Anda di halaman 1dari 4

Sekitar tahun 1960-1975, dijumpai pelaksanaan abortus oleh tenaga nonmedis sehingga

terjadi morbiditas dan mortalitas. Kematian maternal yang terjadi di seluruh dunia sekitar
500.000 dan 150.000-200.000 (30-40%) disebabkan abortus. Memperhatikan morbiditas dan
mortalitas obortus, beberapa negara industri telah memutuskan pelaksanaan abortus secara
legal dan ilegal. Indonesia diperkirakan abortus sekitar 1.500.000-2.000.000 orang pertahun
dengan berbagai alasan.

Pelanggaran etikolegal
1. Pelayanan kedokteran di bawah standar.
Seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan
standar profesi yang tertinggi (KODEKI, pasal 2), memperhatikan semua aspek
pelayanan kesehatan yang menyeluruh, yaitu promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif
(KODEKI, pasal 8) dan mempergunakan segala ilmu dan keterampilannya untuk
kepentingan pasien (KODEKI, pasal 10). Dengan demikian, seorang dokter yang
memberikan pelayanan kedokteran di bawah standar merupakan suatu tindakan
malpraktik, dan dapat dikenakan pasal 350 KUHP, yang berbunyi barang siapa
karena kesalahannya menyebabkan orang lain mendapatkan luka berat atau luka
sedemian sehinggga berakibat penyakit atau halangan sementara untuk menjalankan
jabatan atau pekerjaannya, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya selama
5 tahun. Padahal seorang dokter senantiasa membaktikan hidupnya demi kepentingan
perikemanusiaan

(LSDI,

butir

1),

menjalankan

tugasnya

dan

senantiasa

mengutamakan kesehatan pasien (LSDI, butir 7).


2. Menerbitkan surat keterangan palsu.
Seorang dokter hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang telah di periksa
sendiri kebenarannya (KODEKI, pasal 7). Jadi jika seorang dokter menerbitkan surat
keterangan cuti sakit berulang kali kepada seorang tahanan, padahal orang tersebut
mampu menghadiri sidang pengadilan perkaranya, dalam hal ini dokter telah
melanggar etika dan juga KUHP pasal 267 yang berbunyi dokter yang dengan
sengaja memberikan surat keterangan palsu dengan adanya hukuman penjara selama 4
tahun.

3. Membuka rahasia jabatan dan pekerjaan dokter


Sejak zaman hippokrates rahasia pekerjaan dokter menduduki tempat yang penting
dalam hubungan dokter dengan pasien. apapun yang saya dengar dan saya lihat
tentang kehidupan seseorang yang tidak patut disebarluaskan, tidak akan saya
ungkapkan karena saya harus merahasiakannya (Sumpah Hippokrates, butir 9).
Prinsip ini tercantum pula dalam LSDI, butir 5 yang berbunyi saya akan
merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena pekerjaan saya dan keilmuan
saya sebagai dokter, sedangkan dalam KODEKI dalam pasal 12 tercantum bahwa
setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang
pasien, bahkan juga sampai pasien itu meninggal dunia. Jadi seorang dokter yang
menyebarluaskan rahasia pribadi pasiennya didepan orang atau sekelompok orang
lain sehingga atas pengaduan pasien yang bersangkutan, dokter dapat di tuntut didepn
pengadilan. Dokter tersebut yang dengan sengaja membuka suatu rahasia yang wajib
disimpannya karena jabatan dan pekerjaannya baik yang sekarang maupun yang dulu,
dihukum dengan hukum penjara selama 9 bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp.
600,- (harus disesuaikan dengan keadaan moneter saat ini) (KUHP, pasal 322). Lain
halnya jika dokter menjadi saksi ahli di pengadilan, yang mempunyai peraturan
tersendiri.
4. Abortus provokatus
Masalah abortus telh dibahas dalam berbagai pertemuan ilmiah dalam lebih dari 3
dekade terakhir ini, baik ditingkat nasional maupun regional. Namun hingga saat ini
Rancangan Peraturan Pengguguran Berdasarkan Pertimbangan Kesehatan belum
terwujud. Secara umum hal ini telah dicatumkan dalam UU No. 23 Thaun 1992
tentang Kesehatan, namun Peraturan Pemerintah yang mengatur hal ini belum
diterbutkan hingga sekarang. Begitu pula belum ada petunjuk bagaimana seharusnya
sikap dokter yang menyangkut tindakan abortus provokatus pada kasus-kasus
misalnya perkosaan, kehamilan pada wanita dengan grande multipara (telah banyak
anak), dan kegagalan kontrasepsi.
Seorang dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup mahluk
insani (KODESI, pasal 7d). Undang-undang No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan,
menyatakan bahwa dalam keadaan darurat, sebagai upaya penyelamatan jiwa ibu
hamil dan atau janinnya, dapat dilakukan tindakan medik tertentu dan ini dilakukan
oleh tenaga kesehatan yang memiliki keahlian, dengan persetujuan ibu hamil yang
bersangkutan atau suami aatu keluarganya dan dilakukan pada sarana kesehatan
tertentu.

Dalam KUHP secara rinci terdapat pasal-pasal yang mengancam pelaku-pelaku


abortus ilegal sebagai berikut.
a. Wanita yang sengaja mengguguran kandungan atau menyuruh orang lain
melakukannya (KHUP, pasal 346, hukum maksumum 4 tahun).
b. Seseorang yang menggugurkan kandungan wanita tanpa seizinnya (KUHP, pasal
347, hukum maksimum 12 tahun dan bila wanita tersebut meninggal, hukuman
maksimum 15 tahun).
c. Seseorang yang menggugurkan kandungan wanita dengan seizin wanita tersebut
(KUHP, pasal 348, hukuman maksimum 5 sampai 6 bulan dan bila wanita tersebut
meninggal maksimum 7 tahun).
d. Dokter, bidan atau jueu obat yang melakukan kejahatan diatas (KUHP, pasal 349,
hukuman ditambah sepertiganya dan pencabutan hak pekerjaan).
5. Pelecehan seksual
Hubungan pasien dengan SpOG merupakan hubungan yang sangat khusus karena
menyangkut pelayanan kesehatan reproduksi. Peluang untuk melakukan pelecehan
seksual terbuka lebih lebar dibandingkan dengan pelayanan kesehatan oleh disiplin
lain ilmu kedokteran. Sejak zaman hippokrates masalah ini telah disorot dengan
sumpah dokternya, rumahh siapapun yang saya masuki kedatangan saya itu saya
tujukan untuk kesembuhan yang sakit dan tanpa niat-niat buruk atau mencelakakan
lebih jauh lagi tanpa niat berbuat cabul pada wanita ataupun pria, baik merdeka baik
merdeka maupun hamba sahaya.
Prinsip etika umum
Prinsip etika umum adaalh sebagai berikut:
1. Menghormati harkat manusia (respect for persons)
a. Menghormati otonomi yang mengpersyaratkan bahwa manusia yang mampu
menalar

pilihan

pribadinya

harus

di

perlakukan

dengan

menghormati

kemampuannya untuk mengambil keputusan sendiri (self determination)


b. Melindungi manusia yang otonominya terganggu atau kurang, mempersyaratkan
bahwa manusia yang bergantung (dependent) atau rentan (vulnerable) perlu
diberikan perlindungan terhadap kerugian atau penyalahgunaan (harm and abuse)
2. Berbuat baik (beneficence)
Prinsip etika berbuat baik menyangkut kewajiban membantu orang lain, dilakukan
dengan mengupayakan manfaat maksimal dengan kerugian minimal. Prinsip ini
diikuti dengan prinsip tidak merugikan (primum non nocere, firt no harm, non
maleficence) yang menyatakan bahwa jika orang tidak dapat melakukan hal-hal
yang bermanfaat, setidak-tidaknya jangan merugikan orang lain.
3. Keadilan (justice)

Setiap orang harus diperlakukan sama (tidak diskriminatif) dalam memperoleh


haknya. Prinsip etika keadilan terutama menyangkut keadilan distributif yang
mempersyaratkan pembagian seimbang dalam hal beban dan manfaat. Hal ini
dilakukan dengan memperhatikan distribusi usia dan gender, status ekonomi,
budaya dan etnik. Salah satu pertangggungjawaban adalah kerentanan, yaitu
kelompok yang tidak berkemampuan melindungi kepentingan sendiri.
Persetujuan setelah penjelasan
Persetujuan setelah penjelasan (PSP) atau

Anda mungkin juga menyukai