Anda di halaman 1dari 67

i

HALAMAN JUDUL
PROPOSAL KARYA TULIS ILMIAH

EFEKTIVITAS MODUL PSIKOEDUKASI TERHADAP TINGKAT


PENGETAHUAN KELUARGA TENTANG SKIZOFRENIA

Disusun oleh
DWI FAJARWATI PRAYITNO
20110310006

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2014

HALAMAN PENGESAHAN PROPOSAL KTI

ii

EFEKTIVITAS MODUL PSIKOEDUKASI TERHADAP TINGKAT


PENGETAHUAN KELUARGA TENTANG SKIZOFRENIA
Disusun oleh:
DWI FAJARWATI PRAYITNO
20110310006

Telah disetujui pada tanggal:


23 April 2014

Dosen pembimbing

dr.Warih Andan Puspitosari,M.Sc, Sp.KJ


NIK. 173 042

iii

KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Alhamdulillahirabilalamin puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah
SWT yang telah melimpahkan rahmat Nya sehingga penulis mampu menyusun dan
menyelesaikan proposal karya tulis ilmiah yang berjudul Efektivitas Modul
Psikoedukasi Terhadap Keluarga Tentang Skizofrenia. Penulis pada kesempatan
ini ingin mengucapkan terimakasih kepada:
1.

Allah AWT, atas segala kemudahan, kelancaran dalam dapat menyelesaikan

2.

karya tulis ini.


dr. H. Ardi Pramono Sp.An selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu

3.

Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.


Dr. Alfaina Wahyuni,Sp.OG.,M.Kes selaku Kaprodi Pendidikan Dokter FKIK
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

4.

dr.Warih Andan Puspitosari,M.Sc,SpKj yang telah mengajarkan ilmu yang


bermanfaat dengan penuh dedikasi dan keikhlasannya.

5.

dr.., selaku dosen penguji seminar KTI. Terimakasih atas saran dan masukan
yang bermanfaat bagi KTI penulis.

6.
7.

Kedua orangtua serta keluarga yang senantiasa mendukung dan mendoakan.


Bapak/Ibu anggota keluarga yang telah menjadi responden penelitian dan
membantu terselenggaranya intervensi.

iv

8.

Sahabat dan rekan penelitian seperjuangan terbaik Maharani Primastuti Arganist


yang senantiasa selalu menyemangati dan membantu saat mengerjakan penelitian

9.

ini.
Sahabat-sahabat tersayang: Roosvenda Rahmah Bahardini, Kurnia Ade Putri,
Ardhita Pramesti A.H.P., Asrian Hendiani, dan Binadi Vega Prawidesta yang
senantiasa memberikan dukungan dan doa sehingga KTI ini dapat selesai dengan

baik.
10. Kakak angkatan 2010 mba Monik yang bersedia membantu memberikan
referensi dalam pembuatan KTI ini.
11. Rekan penelitian dalam satu bimbingan atas kerjasamanya yang baik dan
kompak.
Penulis sadar bahwa karya tulis ilmiah ini masih jauh dari sempurna, kritik
dan saran yang membangun sangat diharapkan dari pembaca. Penulis berharap karya
tulis ilmiah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan menambah ilmu pengetahuan
dalam bidang ilmu kesehatan jiwa.
Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarokatuh.

Yogyakarta, 21 April 2014

Penulis

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.......................................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN PROPOSAL KTI............................................................ii
KATA PENGANTAR.....................................................................................................iii
DAFTAR ISI....................................................................................................................v
BAB I...............................................................................................................................1
PENDAHULUAN...........................................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah....................................................................................1
B. Perumusan Masalah...........................................................................................6
C. Tujuan Penelitian...............................................................................................7
1.

Tujuan Umum..................................................................................... 7

2.

Tujuan Khusus.................................................................................... 7

D. Manfaat Penelitian.............................................................................................7
1.

Teoritis............................................................................................. 7

2.

Praktis.............................................................................................. 8

E. Keaslian Penelitian.............................................................................................9
BAB II............................................................................................................................13
TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................................13
A. Landasan Teori.................................................................................................13
1.

Skizofrenia...................................................................................... 13

2.

Psikoedukasi.................................................................................... 34

3.

Pengetahuan..................................................................................... 36

4.

Keluarga......................................................................................... 45

B. Kerangka Konsep.............................................................................................55
C. Hipotesis..........................................................................................................56
BAB III..........................................................................................................................57
METODE PENELITIAN...............................................................................................57
A. Desain Penelitian.............................................................................................57
B. Populasi dan Sampel........................................................................................58
1. Populasi............................................................................................. 58

vi

2.

Sampel............................................................................................ 58

C. Lokasi dan Waktu Penelitian............................................................................60


D. Variabel............................................................................................................60
E. Definisi OperasionaL.......................................................................................61
F.

Instrumen Penelitian........................................................................................61

G. Cara Pengambilan Data....................................................................................62


H. Uji Validitas dan Reliabilitas............................................................................63
I.

Metode Analisa Data........................................................................................63

DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................65
LAMPIRAN 1................................................................................................................69
LAMPIRAN 2................................................................................................................70

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Kesehatan jiwa (mental) adalah suatu kondisi perasaan sejahtera
secara subjektif, suatu penilaian diri tentang perasaan mencangkup aspek
konsep diri, kebugaran dan kemampuan mengendalikan diri (Riyadi, 2009).
Gangguan jiwa adalah perubahan perilaku yang terjadi tanpa alasan
yang masuk akal, berlebihan, berlangsung lama dan menyebabkan kendala
terhadap individu tersebut atau orang lain

(Suliswati, 2005). Gangguan

mental berhubungan dengan hak asasi manusia. stigma, diskriminasi dan


pelanggaran hak asasi individu maupun keluarga yang ditimbulkannya
sangatlah intens dan melekat erat. Sebagian kecil dari kejadian ini merupakan
konsekuensi dari persepsi secara umum: bahwa tidak ada cara yang tergolong
efektif sebagai modalitas pencegahan atupun penatalaksanaan gangguan
mental. Pencegahan yang efektif dapat memperbaiki persepsi ini serta
merubah cara pandang masyarakat terhadap gangguan mental (WHO, 2004).
Pencegahan dapat dilakukan dengan meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan mengelola pasien Orang Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK)
bagi tenaga kesehatan baik dokter maupun perawat, tersedianya obat
psikofarmaka, serta adanya peran aktif

masyarakat, pasien dan keluarga

dalam proses pemulihan dan rehabilitasi pasien (Depkes, 2010).


Perawatan penderita gangguan jiwa berat fase awal sebagian besar
ditanggung oleh keluarga. Studi yang bertujuan pada pemberdayaan keluarga
untuk mengurangi stigma pada gangguan jiwa berat di Jogjakarta
menunjukkan, jika pengetahuan keluarga pada gangguan psikotik dan
skizofrenia sangat rendah. Pengetahuan yang rendah ini membutuhkan

intervensi, sehingga jika pengetahuan meningkat diharapkan manajemen


gangguan psikotik akan lebih baik. (Marchira, 2012).
Skizofrenia adalah kelainan otak yang kronis, parah dan membuatnya
tidak berfungsi, dan telah dikenal orang disepanjang sejarah. Skizofrenia juga
bisa diartikan sebagai suatu penyakit atau gangguan mental yang dapat
memperburuk tingkah laku, sikap, pemikiran, sensasi, dan persepsi
(dr.Dadang Hawari, 2012). Gangguan psikotik ini terbentuk secara bertahap
dimana keluarga maupun klien tidak menyadari ada sesuatu yang tidak beres
dalam otaknya dalam kurun waktu yang lama. Kerusakan yang perlahan-lahan
ini yang akhirnya menjadi skizofrenia yang tersembunyi dan berbahaya..
(Yosep, 2009). Hal ini ditandai dengan delusi, halusinasi, bicara tidak teratur
dan perilaku, dan gejala lain yang menyebabkan disfungsi sosial atau
pekerjaan. Untuk menegakkan diagnosis, gejala harus telah hadir selama
enam bulan dan mencakup setidaknya satu bulan gejala aktif. (The American
Psychiatric , 2013).
Gejala yang sering timbul pada skizofrenia menyerang secara tiba-tiba.
Perubahan perilaku yang sangat dramatis terjadi dalam beberapa hari atau
minggu. Serangan yang mendadak selalu memicu terjadinya periode akut
secara cepat. Beberapa penderita mengalami gangguan seumur hidup, tapi
banyak juga yang bisa kembali hidup secara normal dalam periode akut
tersebut. Kebanyakan didapati bahwa mereka dikucilkan, menderita depresi
yang hebat, dan tidak dapat berfungsi sebagaimana layaknya orang normal
dalam lingkungannya. Dalam beberapa kasus, serangan dapat meningkat
menjadi skizoprenia kronis. Klien menjadi buas, kehilangan karakter sebagai
manusia dalam kehidupan sosial, tidak memiliki motivasi sama sekali dan
tidak memiliki kepekaan tentang perasaanya sendiri (Yosep, 2009).

Berdasarkan sabda Nabi sallallahualaihi wa sallam:

:


Pena terangkat dari tiga golongan : dari orang yang tidur sampai dia
bangun, dari anak kecil sampai dia dewasa, dan dari orang gila sampai dia
(kembali) berakal (waras). (Shahih Sunan at-Tirmidzi no. 1423)
Yang dimaksud dengan pena terangkat adalah tidak adanya beban syariat.
Penderita skizofrenia yang tidak bisa berfungsi normal menyebabkan
diperlukannya caregiver, yaitu individu yang secara umum merawat dan
mendukung individu lain (pasien) dalam kehidupannya (Awad, 2008)
Dalam Undang-Undang No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal
144 ayat (5) menyebutkan bahwa Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
berkewajiban untuk mengembangkan upaya kesehatan jiwa berbasis
masyarakat sebagai bagian dari upaya kesehatan jiwa keseluruhan, termasuk
mempermudah akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan jiwa. Hal ini
menunjukkan perhatian akan pentingnya upaya kesehatan jiwa berbasis
masyarakat termasuk kesehatan jiwa keluarga.
Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari suami
istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya (Suprajitno,
2004).
Masalah gangguan kesehatan jiwa diseluruh dunia memang sudah
menjadi masalah yang sangat serius, bahkan berdasarkan data dari Study
World Bank di beberapa Negara menunjukkan 8,1% dari kesehatan global
masyarakat (Global Burden Disease) disebabkan oleh masalah gangguan jiwa
yang menunjukkan dampak lebih besar dari penyakit kronik lainnya(Depkes,
2007).
Di Indonesia, berdasarkan Data Riskesdas tahun 2007, diketahui
bahwa prevalensi gangguan mental emosional seperti gangguan kecemasan
dan depresi sebesar 11,6% dari populasi orang dewasa. Berarti dengan jumlah

populasi orang dewasa Indonesia lebih kurang 150.000.000 ada 1.740.000


orang saat ini mengalami gangguan mental emosional (Depkes, 2007).
Menurut data Riskesdas 2007 angka rata-rata nasional gangguan
mental emosional (cemas dan depresi) pada penduduk usia 15 tahun adalah
11,6% atau sekitar 19 juta penduduk. Sedang gangguan jiwa berat rata-rata
sebesar 0,46% atau sekitar 1 juta penduduk. Sedikit sekali dari jumlah
penderita yang besar ini datang ke fasilitas pengobatan.
Prevalensi skizofrenia di seluruh dunia adalah sekitar 1,1% dari
populasi di atas usia 8 tahun, atau sekitar 51 juta orang di seluruh dunia
menderita skizofrenia. (NIMH, 2012). Laporan terbaru yaitu tahun 2009
WHO menyebutkan bahwa 50 juta orang didunia menderita skizofrenia, dan
di Asia Tenggara mencapai 6,5 juta orang. (WHO Schizophrenia. Tersedia di
http: //www.who.int/mental_health/topics.html dikunjungi tanggal 18 Agustus
2010.) Kaplan et al (2010) menuliskan karakteristik berupa laki-laki dan
perempuan memiliki angka kejadian yang hampir sama, yaitu 1,4:1.
Skizofrenia jarang pada usia anak-anak, yaitu 1:40.000 bila dibandingkan usia
dewasa yang mencapai 1:100.( National Institut of Mental Health.
2004) .Teori yang disebutkan dalam Kaplan et al (2010) bahwa skizofrenia
lebih banyak dijumpai pada orang orang yang tidak kawin. Skizofrenia
memiliki insidensi pada usia 15-25 tahun (pria) dan 25-35 tahun (wanita).
(Kaplan et al, 2010)
Selanjutnya jika

jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2010

sebanyak 237,6 juta . Dengan asumsi angka 1 % tersebut di atas maka jumlah
penderita Skizofrenia di Indonesia pada tahun 2012 ini sekitar 2.377.600
orang. Angka yang fantastis dibanding jumlah daya tampung 32 rumah sakit
jiwa di seluruh Indonesia sebanyak 8.047 tempat tidur. Daya tampung tetap,
pasien gangguan jiwa meningkat (Pitoyo, 2012). Menariknya, bila dilihat
menurut provinsi, prevalensi gangguan jiwa berat paling tinggi ternyata terjadi
di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Hasil Riskesdas tahun 2013
menunjukkan, sekitar 3 dari setiap 1.000 orang penduduk DIY mengalami

gangguan jiwa berat (Riskesdas, 2013). Lebih dari 50% pasien skizofrenia
memilik nasib yang buruk dengan perawatan rumah sakit berulang,
eksaserbasi gejala, episode gangguan mood berat, dan usaha bunuh diri
(Kaplan et al, 2010).
Berbagai upaya penyuluhan dan sosialisasi mengenai gangguan jiwa
Skizofrenia perlu diberikan untuk menghilangkan stigma pada keluarga dan
masyarakat terhadap gangguan jiwa Skizofrenia ini. (Hawari, 2007). Untuk itu
diperlukan upaya guna meningkatkan pengetahuan keluarga tentang
skizofrenia. Salah satunya yaitu melalui pemberian psikoedukasi.
Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu
seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung,
telinga, dan sebagainya). Dengan sendirinya, pada waktu penginderaan
sampai menghasilkan pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi intensitas
perhatian dan persepsi terhadap objek.Sebagian besar pengetahuan seseorang
diperoleh melalui indera pendengaran (telinga), dan indera penglihatan (mata)
(Notoatmodjo, 2005).Pengetahuan itu sendiri dipengaruhi oleh faktor
pendidikan formal. Pengetahuan sangat erat hubungannya dengan pendidikan,
dimana diharapkan bahwa dengan pendidikan yang tinggi maka orang tersebut
akan semakin luas pula pengetahuannya. Akan tetapi perlu ditekankan, bukan
berarti seseorang yang berpendidikan rendah mutlak berpengetahuan rendah
pula. Pengetahuan seseorang tentang suatu objek mengandung dua aspek,
yaitu aspek positif dan negatif. Kedua aspek ini yang akan menentukan sikap
seseorang semakin banyak aspek positif dan objek yang diketahui, maka akan
menimbulkan sikap makin positif terhadap objek tertentu (Wawan, 2010).
Maka dari itu semakin tinggi tingkat pengetahuan seseorang maka
akan semakin mudah menerima informasi, sehingga makin banyak pula
pengetahuan yang dimiliki sebaliknya pendidikan yang rendah akan
menghambat sikap seseorang terhadap nilai baru yang diperkenalkan.

Psikoedukasi adalah suatu bentuk pendidikan ataupun pelatihan


terhadap seseorang dengan gangguan psikiatri yang bertujuan untuk proses
treatment dan rehabilitasi. Sasaran dari psikoedukasi adalah untuk
mengembangkan dan meningkatkan penerimaan pasien terhadap penyakit
ataupun gangguan yang ia alami, meningkatkan pertisipasi pasien dalam
terapi, dan pengembangan coping mechanism ketika pasien menghadapi
masalah yang berkaitan dengan penyakit tersebut. (Bordbar, Mohammad.
Faridhosseini, Farhad, 2010).
Oleh karena itu, kami akan membuat suatu modul psikoedukasi guna
meningkatkan pengetahuan keluarga mengenai gangguan jiwa berat ini
sehingga keluarga mampu memberikan dukungan sosial kepada penderita
dalam menghadapi tantangan tersebut, dan mengembangkan keterampilan
coping untuk menghadapi tantangan tersebut. (Walsh, Joseph, 2010).

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka rumusan masalah
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Apakah modul psikoedukasi efektif terhadap tingkat pengetahuan Keluarga
tentang Skizofrenia?

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Menganalisis efektifitas

Modul

Psikoedukasi

pengetahuan keluarga tentang skizofrenia

terhadap

tingkat

2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui sejauh mana tingkat pengetahuan keluarga terhadap
skizofrenia sebelum intervensi pemberian modul psikoedukasi
b. Mengetahui sejauh mana tingkat pengetahuan keluarga terhadap
skizofrenia sesudah intervensi pemberian modul psikoedukasi
c. Menganalisis efektifitas pemberian modul psikoedukasi terhadap
pengetahuan keluarga tentang skizofrenia
d. Menganalisis perbedaan tingkat pengetahuan keluarga tentang
skizofrenia sebelum dan sesudah pemberian modul psikoedukasi
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :
1. Teoritis
a. Bagi Ilmu Kedokteran Jiwa
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan dokter
dalam memberi intervensi di masyarakat khususnya dalam hal
mengubah stigma sosial atau disebut juga stigma eksternal yaitu
seseorang atau kelompok termasuk keluarga sendiri yang memberikan
penilaian atau sikap negatif terhadap penderita skizofrenia.
b. Bagi Institusi Kesehatan
Diharapkan sebagai masukan untuk bahan pertimbangan bagi
Rumah Sakit Jiwa untuk lebih meningkatkan pelayanan kesehatan
terutama pemberian psikoedukator terhadap keluarga mengenai hal
yang berkaitan dengan skizofrenia. Diharapkan juga pihak rumah sakit
dapat menyediakan ruangan khusus sebagai pusat konseling bagi pihak
yang membutuhkan informasi mengenai kesehatan jiwa dapat

memanfaatkan pelayanan ini kapan pun dibutuhkan tanpa harus


menunggu program terapi kader kesehatan yang telah ditentukan.
2. Praktis
a. Bagi Peneliti
Menjadi bahan acuan untuk menambah wawasan tentang
bagaimana seharusnya kita bersikap dan mengubah pemikiran
masyarakat pada umunya terhadap orang dengan skizofrenia.
b. Bagi Peneliti Selanjutnya
Menjadi referensi ilmiah untuk penelitian lanjutan bagi
pengembangan penggunaan modul psikoedukasi terhadap keluarga.
c. Bagi Masyarakat
Memberikan masukan bagi masyarakat untuk dapat
meningkatkan kualitas hidup penderita skizofrenia dengan adanya
peningkatan pengetahuan, sikap, dan perilaku terhadap penderita
skizofrenia
d. Bagi Pasien Skizofrenia
Untuk mengembangkan dan meningkatkan penerimaan pasien
terhadap penyakit ataupun gangguan yang ia alami dan mampu
meningkatkan partisipasi pasien dalam terapi yang berkaitan dengan
penyakit tersebut guna mempercepat kesembuhannya
E. Keaslian Penelitian
Berikut telah dilakukan beberapa penelitian mengenai pemberian modul
psikoedukasi :
1. BMC Psychiatry (Hasan et al. 2014) dengan jurnal yang berjudul
Evaluation Of The Impact Of A Psycho-Educational Intervention On

Knowledge Levels And Psychological Outcomes For People Diagnosed


With Schizophrenia And Their Caregivers In Jordan: A Randomized
Controlled Trial. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
efektivitas intervensi psikoedukasi melalui buklet yang dicetak kepada
pasien Schizophrenia dan pengasuh utama yang memiliki hubungan dekat
dengan pasien. Intervensi ini guna meningkatkan pengetahuan pasien dan
pengasuhnya tentang skizofrenia, mengurangi kekambuhan gejala positif
dan negatif pasien, mengurangi beban pengasuh dalam perawatan pasien
dan meningkatkan kualitas hidupnya. Subyek dalam penelitian ini adalah
seseorang yang berusia 18 tahun atau lebih, didiagnosis skizofrenia atau
gangguan skizoafektif, dan pengasuh utamanya.Persamaan penelitian ini
dengan penelitian yang akan dilaksanakan yaitu sama-sama untuk
mengetahui efektivitas psikoedukasi terhadap tingkat pengetahuan
responden. Sedangkan perbedaannya adalah pada intervensi, instrumen,
dan subyek penelitiannya. Pada penelitian dalam jurnal ini, intervensi
yang dilakukan adalah adanya pemberian buklet psikoedukasi, pengobatan
dan tes laboratorium yang dilakukan oleh tenaga kesehatan
mental.Sedangkan instrumen yang digunakan pada penelitian yang akan
dilaksanakan adalah berupa pemberian modul psikoedukasi dan kuesioner
pretest postest.
2. Indian Journal Psychiatry (2005) dengan jurnal yang berjudul Family
education in schizophrenia: A comparison of two approaches.Tujuan dari

10

penelitian ini adalah menjelaskan 2 program pendidikan keluarga kepada


keluarga dari penderita skizofrenia untuk mencegah kekambuhan pasien
tersebut dan juga meringankan beban pengasuhan bagi keluarga.
Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilaksanakan yaitu
sama-sama menggunakan subyek penelitian dari keluarga pasien dengan
skizofrenia. Sedangkan perbedaannya adalah pada instrument yang
diberikan. Pada penelitian dalam jurnal ini, instrument yang diberikan
adalah salah satunya melalui pemutaran film pada program psikoedukasi
informal. Sedangkan instrumen yang digunakan pada penelitian yang akan
dilaksanakan adalah berupa pemberian modul psikoedukasi dan kuesioner
pretest postest.
3. Judul Penelitian: Multi-Family Psycho-Education Group for Assertive
Community Treatment Clients and Families of Culturally Diverse
Background: A Pilot Study, Wendy Chow, Samuel Law, Lisa Andermann,
Jian Yang, Molyn Leszcz, Jiahui Wong, Joel Sadavoy pada tahun 2010.
Hasil penelitiannya ialah pada penelitian ini menggunakan program
khusus untuk klien dengan perbedaan kultur pada 7 pasien dan 11 anggota
keluarga dari China dan 7 pasien dan 9 anggota keluarga dari Tamil.
Didapatkan hasil yang signifikan pada outcome dari keluarga pasien
seperti peningkatan peneriman keadaan pasien oleh keluarga dan
penurunan beban keluarga.Perbedaannya adalah terdapat pada metode

11

dimana penelitian yang akan dilakukan menggunakan modul untuk


kegiatan psikoedukasi.
4. Judul penelitian: The Schizophrenia Care Management Program for
Family Caregivers of Chinese Patients With Schizophrenia, Wai Tong
Chien, Ph.D, R.M.N., Isabella Y. M. Lee, M.Phil., R.N. pada tahun 2010.
Hasil Penelitiannya ialah Dengan menggunakan metode Randomized
Control Trial

pada 92 caregiver (keluarga), dilakukan program care

management selama15 bulan dan didapatkan hasil bahwa terdapat


peningkatan yang lebih baik pada penerimaan dan support terhadap pasien
skizofrenian dan penurunan angka kekambuhan.
Perbedaannya adalah terdapat pada metode dimana peneliti menggunakan
modul untuk kegiatan psikoedukasi dan tidak menggunakan metode RCT.

12

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Skizofrenia
a. Definisi
Menurut Kaplan, dkk (2010), skizofrenia adalah gangguan psikotik
kronik, penderita tidak dapat menilai realitas dengan baik dan memiliki
pemahaman diri yang buruk. Skizofrenia dengan onset masa anak-anak
pada pengertiannya adalah sama dengan skizofrenia pada masa remaja
dan masa dewasa. Walaupun jarang, skizofrenia pada anak-anak
prapubertal memiliki gejala minimal dua hal berikut: halusinasi, waham,
bicara atau perilaku yang jelas terdisorganisasi, dan menarik diri yang
parah minimal satu bulan. Disfungsi sosial dan akademik harus ada, dan
tanda gangguan harus menetap terus-menerus selama sekurangnya enam
bulan. (Kaplan, dkk 2010).
Seorang psikiater berkebangsaaan Swiss, Bleuler mengemukakan
manifestasi primer skizofrenia terdiri atas gangguan pikiran, emosi
menumpul dan terganggu. Ia menganggap bahwa gangguan pikiran dan
menumpulnya emosi sebagai gejala utama dari skizofrenia dan adanya
halusinasi atau delusi (waham) merupakan gejala sekunder atau tambahan
(Lumbantobing, 2007).
b. Etiologi
1) Faktor Genetik

13

Skizofrenia melibatkan lebih dari satu gen, atau biasa disebut


quantitative trait loci. Hal ini mengklarifikasikan mengapa terdapat
gradasi tingkat keparahan pada orang-orang yang mengalami
gangguan ini (dari ringan sampai berat) dan mengapa risiko untuk
mengalami skizofrenia semakin tinggi dengan semakin banyaknya
jumlah anggota keluarga yang memiliki penyakit ini (Durand, 2007).
Penelitian pada keluarga penderita skizofrenia terutama anak kembar
satu telur angka kesakitan bagi saudara tiri 0,9%-1,8%, bagi saudara
kandung 7- 15%, anak dengan salah satu menderita skizofrenia 7-16%.
Apabila kedua orang tua menderita skizofrenia 40-60% ,kembar dua
telur 2-15%. Kembar satu telur 61-68%. Menurut hukum Mendel
skizofrenia diturunkan melalui genetik yang resesif (Lumbantobing,
2007).
2) Faktor Biokimia
Skizofrenia berasal dari ketidakseimbangan neurotransmitter,
yaitu

kimiawi

otak

yang

memungkinkan

neuron-neuron

berkomunikasi satu sama lain. Beberapa ahli mengatakan bahwa


skizofrenia berasal dari aktivitas neurotransmitter dopamine yang
berlebihan di bagian tertentu dari otak atau dikarenakan sensitivitas
yang abnormal terhadap dopamine. Banyak ahli yang berpendapat
bahwa aktivitas dopamine yang berlebihan tidak cukup untuk
skizofrenia. Beberapa neurotransmitter lain seperti serotonin dan
norepinephrine tampaknya juga memainkan peranan (Durand, 2007)

14

3) Faktor Psikologis dan Sosial


Faktor psikososial meliputi adanya kerawanan herediter yang
semakin lama semakin kuat, adanya trauma yang bersifat kejiwaan,
adanya hubungan orang tua-anak yang patogenik, serta interaksi yang
patogenik dalam keluarga .(Sutardjo, 2005)
Banyak penelitian yang mempelajari adanya suatu interaksi dalam
keluarga mempengaruhi penderita skizofrenia. Sebagai contoh, istilah
schizophregenic mother digunakan untuk mendeskripsikan seorang
ibu yang memiliki sifat dingin, dominan, dan penolak, yang
diperkirakan menjadi penyebab skizofrenia pada anak-anaknya
(Durand, 2007).

c. Perjalanan penyakit
Perjalanan penyakit skizofrenia dapat dibagi menjadi 3 (tiga) fase berikut
ini:
1) Fase Prodromal
Fase prodromal adalah periode terjadinya perubahan perilaku
sebelum gejala yang nyata muncul. Tanda dan gejala fase prodromal
bisa mencakup kecemasan, gelisah, merasa diteror, atau depresi.
Penelitian retrospektif terhadap pasien didapatkan bahwa sebagian dari
mereka mengeluhkan gejala somatik, seperti nyeri kepala, nyeri
punggung dan otot, kelemahan, dan masalah pencernaan, perubahan
minat, kebiasaan, perilaku, dan pasien mengembangkan gagsan

15

abstrak, filsafat dan keagamaan. Gejala prodromal tersebut dapat


berlangsung beberapa bulan

sampai beberapa tahun sebelum

diagnosis pasti skzofrenia ditegakkan (Sudiyanto, 2004; Kirkpatrick


B. & Tek C, 2005)
Gejala pada fase ini meliputi: hendaya fungsi pekerjaan, fungsi
sosial, fungsi penggunaan waktu luang dan fungsi perawatan diri.
Perubahan-perubahan ini akan mengganggu individu serta membuat
resah keluarga dan teman. Semakin lama fase prodromal semakin
buruk prognosisnya (Nantingkaseh, 2007)
2) Fase Aktif
Pada fase ini, gejala positif/psikotik menjadi jelas seperti
tingkah laku katatonik, inkoherensi, waham, halusinasi disertai
gangguan afek. Hampir semua individu datang berobat pada fase ini.
Bila tidak mendapat pengobatan, gejala-gejala tersebut dapat hilang
secara spontan tetapi suatu saat mengalami eksaserbasi (terus bertahan
dan tidak dapat disembuhkan). Fase aktif akan diikuti oleh fase
residual. (Nantingkaseh, 2007)
3) Fase Residual
Fase ini memiliki gejala-gejala yang sama dengan Fase
Prodromal tetapi gejala positif/psikotiknya sudah berkurang. Selain
gejala-gejala yang terjadi pada kedua fase di atas, penderita
skizofrenia juga mengalami gangguan kognitif berupa gangguan

16

berbicara spontan, mengurutkan peristiwa, kewaspadaan dan eksekutif


(atensi, konsentrasi, hubungan sosial) (Nantingkaseh, 2007)
Fase residual atau stabil muncul setelah fase akut atau setelah terapi
dimulai. Ditandai dengan

menghilangnya beberapa gejala klinis

skizofrenia sehingga tinggal satu atau dua gejala sisa yang tidak terlalu
nyata secara klinis, misalnya penarikan diri, perilaku aneh (bicara atau
tersenyum sendiri, mengumpulkan sampah), dan defisit perawatan diri
(Sudiyanto, 2004).
d. Jenis skizofrenia
Menurut Kraepelin, Schizophrenia terbagi menjadi beberapa jenis
yang digolongkan menurut gejala utama yang terdapat padanya (W.F.
Maramis, 2005) :
1) Schizophrenia Simplex
Skizofrenia simpleks, muncul pertama kali pada masa pubertas.
Gejala utama ialah kedangkalan emosi dan kemunduran kemauan.
Waham dan halusinasi jarang sekali terdapat. Jenis ini timbul secara
perlahan. Pada permulaan mungkin penderita kurang memperhatikan
keluarganya atau menarik diri dari pergaulan. Makin lama ia semakin
mengalami kemunduran

dalam kerjaan atau pelajaran dan pada

akhirnya menjadi pengangguran, dan bila tidak ada orang yang


menolongnya ia akan mungkin akan menjadi pengemis, pelacur
atau penjahat. (Maramis, 2004)
Tipe skizofrenia ini menurut ICD-10 ialah suatu kelainan yang
tidak lazim ada, bersifat perlahan tetapi progresif mengenai keanehan
tingkah laku, ketidakmampuan untuk memenuhi tuntutan masyarakat

17

dan penurunan kinerja secara menyeluruh, tidak terdapat waham dan


halusinasi. Ciri-ciri negatif yang menonjol adalah afek yang
menumpul,

hilangnya

dorongan

kehendak

dan

bertambahnya

kemunduran sosial. (Sadock B. S., 2010 )


2) Schizophrenia Hebefrenik
Skizofrenia hebefrenik atau disebut juga hebefrenia, muncul
perlahan-lahan pada masa remaja atau antara 1525 tahun. Gejala
yang menyolok adalah gangguan proses berfikir, gangguan kemauan
dan adanya depersonalisasi. Gangguan psikomotor seperti perilaku
kekanak-kanakan sering terdapat pada jenis ini. Waham dan halusinasi
banyak sekali (Maramis, 2004).
Tipe skizofrenia ini menurut ICD-10 ialah suatu bentuk
skizofrenia dengan perubahan afektif yang jelas dan secara umum
juga dijumpai waham dan halusinasi yang bersifat mengambang serta
terputus-putus (flagmentar), perilaku yang tidak bertanggung jawab
dan tidak dapat diramalkan serta umumnya mannerisme. Suasana
perasaan (mood) pasien dangkal dan tidak wajar (inappropriate) sering
disertai oleh cekikikan (giggling) atau perasaan puas diri (self
satisfied), senyum sendiri (self-absorbed smilling) atau sikap yang
angkuh dan agung (lofty manner). Proses pikir mengalami
disorganisasi dan pembicaraan tak menentu serta inkoheren. Ada
kecenderungan tetap menyendiri (solitary) dan perilaku tampak hampa
tujuan dan hampa perasaan. (Sadock B. S., 2010 )

18

3) Schizophrenia Katatonik
Skizofrenia katatonik atau disebut juga katatonia, timbul
pertama kali antara umur 15-30 tahun dan biasanya akut serta sering
didahului oleh stres emosional. Mungkin terjadi gaduh gelisah
katatonik atau stupor katatonik (Maramis, 2004).
Tipe skizofrenia yang didominasi oleh sekurangnya 2 gejala klinis di
bawah ini (Kaplan and Sadock, 2004):
a) Imobilitas motorik seperti ditunjukkan adanya katalepsi atau stupor
b) Aktivitas motorik yang berlebihan (tidak ada tujuan dan tak
dipengaruhi stimulus eksternal)
c) Negativisme yang berlebihan (mempertahankan postur yang kaku
dan menentang semua usaha untuk menggerakkanna atau mutism)
d) Gerakan sadar yang aneh, seperti mengambil postur yang tak
lazim secara disengaja, gerakan stereotipik yang berulang-ulang,
bermuka menyeringai secara menonjol
e) Ekolalia atau ekopraksia (pembicaraan yang tidak bermakna)
Gejala yang penting adalah gejala psikomotor seperti (Maramis, W.F,
2005):
a) Mutisme, kadang-kadang dengan mata tertutup
b) Muka tanpa mimik, seperti topeng
c) Stupor, penderita tidak bergerak beberapa hari, bahkan kadangkadang sampai beberapa bulan.
d) Bila diganti posisinya penderita menentang: negativism
e) Makanan ditolak, air ludah tidak ditelan sehingga terkumpul di
dalam mulut dan meleleh keluar, air seni dan feses ditahan.
f) Terdapat grimas dan katalepsi.
4) Schizophrenia Paranoid
Gejala yang mencolok adalah waham dan halusinasi, namun
bila diperiksa dengan teliti terdapat proses berpikir, afek dan kemauan.

19

Jenis ini berbeda dari jenis-jenis lainnya dalam perjalanan penyakit.


Hebefrenia dan katatonia sering lama-kelamaan menunjukkan gejalagejala skizofrenia simplek atau gejala campuran hebefrenia dan
katatonia. Tidak demikian halnya dengan skizofrenia paranoid yang
jalannya agak konstan. (Maramis, 2004)
Tipe skizofrenia yang memenuhi kriteria sebagai berikut (Kaplan and
Sadock,2004):
a) Preokupasi dengan satu atau lebih delusi atau halusinasi dengar
yang menonjol secara berulang-ulang
b) Tak ada yang menonjol dari keadaan di bawah ini:
Pembicaraan yang tidak terorganisasi, perilaku katatonik, afek datar
atau tak sesuai
5) Schizophrenia Afektif
Pada skizofrenia skizoafektif, di samping gejala-gejala
skizofrenia secara bersamaan, juga terdapat gejala-gejala depresi atau
gejala-gejala mania. Jenis ini cenderung untuk sembuh tanpa efek,
tetapi mungkin juga timbul lagi serangannya (Maramis, 2004).
6) Episoda Schizophrenia Akut
Gejala skizofrenia ini timbul mendadak sekali dan pasien
seperti keadaan mimpi. Kesadarannya mungkin berkabut. Dalam
keadaan ini timbul perasaan seakan-akan dunia luar dan dirinya sendiri
berubah. Semuanya seakan-akan mempunyai arti yang khusus
baginya. Prognosisnya baik dalam waktu beberapa minggu atau
biasanya kurang dari enam bulan penderita sudah baik. Kadangkadang bila kesadaran yang berkabut tadi hilang, maka timbul gejalagejala salah satu jenis skizofrenia yang lainnya. (Maramis, 2004)

20

7) Schizophrenia Residual
Skizofrenia residual, merupakan keadaan skizofrenia dengan
gejala-gejala primer tetapi tidak jelas adanya gejala-gejala sekunder.
Keadaan ini timbul sesudah beberapa kali serangan skizofrenia.
(Maramis, 2004)
Tipe skizofrenia yang memenuhi kriteria sebagai berikut (Kaplan and
Sadock,2004):
a) Tak adanya delusi, halusinasi, pembicaraan yang tak terorganisasi,
perilaku yang tak terorganisasi atau katatonik menonjol
b) Terdapat terus tanda seperti adanya gejala negative, 2 atau lebih
gejala yang terdapat dalam kriteria a, walaupun ditemukan dalam
bentuk yang lemah seperti keyakinan yang aneh.
e. Gejala skizofrenia
Menurut Bleuler, gejala dari skizofrenia dibagi menjadi 2
kelompok yaitu gejala primer dan gejala sekunder. Gejala primernya
adalah gangguan proses berpikir (bentuk, langkah, dan isi pikiran),
gangguan afek dan emosi, gangguan kemauan, dan gejala psikomotor.
Gejala sekundernya adalah waham dan halusinasi. (W.F. Maramis, 2005)
Gejala-gejala skizofrenia dapat dibagi menjadi 2 kelompok gejala positif
dan gejala negatif.
1) Gejala Negatif
Pada gejala negatif terjadi pengurangan proses mental atau
proses perilaku. Hal ini dapat menganggu bagi pasien dan orang
disekitarnya.
a) Gangguan afek dan emosi
Gangguan ini dapat berupa adanya kedangkalan afek dan
emosi (emotional blunting), misalnya : pasien menjadi acuh atau

21

cuek terhadap sesuatu yang penting bagi dirinya sendiri seperti


keadaan keluarga dan masa depannya, hilangnya kemampuan untuk
mengadakan hubungan emosi yang baik (emotional rapport),
terpecah belahnya kepribadian maka hal-hal yang berlawanan
mungkin terdapat bersama-sama, umpamanya mencintai dan
membenci satu orang yang sama atau menangis, dan tertawa tentang
suatu hal yang sama (ambivalensi) (Lumbantobing, 2007).
b) Alogia
Penderita sedikit berbicara dan jarang memulai percakapan.
Kadang isi pembicaraan sedikit saja maknanya. Ada pula pasien
yang mulai berbicara yang bermakna, namun tiba-tiba ia berhenti
bicara, dan baru bicara lagi setelah tertunda beberapa waku
(Lumbantobing, 2007)
c) Avolisi
Ini merupakan keadaan dimana pasien hampir tak bergerak,
gerakannya miskin. Kalau dibiarkan akan duduk seorang diri, tidak
bicara, tidak ikut beraktivitas jasmani (Lumbantobing, 2007).
d) Anhedonia
Tidak mampu menikmati kesenangan, dan menghindari
pertemanan dengan orang lain (Asociality) pasien tidak mempunyai
perhatian, minat pada rekreasi. Pasien tidak mempunyai teman sama
sekali, namun ia tidak memperdulikannya (Lumbantobing, 2007).
e) Gejala Psikomotor
Adanya gejala katatonik atau gangguan perbuatan dan sering
mencerminkan gangguan kemauan. Bila gangguan hanya kemauan

22

saja maka dapat dilihat adanya gerakan yang agak kaku, stupor
dimana pasien tidak bergerak sama sekali dan dapat berlangsung
berhari-hari, berbulan-bulan dan kadang bertahun-tahun lamanya
pada pasien yang sudah menahun; hiperkinese dimana pasien terus
bergerak saja dan sangat gelisah (Kaplan, H.I., Sadock, B.J., and
Grebb, J.A., ., 2010).
2) Gejala Positif
Gejala positif dapat berupa munculnya pikiran yang tidak dapat
dikontrol pasien.
a) Delusi(Waham )
Waham merupakan gejala skizofrenia dimana adanya
suatu keyakinan yang salah pada pasien. Pada skizofrenia
waham sering tidak logis sama sekali dan dianggap merupakan
fakta yang
sering

tidak dapat dirubah oleh siapapun.Waham yang

muncul

pada

pasien

skizofrenia

adalah

waham

kebesaran,waham kejaran,waham sindiran, waham dosa dan


sebagainya (Kaplan et al, 2010).
b) Halusinasi
Mendengar suara, percakapan, bunyi asing dan aneh atau
malah mendengar musik, merupakan gejala positif yang paling
sering dialami penderita skizofrenia (Lumbantobing, 2007)
Ada beberapa gejala positif dan negatif pada individu penderita
skizofrenia (Videbeck, 2008), yaitu:
1) Gejala positif (gejala yang tampak)
a) Halusinasi : persepsi sensori yang salah atau persepsi sensori yang
tidak terjadi dalam realitas

23

b) Waham : keyakinan yang salah dan dipertahankan, tidak memiliki


dasar dalam realitas
c) Ekopraksia : peniruan gerakan dan gesture orang lain yang dialami
klien
d) Flight of ideas : aliran verbalisasi yang terus menerus saat
individu melompat dari satu topik ke topik lain dengan cepat.
e) Preserverasi : terus menerus membicarakan satu topik atau
gagasan; pengulangan kalimat, kata atau frasa secara verbal, dan
menolak untuk mengubah topik tersebut.
f) Asosiasi longgar : pikiran atau gagasan yang terpecah-pecah
atau buruk
g) Gagasan rujukan : kesan yang salah bahwa peristiwa eksternal
memiliki makna khusus bagi individu
h) Ambivalensi : mempertahankan keyakinan atau perasaan yang
tampak
2) Gejala negatif (gejala yang samar)
a) Apati : perasaan tidak peduli terhadap individu, aktivitas, peristiwa
b) Alogia : kecenderungan berbicara sedikit atau menyampaikan
substansi makna (miskin isi)
c) Afek datar : tidak adanya ekspresi wajah yang akan menunjukan
emosi atau mood
d) Afek tumpul : rentang keadaan perasaan emosional atau mood yang
terbatas kontradiktif tentang individu, peristiwa, atau situasi yang sama
e) Anhedonia : merasa tidak senang atau tidak gembira dalam mejalani
hidup, aktivitas dan hubungan
f) Katatonia : imobilitas karena faktor psikologis, kadang kala ditandai
oleh periode agitasi atau gembira; klien tampak tidak bergerak, seolaholah dalam keadaan setengah sadar.

24

g) Tidak memiliki kemauan : tidak adanya keinginan, ambisi atau


dorongan untuk bertindak melakukan tugas-tugas.
F. Kriteria Diagnosis
Menurut kriteria ICD 10 penegakkan diagnosis skizofrenia meliputi
gejala (Sadock B. S., 2010 ) :
2) Adanya paling tidak 1 gejala persisten selama 1 bulan diantaranya,
thought

echo

(pikiran

kontrol/kebesaran/infidelity/reference/dan

berulang),
lain-lain,

waham
halusinasi

auditory (pasien merasa diperintah, diajak berbicara oleh suara yang


tak ada sumber yang terlihat), dan delusi yang terkait dengan kultur
setempat seperti kemapuan membaca pikiran orang lain, dan
sebagainya.
3) Adanya minimal 2 gejala selama 1 bulan hampir setiap hari
diantaranya, flight of ideas, neologisme, inkoherensi, posisi tubuh
katatonik, dan afek datar.
Menurut Kaplan & Sadock (2004), terdapat beberapa kriteria
diagnostic skizofrenia di dalam DSM-IVantara lain (Sadock BJ, 2004):
1) Karakteristik gejala Terdapat dua (atau lebih) kriteria di bawah ini,
masing-masing ditemukan secara signifikan selama periode satu
bulan (atau kurang,bila berhasil ditangani):
a) Delusi (waham)
b) Halusinasi
c) Pembicaraan yang tidak terorganisasi (misalnya, topiknya sering
menyimpang atau tidak berhubungan).
d) Perilaku yang tidak terorganisasi secara luas atau munculnya
perilaku katatonik yang jelas

25

e) Gejala negatif; yaitu adanya afek yang datar, alogia atau avolisi.
Catatan : Hanya diperlukan satu gejala dari kriteria A, jika delusi
yang muncul bersifat kacau (bizzare) atau halusinasi terdiri dari
beberapa suara yang terus menerus mengomentari perilaku atau
pikiran pasien, atau dua atau lebih suara yang saling berbincang
antara satu dengan yang lainnya.
2) Disfungsi sosial atau pekerjaan dalam kurun waktu yang signifikan
sejak munculnya onset gangguan, ketidakberfungsian ini meliputi
satu atau lebih fungsi utama; seperti pekerjaan, hubungan
interpersonal, atau perawatan diri, yang jelas di bawah tingkat yang
dicapai sebelum onset (atau jika onset pada masa anak-anak atau
remaja, adanya kegagalan untuk mencapai beberapa tingkatan
hubungan interpersonal, prestasi akademik, atau pekerjaan yang
diharapkan).
3)

Durasi Adanya tanda-tanda gangguan yang terus menerus menetap


selama sekurangnya enam bulan. Pada periode enam bulan ini, harus
termasuk sekurangnya satu bulan gejala (atau kurang, bila berhasil
ditangani) yang memenuhi kriteria A (yaitu fase aktif gejala) dan
mungkin termasuk pula periode gejala prodromal atau residual.
Selama periode prodromal atau residual ini, tanda-tanda dari
gangguan mungkin hanya dimanifestasikan oleh gejala negatif atau

26

dua atau lebih gejala yang dituliskan dalam kriteria A dalam bentuk
yang lemah.
Catatan : Gejala A ialah tak adanya delusi, halusinasi, pembicaraan
yang tak terorganisasi, perilaku yang tak terorganisasi atau katatonik
menonjol
f. Penatalaksanaan
1) Farmakoterapi
Terapi skizofrenia secara farmakologi berdasarkan onset
dibagi menjadi 2 fase, yaitu (Sadock, 2010 ):
a) Fase Psikosis Akut
Pada fase ini pengobatan menggunakan anti psikotik dan
benzodiazepine akan cepat menenangkan pasien yang pada
umumnya mengalami agitasi akibat halusinasi dan delusi. Anti
psikotik akan bekerja lebih cepat melalui injeksi intramuskuler
(Sadock B. J., 2007). Obat antipsikotik yang

menyebabkan

akinesia dan gangguan traktus ekstrapiramidalis antara lain


haloperidol dan flupenazine. Sedangkan golongan antipsikotik
atipikal seperti olanzapine dan risperidone tidak menyebabkan
gangguan ekstrapiramidal (Sadock B. J., 2007).
b) Fase Maintenance dan Stabilisasi
Pada fase ini tujuan pengobatan adalah mencegah relaps
dengan terus menggunakan obat-obatan karena jika obat
dihentikan maka risiko terjadi relaps meningkat hingga 72 %

27

pada satu tahun pertama, sehingga disarankan agar pengobatan


dilakukan minimal selama 5 tahun (Sadock B. J., 2007).
2) Non Farmakoterapi
Beberapa jenis pengobatan tanpa menggunakan obat-obatan yaitu:
a) ECT (Electro Convulsive Therapy)
Dikatakan penggunaan ECT dengan pengobatan entipsikotik
akan lebih efektif (Sadock B. J., 2007).
b) Terapi Berorientasi Keluarga
Karena pasien dikembalikan dalam keadaan remiten, maka
penting untuk mengedukasi keluarga bagaimana cara mengatasi
masalah-masalah yang dapat timbul dari pasien. Secara terbuka
menjelaskan keadaan pasien dan

pentingnya keluarga untuk

tidak merasa malu (Sadock B. J., 2007). Penting pula bagi


keluarga untuk tidak menunjukkan emosi berlebihan selama
terapi

karena

hal

tersebut

dapat

memperburuk

kesembuhan pasien (Sadock B. J., 2007).


Beberapa metode pengobatan Skizofrenia (Akbar, 2010), yaitu
1) Psikofarmaka
Pada dasarnya semua obat anti psikosis memiliki efek primer
(efek
pada

klinis) yang sama pada dosis ekuivalen, perbedaan utama


efek

sekunder

(efek

samping:

sedasi,

otonomik,

ekstrapiramidal). Pemilihan jenis anti psikosis mempertimbangkan


gejala psikosis yang dominan dan efek sampingnya. Pergantian
disesuaikan dengan dosis ekuivalen. Apabila obat antipsikosis
tertentu tidak memberikan respons klinis dalam dosis yang sudah

28

optimal setelah jangka waktu yang tepat, dapat diganti dengan obat
anti psikosis lain (sebaiknya dan golongan yang tidak sama) dengan
dosis ekuivalennya. Apabila dalam riwayat penggunaan obat anti
psikosis sebelumnya sudah terbukti efektif dan efek sampingnya
ditolerir baik, maka dapat dipilih kembali untuk pemakaian sekarang.
Bila gejala negatif lebih menonjol dari gejala positif pilihannya
adalah obat anti psikosis atipikal. Sebaliknya bila gejala positif lebih
menonjol dibandingkan gejala negatif pilihannya adalah tipikal.
Begitu juga pasien-pasien dengan efek samping ekstrapiramidal
pilihan kita adalah jenis atipikal. Obat antipsikotik yang beredar di
pasaran dapat di kelompokkan menjadi dua bagian yaitu anti psikotik
generasi pertama (APG I) dan anti psikotik generasi ke dua (APG ll).
2) Psikososial
Ada beberapa macam metode yang dapat dilakukan antara lain
psikoterapi individual, meliputi terapi suportif, social skill training,
terapi okupasi, terapi kognitif dan perilaku. Terapi psikososial lainnya
adalah psikoterapi kelompok, psikoterapi keluarga dan manajemen
kasus.

2. Psikoedukasi
a. Pengertian
Psikoedukasi adalah suatu bentuk pendidikan terhadap seseorang
dengan gangguan psikiatri yang bertujuan untuk proses terapi dan
rehabilitasi. Sasaran dari psikoedukasi adalah mengembangkan dan

29

meningkatkan penerimaan pasien terhadap penyakit ataupun gangguan


yang ia alami, meningkatkan pertisipasi pasien dalam terapi, dan
pengembangan coping mechanism ketika pasien menghadapi masalah
yang berkaitan dengan penyakit tersebut. (Bordbar, Mohammad.
Faridhosseini, Farhad, 2010)
Definisi istilah psikoedukasi adalah suatu intervensi yang dapat
dilakukan pada individu, keluarga, dan kelompok yang fokus pada
mendidik partisipannya mengenai tantangan signifikan dalam hidup,
membantu partisipan mengembangkan sumber-sumber dukungan dan
dukungan

sosial

dalam

menghadapi

tantangan

tersebut,

dan

mengembangkan keterampilan coping untuk menghadapi tantangan


tersebut. (Walsh, Joseph, 2010)
b. Fokus Psikoedukasi
Di dalam Walsh (2010), ia menjelaskan mengenai pengertian
psikoedukasi dari Griffiths (2006). Berdasarkan pengertian tersebut,
ditarik kesimpulan bahwa fokus dari psikoedukasi adalah sebagai berikut:
1) Mendidik partisipaan berhubungan dengan tantangan dalam hidup
2) Membantu partisipan mengembangkan sumber-sumber dukungan dan
dukungan social dalam menghadapi tantangan hidup
3) Mengembangkan keterampilan coping untuk menghadapi tantangan
hidup
4) Mengembangkan dukungan emosional

30

5) Mengurangi sense of stigma dari partisipan


6) Mengubah sikap dan belief dari partisipan terhadap suatu gangguan
7) Mengidentifikasi dan mengeksplorasi perasaan terhadap suatu isu
8) Mengembangkan keterampilan penyelesaian masalah
9) Mengembangkan keterampilan crisis-intervention

(Walsh, Joseph,

2010)

Psikoedukasi,

baik

individu

ataupun

kelompok

tidak

hanya

memberikan informasi penting terkait dengan permasalahan partisipannya


tetapi juga mengajarkan keterampilan yang dianggap penting bagi
partisipannya untuk menghadapi situasi permasalahannya. Psikoedukasi
kelompok dapat diterapkan pada berbagai kelompok usia dan level
pendidikan. Psikoedukasi kelompok ini lebih menekankan pada proses belajar
dan pendidikan daripada self-awareness dan self-understanding dimana
komponen kognitif memiliki proporsi yang lebih besar daripada komponen
afektif (Brown, Nina W., 2011).

c. Isi Psikoedukasi
Isi psikoedukasi terdiri dari informasi penyakit, manajemen
penyakit, manajemen krisis, manajemen koping, manajemen stress dan
emosi, serta membahas pertanyaan yang sering diajukan (Thara et al,
2005)

31

3. Pengetahuan
a. Pengertian
Pengetahuan adalah hasil penginderaan seseorang terhadap objek
melalui alat indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan
sebagainya). Pada waktu penginderaan sampai menghasilkan pengetahuan
tersebut sangat dipengaruhi intensitas perhatian dan persepsi terhadap
objek. Sebagian besar pengetahuan seseorang diperoleh melalui indera
pendengaran (telinga), dan indera penglihatan (mata)

(Notoatmodjo,

2005).
Pengetahuan itu sendiri dipengaruhi oleh faktor pendidikan formal.
Pengetahuan sangat erat hubungannya dengan pendidikan, dimana
diharapkan bahwa dengan pendidikan yang tinggi maka orang tersebut
akan semakin luas pengetahuannya. Tetapi, bukan berarti seseorang yang
berpendidikan rendah mutlak berpengetahuan rendah pula. Pengetahuan
seseorang tentang suatu objek mengandung dua aspek, yaitu aspek positif
dan negatif. Kedua aspek ini yang akan menentukan sikap seseorang.
Semakin banyak aspek positif dan objek yang diketahui, maka akan
menimbulkan sikap makin positif terhadap objek tertentu
2010)
b. Tingkatan Pengetahuan
Dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkat, yakni :
1) Tahu (Know)

(Wawan ,

32

Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat


kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang
dipelajari atau rangsangan yang telah diterima.
2) Memahami (Comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk mempelajari
secara benar tentang objek yang telah diketahui, dan dapat
menginterpretasikan materi tersebut secara benar.
3) Aplikasi (Application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan suatu
materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi yang sebenarnya.
4) Analisis (Analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan suatu objek
ke dalam komponen-komponen, tetapi masih dalam suatu struktur
organisasi tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama lain.
5) Sintesis (Synthesis)
Sintesis menunjukkan pada suatu kemampuan untuk meletakkan
atau menghubungkan bagian bagian didalam suatu bentuk
keseluruhan yang baru.
6) Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan
penilaian terhadap suatu materi atau objek (Notoatmodjo S. , 2007).

33

c. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan


1) Faktor Internal
a) Pendidikan
Pendidikan diperlukan untuk mendapat informasi misalnya
hal-hal yang menunjang kesehatan sehingga dapat meningkatkan
kualitas hidup. Menurut YB Mantra yang dikutip Notoatmodjo
(2003) dalam Wawan (2010), pendidikan dapat mempengaruhi
seseorang termasuk juga perilaku seseorang akan pola hidup
terutama

dalam

memotivasi

agar

pembangunan (Nursalam, 2003 dalam

berperan

serta

Wawan, 2010).

dalam
Pada

umumnya makin tinggi pendidikan seseorang makin mudah


menerima informasi.
b) Pekerjaan
Menurut Thomas yang dikutip oleh Nursalam (2003) dalam
(Wawan, 2010), pekerjaan adalah kebutuhan yang harus dilakukan
terutama untuk menunjang kehidupannya dan kehidupan keluarga.
c) Umur
Menurut Elisabeth BH yang dikutip Nursalam (2003) dalam
(Wawan, 2010), usia adalah umur individu yang terhitung saat
dilahirkan sampai berulang tahun. Sedangkan menurut Hurlock
(1998) dalam

(Wawan, 2010) semakin cukup umur, tingkat

kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam


dalam berfikir dan bekerja.
2) Faktor Eksternal
a) Faktor lingkungan
Menurut Ann.Mariner yang dikutip dari Nursalam (2003)dalam
(Wawan, 2010) lingkungan merupakan suatu kondisi yang ada

34

disekitar manusia dan dapat mempengaruhi perkembangan dan


perilaku orang atau kelompok.
b) Sosial Budaya
Sistem sosial budaya yang ada pada masyarakat dapat
mempengaruhi sikap dalam menerima informasi.
d. Cara Memperoleh Pengetahuan
Cara untuk memperoleh

kebenaran

pengetahuan

dapat

dikelompokan menjadi dua, yakni (Notoatmodjo s , 2010):


1) Cara Memperoleh Kebenaran Nonilmiah
a) Cara Coba Salah (Trial and Error)
Metode ini telah digunakan oleh orang dalam waktu yang
cukup lama untuk memecahkan berbagai masalah. Bahkan sampai
sekarang pun metode ini masih sering digunakan, terutama oleh
mereka yang belum atau tidak mengetahui suatu cara tertentu
dalam memecahkan suatu masalah yang dihadapi. Metode ini telah
banyak

jasanya,

terutama

dalam

meletakan

dasar-dasar

mennemukan teori-teori dalam berbagai cabang iilmu pengetahuan.


b) Secara Kebetulan
Penemuan kebenaran secara kebetulan terjadi karena tidak
disengaja oleh orang yang bersangkutan. Salah satu contoh adalah
penemuan enzim urease oleh Summers pada tahun 1926.
c) Cara Kekuasaan atau Otoritas
Dalam kehidupan manusia sehari-hari, banyak sekali
kebiasaan dan tradisi-tradisi yang dilakukan oleh orang, tanpa
melalui penalaran apakah yang dilakukan tersebut baik atau tidak
kebiasaan seperti ini tidak hanya terjadi pada masyarakat
tradisional saja, melainkan juga terjadi pada masyarakat modern.

35

Para pemegang otoritas, baik pemimpin pemerintah, tokoh agama,


maupun ahli ilmu pengetahuan pada prinsipnya mempunyai
mekanisme yang sama di dalam penemuan pengetahuan.
d) Berdasarkan Pengalaman Pribadi
Pengalaman adalah guru yang baik, demikian bunyi
pepatah. Pepatah ini mengandung maksud bahwa pengalaman itu
merupakan sumber pengetahuan, atau pengalaman itu merupakan
suatu cara untuk memperoleh kebenaran pengetahuan. Oleh
karena itu, pengalaman pribadi pun dapat digunakan sebagai
upaya memperoleh pengetahuan. Hal ini dilakukan dengan cara
mengulang

kembali

pengalaman

yang

diperoleh

dalam

memecahkan permasalahan yang dihadapi pada masa yang lalu.


e) Cara Akal Sehat
Akal sehat atau common sense kadang-kadang dapat
menemukan teori atau kebenaran. Sebelum ilmu pendidikan
berkembang, para orang tua zaman dahulu agar anaknya mau
menuruti nasihat orang tuanya,atau agar anak disiplin maka diberi
hukuman fisik bila anaknya berbuat salah, misalnya dijewer
telinganya atau dicubit. Ternyata cara menghukum anak ini sampai
sekarang berkembang menjadi teori atau kebenaran, bahwa
hukuman adalah merupakan metode (meskipun bukan yang paling
baik) bagi pendidikan anak. Pemberian hadiah dan hukuman
(reward and punishment) merupakan cara yang masih dianut oleh

36

banyak orang untuk mendisiplinkan anak dalam konteks


f)

pendidikan.
Kebenaran Melalui Wahyu
Suatu kebenaran yang diwahyukan dari Tuhan melalui para
Nabi

ini harus diterima dan diyakini oleh pengikut-pengikut

agama yang bersangkutan, terlepas dari apakah kebenaran tersebut


rasional atau tidak.
g) Kebenaran secara Intuitif
Kebenaran secara intuitif diperoleh manusia melalui proses
diluar kesadaran dan tanpa melalui proses penalaran atau berpikir.
Kebenaran yang diperoleh melalui intuitif sulit dipercaya karena
kebenaran ini tidak menggunakan cara yang rasional dan
sisitematis. Kebenaran ini diperoleh seseorang hanya berdasarkan
intuisi atau suara hati atau bisikan hati saja.
h) Melalui Jalan Pikiran
Sejalan dengan perkembangan kebudayaan umat manusia,
cara berfikir manusia pun ikut berkembang. Dari sini manusia
telah mampu menggunakan penalarannya dalam memperoleh
pengetahuannya. Dengan kata lain, dalam memperoleh kebenaran
pengetahuan manusia telah menggunakan jalan pikirannya, baik
i)

melalui induksi maupun deduksi.


Induksi
Induksi adalah proses penarikan kesimpulan yang dimulai
dari kalimat khusus ke kalimat yang bersifat umum. Proses
berpikir induksi berasal dari hasil pengamatan indra atau hal-hal

37

yang nyata, maka dapat dikatakan bahwa induksi beranjak dari hal
yang konkret kepada hal yang abstrak.
j) Deduksi
Deduksi adalah pembuatan kesimpulan dari pernyataanpernyataan umum yang ke khusus. Aristoteles (384-322SM)
mengembangkan cara berpikir deduksi ini ke dalam suatu cara
yang disebut silogisme. Silogisme merupakan sesuatu yang
dianggap benar secara umum pada kelas tertentu, berlaku juga
kebenarannya pada semua peristiwa yang terjadi pada setiap yang
termasuk dalam kelas itu
2) Cara Ilmiah dalam Memperoleh Pengetahuan
Cara ini mula-mula dikembangkan oleh Francis Bacon (15611626). Ia mengatakan bahwa dalam memperoleh kesimpulan
dilakukan dengan mengadakan observasi langsung, dan membuat
catatan terhadap semua fakta sehubungan dengan objek yang diamati.
Pencatatan ini mencakup tiga hal pokok yakni :
a) Segala sesuatu yang positif, yakni gejala tertentu yang muncul pada
saat dilakukan pengamatan
b) Segala sesuatu yang negatif, yakni gejala tertentu yang tidak
muncul pada saat dilakukan pengamatan
c) Gejala-gejala yang muncul secara bervariasi, yaitu gejala-gejala
yang berubah-ubah pada kondisi-kondisi tertentu.
e.

Kriteria Tingkat Pengetahuan

38

Menurut Arikunto (2006) pengetahuan seseorang dapat diketahui


dan diinterprestasikan dengan skala yang bersifat kualitatif, yaitu
(Arikunto, 2006) :
1) Baik : Hasil presentase 76%-100%
2) Cukup : Hasil presentase 56% - 75%.
3) Kurang : Hasil presentase >65%.

4. Keluarga
a. Definisi
Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari
suami istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya
(Suprajitno, 2004).
Keluarga merupakan lingkungan sosial yang sangat dekat
hubungannya dengan seseorang. Keluarga yang lengkap dan fungsional
serta mampu membentuk homeostasis akan dapat meningkatkan kesehatan
mental para anggota keluarga dan kemungkinan dapat meningkatkan
ketahanan para anggota keluarganya dari adanya gangguan-gangguan
mental dan ketidakstabilan emosional anggota keluarganya. Usaha
kesehatan mental sebaiknya dan seharusnya dimulai dari keluarga. Karena
itu perhatian utama dalam kesehatan mental adalah menggarap keluarga
agar dapat memberikan iklim yang kondusif bagi anggota keluarganya
yang mengalami gangguan kesehatan mental (Latipun, 2005)
Fitzpatrick (2004), memberikan pengertian keluarga dengan cara
meninjaunya berdasarkan tiga sudut pandang yang berbeda, yaitu
1) Pengertian Keluarga secara Struktural: Keluarga didefenisikan
berdasarkan kehadiran atau ketidakhadiran anggota keluarga, seperti

39

orang tua, anak, dan kerabat lainnya. Defenisi ini memfokuskan pada
siapa yang menjadi bagian dari keluarga. Dari perspektif ini dapat
muncul pengertian tentang keluarga sebagai asal-usul (families of
origin), keluarga sebagai wahana melahirkan keturunan (families of
procreation), dan keluarga batih (extended family).
2) Pengertian Keluarga secara Fungsional: Keluarga didefenisikan
dengan penekanan pada terpenuhinya tugas-tugas dan fungsi-fungsi
psikososial. Fungsi-fungsi tersebut mencakup perawatan, sosialisasi
pada anak, dukungan emosi dan materi, dan pemenuhan peran-peran
tertentu. Defenisi ini memfokuskan pada tugas-tugas yang dilakukan
oleh keluarga.
3) Pengertian Keluarga secara Transaksional: Keluarga didefenisikan
sebagai kelompok yang mengembangkan keintiman melalui perilakuperilaku yang memunculkan rasa identitas sebagai keluarga (family
identity), berupa ikatan emosi, pengalaman historis, maupun cita-cita
masa

depan.

Defenisi

ini

memfokuskan

pada

cara

keluarga

melaksanakan fungsinya. (Lestari, 2012)


Keluarga merupakan kelompok primer yang penting di dalam
masyarakat. Keluarga merupakan sebuah group yang terbentuk dari
hubungan

laki-laki

dan

wanita,

perhubungan

sedikit

banyak

berlangsung lama untuk menciptakan dan membesarkan anak-anak.


Jadi keluarga merupakan satu kesatuan sosial yang terdiri dari suami
istri dan anak-anak yang belum dewasa (Ahmadi, 2007)
b. Bentuk Keluarga

40

Ada beberapa tipe keluarga menurut Jhonson R-Leny R, 2010 yakni :


1) Keluarga inti, yang terdiri dari suami, isteri, dan anak atau anak-anak
2) Keluarga konjugal, yang terdiri dari pasangan dewasa (ibu dan ayah)
dan anak-anak mereka, dimana terdapat interaksi dengan kerabat dari
salah satu atau dua pihak orang tua.
3) Keluarga luas ini meliputi hubungan antara paman, bibi, keluarga
kakek, dan keuarga nenek (Johnson, 2010).
Tipe keluarga dikelompokkan menjadi enam bagian yaitu :
1) Keluarga Inti (nuclear family) terdiri dari suami, istri, dan anakanak, baik karena kelahiran maupun adopsi.
2) Keluarga Besar (extended family) terdiri dari keluarga inti ditambah
keluarga yang lain misalnya kakek, nenek, paman, bibi, sepupu
termasuk keluarga modern, seperti orang tua tunggal, keluarga tanpa
anak, serta keluarga pasangan sejenis.
3) Keluarga Berantai (social family) keluarga yang terdiri dari wanita dan
pria yang menikah lebih dari satu kali.
4) Keluarga asal (family of origin) merupakan satu unit keluarga tempat
asal seseorang dilahirkan.
5) Keluarga Komposit (composite

family)

adalah

keluarga

dari

perkawinan poligami dan hidup bersama.


6) Keluarga tradisional dan nontradisional, dibedakan menurut ikatan
perkawinan. Keluarga tradisional diikat oleh perkawinan. Sedangkan
keluarga nontradisional tidak diikat oleh perkawinan (Sudiharto, 2007).
c. Peran Keluarga
Peran keluarga adalah tingkah laku spesifik yang diharapkan oleh
seseorang dalam konteks keluarga. Jadi peran keluarga menggambarkan
seperangkat perilaku interpersonal, sifat, kegiatan yang berhubungan
dengan individu dalam posisi dan situasi tertentu. Peranan individu dalam

41

keluarga didasari oleh harapan dan pola perilaku dari keluarga, kelompok
dan masyarakat (Setiadi, 2008).
Menurut Mubarak, dkk (2009) terdapat dua peran yang
mempengaruhi keluarga yaitu peran formal dan peran informal (Mubarak
W. I., 2009)
1) Peran Formal
Peran formal keluarga adalah peran-peran keluarga terkait
sejumlah perilaku yang kurang lebih bersifat homogen. Keluarga
membagi peran secara merata kepada para anggotanya seperti cara
masyarakat membagi peran-perannya menurut pentingnya pelaksanaan
peran bagi berfungsinya suatu sistem. Peran dasar yang membentuk
posisi sosial sebagai suami-ayah dan istri-ibu antara lain sebagai
provider atau penyedia, pengatur rumah tangga perawat anak baik
sehat maupun sakit, sosialisasi anak, rekreasi, memelihara hubungan
keluarga paternal dan maternal, peran terpeutik (memenuhi kebutuhan
afektif dari pasangan), dan peran sosial.
2) Peran Informal kelurga
Peran-peran informal bersifat implisit, biasanya tidak tampak,
hanya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan emosional individu atau
untuk menjaga keseimbangan dalam keluarga. Peran adapif antara
lain:
a) Pendorong memiliki arti bahwa dalam keluarga terjadi kegiatan
mendorong, memuji,dan menerima kontribusi dari orang lain.
Sehingga ia dapat merangkul orang lain dan membuat mereka
merasa bahwa pemikiran mereka penting dan bernilai untuk di
dengarkan.

42

b) Pengharmonisan yaitu berperan menengahi perbedaan yang


terdapat diantara para anggota, penghibur, dan menyatukan
kembali perbedaan pendapat.
c) Inisiator-kontributor yang mengemukakan dan mengajukan ide-ide
baru atau cara-cara mengingat masalah-masalah atau tujuan-tujuan
kelompok
d) Pendamai berarti jika terjadi konflik dalam keluarga maka konflik
dapat diselesaikan dengan jalan musyawarah atau damai.
e) Pencari nafkah yaitu peran yang dijalankan oleh orang tua dalam
memenuhi kebutuhan, baik material maupun non material anggota
keluarganya.
f) Perawaatan keluarga adalah peran yang dijalankan terkait merawat
anggota keluarga jika ada yang sakit.
g) Penghubung keluarga adalah penghubung, biasanya ibu mengirim
dan memonitori kemunikasi dalam keluarga.
h) Poinir keluarga adalah membawa keluarga pindah ke satu wilayah
asing mendapat pengalaman baru.
i) Sahabat, penghibur, dan koordinator yang berarti mengorganisasi
dan merencanakan kegiata-kegiatan keluarga yang berfungsi
mengangkat keakraban dan memerangi kepedihan.
j) Pengikut dan sanksi, kecuali dalam beberapa hal, sanksi lebih
pasif. Sanksi hanya mengamati dan tidak melibatkan dirinya
d.

Fungsi Keluarga
1) Fungsi biologis adalah fungsi untuk meneruskan keturunan,
memelihara, dan membesarkan anak, serta memenuhi kebutuhan gizi
keluarga (Mubarak W. I., 2009). Dengan fungsi ini diharapkan

43

keluarga dapat menyelenggarakan persiapan-persiapan perkawinan


bagi anak-anaknya. Dengan persiapan yang cukup maka dapat
mewujudkan suatu bentuk kehidupan rumah tangga yang baik dan
harmonis. Kebaikan rumah tangga ini dapat membawa pengaruh yang
baik pula bagi kehidupan bermasyarakat. (Ahmadi, 2007)
2) Fungsi psikologis adalah memberikan kasih sayang dan rasa aman
bagi keluarga, memberikan perhatian diantara keluarga, memberikan
kedewasaan kepribadian anggota keluarga, serta memberikan identitas
pada keluarga (Mubarak W. I., 2009)
3) Fungsi sosialisasi adalah membina sosialisasi pada anak, membentuk
norma-norma tingkah laku sesuai dengan tingkat perkembangan
masing-masing dan meneruskan nilai-nilai budaya (Mubarak W. I.,
2009). Fungsi sosialisasi adalah fungsi yang mengembagkan proses
interaksi dalam keluarga yang dimulai sejak lahir dan keluarga
merupakan tempat individu untuk belajar bersosialisasi (Setiawati,
2008)
4) Fungsi ekonomi adalah mencari sumber-sumber penghasilan untuk
memenuhi kebutuhan keluarga saat ini dan menabung untuk
memenuhi kebutuhan keluarga dimana yang akan datang
(Mubarak,dkk 2009). Fungsi ekonomi merupakan fungsi keluarga
untuk memenuhi kebutuhan seluruh anggota keluarga termasuk
sandang, pangan dan papan (Setiawati, 2008).

44

Keluarga berusaha menyelenggarakan kebutuan manusia yang pokok


yaitu:
a) Kebutuhan makan dan minum
b) Kebutuhan pakaian untuk menutup tubuhnya
c) Kebutuhan tempat tinggal, sehubungan dengan fungsi ini keluarga
juga berusaha melengkapi kebutuhan jasmani dimana keluarga (orang
tua) diwajibkan berusaha jasmaniah baik yang bersifat umum maupun
yang bersifat individual. (ahmadi,2007)
5) Fungsi pendidikan adalah menyekolahkan anak untuk memberikaan
pengetahuan, keterampilan, membentuk perilaku anak sesuai dengan
bakat dan minat yang dimilikinya,mempersiapkan anak untuk
kehidupan dewasa yang akan datang dalam memenuhi perannya
sebagai orang dewasa serta mendidik anak sesuai dengan tingkat
perkembanganya (Mubarak, dkk 2009).
6) Fungsi pemeliharaan, keluarga diwajibkan untuk berusaha agar setiap
anggotanya dapat terlindung dari gangguan-gangguan sebagai berikut:
a) Gangguan udara dengan berusaha menyediakan rumah
b) Gangguan penyakit dengan berusaha menyediakan obat-obatan
c) Gangguan bahaya dengan berusaha menyediakan senjata,pagar
tembok dan lain-lain. (Ahmadi, 2007)

45

e. Respon keluarga terhadap anggota skizofrenia


Ketika gangguan jiwa dipandangan sebagai suatu beban sendiri
bagi keluarga, maka hal itu dapat dibedakan menjadi bersifat obyektif dan
subyektif. Dikatakan obyektif, maksudnya berupa tingkah laku pasien,
peran pasien, bantuan untuk memenuhi kebutuhan pasien, masalah
keuangan dan lain-lain. Sedangkan beban keluarga dikatakan bersifat
subyektif, maksudnya berupa perasaan pasien karena menjadi beban bagi
keluarga. Kategori respon keluarga terhadap anggota keluarga dengan
gangguan jiwa menurut ( Susana, 2007):
1) Berduka (grief)
Berduka adalah respon wajar yang paling umum terjadi
sehubungan dengan adanya proses kehilangan seseorang yang
awalnya dikenal sebelum sakit, untuk kemudian hilangnya harapan
pada pasien, hanya masalahnya, seberapa dalam dan lamanya
respon berduka ini dialami oleh keluarga, seawal mungkin perawat
mampu mengidentifikasinya, sehingga keluarga maupun pasien
sendiri dapat pulih dengan segera.
2) Marah (anger)
Respon berikutnya ketika berduka dialami keluarga, maka
akan berhadapan dengan respon kedua yaitu marah. Respon tersebut
merupakan hal yang wajar namun jangan sampai perilaku tersebut
membawa keluarga kedalam penderitaan yang justru semakin parah
lagi.
3) Merasa tidak berdaya dan takut
Keluarga dengan anggota keluarga yang mengalami gangguan
jiwa merupakan suatu beban tersendiri. Keluarga berupaya untuk
mengobati atau menyembuhkan pasien skizofrenia. Pada kenyataanya
patologis gangguan jiwa itu sendiri semakin lama diderita justru

46

semakin sulit kesembuhannya, inilah yang menyebabkan keluarga


merasa tidak berdaya dan takut.

47

B. Kerangka Konsep

Masalah dalam keluarga


1. Beban Keluarga

Etiologi :

2. Beban social

1. Faktor Biokimia
2. Faktor Genetik
3. Faktor Psikologi dan
Sosial
skizofrenia

3. Beban financial
4. Beban mental
5. Beban kesehatan

Penatalaksanaan

Manfaat
psikoedukasi

1.Terapi Farmako
2. Modul
Terapi
Psikoeduka
Nonfarmako

Tingkat Pengetahuan

si

Gambar 1. Kerangka Konsep


Keterangan :
: Variabel yang diteliti
: Variabel yang tidak diteliti
: Arah hubungan

1. Tingkat
pengetahuan
meningkat
2.Beban keluarga
menurun
3. Meningkatkan
kualitas hidup

C. Hipotesis
Modul Psikoedukasi Efektif Terhadap Tingkat Pengetahuan Keluarga Tentang
Skizofrenia.

48

BAB III
METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain penelitian Quasy Experiment dengan
rancangan pretest-posttest with control group design, yaitu

rancangan untuk

mencari hubungan sebab akibat dengan melibatkan 2 kelompok, yaitu kelompok


perlakuan dan kelompok kontrol (Nursalam, 2008).

K
etera

Kelompok

Pre-test

Intervensi

Post-test

R1

O1

O2

R2

O3

O4

ngan :
R1 = kelompok perlakuan.
R2 = kelompok kontrol.
X = diberikan perlakuan.
- = tidak diberikan perlakuan.
O1 = skor tingkat pengetahuan kelompok perlakuan sebelum dilakukan intervensi
psikoedukasi dengan modul.
O2 = skor tingkat pengetahuan kelompok perlakuan setelah dilakukan intervensi
psikoedukasi dengan modul
O3 = skor tingkat pengetahuan kelompok kontrol.
O4 = skor tingkat pengetahuan kelompok kontrol tanpa diberikan perlakuan.
B. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi yang diambil dalam penelitian ini adalah Keluarga penderita
Skizofrenia yang tinggal di wilayah Puskesmas Kasihan 1.

49

2. Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah keluarga penderita skizofrenia di
wilayah puskesmas kasihan 1 sebagai kelompok perlakuan dan kelompok
kontrol. Perkiraan besar sampel merujuk pada uji hipotesis beda rata-rata
berpasangan (rumus analitis numerik berpasangan) (Dahlan, 2010).

Keterangan :
Z = deviat baku alfa.
Z = deviat baku beta.
Sd = standar deviasi dari selisih nilai antar kelompok.
X1-X2 = selisih minimal rerata yang dianggap bermakna.
Kesalahan tipe I ditetapkan sebesar 5 %, hipotesis satu arah sehingga Z =
1,64 , Kesalahna tipe II ditetapkan sebesar 10 %, hipotesis satu arah sehingga
Z = 1,28.
Pada penelitian sebelumnya diketahui bahwa :
X1, = 64.3, X2 = 55.1 didapatkan X1- X2 = 9.2
Sd = 14.73

50

Teknik sampling yang peneliti gunakan adalah teknik purposive


sampling. Dimana suatu penetapan sampel dipilih dengan cara memilih
sampel diantara populasi sesuai dengan yang dikehendaki peneliti atau
memenuhi kriteria inklusi, sehingga sampel tersebut dapat mewakili
karakteristik populasi yang telah dikenal sebelumnya (Nursalam, 2008).
Dalam penelitian ini jumlah minimal sampel adalah 30 orang karena
berdasarkan rule of tumb jumlah tersebut sudah dapat dipertanggungjawabkan
secara statistic, disepakati merupakan kelaziman bagi ahli statistic dan sudah
mendekati distribusi normal (Murti, 2010).
Dalam penelitian ini, peneliti membatasi subjek penlitian dalam kriteriakriteria berikut :
1) Kriteria inklusi
Subyek yang termasuk dalam kriteria ini adalah sebagai berikut:
a) Keluarga yang hidup dengan penderita skizofrenia
b) Keluarga yang berusia remaja akhir hingga lansia awal (17-55 tahun)
c) Keluarga yang bersedia menjadi responden
2) Kriteria eksklusi
Subyek yang termasuk dalam kriteria tidak terpakai adalah sebagai
berikut:
a) Keluarga yang tidak bisa membaca dan menulis
b) Ada riwayat gangguan jiwa
3) Kriteria drop out
Keluarga yang tidak mengikuti jalannya penelitian hingga akhir

51

C. Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilakukan di wilayah Puskesmas Kasihan 1 dan akan
dilaksanakan mulai bulan Mei 2014 hingga bulan Juni 2014.
D. Variabel
1. Variabel Bebas
2. Variabel Tergantung

: Modul Psikoedukasi
: Tingkat Pengetahuan Keluarga tentang Skizofrenia

E. Definisi OperasionaL
1. Modul Psikoedukasi : modul yang berisi tentang skizofrenia, penatalaksanaan
skizofrenia, kekambuhan dan managemen stress. Isi modul psikoedukasi
mengacu pada jurnal ilmiah sebelumnya. Psikoedukasi dilaksanakan selama 30
menit pada setiap sesi dalam waktu 4 minggu.
2. Tingkat Pengetahuan tentang skizofrenia: pengetahuan keluarga mengenai
penyakit skizofrenia secara umum.
3. Keluarga: orang yang memiliki hubungan darah dan tinggal 1 rumah dengan
pasien
4. Skizofrenia : gangguan jiwa berat yang dalam penelitian ini diagnosisnya
ditegakkan oleh psikiatri.
F. Instrumen Penelitian
1. Modul
Modul tertulis pedoman psikoedukasi mengenai skizofrenia bagi peneliti
terhadap para responden.
2. Kuesioner

52

Kuesioner pre-test post-test menggunakan kuesioner tingkat pengetahuan


tentang skizofrenia yang terdiri atas 20 pertanyaan, dengan jawaban benar dan
salah , jawaban benar bernilai 1 dan salah bernilai 0.

53

G. Cara Pengambilan Data


Keluarga pasien Skizofrenia
di wilayah Puskesmas
Kasihan 1 sebanyak 60
orang
Keluarga pasien Skizofrenia
sesuai kriteria inklusi sebanyak
30 orang

Keluarga pasien skizofrenia


sesuai kriteria inklusi sebanyak
30 orang

Kelompok Perlakuan
Kelompok Kontrol
Informed consent dan Pengisian Kuesioner
( Pre-Test)
Tidak dilakukan
intervensi pada kelompok
kontrol
Pengisian kuesioner

Dilakukan intervensi Modul


Psikoedukasi selama 1 bulan
Pengisian kuesioner

( Post-Test)
( Post-Test)
Analisis data kuesioner pre dan post test
(HASIL)
H. Uji Validitas dan Reliabilitas
Instrumen pada penelitian ini belum dilakukan uji validitas dan
reliabilitas. Uji validitas dan reliabilitas akan dilakukan seiring dengan
berjalannya penelitian.
I. Metode Analisa Data
Data yang diperoleh dari penilaian skor tingkat pengetahuan dengan
menggunakan kuesioner tingkat pengetahuan dari kelompok perlakuan dan
kelompok kontrol sebelum dan sesudah dilakukan intervensi Modul
Psikoedukasi diuji dengan analisis univarat dan bivariat

54

1. Analisis Univariat
Uji distribusi normalitas data dengan menggunakan uji SaphiroWilk untuk mengetahui apakah data terdistribusi normal atau tidak.
Dipilih uji Shapiro-Wilk karena sampel berjumlah 50. Data terdistribusi
normal apabila p>0,05. Analisis data karakteristik responden dinyatakan
dengan frekuensi dan persentase karakteristik demografi subjek, sehingga
gambaran karakteristik responden dinyatakan dalam mean, modus, dan
median.
2. Analisis Bivarat
Analisis ini digunakan untuk menganalisis data pre-test dan post-test
skor tingkat pengetahuan pada kelompok kontrol dan perlakuan. Apabila
data terdistribusi normal maka perbedaan skor tingkat pengetahuan pada
masing-masing kelompok perlakuan dan kelompok kontrol akan diuji
dengan Paired Sample T-test, apabila data terdistribusi tidak normal maka
akan dilakukan uji statistik non parametrik Wilcoxon test. Kemudian untuk
membandingkan skor tingkat pengetahuan pre-test dan post-test antara
kelompok perlakuan dan kelompok kontrol akan diuji dengan Independent
Sample T-test bila data terdistribusi normal dan diuji dengan MannWhitney Test bila data tidak terdistribusi normal. Pada hasil akhir akan
didapatkan nilai signifikansi. Bila sig < 0,05 maka Ho ditolak dan H1
diterima, bila sig > 0,05 maka Ho diterima dan H1 ditolak.

55

DAFTAR PUSTAKA

Anne Anastasi & Susana Urbina. (2007). Tes Psikologi (Psychological Testing) Edisi
Ketujuh.(Alih bahasa: Drs. Robertus Hariono S. & Imam S. A.). Jakarta: PT
Indeks.
R Johnson & Leny. (2010). Keperawatan keluarga. Jogjakarta: Nuha Medika.
Soekidjo Notoatmodjo . (2003). Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka
Cipta.
Abd Alhadi Hasan, P. C. (2014). Evaluation of the impact of a psycho-educational
intervention on knowledge levels andpsychological outcomes for people
diagnosedwith Schizophrenia and their caregivers in Jordan:a randomized
controlled trial. BMC Psychiatry.
Ahmadi, A. (2007). Psikologi Sosial. Jakarta: Rineka Cipta.
Akbar, S. ( 2010). PTK : Filosofi, Metodologi dan Implementasinya (Edisi Revisi).
Yogyakarta: Cipta Media Aksara.
Anwar, Ilham. ( 2010). Pengembangan Bahan Ajar. Bandung: Direktori UPI.
Arikunto, S. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta : Rineka
Cipta.
Awad, A. a. (2008). A Review. Pharmacoeconomics. The Burden of Schizophrenia on
Caregivers.
B Murti. (2010). Desain dan Ukuran Sampel untuk Penelitian Kuantitatif dan
Kualitatif di Bidang Kesehatan. Yogyakarta: UGM Press.

56

Bordbar, Mohammad. Faridhosseini, Farhad. (2010). Psychoeducation for Bipolar


Mood. Clinical, Research, Treatment Approaches to Affective Disorders.
Brown, Nina W. (2011). Psychoeducational Groups 3rd Edition. New York:
Routledge Taylor & Francis Group.
Dahlan, M. S. (2010). Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel dalam
Penelitian Kedokteran dan Kesehatan. Edisi 3. Jakarta: Salemba Medika.
dr.Dadang Hawari. (2012). Pendekatan Holistik Pada Gangguan Jiwa Skizofrenia.
Jakarta: Fakultas Kedokteran UI.
Durand, V. B. (2007). Essentials of Abnormal Psychology. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Hawari, D. ( 2007). Dalam Pendekatan Holistik pada Gangguan Jiwa Skizofrenia
(hal. 122). Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
Kaplan et al. ( 2010). Sinopsis Psikiatri. Jilid 1. Jakarta: Binarupa Aksara Publisher.
Kaplan, H.I., Sadock, B.J., and Grebb, J.A. (2010). Sinopsis Psikiatri : Ilmu
Pengetahuan Psikiatri Klinis JIlid satu. Jakarta: Bina Rupa Aksara.
Kirkpatrick B. & Tek C. (2005). Schizophrenia : Clinical Features and
Psychopatology in Kaplan & Sadock (ed) Comprehensive Textbook of
Psychiatry Eight Edition. New York: Lippincott William & Wilkins.
Latipun dan Notosoedirdjo . (2005). Kesehatan Mental, Konsep dan Penerapan.
Jakarta: EGC.
Lestari, S. (2012). Psikologi Keluarga: Penanaman Nilai dan Penanganan Konflik
dalam Keluarga. Jakarta: Prenada Media Group.
Lukens, Ellen P. McFarlane, William R. . (2004). Psychoeducation as EvidenceBased Practice: Consideration forPractice, Research, and Policy. Journal
Brief Treatment and Crisis Intervention Volume 4.
Lumbantobing, S. (2007). Anak Dengan Mental Terbelakang. Jakarta: FKUI.
Maramis, W. F. (2004). Catatan Ilmu Kedoteran Jiwa. Surabaya : Airlangga
University Press.
Maramis, W.F. (2005). Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa, Cetakan kesembilan.
Surabaya: Airlangga University Press.
Marchira, C. R. (2012). Pengaruh Intervensi Psikoedukasi Interaktif Singkat Tentang
Skizofrenia Terhadap Pengetahuan Caregiver, Keteraturan Kontrol, Ketaatan

57

Pengobatan dan Kekambuhan pada Penderita Gangguan Psikotik Fase Awal


di Jogjakarta. Yogyakarta: Program Doktor Ilmu Kedokteran Dan Kesehatan
Fakultas Kedokteran UGM.
Mubarak, W. I. (2007). Promosi Kesehatan Sebuah Pengantar Proses Belajar
Mangajar dalam Pendidikan. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Mubarak, W. I. (2009). Ilmu Keperawatan Komunitas; Konsep dan Aplikasi. Jakarta:
Salemba Medika.
Nantingkaseh, L. (2007). Skizofrenia dan Gangguan Psikotik Lainnya.
NIMH. (2010). Childhood-onset Schizoprenia. Tersedia di http://www.nimh.nih.gov
dikunjungi tanggal 6 Oktober 2010.
NIMH. (2012). Schizophrenia. USA: NIMH.
Notoatmodjo. (2005). Metodelogi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Notoatmodjo, s. ( 2010). Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Notoatmodjo, S. (2007). Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka
Cipta.
Notosoedirdjo & Latipun. (2005). Kesehatan Mental, Konsep dan Penerapan.
Jakarta: EGC.
Nursalam. (2008). Konsep dan penerapan metode penelitian ilmu keperawatan:
Pedoman Skripsi, Tesis, dan Instrumen Penelitian Keperawatan. Surabaya:
Salemba Medika.
Pitoyo, A. (2012). Jiwa yang Terbelah. www.emedicinehealth.com.
Riskesdas. (2013). Pedoman Pewawancara Petugas Pengumpul Data. Jakarta: Badan
Litbangkes, Depkes RI.
Riyadi, S. d. (2009). Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Sadock BJ, V. S. (2004). Kaplan& Sadock Buku Ajar Psikiatri, Ed 2. Jakarta: EGC.
Sadock, B. J. (2007). Kaplan & Sadock's Synopsis of Psychiatry: Behavioral
Sciences/Clinical Psychiatry (10th edition) . Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins.
Sadock, B. S. ( 2010 ). Kaplan and Sadock's Pocket Handbook of Clinical
Psychiatry. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins.

58

Setiadi. (2008). Keperawatan Keluarga. Jakarta: EGC.


Setiawati. (2008). Proses pembelajaran dalam pendidikan kesehatan. Jakarta: TIM.
Sudiharto. (2007). Asuhan Keperawatan keluarga dengan pendekatan keperawatan
transkultural . Jakarta: EGC.
Sudiyanto, A. (2004). Fungsi Peran Sosial dan Pencapaian Remisi Pasien Skizofrenia.
Konferensi Nasional Skizofrenia III. Bali.
Suliswati. (2005). Konsep Dasar Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC.
Suprajitno. (2004). Asuhan Keperawatan Keluarga : Aplikasi dalam praktik. Jakarta:
EGC.
Sutardjo, W. d. (2005). Pengantar Psikologi Abnormal. Bandung: Refika Aditama.
Syafrudin & Hamidah . (2009). Kebidanan Komunitas. Jakarta: EGC.
Thara, R., Padmavati, R., A.Laksmi, & Karpagavali, P. (2005). Family education in
schizophrenia: A comparison of two approaches. Indian Journal psychiatry,
218-221.
The American Psychiatric . (2013). Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders (DSM-5) . Arlington: American Psychiatric Association.
Videbeck, S. L. (2008). Buku Ajar Keperawatan Jiwa Alih bahasa , Renata
Komalasari, Alfrina Hany; Editor edisi bahasa Karyuni. Jakarta: EGC.
W.F. Maramis. (2005). Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa, Cetakan kesembilan.
Surabaya: Airlangga University Press.
Walsh, Joseph. (2010). Psycheducation In Mental Health. Chicago: Lyceum Books,
Inc.
Wawan, A. d. (2010). Teori dan Pengukuran Pengetahuan , Sikap dan Perilaku
Manusia. Yogyakarta: Nuha Medika.
Yosep, I. (2009). Keperawatan Jiwa. Bandung: Refika Aditama.

59

LAMPIRAN 1
PERNYATAAN KESEDIAAN MENJADI RESPONDEN

Yang bertandatangan dibawah ini:


Nama

Tempat / Tanggal Lahir

Usia

Jenis Kelamin

Pendidikan

Pekerjaan

Alamat Rumah

Setelah mendapat penjelasan dan mengerti sepenuhnya mengenai hal-hal


yang berkaitan dengan penelitian Efektivitas Modul Psikoedukasi terhadap Tingkat
Pengeatahuan Keluarga tentang Skizofrenia, Dengan ini saya menyatakan bersedia
dan tidak berkeberatan menjadi responden pada penelitian yang akan dilakukan oleh
Dwi Fajarwati Prayitno, mahasiswa dari Program Studi Pendidikan Dokter

60

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.Saya tidak keberatan apabila hasil penelitian


ini dipublikasikan untuk kepentingan IPTEKDOK.
Demikian pernyataan ini saya buat sejujur-jujurnya tanpa paksaan dari pihak
manapun.
Yogyakarta, April 2014
Responden
(......................)

LAMPIRAN 2
IDENTITAS DIRI RESPONDEN PENELITIAN

Nama

Jenis Kelamin

Umur

Alamat

Pendidikan

Pekerjaan

Status

: Belum menikah / Menikah / Bercerai / Cerai mati *)

Hubungan dengan
pasien skizofrenia

Aktivitas saat ini

Riwayat Penyakit

NO RESPONDEN
:

61

Anda mungkin juga menyukai