga TB Paru klinis adalah Tifoid
dimana proporsinya juga meningkat dengan semakin meningkatnya umur.
Seperti halnya Diare, Desentri dan Malaria klinis juga selalu masuk
dalam 5 besar. Namun berbeda dengan diare yang selalu menempati urutan
pertama, urutan kedua penyakit tersebut berubah upah pada masing
masing kelompok umur.

b. Pola penyakit penderita rawat jalan di Rumah Sakit.

Berdasarkan data penderita baru rawat jalan di Rumah sakit, jumlah


dari penderita 28 penyakit yang diamati adalah 117.957, yang berdasarkan
kelompok umur distribusi penderita adalah : 17.295 berumur < 1 tahun,
21.326 berumur 1 4 tahun , 14.773 berumur 5 14 tahun, 43.552 berumur
15 44 tahun, dan 21.041 berumur > 45 tahun. Dari keseluruhan penderita
tersebut yang paling banyak adalah penderita Diare dengan 53.727 kasus
(45,55 %) diikuti oleh TB Paru Klinis dengan 19.852 kasus ( 16,83%), Tifoid
14.774 kasus ( 12.,2%), Pnemoni 8.472 kasus ( 7,18%), dan TB Paru BTA (+)
6.146 kasus (5,21%). Adapun 5 penyakit yang paling banyak per kelompok
umur, adalah :
-

Kelompok umur < 1 tahun ; Diare 9.738 penderita (56,30%), Pnemoni


1.516 (8,76%), Tifoid 528 penderita (3,05%), Batuk Rejan 179 penderita
(1,03%) dan TB Paru Klinis 4.476 penderita (25,88%).

Kelompok umur 1 4 tahun ; Diare 12.083 penderita (56,66%), TB


Paru Klinis 3.344 penderita (15.68%), Tifoid 1.580 penderita (7,41%),
Pnemonia 1.804 penderita (846%), dan DBD (DHF) 769 penderita (3,61%)

Kelompok umur 5 14 tahun ;Diare 5.279 penderita (35,73%), Tifoid


2.304 penderita (15,60%), DBD 1.910 penderita( 12,93%), TB Paru Klinis
2.041 penderita(13.81%), dan Pneumoni 1.412 penderita (9,56%)

Kelompok umur 15 44 tahun ; Diare 17.915 penderita (41,16%), Tifoid


8.133 penderita (18,69%), TB Paru klinis 6.319 penderita (14,52%%), TB
Paru BTA (+) 2678 penderita (6,15%), dan Pnemoni 2.090 penderita
(4,80%).

Kelompok umur > 45 tahun ; Diare 8.712 penderita (41,40%), TB Paru


klinis 3.672 penderita (17,45%), TB Paru BTA (+) 2.363 penderita
(11,23%), Pneumonia 1.650 penderita (7,84%), dan Tifoid 2.229 penderita
(10.59%)

c. Pola penyakit penderita inap di Rumah Sakit

Seperti yamg ditunjukkan Tabel 10.C jumlah penderta 28 jenis penyakit


yang diamati yang menjalani rawat inap di Rumah sakit sebanyak 82.009.
Distribusi penderita berdasarkan kelompok umur adalah : 14.755 berumur < 1
tahun, 15.171 berumur 1 4 tahun , 10.168 berumur 5 14 tahun, 23.849
berumur 15 44 tahun, dan 18.066 berumur > 45 tahun.
Dari keseluruhan kasus tersebut yang paling banyak adalah penderita
Diare dengan 39.876 kasus (48,62%) diikuti oleh Tifoid dengan 15.771 kasus
( 19,23%), DBD 7.292 kasus (8,89%), Pnemonia 4.819 kasus (5,88%), TB
Paru Klinis 5.922 kasus (7,31%), dan Disentri 2.311 kasus (2,82%). Adapun 5
penyakit yang paling banyak per kelompok umur, adalah :
-

Kelompok umur < 1 tahun ; Diare (81.09%), Pnemoni (11,30%), Tifoid


(1.96%), Disentri (2.01%), DBD (1.86%)

Kelompok umur 1 4 tahun ; Diare (69.51%), Tifoid (8.89%), DBD


(8.52%), Disentri (3.02%), Pnemoni (6.14%).

Kelompok umur 5 14 tahun ; Tifoid (34.45%), DBD (28.83%), Diare


(25,21%), Pnemoni (3.11%), dan Disentri, Campak dan Hepatitis masingmasing 1,61%.

Kelompok umur 15 44 tahun ; Tifoid (33,69%), Diare (28.81%), DBD


(10.45%), TB Paru klinis (10.79%) dan Hepatitis (3.97%).

Kelompok umur > 45 tahun ; Diare (43,89%), Tifoid (14,36%), TB Paru


klinis (16,69%), Pnemonia (6,82%), dan TB Paru BTA (+) (4,55%).

SISTEM KESEHATAN NASIONAL (2011)


Sistem

Kesehatan

Nasional

(SKN) merupakan

bentuk

dan

cara

penyelenggaraan pembangunan kesehatan yang memadukan berbagai


upaya bangsa Indonesia dalam satu derap langkah guna menjamin
tercapainya tujuan pembangunan kesehatan dalam kerangka mewujudkan
kesejahteraan rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang
Dasar 1945.

Sistem

Kesehatan

Nasional

perlu

dilaksanakan

dalam

konteks

pembangunan kesehatan secara keseluruhan dengan mempertimbangkan


aspek sosial, seperti: kondisi kehidupan sehari-hari, tingkat pendidikan,
pendapatan keluarga, distribusi kewenangan, keamanan, sumber daya,
kesadaran masyarakat, serta kemampuan tenaga kesehatan dalam
mengatasi masalah-masalah kesehatan tersebut. Sistem Kesehatan
Nasional

disusun

dengan

memperhatikan

pendekatan

revitalisasi

pelayanan kesehatan dasar yang meliputi:


1) Pelayanan kesehatan yang adil dan merata
2) Pelayanan kesehatan yang berpihak kepada rakyat
3) Kebijakan pembangunan kesehatan
4) Kepemimpinan.
Sistem Kesehatan Nasional akan berfungsi baik untuk mencapai
tujuannya

apabila

terjadi

Koordinasi,

Integrasi,

Sinkronisasi,

dan

Sinergisme (KISS), baik antar pelaku, antar subsistem SKN, maupun


dengan sistem serta subsistem lain di luar SKN. Dengan tatanan ini, maka
sistem atau seluruh sektor terkait, seperti pembangunan prasarana,
keuangan dan pendidikan perlu berperan bersama dengan sector
kesehatan untuk mencapai tujuan nasional.
Tujuan

Sistem

Kesehatan

Nasional

adalah

terselenggaranya

pembangunan kesehatan oleh semua potensi bangsa, baik masyarakat,


swasta, maupun pemerintah secara sinergis, berhasil guna dan berdaya
guna, sehingga terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggitingginya.
Mengacu pada substansi perkembangan penyelenggaraan pembangunan
kesehatan dewasa ini serta pendekatan manajemen kesehatan tersebut
diatas, maka subsistem Sistem Kesehatan Nasional meliputi:
1. Upaya Kesehatan
Untuk dapat mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggitingginya perlu diselenggarakan berbagai upaya kesehatan dengan

menghimpun

seluruh

potensi bangsa

Indonesia.

Upaya

kesehatan

diselenggarakan dengan upaya peningkatan, pencegahan, pengobatan,


dan pemulihan.
2. Pembiayaan Kesehatan
Pembiayaan

kesehatan

berkesinambungan

yang

memegang

kuat,
peran

terintegrasi,

stabil,

yang

vital

amat

dan
untuk

penyelenggaraan pelayanan kesehatan dalam rangka mencapai berbagai


tujuan pembangunan kesehatan.
3. Sumber Daya Manusia Kesehatan
Sebagai pelaksana upaya kesehatan, diperlukan sumber daya manusia
kesehatan yang mencukupi dalam jumlah, jenis dan kualitasnya, serta
terdistribusi

secara

adil

dan

merata,

sesuai

tututan

kebutuhan

aspek

keamanan,

pembangunan kesehatan.
4. Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Makanan
Meliputi

berbagai

kegiatan

untuk

menjamin:

kemanfaatan dan mutu sediaan farmasi, alat kesehatan, dan makanan


yang beredar; ketersediaan, pemerataan, dan keterjangkauan obat,
terutama obat esensial; perlindungan masyarakat dari penggunaan yang
salah dan penyalahgunaan obat; penggunaan obat yang rasional; serta
upaya kemandirian di bidang kefarmasian melalui pemanfaatan sumber
daya dalam negeri.
5. Manajemen dan Informasi Kesehatan
Meliputi: kebijakan kesehatan, administrasi kesehatan, hukum kesehatan,
dan informasi kesehatan. Untuk menggerakkan pembangunan kesehatan
secara berhasil guna dan berdaya guna, diperlukan manajemen
kesehatan.
6. Pemberdayaan Masyarakat
Sistem Kesehatan Nasional akan berfungsi optimal apabila ditunjang oleh
pemberdayaan masyarakat. Ini penting, agar masyarakat termasuk swasta

dapat mampu dan mau berperan sebagai pelaku pembangunan


kesehatan.

Anda mungkin juga menyukai