Anda di halaman 1dari 16

Mekanisme Penyakit: nyeri neuropatik sebuah perspektif

klinis
RANGKUMAN
Sindrom nyeri neuropatik, nyeri setelah luka atau penyakit perifer atau
sistem saraf pusat secara klinis ditandai dengan jenis rasa nyeri yang
muncul

secara

spontan,

yang

didukung

oleh

berbagai

mekanisme

patofisiologis yang berbeda dalam perifer dan sistem saraf pusat. Pada
beberapa pasien, nyeri saraf memicu perubahan molekul di neuron
nosiseptif,

yang

kemudian

menjadi

peka

secara

tidak

normal

dan

mengembangkan aktivitas spontan secara patologis. Reaksi inflamasi dari


batang saraf yang rusak dapat menimbulkan aktivitas nosiseptor ektopik,
yang

menyebabkan

rasa

nyeri

secara

spontan.

Hiperaktivitas

pada

nosiseptor menimbulkan perubahan sekunder dalam pemprosesan neuronneuron di sumsum tulang belakang dan otak, sehingga masukan dari
mekanoreseptor

serat-A

dianggap

sebagai

rasa

nyeri.

Perubahan

neuroplastik dalam sistem modulatori rasa nyeri pusat dapat menyebabkan


hipereksitabilitas lanjut. Pengobatan pada rasa nyeri neuropatik masih
dianggap belum memuaskan. Ada konsep hipotetis baru telah diusulkan, di
mana rasa nyeri dianalisis berdasarkan mekanisme tertentu. Peningkatan
pengetahuan tentang mekanisme yang memproduksi rasa nyeri dan
penerjemahan mekanisme tersebut ke dalam gejala-gejala dan tanda-tanda
mungkin pada akhirnya memungkinkan sebuah diseksi mekanisme yang
dapat bekerja pada setiap pasien. Jika karakterisasi fenotipik klinis yang
tepat dari rasa nyeri neuropatik digabungkan dengan pilihan obat yang
bekerja

pada

mekanisme

tersebut,

seharusnya

pada

akhirnya

akan

memungkinkan untuk merancang pengobatan yang optimal bagi individu


tersebut. Ulasan ini membahas kerangka konseptual dari klasifikasi yang
berdasarkan mekanisme baru, mendorong para pembaca untuk melihat rasa

nyeri neuropatik sebagai sebuah entitas klinis daripada sebuah kumpulan


keadaan penyakit tunggal.
Kata Kunci: penilaian yang berbasis mekanisme dan gejala, rasa nyeri
neuropatik, perubahan neuroplastik, mekanisme patofisiologis, pengobatan
farmakologis yang rasional.
PENDAHULUAN
Secara

tradisional,

dokter

telah

diajarkan

untuk

memeriksa

dan

mengklasifikasikan pasien atas dasar topografi penyakit tubuh dan patologi


tertentu, suatu pendekatan yang telah terbukti sangat berharga untuk
memahami patofisiologis dari banyak penyakit, termasuk bakteri meningitis
dan radang sendi. Pada sebagian besar dari penderita gangguan ini, rasa
nyeri merupakan gejala yang cepat menghilang setelah terapi diberikan,
namun dalam kondisi lain, seperti diabetes mellitus, penyakit tersebut tidak
dapat disembuhkan, dan rasa nyeri menjadi masalah utama daripada
gejalanya.
Dalam kondisi sakit kronis dan terutama pada kasus nyeri neuropatik, yang
timbul dari kerusakan atau penyakit di dalam sistem saraf, sebuah klasifikasi
yang berdasarkan penyakit dan anatomi seringkali dirasa tidak cukup.
Meskipun ada perbedaaan jelas dalam etiologi, banyak dari kondisi ini yang
menunjukkan fenomena klinis umum: misalnya, rasa nyeri yang muncul
ketika disentuh dalam neuralgia postherpetik dan neuropati diabetik yang
cukup menyakitkan. Sebaliknya, tanda-tanda dan gejala-gejala yang berbeda
dapat muncul pada penyakit yang sama. Misalnya, rasa sakit paroksisme dan
kelainan yang timbul oleh stimulus dalam neuralgia postherpetik. Klasifikasi
atas dasar lokasi juga memiliki kekurangan, karena perubahan neuroplastik
berikut penyakit sistem saraf sering menimbulkan distribusi sensorik dan
rasa sakit yang mengabaikan area saraf, akar, segmental atau kortikal.
Observasi ini telah mengangkat pertanyaan tentang apakah strategi yang
sama sekali berbeda, dimana rasa sakit dianalisis berdasarkan mekanisme

tertentu dapat memberikan pendekatan alternatif untuk meneliti dan


mengklasifikasikan pasien, dengan tujuan akhir untuk mendapatkan hasil
pengobatan yang lebih baik. Peningkatan pemahaman kita mengenai
mekanisme yang mendasari rasa sakit kronis, bersama-sama dengan
penemuan

tentang

target

terapi

molekular

baru,

telah

memperkuat

permintaan akan konsep alternative ini. Pada artikel ini, saya mengulas
beberapa mekanisme saraf penting dalam nyeri neuropatik, menarik parallel
antara gejala sensorik yang dapat diuji secara klinis dan mekanisme
patofisiologis yang mungkin berhubungan dengan gejala-gejala ini.
APAKAH ITU RASA NYERI NEUROPATIK?
Sindrom nyeri neuropatik adalah gangguan nyeri kronis yang disebabkan
karena akibat langsung dari suatu penyakit tubuh atau oleh penyakit yang
berasal dari bagian-bagian sistem saraf yang biasanya memberi sinyal rasa
nyeri. Gangguan tersebut merupakan kondisi heterogen yang tidak dapat
dijelaskan dengan etiologi tunggal atau penyakit tubuh tertentu. Rasa nyeri
neuropatik kronis merupakan penyakit yang umum ditemukan pada praktek
klinis, dan penyakit tersebut sangat mengganggu kualitas hidup pasien.
Kebanyakan pasien masuk kedalam empat luas kelas (Kotak 1): fokal perifer
dan

penyakit

saraf

multifokal

(traumatis,

iskemik

atau

inflamasi),

polineuropati yang disamakan dengan perifer (toksik, metabolik, keturunan


atau inflamasi), lesi CNS (misalnya, struk, sklerosis ganda, cedera saraf
tulang belakang), dan gangguan neuropatik kompleks (Sindrom Nyeri
Regional Kompleks [CRPSs]).
CRPSs (sebelumnya disebut disrofi refleks simpatis, atrofi Sudeck atau
causalgia) adalah gangguan yang menyakitkan yang dapat berkembang
sebagai akibat trauma yang tidak seimbang, dan gangguan tersebut
biasanya mempengaruhi anggota badan. CRPS tipe I biasanya berkembang
setelah batas trauma tanpa lesi saraf yang jelas (misalnya, patah tulang,
bedah). CPRS tipe II berkembang setelah trauma yang dikaitkan dengan lesi
pada saraf besar. Berbeda dengan sindrom nyeri neuropatik lainnya, seperti

regulasi aliran darah yang tidak normal, berkeringat, dan gangguan gerakan
aktif dan pasif, menunjukkan bahwa CRPS merupakan lesi CNS yang
sistemik. Apalagi adanya perubahan perifer yang terjadi, seperti edema kulit
dan jarigan sub kutan, perubahan trofik, tanda-tanda peradangan, dan
komponen rasa nyeri yang diteruskan oleh eferen saraf simpatis.
TANDA DAN GEJALA PADA NYERI NEUROPATIK
Pasien yang mengalami nyeri neuropatik menunjukkan gejala sensorik yang
berbeda yang biasanya ada secara bersamaan dalam berbagai kombinasi.
Pemeriksaan sensorik di sisi ranjang (Bedside) harus mencakup sentuhan,
tusukan jarum, tekanan, dingin, panas, getaran dan penjumlahan temporal
(Tabel 1). Respon dapat dinilai sebagai normal, menurun atau meningkat
untuk menentukan apakah fenomena sensorik negatif atau positif yang
terlibat. Jenis nyeri yang timbul karena stimulus (positif) diklasifikasikan
sebagai DYSESTHETIC, hiperalgesik atau ALLODYNIC, dan sesuai dengan sifat
dinamis atau statis rangsangan tersebut.
Sentuhan dapat dinilai dengan memakai kapas lembut pada kulit, sensasi
tusukan jarum dapat dinilai oleh respon terhadap rangsangan tusukan jarum
tajam, nyeri yang mendalam dinilai dengan tekanan lembut pada otot dan
sendi, dan sensasi dingin dan panas dengan mengukur respon terhadap
rangsangan termal, misalnya, thermo roller disimpan pada suhu 2C atau
45C. Sensasi dingin juga dapat dinilai dengan respon terhadap semprotan
aseton. Getaran dapat dinilai dengan garpu tala yang ditempatkan pada titik
strategis

(misalnya,

antar

sendi

phalangeal).

Penjumlahan

temporal

abnormal setara secara klinis dengan peningkatan aktivitas neuron berikut


stimulasi rangsangan fiber-C pada >0.3 Hz secara berulang. Nyeri seperti
tertiup angin ini dapat dihasilkan oleh rangsangan mekanik dan rangsangan
termal.
Saat ini, secara umum telah disepakati bahwa penilaian harus dilakukan di
daerah yang terasa nyeri secara maksimal dengan menggunakan area
kolateral sebagai kontrol. Perubahan segmental kolateral berikut saraf

unilateral atau akar penyakit bagamanapun tidak dapat dikesampingkan, jadi


pemeriksaan pada daerah mirror mungkin tidak mewakili kontrol yang benar.
Sebuah teknik neurofisiologis yang lebih canggih (pengujian sensoris
kuantitatif

[QST])

menggunakan

baterai

rangsangan

mekanik

dan

rangsangan termal standar. Ketika digunakan, allodynia atau hiper algesia


dapat diukur dengan mengukur intensitas, ambang batas untuk elisitasi,
durasi dan daerah. Tabel 1 mendefinisikan beberapa tanda-tanda dan gejala
sensorik yang dapat ditemukan di neuropati yang terasa nyeri, dan
merangkum uji yang sesuai untuk menilai gejala-gejala ini secara klinis.
MEKANISME PATOFISIOLOGIS DALAM NYERI NEUROPATIK
Sebagian besar gagasan-gagasan saat ini mengenai patofisiologi nyeri
neuropatik berasal dari hasil eksperimen pada model hewan. Penelitian ini
digambarkan sebagai serangkaian mekanisme patofisiologis yang sebagian
dilakukan secara mandiri. Pada bagian berikutnya, mekanisme ini disajikan,
diikuti dengan pembahasan tentang penerjemahan mekanisme neuropatik
ke dalam gejala dan tanda klinis, dan tentang target yang memungkinkan
untuk dilaksanakannya intervensi terapeutik (Gambar 1).
Sensitisasi Perifer
Sensitisasi dan aktivitas ektopik dalam nosiseptor aferen primer
Sensasi nyeri biasanya ditimbulkan oleh aktivitas dalam neuron aferen
primer yang tidak terselubung mielin (C-) dan terselubung myelin tipis (A-).
Nosiseptor ini biasanya diam tanpa adanya rangsangan, dan paling
merespon terhadap rangsangan yang berpotensi bahaya. Namun, setelah
lesi

saraf

perifer,

mengembangkan

neuron

aktivitas

ini

menjadi

spontan

peka

secara

patofisiologis.

abnormal

Perubahan

dan

patologis

didukung oleh perubahan molekuler dan seluler yang dramatis pada tingkat
nosiseptor aferen primer yang dipicu oleh penyakit saraf (Gambar 2).
Aktivitas

spontan

ektopik

berikut

cedera

saraf

disesuaikan

dengan

peningkatan ekspresi dari pembawa pesan RNA untuk saluran natrium yang

diberi tegangan pada neuron aferen primer. Serangkaian saluran natrium


pada situs produksi impuls ektopik mungkin bertanggung jawab atas
penurunan batas tindakan yang berpotensi dan hasil dari hiperaktivitas.
Gen-gen yang mengkodekan saluran natrium yang diberi tegangan Na v1.8
dan Nav1.9 ditunjukkan secara selektif dalam neuron aferen primer
nosiseptif. Saluran embrio, Nav1.3, diregulasi ke atas dalam saraf perifer
yang rusak, dan saluran ini berkaitan dengan peningkatan rangsangan listrik.
Serat aferen primer kecil memperoleh profil ekspresi saluran natrium yang
unik setelah lesi saraf, yang membuat serat tersebut menjadi target terapi
yang menarik. Penelitian di masa depan harus ditujukan untuk merancang
penghalang saluran natrium yang khusus isotipe.
Setelah kerusakan saraf perifer, kluster saluran natrium menumpuk tidak
hanya pada lokasi saraf lesi (Gambar 2B), tetapi juga jauh di dalam dorsal
utuh akar ganglion. Disini, pergantian antara mengaktivasi secara fisik,
tegangan dependen, TETRODOTOXIN konduktansi natrium yang peka dan
kebocoran

kalium

bertegangan

independen

yang

pasif

menghasilkan

karakteristik membran osilasi yang potensial, penembakan ektopik dipicu


ketika amplitude sinusoid osilasi mencapai batas. Sifat membran patologis di
dalam ganglion akar dorsal (DRG) merupakan kepentingan terapi tertentu,
karena DRG tersebut terhindar dari penghalang darah di otak dan mungkin
mudah diakses untuk terapi sistemik.
Pada manusia yang menderita karena amputasi dengan nyeri pada anggota
badan, mikroneurografis serat tunggal dari serat aferen yang diproyeksikan
ke dalam NEUROMA telah menunjukkan aktivitas ektopik spontan. Pasien ini
menunjukkan rasa nyeri seperti terbakar secara spontan dan sensasi seperti
terkena kejutan listrik, sehingga ada kemungkinan bahwa gejala-gejala ini
berhubungan dengan penembakan aferen primer ektopik. Pada pasien yang
menderita ERYTHROMELALIA yang merasa nyeri seperti terbakar, sebuah
mutasi ditemukan pada gen SCN9A, yang mengkode saluran natrium Na v1.7.
Hal ini menyebabkan pola tembak berubah pada neuron aferen. Bukti secara
tidak langsung untuk aktivitas aferen ektopik telah diperoleh dari sebagian

kecil pasien yang menderita nyeri neuropatik yang memiliki lidocaine


(penghalang saluran natrium) menghasilkan penghilang rasa sakit.
Kerusakan pada saraf perifer juga menimbulkan regulasi berbagai reseptor
protein, beberapa diantaranya ditunjukkan di bawah kondisi fisiologis, pada
membran aferen primer. Reseptor Vanilloid (TRPV1) terletak terutama pada
serat aferen nosiseptif, dan dapat diaktifkan dengan CAPCAISIN. Secara
fisiologis, reseptor ini merasakan panas yang berbahaya (>45C). Setelah
cedera saraf secara parsial, dan pada tikus dengan diabetes karena diinduksi
streptozotocin, situasi berubah secara dramatis: penyakit tersebut memicu
downregulation TRPV1 pada banyak aferen yang telah rusak, tetapi ekspresi
baru TRPV1 pada serat-C dan serat-A yang tak cedera. (Gambar 2B, dan lihat
bawah). Penelitian terbaru juga memberikan bukti untuk peningkatan
regulasi TRPV1 pada sel DRG yang mengalami cedera sedang dan berat.
Pengamatan bahwa tikus yang kekurangan TRPV1 tidak mengembangkan
panas hiperalgesia setelah inflamasi jaringan, hal ini mendukung gagasan
bahwa perubahan-perubahan ini mungkin berkontribusi pada pengembangan
sensitisasi nosiseptor C dan berkaitan dengan gejala panas hiper algesia.
TRPV1 tampaknya bukan merupakan mekanisme transduksi satu-satunya
untuk sensitisisasi termal setelah cedera saraf, namun: setelah parsial ligase
saraf skiatik, jenis tikus ganas dan tikus tanpa TRPV1 menunjukkan
peningkatan terus-menerus yang sebanding dengan respon nosiseptif
mekanik dan respon nosiseptif termal.
Pada serat kecil yang diinduksi taxol pada neuropati terasa sakit, TRPV4,
yang biasanya diaktifkan dengan suhu

>30C, tampaknya mempunyai

peran yang penting dalam memproduksi hiper algesia mekanik yang


diinduksi

taxol.

Administrasi

tulang

belakang

dari

ANTISENSE

OLIGODEOXYNUCLEOTIDA pada TRPV4, yang mengurangi ekspresi reseptor


pada saraf sensorik, telah menghapuskan hiperalgesia mekanik pada tikus.
Pada

pasien

yang

mengalami

neuralgia

postherpetik

dengan

panas

hiperalgesia, penerapan topikal akut histamin atau capcaisin terbukti


meningkatkan

rasa

nyeri,

hal

ini

menunjukkan

kepekaan

abnormal

nosiseptor pada capcaisin dan histamin pada area kulit yang terpengaruh,
mungkin karena memiliki ekspresi pola reseptor baru. Pada beberapa pasien
yang

menderita

erythromelalgia

dan

tanda

karakteristik

sensitisisasi

nosiseptor (sakit terbakar dan panas hiperalgesia), catatan mokroneurografis


telah mengkonfirmasi bahwa nosiseptor-C telah disensitisasi.
Penyelidikan ke dalam saluran ion rangsangan yang peka terhadap suhu juga
telah mengidentifikasikan saluran TRP yang peka terhadap dingin dan
mentol (TRPM8) yang diaktifkan dalam jangkauan 8-28C. Reseptor ini
diungkapkan dalam neuron DRG berdiameter kecil. Upregulasi atau gating
saluran

ini

setelah

cedera

dapat

menyebabkan

sensitisisasi

perifer

nosiseptor-C yang peka terhadap dingin, yang menghasilkan fenomena


sensorik hiperalgesia dingin.
Proses transduksi untuk rangsangan mekanik masih belum terselesaikan,
meskipun saluran ion yang merasakan asam (ASICs) telah diajukan sebagai
kandidat untuk keterlibatan dalam hiperalgesia mekanik statis.
Cedera saraf eksperimental juga memicu ekspresi 1-adrenoseptor fungsional
dan 2-adrenoseptor pada serat aferen kulit (Gambar 2B). Akibatnya, neuron
neuron ini mengembangkan kepekaan adrenergik. Konsep kopling adrenergik
patologis

antara

serat

postganglionik

simpatis

dan

neuron

aferen

membentuk kerangka konseptual untuk penggunaan Blok simpatis pada


sindrom rasa nyeri seperti CRPS.
Beberapa observasi mendukung gagasan bahwa kepekaan noradrenergic
pada nosiseptor manusia muncul setelah sebagian atau keseluruhan lesi
saraf.

Pada

orang

yang

telah

diamputasi,

administrasi

perineuromal

norepinefrin telah menimbulkan rasa nyeri yang sangat kuat. Pada pasien
yang menderita neuralgia postherpetik, CRPS II dan neuralgia pasca-trauma,
pemberian norepinefrin sesuai dosis fisiologis ke daerah kulit yang terkena
gejala dapat menimbulkan atau meningkatkan nyeri secara spontan dan
hiperalgesia mekanis yang dinamis. Pada pasien yang menderita CRPS I, rasa
nyeri spontan dan hiperalgesia mekanis akan bertambah ketika neuron
vasokonstriktor kulit simpatis diaktivasi secara fisiologis oleh tekanan dingin.

Sebaliknya, tidak ada kepekaan adrenergik pada neuron aferen primer yang
dapat ditemukan pada polineuropatis.
Obat baru yang secara khusus memblokir reseptor yang peka terhadap suhu
atau adrenoreseptor pada neuron nosiseptif akan sesuai untuk mengatasi
gejala-gejala tertentu, seperti jenis rasa nyeri yang disebabkan oleh suhu
dan secara simpatetis.
Ada semakin banyak bukti bahwa serat yang tidak cedera yang bercampur
dengan serat yang memburuk pada sebagian saraf berpenyakit juga
mungkin berpartisipasi dalam memberi tanda rasa nyeri. Produk seperti
faktor pertumbuhan saraf yang berkaitan dengan DEGENERASI WALLERIAN
dan dilepaskan disekitar serat yang selamat dapat memicu pelepasan factor tumor-nekrosis (TNF-), serta saluran dan ekspresi reseptor (saluran
natrium, reseptor TRPV1, adrenoreseptor; Gambar 2B) sehingga mengubah
sifat aferen yang tak cedera. Penelitian di masa depan harus fokus pada
berbagai perubahan yang mungkin terjadi pada akson yang tak cedera,
karena neuron ini masih terhubung dengan organ perifer-nya dan dapat
mempunyai peran penting dalam produksi nyeri neuropatik.
Inflamasi pada nyeri neuropatik
Setelah penyakit saraf, makrofag yang diaktifkan merembes dari pembuluh
darah endoneural menuju saraf dan DRG, melepaskan SITOKIN proinflamasi,
khususnya TNF-. Mediator ini menyebabkan aktivitas ektopik baik pada
nosiseptor aferen primer yang cedera dan yang tidak cedera pada lokasi lesi.
Pada pasien yang menderita peradangan neuropati, seperti neuropaati
vaskulitis atau neuropati HIV, ciri-ciri fenomenana adalah rasa sakit
paroksimal yang dalam dan rasa nyeri paroksismal. COX 2 dan sitokin
proinflamasi ditemukan pada upregulasi dalam specimen biopsi saraf pada
pasien ini, pada pasien CRPS yang terkena penyakit ini, cairan yang
diproduksi kulit yang lecet mengandung kadar IL-6 and TNF- yang lebih
tinggi daripada extremitas yang tidak terlibat.

Sensitisasi Sentral
Sensitisasi di sum-sum tulang belakang
Akibat dari hiperaktivitas nosiseptor perifer, perubahan sekunder secara
dramatis terjadi pada dorsal horn sum-sum tulang belakang. Cedera saraf
perifer menyebabkan peningkatan rangsangan umum neuron sum-sum
tulang belakang secara multi-reseptif (neuron dengan cakupan luas dan
dinamis dengan beberapa input sinaptik dari nosiseptif serta sistem nonnosiseptif [neuron berwarna oranye pada Gambar 2C]). Hipereksitabilitas ini
dimanifestasikan dengan peningkatan aktivitas neuron dalam menanggapi
rangsangan berbahaya, perluasan bidang reseptif neuron dan penyebaran
hipereksitabilitas tulang belakang pada segmen lain. Sensitisasi sentral ini
diinisiasi dan dikelola oleh aktivitas dalam serat-C yang disentisasi secara
patologis. Serat ini mensensitisasi neuron dorsal horn sum-sum tulang
belakang dengan melepaskan glutamat, yang bekerja pada reseptor pasca
sinaptik N-metil-D-aspartat (NMDA) (Gambar 2C), dan zat neuropeptide P.
secara postsinapsis, neuron dorsal horn urutan kedua secara abnormal
mengungkapkan Nav1.3 setelah cedera saraf perifer. Beberapa kaskade
interseluler berkontribusi pada sensitisasi sentral, khususnya mitogen yang
diaktifkan oleh sistem kinase protein (MAPK). Jika sensitisasi sentral
dibentuk, rangsangan sentuhan yang biasanya tidak berbahaya menjadi
mampu untuk mengaktifkan neuron pemberi isyarat rasa nyeri pada sumsum tulang belakang melalui A dan A mekanoreseptor batas rendah
(neuron berwarna biru pada Gambar 2C). Saluran kalsium-N yang berisikan
tegangan

neuronal

sentral

terletak

pada

lokasi

presinapsis

pada

pemberhentian nosiseptor aferen primer mempunyai peran penting pada


sensitisasi sentral, melalui penyediaan glutamat dan pelepasan zat P.
saluran-saluran ini diungkapkan terlalu banyak setelah lesi saraf perifer.
Allodynia mekanis yang dinamis pada pasien juga disampaikan oleh A
mekanoreseptor batas rendah, yang menunjuk pada sensitisasi sentral
sebagai mekanismenya. Pengukuran waktu-reaksi menunjukkan bahwa
allodynia yang dinamis pada pasien ditandai dengan aferen dengan

kecepatan konduksi yang sesuai untuk akson yang terselubung myelin besar.
Juga, transkutan atau rangsangan saraf intraneural yang menginervasi kulit
allodynic dapat menimbulkan rasa nyeri pada intensitas rangsangan yang
hanya menghasilkan sensasi sentuhan pada kulit yang sehat. Selanjutnya,
blok saraf diferensial dapat menghapuskan allodynia yang dinamis pada titik
waktu ketika sensasi sentuhan hilang, namun modalitas lainnya tetap tidak
terpengaruh.
Secara fisiologis, neuron dorsal horn menerima kontrol penghambatan yang
kuat dengan asam aminobutyric- (GABA) yang melepaskan antar neuron
(Gambar 2A, C). Pada hewan pengerat, cedera saraf perifer secara parsial
meningkatkan kerugian apoptosis selektif GABA, yang melepaskan neuron
penghambat pada dorsal horn dangkal pada sum-sum tulang belakang,
sebuah mekanisme yang jauh meningkatkan sensitisasi sentral. Sebuah
mekanisme alternatif untuk melancarkan antar tulang belakang berikut
cedera

saraf

perifer

baru-baru

ini

diajukan.

Namun,

mekanisme

ini

melibatkan penurunan trans-sinaptik pada ekspresi kalium-klorida eksportir


KCC2 pada neuron lamina I, yang mengganggu anion homeostasis pada
neuron-neuron ini. Pergeseran yang dihasilkan pada trans membran anion
gradien biasanya menyebabkan hambatan arus sinaptik anionik menjadi
rangsangan. Efeknya adalah bahwa pelepasan GABA dari hambatan antar
neuron yang normal sekarang mengusahakan secara paradox tindakan
rangsangan pada neuron lamina I, lagi-lagi meningkatkan sensitisasi sentral.
Neuron dorsal horn menerima kontrol modulasi menurun yang kuat dari
pusat batang otak supraspinal (penghambatan serta memfasilitasi) (Gambar
2A, C). Dihipotesiskan bahwa hilangnya fungsi pada jalur serotonergik dan
noradrenergik penghambat menurun berkontribusi pada sensitisasi sentral
dan kronifikasi nyeri. Gagasan ini menjelaskan dengan baik khasiat serotonin
dan noradrenalin yang menghalangi antidepresan pada nyeri neuropatik.
Namun pada hewan, allodynia mekanis setelah cedera saraf perifer
bergantung pada aktivasi tonik jalur menurun yang menyediakan transmisi
nyeri, yang mengindikasikan bahwa struktur dalam formasi retikular

mesensepalik (mungkin nukleus cuneiformis dan periaqueductal abu-abu


terlibat pada sensitisasi sentral pada nyeri neuropatik. Menariknya, teknik
MRI fungsional (fMRI) yang canggih menunjukkan bahwa struktur otak yang
sama, aktif pada manusia dengan allodynia. Karena fasilitas menurun dan
penghambatan dipicu secara simultan dalam kebanyakan model rasa nyeri
pada hewan, maka dari itu penting sekali untuk menjelaskan mengapa
penghambatan mendominasi pada beberapa gabungan neuron, sedangkan
fasilitasi mendominasi pada neuron yang lain. Terapi yang meningkatkan
penurunan inhibisi dan/atau menipiskan penurunan fasilitasi merupakan
sebuah target yang penting pada penelitian di masa depan.
Sensitisasi sentral dapat pula ditambah dengan sel glial non-saraf di sum
sum tulang belakang. Cedera saraf perifer mengaktifkan glia sum sum tulang
belakang dan menyebabkan sel-sel tersebut untuk meningkatkan rasa nyeri
dengan melepaskan sitokin proinflamasi glial rangsangan saraf dan glutamat
(Gambar 2D).
Perubahan di otak
Sebagian besar percobaan pada hewan telah berkonsentrasi pada dorsal
horn sebagai lokasi sensitisasi sentral. Namun pada hewan pengerat, neuron
yang peka juga telah ditemukan di thalamus dan korteks sensorik primer
setelah

cedera

saraf

perifer

secara

parsial.

Terlebih

lagi,

magneto-

encephalography (MEG), positron emission tomography (PET) dan penelitian


oleh fMRI telah menunjukkan perubahan mendasar dalam representasi
kortikal somatosensory dan rangsagan pada pasien yang menderita nyeri
phantom limb, CRPS dan sindrom nyeri sentral, serta model nyeri secara
eksperimen. Menariknya, perubahan-perubahan ini berhubungan dengan
intensitas rasa nyeri yang dirasakan dan hilangnya rasa nyeri setelah
pengobatan terhadap rasa nyeri tersebut berhasil.
Deaferensiasi: hiperaktivitas neuron transmisi rasa nyeri sentral

Meskipun data di atas secara meyakinkan mendukung peran perifer dan


sensitisasi sentral dalam menghasilkan nyeri neuropatik. Ada deaferensiasi
kulit dalam pada daerah yang sakit tanpa allodynia yang signifikan pada
beberapa pasien. Dengan asumsi bahwa sel-sel DRG dan hubungan aferen
sentral hilang pada pasien tersebut, rasa nyeri yang mereka rasakan bisa
jadi merupakan hasil dari perubahan CNS instrinsik. Pada penelitian terhadap
hewan tentang hilangnya aferen primer lengkap pada segmen tulang
belakang, banyak sel dorsal horn yang menembak secara spontan pada
frekuensi tinggi, dan ada beberapa bukti bahwa proses yang sama mungkin
mendasari rasa nyeri berikut cedera secara luas pada manusia. Rekaman
aktivitas neuron tulang belakang pada pasien yang memiliki cedera pada
akar dorsal karena trauma pada CAUDA EQUINA mengungkapkan regular
frekuensi tinggi dan pelepasan ledakan paroksismal. Pasien tersebut
mengeluhkan rasa nyeri terbakar secara spontan pada daerah kulit yang
telah diberikan obat bius oleh lesi (sebuah fenomena yang disebut anestesi
dolorosa).
PENGUJIAN KEPEKAAN KUANTITATIF SEBAGAI ALAT DIAGNOSTIK
PADA NYERI NEUROPATIK
Konsep teoritis modern tentang terapi berbasis mekanisme mengasumsikan
bahwa gejala tertentu memprediksi mekanisme tertentu. Pendekatan ini
membawa peringatan penting. Namun, penelitian eksperimental klinis
menunjukkan bahwa gejala tertentu mungkin dihasilkan oleh beberapa
mekanisme fisiologis tertentu yang sama sekali berbeda, sehingga profil
gejala

khusus

ketimbang

gejala

tunggal

mungkin

diperlukan

untuk

memprediksi mekanisme tersebut. Untuk menerjemahkan gagasan-gagasan


ini ke dalam kerangka kerja klinis, sangat penting untuk mengkarakterisasi
fenotip somatosensori pasien setepat mungkin.
Pada tahun 2002, Jaringan Penelitian Jerman tentang Nyeri Neuropatik telah
didirikan

dengan

tujuan

membangun

sebuah

database

pasien

yang

menderita berbagai kondisi nyeri neuropatik dikarakterisasikan secara

fenotip, dan untuk melaksanakan kajian penelitian dan percobaan klinis pada
rekan pasien ini. QST protokol terstandardisasi telah diperkenalkan, termasuk
13 parameter yang mencakup prosedur pengujian termal serta prosedur
pengujian mekanis untuk analisis fenotip sematosensori. Untuk menilai
gejala positif atau negatif pada pasien, dibentuklah database yang sesuai
dengan usia dan gender untuk data rujukan QST yang absolut dan relatif
untuk beberapa area tubuh pada subjek manusia yang sehat.
Saat ini, percobaan multisenter secara nasional terdiri atas profil kepekaan
dari 180 subjek manusia yang sehat dan lebih dari 1.000 pasien yang
menderita berbagai jenis nyeri neuropatik. Untuk analisis genetik, sampel
darah dari semua pasien dikumpulkan dan disimpan. Biopsi kulit untuk
mengukur kepadatan serat saraf epidermal telah diambil dari sub-kelompok
pasien.
Pemetaan fenotipik yang tepat dengan QST merupakan langkah penting
dalam menentukan strategi pengobatan berbasis mekanisme untuk nyeri
neuropatik di masa depan. Jika gejala berhubungan erat dengan mekanisme,
penilaian klinis dari gejala tersebut dapat memberikan gambaran tentang
interaksi antara mekanisme berbeda yang beroperasi di setiap individu
pasien. Pengetahuan ini dapat mengarah pada sebuah pendekatan terapi
poligramatik yang optimal, dengan obat-obatan yang mengatasi kombinasi
mekanisme tertentu yang terjadi pada setiap pasien.
Beberapa pendekatan tersebut sangatlah menarik, dan harus diteliti pada
percobaan di masa depan. Pertama, profil QST terstandardisasi harus
digunakan untuk mendeteksi fenotip sub-kelompok pada pasien yang
menderita

nyeri

neuropatik

untuk

mempelajari

lebih

lanjut

tentang

mekanisme patofisiologis. Kedua, fenotip sub-kelompok yang diklasifikasikan


secara akurat harus dimasukkan ke dalam bukti dari konsep percobaan.
Terakhir,

protocol

QST

yang

disederhanakan

harus

diuraikan

untuk

memungkinkan masuknya kemudahan untuk menggunakan QST pada


percobaan multisenter yang besar.

GENETIKA

PERSEPSI

RASA

NYERI

DAN

RESPON

TERHADAP

PENGOBATAN
Diketahui bahwa kepekaan terhadap rangsangan yang menyakitkan, risiko
mengembangkan nyeri kronis dan respon terhadap analgesic sangat berbeda
pada

setiap

individu.

Teknik

genetik

klasik

telah

digunakan

untuk

menjelaskan perbedaan-perbedaan dalam persepsi rasa nyeri jenis tikus


yang berbeda secara genetik, dan telah menunjukkan bahwa rasa nyeri
memang dipengaruhi oleh faktor-faktor genetik. Lagi pula, polimorfisme dari
sistem

opioid

endogen

cenderung

mempertimbangkan

perbedaan-

perbedaan individu pada nosisepsi manusia, dan perbedaan-perbedaan


respon individu pada analgesik tertentu mungkin berhubungan dengan
polimorfisme pada enzim-enzim obat metabolisme.
Penelitian di masa depan harus fokus pada beberapa permasalahan,
penelitian genetik harus dilakukan untuk menjelaskan pengaruh genotip
individu pada kecenderungan pada kronisitas nyeri dan respon terhadap
pengobatan.

Penelitian

tersebut

juga

perlu

untuk

menjelaskan

dan

mengkarakterisasikan target molekular tertentu (saluran ion, enzim, dan


regulator transkripsi gen) dan mengevaluasi penggunaan pendekatanpendekatan bioteknologi (terapi gen, stemcell) untuk terapi nyeri.
KESIMPULAN
Nyeri neuropatik akibat dari lesi atau penyakit sistem saraf merupakan
tantangan neurologis yang sangat penting. Pengobatan pada pasien yang
menderita nyeri neuropatik sebagian besar telah diabaikan oleh para ahli
saraf di masa lalu. Percobaan yang ada hanya memberikan nilai-nilai pada
pertolongan rasa nyeri secara umum untuk etiologi tertentu, yang akan
menjelaskan

secara

parsial

tentang

kegagalan

untuk

memperoleh

pertolongan pada nyeri secara menyeluruh pada kondisi nyeri neuropatik.


Peningkatan pengetahuan tentang mekanisme untuk menghasilkan rasa
nyeri dan penerjemahannya ke dalam gejala-gejala dan tanda-tanda pada
pasien yang menderita nyeri neuropatik dapat memungkinkan diseksi

mekanisme yang sedang berperan pada setiap pasien. Jika pemeriksaan


klinis yang sistematis pada pasien yang menderita nyeri neuropatik dan
karakterisasi fenotip yang tepat digabungkan dengan pemilihan obat yang
bekerja pada mekanisme khusus tersebut, maka akan mungkin untuk
merancang pengobatan yang optimal untuk setiap individu pasien.

Anda mungkin juga menyukai