Isi Filsafat Hukum
Isi Filsafat Hukum
Narotama Surabaya/V/2005
BAB I
PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP FILSAFAT HUKUM
Tujuan Instruksional Umum:
Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa dapat:
1. Memahami pengertian filsafat.
2. Memahami pengertian hukum.
3. Mengetahui pengertian filsafat hukum.
Tujuan Instruksional Khusus:
Setelah mempelajari bahasan ini mahasiswa mampu:
1. Membedakan pengertian Ilmu Filsafat dan Agama.
2. Menyebutkan ruang lingkup Ilmu Filsafat.
3. Menyebutkan pengertian hukum dari berbagai sarjana.
4. Mengetahui pengertian Filsafat Hukum dari berbagai sarjana.
1. Pengertian Filsafat dan Agama
Adakalanya orang mengatakan bahwa orang harus berfilsafat. Sehingga untuk
dapat berfilsafat, terlebih dahulu orang harus mengetahui apa yang disebut dengan
filsafat. Sesungguhnya, istilah filsafat merupakan suatu istilah dari bahasa Arab
yang terkait dengan istilah dari bahasa Yunani, yaitu: Filosofia.1
Secara etimologis, kata filsafat berasal dari kata majemuk, yakni: filo dan
sofia. Filo artinya cinta dalam arti yang seluas-luasnya, yaitu ingin dan karena
ingin itu, lalu berusaha mencapai yang diingini. Sedangkan Sofia artinya
kebijaksanaan. Bijaksana inipun merupakan kata asing, yang artinya ialah
pandai: mengerti dengan mendalam. Jadi secara etimologis, filsafat dapat
dimaknakan:
Ingin
mengerti
dengan
mendalam
atau
cinta
kepada
I.R. Poedjawijatna, Pembimbing Ke Arah Alam Filsafat, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta,
1990, halaman 1.
Dari sudut isinya, terdapat banyak perumusan yang dikemukakan para penulis
filsafat. Filsafat dapat diartikan sebagai pandangan hidup manusia, yang tercermin
dalam berbagai pepatah, slogan, lambang dan sebagainya. 2 Filsafat dapat juga
diartikan sebagai ilmu. Dikatakan sebagai ilmu karena filsafat adalah pengetahuan
yang metodis, sistematis, dan koheren tentang seluruh kenyataan dengan kata lain
filsafat memiliki objek, metode, dan sistematika tertentu, terlebih-lebih bersifat
universal. Dalam kaitannya dengan salah satu unsur yang dipenuhi filsafat sebagai
suatu ilmu, yaitu adanya objek tertentu yang dimiliki filsafat.
Menurut Poedjawijatna, objek suatu ilmu dapat dibedakan menjadi dua, yakni
objek materia dan objek forma. Objek materia adalah lapangan atau bahan
penyelidikan suatu ilmu, sedangkan objek forma adalah sudut pandang tertentu
yang menentukan jenis suatu ilmu. Objek materia filsafat adalah sesuatu yang ada
dan mungkin ada. Pada intinya objek materia filsafat dapat dibedakan menjadi
tiga macam, yaitu tentang hakikat Tuhan, hakikat alam, dan hakikat manusia.
Barangkali, objek materia filsafat sama dengan objek ilmu lainnya, tetapi yang
membedakan adalah objek formanya. Objek forma filsafat terdapat pada sudut
pandangnya yang tidak membatasi diri dan hendak mencari keterangan sampai
sedalam-dalamnya atau sampai kepada hakikat sesuatu, sehingga terdapat
kebenaran, jika filsafat dikatakan sebagai ilmu tanpa batas.3
Jika ditelaah lebih mendalam, filsafat memiliki sedikitnya tiga sifat pokok,
yaitu: menyeluruh, mendasar, dan spekulatif. 4 Menyeluruh, artinya cara berfikir
filsafat tidak sempit, dari sudut pandang ilmu itu sendiri (fragmentaris atau
sektoral), senantiasa melihat persoalan dari tiap sudut yang ada. Mendasar,
artinya bahwa untuk dapat menganalisa suatu persoalan bukanlah pekerjaan yang
mudah, mengingat pertanyaan-pertanyaan yang dibahas berada di luar jangkauan
ilmu biasa.
Lihat Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-pokok Filsafat Hukum, Apa dan
Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995,
halaman 4.
3
I. R. Poedjawijatna, Op. Cit., halaman 6-9.
4
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Penerbit Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta, 1998.
Untuk itu, ciri ketiga dari filsafat yang berperan, yaitu spekulatif. Langkahlangkah spekulatif yang dijalankan oleh filsafat tidak boleh sembarangan, tetapi
harus memiliki dasar-dasar yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Di samping ketiga ciri filsafat tersebut di atas, ada ciri lain yang perlu
ditambahkan, yaitu sifat refleksif kritis dari filsafat.5 Refleksi berarti pengendapan
dari
pemikiran
yang
dilakukan
secara
berulang-ulang
dan
mendalam
bertemu pada obyek materia (segala yang ada dan mungkin ada) tetap berbeda,
karena perbedaan itu terletak pada obyek formanya.
Tentu saja perbedaan itu tidak berlaku pada kedudukan filsafat dengan agama,
karena agama merupakan sesuatu yang ada, sehingga agama juga masuk ke dalam
lingkungan filsafat, dari sini muncul apa yang dinamakan filsafat agama.
Dalam agama ada beberapa hal penting yang diselidiki oleh filsafat, misalnya:
Tuhan, kebajikan, baik dan buruk, dan sebagainya, karena hal-hal tersebut ada
atau paling tidak mungkin ada, namun antara filsafat dan agama memiliki dasar
penyelidikan yang berbeda. Di satu sisi, sudut pandang penyelidikan agama
didasarkan atas wahyu Tuhan atau firman Tuhan. Pada agama, kebenaran
tergantung kepada diwahyukan atau tidak. Yang diwahyukan Tuhan harus
dipercayai, oleh akrena itu agama ada dan disebut kepercayaan.
Di sisi lain, kebenaran diterima oleh filsafat bukan karena kepercayaan,
melainkan diterima dengan penyelidikan sendiri, pikiran belaka. Filsafat tidak
mengingkari atau mengurangi wahyu, tetapi tidak mendasarkan penyelidikannya
atas wahyu. Dengan kata lain, filsafat berdasarkan pikiran belaka, sedangkan
agama berdasarkan wahyu.
2. Ruang Lingkup Ilmu Filsafat
Objek materia filsafat adalah segala sesuatu yang ada dan mungkin ada,
dengan kata lain objek filsafat itu ada. Adapun ada ini dapat ditinjau atau dilihat
dari berbagai penjuru sudut pandang, sehingga muncul bermacam-macam bagian
filsafat. Pembagian filsafat dapat dibedakan menjadi dua golongan besar, yaitu:
a. Berdasarkan Objek, yang dibedakan menjadi dua:
1) Filsafat Umum (Ada-Umum):
Pada filsafat umum, ada mungkin dipandang dari sudut keumumannya.
Segala sesuatunya itu ada. Dalam realitas, terdapat bermacam-macam hal,
yang semuanya mungkin ditangkap dalam adanya. Oleh karena itu,
terdapat ada yang bermacam-macam dan ada-umum. Ada menjadi dasar
dari segala yang ada, misalnya sifat-sifatnya, sehingga filsafat ada-umum
disebut Ontologia atau Metaphysica generalis.
Tentu saja untuk melakukan pernilaian harus ada tolok ukurnya (kriteria),
sehingga timbul pertanyaan seperti: apakah sebetulnya nilai itu dan lebihlebih dalam tingkah laku manusia, apakah yang dipakai ukuran untuk
menentukan baik buruknya? Pertanyaan tersebut dijawab oleh Ethica.
Jadi, secara garis besar, pembagian filsafat menurut obyek dan subyek dapat
digambarkan dalam ikhtisar berikut ini:
a. Menurut Objek:
Ada-umum (fils. ada-umum, ontologia, metaphysica generalis)
Ada
Manusia
b. Menurut Subjek:
Logika Mayor & Minor
Soal Pengetahuan
Anthropologia
Ontologia
Theodicea
Soal Ada
Kosmologia
Anthropologia
Soal Penilaian
Ethica
3. Pengertian Hukum
Bagi mahasiswa yang baru belajar tentang hukum tentu sangat bermanfaat jika
disodori definisi atau pengertian hukum sebelum mengetahui dan mempelajari
filsafat hukum.
MacIver menggambarkan masyarakat sebagai sarang laba-laba, karena di
dalamnya terdapat berbagai kaidah yang mengatur hubungan antarindividu yang
bertujuan untuk menciptakan kedamaian, ketertiban, dan kesejahteraan.7
Kaidah/norma sengaja diciptakan agar tidak terjadi benturan-benturan dalam
masyarakat, terutama anatara kepentingan-kepentingan yang saling berlawanan.
Dengan adanya kepentingan-kepentingan yang berbeda dan saling berlawanan,
terciptalah 4 (empat) kaedah/norma, yaitu: kaedah kepercayaan (keagamaan),
kaedah kesusilaan, kaedah sopan santun (adat), dan kaedah hukum. 8 Dari ke-4
kaedah/norma tersebut hanya kaedah hukum-lah yang lebih melindungi
kepentingan-kepentingan manusia yang sudah dan belum mendapat perlindungan
dari ketiga kaedah tersebut, dengan alasan sebagai berikut:
a. Dari segi tujuan, kaedah hukum ditujukan kepada pelaku yang konkrit,
untuk ketertiban masyarakat, agar jangan sampai jatuh korban.
b. Dari segi isi, kaedah hukum ditujukan kepada sikap lahir.
c. Dari segi asal-usul, berasal dari kekuasaan luar yang memaksa.
d. Dari segi sanksi, berasal dari masyarakat secara resmi.
e. Dari segi daya kerja, membebani kewajiban dan memberikan hak.
Dengan melihat gambaran mengenai kaedah hukum sebagaimana telah
diuraikan tersebut, rasanya masih terlalu sulit untuk mendefinisikan hukum,
karena memang tidak ada satu pun sarjana yang dapat membuat pengertian atau
definisi hukum secara sempurna. Tentu saja, untuk mendefinisikan hukum
bukanlah pekerjaan yang mudah dan ini terkait dengan perkembangan sejarah
hukum dan aliran-aliran dalam filsafat hukum yang tentunya dapat mempengaruhi
pengertian dari hukum.
Lili Rasjidi, Filsafat Hukum, Apakah Hukum Itu?, Penerbit PT. Remaja Rosdakarya,
Bandung, 1991, halaman 31.
8
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Penerbit Liberty, Yogyakarta,
1988, halaman 5.
10
Sebagai contoh pertama, pada zaman Romawi, para pemikir hukum lebih
banyak dituntut untuk memberikan sumbangan pemikiran ke arah pembentukan
hukum yang dapat diberlakukan secara luas di semua wilayah Romawi.
Kedua, pada Zaman Pertengahan, kekuasaan gereja sedemikian besar sehingga
turut melakukan intervensi ke dalam masalah duniawi, termasuk mengatur
pemerintahan, sehingga hukum yang dihasilkan pada waktu itu
bernafaskan
11
filsafat manusia berkedudukan sebagai genus, etika sebagai species dan filsafat
hukum sebagai subspecies.10 Hal ini dapat dilihat dalam bagan di bawah ini:
Umum
Ada
Ada Mutlak
Ada Khusus
Alam
Ada
Tidak Mutlak
Manusia
Anthropologia
Etika
Filsafat Hukum
Logika
Filsafat hukum sebagai sub dari cabang filsafat manusia, yaitu etika
mempelajari hakikat hukum. Dengan kata lain, filsafat hukum adalah ilmu yang
mempelajari hukum secara filosofis. Rasionya, filsafat hukum adalah hukum dan
objek tersebut dikaji secara mendalam sampai kepada inti atau dasarnya yang
disebut hakikat. Hakikat dari hukum dapat dijelaskan dengan jalan memberikan
definisi dari hukum. Definisi hukum sangat bervariasi tergantung dari sudut
pandang para ahli hukum melihatnya seperti yang dikemukakan oleh beberapa
sarjana dalam uraian di bawah ini.
J. van Kan mendefinisikan hukum sebagai keseluruhan ketentuan-ketentuan
kehidupan yang bersifat memaksa, yang melindungi kepentingan-kepentingan
orang dalam masyarakat. Pendapat ini senada dengan pendapat Rudolf von
Jhering yang menyatakan bahwa hukum adalah keseluruhan norma-norma yang
memaksa yang berlaku dalam suatu negara. Sementara itu Hans Kelsen
menyatakan hukum terdiri dari norma-norma bagaimana orang harus berperilaku.
Pendapat tersebut didukung oleh salah seorang ahli hukum Indonesia Wirjono
Prodjodikoro yang menyatakan hukum adalah serangkaian peraturan mengenai
tingkah laku orang-orang sebagai anggota suatu masyarakat, sedangkan satusatunya tujuan dari hukum ialah menjamin keselamatan, kebahagiaan, dan tata
tertib dalam masyarakat. Definisi-definisi hukum tersebut menunjukkan betapa
10
Lihat Darji Darmodiharjo & Shidarta, Op. Cit., halaman 10. Bandingkan juga dengan Lili
Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1988, halaman
4.
12
luasnya hukum itu. Dengan mengetahui definisi hukum yang luas tersebut kita
dapat menguraikan definisi dari filsafat hukum.
Uraian tentang definisi filsafat hukum dikemukakan oleh Rudolf Stammler
yang menyatakan bahwa definisi filsafat hukum adalah ilmu dan ajaran tentang
hukum yang adil. Sementara itu, J.J. Von Schid menyatakan filsafat hukum
merupakan suatu perenungan metodis mengenai hakekat dari hukum (Metodische
bebezinning over het wezen van he recht). Sedangkan D.H.M. Meuwissen
berpendapat bahwa filsafat hukum adalah pemikiran sistematis tentang masalahmasalah fundamental dan perbatasan yang berhubungan dengan fenomena hukum,
dan/atau hakekat kenyataan hukum sebagai realisasi dari cita hukum (het
systematisch nadenken over alle fundamentele kwesties en grensproblemen het
verschijnsel recht samenhangen; over de werkelijkheid van het recht als de
realisatie van de rechtsidee).11
Uraian lainnya tentang definisi dari filsafat hukum dikemukakan oleh
Kusumadi Pudjosewojo yang mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mendasar
tentang hukum yang tidak bisa dijawab oleh ilmu hukum mengenai pertanyaanpertanyaan sebagai berikut: Apakah tujuan dari hukum itu? Apakah semua syarat
keadilan? Apakah keadilan itu? Bagaimanakah hubungannya antara hukum dan
keadilan? Dengan adanya pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya mendasar, dengan
sendirinya orang melewati batas-batas jangkauan ilmu hukum, dan pada saat
menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, orang sudah menginjakkan kakinya ke
lapangan filsafat hukum. Dengan kata lain, filsafat hukum berusaha menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat dijawab oleh ilmu hukum.
DAFTAR PUSTAKA
11
13
14
BAB II
SEJARAH PERKEMBANGAN FILSAFAT HUKUM
Tujuan Instruksional Umum:
Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa dapat membedakan sejarah
perkembangan filsafat hukum dari zaman Yunani sampai dengan abad dewasa ini.
Tujuan Instruksional Khusus:
Setelah mempelajari bahasan ini mahasiswa mampu:
1. Mengetahui dan menjelaskan Sejarah Filsafat Hukum pada zaman Yunani
(Kuno).
2. Mengetahui dan menjelaskan Sejarah Filsafat Hukum pada zaman
pertengahan.
3. Mengetahui dan menjelaskan Sejarah Filsafat Hukum pada zaman modern.
4. Mengetahui dan menjelaskan Sejarah Filsafat Hukum pada zaman
sekarang.
1. Sejarah Filsafat Hukum Pada Zaman Yunani (Kuno)
Berbicara sejarah tidak akan terlepas dari dimensi waktu, karena waktu yang
sangat menentukan terjadinya sejarah, yaitu dimensi waktu yang terdiri waktu
pada masa lampau, sekarang, dan masa depan. Hal ini berlaku juga pada saat
membicarakan sejarah perkembangan filsafat hukum yang diawali dengan zaman
Yunani (Kuno).
Pada zaman Yunani hiduplah kaum bijak yang disebut atau dikenal dengan
sebutan kaum Sofis. Kaum sofis inilah yang berperan dalam perkembangan
sejarah filsaft hukum pada zaman Yunani. Tokoh-tokoh penting yang hidup pada
zaman ini, antara lain: Anaximander, Herakleitos, Parmenides, Socrates, Plato,
dan Aristoteles.12 Para filsuf alam yang bernama Anaximander (610-547 SM),
Herakleitos (540-475 SM), dan Parmenides (540-475 SM) tetap meyakini adanya
keharusan alam ini. Untuk itu diperlukan keteraturan dan keadilan yang hanya
12
15
dapat diperoleh dengan nomos yang tidak bersumber pada dewa tetapi logos
(rasio).13 Anaximander berpendapat bahwa keharusan alam dan hidup kurang
dimengerti manusia. Tetapi jelas baginya, bahwa keteraturan hidup bersama harus
disesuaikan dengan keharusan alamiah. Apabila hal ini terjadi, maka timbullah
keadilan (dike).
Sementara itu, Herakleitos berpandangan bahwa hidup manusia harus sesuai
dengan keteraturan alamiah, tetapi dalam hidup manusia telah digabungkan
dengan pengertian-pengertian yang berasal dari logos.
Sedangkan Parmenides sudah melangkah lebih jauh lagi. Ia berpendapat
bahwa logos membimbing arus alam, sehingga alam dan hidup mendapat suatu
keteraturan yang terang dan tetap.
Kondisi masyarakat pada saat kaum sofis ini hidup sudah terkonsentrasi ke
dalam polis-polis. Kaum sofis tersebut menyatakan bahwa rakyat yang berhak
menentukan isi hukum, dari sini mulai dikenal pengertian demokrasi, karena
dalam negara demokrasi peranan warga negara sangat besar pengaruhnya dalam
membentuk undang-undang. Dengan kata lain, kaum sofis tersebut berpendapat
bahwa kebenaran objektif tidak ada, yang ada hanyalah kebenaran subjektif,
karena manusialah yang menjadi ukuran untuk segala-galanya.
Tetapi Socrates tidak setuju dengan pendapat yang demikian ini. Socrates
berpendapat bahwa hukum dari penguasa (hukum negara) harus ditaati, terlepas
dari hukum itu memiliki kebenaran objektif atau tidak. Ia tidak menginginkan
terjadinya anarkisme, yakni ketidakpercayaan terhadap hukum. Ini terbukti dari
kesediaannya untuk dihukum mati, sekalipun ia meyakini bahwa hukum negara
itu salah. Dalam mempertahankan pendapatnya, Socrates menyatakan bahwa
untuk dapat memahami kebenaran objektif orang harus memiliki pengetahuan
(theoria). Pendapat ini dikembangkan oleh Plato murid dari Socrates.
Plato berpendapat bahwa penguasa tidak memiliki theoria sehingga tidak
dapat memahami hukum yang ideal bagi rakyatnya, sehingga hukum ditafsirkan
13
Logos menciptakan bentuk , ukuran, dan harmoni yang menghasilkan aturan. Aturan ini
terwujud dalam polis di mana warga-warga polis memberi bentuk kepada hidupya sesuai dengan
logos (Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Penerbit Kanisius, Yogyakarta,
1993, halaman 20).
16
menurut selera dan kepentingan penguasa. Oleh karena itu, Plato menyarankan
agar dalam setiap undang-undang dicantumkan dasar (landasan) filosofisnya.
Tujuannya tidak lain agar penguasa tidak menafsirkan hukum sesuai
kepentingannya sendiri. Pemikiran Plato inilah yang menjadi cerminan bayangan
dari hukum dan negara yang ideal.
Aristoteles, murid dari Plato tidak sependapat dengan Plato. Aristoteles
berpendapat bahwa hakikat dari sesuatu ada pada benda itu sendiri. Pemikiran
Aristoteles sudah membawa kepada hukum yang realistis. Menurut Aristoteles,
manusia tidak dapat hidup sendiri karena manusia adalah mahkluk yang
bermasyarakat (zoon politikon). Oleh karena itu, perlu ketaatan terhadap hukum
yang dibuat penguasa polis.
Hukum yang harus ditaati dabagi menjadi dua, yakni hukum alam dan hukum
positif. Dari gagasan Aristoteles ini, pengertian hukum alam dan hukum positif
muncul, kedua hukum tersebut memiliki pengertian yang berbeda. Menurut
Aristoteles, hukum alam ditanggapi sebagai suatu hukum yang selalu berlaku dan
di mana-mana, karena hubungannya dengan aturan alam, sehingga hukum tidak
pernah berubah, lenyap dan berlaku dengan sendirinya.
Hukum alam berbeda dengan hukum positif yang seluruhnya tergantung pada
ketentuan manusia. Misalnya, hukum alam menuntut sumbangan warga negara
bagi kepentingan umum, jenis dan besarnya sumbangan ditentukan oleh hukum
positif, yakni undang-undang negara, yang baru berlaku setelah ditetapkan dan
diresmikan isinya oleh instansi yang berwibawa.
Pada zaman Yunani (Kuno) muncul masa Hellenisme, yaitu puncak keemasan
kebudayaan Yunani yang dipelopori oleh aliran Epikurisme (berasal dari nama
filsuf Epikuros) dan Stoisisme (berasal dari kata Stoa yang dicetuskan oleh Zeno).
Kedua aliran ini menekankan filsafatnya pada bidang etika. Meskipun demikian,
dari Epikurisme muncul konsep penting tentang undang-undang (hukum posistif)
yang mengakomodasi kepentingan individu sebagai perjanjian antar individu,
sehingga pemikiran dari penganut Epikurisme merupakan embrio dari teori
perjanjian masyarakat.
17
dan
Thomas
Aquino/Thomas
Aquinas
(1225-1275).
Dalam
Lihat Lili Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
1990, halaman 13.
18
(Lex Positivis).15 Pembagian hukum atas keempat jenis hukum yang dilakukan
oleh Thomas Aquinas nantinya akan dibahas dalam pelbagai aliran filsafat hukum
pada bagian lain dari tulisan ini.
3. Sejarah Filsafat Hukum Pada Zaman Modern
Pada zaman ini para filsuf telah meletakkan dasar bagi hukum yang mandiri,
yang terlepas sama sekali dari hukum abadi yang berasal dari Tuhan. Tokoh-tokoh
yang berperan sangat penting pada abad pertengahan ini, antara lain: William
Occam (1290-1350), Rene Descartes (1596-1650), Thomas Hobbes (1588-1679),
John Locke (1632-1704), George Berkeley (1685-1753), David Hume (17111776), Francis Bacon (1561-1626), Samuel Pufendorf (1632-1694), Thomasius
(1655-1728), Wolf (1679-1754), Montesquieu (1689-1755), J.J. Rousseau (17121778), dan Immanuel Kant (1724-1804). Zaman modern ini juga disebut
Renaissance. Terlepasnya alam pikiran manusia dari ikatan-ikatan keagamaan
menandai lahirnya zaman ini. Tentu saja zaman Renaissance membawa dampak
perubahan yang tajam dalam segi kehidupan manusia, perkembangan teknologi
yang sangat pesat, berdirinya negara-negara baru, ditemukannya dunia-dunia baru,
lahirnya segala macam ilmu baru, dan sebagainya.
Demikian juga terhadap dunia pemikiran hukum, rasio manusia tidak lagi
dapat dilihat sebagai penjelmaan dari rasio Tuhan, sehingga rasio manusia sama
sekali terlepas dari ketertiban ketuhanan. Rasio manusia ini dipandang sebagai
satu-satunya sumber hukum. Pandangan ini jelas dikumandangkan oleh para
penganut hukum alam yang rasionalistis dan para penganut faham positivisme
hukum.
4. Sejarah Filsafat Hukum Pada Zaman Sekarang
Yang dimaksud dengan zaman sekarang dimulai pada abad ke-19. Filsafat hukum
yang berkembang di zaman modern berbeda dengan filsafat hukum yang
berkembang pada zaman modern. Jika pada zaman modern berkembang
rsionalisme, maka pada zaman sekarang rasionalisme yang berkembang
15
19
Tidak Ada
Ide Menjadi
Negara diktator
Negara Anarkhis
Selain Hegel, masih ada beberapa ahli pikir lain, seperti Karl Marx dan Engels
yang menyatakan bahwa hukum dipandang sebagai pernyataan hidup dalam
masyarakat. Di samping Marx dan Engels, juga von Savigny yang menyatakan
bahwa hukum tidak dibuat tetapi tumbuh bersama-sama dengan perkembangan
masyarakat. Pandangan Savigny ini telah memasukkan faktor sejarah ke dalam
pemikiran hukum yang selanjutnya melahirkan pandangan relatif terhadap hukum.
Sehingga pandangan dari Savigny melahirkan Mazhab Sejarah.17
Dari beberapa fase perkembangan filsafat hukum yang diawali sejak zaman
Yunani (Kuno) dapat digambarkan dalam suatu ikhtisar berikut ini:
16
17
Z. Yunani (Kuno)
20
Z. Pertengahan
Z. Modern
Z. Sekarang
Masa Gelap
Anaximander
Herakleitos
Parmenides
Socrates
Plato
Aristoteles
Augustinus
Thomas Aquino
W. Occam
Hegel
R. Descartes
Fichte
T. Hobbes
Schelling
J. Locke
von Savigny
G. Berkeley
D. Hume
F. Bacon
Wolf
Montesquieu
J.J. Rousseau
Immanuel Kant
5. Latihan Soal
1. Mengapa kaum Sofis (Anaximander, Herakleitos, dan Parmenides)
berpendapat untuk dapat menciptakan keteraturan dan keadilan diperlukan
nomos yang bersumber pada logos (rasio)?
2. Mengapa
Socrates
tidak
percaya
terhadap
kebenaran
subjektif
21
Rasjidi, Lili, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1990.
22
BAB III
ALIRAN-ALIRAN DALAM FILSAFAT HUKUM
Tujuan Instruksional Umum:
1. Mahasiswa dapat memahami berbagai aliran dalam Filsafat Hukum.
2. Mahasiswa dapat membandingkan berbagai aliran dalam Filsafat Hukum.
Tujuan Instruksional Khusus:
1. Mahasiswa dapat menyebutkan berbagai aliran dalam Filsafat Hukum,
yaitu: a. Aliran Hukum Alam.
b. Aliran Hukum Positif.
c. Aliran Utilitarianisme.
d. Aliran Sejarah.
e. Alian Positivisme.
f. Aliran Sociological Jurisprudence.
g. Aliran Legal Realism.
1. Berbagai Aliran Dalam Filsafat Hukum dan Perbedaannya
Dalam filsafat hukum dikenal pembagian pelbagai aliran atau mazhab, yang
dikemukakan oleh beberapa orang sarjana, antara lain F.S.G. Northrop dan Lili
Rasjidi.18
Northrop membagi aliran atau madzhab filsafat hukum ke dalam 5 (lima)
aliran, yaitu:
a. Legal Positivism.
b. Pragmatic Legal Realism.
c. Neo Kantian and Kelsenian Ethical Jurisprudence.
d. Functional Anthropological or Sociological Jurisprudence.
e. Naturalistic Jurisprudence.
18
Lili Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti Bandung, 1990,
halaman 26-27.
23
19
24
20
Darji Darmodiharjo & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana
Filsafat Hukum Indonesia, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 1995, halaman 102.
25
b)
c)
Rasional:
Sebaliknya, aliran ini mengatakan bahwa sumber dari hukum yang universal
dan abadi adalah rasio manusia. Pandangan ini muncul setelah zaman
Renaissance (pada saat rasio manusia dipandang terlepas dari tertib
ketuhanan/lepas dari rasio Tuhan) yang berpendapat bahwa hukum alam
muncul dari pikiran (rasio) manusia tentang apa yang baik dan buruk
penilaiannya diserahkan kepada kesusilaan (moral) alam. Tokoh-tokohnya,
antara lain: Hugo de Groot (Grotius), Christian Thomasius, Immanuel Kant,
dan Samuel Pufendorf.
Pendasar hukum alam yang rasional adalah Hugo de Groot (Grotius), ia
menekankan adanya peranan rasio manusia dalam garis depan, sehingga rasio
26
manusia sama sekali terlepas dari Tuhan. Oleh karena itu rasio manusialah
sebagai satu-satunya sumber hukum.
Tokoh penting lainnya dalam aliran ini ialah Immanuel Kant. Filsafat dari
Kant dikenal sebagai filsafat kritis, lawan dari filsafat dogmatis. Ajaran Kant
dimuat dalam tiga buah karya besar, yaitu: Kritik Akal Budi Manusia (kritik
der reinen Vernunft yang terkait dengan persepsi), Kritik Akal Budi Praktis
(kritik der praktischen Vernunft yang terkait dengan moralitas), Kritik Daya
Adirasa (kritik der Urteilskraft yang terkait dengan estetika dan harmoni).
Ajaran Kant tersebut ada korelasinya dengan tiga macam aspek jiwa manusia,
yaitu cipta, rasa, dan karsa (thinking, volition, and feeling).21
Metode kritis tidak skeptis, tidak dogmatis (trancendental). Hakekat manusia
(homo noumenon) tidak terletak pada akalnya, beserta corak berfikir yang
bersifat teoritis keilmuan alamiah (natuurweten schappelijke denkwijze),
tetapi pada kebebasan jiwa susila manusia yang mampu secara mandiri
menciptakan hukum kesusilaan bagi dirinya sendiri dan juga orang lain. Yang
penting bukan manusia ideal berilmu atau ilmuwan, tetapi justru pada
manusia ideala berkepribadian humanistis.
Salah satu karya Kant yang berjudul Metaphysische Anfangsgruende der
Rechtslehre (Dasar Permulaan Metafisika Ajaran Hukum merupakan bagian
dari karyanya yang berjudul Metaphysik der Sitten) pokok pikirannya ialah
bahwa manusia menurut darma kesusilaannya mempunyai hak untuk
berjuang bagi kebebasan lahiriahnya untuk menghadirkan dan melaksanakan
kesusilaan. Dan hukum berfungsi untuk menciptakan situasi kondisi guna
mendukung perjuangan tersebut. Hakekat hukum bagi Kant adalah bahwa
hukum itu merupakan keseluruhan kondisi-kondisi di mana kehendak sendiri
dari seseorang dapat digabungkan dengan kehendak orang lain di bawah
hukum kebebasan umum yang meliputi kesemuanya.
Katagori imperatif Kant mewajibkan semua anggota masyarakat tetap
mentaati hukum positif negara sekalipun di dalam hukum terebut terdapat
21
27
28
b) Hukum yang disusun dan dibuat oleh manusia, yang terdiri dari:
-
hukum dalam arti yang sebenarnya. Jenis ini disebut sebagai hukum positif
yang terdiri dari hukum yang dibuat penguasa, seperti: undang-undang,
peraturan pemerintah, dan sebagainya, hukum yang dibuat atau disusun
rakyat secara individuil yang dipergunakan untuk melaksanakan hakhaknya, contoh hak wali terhadap perwaliannya.
Hukum dalam arti yang tidak sebenarnya, dalam arti hukum yang tidak
memenuhi persyaratan sebagai hukum, contoh: ketentuan-ketentuan dalam
organisasi atau perkumpulan-perkumpulan.
Menurut Austin, dalam hukum yang nyata pada point pertama, di dalamnya
terkandung perintah, sanksi, kewajiban, dan kedaulatan. Sehingga ketentuan yang
tidak memenuhi keempat unsur tersebut tidak dapat dikatakan sebagai hukum.
2) Murni
Ajaran hukum murni dikatagorikan ke dalam aliran positivisme, karena
pandangan-pandangannya tidak jauh berbeda dengan ajaran Auistin. Hans Kelsen
seorang Neo Kantian, namun pemikirannya sedikit berbeda apabila dibandingkan
dengan Rudolf Stammler. Perbedaannya terletak pada penggunaan hukum alam.
Stanmmler masih menerima dan menganut berlakunya suatu hukum alam
walaupun ajaran hukum alamnya dibatasi oleh ruang dan waktu. Sedang Hans
Kelsen secara tegas mengatakan tidak menganut berlakunya suatu hukum alam,
walaupun Kelsen mengemukakan adanya asas-asas hukum umum sebagaimana
tercermin dalam Grundnorm/Ursprungnormnya.
Ajaran Kelsen juga dapat dikatakan mewakili aliran positivisme kritis (aliran
Wina). Ajaran tersebut dikenal dengan nama Reine Rechtslehre atau ajaran
hukum murni. Menurut ajaran tersebut, hukum harus dibersihkan dari dan/atau
tidak boleh dicampuri oleh politik, etika, sosiologi, sejarah, dan sebagainya. Ilmu
(hukum) adalah susunan formal tata urutan/hirarki norma-norma. Idealisme
hukum ditolak sama sekali, karena hal-hal ini oleh Kelsen dianggap tidak ilmiah.
Adapun pokok-pokok ajaran Kelsen adalah sebagai berikut:
29
a) Tujuan teori ilmu hukum sama halnya dengan ilmu-ulmu yang lain adalah
meringkas dan merumuskan bahan-bahan yang serba kacau dan
keserbanekaragaman menjadi sesuatu yang serasi.
b) Teori filsaft hukum adalah ilmu, bukan masalah apa yang dikehendaki,
masalah cipta, bukan karsa dan rasa.
c) Hukum adalah ilmu normatif, bukan ilmu ke-alaman (natuurwetenschap)
yang dikuasai oleh hukum kausalitas.
d) Teori/filsafat hukum adalah teori yang tidak bersangkut paut dengan
kegunaaan atau efektivitas norma-norma hukum.
e) Teori hukum adalah formal, teori tentang ara atau jalannya mengatur
perubahan-perubahan dalam hukum secara khusus.
f) Hubungan kedudukan antara tori hukum dengan sistem hukum positif
tertentu adalah hubungan antara hukum yang serba mungkin dan hukum
yang senyatanya.
Fungsi teori hukum ilah menjelaskan hubungan antara norma-norma dasar dan
norma-norma lebih rendah dari hukum, tetapi tidak menentukan apakah norma
dasar itu baik atau tidak. Yang disebut belakangan adalah tugas ilmum politik,
etiika atau agama.
Teori konkretisasi hukum menganggap suatu sistem hukum sebagai atau
susunan yang piramidal. Stufentheorie diciptakan pertama kali oleh Adolf Merkl
(1836-1896), seorang murid dari Rudolf von Jhering,22 yang kemudian diambil
alih oleh Hans Kelsen. Kekuatan berlakunya hukum tertentu tergantung pada
norma hukum yang lebih tinggi, demikian seterusnya hingga sampai pada suatu
Grundnorm, yang berfungsi sebagai dasar terakhir/tertinggi bagi berlakunya
keseluruhan hukum positif yang bersangkutan. Fungsi hukum tersebut bukan
dalam arti hukum kodrat, tetapi sebagai suatu Transcendental Logische
Voraussetzung, yaitu dalil yang secara transendental menentukan bahwa norma
dasar terakhir/tertinggi secara logis harus ada lebih dahulu, yang sekaligus
berfungsi sebagai penjelasan atau pembenaran ilmiah bahwa keseluruhan norma-
22
30
norma c.q. peraturan-peraturan dalam hukum positif yang bersangkutan itu pada
hakekatnya merupakan satu kesatuan yang serasi.
Penulis lain bernama Rudolf Stammler (1856-1938) merupakan tokoh
kebangkitan kembali filsafat c.q. hukum kodrat gaya baru, yaitu hukum kodrat
yang senantiasa berubah yang mengajarkan bahwa filsafat hukum adalah
ilmu/ajaran tentang hukum yang adil (die lehre vom richtigen recht). Apabila
ilmu hukum meneliti dan mengkaji, secara positif, maka tugas dan fungsi filsafat
hukum ialah dengan abstraksi bahan-bahan variabel tersebut, meneliti secara
transendental kritis (metode yang berasal dari Kant) bentuk-bentuk kesadaran
manusia hingga menerobos sampai pada landasan/dasar transendental logis
penghayatan hukum yang berujud hakekat pengertian hukum.
Hakekat pengertian hukum atau pengertian hukum yang transendental ini
mempunyai unsur-unsur: kehendak/karsa, mengikat, berkuasa atas diri dan tidak
bisa diganggu (wollen, verbinden, selbstherrlichkeit unverletzbarkeit). Dari
hakekat ini lebih lanjut ditarik 8 (delapan) macam kategori hukum, yaitu: subjek
hukum, objek hukum, dasar hukum, hubungan hukum, kekuasaan hukum,
penundukan hukum, menurut hukum (rechtmatigeheid), dan melawan hukum.
Pengertian dasar atau kategori hukum itu berupa metode pikiran formil yang
adanya tidak ditentukan oleh atau digantungkan pada isi atau aturan hukum. Asasasas hukum umum yang menentukan kebaikan isi atuan hukum, tidak termasuk
pengertian hukum tetapi tergolong pada cita hukum. Hukum yang adil adalah
hukum yang memenuhi syarat atau tertentu social-ideal, yakni ujud dari
manusia dalam kehidupan masyarakat yang memiliki kehendak bebas
(Gemeinschaft frei wollender Menschen). Cita hukum yang sosial ini berfungsi
regulatif terhadap sistem hukum positif, tidak semata-mata pada bentuk
hukumnya.
c. Aliran Utilitarianisme
Aliran ini dipelopori oleh Jeremy Bentham (1748-1832), John Stuart Mill
(1806-1873), dan Rudolf von Jhering (1818-1889). Bentham berpendapat bahwa
alam memberikan kebahagiaan dan kesusahan. Manusia selalu berusaha
31
32
dibuat, tetapi pada hakekatnya lahir dan tumbuh dari dan dengan rakyat,
berkembang bersama dengan rakyat, namun ia akan mati, manakala rakyat
kehilangan kepribadiannya (das recht wirdnicht gemacht, es wachst mit dem volke
vort, bilden sich aus mit diesem, und strirbt endlich ab sowie das volk seineen
eigentuum lichkeit verliert). Sumber hukum intinya adalah hukum kebiasaan
adalah volksgeist jiwa bangsa atau jiwa rakyat.
Paton memberikan sejumlah catatan terhadap pemikiran Savigny sebagai
berikut:
1) Jangan sampai kepentingan dari golongan masyarakat tertentu dinyatakan
sebagai volksgeist dari masyarakat secara keseluruhannya.
2) Tidak selamanya peraturan perundang-undangan timbul begitu saja, karena
dalam kenyataannya banyak ketentuan mengenai serikat kerja di Inggris
yang tidak akan terbentuk tanpa perjuangan keras.
3) Jangan sampai peranan hakim dan ahli hukum lainnya tidak mendapat
perhatian, karena walaupun volksgeist itu dapat menjadi bahan kasarnya,
tetap saja perlu ada yang menyusunnya kembali untuk diproses menjadi
bentuk hukum.
4) Dalam banyak kasus peniruan memainkan peranan yang lebih besar
daripada yang diakui oleh penganut Mazhab Sejarah. Banyak bangsa yang
dengan sadar mengambil alih Hukum Romawi dan mendapat pengaruh dari
Hukum Perancis.
Tulisan von Savigny sebenarnya merupakan reaksi langsung terhadap Thibaut , di
samping itu juga hendak memberi tempat yang terhormat bagi hukum rakyat
Jerman yang asli di negara Jerman sendiri. Von Savigny berkeinginan agar hukum
Jerman itu berkembang menjadi hukum nasional Jerman. Tantangan von Savigny
terhadap kodifikasi Perancis itu telah menyebabkan hampir satu abad lamanya
Jerman tidak memiliki kodifikasi hukum perdata. Pengaruh pandangan von
Savigny juga terasa sampai jauh ke luar batas negeri Jerman.
Sedang Puchta, termasuk penganut aliran sejarah dan sebagai murid von
Savigny berpendapat bahwa hukum dapat berbentuk:
1) Langsung, berupa adat-istiadat.
33
2) Melalui undang-undang.
3) Melalui ilmu hukum dalam bentuk karya para ahli hukum.
Namun ketika pembentukan hukum tersebut masih berhubungan erat dengan jiwa
bangsa (volksgeist) yang bersangkutan.
Lebih lanjut, Puchta membedakan pengertian bangsa ke dalam dua jenis,
yaitu bangsa dalam pengertian etnis yang disebut bangsa alam dan bangsa
dalam arti nasional sebagai kesatuan organis yang membentuk satu negara.
Adapun yang memiliki hukum yang sah hanyalah bangsa dalam pengertian
nasional (negara), sedangkan bangsa alam memiliki hukum sebagai keyakinan
belaka.
Menurut Puchta, keyakinan hukum yang hidup dalam jiwa bangsa harus
disahkan melalui kehendak umum masyarakat yang terorganisasi dalam negara.
Negera mengesahkan hukum itu dengan membentuk undang-undang, Puchta
mengutamakan pembentukan hukum dalam negara sedemikian rupa, sehingga
akhirnya tidak ada tempat lagi bagi sumber-sumber hukum lainnya, yakni praktik
hukum dalam adat-istiadat bangsa dan pengolahan ilmiah hukum oleh ahli-ahli
hukum. Adat-istadat bangsa hanya berlaku sebagai hukum sesudah disahkan oleh
negara. Sama halnya dengan pengolahan hukum oleh kaum Yuris, pikiran-pikiran
mereka tentang hukum memerlukan pengesahan negara supaya berlaku sebagai
hukum. Di lain pihak, yang berkuasa dalam negara tidak membutuhkan dukungan
apapun. Ia berhak membentuk undang-undang tanpa bantuan kaum yuris, tanpa
menghiraukan apa yang hidup dalam jiwa orang dan dipraktikkan sebagai adatistiadat.
Dengan adanya pemikiran dan pandangan puchta yang demikian ini, menurut
Theo Huijbers dikatakan tidak jauh berbeda dengan Teori Absolutisme negara dan
Positivisme Yuridis.23 Buku Puchta yang terkenal berjudul Gewohnheitsrecht.
e. Aliran Sociological Jurisprudence
23
Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Penerbit Kanisius, Yogyakarta,
1993, halaman 120-121.
34
Pendasar aliran ini, antara lain: Roscoe Pound, Eugen Ehrlich, Benjamin
Cardozo, Kontorowics, Gurvitch dan lain-lain. Aliran ini berkembang di Amerika,
pada intinya aliran ini hendak mengatakan bahwa hukum yang baik adalah hukum
yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. 24 Kata sesuai
diartikan sebagai hukum yang mencerminkan nilai-nilai yang hidup di dalam
masyarakat.
Aliran Sociological Jurisprudence berbeda dengan Sosiologi Hukum. Dengan
rasio demikian, Sosiologi Hukum merupakan cabang sosiologi yang mempelajari
hukum sebagai gejala sosial, sedang Sociological Jurisprudence merupakan suatu
mazhab dalam filsafat hukum yang mempelajari pengaruh timbal balik antara
hukum dan masyarakat dan sebaliknya. Sosiologi hukum sebagai cabang sosiologi
yang mempelajari pengaruh masyarakat kepada hukum dan dan sejauh mana
gejala-gejala yang ada dalam masyarakat dapat mempengaruhi hukum di samping
juga diselidiki juga pengaruh sebaliknya, yaitu pengaruh hukum terhadap
masyarakat. Dari 2 (dua) hal tersebut di atas (sociological jurisprudence dan
sosiologi
hukum)
dapat
dibedakan
cara
pendekatannya.
Sociological
24
35
Legal
Realism
di
samping
masuk
ke
dalam
Sociological
Jurisprudence. Hal ini disebabkan oleh pendapat atau pandangan Roscoe Pound
yang mengatakan bahwa hukum itu adalah a tool of social engineering. Sementara
itu, Llewellyn berpendapat bahwa Pragmatic Legal Realism bukan aliran tapi
suatu gerakan yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1) Realisme bukanlah suatu aliran/mazhab. Realisme adalah suatu gerakan
dalam cara berpikir dan cara bekerja tentang hukum.
2) Realisme adalah suatu konsep mengenai hukum yang berubah-ubah dan
sebagai alat untuk mencapai tujuan sosial; maka tiap bagiannya harus
36
diselidiki mengenai tujuan maupun hasilnya. Hal ini berarti bahwa keadaan
sosial lebih cepat mengalami perubahan daripada hukum.
3) Realisme mendasarkan ajarannya atas pemisahan sementara antara sollen
dan sein untuk keperluan suatu penyelidikan agar penyelidikan itu
mempunyai tujuan, maka hendaknya diperhatikan adanya nilai-nilai dan
observasi terhadap nilai-nilai itu haruslah seumum mungkin dan tidak
boleh dipenuhi oleh kehendak observer maupun tujuan-tujuan kesusilaan.
4) Realisme telah mendasarkan pada konsep-konsep hukum tradisional oleh
karena realisme bermaksud melukiskan apa yang sebenarnya oleh
pengadilan-pengadilan dan orang-orangnya. Untuk itu dirumuskan definisidefinisi dalam peraturan-peraturan yang merupakan ramalan umum tentang
apa yang akan dikerjakan oelh pengadilan-pengadilan. Sesuai dengan
keyakinan ini, maka realisme menciptakan penggolongan-penggolongan
perkara dan keadaan-keadaan hukum yang lebih kecil jumlahnya daripada
jumlah penggolongan-penggolongan yang ada pada masa lampau.
5) Gerakan realisme menekankan pada perkembangan setiap bagian hukum
haruslah diperhatikan dengan seksama mengenai akibatnya.
Pendekatan yang harus dilakukan oleh gerakan realisme untuk mewujudkan
program tersebut di atas telah digariskan sebagai berikut:
1) Keterampilan
diperlukan
bagi
seseorang
dalam
memberikan
37
Soetiksno, Filsafat Hukum, Bagian I, Penerbit PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1997,
halaman 77.
38
26
39
40
DAFTAR PUSTAKA
Darmodiharjo, Darji & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan
Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Penerbit PT. Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta. 1995.
Huijbers, Theo Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Penerbit Kanisius,
Yogyakarta, 1993.
Rasjidi, Lili, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti
Bandung, 1990, halaman.
Soehardjo Sastrosoehardjo, Silabus Mata Kuliah Filsafat Hukum, Program
Pascasarjana Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang, 1997.
Soetiksno, Filsafat Hukum, Bagian I, Penerbit PT. Pradnya Paramita, Jakarta,
1997.
41
BAB IV
PENGERTIAN DAN TUJUAN HUKUM SECARA FILOSOFIS
Tujuan Instruksional Umum:
Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa dapat:
1.
2.
Menyebutkan
dan
Menyebutkan
dan
Menyebutkan
dan
hukum, karena gagasan untuk apa hukum itu terkandung sebagian besarnya di
dalam gagasan tentang apa hukum itu, maka satu tinjauan pendek mengenai
gagasan tentang sifat hukum dipandang dari pendirian ini akan sangat berguna
42
dalam mepelajari tujuan hukum dari segi filososfis. Adapun ke-12 konsepsi Pound
tentang hukum tersebut terdiri dari:27
a.
Pertama,
boleh
kita
Ada
satu
gagasan
tentang hukum sebagai satu tradisi dari kebiasaan lama yang ternyata dapat
diterima oleh dewa-dewa dan karena itu menunjukkan jalan yang boleh
ditempuh manusia dengan amannya. Sebab manusia primitif, yang
menganggap dirinya dilingkungi oleh kekuatan gaib di dalam alam yang
banyak tingkah dan suka membalas dendam, terus-menerus dalam ketakutan
kalau-kalau ia melanggar sesuatu yang dilarang oleh mahkluk gaib. Dengan
demikian ia dan orang sekampungnya akan dimarahi oleh mahkluk gaib
tersebut. Kesalahan umum menuntut supaya orang melakukan hanya apa
yang diperbolehkan, dan melakukan menurut cara yang digariskan oleh
kebiasaan yang sudah lama dituruti, setidaknya jangan melakukan apa yang
tidak disenangi oleh dewa-dewa. Hukum adalah himpunan perintah yang
tradisional akan dicatat, yang di alam kebiasaan itu dipelihara dan
dinyatakan. Bilamana kita menjumpai sehimpunan hukum primitif yang
merupakan tradisi golongan dipunyai oleh satu oligarchi politik, boleh jadi
ia akan dianggap sebagai tradisi golongan, persis seperti sehimpunan tradisi
yang sama tetapi dipelihara oleh ulama atau pendeta, pasti akan dipandang
sebagai yang telah diwahyukan oleh Tuhan.
c.
Gagasan
ini
rapat
Roscoe Pound, Pengantar Filsafat Hukum, (Terj.) Muhammad radjab, Penerbit Bhratara,
Jakarta, 1996, halaman 28-32.
43
dicatat dari para budiman di masa lalu yang telah dipelajari. Jalan yang
selamat, atau jalan kelakuan manusia yang disetujui oleh Tuhan. Apabila
satu kebiasaan tradisional dari keputusan dan kebiasaan tindakan telah
dituliskan dalam kitab undang-undang primitif, mungkin dia akan dianggap
sebagai hukum. Demosthenes yang hidup dalam abad kekempat sebelum
Masehi dapat melukiskan hukum Athena dengan kata-kata tadi.
d.
Hukum
dapat
Sehingga
kelima
Ada
satu
gagasan
44
Hukum
dipikirkan
sebagai satu pencerminan dari akal Illahi yang menguatkan alam semesta
ini; satu pencerminan dari bagian yang menentukan apa yang seharusnya
dilakukan oleh manusia sebagai satuan yang berkesusilaan, yang berbeda
dengan yang masih dilakukan, yang ditujukan kepada mahkluk lain selain
manusia. Begitulah konsepsi Thomas Aquino, yang mempunyai penganut
banyak sampai abad ke-17 dan semenjak itu masih besar pengaruhnya.
h.
Hukum
telah
Satu
gagasan
yang
45
Orang
menganggap
hukum itu sebagai satu sistem asas-asas, yang ditemukan secara filsafat dan
dikembangkan sampai pada perinciannya oleh tulisan-tulisan sarjana hukum
dan putusan pengadilan, yang dengan perantaraan tulisan dan putusan itu
kehidupan lahir manusia diukur oleh akal, atau pada taraf lain, dengan
tulisan dan putusan itu kemauan tiap orang yang bertindak diselaraskan
dengan kehendak orang lain. Cara berfikir ini muncul pada abad ke-19
sesudah ditinggalkan teori hukum alam dalam bentuk yang mempengaruhi
pikiran hukum selama dua abad, dan filsafat diminta untuk memberikan satu
terhadap kritik susunan sistematik dan perkembangan detail.
k.
Hukum
dipahamkan
46
Akhirnya
ada
satu
47
Darji Darmodiharjo & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana
Filsafat Hukum Indonesia, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995, halaman 129130.
48
khusus.
Dengan
kata
lain,
klasifikasi
tersebut
membantu
49
di tempatnya
Latihan Soal
a.
Ada
berapa
konsepsi
hukum
yang
c.
d.
50
DAFTAR PUSTAKA
Pound, Roscoe, Pengantar Filsafat Hukum, (Terj.) Muhammad radjab, Penerbit
Bhratara, Jakarta, 1996.
Darmodiharjo, Darji & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan
Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Penerbit PT. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, 1995.
51
BAB V
KEADILAN DAN HUKUM YANG BENAR DAN ADIL
Tujuan Instruksional Umum:
Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa dapat :
1.
Memahami bermacam-macam
arti keadilan.
2.
29
Soetiksno, Filsafat Hukum, Bagian I, Penerbit PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1997,
halaman 11.
52
Keadilan menentukan
bagaimanakah hubungan yang baik antara orang-orang yang satu dengan
yang lain;
b.
Keadilan
berada
di
Untuk mengutamakan
dimanakah letak keseimbangan yang tepat antara orang-orang digunakan
ukuran kesamaan yang dihitung secara aritmetis dan geometris.
30
Darji Darmodiharjo & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana
Filsafat Hukum Indonesia, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995, halaman 154.
31
Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Penerbit Kanisius, Yogyakarta,
1993, halaman 29.
32
Bandingkan dengan Darji Darmodiharjo & Shidarta, Op. Cit., halaman 155.
53
54
Hukum
Yang
Adil
dan
Benar
Gambaran mengenai hukum yang adil dan benar dapat diketemukan dalam
pemikiran yang dikemukakan oleh Gustav Radbruch, seorang politikus dan
sarjana hukum dari Jerman. Ia berusaha menyeberangi jurang bidang ada (sein)
dan bidang harus (sollen) dengan menerima bahwa suatu bidang terkandung
kedua bidang tersebut untuk mencapai apa yang disebut dengan kebenaran.
Menurut Radbruch, bidang kebudayaan tidak hanya terletak di antara dua bidang
tersebut, tetapi menggabungkan kedua bidang itu juga, sebab kebudayaan
merupakan perwujudan dari nilai-nilai realitas alam, dan Radbruch hendak
menerapkan teori ini pada hukum.33
Alasan yang dipergunakan Radbruch ialah bahwa hukum merupakan unsur
kebudayaan, maka seperti unsur-unsur kebudayaan lain, hukum diwujudkan
dalam satu nilai, yakni nilai keadilan. Sehingga hukum merupakan perwujudan
dari keadilan, sedikitnya merupakan usaha ke arah terwujudnya keadilan.
Sedangkan tolok ukur adil atau tidak adilnya tata hukum dibentuk dalam
masyarakat, namun tolok ukur tersebut belumlah cukup, karena ada dasar lain,
yaitu dasar hukum sebagai hukum.
Dalam mewujudkan adanya hukum yang benar dan adil ini, Radbruch
membagi keadilan menjadi 3 (tiga) aspek, yaitu:
33
a.
55
b.
c.
Dengan adanya pembagian keadilan ke dalam tiga aspek tersebut, kita dapat
mengetahui bahwa suatu hukum yang adil haruskah hukum memenuhi unsur
konstitutif hukum atau hanya unsur regulatif sebagimana dikatakan oleh
Huijbers.34 Apabila adil merupakan unsur konstitutif hukum, maka suatu peraturan
tidak adil bukan hanya hukum yang buruk, tetapi karena faktor non hukum (non
yuridis), seperti politik. Sebaliknya apabila adil merupakan unsur regulatif bagi
hukum, maka suatu peraturan yang tidak adil tetap merupakan hukum walaupun
buruk, dan tetap berlaku dan mewajibkan masyarakat untuk mentaatinya.
4.
Latihan Soal
a.
b.
34
Theo Huijbers, Filsafat Hukum, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1995, halaman 48.
56
DAFTAR PUSTAKA
Darmodiharjo, Darji & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan
Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Penerbit PT. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, 1995.
Huijbers, Theo, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Penerbit Kanisius,
Yogyakarta, 1993.
_________________, Filsafat Hukum, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1993.
Soetiksno, Filsafat Hukum, Bagian I, Penerbit PT. Pradnya Paramita, Jakarta,
1997.
57
BAB VI
FILSAFAT HUKUM BERDASARKAN PANCASILA
Tujuan Instruksional Umum:
Setelah mempelajari pokok bahasan ini, mahasiswa dapat memahami filsafat
hukum berdasarkan Pancasila.
Tujuan Instruksional Khusus:
Setelah mempelajari bahasan ini, mahasiswa mampu:
1.
2.
1.
Pemahaman
ukum
yang bersifat normatif sosiologis yang melihat huku tidak hanya sekumpulan
kaidah dan asas yang mengatur hubungan manusia dalam masyarakat, tetapi
juga meliputi lembaga-lembaga dan proses yang diperlukan untuk mewujudkan
berlakunya hukum itu. Sejalan dengan konsep tersebut maka fungsi hukum
dalam masyarakat adalah untuk terwujudnya ketertiban dan kepastian sebagai
prasarana yang harus ditujukan ke arah peningkatan pembinaan kesatuan
bangsa, serta sebagai sarana penunjang perkembangan modernisasi dan
pembangunan yang menyeluruh.
b.
35
58
Indonesia
sebagai
negara
yang
berdasarkan
atas
hukum
b.
c.
hukum Pancasila. Pancasila sebagai dasar negara yang juga merupakan dasar
falsafah hukum nasional mempunyai sifat imperatif yang tidak saja dijadikan
dasar dan arah pengembanganfalsafah hukum nasional kita, melainkan sekaligus
juga menjadi acuan dalam penyusunan, membina dan mengembangkan falsafah
hukum yang konsisten dan relevan dengan nilai-nilai Pancasila itu sendiri.
59
filsafat hukum, perlu dipahami mengenai hakekat dari Pancasila sampai sedalamdalamnya. Di dalam mengupas hakekat Pancasila sampai kedalamannya, dapat
dipergunakan pendekatan filosofis. Adapun pendekatan filosofis yang digunakan
ialah metode dialektis dan analitis.36
36
60
61
tanggal 22 Juni 1945 yang selanjutnya dipakai sebagai Pembukaan UUD 1945.
Sehingga dalam hal ini dapat dikatakan bahwa Causa Finalis Pancasila ialah dasar
filsafat negara, sebab Pembukaan UUD 1945 yang telah ditetapkan pada tanggal
18 Agustus 1945 oleh PPKI dimaksudkan sebagai dasar filsafat negara.
Causa Efficient Pancasila ialah PPKI, karena PPKI secara resmi menetapkan
Pembukaan UUD 1945 yang berintikan Pancasila sebagai dasar filsafat negara.
Dengan demikian, causa efficient Pancasila sebagai dasar filasafat negara ialah
pembentuk negara Indonesia, dalam hal ini PPKI.
Pancasila merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dan
dijungkirbalikkan tanpa mengubah inti dari isinya, karena susunan Pancasila
berbentuk hirarkis piramidal. Dikatakan hirarkis, karena jika dilihat dari isinya,
urut-urutan lima sila tersebut menunjukkan satu rangkaian tingkatan dalam luas
dan isinya. Selanjutnya, dikatakan piramidal, karena tiap-tiap sila yang ada di
belakang sila lainnya merupakan pengkhususan dari sila/sisla-sila yang ada di
depannya. Penjelasan selanjutnya, Sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi basis
dari Kemanusiaan, Persatuan Indonesia, Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat
Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan, dan Keadilan Sosial.
Sebaliknya,
Ketuhanan
Yang
Maha
Esa
adalah
Ketuhanan
yang
62
Pancasila sebagai pandangan hidup, Ideologi Nasional dan Dasar Negara pada
esensinya adalah perwujudan dari pelaksanaan hak dan kewajiban individu
sebagai anggota masyarakat untuk mengejawantahkan pola perilaku sebagaimana
tercermin dalam masing-masing kelima sila tersebut. Demikian pula sebagai
bangsa Indonesia dan warga negara. Pancasila dengan dimensinya pada
hakekatnya selaras dengan aliran dalam filsafat hukum, yaitu Sociological
Jurisprudence, sebagaimana keinginan dan tujuan dari tiga dimensi Pancasila yang
bertujuan menciptakan harmoni berupa keserasian pelaksanaan hak dan kewajiban
sehingga secra optimal kebutuhan dan kepentingan manusia dalam masyarakat
dapat terpenuhi secara tidak memihak, yang oleh Roscoe Pound dikatakan
terdapat 3 kepentingan hukum yang perlu mendapat perlindungan, yaitu:
a. Kepentingan Umum.
b. Kepentingan Masyarakat.
c. Kepentingan Individu.
Aliran Sociological Jurisprudence timbuld ari proses dialektika antara
positivisme hukum dan mazhab sejarah. Pada aliran Positivisme Hukum,
memandang tidak ada hukum kecuali perintah yang diberikan penguasa,
sebaliknya Mazhab Sejarah menyatakan hukum timbul dan berkembang bersama
masyarakat. Kedua mazhab tersebut dapat dilihat pada kepentingannya, yaitu:
Positivisme mementingkan logika, sedang mazhab Sejarah mengutamakan
pengalaman. Namun Sociological Jurisprudence mementingkan keduanya. Oleh
karena itu dalam kaitannya dengan Pancasila sebagai pandangan hidup, ideologi
negara, dan dasar negara, terdapat kesamaan dengan mazhab Sociological
Jurisprudence, karena adanya kesamaan tujuan yang ingin dicapainya. Seperti
yang dikatakan Roscoe Pound yang menganggap hukum sebagai alat untuk
rekayasa sosial/masyarakat, dan ini tercermin dalam kelima sila dari Pancasila,
yang di dalamnya terkandung cita-cita untuk mewujudkan kehidupan masyarakat
adil dan makmur. Dengan demikian, pencerminan kedua aliran tersebut terdapat
kesesuaian dengan apa yang terkandung di dalam UUD 1945, baik pembukaan,
batang tubuh, maupun penjelasannya.
3.
Latihan Soal
a.
63
b.
c.
64
65